Anda di halaman 1dari 63

i

UJI POTENSI ANTIFUNGI EKSTRAK BERBAGAI JENIS


LAMUN TERHADAP FUNGI Candida albicans

SKRIPSI

OLEH :
AZMI UTAMI PUTRI

JURUSAN ILMU KELAUTAN


FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2013
ii

UJI POTENSI ANTIFUNGI EKSTRAK BERBAGAI JENIS


LAMUN TERHADAP FUNGI Candida albicans

OLEH:

AZMI UTAMI PUTRI

Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana
Pada Jurusan Ilmu Kelautan
Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan
Universitas Hasanuddin

JURUSAN ILMU KELAUTAN


FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2013
iii

ABSTRAK

AZMI UTAMI PUTRI. Uji Potensi Antifungi Ekstrak Berbagai Jenis Lamun Terhadap
Fungi Candida albicans, atas bimbingan Abdul Haris dan Inayah Yasir

Penelitian ini bertujuan untuk menguji potensi antifungi dari ekstrak berbagai
jenis lamun terhadap jamur Candida albicans. Pengambilan sampel dilakukan di
Pulau Bonebatang dan Pulau Laelae. Identifikasi sampel lamun berdasarkan
petunjuk buku identifikasi lamun A guide to Tropical Seagrasses of the Indo-West
Pacific dan The Seagrass of The World. Ekstraksi dilakukan dengan metode
maserasi dengan cara merendam sampel yang telah dicacah kemudian dihaluskan
hingga berbentuk serbuk dengan menggunakan pelarut methanol p.a selama 2X24
jam kemudian dipekatkan dengan rotary evaporator hingga mendapatkan ekstrak.
Uji potensi antifungi ekstrak berbagai jenis lamun terhadap Candida albicans
dilakukan dengan metode difusi agar pada medium Potatos Dexstrose Agar (PDA)
dengan menggunakan paper disc, setiap paper disc diisi dengan konsentrasi
5mg/30µl/disc ekstrak berbagai jenis lamun, larutan kontrol positif menggunakan
Nystatin dan kontrol negatif menggunakan pelarut methanol p.a, dengan masa
inkubasi 2X24 jam. Ekstrak yang memiliki daya hambat sebagai antifungi di tandai
dengan adanya zona bening disekitar paper disc. Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa ekstrak lamun yang berasal dari Pulau Bonebatang dan Pulau Laeae
memiliki daya hambat terhadap jamur uji Candida albicans dan yang memiliki
potensi antifungi adalah ekstrak lamun Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii dan
Cymodocea rotundata.

Kata kunci: Ekstrak lamun, Antifungi, Bonebatang, Laelae


iv

HALAMAN PENGESAHAN

Judul skripsi : Uji Potensi Antifungi Ekstrak Berbagai Jenis Lamun


Terhadap Fungi Candida albicans

Nama : Azmi Utami Putri

No. Pokok : L 111 09 266

Jurusan : Ilmu Kelautan

Skripsi telah diperiksa


dan disetujui oleh

Pembimbing Utama Pembimbing Anggota

Dr. Ir. Abdul Haris, M.Si Dr. Inayah Yasir, M.Sc


NIP. 19651209 199202 1 001 NIP. 19661006 199202 2 001

Mengetahui

Dekan Ketua Program Studi


Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Ilmu Kelautan

Prof. Dr. Ir. Hj. Andi Niartiningsih, MP Dr. Ir. Amir Hamzah Muhiddin, M.Si
NIP : 19611201 198703 2 002 NIP. 19631120 199303 1 002

Tanggal lulus : 18 Juli 2013


v

RIWAYAT HIDUP PENULIS

Azmi Utami Putri biasanya lebih akrab dipanggil Upiek

lahir, di Kabupaten Soppeng pada tanggal 24 April 1991.

Anak ke-4 dari empat bersaudara, dari pasangan

H.Fachroerrasyid dan Hj.Munarti Rasyid. Penulis

menyelesaikan pendidikan dasar di SDN 17 Bila tahun

2003, SMPN 1 Watansoppeng tahun 2006, dan SMAN 1

Watansoppeng tahun 2009. Melalui Seleksi Penerimaan

Mahasiswa Baru (SPMB) pada tahun 2009, penulis diterima di Jurusan Ilmu

Kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin.

Penulis menyelesaikan rangkaian tugas akhir, masing-masing mengikuti

Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Kecamatan Sajoanging Kabupaten Wajo Tahun 2012

dan Praktek Kerja Lapang (PKL) yang dilaksanakan di Desa Barangmamase

Kecamatan Sajoanging Kabupaten Wajo Tahun 2012 dengan judul “Keragaman

Jenis Mangrove di Sungai Desa Barangmamase Kecamatan Sajoanging

Kabupaten Wajo”. Sebagai tugas akhir, penulis melakukan penelitian dengan judul

“Uji Potensi Antifungi Ekstrak Berbagai Jenis Lamun Terhadap Fungi Candida

albicans” dibawah bimbingan Bapak Dr. Ir. Abdul Haris, M. Si dan Ibu Dr. Inayah

Yasir, M. Sc
vi

UCAPAN TERIMA KASIH

Alhamdulillah rabbil alamin, kiranya merupakan kata yang tepat untk

melukiskan rasa syukur penulis kepada Allah SWT, atas berkat rahmat dan hidayah-

Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan seluruh kegiatan akademik dan

khususnya penulisan skripsi ini. Skripsi ini merupakam laporan lengkap hasil

penelitian yang berjudul “Uji Potensi Antifungi Ekstrak Berbagai Jenis Lamun

Terhadap Fungi Candida albicans”, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

gelar sarjana pada Jurusan Ilmu Kelautan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan

Universitas Hasanuddin.

Penyusunan dan penulisan skripsi tidak lepas dari bantuan dan dukungan

banyak pihak dalam bentuk bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak.oleh karena

itu pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada :

1. Ayahanda H. Fachroerrasyid dan Ibunda Hj. Munarty Rasyid serta keluarga

besar Ayahanda dr. H. Syamsul Bahri, Sp.M. dan Ibunda Hj. Suriani Syam,

Amd. Kep. yang telah mengasuh dan mendidik penuh kasih sayang, kesabaran,

doa restu dan pengorbanannya kepada penulis, juga kepada kakanda

drg. Asmah Fahmi Rasyid, Sp.Pros., Asmuliani Rasyid, S.P., M.Si.,

Astrina Nur Inayah, S.TP., Rini Anggreni, S.P. dan

adinda Rizky Amalia Magfirawati.

2. Bapak Dr. Ir. Abdul Haris, M.Si dan ibu Dr. Inayah Yasir, M.Sc sebagai dosen

pembimbing yang telah banyak memberikan ilmu, petunjuk, pengarahan,


vii

bimbingan, dan dorongan semangat sejak pelaksanaan penelitian sampai

selesainya penyusunan skripsi ini.

3. Ibu Dr. Ir. Arniati, M.Si, Bapak Dr. Supriadi, ST, M.Sc dan Dr. Ir. Muh. Farid

Samawi, M.Si sebagai tim penguji atas segala sumbangan saran untuk

perbaikan sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.

4. Ibu Prof. Dr. Ir. Andi Niartiningsih, MP sebagai Dekan FIKP-UH dan bapak

Dr. Ir. Amir Hamzah Muhiddin, M.Si sebagai Ketua Jurusan Ilmu Kelautan.

5. Bapak Prof. Dr. Ir. H. Muhammad Natsir Nessa, MS dan

Dr. Ir. Rohani AR, M.Si sebagai penasehat akademik. Seluruh Bapak/Ibu staf

pengajar jurusan ilmu kelautan yang dengan ikhlas telah memberikan sebagian

ilmunya memlalui kegiatan perkuliahan dan seluruh staf FIKP-UH senantiasa

membantu penyelesaian administrasi selama penulis menempuh pendididikan.

6. Tim Penelitian Dr. Ir. Abdul Haris, M.Si yang sangat membantu kami dalam

penelitian ini. Dr. Ir Arniati, M.Si. atas bantuan dan bimbingan di Laboratorium

yang telah diberikan serta dukungan moril yang diberikan kepada penulis dan

kakak Benny Andy Jaya Gosari, S.Kel, M.Si. yang telah banyak membantu

kami selama dilapangan serta kakak Huyyirnah, S.P, M.P membantu kami di

Laboratorium.

7. Seluruh Keluarga Mahasiswa Ilmu Kelautan Angakatan 2009 “KOSLET”

yang tidak dapat dituliskan satu persatu yang selalu mendukung dan membantu

penulis baik berupa materi maupun motivasi.

8. Teman-teman Ilmu Kelautan Universitas Hasanuddin khususnya kepada

Eka Lisdayanti, S.Kel, Nurfadilah, S.Kel, Nur Tri Handayani, Musdalifah,

Nurzahraeni, Nurhikmah, Jumniaty, S.Kel., Sry Swarni Abu Bakar,

Mayang Sari Takdir, Jeszy Patiri, Hasanah, Nurwahidah, Noviety Tandiseru,


viii

Steven, S.Kel., Nugraha Maulana, Syamsul Rizal, Riswan, Nirwan,

Kakak Ishak, S.Kel., Kakak Satria Oktavianus, S.Kel., Kakak Andi Arham, S.Kel.,

Kakak Siti Syamsinar, S.Kel., Kakak Mattewakkang, S.Kel,

Kakak Syamsul Bachri, S.Kel, Kakak Haryanto Kadir, S.Kel

dan Suci Rahmadani Artika yang telah banyak membantu dan memberikan

ruang diskusi kepada penulis baik selama proses peneyelesaian skripsi ini pra

dan pasca penyelesaian skripsi ini.

9. Seluruh KEMA Ilmu Kelautan Universitas Hasanuddin dan semua pihak yang

tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan dukungan

moril dan materil sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

10. Sahabat-sahabat kecilku Sri Hardiyanti, Alfiani Eka Sari, Asniati Ridwan,

Hasnitaliliana, Dwi Zulfiani, Musniati, Fadillah, Haerasmi Syarif, dan Seri Lestari

yang memberi semangat kepada penulis dan teman-teman posko KKN UNHAS

GEL. 82 Desa Barangmamase Kecamatan Sajoanging Kabupaten Wajo.

Penulis menyadari bahwa keterbatasan jangkauan yang Tuhan berikan kepada


penulis karena hanya Tuhanlah yang memiliki kesempurnaan menyebabkan skripsi
ini masih akan memiliki kekurangan dan kelemahan. Untuk itu, penulis
mengharapkan saran dan kritikan dari segenap pembaca demi melengkapi
kekurangan penyusunan skripsi ini.
Akhir kata, penulis mengharapkan skripsi ini memberikan manfaat dalam
pelaksanaan pembangunan dan perkembangan ilmu pengetahuan di masa depan.
Amin ya rabbal alamin.
Makassar, Agustus 2013

Azmi Utami Putri


ix

DAFTAR ISI

Halaman
Daftar Tabel ................................................................................................... xi
Daftar Gambar ............................................................................................... xii
Daftar Lampiran .............................................................................................. xiii

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ........................................................................................... 1
B. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ................................................................ 3
C. Ruang Lingkup Penelitian........................................................................... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA


A. Fungi Candida albicans ............................................................................. 4
1. Morfologi dan Klasifikasi Candida albicans ......................................... 4
2. Pertumbuhan dan Reproduksi Candida albicans ................................. 5
3. Patogenitas Candida albicans ............................................................. 7
4. Karakteristik Candida albicans ............................................................ 7
B. Lamun ....................................................................................................... 8
1. Morfologi dan Anatomi ......................................................................... 8
2. Bioekologi Lamun.................................................................................. 15
3. Senyawa Aktif Lamun ........................................................................... 15
C. Metode Ekstraksi ...................................................................................... 17
D. Uji Potensi Antimikroba ............................................................................. 18
E. Pulau Bonebatang dan Pulau Laelae ........................................................ 21

III. METODE PENELITIAN


A. Waktu dan Tempat Penelitian ................................................................... 23
B. Alat dan Bahan Penelitian ......................................................................... 24
1. Alat dan Bahan di Lapangan ............................................................... 24
2. Alat dan Bahan di Laboratorium .......................................................... 24
C. Prosedur Kerja .......................................................................................... 25
1. Pengambilan Sampel dan Identifikasi Lamun ...................................... 25
x

2. Pencucian dan Pengeringan Sampel .................................................. 25


3. Ekstraksi Lamun.................................................................................. 26
4. Sterilisasi Peralatan............................................................................. 28
5. Medium Pertumbuhan Fungi ............................................................... 28
6. Pemurnian Fungi Candida albicans ..................................................... 29
7. Uji Bioaktivitas Antifungi ...................................................................... 29
a) Pembuatan Suspensi Fungi Uji...................................................... 29
b) Pembuatan Larutan Kontrol Positif dan Larutan Kontrol Negatif .... 30
c) Pengujian Daya Hambat Antifungi dengan Metode Difusi Agar ..... 30
D. Analisis Data ............................................................................................. 31

IV HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Lamun Yang Terdapat Di Pulau Bonebatang dan Pulau Laelae................ 32
B. Ekstraksi Lamun ....................................................................................... 33
C. Uji Potensi Antifungi .................................................................................. 36

V. KESIMPULAN DAN SARAN


A. Kesimpulan................................................................................................. 44
B. Saran.......................................................................................................... 44

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 45

LAMPIRAN ..................................................................................................... 51
xi

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman
1. Survey terhadap kondisi perairan di Pulau Bonebatang dan
Pulau Laelae ....................................................................................... 22

2. Hasil uji daya hambat ekstrak berbagai jenis lamun terhadap


fungi Candida albicans di Pulau Bonebatang ...................................... 37

3. Hasil uji daya hambat ekstrak berbagai jenis lamun terhadap


fungi Candida albicans di Pulau Laelae ............................................... 41
xii

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman
1. Koloni Candida albicans pada media SDA .......................................... 6
2. Candida albicans................................................................................. 6
3. Morfologi Lamun Secara Umum .......................................................... 9
4. Enhalus acoroides ............................................................................... 10
5. Thalassia hemprichii............................................................................ 11
6. Halophila ovalis ................................................................................... 12
7. Syringodium isoetifolium ..................................................................... 13
8. Cymodocea rotundata ......................................................................... 13
9. Halodule uninervis ............................................................................... 14
10. Peta Lokasi Penelitian ......................................................................... 23
11. Pencucian Lamun ............................................................................... 26
12. Pengeringan Lamun ............................................................................ 26
13. Proses Ekstraksi ................................................................................. 27
14. Penyaringan dengan menggunakan kertas saring whatman ............... 28
15. Hasil pemurnian fungi Candida albicans.............................................. 29
16. Proses kerja uji potensi antifungi dengan metode difusi agar .............. 31
17. Jenis-jenis lamun yang ditemukan di lokasi penelitian ......................... 32
18. Grafik rendamen ekstrak lamun di Pulau Bonebatang ........................ 34
19. Grafik Berat rendamen ekstrak lamun di Pulau Laelae ....................... 35
20. Hasil uji potensi ekstrak berbagai jenis lamun terhadap
Candida albicans di Pulau Bonebatang pada inkubasi 24 jam (kiri)
dan inkubasi 48 jam(kanan)................................................................. 40
21. Hasil uji potensi ekstrak berbagai jenis lamun terhadap
Candida albicans di Pulau Laelaepada inkubasi 24 jam (kiri)
dan inkubasi 48 jam(kanan)................................................................. 42
xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman
1. Proses Ekstraksi Lamun...................................................................... 51

2. Uji Potensi Ekstrak Berbagai Jenis Lamun Terhadap Candida albicans ........ 53

3. Hasil ekstraksi berbagai jenis lamun dari Pulau Bonebatang


dan Pulau Laelae ................................................................................ 56
1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Fungi pada umumnya adalah organisme yang berbentuk benang, multiseluler

tetapi ada beberapa yang terdiri atas uniseluler, tidak berklorofil, dan belum

mempuyai diferensiasi dalam jaringannya (Djide dan Sartini, 2006). Fungi bersifat

patogen pada manusia, hewan dan tumbuhan. Salah satu fungi patogen yang

menyebabkan penyakit pada alat kelamin dan sariawan pada manusia adalah

Candida albicans. Candida albicans adalah mikroorganisme yang termasuk dalam

kelompok yeast dari golongan deuteromycota, berkembangbiak dengan cara

aseksual, dan merupakan fungi dimorfik.

Pengobatan penyakit Candida albicans umumnya menggunakan antibiotik

sintetik. Antibiotik yang digunakan seperti Tolnaftate, Benzoic acid dan

Sodiumtiosulfat. Namun penggunaan antibiotik dalam jangka waktu lama, akan

berdampak negatif yaitu fungi akan menjadi resisten atau kebal terhadapa antibiotika

yang diberikan (Utami, 2012). Meningkatnya resistensi Candida albicans terhadap

antibiotik-antibiotik yang digunakan menjadi suatu masalah baru bagi kesehatan

khususnya terhadap kesehatan pada perempuan. Hal ini perlu mencari alternatif

lain untuk mendapatkan antifungi yang mampu menghambat atau membunuh fungi

tersebut. Salah satunya adalah penggunaan bahan-bahan alami yang memiliki

bahan aktif baik yang berasal dari hewan maupun dari tumbuh-tumbuhan.

Pada kenyataannya bahan aktif yang baik yaitu bahan aktif yang berasal dari

tumbuhan dibandingkan yang berasal dari hewan. Salah satu tumbuhan yang hidup

dilaut dapat menghasilkan metabolit sekunder (bahan aktif) adalah lamun. Lamun
2

(seagrass) memiliki kandungan senyawa yaitu flavonoid, fenol, tanin, steroid dan

saponin.

Beberapa penelitian terdahulu melakukan pengujian bahan aktif yang berasal

dari lamun sebagai antifungi dan antibakteri seperti bakteri asosiasi lamun memiliki

potensi untuk menghambat bakteri patogen Staphylococcus aureus (Lisdayanti,

2013). Ekstrak Halophila ovalis, Enhalus acoroides, Cymodocea rotundata,

Halodule uninervis dan Thalassia hemprichii memiliki potensi sebagai antibakteri

Staphylococcus aureus (Nurfadilah, 2013). Adanya kandungan bioaktif Posedonia

oceanic dari kawasan Mediterania (Heilgmeir dan Zidorn, 2010). Bakteri asosiasi

lamun memiliki potensi untuk menghambat fungi uji Candida albicans dan

Aspergillus niger dari bakteri lamun (Pambudi et al., 2009). Thalassia testudinium

memiliki potensi antifungi terhadap fungi laut Schizochytrium aggregatum dan

menghasilkan senyawa-senyawa sulfated flavones glycoside, zostericnacid, dan

phenolic acid (Steinberg et al., 2006). Namun informasi tentang kemampuan daya

hambat ekstrak lamun terhadap fungi khususnya fungi Candida albicans belum ada.

Kepulauan spermonde memiliki ±121 pulau yang tersebar mulai dari

Kabupaten Takalar di selatan hingga Mamuju di Sulawesi. Pulau Bonebatang dan

Pulau Laelae adalah dua pulau yang masuk ke dalam Spermonde yang dijadikan

sebagai lokasi penelitian. Pulau Bonebatang terletak kurang lebih 12 km arah barat

daya Kota Makassar, pulau kosong yang tidak berpenghuni dan sebagian besar

pulau terbentuk dari hamparan pasir. Pulau Laelae letaknya dekat dengan Kota

Makassar yang merupakan pusat aktivitas penduduk. Berdasarkan hal tersebut di

atas maka penelitian tentang uji potensi antifungi ekstrak berbagai jenis lamun

terhadap fungi Candida albicans penting untuk dilakukan.


3

B. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi antifungi dari ekstrak

berbagai jenis lamun terhadap fungi Candida albicans, sedangkan kegunaannya

adalah dapat memberi informasi baru mengenai potensi antifungi dari ekstrak

berbagai jenis lamun.

C. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini yaitu ekstraksi dan uji potensi antifungi berbagai

ekstrak lamun yang berasal dari Pulau Bonebatang dan Pulau Laelae Kota

Makassar diujikan terhadap fungi Candida albicans dengan metode difusi agar.
4

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Fungi Candida albicans

Candida albicans merupakan salah satu organisme komensal yang bertindak

sebagai flora normal pada tubuh manusia (Riskillah, 2010). Candida albicans

termasuk dalam kelompok yeast dan jenis fungi patogen dari golongan

deuteromycota. Candida albicans menimbulkan penyakit baik pada manusia

maupun pada hewan.

1. Morfologi dan Klasifikasi Candida albicans

Bentuk Candida albicans yaitu bulat, lonjong, atau bulat lonjong, ukuran 2-5 µ x

3-6 µ hingga 2-5,5 µ x 5-28,5 µ, dengan permukaan halus, licin atau berlipat-lipat,

berwarna putih kekuning-kuningan dan berbau ragi. Candida albicans memiliki dua

jenis morfologi yaitu seperti khamir dan hifa (Dumilah, 1992). Selain itu, fenotife

atau penampakan mikroorganisme dapat berubah dari berwarna putih dan rata

menjadi kerut tidak beraturan, berbentuk bintang, lingkaran, dan tidak tembus

cahaya. Candida albicans mempunyai struktur dinding sel yang kompleks, tebalnya

100 sampai 400 nm. Dinding sel Candida albicans berfungsi sebagai pelindung,

sebagai target dari beberapa antimikotik dan memberi bentuk pada sel dan

melindungi sel ragi dari lingkungannya. Terdapat enam lapisan sel (dari luar ke

dalam) pada dinding sel Candida albicans, yaitu fibrillar layer, mannoprotein, β-

glucan, β-glucan-chitin, mannoprotein dan membran plasma (Kusumaningtyas,

2009).
5

Klasifikasi Candida albicans menurut Waluyo (2004) adalah:

Kingdom : Fungi
Division : Thallophyta
Subdivision : Fungi
Class : Deuteromycetes
Order: Moniliales
Family : Cryptococcaceae
Genus: Candida
Species : Candida albicans

2. Pertumbuhan dan Reproduksi Candida albicans

Candida albicans dibiakkan pada media SDA (Sabaroud Glukosa Agar) atau

PDA (Potatos Dexstrose Agar) selama 2-4 hari pada suhu 37ºC atau suhu ruang.

Besar koloni (Gambar 1) tergantung pada umur biakan, tepi koloni terlihat hifa semu

sebagai benang-benang halus yang masuk ke dalam media, pada media cair

biasanya tumbuh pada dasar tabung (Dumilah, 1992). Pada media Cornmeal Agar

dapat membentuk clamydospora dan lebih mudah dibedakan melalui bentuk

pseudomyceliumnya atau bentuk filamen. Pada pseudomycelium terdapat

kumpulan blastospora yang bisa terdapat pada bagian terminal atau intercalary

(Lodder, 1970).

Candida albicans memperbanyak diri dengan cara aseksual yaitu spora yang

dibentuk langsung dari hifa tanpa adanya peleburan inti dengan membentuk tunas,

maka spora Candida albicans disebut dengan Blastospora atau sel ragi. Candida

albicans membentuk pseudohifa yang sebenarnya adalah rangkaian Blastospora

yang dapat bercabang-cabang. Berdasarkan bentuk tersebut maka dikatakan

bahwa Candida albicans menyerupai ragi atau yeast like, untuk membedakan

dengan fungi yang hanya membentuk Blastospora (Jawetz, 2004).


6

Gambar 1. Koloni Candida albicans pada media SDA


Sumber: http://www.ourhealth.com.au/2007/07/candida-yeast_infection.html.jpg

Candida albicans (Gambar 2) merupakan fungi dimorfik karena

kemampuannya untuk tumbuh dalam dua bentuk yang berbeda yaitu sebagai sel

tunas yang akan berkembang menjadi blastospora dan menghasilkan kecambah

yang akan membentuk hifa semu. Pada kondisi anaerob, Candida albicans

mempunyai waktu generasi yang lebih panjang (248 menit) dibandingkan dengan

kondisi pertumbuhan aerob (98 menit). Walaupun Candida albicans tumbuh baik

pada media padat, kecepatan pertumbuhan lebih tinggi pada media cair dengan

digoyang pada suhu 37˚C (Tjampakasari, 2010).

Gambar 2. Candida albicans (Jawetz et al., 1996)


7

3. Patogenitas Candida albicans

Candida albicans dapat hidup sebagai saprofit (saprobe) tanpa menyebabkan

kelainan di dalam berbagai organ tubuh manusia maupun hewan. Faktor rentan

dapat menyababkan Candida albicans dapat berubah menjadi patogen dan

menyebabkan penyakit yang disebut kandidiasis. Kandidiasis adalah suatu infeksi

akut atau subakut yang dapat menyerang berbagai jaringan tubuh (Siregar, 2004).

Misalnya kandidiasis mulut (sariawan), kandidiasis vagina (vaginitis), kandidiasis

kulit yang sifatnya sistemik (Tjay dan Rahardja, 2003).

Beberapa faktor yang menyebabkan Candida albicans menjadi patogen adalah

daya tahan tubuh menurun, pemberian antibiotik yang terlalu lama dan berlebihan.

Pada mulanya penyakit kandidiasis dianggap hanya penyakit ringan, tetapi setelah

ditemukan kasus yang fatal pada penderita kandiasis, maka dapat disimpulkan

bahwa kandiasis juga dapat menyerang organ dalam seperti jantung, ginjal, paru-

paru (Mansur, 1990).

4. Karakteristik Candida albicans

Pada kondisi anaerob dan aerob, Candida albicans mampu melakukan

metabolism sel. Pertumbuhan juga lebih cepat pada kondisi asam dibandingkan

dengan pH normal atau alkali (Biswas dan Chaffin, 2005).

Proses peragian (fermentasi) pada Candida albicans dilakukan dalam suasana

aerob dan anaerob. Karbohidrat yang tersedia dalam larutan dapat dimanfaatkan

untuk melakukakan metabolisme sel dengan cara mengubah karbohidrat menjadi

CO2 dan H2O dalam suasana aerob. Dalam suasana anaerob hasil fermentasi

berupa asam laktat atau etanol dan CO2 (Waluyo, 2004).


8

B. Lamun

1. Morfologi dan Anatomi

Lamun (seagrass) adalah tumbuhan Angiospermae yang berbiji satu dan

mempunyai akar rimpang, daun bunga dan buah. Lamun merupakan tumbuhan

yang mempunyai pembuluh secara struktur dan fungsinya memiliki kesamaan

dengan tumbuhan yang hidup di daratan. Seperti halnya tumbuhan rumput daratan,

lamun secara morfologi (Gambar 3) memperlihatkan adanya daun, rhizoma

(rimpang), akar juga bunga dan buah. Hanya saja karena lamun hidup di bawah

permukaan air, maka sebagian besar lamun melakukan penyerbukan di dalam air.

Secara umum lamun memilki bentuk luar yang sama yaitu mempunyai rhizoma

yang berkembang dengan baik dan bentuk daun yang memanjang (linear) serta

berbentuk sangat panjang, kecuali genus Halophila yang umumnya berbentuk bulat

telur atau lonjong. Rhizoma merupakan batang yang terbenam dan merayap secara

mendatar serta beruas-ruas. Pada ruas-ruas tersebut tumbuh cabang-cabang

berupa batang yang panjangnya bervariasi mulai dari beberapa milimeter sampai

dengan satu meter atau lebih. Dari batang pendek yang tegak ke atas ini muncul

daun, bunga dan buah. Pada ruas-ruas tersebut juga tumbuh akar dan rhizome,

dengan akar ini lamun dapat menancapkan diri dengan kokoh di dasar laut hingga

tahan terhadap hempasan ombak dan arus. Akar lamun merupakan tempat

menyimpan oksigen untuk proses fotosintesis yang dialirkan dari lapisan epidermal

daun.

Daun lamun terdiri dari dua bagian yang berbeda yaitu pelepah dan daun.

Pelepah daun menutupi rhizome yang baru tumbuh dan melindungi daun muda.

Namun, genus Halophila yang memiliki bentuk daun yang tidak memiliki pelepah.

Selain itu, lamun dilengkapi pula dengan ligula. Ligula berfungsi sebagai penyokong
9

dan untuk melindungi daun muda yang baru tumbuh, sehingga tidak mudah

kemasukan air. Anatomi yang khas pula dari daun lamun yaitu ketiadaan stomata

dan keberadaan kutikel yang tipis. Kutikel daun yang tipis tidak dapat menahan

pergerakan ion dan difusi karbon, sehingga daun dapat menyerap nutrient langsung

dari air laut untuk dapat langsung disalurkan kepada sel-sel fotosintetis tanpa harus

melalui sistem perakaran.

Gambar 3. Morfologi lamun secara umum (Lanyon et al., 1989)

Hampir semua tipe substrat dapat ditumbuhi lamun, mulai dari substrat

berlumpur sampai berbatu. Namun lamun umumnya tumbuh di atas paparan pasir

atau lumpur yang terendam air laut dangkal. Karena perlu berfotosintesis,

komunitas lamun berada di antara batas terendah daerah pasang surut sampai

kedalaman tertentu dimana cahaya matahari masih dapat mencapai dasar laut

(Nybakken, 1992).

Umumnya lamun berumah dua yang artinya dalam satu tumbuhan hanya ada

bunga jantan saja atau bunga betina saja. Sistem pembiakan generatifnya cukup
10

khas karena mampu melakukan penyerbukan di dalam air dan buahnya terendam di

dalam air (Phillips dan Menes, 1988).

Sekitar 60 species lamun diketahui tersebar di seluruh dunia. Di Indonesia

ditemukan 12 species lamun dari 7 genus (Bengen, 2004). Dari 4 family lamun yang

diketahui 2 family dapat ditemukan di perairan Indonesia yaitu Hydrocharitaceae dan

Potamogetonaceae. Family Hydrocharitaceae ditemukan 6 species yaitu Enhalus

acoroides, Thalassia hemprichii, Halophila ovalis, Halophila decipiens, Halophila

minor dan Halophila spinulosa. Dari family Potamogetonaceae terdapat 6 species

yaitu Syringodium isoetifolium, Cymodocea rotundata, Cymodocea serrulata,

Halodule uninervis, Halodule pinifolia dan Thalassodendron ciliatum (den Hartog,

1970).

Deskripsi dan klasifikasi masing-masing lamun yang ditemukan di Kepulauan

Spermonde disajikan satu per satu di bawah ini:

a) Enhalus acoroides

Enhalus acoroides (Gambar 4) ditemukan pada daerah tropis. Memiliki

akar yang panjangnya dapat mencapai 30 cm, rhizome berdiameter >1 cm, dengan

rambut-rambut kaku berwarna hitam yang merupakan sisa-sisa daun. Panjang daun

30-200 cm dan lebar daun 1,2-2 cm (Waycott et al., 2004)

Gambar 4. Enhalus acoroides (den Hartog, 1970)


11

Klasifikasi

Kingdom: Plantae
Division : Angiospermae
Class : Liliopsida
Order : Hydrocharitales
Family : Hydrocharitaceae
Genus : Enhalus
Species : E. acoroides

b) Thalassia hemprichii

Thalassia hemprichii (Gambar 5) memiliki panjang daun 100-300 mm.

Buahnya berduri. Satu buah berisi 9 biji, diameternya sekitar 0,6 mm (Waycott et al.,

2004).

Gambar 5. Thalassia hemprichii (den Hartog, 1970)

Klasifikasi

Kingdom : Plantae
Division : Angiospermae
Class : Liliopsida
Order : Hydrocharitales
Family : Hydrocharitaceae
Genus : Thalassia
Species : T. hemprichii
12

c) Halophila ovalis

Halophila ovalis (Gambar 6) memiliki daun pipih berbentuk bulat telur dan

sepasang daun pada tangkai yang muncul dari rimpang. Ukuran daun 0,5-15 cm,

lebar 0,3-2,5 cm dan tangkai 0,4-8 cm (Waycott et al., 2004).

Gambar 6. Halophila ovalis (den Hartog, 1970)

Klasifikasi

Kingdom : Plantae
Diviso : Angiospermae
Class : Liliopsida
Order : Hydrocharitales
Family : Hydrocharitaceae
Genus : Halophila
Species : H. ovalis

d) Syringodium isoetifolium

Syringodium isoetifolium (Gambar 7) memiliki daun berbentuk silindris dan

ujung daun runcing halus. Panjang daun mebih dari 50 cm dan lebar 2 mm (Waycott

et al., 2004).
13

Gambar 7. Syringodium isoetifolium (den Hartog, 1970)


Klasifikasi

Kingdom : Plantae
Division : Angiospermae
Class : Liliopsida
Order : Potamogetonales
Family : Potamogetonaceae
Genus : Syringodium
Species : S. isoetifolium

e) Cymodocea rotundata

Cymodocea rotundata (Gambar 8) memiliki rhizome yang lebih kecil.

Tulang daun berjumlah 9-15 dengan panjang 5-16 cm, lebar 2-4 mm. Ujung daun

bulat dan halus (Waycott et al., 2004).

Gambar 8. Cymodocea rotundata (den Hartog, 1970)


14

Klasifikasi

Kingdom : Plantae
Division : Angiospermae
Class : Liliopsida
Order : Potamogetonales
Family : Potamogetonaceae
Genus : Cymodocea
Species : C. rotundata

f) Halodule uninervis

Halodule uninervis (Gambar 9) memiliki bentuk daun pipih dengan panjang

maksimum mencapai 12 cm, lebar maksimum mencapai 4 mm. Tulang daun tidak

lebih dari tiga, ujung daun seperti trisula (tiga gigi) yaitu dua di tepi dan satu di

tengah (Waycott et al., 2004).

Gambar 9. Halodule uninervis (den Hartog, 1970)


Klasifikasi

Kingdom : Plantae
Division : Angiospermae
Class : Liliopsida
Order : Potamogetonales
Family : Potamogetonaceae
Genus : Halodule
Species : H. uninervis
15

2. Bioekologi Lamun

Lamun membutuhkan kondisi lingkungan yang sesuai unuk tumbuh dan

berkembang. Beberapa parameter lingkungan yang menjadi faktor pembatas bagi

pertumbuhan dan perkembangan lamun yaitu kecerahan, suhu perairan, salinitas,

kedalaman dan pasang surut.

Kecerahan perairan sangat penting bagi ekosistem lamun, karena erat

kaitannya dengan proses fotosintesis. Penyinaran matahari berkorelasi positif

dengan standing crop lamun, namun jika terlalu ekstrim dapat menggaggu

pertumbuhan. Suhu optimum yang diperlukan oleh lamun untuk tumbuh berkisar 28-

30˚C, sedangkan dalam proses fotosintesis lamun membutuhkan suhu optimum

antara 28-35˚C. Salinitas yang ideal bagi kehidupan lamun yaitu ±35‰. Penurunan

salinitas akan mengganggu proses pertumbuhan dan menurunkan laju fotosintesis

(Munira et al., 2010).

Padang lamun merupakan ekosistem yang tinggi produktivitas organiknya,

dengan keanekaragaman biota yang cukup tinggi. Pada ekosistem ini hidup

beranekaragam biota laut seperti ikan, crustacea, molusca, echinodermata, dan

cacing (Bengen, 2004)

3. Senyawa Bioaktif Lamun

Bahan-bahan bioaktif atau berbagai macam bahan kimia yang terkandung

dalam tubuh biota laut merupakan potensi yang sangat besar bagi penyediaan

bahan baku industri farmasi, kosmetika, pangan, dan industri bioteknologi lainnya.

Sejauh ini, pemanfaatan potensi bahan-bahan bioaktif untuk keperluan industri

terutama bioteknologi masih rendah (Dahuri et al., 1996).


16

Pemanfaatan bahan-bahan bioaktif (natural product) dari biota laut praktis

belum berkembang, padahal di Negara-negara seperti Amerika Serikat, Jepang, dan

Malaysia industri bioteknologi yang mengelola bahan-bahan bioaktif dari laut telah

menjadi salah satu industri andalan (Azkab, 1999).

Senyawa bioaktif merupakan senyawa yang memiliki aktivitas biologis

terhadap organisme lain atau pada organisme yang menghasilkan senyawa

tersebut. Senyawa metabolit sekunder dari lamun dapat diperoleh melalui proses

ekstraksi. Salah satunya yaitu melalui proses ekstraksi tunggal dengan

menggunakan tiga jenis pelarut yang berbeda kepolarannya, seperti metanol (polar),

etil asetat (semipolar) dan n-heksana (nonpolar). Perez-Jimenez et al (2006)

menyatakan bahwa penggunaan jenis pelarut yang berbeda tingkat kepolarannya

diketahui dapat memengaruhi transfer elektron tunggal dan transfer atom hidrogen

yang merupakan kunci utama dalam pengukuran aktivitas antioksidan.

Beberapa peneliti telah melakukan pengujian senyawa-senyawa bioaktif dari

lamun. Senyawa-senyawa yang dihasilkan lamun Enhalus acoroides dari larutan n-

heksana berupa senyawa asam palmitat dan sakarosteon, sedangkan dari larutan

etil asetat berupa senyawa stigmasterol, sitosterol dan steroid (Dewi, 2011).

Thalassia testudinium memiliki potensi antifungi terhadap fungi laut Schizochytrium

aggregatum dan menghasilkan senyawa-senyawa sulfated flavones glycoside,

zostericnacid, dan phenolic acid (Steinberg et al., 2006). Zostera marina dan

Halodule wrightii mengandung senyawa yang tidak disukai postlarva kepiting biru

Callinectes sapidus dan postlarva serta juvenil udang Penaeus semisulcatus

(Hadfield dan Paul, 2001). Senyawa Caffeoylics dan Chicoric acid terdistribusi luas

pada lamun Mediterania yaitu Cymodocea nodusa dan Posidonia oceanic,

Syringodium isoetifolium dan pada lebih dari 20 species lamun di dunia (Higa, 1991).
17

Kandungan senyawa Thalassia hemprichii yaitu flavonoid, triterpenoid dan steroid

(Ravikumar et al., 2008). Halodule uninervis mengandung senyawa steroid yang

mampu bersifat sebagai antibakteri (Wisespongpand et al., 2005).

C. Metode Ekstraksi

Ekstraksi adalah peristiwa pemindahan zat terlarut (solute) antara dua pelarut

yang tidak saling bercampur dengan tujuan untk memperoleh ekstrak murni

(Achmadi, 1992). Menurut Harborne (1987), ekstraksi merupakan proses penarikan

komponen atau zat aktif suatu simplisia dengan menggunakan pelarut tertentu.

Proses ekstraksi bertujuan untuk mendapatkan bagian-bagian tertentu dari bahan

yang mengandung komponen-komponen aktif.

Terdapat dua jenis ekstraksi yang dikenal yaitu dengan menggunakan panas

dan tanpa pemanasan. Pembagian jenis ekstraksi dapat juga dilakukan menurut

pelarut yang digunakan. Pada pembagian ini, ekstraksi dibagi menjadi ekstraksi

tunggal dan ekstraksi bertingkat. Ekstraksi tunggal adalah teknik ekstraksi pada

bahan secara langsung menggunakan satu jenis pelarut, sedangkan ekstraksi

bertingkat adalah ekstraksi dengan beberapa pelarut organik yang tingkat

kepolarannya berbeda-beda (Malthaputri, 2007).

Prinsip ekstraksi menggunakan pelarut organik adalah bahan yang akan

diekstrak dikontakkan dengan pelarut selama selang waktu tertentu, sehingga

komponen yang akan diekstrak akan terlarut dalam pelarut. Kelebihan dari ekstraksi

menggunakan pelarut organik adalah mendapatkan senyawa yang lebih

terkonsentrasi dan memiliki aroma yang hampir sama dengan bahan alami awal

(Malthaputri, 2007). Jenis dan mutu pelarut yang digunakan menentukan

keberhasilan proses ekstraksi. Pelarut yang digunakan harus dapat melarutkan zat
18

yang diinginkannya, mempunyai titik didih yang rendah, murah, tidak toksik dan

mudah terbakar (Ketaren, 1986). Pada penelitian ini ekstraksi dilakukan secara

berturut-turut menggunakan n-heksana, etil asetat dan metanol. Hasil ekstraksi

akan mengandung senyawa nonpolar, semipolar dan polar.

Harborne (1987) mengelompokkan metode ekstraksi menjadi dua, yaitu

ekstraksi sederhana dan ekstraksi khusus. Ekstraksi sederhana terdiri atas:

a) Maserasi, yaitu metode ekstraksi dengan cara meredam sampel dalam

pelarut dengan atau tanpa pengadukan;

b) Perkolasi, yaitu metode ekstraksi secara berkesinambungan;

c) Reperkolasi, yaitu perkolasi dimana hasil perkolasi digunakan untuk

melarutkan sampel di dalam perkulator sampai senyawa kimianya terlarut;

d) Diakolasi, yaitu perkolasi dengan penambahan tekanan udara.

Ekstraksi khusus terdiri atas:

a) Sokletasi, yaitu metode ekstraksi secara berkesinambungan untuk

melarutkan sampel kering dengan menggunakan pelarut bervariasi;

b) Arus balik, yaitu metode ekstraksi secara berkesinambungan dimana

sampel dan pelarut saling bertemu melalui gerakan aliran yang

berlawanan;

c) Ultrasonik, yaitu metode ekstraksi dengan menggunakan alat yang

menghasilkan frekuensi bunyi atau getaran antara 25-100 KHz.

D. Uji Potensi Antimikroba

Jasad hidup yang ukurannya kecil sering disebut sebagai mikroba atau

mikroorganisme atau jasad renik. Jasad renik disebut sebagai mikroba bukan hanya

karena ukurannya yang kecil, sehingga sukar dilihat dengan mata biasa, tetapi juga
19

pengaturan kehidupannya yang lebih sederhana dibandingkan dengan jasad tingkat

tinggi. Mata biasa tidak dapat melihat jasad yang ukrannya kurang dari 0,1mm.

Ukuran mikroba biasanya dinyatakan dalam micron (µ), 1 mikron adalah 0,001mm.

sel mikroba umumnya hanya dapat dilihat dengan pembesar atau mikroskop,

walaupun demikian ada mikroba yang berukuran besar sehingga dapat dilihat tanpa

alat pembesar (Sumarsih, 2003).

Mikroba adalah organisme berukuran mikroskopis yang antara lain terdiri dari

bakteri, fungi dan virus (Waluyo, 2009). Bakteri merupakan mikroba prokariotik yang

rata-rata selnya berukuran 0,5 x 2-5µm, berbentuk elips, bola, batang, atau spiral

(Pelczar dan Chan, 2005). Fungi adalah organisme eukariotik, bersifat heterotrof,

dinding selnya mengandung kitin, tidak berfotosintesis, mensekresikan enzim

ekstraseluler ke lingkungan dan memperoleh nutrien dengan cara absorpsi.

Berdasarkan penampakannya, fungi dikelompokkan ke dalam kapang (mold), khamir

(yeast) dan cendawan (mushroom) (Gandjar et al., 2006). Virus adalah jasad hidup

yang bersifat parasit obligat, berukuran super kecil atau submikroskopik, hanya

dapat dilihat dengan mikroskop elektron (Sumarsih, 2003).

Selain berinteraksi intraspesies, mikroba juga berinteraksi secara interspesies

dengan manusia, tumbuhan dan hewan. Dalam interaksinya dengan manusia,

mikroba tersebut ada yang bersifat menguntungkan dan merugikan. Contohnya

bakteri patogen Escherichia coli dapat menyebabkan diare, kolera dan penyakit

saluran pencernaan lainnya (Waluyo, 2009). Kapang dan khamir menyebabkan

penyakit karena menghasilkan racun (mikotoksin) dan menginfeksi permukaan tubuh

seperti kulit, kuku, dan rambut (mikosis superficial), serta menyerang jaringan dalam

tubuh melalui peredaran darah (mikosis sistematik) (Gandjar et al., 2006).


20

Salah satu upaya untuk melawan mikroba tersebut adalah dengan

menggunakan mikroba lain yang mempunyai sifat antagonis (antimikroba) sebagai

pengganggu atau penghambat metabolisme mikroba lainnya. Antimikroba

merupakan bahan kimia yang dapat menghambat pertumbuhan atau membunuh

mikroba. Agen antimikroba bersifat selektif toxicity, sehingga biasanya digunakan

dalam terapi penyembuhan penyakit yang berhubungan dengan mikroorganisme

patogen (Wattimena et al., 1991).

Senyawa antimikroba yang dihasilkan oleh mikroba pada umumnya

merupakan metabolit sekunder yang tidak digunakan untuk proses pertumbuhan

(Schlegel, 1993), tetapi digunakan untuk pertahanan diri dan kompetisi dengan

mikroba lain dalam mendapatkan nutrisi, habitat, oksigen, cahaya dan lain-lain

(Baker dan Cook, 1974). Senyawa antimikroba tersebut dapat digolongkan

antibakteri atau antifungi (Pelczar dan Chan, 2005). Beberapa senyawa antimikroba

termasuk kedalam golongan fenol, formaldehida, antibiotik, asam dan toksin

(Dwidjoseputro, 2003).

Antifungi adalah senyawa yang digunakan untuk pengobatan penyakit infeksi

yang disebabkan oleh fungi (Siswandono dan Soekardjo, 2000). Antifungi atau

sering disebut antifungi mempunyai dua pengertian yaitu fungisidal dan fungistatik.

Fungisidal didefinisikan sebagai suatu senyawa yang dapat membunuh fungi

sedangkan fungistatik dapat menghambat pertumbuhan tanpa mematikannya

(Marsh, 1977). Mekanisme antifungi dikelompokkan menjadi empat yaitu gangguan

pada membran sel, penghambatan biosintesis ergosterol dalam sel fungi,

penghambatan sintesis asam nukleat dan potensi fungi dan penghambatan mitosis

fungi (Siswandono dan Soekardjo, 2000).


21

Uji potensi antifungi adalah menguji suatu zat yang diduga mempunyai daya

antifungi dengan memanfaatkan fungi sebagai indikator pengujian. Kegunaan uji

antifungi adalah diperolehnya suatu system pengobatan yang efektif dan efisien

(Siswandono dan Soekardjo, 2000).

E. Pulau Bonebatang dan Pulau Laelae

1. Pulau Bonebatang

Pulau Bonebatang merupakan pulau pasir tanpa penghuni memiliki terumbu

karang yang luas dengan reef flat yang cukup lebar sebagian ditumbuhi padang

lamun dan terumbu karang yang dangkal di daerah reef flat (Sadar, 2004). Jenis

lamun yang ditemukan di Pulau Bonebatang yaitu Enhalus acoroides, Thalassia

hemprichii, Cymodocea rotundata, Halophila ovalis, Halodule uninervis dan

Syringodium isoetifolium tapi jenis lamun yang tumbuh didominasi oleh komunitas

campuran yang terdiri dari Cymodocea rotundata, Enhalus acoroides, Halodule

uninervis dan Thalassia hemprichii (Priosambodo, 2011).

Berdasarkan klasifikasi ukuran diameter butiran sedimen dengan skala

Wenworth, Wiethuchter (2009) menyatakan bahwa karakteristik sedimen di sisi timur

Pulau Bonebatang didominasi oleh kerikil >2mm sebesar 78%, pasir 0,00625mm-

2mm sebesar 22% dan lumpur/lanau/lempung <60µm sebesar 2-3% dari total berat

sedimen. Pada sisi tenggara, butiran sedimen yang ditemukan cenderung lebih

halus dengan komposisi: kerikil sebesar 38%, pasir 38%, dan lumpur/lanau/lempung

sekitar 2-3%dari total berat sedimen.

2. Pulau Laelae

Pulau Laelae secara administratif termasuk ke dalam wilayah kecamatan

Ujung Pandang, Kelurahan Laelae, dengan luas pulau 0,11km2 dan jumlah
22

penduduk 1.044jiwa. Pulau Laelae merupakan salah satu rangkaian pulau pada

gugusan kepulauan Spermonde yang merupakan daerah pesisir terdekat dengan

Kota Makassar dimana sebelah timur dan selatan pulau berbatasan dengan

Makassar, sedangkan sebelah barat berhubungan langsung dengan perairan lepas


o o
selat Makassar. Secara geografi berada antara 119 23’23.3” BT – 05 08’09.7” LS
0 o
dan 119 23’33,8” BT – 05 08’10.3.7” LS. Pulau Laelae berjarak 1,2 km dari daratan

utama Kota Makassar (Kurniawan, 2009).

Pulau Laelae berada di Selat Makassar dan dipengaruhi oleh adanya muara

sungai dari daratan utama yaitu Sungai Jeneberang dari selatan. Perairan pulau ini

berhubungan langsung dengan Pantai Losari Kota Makassar yang menjadi tempat

pembuangan limbah pemukiman dan industri di daratan utama Kota Makassar

(Nabaing, 2006).

Daerah ini merupakan daerah yang memiliki aktivitas transportasi nelayan

yang cukup padat. Daerah pesisirnya juga merupakan daerah parkir perahu/kapal

penumpang ataupun kapal-kapal yang berukuran besar. Dari aktivitas ini

memungkinkan terjadinya perubahan topografi atau pengaruh sedimentasi dari

sungai Jeneberang yang berada di sebelah selatan Pulau Laelae (Kurniawan, 2009).

Table 1. Survey terhadap kondisi perairan di Pulau Bonebatang dan Pulau Laelae
yang telah dilakukan oleh Kadir (2011)
Kecepatan
Pulau Ulangan Salinitas Suhu pH Kekeruhan Kecerahan
Arus
1 34 28.6 7.16 0.045 0.38 100
Bonebatang 2 33 28.9 7.14 0.088 0.18 100
3 34 28.3 7.15 0.093 0.11 100
1 35 29 7.21 0.088 1.45 100
Laelae 2 34 29 7.12 0.147 1.68 100
3 34 29 7.14 0.109 1.41 80
23

III. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober 2012 - Februari 2013.

Pengambilan sampel lamun dilakukan di Pulau Bonebatang dan Pulau Laelae

Perairan Kota Makassar (Gambar 10). Ekstraksi dan uji potensi ekstrak lamun

dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Laut, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan

Universitas Hasanuddin.

Gambar 10. Peta Lokasi Penelitian


24

B. Alat dan Bahan Penelitian

1. Alat dan Bahan di Lapangan

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat selam dasar untuk

memudahkan pengambilan sampel lamun, kamera underwater untuk memotret

kondisi lingkungan pulau, sekop untuk mengambil sampel lamun, kantong sampel

untuk menyimpan sampel lamun, dan cool box untuk tempat menyimpan sampel

untuk dibawa ke laboratorium, sedangkan bahan yang digunakan adalah sampel

berbagai jenis lamun yang diambil dari Pulau Bonebatang dan Pulau Laelae.

2. Alat dan Bahan di Laboratorium

Alat-alat yang digunakan di laboratorium adalah pisau untuk memotong

sampel, talenan untuk alas memotong, blender untuk menghaluskan sampel,

blender untuk menghaluskan sampel, timbangan digital untuk menimbang berat

sampel, toples sebagai wadah untuk merendam sampel, gelas ukur untuk mengukur

volume ukuran larutan, pipet tetes untuk mengambil cairan dalam skala tetesan

kecil, corong untuk menyaring sampel yang telah dimaserasi, erlenmeyer sebagai

wadah sampel yang telah disaring, rotavapor untuk mengekstrak sampel, lemari

pendingin untuk menyimpan sampel, timbangan analitik untuk menimbang

bermacam-macam bahan, laminary air flow (LAF) sebagai tempat pengujian

antifungi dan membiakkan fungi, tabung reaksi bersama rak sebagai wadah untuk

menumbuhkan organisme, cawan petri sebagai wadah untuk membiakkan

mikroorganisme, ose bulat untuk memindahkan biakan untuk ditanam ke media

baru, vortex untuk menghomogenkan larutan, mikropipet untuk mengambil cairan

dalam volume kecil, hot plate with magnetic stirrer untuk memanaskan dan

mengaduk medium, autoklaf untuk mensterilkan alat-alat yang tidak tahan panas
25

dan bahan yang basah, oven untuk mensterilkan alat-alat yang terbuat sari kaca,

spatula untuk mengaduk larutan, pinset untuk mengambil bahan, vial sebagai wadah

sampel yang telah diekstraksi, eppendorf untuk menyimpan ekstrak yang akan di uji,

botol selai untuk menyimpan medium yang akan disterilkan, lampu spiritus untuk

mensterilkan/menfiksasikan alat-alat dan jangka sorong untuk mengukur zona

bening yang terbentuk.

Bahan-bahan yang digunakan adalah fungi murni Candida albicans yang

diperoleh dari Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas

Hasanuddin, media PDA (Potato Dextrosa Agar), kloramfenikol, larutan methanol

p.a, akuades, tissue, aluminium foil, kertas label, kertas saring Whatman, kantong

sampel, paper disc, alkohol 70%, kapas, sarung tangan dan masker.

C. Prosedur Kerja

1. Pengambilan Sampel dan Identifikasi Lamun

Pengambilan sampel lamun menggunakan peralatan selam dasar (snorkeling)

dan dilakukan secara acak (random sampling). Sampel lamun dimasukkan ke dalam

kantong sampel dan disimpan dalam cool box untuk kemudian dibawa ke

laboratorium. Lamun kemudian diidentifikasi berdasarkan petunjuk Waycott et

al.,(2004) dan den Hartog (1970) sebelum dikeringkan untuk proses ekstraksi.

2. Pencucian dan Pengeringan Sampel

Lamun dicuci dengan air mengalir untuk memisahkan kotoran-kotoran yang

masih melekat (Gambar 11). Setelah bersih, lamun kemudian dikeringkan di bawah

cahaya matahari selama 3 hari (Gambar 12). Lamun yang telah kering dicacah lalu
26

dicuci dengan akuades untuk menghilangkan garam yang tersisa. Potongan lamun

kemudian dikeringkan dengan menggunakan oven pada suhu 60˚C.

Gambar 11. Pencucian Lamun

Gambar 12. Pengeringan Lamun

3. Ekstraksi Lamun

Ekstraksi dilakukan dengan metode maserasi. Potongan lamun yang telah

kering dihaluskan dengan bantuan blender hingga berbentuk serbuk. Sebanyak 50

gram serbuk dimaserasi selama dua hari dengan menggunakan pelarut methanol

p.a dengan perbandingan 1:4 antara berat sampel dengan pelarut. Maserasi diulang
27

sebanyak dua kali sambil sekali-sekali digoyangkan. Selanjutnya sari methanol

dipisahkan dengan penyaringan dengan menggunakan kertas saring whatman 125

mmØ (Gambar 14). Filtrat lamun dipekatkan dengan rotary evaporatorator hingga

mendapatkan ekstrak. Ekstrak dimasukkan ke dalam vial yang telah diketahui

beratnya dan disimpan di lemari pendingin dengan suhu -20˚C hingga pengujian

senyawa bioaktif (Lampiran 1). Prosedur kerja ekstraksi disajikan pada diagram alir

(Gambar 13) di bawah ini:

Sampel Lamun

Serbuk

Ampas

Maserasi

Filtrat Ekstrak
Lamun Rotavapor

Botol vial

Gambar 13. Proses Ekstraksi

Rendamen adalah persentase bagian ekstrak yang dapat dimanfaatkan.

Lamun sebelum melakukan proses ekstraksi ditimbang beratnya dan lamun setelah

proses ekstraksi dengan metode maserasi ditimbang kembali untuk mengetahui

berat ekstrak. Untuk menghitung rendamen ekstrak digunakan rumus:


% = 100%

28

Gambar 14. Penyaringan dengan menggunakan kertas saring whatman

4. Sterilisasi Peralatan

Mensterilkan alat-alat yang tidak tahan pemanasan dengan suhu tinggi,

disterilkan dengan autoklaf pada suhu 121˚C selama 15 menit, alat-alat yang terbuat

dari gelas disterilkan dengan menggunakan oven suhu 180˚C selama 2 jam,

sedangkan alat-alat logam disterilkan dengan dipijarkan menggunakan lampu

spiritus.

5. Medium Pertumbuhan Fungi

Medium pertumbuhan adalah tempat untuk menumbuhkan mikroba. Mikroba

memerlukan nutrisi untuk memenuhi kebutuhan energi untuk bahan pembangun sel,

untuk sintesa protoplasma dan bagian-bagian sel lain. Medium yang digunakan pada

penelitian ini adalah Potatos Dexstrose Agar (PDA).

Komposisi medium PDA (Potatos Dexstrose Agar) per liter aquades terdiri atas

39 g yang dilarutkan dengan aquades kemudian ditambahkan 100 mg kloramfenikol

per 100 ml kemudian dipanaskan di atas hot plate with magnetic stirrer, selanjutnya
29

disterilkan dengan autoklaf pada suhu 121˚C, tekanan 2 atm selama 15 menit (Atlas,

1993).

6. Pemurnian Fungi Candida albicans

Isolat fungi Candida albicans diinokulasikan dengan cara digoreskan pada

medium PDA (Gambar 15). Selanjutnya diinkubasikan pada suhu kamar selama

2x24 jam.

Gambar 15. Hasil pemurnian fungi Candida albicans

7. Uji Bioaktivitas Antifungi

a) Pembuatan Suspensi Fungi Uji

Pembuatan suspensi fungi uji dilakukan dengan memasukkan 1 ose fungi

Candida albicans ke dalam tabung reaksi yang telah berisi NaCl 0,9% sebanyak

3ml, kemudian divortex hingga homogen ditandai dengan cairan berubah menjadi

keruh.
30

b) Pembutan Larutan Kontrol Positif dan Larutan Kontrol Negatif

Larutan kontrol adalah larutan yang digunakan sebagai pembanding antara

larutan kontrol positif, larutan kontrol negatif dan berbagai jenis ekstrak lamun yang

ditemukan. Larutan kontrol positif digunakan sebagai tolak ukur penentuan ekstrak

memiliki potensi antifungi, jika daya hambat ekstrak melebihi atau mendekati dari

nilai kontrol positif maka ekstrak tersebut berpotensi sebagai antifungi. Pembuatan

larutan kontrol positif yang digunakan adalah larutan Nystatin untuk uji antifungi

dengan konsentrasi 100 IU. Larutan Nystatin 100 IU dibuat dengan menimbang

2,841mg serbuk Nystatin dalam labu ukur 100mL dan ditambahkan DMSO hingga

batas tanda. Kemudian dikocok hingga larut (Larutan A). Setelah itu dipipet

sebanyak 1mL dan dimasukkan ke dalam labu ukur 5mL lalu ditambahkan DMSO

hingga volumenya 5mL (Larutan B). Kemudian dari larutan B dipipet 1mL ke dalam

labu ukur 5mL dan dicukupkan volumenya dengan DMSO hingga batas tanda

(Larutan C). Terakhir dipipet 1mL larutan C dalam labu ukur 5mL kemudian

dicukupkan volumenya dengan DMSO. Larutan D adalah Nystatin 100IU (Suryadi,

2012). Larutan kontrol negatif merupakan faktor koreksi dengan menggunakan

pelarut methanol p.a.

c) Pengujian Daya Hambat Antifungi dengan Metode Difusi Agar

Mengambil ekstrak daun lamun dalam vial sebanyak 5mg dimasukkan kedalam

eppendorf yang berisi larutan methanol 40µl lalu dihomogenkan dengan

menggunakan vortex. Larutan methanol yang mengandung ekstrak diambil 30µl

diteteskan pada paper disc.

Suspensi 200µl dimasukkan ke dalam botol yang berisi 20ml medium PDA,

digoyang-goyangkan ±1 menit hingga homogen. Setelah homogen dituang kedalam


31

cawan petri dan dibiarkan memadat. Setelah memadat meletakkan paper disc pada

permukaan medium. Inkubasikan pada suhu ruangan selama 2X24 jam, untuk

mengetahui pengamatan zona hambat yang terbentuk (Asaf, 2009).

Secara ringkas diagram alir prosedur kerja uji potensi antifungi dengan metode

difusi agar disajikan pada diagram alir (Gambar 16) :

Ekstrak Lamun Suspensi Fungi Jamur

Di teteskan mencampurkan
ke paper disc
Medium PDA (20ml)
Kontrol +
Kontrol -

Suspensi jamur dalam


Paper disc yang mengandung
medium PDA
ekstrak & Kontrol + dan kontrol –
diletakkan di atas permukaan
medium PDA

Diinkubasi
pada suhu
kamar
selama
2X24 jam

Mengamati dan mengukur zona


hambatan (zona bening) yang
terbentuk

Gambar 16. Proses kerja uji potensi antifungi dengan metode difusi agar

D. Analisis Data
Data uji potensi yang diperoleh dari berbagai jenis lamun dianalisis secara

deskriptif dalam bentuk tabel, gambar dan grafik.


32

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Jenis Lamun Di Pulau Bonebatang Dan Pulau Laelae

Berdasarkan petunjuk identifikasi lamun oleh Waycott et al. (2004) dan den

Hartog (1970), di Pulau Bonebatang di temukan 6 jenis lamun yaitu Enhalus

acoroides (Gambar 17a), Thalassia hemprichii (Gambar 17b), Cymodocea rotundata

(Gambar 17c), Halophila ovalis (Gambar 17d), Halodule uninervis (Gambar 17e),

dan Syringodium isoetifolium (Gambar 17f).

Gambar 17. Jenis-jenis lamun yang ditemukan di lokasi penelitian


a. Enhalus acoroides b. Thalassia hemprichii c. Cymodocea rotundata
d. Halophila ovalis e. Halodule uninervis f. Syringodium isoetifolium
33

Di Pulau Laelae di temukan 2 jenis lamun yaitu Enhalus acoroides (Gambar

17a) dan Halophila ovalis (Gambar 17d). Untuk jenis Syringodium isoetifolium yang

ditemukan di Pulau Bonebatang tidak dilakukan ekstraksi karena jumlah biomassa

sampel tidak mencukupi untuk keperluan ekstraksi dan populasinya relatif kecil.

B. Ekstraksi Lamun

Metode ekstraksi yang dilakukan adalah dengan metode maserasi. Maserasi

adalah metode ekstraksi dengan cara merendam sampel dalam pelarut selama

2X24 jam. Filtrat ekstrak lamun kemudian dipekatkan dengan rotary evaporator

hingga mendapatkan ekstrak yang kental kemudian rendamen ekstrak dihitung.

Berdasarkan hasil ekstraki berbagai jenis lamun dengan metode maserasi

didapatkan ekstrak kental dalam 2 bentuk yaitu pasta dan pasta agak cair (Lampiran

3). Ekstrak kental bentuk pasta terdiri dari Enhalus acoroides, Halophila ovalis, dan

Cymodocea rotundata, sedangkan ekstrak kental bentuk pasta agak cair yaitu

Thalassia hemprichii dan Halodule uninervis. Hasil selanjutnya ekstrak kental yang

didapatkan berwarna hijau tua, hijau kehitaman, dan hijau kekuningan (Lampiran 3).

Ekstrak kental berwarna hijau tua yaitu Enhalus acoroides dan Halophila ovalis,

ekstrak kental berwarna hijau kehitaman yaitu Thalassia hemprichii, sedangkan

ekstrak kental berwarna hijau kekuningan Cymodocea rotundata dan Halodule

uninervis. Hasil ekstraksi berbagai jenis lamun yang didapatkan baik bentuk dan

warnanya sama dengan hasil ekstraksi rumput laut. Dari penelitian Lutfiyanti (2012)

didapatkan ekstrak rumput laut Gelidium latifoium dengan menggunakan pelarut n-

heksan, aston dan methanol berbentuk pasta, pasta agak cair dan cair serta

berwarna hijau tua, hijau kehitaman, dan hijau kekuningan.


34

Berat awal sampel yang sama (50 gr) didapatkan rendamen ekstrak yang

berbeda-beda. Hasil rendamen ekstrak dari Pulau Bonebatang (Gambar 18) adalah

ekstrak Cymodocea rotundata memiliki rendamen ekstrak lebih besar dibandingkan

dengan rendamen ekstrak lamun lainnya, yang diikuti oleh ekstrak lamun Enhalus

acoroides, Halodule uninervis, Halophila ovalis dan paling kecil adalah Thalassia

hemprichii. Hasil yang sama juga ditunjukkan oleh rendamen ekstrak dari Pulau

Laelae (Gambar 19) adalah Enhalus acoroides memiliki rendamen ekstrak lebih

besar dari rendamen ekstrak Halophila ovalis.

18

16

14
Rendamen Ekstrak %

12

10

0
Enhalus Halophila ovalis Thalassia Cymodocea Halodule
acoroides hemprichii rotundata uninervis

Gambar 18. Grafik rendamen ekstrak lamun di Pulau Bonebatang


35

6
Rendamen Ekstrak %

0
Enhalus acoroides Halophila ovalis

Gambar 19. Grafik rendamen ekstrak lamun di Pulau Laelae

Rendamen ekstrak lamun yang didapatkan berbeda-beda, hal ini disebabkan

kandungan senyawa yang dimiliki ekstrak berbagai jenis lamun berbeda-beda

sehingga rendamen ekstrak yang didapatkan juga berbeda-beda.

Menurut Ali et al. (2012) dan Anwariyah (2011) kandungan senyawa yang dimiliki

Enhalus acoroides dan Cymodocea rotundata yaitu flavonoid, fenol, tannin, dan

steroid. Kandungan senyawa yang dimiliki Halodule uninervis mengandung

senyawa flavonoid dan steroid (Wisesspongpand et al., 2005). Halophila ovalis

mengandung senyawa yaitu flavonoid, fenol, tannin, steroid dan saponin (Ravikumar

et al., 2008). Thalassia hemprichii mengandung senyawa steroid (Ravikumar et al.,

2008). Berdasarkan kandungan senyawa yang dimiliki, hanya Thalassia hemprichii

yang tidak mengandung senyawa flavonoid sehingga rendamen ekstraknya kecil.

Pelarut yang digunakan untuk mengekstrak adalah methanol, yang lebih efisien

untuk mengekstrak senyawa-senyawa bioaktif yang bersifat polar. Menurut Ridawati

et al. (2008) senyawa flavonoid merupakan senyawa polar, sehingga pelarut


36

methanol yang merupakan pelarut bersifat polar dapat digunakan untuk

mengekstrak senyawa flavonoid. Berdasarkan konsep polarisasi, semakin polar

suatu senyawa semakin mudah senyawa itu larut dalam pelarut yang polar juga.

Besarnya rendamen ekstrak Cymodocea rotundata disebabkan karena

pengecilan ukuran, dengan cara diblender/giling hingga partikelnya berupa

tepung/serbuk, menghasilkan potongan yang relatif halus bila dibandingkan dengan

hasil gilingan yang didapatkan dari lamun Halodule uninervis, Thalassia hemprichii,

dan Halophila ovalis yang cenderung kasar karena lamun tersebut tidak mudah

hancur. Proses pengecilan ukuran bertujuan untuk mengurangi sifat cair dari bahan

yang diekstraksi dan membantu penetrasi pelarut ke dalam sel tumbuhan sehingga

mempercepat pelarutan komponen bioaktif dan meningkatkan rendamen ekstraksi.

Menurut Heat dan Reineocius (1986), semakin kecil ukuran bahan yang digunakan

maka semakin luas bidang kontak antara bahan dengan pelarut. Kondisi ini akan

menyebabkan kecepatan untuk mencapai kesetimbangan sistem menjadi lebih

besar. Jaringan bahan atau simplisia dapat mempengaruhi efektivitas ekstraksi.

Ukuran bahan yang sesuai akan menjadikan proses ekstraksi berlangsung dengan

baik dan tidak memakan waktu yang lama.

C. Uji Potensi Antifungi

Pengujian daya hambat (zona bening) selama inkubasi 24 jam dan 48 jam

menunjukkan bahwa semua jenis lamun yang didapatkan dari Pulau Bonebatang

dan Pulau Laelae memiliki aktivitas terhadap Candida albicans dengan nilai zona

hambat rata-ratanya berkisar 0,22mm-4,02mm.


37

1. Pulau Bonebatang

Berikut hasil daya hambat ekstrak berbagai jenis lamun terhadap fungi

Candida albicans di pulau Bonebatang tersaji dalam tabel 2:

Tabel 2. Hasil daya hambat ekstrak berbagai jenis lamun terhadap fungi Candida
albicans di Pulau Bonebatang
Diameter zona Rata-rata
Keterangan
hambat (mm) (mm)
Ekstrak Ulangan
24 48 24 48
24 jam 48 jam
jam jam jam jam
Enhalus acoroides (A) simplo 3.35 3.10
duplo 3.05 3.10 3.20 3.08 + +
triplo 3.20 3.05
Halophila ovalis (B) simplo 1.45 1.05
duplo 2.40 1.15 1.68 1.15 - -
triplo 1.20 1.25
Thalassia hemprichii (C) simplo 4.25 4.30
duplo 3.40 3.40 4.00 4.02 + +
triplo 4.35 4.35
Cymodocea rotundata (D) simplo 4.45 3.25
duplo 4.20 3.10 3.93 3.25 + +
triplo 3.15 3.40
Halodule uninervis (E) simplo 2.05 2.05
duplo 2.25 2.05 2.17 2.10 - -
triplo 2.20 2.20
kontrol + (Nystatin) simplo 3.25 3.20
duplo 3.20 3.20 3.22 3.20
triplo 3.20 3.20
kontrol - (Methanol) simplo 0 0
duplo 0 0 0 0
triplo 0 0
Keterangan: berdasarkan tolak ukur kontrol positif maka:
+: memiliki potensi sebagai antifungi Candida albicans
- : tidak memiliki potensi sebagai antifungi Candida albicans
38

Hasil daya hambat ekstrak berbagai jenis lamun yang diambil dari Pulau

Bonebatang terhadap fungi Candida albicans (Tabel 2) menunjukkan bahwa dari 5

jenis lamun yang digunakan, hanya 3 yang menunjukkan potensi antifungi.

Penentuan ekstrak berbagai jenis lamun yang memiliki potensi antifungi dilihat

berdasarkan tolak ukur kontrol positifnya dengan metode difusi agar. Thalassia

hemprichii menunjukkan aktivitas tertinggi dengan potensi stabil hingga inkubasi 48

jam setelah inkubasi uji potensi dimulai. Thalassia hemprichii mengandung senyawa

steroid dan memiliki konsentrasi senyawa metabolit sekunder yang tinggi

(Ravikumar et al., 2008). Steroid adalah molekul kompleks yang larut di dalam

lemak dengan empat cicin yang saling bergabung. Senyawa steroid dapat

menghamabat pertumbuhan jamur, baik melalui membran sitoplasma maupun

mengganggu pertumbuhan dan perkembangan spora jamur. Subhisha (2005)

menyatakan bahwa steroid dapat berfungsi sebagai antijamur karena sifat lipofilik

yang dimiliki oleh steroid dapat menghambat perkecambahan spora dan

perbanyakan miselium pada jamur.

Ekstrak lamun Cymodocea rotundata dan Enhalus aciroides diurutan kedua

dan ketiga, memperlihatkan daya hambat yang cukup baik setelah inkubasi 24 jam

(3,93 mm dan 3,20 mm), namun kemampuan tersebut menurun pada inkubasi 48

jam setelah inkubasi uji potensi dimulai. Cymodocea rotundata dan Enhalus

acoroides mengandung senyawa flavonoid, tanin, dan steroid. Senyawa tersebut

mempunyai efek farmakologi sebagai antijamur. Dimana flavonoid dengan

kemampuannya membentuk kompleks protein dan merusak membran sel dengan

cara mendenaturasi ikatan protein pada membran sel, sehingga membran sel

menjadi lisis dan senyawa tersebut menembus kedalam inti sel menyebabkan jamur

tidak berkembang (Sulistyawati et al., 2009). Tanin merupakan senyawa aktif yang
39

berperan sebagai antifungi. Mekanisme antifungi yang dimiliki tanin yaitu

kemampuannya menghambat sintesis khitin yang digunakan untuk pembentukan

dinding sel pada jamur dan merusak membran sel sehingga pertumbuhan jamur

terhambat (Watson dan Preedy, 2007). Selanjutnya dikemukakan oleh Najib (2009)

menyatakan bahwa tanin merupakan senyawa yang bersifat lipofilik sehingga mudah

terikat pada dinding sel dan mengakibatkan kerusakan dinding sel.

Terjadi penurunan zona hambat pada ekstrak lamun antara inkubasi jam ke-24

dan jam ke-48, yang berarti ekstrak lamun Cymodocea rotundata dan Enhalus

acoroides (Gambar 20) bersifat fungistatik karena ekstrak lamun tersebut memilki

zat kimia yang bersifat fungistatik yang daya hambatnya terhadap pertumbuhan sel

fungi dipengaruhi oleh waktu. Zat antimikrobial fungistatik bersifat menghambat kerja

enzim tertentu yang mengakibatkan terganggunya metabolisme sel fungi, sehingga

proses pemanjangan hifa (misellium) fungi menjadi terhambat. Jika pertumbuhan sel

fungi yang ditandai dengan pemanjangan hifa (misellia) terhambat, maka

fragmentasi hifa pun menjadi terganggu sehingga dapat dikatakan bahwa sel fungi

tidak dapat berkembangbiak. Hifa atau miselium yang tidak dapat mengalami

fragmentasi disebabkan oleh rusaknya jaringan hifa selnya mengakibatkan sel fungi

pada saat bersamaan menjadi peka dan rentan terhadap perubahan lingkungan,

sehingga sel fungi mudah mati.

Rahman dan Aditya (2010) menambahkan, senyawa yang bersifat fungistatik

misalnya senyawa fenolik dapat mendenaturasi protein, yaitu kerusakan struktur

tersier protein sehingga protein kehilangan sifat-sifat aslinya. Terdenaturasinya

protein dinding Candida albicans akan menyebabkan kerapuhan pada dinding sel

tesebut sehingga mudah ditembus zat aktif lainnya yang bersifat fungistatik. Jika
40

protein yang terdenaturasi adalah protein enzim maka enzim tidak dapat bekerja

yang menyebabkan metabolisme dan proses penyerapan nutrisi terganggu.

Gambar 20. Hasil potensi ekstrak berbagai jenis lamun terhadap Candida albicans di Pulau
Bonebatang pada inkubasi 24 jam (kiri) dan inkubasi 48 jam (kanan).
Keterangan : A : Enhalus acoroides B : Cymodocea rotundata
C : Halophila ovalis D : Thalassia hemprichii
E : Halodule uninervis

Dua jenis lamun yang lain yaitu Halophila ovalis dan Halodule uninervis, tidak

memiliki potensi terhadap fungi Candida albicans, disebabkan karena kemampuan

biologis fungi patogen dalam merespon ekstrak. Fungi uji Candida albicans memiliki

struktur dinding sel yang lebih kuat dan lebih kompleks sehingga sulit untuk

diuraikan dimana memiliki tingkat ketebalan 100 sampai 400nm (Waluyo, 2004).

Candida albicans juga memiliki enam lapisan (dari luar ke dalam) yaitu fibrillar layer,

mannoprotein, β-glucan, β-glucan-chitin, mannoprotein dan membran plasma,

sehingga senyawa yang terkandung pada lamun tidak dapat merusak dinding sel

pada Candida albicans (Kusumaningtyas, 2009).


41

2. Pulau Laelae

Berikut hasil daya hambat ekstrak berbagai jenis lamun terhadap fungi

Candida albicans di pulau Laelae tersaji dalam tabel 3:

Tabel 3. Hasil daya hambat ekstrak berbagai jenis lamun terhadap fungi Candida
albicans di Pulau Laelae
Diameter zona Rata-rata
Keterangan
hambat (mm)
Ekstrak Ulangan
24 48 24 48
24 jam 48 jam
jam jam jam jam
Enhalus acoroides (A) Simplo 4.20 3.25
Duplo 3.05 3.40 3.57 3.23 + +
Triplo 3.45 3.05
Halophila ovalis (B) Simplo 0.40 0.30
Duplo 0.25 0.20 0.37 0.22 - -
Triplo 0.45 0.15
kontrol + (Nystatin) Simplo 3.25 3.20
Duplo 3.20 3.20 3.22 3.20
Triplo 3.20 3.20
kontrol - (Methanol) Simplo 0 0
Duplo 0 0 0 0
Triplo 0 0
Keterangan: berdasarkan tolak ukur kontrol positif maka:
+: memiliki potensi sebagai antifungi Candida albicans
- : tidak memiliki potensi sebagai antifungi Candida albicans

Hasil daya hambat untuk ekstrak lamun yang diambil dari Pulau Laelae

terhadap fungi Candida albicans (Tabel 3) konsistensi dengan hasil daya hambat

untuk ekstrak lamun dari Pulau Bonebatang, meskipun begitu, kemampuan Enhalus

acoroides untuk menghambat pertumbuhan jenis Candida albicans lebih tinggi untuk

lamun yang diambil dari Pulau Laelae (3,57 mm) (Gambar 21) dibandingkan dengan

ekstrak lamun dari Pulau Bonebatang (3,20 mm). Hal ini disebabkan karena
42

konsentrasi dan aktivitas metabolit sekunder yang terkandung di dalam ekstrak

lamun memiliki skala variasi yang luas. Jenis lamun yang sama dapat menghasilkan

metabolit sekunder dengan konsentrasi dan aktivitas yang berbeda atau

mengandung struktur gugus kimiawi yang berbeda. Jadi konsentrasi dan aktivitas

metabolit sekunder juga bervariasi secara spasial (bagian-bagian lamun: akar,

rhizoma, dan daun) dan secara temporal (skala hari, bulan, dan tahun) (Haris et al.,

2012).

Gambar 21. Hasil potensi ekstrak berbagai jenis lamun terhadap Candida albicans di Pulau
Laelae pada inkubasi 24 jam (kiri) dan inkubasi 48 jam (kanan).
Keterangan : A : Enhalus acoroides B : Halophila ovalis

3. Kontrol Positif

Larutan kontrol positif yang digunakan berupa Nystatin merupakan suatu

senyawa kimia yang dinilai tepat sebagai kontrol positif. Nystatin 100 IU memiliki

aktivitas antifungi yaitu dengan menghambat sterol (terutama ergosterol) dalam

membran sel fungi. Nystatin tidak aktif melawan organisme misalnya bakteri, karena

bakteri tidak mempunyai sterol pada membran selnya. Hal ini sesuai dengan

pernyataan Siswandono dan Soekardjo (2000) menyatakan mekanisme antifungi

dikelompokkan menjadi empat yaitu gangguan pada membran sel, penghambatan

biosintesis ergosterol dalam sel fungi, penghambatan sintesis asam nukleat dan
43

potensi fungi dan penghambatan mitosis fungi. Penelitian Giang (2010) dan Suryadi

(2012) menggunakan Nystatin sebagai kontrol positif dan mendapatkan diameter

zona hambat yang sedang sehingga dapat digunakan sebagai acuan untuk

menentukan efektif tidaknya ekstrak berbagai jenis lamun dalam menghambat

pertumbuhan fungi.
44

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Ekstrak berbagai jenis lamun yang berasal dari Pulau Bonebatang dan Pulau

Laelae memiliki aktivitas terhadap fungi Candida albicans, tetapi ekstrak lamun yang

memiliki potensi sebagai antifungi Candida albicans adalah ekstrak lamun Enhalus

acoroides, Thalassia hemprichii, dan Cymodocea rotundata.

B. Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai uji potensi antifungi ekstrak

berbagai jenis lamun dengan menggunakan beberapa fungi patogen dan juga

dengan konsentrasi yang bervariasi.


45

DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, S.S. 1992. Teknik Kimia Organik. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam. Jurusan Kimia. Institut Pertanian Bogor.

Ali M.S, Ravikumar S., and Beula J.M, 2012. Bioactivity of seagrass against the
dengue fever mosquito Aedes aegypti larvae . Asian Pacific Journal of
Tropical Biomedicine (2012)1-5.

Anwariyah,S. 2011. Kandungan Fenol dan Antioksidan dari Lamun Cymodocea


rotundata. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian
Bogor.

Asaf,R. 2009. Keterkaitan Kondisi Habitat Sponge dengan Kandungan Metabolit


Sekunder Sponge. Tesis. Pascasarjana Jurusan Pengelolaan Lingkungan
Hidup. Universitas Hasanuddin. Makassar.

Atlas, R.M. 1993. Handbook of Microbiological. Media Medi CRC Press. Boca
Raron, Florida ISBN: 0-8493-2944-2.

Azkab, H. 2006. Ada Apa Dengan Lamun. Jurnal Oseana LIPI. XXXI. 3: 45-55.

Azkab,H. 1999. Dekomposisi Lamun. Jurnal Oseana. XXIV. 4: 11-20.

Baker, K.F and Cook, R.J. 1974. Biological Control of Plants Pathogens. San
Francisco: WH. Freeman.

Bengen, DG. 2004. Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut serta Prinsip
Pengelolaannya. Bogor. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan.
Institut Pertanian Bogor.

Biswas, S.K and Chaffin, W.L. 2005. Anaerobic Growth of Candida albicans does
nont support biofilm formation under similar condition used for aerobic biofilm
Current Mikcrobiologi. Journal. 51(2): 100-4.

Dahuri R., Rais J., Ginting SP, dan Sitepu MJ. 1996. Pengelolaan Sumberdaya
Pesisir dan Lautan. Jakarta: Penebit Pradnya Paramita.

Den Hartog,C. 1970. The Seagrass of The World. Verhandeligen Der Koninklijke
Nederlandse Akademie.

Dewi. 2011. Telaah Fitokimia dan Uji Hayati Pendahuluan Lamun Enhalus
acoroides. (Online). http://bahan-alam.fa.itb.ac.id . Diakses 13 Oktober 2011.

Djide, M.N., dan Sartini. 2006. Mikrobiologi Farmasi Dasar. ISBN, Makassar.

Dumilah,S.S. 1992. Candida albicans dan Kandidiasis pada Manusia. FKUI. Jakarta.
46

Dwidjoseputro,D. 2003. Dasar-dasar Mikrobiologi. Djambatan. Jakarta.

Gandjar I., Sjamsuridzal W., dan Oetari A. 2006. Mikologi: Dasar dan terapan.
Yayasan Obor Indonesia. Jakarta: xii+234 hlm.

Giang, H. 2010. Uji Daya Hambat Ekstrak Karang Lunak (Octocorallia: Alcyonacea)
Jenis Sinularia spp Terhadap Candida albicans Dari Kepulauan Spermonde,
Kota Makassar. Skripsi. Makassar. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan
Universitas Hasanuddin.

Hadfield, M.G., and Paul, V.J. 2001. Natural chemical cues for settlement and
metamorphosis of marine invertebrate larvae. In Marine Chemical Ecology, J.
B. McClintock and W.Baker, eds.CRC. Press pp. 431-461.

Harborne,J.B. 1987. Metode Fitokimia: Penuntun cara modern menganalisis


tumbuhan. Kokasih Padmawita, Iwang Soediro. Penerjemah. Bandung: ITB.
Terjemahan dari: Phytochemical methods.

Haris, A., Arniati, M., Sulaiman, G., and Benny, A. 2012. Potensi Antimikroba dan
Toksisitas Ekstrak Lamun dan Bakteri Simbionnya dari Kepulauan
Spermonde, Kota Makassar. Laporan Akhir. Lembaga Penelitian Universitas
Hasanuddin. Makassar.

Heat, HB and Reineocius, G. 1986. Flavor Chemistry and Tecnology,. The AVI.
Publishing Co.Inc. Westport. Connecticut.

Helglmeir, A., and Zidorn,C. 2010. Secondary metabolites of Posidonia oceanic


(Posidoniaceae). Journal Biochemical Systematic and Ecology. 38:964-970.

Higa,T. 1991. Bioactive Phenolics and related Compounds. Di dalam: P.J.Scheuer


editor. Bioorganic Marine Chemistry. Spring-Verlag. Berlin
Heidetberg.Jawetz, E., Melnick, J., and Adelberg, E. 1996. Mikrobiologi
Kedokteran. Ed ke-20. Nugroho, E., Maulany, F. R., penerjemah; Jakarta:
Buku Kedokteran. Terjemahan dari: Review of Medical Mikcrobiology.

Jawetz, M. 2004. Mikrobiologi Kelautan. Edisi 23. Alih Bahasa: Huriwati Hartanto.
Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran ECG.

Kadir, H. 2013. Biokonsentrasi Logam Berat Pb Pada Karang Lunak Sinularia


polydactyla Di Perairan Pulau Laelae, Pulau Bonebatang, dan Pulau Badi.
Skripsi. Makassar. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas
Hasanuddin.

Ketaren, S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta. UI-
Press.

Kurniawan,I. 2009. Sebaran Makrozoobentos pada Zona Intertidal di Perairan Pulau


Laelae Kota Makassar. Skripsi. Makassar. Fakultas Ilmu Kelautan dan
Perikanan Universitas Hasanuddin.
47

Kusumaningtyas, E. 2009. Mekanisme Infeksi Candida albicans pada permukaan


sel. Jurnal. Lokakarya Nasional Penyakit Zoonis. Balai Penelitian Veteriner.
Bogor.

Lanyon, J., Limpus, C.J., and Marsh, H. 1989. Dugongs and turtles: grazers on
seagrass system. In: Biology of Seagrass. A treatise on the biology of
seagrasses with a apecial refrence to the Australian region. Eds A W D
Larkum. A J McComb and S A Sheperd. Pg 610-614. Elsevier. Amesterdam.

Lisdayanti, E. 2013. Potensi Antibakteri Dari Bakteri Asosiasi Lamun (Seagrass) Dari
Pulau Bonebatang Perairan Kota Makassar. Skripsi. Makassar. Fakutas Ilmu
Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin.

Lodder,J. 1970. The Yeast:: A Taxonomic Study Second Revised and Enlarged
Edition. The netherland. Northolland Publishing Co. Amsterdam.

Lutfiyanti, R., Widodo F.M., dan Eko N.D. 2012. Aktivitas Antijamur Senyawa Bioaktif
Ekstrak Gelidium latifolium Terhadap Candida albicans.Jurnal Pengolahan
dan Bioteknologi Hasil Perikanan. 1. No.1:1-8.

Malthaputri,E.R. 2007. Kajian aktivitas antimikroba ekstrak kulit kayu mesoyi


Cryptocaria massoia terhadap bakteri pathogen dan pembusuk pangan.
Skripsi. Bogor. Fakutas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor.

Mansur,A.N. 1990. Mikrobiologi untuk Profesi Kesehatan. EGC. Jakarta.

Marsh, S. 1977. The selective capsaicin antagonistcapsazepine abolishes the


antinociceptive action of eugenol and guaiacol. Journal Dental Research.
76:848-851.

Munira, Sulistino dan Zairion. 2010. Hubungan Panjang Bobot dan Pertumbuhan
Ikan Beronang Siganus canaliculatus di Padang Lamun Selat Lonthoir
Kepulauan Banda Maluku. J.Iktiol. 10(2): 153-163.

Nabaing, N. 2006. Uji Bioaktivitas Ekstrak Kasar dan Fraksinasi Ekstrak Spons Laut
Demospongiae dari Perairan Pulau Laelae terhadap Bakteri Staphylococus
aureus dan Escherichia coli. Skripsi. Makassar. Fakultas Ilmu Kelautan dan
Perikanan. Universitas Hasanuddin.

Najib, A. 2009. Tanin. (Onine). http://nadjeeb.files.wordpress.com/2009/03/tanin.pdf.


Diakses 01 Agustus 2013.

Nurfadilah. 2013. Uji Bioaktivitas Antibakteri Ekstrak Dan Fraksi Lamun Dari
Kepulauan Spermonde, Kota Makassar. Skripsi. Makassar. Fakutas Ilmu
Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin.

Nybakken,J.W. 1992. Biologi Laut sebagai Suatu Pendekatan Ekologis.


PT.Gramedia. Jakarta.
48

Pambudi, B. K., Radjasa, O., dan Aryani, S. 2009. Uji Antibakteri Patogen dan
Antijamur Patogen dari Bakteri Lamun. Jurnal. 1:1-6.

Perez-Jimenez, J., and Saura-Calixto, F. 2006. Effect of solvent and certain food
constituents on different antioxidant capacity assays. Journal of Food
Research International 39:791-800. Putri WS, Supriyanti FMT, Zackiyah.
2010.

Pelczar, M.J and Chan, E.C.S. 2005. Dasar-dasar mikrobiologi. Jakarta: UI Press.

Philips, R.C. and Menez G. 1988. Seagrasses. Smithsonian Inst. Press. Washington.
193 pp.

Pradheeba, M., Dilipan, E., Nobi P., Thangaradjou, T., and Sivakumar, K. 2010.
Evaluation of seagrasses for Their Nutritional Value. Indian Journal of Geo-
Marine Sciences. 40: 105-111.

Priosambodo,D. 2011. Struktur Komunitas Makrozoobentos di Daerah Padang


Lamun Pulau Bonebatang Sulawesi Selatan. Tesis. Bogor. Pascasarjana.
Institut Pertanian Bogor.

Rahman,N dan Aditya,R.K. 2010. Uji Fungistatik Ekstrak Daun Sirih Terhadap
Candida albicans. Jurnal Bioscientiae. 7: 2.

Ravikumar, S., Thajuddin, N., Suganthi, S., Jacob, S., and Vinodkumar. 2008.
Bioactive Potential Of Seagrass Bacteria Against Human Bacterial
Pathogens. Journal of Environmental Biology. 31: 387-389.

Ridawati, Alsuhendra, dan Sastanovia, R. 2008. Ekstraksi Senyawa Berpotensi


Antimikroba Dari Gambir (Uncaria Gambir Roxb) dan Pemanfaatannya
Dalam Pembuatan Permen Jelly. Jurnal. 1:1-15.

Riskillah, A.G., 2010. Candida albican. Faculty of Medicine. University of Riau.


Pekanbaru.

Sadar, M. 2004. Distribusi Spasial Kima (Tridacnidae) Berdasarkan Kedalaman Di


Kepulauan Spermonde. Skripsi. Makassar. Fakutas Ilmu Kelautan dan
Perikanan Universitas Hasanuddin.

Schlegal, G. H. 1993. General Microbiologi seventh edition. Cambrige University


Press. USA.

Siswandono dan Soekardjo, B. 2000. Kimia Medisinal. Edisi 2. Surabaya: Airlangga


University Press. Hal:291-303.

Steinberg, L., Dahl, R., Keating, D., Kupfer, D. J., Masten, A. S. and Pine, D. 2006.
The study of developmental psychopathology in a dolescence: Integratinga
affective neouroscience with the study of context. In D. Ciccetti & D. Cohen
49

(Eds). Handbook of developmental psychopathology. PP: 710-741.


Hoboken,NJ: Wiley.

Subhisha, S. 2005. Antifungal Activities of a Steroid From Pallavicinia lyllii a


Liverwort. Tropical Botanic Garden and Research Institute.

Sulistyawati, D and Mulyati, S. 2009. Uji Aktivitas Antijamur Infusa Daun Jambu
Mete ( Anacardium occidentale) Terhadap Candida albicans. Jurnal
Biomedika. 2:1.

Sumarsih, S. 2003. Mikrobiologi Dasar. Universitas Pembangunan Nasional Veteran.


Yogyakarta.

Supriadi. 2002. Optimalisasi Ekstraksi Komponen Bioaktif Daun Tabat Barito Ficus
deltoidea. Skripsi. Bogor. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian
Bogor.

Suryadi. 2012. Skrining fungi simbion dri alga hijau Ulva reticulata sebagai penghasil
senyawa antimikroba. Skripsi tidak diterbitkan. Makassar. Fakultas Farmasi
Universitas Hasanuddin.Tajy,T.H and Rahardja, K. 2003. Obat-obat Penting.
5th. Penerbit PT. Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia. Jakarta. 91-
104.

Tjampakasari,C. R. 2010. Karakteristik Candida albicans. Jurnal Cermin Dunia


Kedokteran. 151: 33-36.

Ukhty, N. 2011. Kandungan Fenol dan Antioksidan dari Lamun Syringodium


isoetifolium. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian
Bogor.

Utami, E.R,. 2012. Antibiotika, Resistensi, dan, Rasionalitas Terapi. Jurnal Sainstis.
1: 124-138.

Waluyo, L. 2004. Mikrobiologi Umum. Universitas Muhammadiyah. Malang Press.


Malang.

Waluyo, L. 2009. Teknik dan Metode Dasar Mikrobiologi. Universitas


Muhammadiyah. Malang Press. Malang.

Watson and Preedy, V. 2007. The Encyclopedia of Vitamin E. CABI Publishing.


London.

Wattimena, et al. 1991. Farmakodinamik dan Terapi Antibiotik. Yogyakarta. UGM.


Pr.

Waycott, M.,K. McMahon, J. Mellors, A. Calladine, and D.Kleine. 2004. A Guide to


Tropical Seagrasses of the Indo-West Pacific. James Cook University,
Townsville-Queensland-Australia.
50

Wiethuchter A. 2009. Interaction between benthic fauna in an Indonesian seagrass


bed-with special focus on the ecology of Indo-Pacific Pinnidae (Bivalvia).
Diploma Thesis. Kiel Germany: Christian-Albrechts University.

Wikipedia (tanpa tahun). Candida albicans. (Online). http://www.id.wikipedia.org.


Diakses 13 Oktober 2012.

Wisesspongpand, P., Srisimbat, T., Patarajinda, S., Aryuttaka, C. 2005. Screening of


Seagrass extracts For Antimicrobial Activities. Proceedings of 43rd Kasetsart
University Annual Confrence. Thailand.

Anda mungkin juga menyukai