Anda di halaman 1dari 74

UJI EKSTRAK SARANG BURUNG WALET Collocalia fuciphaga

MENGGUNAKAN PELARUT METANOL DALAM


MENGHAMBATPERTUMBUHAN Propionibacterium acnes DAN
Candida albicans

CITRA UTAMI PUTRI UMAR


H411 14 005

DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
UJI ANTIMIKROBA EKSTRAK SARANG BURUNG WALET
Collocalia fuciphaga MENGGUNAKAN PELARUT METANOL DALAM
MENGHAMBAT PERTUMBUHAN Propionibacterium acnes DAN
Candida albicans

Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Sains

CITRA UTAMI PUTRI UMAR


H411 14 005

DEPARTEMENBIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2017

ii
HALAMAN PERSEMBAHAN

Barang siapa bekerja dengan bersungguh-sungguh,

Niscaya ada hasil indah yang akan dituai

Berawal dari Bismillah,

Satu demi satu huruf pada keyboard ku ketik hingga


membentuk sebuah kata,

Ku mulai menyusun kata demi kata

hingga menjadi kalimat,

Ku untai setiap kalimat hingga cukup

untuk dijadikan paragraf,

Paragraf, gambar, table, ku susun hingga terselesaikanlah


Skripsi ini.

kupersembahkan karya kecil ini,

kepada Ayah dan Ibu tercinta,

yang senantiasa selalu memberi dukungan serta doa


disetiap langkah ku,

iii
iv
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah rabbil ‘alamin puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat

Allah SWT. Karena dengan rahmat dan hidayah-Nya yang telah dilimpahkan

kepada umat manusia. Dan tak lupa kami kirimkan shalawat dan salam atas

junjungan Nabi Besar Muhammad SAW. Yang telah diutus untuk membawa

rahmat berupa ajaran Islam dan sebagai tauladan bagi kita semua sehingga penulis

dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Uji Ekstrak Sarang Burung Walet

Collocalia fuciphaga Menggunakan Pelarut Metanol Dalam Menghambat

Pertumbuhan Propionibacterium acnes dan Candida albicans” yang merupakan

salah satu syarat untuk menyelesaikan jenjang Strata Satu (S1) Departemen

Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas

Hasanuddin, Makassar.

Banyak kendala yang penulis hadapi dalam penyusunan skripsi ini, sejak

dari merencanakan penelitian, jalannya penelitian hingga dalam tahap penyusunan

laporan. Namun berkat doa, dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, akhirnya

penulis dapat melewati kendala-kendala tersebut. Oleh karena itu penulis dengan

tulus menghaturkan banyak terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya

kepada kedua orang tua tercinta Ayahanda Muh. Zubir Umar & Ibunda ISA, S.Pd

atas doa, semangat, arahan, dan kasih sayang yang tak terbatas serta segala bentuk

motivasi yang telah diberikan kepada penulis selama menempuh pendidikan

sampai di tingkat perguruan tinggi. Kepada saudari penulis Hirda Ainun Jariah

Umar, Hirna Ummul Mu‟minin Umar, dan Bungsu ku Ananda Ratu Dirayah

v
Umar, terima kasih untuk kesabaran, ketabahan, dukungan dan doa yang selalu

ada untuk penulis. Terima kasih kepada Zulkifly yang selama ini senantiasa

mendampingi dalam suka dan duka, mulai dari registrasi pendaftaran, mencari

sampel praktikum, kerja laporan, kuliah lapangan, KKN hingga menyelesaikan

pendidikan S1.

Terima kasih dan penghargaan sebesar-besarnya kepada selaku

pembimbing Ibu Prof. Dr. Hj. Dirayah R. Husain, DEA, Bapak Drs. Asadi

Abdullah, M.Si, dan Bapak Dr. Sulfahri, M.Si yang telah membantu dan

membimbing penulis dalam melaksanakan penelitian dan penulisan skiripsi.

Terima kasih atas segala bimbingan, doa, dukungan, perhatian, semangat, waktu,

saran dan motivasi yang membantu penulis selama proses penulisan skripsi ini

sampai selesai.

Selain itu tak lupa penulis menghaturkan terima kasih dan penghargaan

sedalam-dalamnya kepada:

 Bapak Dr. Eng. Amiruddin selaku Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu

Pengetahuan Alam (FMIPA) Makassar beserta jajarannya.

 Ibu Dr. Zohra Hasyim, M.Si selaku Ketua Departemen Biologi Fakultas

Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) UNHAS Makassar beserta

staf dosen dan pengawai.

 Bapak/Ibu Dosen dan pegawai Departemen Biologi yang senantiasa membantu

penulis sehingga dapat mencapai gelar sarjana.

 Kepada Tim Penguji Skripsi Ibu Dr. Eva Johannes, M.Si, Ibu Dr. Syahribulan,

M.Si, Ibu Dr. Zohra Hasyim, M.Si dan Bapak Dr. Fachruddin, M.Si yang telah

membantu penulis dalam menyempurnakan skripsi melalui kritik dan sarannya.

vi
 Staf bagian Laboratorium Mikrobiologi Kedokteran Pak Markus yang telah

membantu dalam menyelesaikan penelitian hingga terselesainya skripsi ini.

Terima kasih juga kepada Mbak Ardini Pangestuti, S.Pd. M.Pd dan Mbak

Rista Citra S.Pd atas bantuan dan kerja samanya dalam menyelesaikan

penelitian di Malang hingga terselesainya skripsi ini.

 Rekan sepenelitian Israini Wiyulanda yang senantiasa menyemangati saat

peneilitan. Terimakasih Atas dukungan, pikiran dan kesediaannya berbagi suka

dan duka selama penelitian ini berlangsung.

 Sahabat yang telah kuanggap sebagai saudara Darmia Mansyur A.Md. Keb.

Mardawati A.Md. Kg. dan Kiki Hardianti A.Md. Ft. yang telah meluangkan

waktunya untuk menghibur selama berlangsungnya penelitian ini. Terimakasih

atas segala doa, semangat, motivasi, dorongan, dan pikiran selama penelitian

ini berlangsung.

 Saudara dan saudariku tercinta Biologi Unhas Angkatan 2014, terima kasih

untuk persahabatan, kebersamaan, kebahagiaan yang telah kita lalui bersama,

penulis tidak akan melupakannya.

 Keluarga Kuliah Kerja Nyata (KKN) Marusu Gelombang 96 Desa Ma‟rumpa,

Ardy, Sukma Hidayanti Nur, Dwi Mustika Pratiwi, Aslih Wulandari Prayogi,

dan Sumardiansa, yang selalu memberikan keceriaan, pikiran, ide dan

semangat kepada penulis untuk menyelesaikan skiripsi.

 Semua pihak yang tidak sempat disebutkan satu persatu.

Karya ini penulis persembahkan terkhusus kepada orangtua dan keluarga

tercinta karena penulis tidak akan sampai pada titik ini tanpa dukungan, doa, kasih

sayang, dan perhatian yang selalu tercurah selama penyusunan karya ini, terima

vii
kasih. Akhirnya semoga skripsi ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu

pengetahuan kelak.

Makassar, 21 Desember 2017

Penulis

viii
ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian tentang uji ekstrak sarang burung walet


Collocalia fuciphaga menggunakan pelarut methanol dalam menghambat
pertumbuhan Propionibacterium acne dan Candida albcans. Tujuan penelitian
ini untuk mengetahui konsentrasi yang efektif dari ekstrak sarang burung walet
dalam menghambat pertumbuhan Propionibacterium acne dan Candida
albicans serta memprediksi potensi afinitas pengikatan senyawa alamiah dengan
protein target dan ligan melalui teknik reverse docking. Hasil yang diperoleh
dari uji daya hambat Ekstrak metanol sarang burung walet pada konsentrasi
2,5%, 5%, 10%, 20%, dan 40% terhadap Propionibacterium acne memberikan
zona hambat pada inkubasi 1x24 jam dan 2x24 jam. Untuk inkubasi 1x24 jam
pada konsentrasi 2,5% sebesar 7,1 mm, konsentrasi 5% sebesar 7,1 mm,
konsentrasi 10% sebesar 7,1 mm, konsentrasi 20% sebesar 7,5 dan 40% sebesar
9,5 mm. sedangkan untuk inkubasi 2x24 jam pada konsentrasi 2,5% sebesar 7,8
mm, konsentrasi 5% sebesar 8,6 mm, konsentrasi 10% sebesar 7,9 mm,
konsentrasi 20% sebesar 8,8 dan 40% sebesar 9,5 mm. Hasil yang diperoleh
dari uji daya hambat ekstrak metanol sarang burung walet pada konsentrasi
2,5%, 5%, 10%, 20%, dan 40% terhadap Candida albicans tidak menghasilkan
zona hambat pada masa inkubasi 1x24 jam, 2x24 jam, dan 3x24 jam. Uji in
silico sarang burung walet yang memiliki senyawa alami berupa Sialic acid dan
D-Galactose direaksikan dengan protein target dari Candida albicans berupa
Beta galactosidase dan Monosyl oligosakarida serta Kifunensine sebagai ligan.
Senyawa alami, Protein target dan ligan kemudian dilakukan Reverse Docking.
Hasil dari Reverse Docking menggunakan PyMol adalah Terdapat afinitas
pengikatan senyawa D-Galaktose dan sialic acid pada monosyl oligosakarida di
site yang sama pada uji in silico ekstrak sarang burung walet Collocalia
fuciphaga sehingga terbukti mampu menghambat tetapi bersifat nonpolar.

Kata kunci : Ekstrak Metanol Sarang Burung Walet Collocalia fuciphaga, Uji In
silico Candida albicans melalui Reverse Docking.

ix
ABSTRAC

It has been conducted the research about the test of Edible bird‟s nest
extract Collocalia fuciphaga by using methanol solution in blocking the growth of
Propionibacterium acne and Candida albicans. The aim of this research is to
know the effective concentration of Edible bird‟s nest extract in blocking the
growth of Propionibacterium acne and Candida albicans and also to predict the
afinity‟s potential of natural compound‟s binding with the target of protein and
ligan through reverse docking‟s tehnique. The result which was obtained by the
test of blocking capacity of Edible bird‟s nest methanol extract on the
concentration 2,5%, 5%, 10%, 20%, and 40% toward Propionibacterium acne
gave the blocking zone on the incubation 1x24 hours and 2x24 hours. For 1x24
hours of incubation on the concentration 2,5% is around 7,1 mm, the
concentration 5% is around 7,1 mm, the concentration 10% is around 7,1 mm, the
concentration 20% is around 7,5 mm and the concentration 40% is around 9,5
mm. whereas, for 2x24 hours of incubation on the concentration 2,5% is around
7,8 mm, the concentration 5% is around 8,6 mm, the concentration 10% is around
7,9 mm, the concentration 20% is around 8,8 mm and the concentration 40% is
around 9,5 mm. The result which was obtained from the test of blocking capacity
of Edible bird‟s nest methanol extract on the concentration 2,5%, 5%, 10%, 20%,
and 40% toward Candida albicans was not produced the blocking capacity on the
incubation period of 1x24 hours, 2x24 hours and 3x24 hours. In silico test of
Edible bird‟s nest which has the natural compound of Sialic acid and D-Galactose
was reacted with target protein of Candida albicans, namely; Beta galactosidase
and Monosyl oligosakarida and also Kifunensine as ligan. Then, natural
compound, target protein and ligan were conducted Reverse Docking on them.
The result of Reverse Docking by using PyMol was there is compound binding‟s
afinity of D-Galaktose and sialic acid on monosyl oligosakarida at the same site
on the In silico test of Edible bird‟s nest extract Collocalia fuciphaga. So, it was
proven in blocking ability but it has nonpolar characteristic.

Key words: Methanol Extract, Edible bird‟s nest Collocalia fuciphaga, In Silico
Test of Candida albicans through Reverse Docking.

x
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ....................................................................................................... ii


HALAMAN PERSEMBAHAN..................................................................................... iii
HALAMAN PENGESAHAN ............................................. Error! Bookmark not defined.
KATA PENGANTAR .....................................................................................................iv
ABSTRAK .......................................................................................................................ix
ABSTRAC ........................................................................................................................ x
DAFTAR ISI ...................................................................................................................xi
DAFTAR TABEL ........................................................................................................ xiii
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................................. xv
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................. 1
I.1 Latar Belakang ...................................................................................................... 1
I.2 TujuanPenelitian .................................................................................................... 5
I.3 Manfaat Penelitian ................................................................................................. 5
I.4 Waktu dan Tempat Penelitian ............................................................................... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................................... 7
II.1 Tinjauan Umum Burung Walet ........................................................................... 7
II.1.1 Habitat Burung Walet ................................................................................... 9
II.2 Tinjauan Umum Sarang Burung Walet ............................................................ 10
II.2.1 Asal Usul Sarang Burung Walet Di Indonesia .......................................... 11
II.2.2 Jenis-Jenis Sarang Burung Walet ............................................................... 11
II.2.3 Kandungan Sarang Burung Walet Putih Collocalia fuciphaga ................ 13
II.2.4 Kualitas Sarang Burung Walet Putih Collocalia fuciphaga ...................... 16
II.3 Tinjauan Umum Bakteri Propionibacterium acnes........................................... 17
II.3.1 Klasikasi Propionibacterium acnes .............................................................. 18
II.4 Tinjauan Umum Jamur Candida albicans......................................................... 18
II.4.1 Klasfikasi Jamur Candida albicans ............................................................. 20
II.4.3 Penyakit yang disebabkan oleh Candida albicans ...................................... 20
II.5 Tinjauan Umum Antimikroba ........................................................................... 20
II.5.1 Mekanisme Kerja Antimikroba .................................................................. 21
II.5.2 Efektivitas Antimikroba .............................................................................. 24
II.6 Tinjauan Umum Antifungi ................................................................................. 24
II.6.1 Pengujian Aktivitas Bahan Antijamur ....................................................... 25
BAB III METODE PENELITIAN ............................................................................... 27

xi
III.1 Alat dan Bahan .................................................................................................. 27
III.1.1 Alat .............................................................................................................. 27
III.1.2 Bahan........................................................................................................... 27
III.2 Metode Kerja ..................................................................................................... 27
III.2.1 Sterilisasi Alat ............................................................................................. 27
III.2.2 Penyiapan Sampel Penelitian ..................................................................... 28
III.2.3 Pembuatan Medium NA (Nutrien Agar) ................................................... 28
III.2.4 Pembuatan Media PDA (Potato Dextrosa Agar) ....................................... 29
III.2.5 Pembuatan Medium MH (Mueller Hinton) Agar ..................................... 29
III.2.6 Pembuatan Medium NB (Nutrien Broth) .................................................. 29
III.2.7 Peremajaan Bakteri Uji ............................................................................. 30
III.2.8 Suspensi Bakteri Uji ................................................................................... 30
III.2.9 Penyiapan Larutan Kontrol Bakteri Uji ................................................... 30
III.2.10 Peremajaan Jamur Uji ............................................................................. 30
III.2.11 Pembuan Suspensi Jamur Uji .................................................................. 30
III.2.12 Penyiapan Larutan Kontrol Bakteri Uji ................................................. 31
III.2.13 Penyiapan Variasi Konsentrasi Larutan Uji .......................................... 31
III.2.14 Uji Daya Hambat Ekstrak Sarang Burung Walet terhadap bakteri
Propionibacterium acnes ........................................................................................ 31
III.2.15 Uji Daya Hambat Ekstrak Sarang Burung Walet terhadap Jamur
Candida albicans ..................................................................................................... 32
III.2.16 Pengamaan Zona Hambatan ................................................................... 32
III.2.17 Uji In Silico................................................................................................ 33
III.2.18 Analisis Data ............................................................................................. 33
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................ 34
IV.1 Ekstrak Sarang Burung Walet Collocalia fuciphaga ..................................... 34
IV.1.1 Uji Daya Hambat Ekstrak Sarang Burung Walet Collocalia fuciphaga
Terhadap bakteri Propionibacterium acne dan Jamur Candida albicans .............. 35
IV.2 Uji In silico ekstrak sarang burung walet ....................................................... 42
IV.2.1 Hasil Koleksi Struktur 3 Dimensi Senyawa dan Protein target ............. 44
IV.2.2 Hasil Prediksi Protein Target ................................................................... 44
IV.2.3 Hasil Reverse Docking ................................................................................ 45
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................................... 49
V.1 Kesimpulan ......................................................................................................... 49
V.2 Saran ................................................................................................................... 49
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 50

xii
DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Distribusi asam amino (mg / g) dari Sarang Burung Walet Collocalia


fuciphaga …..............................................................................................14
2. Asam Amino yang Terkandung dalam Sarang Burung Walet
………………………………………………………………..…………..15
3. Hasil pengamatan zona hambat ekstrak Sarang Burung Walet Collocalia
fuciphaga terhadap bakteri Propionibacterium acne …………………....36
4. Hasil pengamatan zona hambat ekstrak Sarang Burung Walet Collocalia
fuciphaga terhadap jamur Candida albicans ………….………………...38

xiii
DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

5. Burung Walet Collocalia fuciphaga………………………………...............7


6. Sarang Burung Walet Collocalia fuciphaga………………….………...….10
7. Serbuk Sarang Burung Walet Collocalia fuciphaga……………..……...…34
8. Proses Pengilingan Sarang Burung Walet Collocalia
fuciphaga……………………………………………………………….......34
9. Sarang Burung Walet Collocalia fuciphaga yang telah dibersikan…........ 34
10. Proses evaporasi maserat dari Sarang Burung Walet Collocalia
fuciphaga………………………………………………….………….…….35
11. Ekstrak kental Sarang Burung Walet Collocalia fuciphaga….……………35
12. Pengujian daya hambat ekstrak Sarang Burung Walet Collocalia fuciphaga
dalam menghambat pertumbuhan bakteri Propionibacterium acne
……………………………………………………………………………...37
13. Pengujian daya hambat ekstrak Sarang Burung Walet Collocalia fuciphaga
dalam menghambat pertumbuhan Jamur Candida albicans
……………………………………………………….………………..……40
14. Struktur 3 dimensi senyawa D-Galactose dan Struktur 3 dimensi senyawa
Sialic Acid dimodelkan dengan software
PyMol……………………………………………………………..………..44
15. Struktur 3 dimensi protein Beta galactosidase dan Monosyl
oligosakarida…………………………………………………………….....45
16. Site pengikatan sialic acid (merah), dan 4-chloromercurib dengan Beta
Galactosidase (hijau)………………..……………………………………...45
17. Site pengikatan D-Galactose (merah), sialic acid (kuning), dan Kifunensine
(biru) dengan Monosyl Oligosakarida
(hijau)………………………………………………………………….……47

xiv
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

18. Skema Kerja Pembuatan Ekstrak Kasar (Metanol) Sarang Burung Walet
Collocalia fuciphaga................................................................................. 55
19. Skema Uji Daya Hambat Ekstrak Kasar Sarang Burung Walet Colloalia
fuciphaga Terhadap Propionibacterium acne dan Candida
albicans……........................................................................................... ..56
20. Proses Pengerjaan Penelitian .................................................................... 57

xv
BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Collocalia fuciphaga merupakan spesies dari burung yang menghasilkan

sarang dengan nilai ekonomi tinggi. Indonesia merupakan negara penghasil sarang

burung walet yang cukup banyak. Budidaya burung walet di Indonesia dilakukan

sejak abad ke-18. Budidaya tersebut dapat mempengaruhi hasil produksi Sarang

Burung Walet disetiap tahunnya. Indonesia memenuhi 80% kebutuhan Sarang

Burung Walet dunia dan salah satu konsumen utama Sarang Burung Walet

produksi Indonesia adalah negara China. Negara China mengkonsumsi hampir

60% pasar Sarang Burung Walet dunia (Andayani, 2012). Sarang Burung Walet

merupakan sarang yang dihasilkan dari produksi air liur dari beberapa spesies.

Spesies yang mampu menghasilkan sarang dari air liur tersebar di Asia Tenggara,

di antaranya Indonesia, Malaysia, Vietnam serta Thailand (Guo et al., 2014).

Kualitas Sarang Burung Walet tergantung pada jenis spesies, jenis pakan,

dan musim pembuatan sarangnya. Produktifitas Sarang Burung Walet dipengaruhi

oleh habitat mikro. Habitat mikro yang dimaksud adalah lingkungan di dalam

gedung tempat walet beristirahat, bertelur dan membesarkan anak-anak yang telah

menetas. Habitat mikro bersifat setempat sehingga dapat dengan mudah

dikondisikan sesuai kebutuhkan Burung Walet (Hakim, 2011). Habitat burung

walet banyak ditemukan pada ruko atau bangunan lainnya yang telah dirancang

sebagai tempat peternakan burung ini (Conolly, 2016).


Sarang Burung Walet sangat banyak di konsumsi oleh masyarakat Cina

sebagai tonik makanan dan makanan fungsional. Masyarakat mempercayai

bahwa Sarang Burung Walet memiliki banyak manfaat salah satunya sebagai

obat. Sarang Burung Walet sudah dikenal di Cina sejak abad ke-14, dan dijadikan

makanan khas para raja. Kerajaan Cina kuno telah menggunakan Sarang Burung

Walet sebagai makanan wajib karena memiliki cita rasa yang lezat dan juga

sebagai obat alternatif. Pengolahan Sarang Burung Walet oleh masyarakat Cina

kuno yaitu dengan cara direndam dengan air selama beberapa menit kemudian

dikonsumsi langsung (Chua et al., 2016).

Selain diolah sebagai obat, masyarakat Cina telah menggunakan Sarang

Burung Walet untuk merawat kecantikan kulit mereka secara turun-temurun.

Sarang Burung Walet mengandung EGF (Epidermal Growth Factor) yang

berfungsi memperbaiki tekstur jaringan serta meremajakan kulit, EGF juga

berperan dalam regenerasi sel kulit rusak. Kerusakan sel kulit biasanya

disebabkan oleh luka (Aswir, 2011).

Pada saat luka terbentuk dan terpapar oleh udara akan menjadi tempat

berkembangnya bakteri ataupun jamur. Contamined Wounds (Luka

terontaminasi), termasuk jenis luka terbuka, luka akibat kecelakaan dan operasi

dengan kerusakan besar secara teknik aseptis atau kontaminasi dari saluran cerna.

Selain Contamined Wounds terdapat pula Dirty or Infected Wounds (Luka kotor

atau infeksi), yaitu terdapatnya mikroorganisme pada luka yang terbuka baik

berupa bakteri maupun jamur (Irma, 2014).

2
Acne vulgaris adalah penyakit peradangan kronik folikel pilosebasea

ditandai dengan munculnya komedo, papul, pustul, kista dan nodul yang sering

terjadi pada wajah, leher, dan punggung. Propionibacterium acnes merupakan

organism utama yang memberi kontribusi terhadap terjadinya jerawat pada kulit

(Aida et al., 2016). Jerawat terjadi pada kulit yang banyak mengandung kelenjar

sebasea seperti wajah, dada, dan punggung (Kumar, 2001). Propionibacterium

acnes semakin dikenal sebagai organisme penyebab infeksi. Namun, tidak ada

studi klinis telah meneliti faktor-faktor resiko yang terkait dengan infeksi jerawat

(Haruki et al., 2016). Propionibacterium acnes adalah baktari basil Gram-positif

yang anaerob. Bakteri Proponibacterium acnes merupakan flora normal kulit yang

diisolasi sebagai kontaminan (Berthelot at al., 2006 & Tebruegge et al., 2015).

Jamur dapat masuk kedalam tubuh melalui luka yang sangat kecil.

Beberapa faktor penyebab utama infeksi jamur pada kulit antara lain kondisi yang

lembab serta panas dari lingkungan, dari pakaian ketat, pakaian yang tidak

menyerap keringat, friksi atau trauma minor (gesekan pada penderita obesitas),

keseimbangan flora normal tubuh yang sedang terganggu, serta penyakit tertentu

(Kanti, 2014). Candidis kulit yang terdapat pada lapisan terluar kulit, merupakan

bentuk yang paling sering terinfeksi jamur Candida albicans. Infeksi kulit

terutama terjadi pada bagian-bagian tubuh yang basah, hangat seperti ketiak,

lipatan paha, skrotum, atau lipatan-lipatan dibawah payudara. Infeksi paling

sering terdapat pada orang obesitas. Daerah-daerah yang terinfeksi oleh jamur

Candida albican ini menjadi merah dan mengeluarkan cairan dan dapat

membentuk vesikel. Candida pada kulit antar jari-jari tangan paling sering terjadi

3
juga bila tangan direndam cukup lama dalam air secara berulang kali

(Simatupang, 2009).

Masyarakat yang mengkonsumsi Sarang Burng Walet meyakini

banyaknya khasiat yang diperoleh, antara lain yaitu mempercepat regenerasi sel

kulit yang rusak ketika terjadi luka. Pada saat luka terbentuk dan terpapar udara

terbuka maka akan menjadi tempat berkembang biaknya berbagai macam bakteri.

Perkembang biakan bakteri dapat ditekan melalui pemberian senyawa yang

bersifat antibakteri. Senyawa antibakteri dapat diperoleh dari proses ekstraksi

Sarang Burung Walet. Proses ekstraksi menggunakan pelarut yang baik yaitu

pelarut yang bersifat semi-polar karena mampu menarik senyawa yang bersifat

polar maupun non-polar. Menurut Malekzadeh et al., (2016), Metanol merupakan

pelarut yang bersifat universal sehingga dapat melarutkan analit yang bersifat

polar dan non-polar. Ekstraksi menggunakan pelarut metanol pada sarang burung

walet Collacolia fuchipaga dapat menarik beberapa jenis karbohidrat yang

berpotensi sebagai antimikroba. Menurut Hun et al (2015), sarang burung walet

Collacolia fuchipaga memiliki jenis karbohidrat berupa D-mannitose,

D-galactose, N-acetyl-D-galactosamine, N-acetyl-D-glucosamine dan N-acetyl

neurominate yang bersifat sebagai antimikroba. Beberapa jenis karbohidrat

tersebut menurut McEwaan et al (2008), adalah jenis monosakarida yang berperan

penting adalam proses dari mekanisme adhesin mikroba.

Menurut hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Saengkrajang (2011),

Sarang Burung Walet yang diambil dari daerah Nakhon Provinsi Si Thammarat,

Thailand Selatan, menggunakan ekstrak sarang burung walet dengan metode

4
maserasi memperlihatkan adanya aktivitas antimikroba. Ekstrak Sarang Burung

Walet tersebut mampu menghambat pertumbuhan bakteri dan jamur paling efektif

pada konsentrasi 100 mg/L dengan menggunakan pelarut metanol.

Kualitas sarang burung walet disetiap daerah sangat beragam, dan sangat

dipengaruhi oleh faktor habitat makro dan mikro burung walet. Habitat makro dari

sarang burung walet meliputi daerah tempat burung tersebut mencari makan.

Adapun habitat mikro burung walet yaitu tempat tinggal, tempat bersarang, dan

faktor kelembaban serta suhu yang serupa. Berdasarkan hal tersebut diatas maka

dilakukan pengujian tentang kemampuan antimikroba dari sarang burung walet

menggunakan pelarut metanol pada konsentrasi yang bervariasi dengan spektrum

yang lebih luas terhadap efektivitas antimikroba pada Sarang Burung Walet yang

berada di daerah Pinrang Sulawesi Selatan.

I.2 TujuanPenelitian

1. Mengetahui adanya daya hambat dari ekstrak sarang burung walet pada

pertumbuhan bakteri Propionibacterium acnes dan jamur Candida albicans.

2. Menganalisis potensi senyawa antimikroba dari ekstrak sarang burung walet

Collocalia fuciphaga melalui teknik reverse docking secara in silico

I.3 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan informasi mengenai

kemampuan kerja ekstrak Sarang Burung Walet Collocalia fuciphaga sebagai

antimikroba dalam menghambat pertumbuhan bakteri Propionibacterium acnes

dan jamur Candida albicans.

5
I.4 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan pada Juni – November 2017 di


Laboratorium Mikrobiologi, Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Laboratorium Mikrobiologi dan Immunologi Fakultas
Kedokteran, dan Laboratorium Farmakognosi Fakultas Farmasi, Universitas
Hasanuddin. Adapun pengambilan sampel Sarang Burung Walet Collocalia
fuchipaga yaitu di Kelurahan Pekkabata, Kecamatan Duampanua Kabupaten
Pinrang, Sulawesi Selatan.

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Tinjauan Umum Burung Walet

Walet adalah burung pemakan serangga yang bermigrasi dari samudra

Hindia melalui Asia Tenggara dan Australia Utara Hingga ke Samudra Pasifik.

Diantara berbagai jenis walet dalam genus Collocalia, hanya terdapat empat

spesies yang berhabitat di Asia Tenggara. Spesies tersebut mampu menghasilkan.

sarang dengan nilai komersial, karena di konsumsi oleh manusia. Spesies yang

dimaksud adalah Collocalia fuciphaga, Collocalia maxima, Collocalia germanis,

dan Collocalia unicolor. Spesies burung walet merupakan salah satu komoditi

yang memberikan kontribusi besar terhadap perolehan devisa ekspor nonmigas

(Elfita, 2014).

Gambar 1.1 Burung Walet Collocalia fuciphaga


(Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2017).

7
Spesies walet umumnya dibedakan berdasarkan ukuran tubuh, warna bulu,

dan bahan yang dipakai untuk membuat sarang. Indonesia dengan kondisi

lingkungan yang ideal untuk habitat walet memiliki keenam jenis walet tersebut.

Di dalam klasifikasi, walet termasuk family Apodidae, kakinya lemah, tidak dapat

bertengger, tetapi mempunyai kemampuan terbang yang tinggi dan mampu

terbang sepanjang hari (Budiman, 2005).

Burung walet sebenarnya adalah burung penghuni gua. Gua-gua burung

walet banyak ditemukan di Indonesia. Lokasi tempat gua burung walet terdapat di

Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Aceh, Sumatra Utara, Sumatra Selatan,

Lampung, Bali, dan Sulawesi Selatan. Akan tetapi, diduga bahwa walet tersebar

merata di seluruh daerah di Indonesia karena kondisi alamnya yang cocok. Sosok

tubuh burung walet yang kecil mampu membuat komoditas alami dan buatan .

Adapun ukuran tubuh walet dewasa hanya berkisar 10-16 cm. Sedangkan jenis

kelamin burung walet jantan dan betina sangat sulit dibedakan. Warna bulu

burung walet kehitaman dan kurang menarik. Dari pagi hingga sore hari, burung

ini mampu terbang berburu serangga untuk makanannya. Walet tidak kuat

bertengger karena sepasang kakinya lemah. Kelemahan pada kaki ini diimbangi

dengan kekuatan otot dada. Kemampuan terbang burung walet hingga belasan

jam, memerlukan otot dada yang sangat kuat (Budiman, 2005).

Collocalia fuciphaga merupakan spesies dari burung walet yang

menghasilkan sarang putih dengan nilai ekonomi tinggi. Indonesia merupakan

negara yang menghasilkan sebagian besar Sarang Burung Walet di dunia.

Pengusaha budidaya burung walet di Indonesia dilakukan sejak abad ke-18 dan

8
banyak dikembangkan di luar habitat aslinya, yaitu pada gedung rumah burung

walet (Hakim, 2011).

Menurut Budiman (2011), Burung walet memilih tempat berkembang biak

yang terlindung dari paparan angin, terik matahari, hujan, dan cahaya yang terang.

Tempat tersebut digunakan untuk menempelkan sarang sesuai dengan

kebutuhannya. Selain itu, walet memiliki lokasi yang mempunyai suhu serta

kelembaban sesuai habitatnya. Walet akan memilih gua-gua alam sebagai tempat

pengembangan populasinya dan sebagian walet bersarang di rumah-rumah

penduduk.

II.1.1 Habitat Burung Walet

Habitat adalah tempat yang digunakan untuk mencari pakan, minuman dan

berkembang biak. Secara alami burung walet merupakan penghuni gua batu kapur

yang dikelilingi hutan yang lebat. Burung tersebut menggunakan langit-langit gua

untuk menempelkan sarang sebagai tempat istirahat atau tidur dan berbiak

(Budiman, 2011).

A. Habitat Makro burung walet

Habitat makro merupakan daerah tempat burung walet mencari pakan.

Habitat makro burung walet adalah di sekitar pantai dan daerah yang ditumbuhi

banyak tanaman atau hutan. Habitat mencari pakan yang paling cocok untuk

spesies Collocalia fuciphaga adalah campuran sawah dan telaga (Gosler, 2007).

B. Habitat Mikro Burung Walet

Habitat mikro burung walet adalah tempat burung tersebut tinggal,

bersarang, dan berkembang biak. Habitat mikro terbagi menjadi dua, yaitu gua

dan rumah, yang pada hakekatnya mempunyai sifat ekologis yang serupa dalam

9
hal kelembaban, suhu, dan cahaya. Habitat mikro burung walet yang ideal adalah

daerah yang mempunyai kondisi udara dengan suhu 27-29°C dan kelembabannya

70-95%, tenang, aman, tersembunyi dan tidak banyak terganggu predator

(Sofwan, 2005).

II.2 Tinjauan Umum Sarang Burung Walet

Sarang Burung Walet telah dikenal sebagai sumber makanan yang lezat

sejak ratusan tahun lalu. Bangsa Cina yang mempopulerkannya ke seluruh dunia.

Di Cina, sebenarnya Sarang Burung Walet jarang ditemukan dan termasuk barang

langka. Untuk mendapatkan Sarang Burung Walet, orang Cina harus menghadapi

ombak Laut Cina Selatan. Perdagangan Cina dari dulu sudah merambah ke

seluruh penjuru dunia. Dengan demikian, pedagang Cina yang berjualan ke negara

lain memperkenalkan sarang walet ke daratan Eropa dan Amerika sebagai

komoditas eksklusif (Budiman, 2011).

Menurut Aswir (2011), Sarang Burung Walet adalah sarang yang terbuat

dari saliva burung walet yang mengering dan dibuat saat musim kawin. Berbeda

dengan sarang burung pada umumnya, Sarang Burung walet dapat dikonsumsi.

Gambar 2.1 Sarang Burung Walet Collocalia fuciphaga


(Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2017).

10
II.2.1 Asal Usul Sarang Burung Walet Di Indonesia

Sarang walet di Indonesia mulai dikenal pada tahun 1720. Pada waktu itu,

Lurah Sardana menemukan Sarang Burung Walet di daerah Kebumen, Jawa

Tengah, yaitu di gua Karang Bolong. Gua Karang Bolong tercatat sebagai

penghasil sarang burung pertama yang sangat produktif. Penemuan itu terjadi

secara tidak disengaja. Lurah Sadrana melihat sekelompok walet berterbangan

memasuki gua di tebing pantai. Di dalam gua, terdapat benda keputih-putihan

yang tersebar pada langit-langit dan dinding gua. Lurah Sardana memetik

beberapa buah dan mengirimkannya ke Raja Kartasura sebagai persembahan.

Sarang Burung Walet ini dicoba untuk dibuat masakan oleh koki istana. Setelah

dikenal sebagai sumber makanan yang lezat rasanya dan memiliki gengsi yang

tinggi, Sarang Burung Walet mulai di gemari. Daerah pantai selatan Pulau Jawa

ternyata merupakan tempat yang sesuai untuk perkembangbiakan walet. Secara

alamiah, daerah itu merupakan pantai-pantai karang dengan gua di tebing-tebing

yang menghadap ke laut lepas (Budiman, 2005).

II.2.2 Jenis-Jenis Sarang Burung Walet

Menurut Budiman (2011), Dari beberapa jenis burung walet yang ada,

hanya terdapat 4 jenis walet yang sarangnya bisa dikonsumsi dan laku di jual

antara lain:

A. Sarang Putih yang dihasilkan oleh walet Collocalia fushiphaga

Walet Collocalia fushiphaga membuat sarang yang seluruhnya terbuat dari

air liur. Apabila ada campuran bulu-bulu halus, biasanya jumlahnya tidak banyak.

Warna Sarang Burung Walet ini putih sehingga burung ini disebut edible-nest

swiftlet, yen-ou.

11
Sarang yang dihasilkan rata-rata mempunyai lebar 6-10 cm dengan berat

6-9 gram. Bentuk sarang relatif bagus dan bervariasi tergantung sistem

pemasangan sirip, usia walet, musim dan pola panen. Meskipun sebagian besar

Burung Walet putih ini menghuni gedung rumah walet, tetapi masih ada yang

tinggal di gua-gua alam. Dari segi kualitas, Sarang Burung Walet putih gua masih

di bawah dengan Sarang Burung Walet putih gedung.

B. Sarang Hitam yang Dihasilkan oleh walet Collocalia maxima

Walet Collocalia maxima mempunyai ukuran panjang dari paruh sampai

ekor sebesar 12 cm. Warna bulunya coklat kehitaman dengan warna pada bagian

tungging dan punggung abu-abu. Bentangan sayap selebar 25 cm. paruhnya

hitam. Matanya coklat gelap. Kakinya ditumbuhi bulu-bulu lembut yang

digunakan sebagai penghangat tubuh karena kondisi gua yang bertemperatur

rendah.

Walet Collocalia maxima membangun sarangnya dari campuran air liur

dan bulu-bulunya. Persentase bulu-bulunya kadang sangat banyak dan merata

sehingga memberi kesan Sarang Burung Walet ini berwarna hitam. Oleh sebab

itu, sarang walet ini disebut black-nest Swiftlet, Mo-yen, yaitu sarang hitam.

Kebiasaan walet hitam membuat sarang dengan campuran bulu-bulu diduga

karena kondisi gua yang terlalu lembab sehingga sarang tidak cepat kering. Agar

sarang segera dapat berfungsi sebagai tempat bertelur, walet mencampurnya

dengan bulu-bulu kering dari tubuhnya sebagai “kerangka”. Perkiraan lain adalah

ikut rekatnya bulu-bulu karena air liur yang tidak cepat kering pada saat sarang

dibangun, terlebih bila walet sedang rontok bulu. Sarang walet hitam ini

berukuran kecil sekitar 5-7 cm dengan bentuk yang tidak teratur. Hal itu

disebabkan lekuk-lekuk dinding gua yang tidak rata sehingga sulit bagi walet

membangun sarang dengan baik.

12
C. Sarang yang dihasilkan Oleh Walet Collocalia esculanta

Walet Collocalia esculanta biasa juga disebut burung seriti. Burung ini

disebut pula white bellied swiftlet yang berarti si perut putih. Ukuran panjang

tubuh seriti dari paruh sampai ekor 10 cm, lebar bentangan sayap 21 cm.

Dibandingkan walet, postur tubuh seriti lebih kecil. Warna bulunya hitam dengan

bagian perut putih. Warna mata gelap bening kehitaman. Ujung paruh burung ini

melengkung, seperti kuku. Selain kedua kakinya yang kecil dan lemah paruh pada

burung seriti juga berfungsi sebagai alat untuk menempel di tempat yang akan

dibangun sarang.

Seriti membuat sarang dari campuran air liur dan bahan-bahan lain, seperti

rerumputan kering, daun pinus, daun cemara, bunga rumput, maupun serabut

kelapa. Orang Cina menyebutnya cho-yen. Kadang bahan sarangnya terdiri dari

bulu-bulu yang bercampur kapuk, plastik, atau tali raffia. Kemampuan burung ini

dalam memproduksi air liur relative sedikit disbanding kedua jenis walet di atas.

Tiap sarangnya hanya terdapat liur seriti sebanyak 3-5 gram saja dan sisanya

merupakan bahan sarang lain.

II.2.3 Kandungan Sarang Burung Walet Putih Collocalia fuciphaga

Sarang Burung Walet Putih Collocalia fuciphaga mengandung

glikoprotein, karbohidrat, asam amino dan garam-garam mineral. Karbohidrat

yang utama terdapat pada sarang burung walet adalah asam sialat (9%),

galaktosamin (7,2%), glukosamin (5,3%), galaktosa (16,9%) dan fucosa (0,7%).

Selain itu, asam amino dan garam-garam mineral juga terdapat dalam Sarang

Burung Walet, garam mineral utama yaitu natrium dan kalsium, dalam jumlah

sedikit magnesium, seng, mangan dan besi. Komposisi kimia sarang burung walet

13
putih adalah identik yaitu lemak (0,14–1,28%), abu (2,1%), karbohidrat (25,62–

27,26%) dan protein (62–63%) (Colombo et al., 2003).

Tabel I. Distribusi asam amino (mg / g) dari Sarang Burung Walet


Collocalia fuciphaga (Zhao, 2016).
Nama Total Asam Free Asam (F/T) x 100
Amino (T) Amino (F)
Aspartic acid 41.8 0 0
Threonine 33.1 0.12 0.36
Serine 35.4 0.19 0.56
Glutamic acid 34.6 0.40 1.16
Proline 40.3 0 0
Glycine 17.6 0.16 0.91
Alanine 20.2 0.20 0.99
Valine 31.5 0.14 0.44
Methionine 2.7 0.13 4.81
Isoleucine 14.2 0.14 0.99
Leucine 32.3 0.17 053
Tyrosine 33.2 0.18 0.54
Phenylalanine 28.9 0.15 0.52
Histidine 14.7 0 0
Lysine 15.1 0 0

Sumber : (Zhao, 2016).

Menurut laporan Zhao (2016), terdapat 15 asam amino yang terkandung

pada Sarang Burung Walet Collocalia fuciphaga. Distribusi asam amino (mg/g)

dari sarang Sarang Burung Walet Collocalia fuciphaga yang ditentukan dengan

menggunakan analisis asam amino otomatis L-8900.

14
Menurut laporan Elfita (2014), menemukan bahwa 16 asam amino yang

terkandung dalam Sarang Burung Walet terdapat 7 jenis asam amino essensial

yang terkandung dalam sarang burung walet (Collocalia fuciphaga), Serin

merupakan asam amino dengan kadar tertinggi (4,556%), Fenil alanine (4,486%),

Asam aspartate (4,480%), dan yang terendah adalah asam amino metionin

(0,482%).

Tabel II. Asam Amino yang Terkandung dalam Sarang Burung Walet
(Elfita, 2014).

Nama Total Asam Amino


Asam Amino Essensial
Histidin 2,309%
Leusin 3,839%
Treonin 3,819%
Valin 3,931%
Metionin 0.482%
Isoleusin 1,796%
Fenil alanine 4,486%
Asam Amino Non Essensial
Asam Serin 4,556%
Aspartate 4,480%
Arginin 3,929%
Lisin 2,343%
Prolin 3,637%
Asam glutamate 3,647%
Glisin 1,868%
Alanin 1,309%
Tirosin 3,918%
Sumber : (Elfita, 2014).

15
II.2.4 Kualitas Sarang Burung Walet Putih Collocalia fuciphaga

Sarang yang dihasilkan oleh walet sangat beragam, baik bentuk, ukuran,

maupun bahannya. Kualitas Sarang Burung Walet putih dapat dibagi menjadi tiga,

yaitu kualitas atas, kualitas cukup, dan kualitas sangat rendah (Budiman, 2011).

1. Kualitas atas.

Sarang putih kualitas atas memiliki ciri-ciri:

a. Bentuk seperti mangkuk dibelah.

b. Ukuran lebar sarang antar kaki sekitar 6-10 cm dan tinggi mangkukan 4-5

cm, 3 jari, atau 2 inci.

c. Sarang berwarna putih, bening, Kristal, utuh, tidak retak atau cacat.

d. Bersih dari bulu dan kotoran lipas atau kepinding.

e. Kadar air sekitar 5%, jumlah sarang sekitar 80-120 biji/Kg.

2. Kualitas Sedang.

Adapun ciri-ciri sarang putih berkualitas sedang yaitu:

a. Bentuk seperti mangkuk dibelah.

b. Ukuran lebar sarang antar kaki sekitar 5-8 cm dan tinggi 3-5 cm.

c. Sarang berwarna putih, tidak terlalu bening, utuh, tidak retak atau cacat.

d. Terdapat bulu-bulu dan kotoran lipas atau kepiding.

e. Kadar air sekitar 5-10%, jumlah sarang sekitar 80-120 biji/Kg.

3. Kualitas rendah.

Sarang putih dengan kualitas rendah ini mempunyai ciri-ciri yaitu:

a. Bentuk mangkuk tidak sempurna, seperti sampan, atau menyudut.

b. Ukuran lebar sarang antar kaki sekitar 5-8 cm dan tinggi 2-4 cm.

c. Sarang berwarna kuning kecoklatan dan terlihat kusam, utuh, retak, atau

sedikit berlubang.

16
d. Terdapat bulu-bulu dan kotoran kepinding atau lipas.

e. Kadar air sekitar 10-20%.

f. Jumlah sarang sekitar 80-120 biji/Kg.

II.3 Tinjauan Umum Bakteri Propionibacterium acnes

Jerawat merupakan suatu keadaan dimana pori-por kulit tersumbat oleh

kkotoran dan adanya bakteri Propionibacterum acnes yang berkembang biak di

daerah sumbatan tersebut (Michael, 2014). Propionibacterium acnes biasanya

berada diantara flora normal kulit. Ketika Propionibacterium acne ini menjadi

patogen, maka keberadaanya akan mengakibatkan kontaminasi dikulit sehingga

memicu jerawat (Zeller et al., 2007). Bakteri ini mampu membentuk biofilm,

sehingga cara penekanan pertumbuhannya sebaiknya menggunakan antibiotik

(Bruggemann et al., 2004; Achermann et al.,2014).

Pada acne vulgaris, ketika terjadi akumulasi sebum pada unit pilosebasea,

maka akan memfasilitasi Propionibacterum acnes untuk berproliferasi, karena

trigliserida yang terdapat pada sebum akan diubah dengan bantuan enzim lipase

yang dihasilkan oleh Propionibacterum acnes menjadi digliserida, monogliserida,

dan asam lemak bebas, kemudian ketiga zat tersebut diubah menjadi gliserol yang

akan digunakan untuk metabolisme Propionibacterum acnes (Tahir, 2010).

Berdasarkan analisis filogeni bakteri dengan perbandingan rRNA pada

sejumah bakteri gram positif yang lain maka, bakteri Propionibacterium acnes

dapat dilasifikasikan sebagai berikut :

17
II.3.1 Klasikasi Propionibacterium acnes

Klasifikasi Propionibacterum acnes Menurut Brooks et al., (2005) :

Kindom : Bacteria

Phylum : Actinobacteria

Kelas : Actinomycetales

Ordo : Propionibacterineae

Famlia : Propionibacteriaceae

Genus : Propionibacterum

Spesies : Propionibacterum acnes

II.4 Tinjauan Umum Jamur Candida albicans

Candida albicans adalah salah satu dari sekian banyak jenis khamir yang

namanya cukup dikenal dibidang mikrobiologi. Khamis sendiri merupakan fungi

mikroskopis bersel tunggal yang bereproduksi secara vegetative dengan

membentuk sejenis kuncup (budding). Dalam biakan atau jaringan, spesies ini

tumbuh sebagai sel-sel ragi bertunas dan oval (berukuran 3-6 µm). mereka juga

membentuk pseudohifa ketika tunas-tunas terus tumbuh tetapi gagal melepaskan

diri, menghasilkan rantai sel-sel yang memanjang, yang terjepit atau tertarik pada

septasi-septasi diantara sel-sel (Brooks et al., 2005).

Candida albicans bersifat dimorfik dimana jika berada di alam maka akan

tumbuh sebagai sel tunggal yang bereproduksi dengan membentuk tonjolan

(budding). Selain ragi-ragi dan pseudohifa, ia juga bias menghasilkan hifa sejati.

Dalam media agar atau dalam 2 jam pada suhu 37ºC atau pada suhu ruang, spesies

ini menghasilkan koloni halus, berwarna krem dengan aroma ragi. Pseudohifa

18
jelas sebagai pertumbuhan yang terbenam di bawah permukaan agar. Candida

albicans secara alami dapat ditemukan di dalam membran mukosa mulut dan juga

di dalam vagina. Keberadaannya di dalam tubuh manusia ini dikenal dengan

istilah flora normal (Brooks et al., 2005).

Pelezar (2005) menyatakan bahwa struktur dinding sel Candida albicans

sangat kompak dan tebalnya 100 sampai 400 n serta terdiri dari lima lapisan yang

berbeda komposisi primer dinding sel Candida albicans terdiri dari glukan,

manan, dan kitin. Manan dan protein berjumlah sekitar 15,2-30%, β-1,3-D-glukan

dan β-1,6-glukan (47-60%), kitin (0,6-9%), protein (6-25%) dan lipid (1-7%) dari

berat kering dinding sel.

Pada perkembangannya, Candida albicans masih tergolong fungi

imperfecti dimana masih belum dketahui daur seksualnya. Untuk klasifikasi harus

digunakan cirri-ciri lain di luar tingkat seksualnya, meliputi morfologi spora

aseksualnya dan membentuk miseliumnya. Selama belum diketahui tingkat

perfecnya, cendawan tertentu akan tergolong dalam suatu kelas khusus, yaitu

deutromycetes atau fungi imperfecti (Tjitosoepomo, 2003).

19
II.4.1 Klasfikasi Jamur Candida albicans

Berikut ini klasifikasi dari Candida albicans (Tjitrosoepomo, 2003):

Regnum : Plantae

Division : Thalophyta

Subdivisio : Fungi

Class : Ascomycetes

Ordo : Saccaharomycetales

Familia : Saccaharommycetaceae

Genus : Candida

Species : Candida albicans

II.4.3 Penyakit yang disebabkan oleh Candida albicans

Infeksi yang disebabkan oleh jamur memiliki tingkat morbilitas dan

mortalitas yang sangat tinggi. Candida albicans merupakan mikroorganisme yang

biasa menyerang usus dan kulit melalui jaringan epitel dan masuk ke aliran darah

(Tong et al., 2017). Menurut Brown et al., (2012), Candida albicans adalah flora

normal usus manusia, rongga mulut, mikroflora vagina dan penyebab utama

fungemia nosokomial. Infeksi fungemia nosokomial banyak ditemukan dari

penggunaan alat-alat kesehatan seperti infuse dan kateter.

II.5 Tinjauan Umum Antimikroba

Antimikroba merupakan alternatif yang sangat diperlukan untuk

pengurangi resiko terjadinya patogenitas (Avc et al., 2017). Dewasa ini, berbagai

jenis antimikroba telah tersedia untuk mengobati berbagai penyakit yang

disebabkan oleh mikroorganisme. Zat antimikroba yang digunakan dalam

20
pengobatan bertujuan untuk mengeliminasi mikroorganisme inaktif atau

mencegah terjadinya infeksi. Untuk tujuan terapi, suatu zat antimikroba harus

menunjukkan toksisitas selektif. Zat antimikroba yang berguna untuk terapi harus

menghambat mikroorganisme infektif dan bersifat toksik hanya terhadap patogen

inaktif, tetapi tidak terhadap inangnya. Zat antimikroba yang paling banyak

digunakan dalam pengobatan adalah yang memengaruhi kerja dengan cara

menghambat atau membunuh mikroorganisme patogen, tetapi tidak pada

sel inang normal (Harmita, 2008).

Berdasarkan tingkat toksisitas selektifnya, Lay (1994), membagi senyawa

antimikroba atas :

a. Bakteriostatik

Senyawa antimikroba yang mampu menghambat pertumbuhn bakteri namun,

jika pemberian senyawa ini dihentikan atau habis, maka pertumbuhan dan

perbanyakan diri dari bakteri akan kembali meningkat.

b. Bakterisida

Senyawa antimikroba yang mampu membunuh dan menghentikan aktivitas

fisiologis dari bakteri, meskipun pemberian senyawa tersebut dihentikan.

II.5.1 Mekanisme Kerja Antimikroba

Mekanisme kerja antimikroba terbagi atas lima (Lay, 1994) yaitu :

A. Antimikroba yang Menghambat Metabolisme Sel Mikroba

Mikroba membutuhkan asam folat untuk kelangsungan hidupnya. Mikroba

patogen harus mensintesis sendiri asam folat dari asam amino benzoat (PABA)

untuk kehidupan hidupnya. Koenzim asam folat diperlukan oleh mikroba untuk

sintesis purin dan pirimidin dan senyawa-senyawa lain yang diperlukan untuk

21
pertumbuhan seluler dan replikasi. Apabila asam folat tidak ada, maka sel-sel

tidak dapat tumbuh dan membelah. Melaluimekanisme kerja ini diperoleh

efek bakteriostatik. Antimikroba seperti sulfonamide secara struktur mirip

dengan PABA, asam folat, dan akan berkompetisi dengan PABA untuk

membentuk asam folat, jika senyawa antimikroba yang menang bersaing

dengan PABA, maka akan terbentuk asam folat non fungsional yang akan

mengganggu kehidupan mikroorganisme. Contoh : Sulfonamid, trimetoprim,

asam p-aminosalisilat.

B. Antimikroba yang Menghambat Sintesis Dinding Sel Mikroba

Antimikroba golongan ini dapat menghambat biosintesis peptidoglikan,

sintesis mukopeptida atau menghambat sintesis peptide dinding sel, sehingga

dinding sel menjadi lemah dan karena tekanan turgor dari dalam, dinding sel

akan pecah atau lisis sehingga bakteri akan mati. Contoh : penisilin,

sefalosporin, sikloserin, vankomisin, basitrasin, dan antifungi golongan Azol.

C. Antimikroba yang Menghambat Sintesis Protein Sel Mikroba

Sel mikroba memerlukan sintesis berbagai protein untuk kelangsungan

hidupnya. Sintesis protein berlangsung di ribosom dengan bantuan mRNA dan

tRNA. Ribosom bakteri terdiri atas dua subunit yang berdasarkan konstanta

sedimentasi dinyatakan sebagai ribosom 3OS dan 5OS. Supaya berfungsi pada

sintesis protein, kedua komponen ini akan bersatu pada pangkal rantai mRNA

menjadi ribosom 7OS. Antimikroba akan menghambat reaksi transfer antara

donor dengan aseptor atau menghambat translokasi t-RNA peptidil dari situs

aseptor ke situs donor yang menyebabkan sintesis protein terhenti. Contoh :

kloramfenikol, golongan tetrasiklin, eritromisin, klindamisin, dan

pristinamisin.

22
D. Antimikroba yang Menghambat Sintesis Asam Nukleat Sel Mikroba

Contoh obat yang termasuk dalam kelompok ini yaitu rifampisin dan

golongan kuinolon. Salah satu derivat rifampisin yaitu rifampisin berikatan

dengan enzim polimerase-RNA (pada subunit) sehingga menghambat sintesis

RNA dan DNA oleh enzim tersebut. Pada golongan kuinolon dapat

menghambat enzim DNA girase pada mikroba yang berfungsi menata

kromosom yang sangat panjang menjadi bentuk spiral hingga bisa muat dalam

sel mikroba yang kecil.

E. Antimikroba yang Mengganggu Keutuhan Membran Sel Mikroba

Obat yang termasuk dalam kelompok ini yaitu polimiksin, golongan

polien serta berbagai kemoterapeutik lain seperti antiseptik surface active

agents. Polimiksin sebagai senyawa amonium-kuartener dapat merusak

membran sel setelah bereaksi dengan fosfat pada fosfolipid membran sel

mikroba. Polimiksin tidak efektif terhadap bakteri Gram positif karena jumlah

fosfor bakteri ini rendah. Bakteri Gram negatif menjadi resisten terhadap

polimiksin ternyata jumlah fosfornya menurun. Antibiotik polien bereaksi

dengan struktur sterol yang terdapat pada membran sel fungi sehingga

mempengaruhi permeabilitas selektif membran tersebut. Bakteri tidak sensitif

terhadap polien karena tidak memiliki struktur sterol pada membran selnya.

Antiseptik yang mengubah tegangan permukaan dapat merusak permeabilitas

selektif dari membran sel mikroba. Kerusakan membran sel menyebabkan

keluarnya berbagai komponen penting dari dalam sel mikroba yaitu protein,

asam nukleat, nukleotida dan lain-lain.

23
II.5.2 Efektivitas Antimikroba

Kemampuan suatu isolat untuk membunuh atau menekan jumlah suatu

mikroba dapat diketahui melalui uji daya hambat. Efektivitas antimikroba pada

suatu senyawa yang telah di ekstraksi dapat bersifat antimikroba ketika pada

pengujian terbentuk zona bening disekitar ekstrak uji. Berdasarkan uji daya

hambat yang dilakukan dimana suatu isolat mampu membunuh bakteri atau

bersifat bakteriosida terhadap pertumbuhan bakteri (Irma, 2015).

II.6 Tinjauan Umum Antifungi

Antifungi merupakan zat berkhasiat yang digunakan untuk penanganan

penyakit fungi. Umumnya suatu senyawa dikatakan sebagai zat antifungi apabila

senyawa tersebut mampu menghambat pertumbuhan fungi. Zat antifungi bekerja

antara lain menyebabkan rusaknya dinding sel, penghambatan kerja enzim, atau

penghambatan sintesis asam nukleat, penghambatan kerja enzim, atau

penghambatan sintesis asam nukleat dan protein. Kerusakan pada salah satu situs

ini dapat mengawali terjadinya perubahan-perubahan yang menuju pada matinya

sel tersebut (Pelezar , 1988).

Menurut Pelezar (1988), antifungi adalah bahan yang dapat mengganggu

pertumbuhan dan metabolism mikroorganisme. Pemakaian bahan antimikroba

merupakan suatu usaha untuk mengendalikan bakteri maupun jamur, yaitu segala

kegiatan yang dapat menghambat, membasmi, atau menyingkirkan

mikroorganisme. Tujuan utama pengendalian mikroorganisme pada inang yang

terinfeksi, dan mencegah pembusukan serta perusakan oleh mikroorganisme. Ada

beberapa hal yang harus dipenuhi oleh suatu bahan antimikroba, seperti mampu

mematikan mikroorganisme, mudah larut dan bersifat stabil, tidak bersifat racun

24
bagi manusia dan hewan, tidak bergabung dengan bahan organic, efektif pada

suhu kamar dan suhu tubuh, tidak menimbulkan karat dan warna, berkemampuan

menghilangkan bau yang kurang sedap, murah dan mudah didapat.

Mekanisme antijamur dapat dikelompokkan sebagai gangguan pada

membran sel, ganguan ini terjadi karena adanya ergosterol dalam sel jamur, ini

adalah komponen sterol yang sangat penting dan sangat mudah diserang oleh

antibiotic turunan polien. Kompleks polien-ergosterol yang terjadi dapat

membentuk suatu pori dan melalui pori tersebut konstituen esensial sel jamur

seperti ion K, fosfat anorganik, asam karboksilat, asam amino dan ester fosfat

bocor kemudian keluar hingga menyebabkan ketidakseimbangan metabolik

sehingga menghambat pertumbuhan atau menimbulkan kematian sel jamur

(Sholichah, 2010).

Penghambatan sintesis asam nukleat dan protein jamur merupakan

mekanisme yang disebabkan oleh senyawa turunan pirimidin. Efek antijamur

terjadi karena senyawa turunan pirimidin mampu mengalami metabolisme dalam

sel jamur menjadi suatu antimetabolit. Metabolik antagonis tersebut kemudian

bergabung dengan asam ribonukleat dan kemudian menghambat sintesis asam

nukleat dan protein jamur. Penghambatan mitosis jamur, efek anti jamur ini

terjadi karena adanya senyawa antibiotic griseofulvin yang mampu mengikat

protein mikrotubuli dalam sel, kemudian merusak struktur spindle mitotic dan

menghentikan metaphase pembelahan sel jamur (Sholichah, 2010).

II.6.1 Pengujian Aktivitas Bahan Antijamur

Pengujian aktivitas bahan antimikroba secara in vitro dapat dilakukan

melalui dua cara. Cara pertama yaitu metode dilusi, cara ini digunakan untuk

25
menentukan kadar hambat minimum dan kadar bunuh minimum dari bahan

antimikroba. Prinsip dari metode dilusi menggunakan satu seri tabung reaksi yang

diisi medium cair dan sejumlah tertentu sel mikroba yang diuji. Selanjutnya

masing-masing tabung diisi dengan bahan antimikroba yang telah diencerkan

secara serial, kemudian seri tebung diinkubasi pada suhu 37ºC selama 18-24 jam

dan amati terjadinya kekeruhan konsentrasi terendah bahan antimikroba pada

tabung yang ditunjukkan dengan hasil biakan yang mulai tampak jernih (tidak ada

pertumbuhan jamur merupakan konsentrasi hambat minimum). Biakan dari semua

tabung yang jernih ditumbuhkan pada medium agar padat, kemudian diinkubasi

selama 24 jam, dan diamati ada tidaknya koloni jamur yang tumbuh. Konsentrasi

terendah obat pada biakan medium padat yang ditunjukkan dengan tidak adanya

pertumbuhan jaur adalah merupakan konsentrasi hambat minimum bahan

antimikroba terhadap jamur uji (Tortora et al. 2001).

Cara kedua yaitu metode difusi cakram (Uji Kirby-Bauer). Prinsip dari

metode difusi cakram adalah menempatkan kertas cakram yang sudah

mengandung bahan antimikroba tertentu pada medium lempeng padat yang telah

dicampur dengan jamur yang akan diuji. Medium ini kemudian diinkubasi pada

suhu 37ºC selama 18-24 jam, selanjutnya diamati adanya zona jernih disekitar

kertas cakram. Daerah jernih yang tampak di sekeliling kertas cakram

menunjukkan tidak adanya pertumbuhan mikroba. Jamur yang sensitive terhadap

bahan antimikroba akan ditandai dengan adanya daerah hambatan disekitar

cakram, sedangkan jamur yang resisten terlihat tetap tumbuh pada tepi kertas

cakram (Tortora et al. 2001).

26
BAB III

METODE PENELITIAN

III.1 Alat dan Bahan

III.1.1 Alat

Alat yang akan digunakan adalah neraca analitik, oven, corong buchner,

autoklaf, inkubator, shaker, batang pengaduk, cawan petri, gelas kimia, gelas

ukur, bunsen, erlenmeyer, laminar air flow (laf), rotary evaporator, ose bulat, ose

lurus, tabung reaksi, pipet tetes, tabung cuvet, rak tabung, penggaris.

III.1.2 Bahan

Bahan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah ekstrak Sarang

Burung Walet Colocalia fuciphaga, biakan bakteri Propionibacterium acnes dan

biakan fungi Candida albicans, kertas saring, peaper disk, tetraciclyn,

ketokonazol, Aquades steril, metanol 96%, ektrak daging, pepton, agar, akuades,

Metanol 95%, NaCl fisiologis 0.9%, aluminium foil, tissu, dan korek api.

III.2 Metode Kerja

III.2.1 Sterilisasi Alat

Semua alat yang akan digunakan disterilkan terlebih dahulu. Alat-alat

gelas dan yang terbuat dari logam disterilkan dalam oven pada suhu 180ºC selama

2 jam. Alat-alat plastik dan alat-alat yang tidak tahan suhu tinggi disterilkan

menggunakan autoklaf pada suhu 121oC tekanan 2 atm selama 15 menit,

sedangkan ose disterilkan dengan cara pemanasan langsung pada nyala api spirtus

hingga memijar.

27
III.2.2 Penyiapan Sampel Penelitian

III.2.2.1 Penyiapan Sampel

Sarang walet yang diambil adalah sarang walet yang umurnya 2 minggu

yang ditandai dengan berukuran mangkuk ukuran tiga jari. Sampel Sarang

Burung Walet Colocalia fuciphaga dihaluskan dengan digerus menggunakan

mesin penghancur sehingga diperoleh serbuk Sarang Burung Walet Colocalia

fuciphaga dan siap untuk proses selanjutnya.

III.2.2.2 Maserasi dan Ekstraksi

Ekstraksi bahan dilakukan secara maserasi dengan menggunakan

pelarut Metanol. Bahan berupa serbuk Sarang Burung Walet Colocalia

fuciphaga. Sebanyak 100 gram dimaserasi dengan 200 ml pelarut metanol dan

di shaker selama 1x24 jam. Bahan disaring menggunakan corong Buchner dan

ekstraknya ditampung. Ampas kemudian direndam kembali dengan 200 ml

pelarut metanol untuk dimaserasi seperti tahap pertama. Proses ini

berlangsung sampai 3 kali maserasi. Ekstrak yang diperoleh digabungkan.

Ekstrak sarang burung walet yang diperoleh dievaporasi.

III.2.3 Pembuatan Medium NA (Nutrien Agar)

Medium yang digunakan untuk peremajaan bakteri Propionibacterium

acnes, medium NA (NutrienAgar) 2,8 gr dilarutkan dalam 100 ml aquades.

Sedangkan bahan ditimbang sebanyak yang dibutuhkan, kemudian dimasukkan ke

dalam erlenmeyer dan dilarutkan dengan aquades. Setelah larut, medium tersebut

dipanaskan dengan menggunakan penangas selanjutnya disterilisasi dalam

autoklaf pada suhu 121oC dengan tekanan 2 atm selama ± 15 menit.

28
III.2.4 Pembuatan Media PDA (Potato Dextrosa Agar)

Medium yang digunakan untuk peremajaan dan uji daya hambat jamur

Candida albicans, medim PDA (Potato Dextrosa Agar) 4 gr dilarutkan dalam 100

ml aquades. Sedangkan bahan ditimbang sebanyak yang dibutuhkan, kemudian

dimasukkan ke dalam Erlenmeyer dan dilarutkan dengan aquades. Setelah larut,

medium tersebut dipanaskan dengan menggunakan penangas selanjutnya

disterilisasi dalam autoklaf pada suhu 121ºC den tekanan 2 atm selama ±15 menit

(Panjaitan, 2011).

III.2.5 Pembuatan Medium MH (Mueller Hinton) Agar

Medium yang digunakan untuk uji daya hambat terhadap antimikroba

ekstrak Sarang Burung Walet Collocalia fuciphaga adalah Muller Hinton Agar.

Muller Hinton Agar ditimbang sebanyak 3,8 gram, kemudian dilarutkan kedalam

100 ml aquades. Larutan kemudian diaduk sambil dipanaskan dan dibiarkan

mendidih. Sterilisasi larutan dengan menggunakan autoklaf pada suhu 121 oC

tekanan 2 atm selama 15 menit (Kumalasari, 2014).

III.2.6 Pembuatan Medium NB (Nutrien Broth)

Medium yang digunakan untuk peremajaan bakteri Propionibacterium

acnes adalah medium NB (Nutrien Broth) dengan komposisi: 3 gram ekstrak

daging, 5 gram pepton yang dilarutkan dalam 100 ml aquades. Bahan

ditimbang sebanyak yang dibutuhkan, kemudian dimasukkan ke dalam

erlenmeyer dan dilarutkan dengan aquades. Setelah larut, medium tersebut

dipanaskan dengan menggunakan penangas selanjutnya disterilisasi dalam

autoklaf pada suhu 121oC dengan tekanan 2 atm selama ± 15 menit.

29
III.2.7 Peremajaan Bakteri Uji

Bakteri Propionibacterium acnes berasal dari biakan murni diambil

sebanyak satu ose lalu diinokulasikan dengan cara digores pada medium NA

(Nutrien Agar) miring. Kultur bakteri tersebut kemudian diinkubasi pada suhu

37oC selama 24 jam.

III.2.8 Suspensi Bakteri Uji

Bakteri uji yang telah diremajakan selama ± 24 jam, diambil satu ose

kemudian disuspensikan ke dalam larutan NaCl fisiologis steril 0,9%. Kemudian

dilakukan pengenceran suspensi bakteri uji hingga diperoleh transmitan 25% pada

spektrofotometer, dengan panjang gelombang 580 nm. Sebagai blanko digunakan

NaCl fisiologis steril 0,9%.

III.2.9 Penyiapan Larutan Kontrol Bakteri Uji

Larutan kontrol yang digunakan untuk bakteri uji adalah larutan

tetraciclyn sebagai kontrol positif. Sedangkan yang digunakan sebagai kontrol

negatif adalah aquades steril.

III.2.10 Peremajaan Jamur Uji

Biakan murni jamur Candida albicans diambil sebanyak satu ose lalu

diinokulasikan dengan cara digores pada medium PDA (Potato Dextrose Agar)

miring. Kemudian diinkubasi pada suhu 37ºC selama 48-72 jam.

III.2.11 Pembuan Suspensi Jamur Uji

Jamur Candida albicans yang di diremajakan, masing-masing diambil satu

ose lalu disuspensikan kedalam larutan NaCl fisiologis 0.9% steril. Kemudian

30
dilakukan pengenceran suspense jamur uji hingga diperoleh transmitan 25% pada

spektrofotometer dengan panjang gelombang 580 nm. Sebagai blanko digunakan

NaCl fisiologis steril 0,9%.

III.2.12 Penyiapan Larutan Kontrol Bakteri Uji

Larutan kontrol yang digunakan untuk jamur uji adalah larutan

ketokonazol sebagai kontrol positif. Sedangkan yang digunakan sebagai kontrol

negatif adalah aquades steril.

III.2.13 Penyiapan Variasi Konsentrasi Larutan Uji

Ekstrak Metanol dari Sarang Burung Walet Collocalia fuciphaga

dikonsentrasikan ke 2,5%, 5%, 10%, 20%, dan 40%.

III.2.14 Uji Daya Hambat Ekstrak Sarang Burung Walet terhadap bakteri
Propionibacterium acnes

Metode yang digunakan untuk uji daya hambat dilakukan melalui

pengukuran zona hambat yang terbentuk. Medium MHA (Muller Hinton Agar)

yang telah disterilkan sebanyak 10 ml ditambahkan bakteri uji di dalamnya

sebesar 1 ml. Kemudian dituang secara aseptis kedalam cawan petri sebanyak 10

ml dan didiamkan hingga memadat. Setelah memadat, kemudian dimasukkan

peper disk yang telah direndam pada botol vial 15 menit dengan ektrak sarang

burung walet Collocalia fucipha melalui beberapa konsentrasi yaitu 2,5%, 5%,

10%, 20%, dan 40%, tetraciclyn sebagai kontrol positif dan aquades steril

sebagai kontrol negatif untuk uji daya hambat bakteri. Cawan petri diberi label,

selanjutnya diinkubasi dalam inkubator pada suhu 37 oC selama 24 jam, lalu

31
diamati dan diukur daerah hambatannya. Inkubasi dilanjutkan selama 48 jam dan

diukur kembali daerah hambatan yang terbentuk.

III.2.15 Uji Daya Hambat Ekstrak Sarang Burung Walet terhadap Jamur
Candida albicans

Metode yang digunakan untuk uji daya hambat dilakukan melalui pengukuran

zona hambat yang terbentuk. Dimasukkan suspensi jamur uji sebanyak 1 ml

kedalam 10 ml medium PDA (Potato Dextrose Agar). Medium PDA (Potato

Dextrose Agar) steril yang telah dicampurkan dengan suspense jamur uji, dituang

secara aseptis ke dalam cawan petri dan dibiarkan memadat. Setelah memadat,

kemudian dimasukkan peper disk yang telah ditetesi oleh ektrak Sarang Burung

Walet Collocalia fucipha berbagai konsentrasi yaitu 2,5%, 5%, 10%, 20%, dan

40%, ketokonazol sebagai kontrol positif dan aquades steril sebagai kontrol

negatif untuk uji daya hambat bakteri. Cawan petri diberi label, selanjutnya

diinkubasi dalam inkubator pada suhu 37oC selama 24 jam, lalu diamati dan

diukur daerah hambatannya. Inkubasi dilanjutkan selama 3 x 24 jam dan diukur

kembali daerah hambatan yang terbentuk.

III.2.16 Pengamaan Zona Hambatan

Pengamatan dilakukan dengan cara mengukur hambatan pertumbuhan jamur

disekeliling paper disk dengan menggunakan penggaris. Pengukuran dilakukan

setelah inkubasi 1 x 24 jam dan 2 x 24 jam untuk bakteri uji, sedangkan untuk

pengujian daya hambat jamur uji setalah inkubasi 1 x 24 jam dan 3 x 24 jam

untuk melihat kemampuan senyawa aktif ekstrak Sarang Burung Walet Colloalia

fuciphaga.

32
III.2.17 Uji In Silico

Uji In Silico dimulai dengan mengumpukan koleksi struktur 3 dimensi

senyawa alami sarang burung walet yang diperoleh dari PubCham, 2017.

Selanjutnya prediksi protein target diperoleh dari database PharmMapper, 2017,

Swiss Target Prediction, 2017 dan Superpred, 2017. Senyawa alami dan protein

target yang diperoleh akan di Reverse Docking menggunakan software PyMOL

untuk mendapatkan afinitas pengikatan senyawa (Pangestuti, 2016).

III.2.18 Analisis Data

Data yang diperoleh dari hasil pengukuran dianalisis dengan cara

membandingkan diameter zona hambatan kontrol (kontrol positif dan kontrol

negatif) dengan zona hambat dari semua konsentrasi ekstrak metanol sarang

burung walet Collocalia fuciphaga. Demikian pula dianalisis pembentukan zona

hambat mulai inkubasi 24 jam sampai 48 jam untuk pengujian bakteri sedangkan

pada jamur dilakukan analisis pembentukan zona hambat mulai inkubasi 24 jam

sampai 72 jam.

33
BAB IV

HASIL DANPEMBAHASAN

IV.1 Ekstrak Sarang Burung Walet Collocalia fuciphaga

Penelitian ini menggunakan sarang burung walet Collocalia fuciphaga

yang diambil dari budidaya rumahan di Pinrang, Sulawesi Selatan. Sarang

burung walet terlebih dahulu dibersihkan dari bulu yang menempel pada saat

pembuatan sarang, kemudian di haluskan pada mesin penggiling. Ekstraksi

sarang burung walet Collocalia fuciphaga menggunakan pelarut methanol 96%

berfungsi menarik senyawa semipolar pada sampel. Ekstrak kasar sarang

burung walet Collocalia fuciphaga diperoleh dari 100 gram sampel yang telah

dihaluskan dan 200 ml methanol 96%. Sarang burung wallet dibersihkan dan

dihaluskan dengan menggunakan alat penggiling hingga berbentuk tepung

seperti nampak pada Gambar 3.

(a) (b) (c)

Gambar 3. Sarang burung walet Collocalia fuciphaga yang telah dibersikan (a),
Proses Pengilingan Sarang Burung Walet Collocalia fuciphaga (b),
Serbuk sarang burung walet Collocalia fuciphaga (c).

34
Serbuk Sarang Burung Walet Collocalia fuciphaga tersebut selanjutnya

dimaserasi dengan pelarut metanol 96% sebanyak 200 ml dan di shaker selama

1x24 jam. Bahan disaring menggunakan corong Buchner dan ekstraknya

ditampung. Ampas kemudian direndam kembali dengan 200 ml pelarut metanol

untuk dimaserasi seperti tahap pertama. Proses ini berlangsung sampai 3 kali

maserasi. Ekstrak yang diperoleh digabungkan, kemudian dievaporasi sehingga

diperoleh ekstrak sebanyal 2 gram berwarna kuning seperti pada Gambar 4.

(a) (b)

Gambar 4. Proses evaporasi maserat dari Sarang Burung Walet Collocalia


fuciphaga (a) dan ekstrak kental Sarang Burung Walet
Collocalia fuciphaga (b)

IV.1.1 Uji Daya Hambat Ekstrak Sarang Burung Walet Collocalia


fuciphaga Terhadap bakteri Propionibacterium acne dan Jamur
Candida albicans

Uji daya hambat dilakukan untuk melihat kemampuan ekstrak Sarang

Burung Walet Collocalia fuciphaga dalam menghambat pertumbuhan bakteri

Propionibacterium acne dan Jamur Candida albicans. Hal tersebut

35
dimaksudkan untuk melihat daya hambat yang terjadi pada konsentrasi 2,5%,

5%, 10%, 20% dan 40%. Hasil pengukuran zona hambat dapat disajikan pada

Tabel 1.

Tabel 1. Hasil pengamatan zona hambat ekstrak Sarang Burung Walet


Collocalia fuciphaga terhadap bakteri Propionibacterium acne

Rata-rata Diameter Zona Hambat (mm)


Konsentrasi
1 x 24 jam 2 x 24 jam
K(-) Tidak ada daya hambat Tidak ada daya hambat
K(+) 18,8 18,5
40 % 9,5 9,5
20% 7,5 8,8
10% 7,1 7,9
5% 7,1 8,6
2,5% 7,1 7,8

Keterangan :
K (+) : Kontrol positif menggunakan Tetracyclin
K (-) : Kontrol negatif menggunakan aquades
Diameter paper disk : 6,2 mm

Tabel 1 menunjukkan bahwa ke 5 konsentrasi dan kontrol positif

(tetracyclin) yang digunakan pada saat inkubasi 1 x 24 jam menyebabkan

pembentukan zona bening, yaitu pada konsetrasi 40% menujukkan diameter

zona hambat 9,5 mm, pada konsentrasi 20% menunjukkan diameter zona

hambat 7,5 mm, pada konsentrasi 10% menunjukkan diameter zona hambat 7,1

mm, pada konsentrasi 5% menunjukkan diameter zona hambat 7,1 mm, pada

konsentrasi 2,5% menunjukkan diameter zona hambat 7,1 mm dan tetracyclyn

menunjukkan diameter zona hambat 18,8 mm. Adapun aquadest sebagai kontrol

36
negatif tidak menunjukkan terbentuknya zona bening. Pada inkubasi 2 x 24 jam

terjadi perubahan yang bervariasi. Pada konsetrasi 40% menujukkan diameter

zona hambat 9,5 mm yang artinya tidak mengalami perubahan. Pada konsentrasi

20% menunjukkan diameter zona hambat 8,8 mm, pada konsentrasi 10%

menunjukkan diameter zona hambat 7,9 mm, pada konsentrasi 5%

menunjukkan diameter zona hambat 8,6 mm, pada konsentrasi 2,5%

menunjukkan diameter zona hambat 7,8 mm. Pada konsentrasi 20%, 10%, 5%,

2,5% mengalami peningkatan ukuran zona daya hambat. Pada kontrol (+)

tetracyclyn menunjukkan diameter zona hambat 18,5 mm. Adapun aquadest

sebagai kontrol negatif tidak menunjukkan terbentuknya zona bening. Dari hasil

pengamatan zona hambat pada waktu inkubasi 1 x 24 jam dan 2 x 24 jam dapat

dilihat terjadi peningkatan diameter zona hambat. Zona hambat ditandai dengan

terbentuknya zona bening disekitar paper disk yang telah diletakkan diatas

media. Zona bening dapat dilihat pada Gambar 5.

(a)

Gambar sebelum masa inkubasi pada Propionibacterium acne

37
(b)

Gambar hasil masa inkubasi 1x24 jam pada Propionibacterium acne

(c)

Gambar hasil masa inkubasi 2x24 jam pada Propionibacterium acne

Gambar 5. Pengujian daya hambat ekstrak Sarang Burung Walet Collocalia


fuciphaga dalam menghambat pertumbuhan bakteri
Propionibacterium acne

Keterangan :
a. Sebelum inkubasi
b. Zona bening yang terbentuk setelah inkubasi selama 1 x 24 jam
c. Zona bening yang terbentuk setelah inkubasi selama 2 x 24 jam

38
Tabel 2. Hasil pengamatan zona hambat ekstrak Sarang Burung Walet
Collocalia fuciphaga terhadap jamur Candida albicans

Rata-rata Diameter Zona Hambat (mm)


Konsentrasi
1 x 24 jam 2 x 24 jam 3 x 24 jam
K(+) 34,9 35.8 36,5
Tidak ada daya Tidak ada daya Tidak ada daya
K(-) hambat hambat hambat
Tidak ada daya Tidak ada daya Tidak ada daya
40% hambat hambat hambat
Tidak ada daya Tidak ada daya Tidak ada daya
20% hambat hambat hambat
Tidak ada daya Tidak ada daya Tidak ada daya
10% hambat hambat hambat
Tidak ada daya Tidak ada daya Tidak ada daya
5% hambat hambat hambat
Tidak ada daya Tidak ada daya Tidak ada daya
2,5% hambat hambat hambat

Keterangan :
K (+) : Kontrol positif menggunakan Ketokonazol
K (-) : Kontrol negatif menggunakan aquades
Diameter paper disk : 6,2 mm

Tabel 2 menunjukkan bahwa pada saat inkubasi 1 x 24 jam tidak ada

pembentukan zona pada konsentrasi 40%, 20%, 10%, 5%, 2,5% demikian pula

terhadap pemggunaan aquades sebagai kontrol negatif. Sedangkan pada

penggunaan ketokonazol sebagai kontrol positif terdapat pembentukan zona

bening, yaitu menunjukkan diameter zona hambat 34,9 mm. Untuk perlakuan

selanjutnya pada inkubasi 2 x 24 jam terjadi pertambahan ukuran zona bening

pada kontrol positif saja yaitu 35,8 mm. Sedangkan pada konsentrasi 40%, 20%,

10%, 5%, 2,5% dan aquades sebagai kontrol negatif tetap tidak ditemukan zona

bening. Selanjutnya pada inkubasi 3 x 24 jam terjadi lagi pertambahan ukuran

39
zona pada kontrol positif saja yaitu 36,5 mm. Sedangkan pada konsentrasi 40%,

20%, 10%, 5%, 2,5% dan aquades sebagai kontrol negatif tetap tidak memiliki

zona bening.

Dari hasil pengamatan zona hambat pada waktu inkubasi 1 x 24 jam,

2x24 jam dan 3 x 24 jam dapat dilihat terjadi peningkatan diameter zona hambat

pada kontrol positif saja. Tetapi pada konsentrasi 40%, 20%, 10%, 5%, 2,5% dan

aquades sebagai kontrol negative tidak terbentuk zona bening sama sekali. Zona

hambat ditandai dengan terbentuknya zona bening disekitar paper disk yang telah

diletakkan diatas media. Zona bening dapat dilihat pada Gambar 6.

(a)

Gambar sebelum masa inkubasi pada Candida albicans

(b)

Gambar hasil masa inkubasi 1x24 jam pada Candida albicans

40
(c)

Gambar hasil masa inkubasi 2x24 jam pada Candida albicans

(d)

Gambar hasil masa inkubasi 3x24 jam pada Candida albicans

Gambar 6. Pengujian daya hambat ekstrak Sarang Burung Walet Collocalia


fuciphaga dalam menghambat pertumbuhan Jamur Candida
albicans
Keterangan :
a. Sebelum inkubasi
b. Zona bening yang terbentuk setelah inkubasi selama 1 x 24 jam
c. Zona bening yang terbentuk setelah inkubasi selama 2 x 24 jam
d. Zona bening yang terbentuk setelah inkubasi selama 3 x 24 jam

Menurut Mycek (2001) bahwa suatu antimikroba bersifat bakteriostatik

jika senyawa antimikroba tersebut hanya mampu menghambat pertumbuhan

bakteri. Apabila pemberian senyawa terus dilakukan dan jika dihentikan atau

habis, maka pertumbuhan dan perbanyakan dari bakteri akan kembali meningkat

yang ditandai dengan berkurangnya diameter zona hambatan pada masa inkubasi

41
kedua. Sebaliknya bersifat bakteriosida jika diamater zona hambatan meningkat

pada masa inkubasi kedua, hal ini disebabkan karena senyawa ini mampu

membunuh dan menghentikan aktivitas fisiologis dari bakteri, meskipun

pemberian senyawa tersebut dihentikan.

Ketentuan kekuatan daya antibakteri yaitu apabila daerah hambatan 20

mm atau lebih maka termasuk sangat kuat, apabila daerah hambatan 10-20 mm

termasuk dalam kategori sedang dan apabila daerah hambatan 5 mm atau kurang

dari 5 mm termasuk dalam kategori lemah (Davis et al., 1971). Pada uji daya

hambat ekstrak sarang burung walet terhadap Propionibacterium acne

menunjukkan adanya zona hambat yang terbentuk tetapi sangat kecil sehingga

tergolong dalam kategori lemah. Menurut Tortora, et al.,2007, adanya zona

hambat dikarenakan rusaknya membran sel bakteri yang menyebabkan sel

kehilangan sitoplasma, sehingga transport senyawa terganggu dan metabolisme

bakteri mengalami hambatan seperti pertumbuhan terhambat bahkan

menyebabkan sel lisis sehingga sel bakteri mati. Pada uji daya hambat ekstrak

sarang burung walet yang dilakukan pada Candida albicans menunjukkan tidak

terbentuknya zona hambat. Hal itu disebabkan oleh rendahnya aktivitas ekstrak

sarang burung walet dalam menghambat Candida albicans sehingga tidak ada

zona yang terbentuk disekitar peper disk.

IV.2 Uji In silico ekstrak sarang burung walet

Hasil laboratorium pengujian Ekstrak sarang burung walet Collocalia

fuciphaga terhadap Propionibacterium acne menunjukkan adanya potensi daya

hambat tetapi tergolong sangat lemah dan cenderung tidak ada karena kecilnya

zona bening yang terlihat tidak begitu nampak. Sedangkan pada Candida albicans

42
menunjukkan tidak adanya potensi daya hambat karena tidak adanya zona bening

yang terbentuk.

Lebih detail mengenai interaksi senyawa ekstrak sarang burung walet

Collocalia fuciphaga terhadap Propionibacterium acne dan Candida albicans

maka dilakukan uji in silico. In silico merupakan inovasi baru yang digunakan

para peneliti untuk mengkonfirmasi pengikatan senyawa-senyawa yang

direaksikan (Pangastuti, 2016). Metode in silico merupakan salah satu pendekatan

obat baru yang memerlukan protokol yang tervalidasi (Luscombe et al., 2001).

Biologi sel tidak bisa lepas dari kegiatan laboratorium basah. Mengingat biaya

dan ketersediaan alat yang terbatas, biologi sel dengan pendekatan bioinformatika

menjadi solusi bagi mahasiswa melalui kemudahan akses, ketersediaan data

penelitian molekuler yang memadai, serta penghematan biaya dan waktu

penelitian (Juretic et al., 2005). Seiring dengan berkembangnya bidang keilmuan

biologi molekuler, Teknologi Informasi (TI) juga telah membangkitkan

gelombang new-economy sehingga memicu terbentuknya suatu inovasi dalam

berbagai bidang di dunia (Witarto, 2003). Aplikasi TI dalam bidang biologi/life

sciences telah melahirkan Bioinformatika yang menyajikan data molekuler hasil

penelitian basah secara online pada database maupun web server (Adnan, 2010).

Seperti yang telah dijelaskn pada Bab III mengenai langkah-langkah dalam uji

in silico secara umum dimulai dari koleksi struktur 3 dimensi senyawa alami yang

diperoleh dari PubChem. Langkah selanjutnya yaitu prediksi protein target yang

diperoleh dari database PharmMapper, Swiss Target Prediction, dan Superpred.

Senyawa alami dan protein target yang diperoleh akan di Reverse Docking

43
menggunakan software PyMOL untuk mendapatkan afinitas pengikatan senyawa

(Pangastuti, 2016).

IV.2.1 Hasil Koleksi Struktur 3 Dimensi Senyawa dan Protein target

Menurut Effendy (2015) D-galactose dan Sialic acid merupakan senyawa

alamiah yang ada pada sarang burung walet yang diperoleh dari data base

senyawa. Struktur 3 dimensi ini diperoleh dari PubChem dan dibuat bentuk 3

dimensinya pada software PyMol Struktur 3 dimensi senyawa D-Galactose dari

PubChem database dengan ID CID 6036 dan struktur 3 dimensi senyawa Sialic

acid yang diperoleh dari PubChem database dengan ID CID 906 disajikan pada

Gambar 7 (PubChem, 2017).

(a) (b)

Gambar 7. (a) Struktur 3 dimensi senyawa D-Galactose dan


(b) Struktur 3 dimensi senyawa Sialic Acid dimodelkan
dengan software Discovery studio
IV.2.2 Hasil Prediksi Protein Target

Struktur 3 dimensi senyawa D-Galactose dan Sialic acid yang telah

dimodelkan dengan software Discovery studio selanjutnya direaksikan dengan

Protein target. Untuk memperoleh data protein target yang telah ada, maka

dilakukan beberapa kali proses konfirmasi dimasing-masing database.

44
Berdasarkan hasil tabulasi protein target dari database PharmMapper, Swiss

Target Prediction, dan Superpred diperoleh dua protein yang paling banyak

disebutkan dari tiga database yang dipakai. Beta galactosidase dan Monosyl

oligosakarida merupakan protein target yang berasal dari molekul database

Candida albicans (Uniprot, 2017).

(a) (b)

Gambar 8. Struktur 3 dimensi protein a. Beta galactosidase b. Monosyl


oligosakarida (PDB, 2017)

IV.2.3 Hasil Reverse Docking

Reverse docking merupakan teknologi baru yang memungkinkan docking

senyawa (diperoleh dari database PubChem) dengan protein target (diperoleh dari

database PharmMapper, SuperPred, dan Swiss Target Prediction) untuk

mengetahui aktivitas biologisnya melalui pengikatan site dari struktur 3 dimensi.

Reverse docking yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan model struktur

3D protein Beta galactosidase dan Monosyl oligosakarida yang diperoleh dari

hasil prediksi protein target melalui PharmMapper, SuperPred, dan Swiss Target

Prediction database (Pangestuti, 2016). Ligan yang digunakan pada penelitian ini

adalah senyawa alami dari Sarang Burung Walet yaitu D-galactose dan Sialic

acid, serta dua senyawa kontrol yaitu 4-chloromercurin dan kifunensine yang

45
telah diketahui potensinya sebagai inhibitor pada molekul spesifik dari Candida

albicans (Li, et al., 2017).

(a)

(b)

Gambar 10. Site pengikatan sialic acid (merah), dan 4-chloromercurib (biru)
dengan Beta Galactosidase (hijau).

Hasil molecular docking dengan menggunakan software PyRx

menunjukkan bahwa senyawa sialic acid memiliki afinitas pengikatan pada beta

galactosidase. Hasil visualisasi molekular docking menggunakan software

PyMOL diketahui bahwa, sialic acid dan 4-chloromercurin berikatan dengan Beta

Galactosidase pada site yang sama disajikan pada gambar 10 (PyMOL, 2017).

46
(a)

(b)

Gambar 11. Site pengikatan D-Galactose (kuning), dan Kifunensine (ungu)


dengan Monosyl Oligosakarida (hijau)

Hasil molecular docking menggunakan software PyRx diketahui bahwa

senyawa D-Galaktose memiliki afinitas pengikatan pada monosyl oligosakarida.

Hasil visualisasi molekular docking menggunakan software PyMOL diketahui

bahwa, D-Galactose dan Kifunensine berikatan dengan Beta Galactosidase pada

site yang sama disajikan pada gambar 11 (PyMOL, 2017).

Secara in silico dapat dilihat berdasarkan dari semua perolehan data yang

berasal dari database menunjukkan bahwa adanya ikatan antara senyawa alamiah

dengan protein target dan ligan. Molekul senyawa dari Candida albicans ketika

direaksikan dengan molekul senyawa dari sarang burung walet terbukti mampu

47
menghambat pertumbuhan bakteri tetapi bersifat nonpolar, artinya senyawa yang

berpotensi sebagai antimikroba akan tertarik menggunakan pelarut nonpolar

(Uniprot, 2017). Uji in silico ini hanya dilakukan pada Candida albicans karena

datebase yang dibutuhkan lengkap. Sedangkan pada Propionibacterium acne

tidak dilakukan uji in silico karena masih terbatasnya data base dari beberapa

sumber sehingga pengujian hanya sampai laboratorium basah.

48
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

V.1 Kesimpulan

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa:

1. Tidak diperoleh adanya daya hambat pada hasil uji ekstrak sarang burung

walet terhadap Candida albicans sedangkan pada Propionibacterium acne

diperoleh zona bening tetapi tergolong sangat lemah.

2. Hasil analisis dengan teknik reverse docking diperoleh bahwa antimikroba

berupa D-Galaktose dan Sialic Acid dari ekstrak sarang burung walet

Collocalia fuciphaga memiliki potensi sebagai antijamur terhadap Candida

albicans, namun belum ditemukan pada potensi antibakteri pada

Propionibacterium acne.

V.2 Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai uji antimikroba ekstrak

sarang burung wallet Collocalia fuciphaga terhadap bakteri gram penyebab

penyakit kulit.

49
DAFTAR PUSTAKA

Achermann, Y., Goldstein, E.J.C., Coenye, T., Shirtliff, M.E. 2014.


Propionibacterium acnes: from commensal to opportunistic biofilm-
associated implant pathogen. Clin. Microbiol. Rev. 27: 419-440.

Adnan, A. 2010. Importance and Applications of Bioinformatics in Molecular


Medicine. Biotech Articles. Retrieved Juli 24, 2017, from
www.biotecharticles.com

Aida, A.N., Suswati, E., Misnawi. 2001. Uji In Vitro Efek Ekstrak Etanol Biji
Kakao (Theobroma cacao) sebagai Antibakteri terhadap
Propionibacterium acnes. e-Jurnal Pustaka Kesehatan. 4(1): 127-131.

Andayani, W., Prihartini, E., Sariningsih, M. 2012. Deteksi Kadar Nitrat Dan
Nitrit Pada Komoditas Sarang Burung Walet Yang Diekspor Melalui
Bandara Internasional Juanda. Laboratorium Uji Karantina Hewan Balai
Besar Karantina Pertanian Surabaya. [Skripsi]. Surabaya.

Aswir, A.R., Wan Nazaimoon, W.M. 2011. Effect of edible bird‟s nest on cell
proliferation and tumor necrosis factor-alpha (TNF-α) Release in vitro.
International Food Research Journal 18(3): 1123-1127.

Avc, A., Mehmetoglu, A.C., Arslan, D. 2017. Production of antimicrobial


substances by a novel Bacillus strain inhibiting Salmonella Typhimurium.
LWT - Food Science and Technology 80: 265-270.

Berthelot, P., Carricajo, A., Aubert, G., Akhavan, H,. Gazielly, D., Lucht, F. 2006.
Outbreak of postoperative shoulder arthritis due to Propionibacterium
acnes infection in nondebilitated patients. Infect Control Hosp Epidemiol.
27: 987-990.

Brooks, G.F., Janet, S.B., Stephen, A.M. 2005. Mikrobiologi Kedokteran.


Salemba Medika. Jakarta.

Brown, G.D., Denning, D.W,, Gow N.A.R., Levitz, S.M., Netea, M.G., White,
T.C. 2012. Human fungal infections: the Hidden Killers. Science
Translational Medicine 4(165).

50
Bruggemann, H., Henne, A., Hoster, F., Liesegang, H., Wiezer, A., Strittmatter,
A., Hujer, S., Durre, P., Gottschalk, G. 2004. The complete genome
sequence of Propionibacterium acnes. A commensal of human skin,
Science 305: 671-673.

Budiman, A. 2005. Budi Daya Dan Bisnis Sarang Walet. Penebar Swadaya.
Jakarta.

Budiman, A. 2011. Memproduksi Sarang Walet Kualitas Atas. Penebar Swadaya.


Jakarta.

Chua, LS., Zukefli, S.N. 2016. A comprehensive review on edible bird nests and
swiftlet farming. Journal of Integrative Medicine. 14(6): 415–428.

Connolly, Creighton. 2016. A place for everything‟: Moral landscapes of „swiftlet


farming‟ in GeorgeTown, Malaysia. Geoforum. 77: 182–191.

Effendy, M. 2015. Edible Bird Nest As Multipotential Agent. Journal Majority.


14(5): 40-44.

Elfita, L. 2014. Analisis Profil Protein Dan Asam Amino Sarang Burung Walet
(Collocalia Fuchipaga) Asal Painan. Jurnal Sains Farmasi &Klinis. 1(1):
27-37.

Gosler, A. 2007. Birds pf The World: A Photographic Guide. Firefly Books Inc.,
New York.

Guo, L., Wu, Y., Liu, M., Wang, B., Ge, Y., Chen, Y. 2014. Authentication of
Edible Bird‟s Nests By TaqMan-based Real-Time PCR. Food Control
(44): 220-226.

Hakim, A. 2011. Karakteristik Lingkungan Rumah dan Produksi Sarang Burung


Walet (Collocalia fuciphaga) Di Kecamatan Haurgeulis, Kabupaten
Indramayu, Jawa Barat. [Skripsi]. Bogor: Depertemen Ilmu Produksi dan
Teknologi Peternakan. Fakultas Peternakan. Institut Teknologi Bogor.

Harmita dan Radji, M. 2006. Bahan Ajar Analisis Hayati. Buku Kedokteran EGC.
Jakarta.

51
Haruki, Y., Hagiya, H., Takahashi, H., Yoshida, H., Kobayashi, K., Yukiue, T.,
Tsuboi, N., Sugiyama, T. 2016. Risk factors for Propionibacterium acnes
infection after neurosurgery: A case-control study. Joual Infect
Chemother. 30: 1-3.

Hun, T.L., Wani, A.W., Tjih, T.T.E., Adnan, A.N., Ling, L.Y., dan Aziz, A.Z.
2015, Investigations into the physicochemical, biochemical and
antibacterial properties of Edible Bird‟s Nest, Journal of Chemical and
Pharmaceutical Research, 7(7):228-247.

Irma. 2014. Pemberian Krim Ekstrak Sarang Walet 10% Meningkatkan


Epitelisasi Pada Penyembuhan Luka Mencit (Mus musculus). [Skripsi].
Denpasar : Program Pascasarjana. Universitas Udayana.

Irma, A., Zaraswati, D., dan Haedar, N. 2015. Efektivitas antimikroba bakteri
Probiotik Dari Usus Itik Pedaging Anas domesticus Terhadap
Pertumbuhan Vibrio spp.[Skripsi]. Makassar: Jurusan Biologi. Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetuan Alam Universitas Hasanuddin.

Juretic, D., Lucic, B., & Trinajstic, N. 2005. Why Focusing on Bioinformatics?
Periodicium Biologorum, 107(4), 379-383.

Kanti, E.A.A., Soraya, R. 2014. Tinea Corporis With Grade I Obesity In Women
Domestic Workers Age 34 years. Medula. 2 (4).

Kumar BHA, Sachidanand. 2001. Treatment Of Acne Vulgaris with New


Polyherbal Formulations, Clarina Cream, and Purim Tablets. Journal
Dermatology. 46(3): 138-141.

Li, J., Zhou, W., Francisco, P., Wong, R., Zhang, D., Smith, S.M. 2017. Inhibition
of Arabidopsis Chloroplast Beta amylase BAM3 By Maltotriose suggests
a mechanism for the control of transitory leaf starch mobilization.
12(2):e0172504.

Lay W.B., dan Sugyo H. 1994. Mikrobiologi. Institut Pertanian Bogor. Jawa
Barat.

Luscombe, N. M., Greenbaum, D., & Gerstein, M. 2001. What is Bioinformatics?


An Introdustion and Overview. Review Paper. 83-100.

52
Malekzadeh, M., Najafabadi, H.A., Hakim, M., Feilizadeh, M., Vossoughi, M.,
Rashtchian, D. 2016. Experimental study and thermodynamic modeling
for determining the effect of non-polar solvent (hexane)/polar solvent
(methanol) ratio and moisture content on the lipid extraction efficiency
from Chlorella vulgaris. Bioresource technology. 201: 304-311.

McEwan, A.N., Remet, A.C., Gatto, H., dan Nuttall, J.T. 2008, Monosaccharide
inhibition of adherence By Pseudomonas aeruginosa to canine
corneocytes, Journal Compilation, 19(1): 221–225.

Micheal, B., Boy, R.S., dan L.M. Ekawati P. 2014. The Potensial of Kefir As
Antibacterial Agent Against Propionib acterum acnes. Fakultas
Teknologi, Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

Mycek, M. J. 2001. Farmakologi :Ulasan Bergambar Edisi 2. WidyaMedika.


Jakarta.

Pelczar dan Chan. 1988. Dasar-Dasar Mikrobiologi Jilid II. diterjemahkan oleh
Ratna Siri Hadioetomo, Teja Imas, S. Sutami, Sri Lestari. Universitas
Indonesia. Jakarta. Hal: 545-873.

Pelczar, M.J dan E.C.S. Chan. 2005. Dasar-Dasar Mikrobiology I. Universitas


Indonesia Press. Jakarta Terjemahan dari : Elements of Microbiology.

PubChem. 2015. PubChem. Retrieved November 11, 2017, from PubChem:


https://pubchem.ncbi.nlm.nih.gov.

Saengkrajang, W., N. Matan. 2011.Antimicrobial Activities of the Edible Bird‟s


Nest Extracts Against Food-borne Pathogens. Thai Journal of
Agricultural Scince. 44(5): 326-330.

Sen, C.K., Gordillo, G.M., Roy, S., Kirsner, R., Lambert, L., Hunt, T.K., Gottrup,
F., Gurtner, G.C., Longaker, M.T. 2009. Human skin wounds: A major
and snowballing threat to public health and the economy. Wound Repair
Regen, 17: 763-771.

Simatupang, M.M. 2009. Infeksi Candida albicans Pada Kulit.[Skripsi]. Sumatra


Utara. Departemen Mikrobiologi. Fakultas Kedokteran. Universitas
Sumatra Utara.

53
Sholichah, N.M. 2010. Isolasi rare actinomycetes dari pasir pantai Depo Daerh
Istimewa Yogyakarta yang Berpotnsi Antifui Terhdap Canda albican.
[Skripi]. Surakarta. Fakultas Farmasi Universitas Muhamadiyah
Surakarta.

Sofwan, A. dan P. W. 2005. Rancangan bangunan system pengendalian suhu dan


kelembaban udara pada rumah burung walet berbasis mikrokontroler
AT89C51. ISBN:979-756-061-6.

Tahir, Muhammad. 2010. Pathogenesis of acne vulgaris : simplifiled. Jurnal Of


Pakistan Association of Dermatologist, 20: 93-97.

Tebruegge, M., Jones, C., Graaf, H., Sukhtankar, P., Allan, R., Howlin, R. 2015.
Invasive Propionibacterium acnes infections in a non-selective patient
cohort: clinical manifestations, management and outcome. Eur Journal
Clin Microbiol Infect Dis. 34: 527-534.

Tjitrosoepomo, G. 2003. Taksonomi Tumbuhan Schizophyta, Briophyta,


Thallophyta, Pterydophyta. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.

Tortora, G.J., Funke, B.R., Case, C.L. 2001. Microbiologi, an Introduction. 7th
edition. USA : Addison Wesley Longman Inc. 562, 692-775.

Wang, Y. 2012. PubChem‟s BioAssay Database. Nucleic Acids Research, D400–


D412. doi:10.1093/nar/gkr1132.

Witarto, A. B. 2003. Bioinformatika: Mengawinkan Teknologi Informasi dengan


Bioteknologi. Seminar Teknologi Informasi. Bogor: Ilmu Komputer.com.

Zeller,V., Ghorbani, A., Strady, C., Leonard, P., Mamoudy, P., Desplaces, N.
2007. Propionibacterium acnes: an agent of prosthetic joint infection and
colonization. Journal Infect. 55: 119-124.

Zhao, R., Li, G., Kong, X.J., Huang, X.Y., Li, W., Zeng, Y.Y. 2016. The
improvement effects of edible bird‟s nest on proliferation and activation
of B lymphocyte and its antagonistic effects on immunosuppression
induced by cyclophosphamide. Drug Design, Development and Therapy
10: 371–38.

54
LAMPIRAN

Lampiran 1. Skema Kerja Pembuatan Ekstrak Kasar Sarang Burung


Walet Colloalia fuciphaga

100 gr Sarang Burung Walet


Collocalia fuciphaga

Dihaluskan dengan
Menggunakan mesin

Tepung Sarang Burung Walet


Collocalia fuciphaga

Dimaserasi Menggunakan Pelarut


Metanol 96% Sebanyak 200 ml,
Dilakukan Sebanyak 3 kali

Dieveporasi

Ekstrak Kasar Sarang Burung


Walet Collocalia fuciphaga

55
Lampiran 2. Skema Uji Daya Hambat Ekstrak Kasar Sarang Burung Walet
Colloalia fuciphaga Terhadap Propionibacterium acne dan
Candida albicans

Ekstrak Kasar Sarang Burung Walet Collocalia fuciphaga

Dibuat Menjadi Konsentrasi 2,5% 5% 10% 20% 40%

Uji Daya Hambat

Paper Disk Direndam dalam Sarang Burung Walet Collocalia


fuciphaga Konsentrasi 2,5% 5% 10% 20% 40% Tetraciclyn,
Ketokonazol dan Aquades, selama  15 menit. Paper Disk
Kemudian Diletakkan Diatas Permukaan Media yang Telah
Disediakan.

Sebanyak 1 ml Suspensi Jamur Sebanyak 1 ml Suspensi Bakteri


Candida albicans Propionibacterium acne
diinokulasikan pada Medium diinokulasikan pada Medium
PDA yang belum memadat, lalu MHA yang belum memadat, lalu
Dihomogenkan. Medium Dihomogenkan. Medium
kemudian dituang ke dalam kemudian dituang ke dalam
Cawan Petri secara Aseptis Cawan Petri secara Aseptis
secukupnya, selanjutnya secukupnya, selanjutnya
ditunggu hingga memadat. ditunggu hingga memadat.

Diinkubasi pada Suhu 370C Diinkubasi pada Suhu 370C


Selama 24 jam, 48 jam dan 72 secara anaerob Selama 24 jam
jam dan 48 jam

Pengukuran Zona Hambat dan


Analisis Data

56
Lampiran 3. Proses Pengerjaan Penelitian

Gambar 19. Proses Maserasi

Gambar 20. Proses evaporasi maserat dari Sarang Burung Walet


Collocalia fuciphaga dan ekstrak serbuk Sarang Burung
Walet Collocalia fuciphaga

57
Gambar 21. Proses Pembuatan Media

Gambar 22. Pembuatan konsentrasi ekstrak

58
Gambar 23. Pengerjaan Uji Daya Hambat

Gambar 24. Pengukuran Uji Daya Hambat

59

Anda mungkin juga menyukai