SKRIPSI
WENDELINDIA V.T.T
O11112262
i
PERNYATAAN KEASLIAN
Wendelindia V.T.T.
ii
ABSTRAK
Penelitian dengan judul Pengaruh Pemberian Air Rebusan Biji Pinang (Areca
catechu L) Terhadap Infeksi Cacing Ascaris suum secara In Vivo Pada Babi, dilakukan
pada bulan Agustus 2016. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh
pemberian air rebusan biji pinang terhadap infeksi cacing Ascaris suum secara in vivo
pada babi. Sampel awal yang digunakan pada penelitian ini ada 40 sampel, kemudian
dilakukan uji apung dan 22 positif, kemudian dilakukan pengujian Mc.Master dan 16
sampel yang dapat dihitung telur cacingnya. Kemudian diambil 16 sampel untuk dibagi
atas 4 kelompok dan diberikan perlakuan setiap 3 hari selama 9 hari, dengan hasil untuk
cacing Ascaris suum, albendazole 69%, Pinang konsentrasi 20% yaitu 42%, pinang
konsentrasi 40% yaitu 70%, dan pinang konsentrasi 80% yaitu 62%. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa konsentrasi dari biji pinang yang paling baik untuk mengatasi
cacing Ascaris suum adalah air rebusan biji pinang dengan konsentrasi 40%.
Kata Kunci : Air Rebusan Biji Pinang, Ascaris suum , Babi, Saluran pencernaan.
iii
ABSTRACT
WENDELINDIA V.T.T. O11112262. The Influence of Areca Nut (Areca catechu L.)
Stew Water toward an Infection of Ascaris suum. in vivo on Pig. Under supervision of
LUCIA MUSLIMIN and MUH. NUR AMIR
This research has been done with the title of "The Influence of Areca Nut (Areca
catechu L.) stew water toward an Infection of Ascaris suum in vivo on Pig". The
research was conducted in August 2016. The research aims to determine the influence of
areca nut water stew toward an infection of Ascaris suum worms in vivo on pig.. The
used initial samples were 40 then followed by floating test and 22 of them were positive.
Afterwards, Mc. Master test was conducted and there are 16 samples that their worm
eggs can be counted. Then, 16 samples were taken to be divided into 4 groups and given
treatment every 3 days for 9 days, and the result albendazole is 69%, concentration 20%
of areca nut of 42%, concentration 40% of areca nut 70%, and concentration 80% of
areca nut of 62%. The result of the research showed that the best concentration of areca
nut to overcome Ascaris suum. worms is the 40% concentration of areca nut stew water.
Keywords :Areca Nut Stew Water, Ascaris suum., Pig, Digestive Tract
iv
PENGARUH PEMBERIAN AIR REBUSAN BIJI PINANG
(Areca catechu L) TERHADAP INFEKSI CACING Ascaris suum
SECARA In Vivo PADA BABI
WENDELINDIA V.T.T.
O11112262
Skripsi :
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Program Studi Kedokteran Hewan
Fakultas Kedokteran
v
vi
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
karena oleh nikmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul “Pengaruh Pemberian Air Rebusan Biji Pinang (Areca catechu L) Terhadap
Infeksi Cacing Ascaris Suum Secara In Vivo Pada Babi”. Skripsi ini merupakan hasil
dari penelitian dan disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Kedokteran Hewan (S.Kh). Dengan selesainya skripsi ini, penulis mengucapkan terima
kasih yang tidak terhingga kepada :
1. Ayahanda Simon Tandira’pak, dan ibunda Asteria Fides Tambing, yang telah
memberikan kasih sayang, doa yang terbaik dan dukungan moril yang sangat
luar biasa serta bantuannya selama penelitian hingga sripsi ini terselesaikan.
2. Prof. Dr. Dwia Aries Tina Pulubuhu, M.A. selaku Rektor Universitas
Hasanuddin.
3. Prof. Dr. dr. Andi Asadul Islam, Sp.BS. selaku Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin.
4. Prof. Dr. drh. Lucia Muslimin, M.Sc selaku Ketua Program Studi Kedokteran
Hewan Universitas Hasanuddin, serta sebagai Pembimbing Akademik (PA),
dan juga sebagai pembimbing utama yang telah meluangkan waktu, tenaga dan
pikiran untuk membimbing penulis selama penelitian dan penyusunan skripsi.
5. Bapak Muh Nur Amir, S.Si, M.Si, Apt selaku pembimbing yang telah
meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk membimbing penulis selama
penelitian dan penyusunan skripsi.
6. drh. Sandra Diah Widhyana, drh. Adriany Ris M.Si, dan drh. Alfinus selaku
pembahas dan penguji dalam seminar proposal, seminar hasil dan ujian skripsi
yang telah memberikan masukan dan komentar yang sangat membangun
dalam penyusunan skripsi ini.
7. Dr. drh. Dwi Kesuma Sari dan drh. Dini Kurnia Ikliptikawati selaku panitia
seminar proposal dan panitia seminar hasil yang banyak membantu dan
memberi kemudahan bagi penulis.
8. Para dosen dan staf tata usaha di Program Studi Kedokteran Hewan Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanuddin yang telah memberikan banyak bantuan
dan dukungan bagi penulis selama kuliah.
9. Staf Laboratorium Parasitologi BBVet Maros; drh. Hadi Purnama W, drh.
Fitri Amaliah, Ibu Siti Aminah, Bapak Muh. Irfan, Amd, kak Rika Rahim yang
banyak membantu dan membimbing penulis selama proses penelitian.
10. Para peternak di desa Pangala, Kecamatan Rinding Allo, Kabupaten Toraja
Utara yang telah banyak memberikan bantuan.
11. L. Robby Hartono M.P. yang telah memberikan semangat, perhatian, dan
selalu sabar membantu penulis dimanapun dan kapanpun, hingga penulis
menyelesaikan skripsi ini.
vii
12. Keempat adik yang tersayang Wensesclaudia Virginnia T.T. (Cicok),
Wendelina Vinsensia T.T (Ibong), Cherish Venansia T.T. (Cherish), dan
Putra Vinsensius T. (Putat) yang dengan setia memberikan dukungan serta
perhatian hingga penulis menyelesaikan skripsi ini.
13. Sahabat-sahabat tersayang, Hidayanti Adillah, Fridayanti Kusuma Indah
Cantik, dan Try Agustianingsih yang selalu setia menemani dan membantu
mulai dari semester satu hingga saat ini, terimakasih untuk waktunya, untuk
persahabatannya, dan untuk kebersamaannya dalam suka dan duka.
14. Sahabat sejak SMP, Fransiska Nova Ika (ope’) , Dea Hardiyanti (Pekong),
Hamidah Nur Aulia Hamid (Ham), Nuraeva Pakata (Epa), Indahna Lola
Palentek yang selalu memberikan semangat dan perhatian kepada penulis
untuk menyelesaikan skripsi ini, terima kasih untuk semua kebersamaannya.
15. Teman-teman cantika’s Agustina L, Wira Nisrina, Castelein Marlen L,
Jenecklin, Jisril P, Novtri P, Putri, dan Jeslin yang senantiasa memberikan
semangat kepada penulis.
16. Teman-teman Akestor Anwelf angkatan 2012 Kedokteran Hewan Unhas,
yang telah memberikan motivasi dan bantuan, yang telah berjuang bersama-
sama.
17. Kakak-kakak V-gen (2010) dan Clavata (2011), adik-adik O-Brev (2013),
Rollvet (2014) dan adik-adik Vermillion (2015) yang telah memberikan
dukungan dan doanya.
18. Teman-teman KKN Tematik Pulau Sebatik gelombang 90, di kecamatan
Sebatik Tengah, Kak Agung, Dian, kak El, Juliandi, Aris, Kak Iping, Elis,
Ika, Elvi, dan Ani yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi, dan
yang telah memberikan motivasi serta dukungan.
19. Semua pihak yang membantu penulis baik secara langsung maupun tidak
langsung dalam seluruh proses perkuliahan di Universitas Hasanuddi.n.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena
itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi terciptanya hasil
karya yang baik dan dapat bermanfaat untuk kemajuan ilmu pengetahuan.
Wendelindia V.T.T.
viii
DAFTAR ISI
ix
3.3. Alat Penelitian ............................................................................................... 12
3.4. Perlakuan ...................................................................................................... 12
3.5. Pengambilan Sampel ..................................................................................... 12
3.6. Prosedur Pemeriksaan Feses .......................................................................... 13
3.7. Pembuatan Air Rebusan Biji Pinang ............................................................. 13
3.8 Analisis Data ................................................................................................ 14
4. HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................................... 15
4.1 Hasil Penelitian ............................................................................................ 15
4.2 Pembahasan .................................................................................................. 20
5. PENUTUP .......................................................................................................... 23
5.1 Kesimpulan ................................................................................................... 23
5.2 Saran ............................................................................................................. 23
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 24
LAMPIRAN ............................................................................................................. 28
RIWAYAT HIDUP ................................................................................................... 37
x
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR TABEL
1. Tabel Hasil Uji Identifikasi Telur Cacing dengan Metode Uji Apung ................... 16
2. Tabel Hasil Uji Mc. Master Sebelum dan Setelah Perlakuan ................................. 17
3. Tabel Hasil Perhitungan dengan FECR 18
DAFTAR LAMPIRAN
xi
1. PENDAHULUAN
1
ada dalam setiap upacara adat masyarakat Toraja yang digunakan sebagai suguhan
kepada tamu dan sebagai rasa penghormatan.
Biji pinang merupakan bagian dari tanaman pinang (Arecae catechu L) secara
empiris digunakan sebagai obat cacing dengan cara meminum air rebusan biji pinang
yang telah dihaluskan (Trubus, 2013). Penelitian sebelumnya mengenai efek
antelmintik infusa biji pinang (Arecae catechu L) terhadap Ascaris suum secara in vitro
telah dilakukan oleh Tampubolon pada tahun 2014 dengan hasil infusa biji pinang dosis
20%, 40%, dan 80% efektif sebagai antelmintik terhadap Ascaris suum. Untuk itu perlu
dilakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh pemberian air rebusan biji pinang
secara in vivo sebagai antelmintik pada ternak, khususnya pada babi.
Dari latar belakang yang telah dikemukakan, maka perlu dilakukan penelitian
tentang “Pengeruh Pemberian Air Rebusan Biji Pinang (Areca catechu L) Terhadap
Infeksi Cacing Ascaris suum Secara In Vivo Pada Babi“.
2
1.4.2 Manfaat Aplikasi
Adapun manfaat aplikasi dari penelitian ini yaitu :
Untuk Peneliti
Melatih kemampuan meneliti dan menjadi acuan bagi penelitian-penelitian
selanjutnya.
Untuk Masyarakat
Mengetahui ciri-ciri babi yang terserang cacing jenis Ascaris suum, serta
mengetahui cara penanggulangan cacing Ascaris suum sehingga dapat menjaga
dari cemaran cacing Ascaris suum.
1.5 Hipotesis
Air rebusan biji pinang (Areca catechu L) memiliki pengaruh terhadap infeksi
cacing Ascaris suum.
Penelitian mengenai identifikasi cacing Ascaris suum pada ternak babi di Toraja
Utara belum pernah dilakukan. Pada tahun 2014 oleh Tampubolon, telah dilakukan
penelitian mengenai pengaruh pemberian air rebusan biji pinang untuk mengatasi cacing
Ascaris suum pada babi namun secara in vitro.
3
2. TINJAUAN PUSTAKA
Endoparasit merupakan parasit yang hidup dalam jaringan atau dalam tubuh
hospes. Endoparasit merupakan salah satu masalah pada ternak yang dapat
menimbulkan banyak kerugian, walaupun penyakit ini kadang-kadang tidak langsung
mematikan, akan tetapi kerugiannnya dari segi ekonomi sangat besar dan dapat
menimbulkan kerugian berupa penurunan berat badan ternak, penurunan produksi susu,
kualitas daging, kulit, jeroan, produktivitas ternak sebagai tenaga kerja di sawah serta
bahaya penularan terhadap manusia atau zoonosis. Contoh endoparasit seperti protozoa,
cacing trematoda, cestoda, dan nematoda (Arifin, 1982).
2.1.1 Nematodiasis
Nematodiasis merupakan penyakit yang disebabkan oleh nematoda saluran
pencernaan (gastrointestinal) merupakan sekelompok cacing nematoda yang terdapat
pada saluran pencernaan ternak ruminansia sapi, kerbau, kambing, domba, kuda, babi
dan mamalia lainnya (Beriajaya, 2004). Salah satu sifat merugikan yang dapat
ditimbulkan oleh cacing pada saluran pencernaan yaitu gangguan nafsu makan dan
pertumbuhan. Gangguan pada pertumbuhan akan berlangsung cukup lama sehingga
produktivitas akan turun (Kaufmann, 1996). Gejala-gejala dari hewan yang terinfeksi
cacing antara lain, badan lemah dan bulu rontok. Infeksi berlanjut diikuti dengan
anemia, diare dan badannya menjadi kurus yang akhirnya bisa menyebabkan kematian
(Ardana dan Putra, 2008).
Infeksi parasit berdasarkan epidemiologi parasit dipengaruhi oleh 3 faktor
utama, antara lain faktor : parasit (terutama cara penyebaran atau siklus hidup, viabilitas
atau daya tahan hidup, patogenisitas dan imunogenisitas), faktor hospes (terutama
spesies, umur, ras, jenis kelamin, status imunitas dan status gizi), serta faktor
lingkungan (terutama musim, keadaan geografis, tata laksana peternakan) (Soulsby,
1982; Urquhart et al. 1985; Roberts, 2005).
4
Gambar 1 : Cacing Nematoda (Sumber : Fox, 2012).
5
Larva menembus dinding usus dan migrasi menuju hati melalui sistem porta hepatik.
Larva stadium dua tersebut kemudian bermigrasi dan berkembang di dalam hati,
menyilih menjadi stadium ke tiga dalam 4-5 hari. Kemudian menuju jantung dan paru-
paru melalui aliran darah. Larva tersebut berkembang lebih lanjut pada paru-paru,
menyilih menjadi stadium ke empat setelah 5-6 hari, dan kemudian bergerak perlahan
dari alveoli ke bronkiola, bronki, dan trakea. Puncak dari perpindahan ini terlihat sekitar
12 hari sesudah infeksi. Larva dibatukkan, tertelan, dan mencapai usus kecil dan
kemudian menjadi dewasa. Banyak larva stadium ke empat ditemukan dalam usus halus
2-3 minggu sesudah infeksi. Masa prepaten 7-9 minggu, dan sedikit sekali cacing
dewasa yang hidup lebih dari satu tahun (Levine, 1990).
Pada stadium larva, Ascaris suum dapat mengakibatkan terbentuknya jejas
berwarna putih di bawah kapsul hati (milk spot), bronchitis, dan pneumonia. Sedangkan
cacing dewasa dalam usus halus dengan jumlah yang banyak sering menyebabkan
penyumbatan pada usus, sehingga terjadi kolik dan iritasi hingga enteritis lalu timbul
gejala diare, demam dan anemia. Selain itu teramati kelemahan umum seperti dehidrasi,
penurunan berat badan dan kekurusan (Urquhart, et al.,1985).
Babi adalah ternak monogastrik dan bersifat prolifik (banyak anak tiap
kelahiran), dan dalam umur enam bulan sudah dapat dipasarkan. Selain itu ternak babi
efisien dalam mengkonversi berbagai sisa pertanian dan restoran menjadi daging
(Ensminger, 1991). Babi merupakan hewan yang dipelihara untuk tujuan tertentu, salah
satunya untuk memenuhi kebutuhan akan daging atau protein hewani bagi manusia.
Ternak babi merupakan salah satu komoditas ternak penghasil daging yang memiliki
potensi besar untuk dikembangkan, karena mempunyai sifat-sifat menguntungkan yaitu:
pertumbuhannya cepat, efisien dalam mengubah pakan menjadi daging dan memiliki
daya adaptasi yang tinggi terhadap makanan dan lingkungan (Silalahi dan Sinaga,
2010).
6
Adapun klasifikasi babi (Sihombing, 1997), yaitu :
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Sub Filum : Vertebrata
Class : Mammalia
Ordo : Artiodactyla
Famili : Suidae
Genus : Sus
Spesies : Sus scrofa
Sus vittatus / Sus strozzli
Sus cristatus
Sus leucomystax
Sus celebensis
Sus verrucosus
Sus barbatus
7
hidup di empat daerah yaitu babi Nias yang hidup di Nias, babi Toba atau babi Batak
yang hidup di daerah Toba Samosir dan Tapanuli Utara dan babi Samosir yang hidup di
daerah Samosir, babi lokal tersebut secara umum memiliki karakteristik rambut
berwarna hitam keabu-abuan, punggung melengkung dan kadang ada yang datar, bagian
badan besar dan rendah sehingga bagian perutnya menyentuh tanah, moncongnya
panjang serta telinganya sedikit runcing dan kecil (Gea, 2009).
Sistem pemeliharan babi di Toraja dilakukan secara tradisional dan semi intensif.
Pakan yang diberikan pada babi juga bervariasi tergantung dari keadaan ekonomi tiap
keluarga. Biasanya pakan yang diberikan berupa dedaunan hijau yang dicampurkan
dengan dedak maupun makanan sisa dari dapur. Pakan ini dimasak dahulu sebelum
diberikan, namun ada juga yang langsung mencampurkan pakan tanpa dimasak terlebih
dahulu dan langsung diberikan (Siagian, 2014).
Penanggulangan terhadap infeksi cacing yang saat ini sering dilakukan adalah
dengan memberi obat cacing (antihelmintik). Pemberian obat cacing harus dilakukan
secara berkala, karena ternak dapat terinfeksi melalui rumput atau pakan (Larsen, 2000).
Penanganan dan pengendalian helminthiasis atau kasus kecacingan dapat dilakukan
8
dengan pemberian antelmintik (Astiti dkk., 2011). Antelmintik atau obat cacing adalah
obat yang digunakan untuk mengurangi atau menghilangkan cacing dalam lumen usus
atau jaringan tubuh hewan atau manusia. Kebanyakan obat cacing efektif terhadap satu
macam cacing, sehingga diperlukan diagnosis tepat sebelum menggunakan obat tertentu.
Beberapa obat yang sering digunakan seperti albendazole, levamisol, mebendazole dan
piperazine (Syarif dan Elysabeth, 2007).
Albendazole adalah obat cacing derivat benzimidazol berspektrum luas yang
dapat diberikan secara peroral. Dosis tunggal efektif untuk infeksi cacing nematoda.
Obat ini bekerja dengan cara berikatan dengan β-tubulin parasit sehingga menghambat
polimerisasi mikrotubulus dan memblok pengambilan glukosa oleh larva maupun cacing
dewasa, sehingga persediaan glikogen menurun dan pembentukan ATP sebagai sumber
energi berkurang, akibatnya cacing akan mati (Syarif dan Elysabeth, 2007). Obat ini
juga memiliki efek larvicid (membunuh larva) pada penyakit hydatid, cysticercosis,
ascariasis, dan infeksi cacing tambang serta efek ovicid (membunuh telur) pada
ascariasis, ancylostomiasis, dan trichuriasis (Plumb, 2002).
9
kemerahan, agak berlekuk-lekuk menyerupai jala dengan warna yang lebih muda. Pada
bidang irisan biji tampak perisperm berwarna coklat tua dengan lipatan tidak beraturan
(Depkes RI, 1989). Tanaman ini berbunga pada awal dan akhir musim hujan dan
memiliki masa hidup 25-30 tahun.
(A) (B)
Gambar 4: (A) Pohon Pinang, (B) Biji Pinang
10
2.4.3 Kandungan Biji Pinang
Kandungan utama biji pinang adalah karbohidrat, lemak, serat, polyphenol
termasuk flavonoids dan tanin, alkaloid dan mineral (IARC, 2004). Biji pinang
mengandung catechin, tanin (15%), asam galat, gum dan alkaloid seperti arekolin
(0.07%), arekain (1%). Arekaidin and guvakolin, guvasin and choline ada dalam
jumlah sedikit. Dari kesemua kandungannya, arekolin merupakan alkaloid yang paling
penting (Reena et al., 2009 dalam Joshi et al., 2012).
Biji buah pinang mengandung alkaloid, seperti arekolin (C8 H13 NO2),
arekolidine, arekain, guvakolin, guvasine dan isoguvasine (Wang et al., 1996). Jenis
alkaloid yang dominan yang terdapat di dalam biji pinang dan yang kemungkinannya
mempunyai efek antelmintik adalah arekolin (Suryati dan Suprapto, 1988). Arekolin
bersifat racun bagi beberapa jenis cacing (Lutony, 1993; Suharsono, 1994) dan
menyebabkan paralisis sementara (Firgorita, 1991).
Nonaka (1989) menyebutkan bahwa biji buah pinang mengandung
proantosianidin, yaitu suatu tanin terkondensasi yang termasuk dalam golongan
flavonoid. Senyawa tanin diduga memiliki kemampuan daya antelmintik yang mampu
menghambat enzim dan merusak membran (Shahidi dan Naczk, 1995). Terhambatnya
kerja enzim dapat menyebabkan proses metabolisme pencernaan terganggu sehingga
cacing akan kekurangan nutrisi pada akhirnya cacing akan mati karena kekurangan
tenaga. Membran cacing yang rusak karena tanin menyebabkan cacing paralisis yang
akhirnya mati. Tanin umumnya berasal dari senyawa polifenol yang memiliki
kemampuan untuk mengendapkan protein dengan membentuk koopolimer yang tidak
larut dalam air (Harborne, 1987). Tanin juga memiliki aktivitas ovasidal, yang dapat
mengikat telur cacing yang lapisan luarnya terdiri atas protein sehingga pembelahan sel
didalam telur tidak akan berlangsung pada akhirnya larva tidak terbentuk (Tiwow et al.,
2013). Pada pengobatan hewan, ekstrak biji pinang digunakan untuk pengobatan cacing
pada anjing dan ternak, dan untuk mengobati masalah pencernaan pada kuda (Hannan et
al., 2012).
11
3. METODOLOGI PENELITIAN
12
yang sudah diberikan larutan formalin 10%. Klip plastik yang berisi sampel feses segar
kemudian dimasukkan ke dalam coolbox untuk menjaga agar feses tetap dalam kondisi
yang baik dan tidak rusak yang selanjutnya akan dibawa menuju Laboratorium BBVet
Maros untuk dilakukan pemeriksaan identifikasi telur cacing Ascaris suum.
Pengulangan pengambilan sampel dilakukan setiap 3 hari setelah diberikan perlakuan
dengan albendazole dan air rebusan biji pinang konsentrasi tertentu, cara pengambilan
sampel dilakukan sama seperti pengambilan sampel awal.
13
mendapatkan air rebusan biji pinang dengan konsentrasi 40% dan 80%. Setelah
ditimbang, lalu dimasukkan kedalam wadah, dan ditambahkan air sesuai dengan
konsentrasi masing-masing kelompok, lalu dilakukan proses perebusan. Proses
perebusan dilakukan selama 15 menit dengan suhu 90 oC. Hasil rebusan biji pinang lalu
di cekokan kedalam mulut babi, atau dicampurkan dengan pakan.
3.8Analisis Data
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental, data yang didapat lalu di
analisis dan dilakukan perhitungan untuk mengetahui penurunan jumlah telur cacing
dengan menggunakan rumus (Nawaz dkk, 2014).
14
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
Penelitian mengenai pengaruh pemberian air rebusan biji pinang terhadap infeksi
cacing Ascaris suum secara in vivo pada babi, telah dilaksanakan pada bulan Agustus
hingga Oktober 2016. Sampel awal feses babi ada 40 sampel, kemudian dilakukan
identifikasi telur cacing dengan metode uji apung.
15
Tabel 1. Hasil Uji Identifikasi Telur Cacing Ascaris suum dengan Metode Uji Apung
dan Hasil Uji dengan Metode Mc. Master
Dari 40 sampel awal yang diidentifikasi dengan metode uji apung, ditemukan 22
sampel yang positif terinfeksi cacing nematoda jenis Ascaris suum, lalu dilakukan uji
Mc. Master, untuk menghitung jumlah telur cacing. Berikut adalah gambar pemeriksaan
dengan uji Mc.Master :
16
Jumlah babi yang digunakan yaitu 16 ekor dari 22 ekor babi yang dinyatakan
positif terhadap cacing Ascaris suum, karena ada 5 sampel yang termasuk infeksi ringan
dan jumlah telur cacing yang sedikit sehingga yang saat diuji Mc. Master, telur cacing
tidak terlihat. 16 sampel ini lalu dibagi dalam 4 kelompok yaitu kelompok kontrol, dan 3
kelompok perlakuan dengan biji pinang yang tiap 3 hari selama 9 hari dilakukan
pengambilan sampel, sehingga total keseluruhan sampel feses babi 48 sampel.
Kelompok pertama adalah kontrol positif dengan pemberian albendazole, kelompok
kedua dengan air rebusan biji pinang konsentrasi 20%, kelompok ketiga dengan air
rebusan biji pinang 40%, kelompok ke empat dengan air rebusan biji pinang 80%. Pada
saat proses pemeriksaan dengan uji Mc.Master feses ditimbang sebanyak 2 gram.
Sehingga hasil perhitungan telur cacing dengan uji Mc.Master dibagi 2, untuk
mendapatkan perhitungan per gram feses. Uji Mc. Master dilakukan untuk sampel yang
dinyatakan positif pada Uji Identifikasi telur cacing. Uji Mc Master dilakukan untuk
mengetahui jumlah telur cacing sehingga dapat terlihat ada perubahan setelah diberikan
perlakuan dengan air rebusan biji pinang.
Berikut adalah hasil uji Mc. Master sebelum dan setelah diberikan perlakuan:
17
kepadatan atau konsistensi tinja, dan penyebaran telur dalam tinja. Jumlah ttg juga dapat
digunakan untuk menentukan tingkat infeksi cacing terhadap host definitif. Jika
ditemukan jumlah telur cacing nematoda kurang dari 5000 telur per gram tinja maka
termasuk infeksi ringan. Bila ditemukan 5000-25000 telur per gram tinja maka infeksi
termasuk infeksi sedang dan jika ditemukan lebih dari 25000 telur per gram tinja maka
termasuk infeksi berat (Levine, 1968). Dari hasil uji Mc.Master diatas dan dibandingkan
dengan teori yang ada, maka dapat disimpulkan bahwa babi yang digunakan untuk
penelitian ini, adalah babi dengan kondisi infeksi yang ringan dimana jumlah telur
cacing kurang dari 5000 telur per gram tinja.
FECR (Fecal Egg Count Reduction) digunakan untuk mengetahui pengaruh dari
pemberian air rebusan biji pinang terhadap telur cacing Ascaris suum, dengan rumus
sebagai berikut :
Dari hasil perhitungan dengan FECR maka di dapat hasil dalam tabel berikut :
Albendazole 38 % 82 % 86 %
18
Dari tabel hasil perhitungan dengan FECR, kemudian dilakukan penghitungan
rata-rata sehingga dapat dibuat grafik seperti berikut :
80
69 70
70 62
Nilai rata-rata penurunan
60
50
jumlah telur cacing
42
40
30
20
10
0
Albendazole Pinang 20% Pinang 40% Pinang 80%
Kelompok perlakuan
4.2 Pembahasan
Askariasis merupakan infeksi yang disebabkan oleh cacing Ascaris sp. Pada
ternak babi, askariasis disebabkan oleh infeksi cacing Ascaris suum yang hidup sebagai
parasit di dalam usus halus, terutama pada babi muda (Soulsby, 1982). Cara penularan
cacing Ascaris suum adalah melalui telur yang dikeluarkan bersama tinja induk semang
yang terinfeksi, kemudian berkembang menjadi bentuk infektif dalam waktu 18 hari
atau 30-40 hari pada suhu 18-20oC. Stadium infektif merupakan larva stadium kedua
yang masih di dalam kulit telur. Babi terinfeksi Ascaris suum apabila menelan makanan
atau minuman yang terkontaminasi telur infektif (Levine, 1994). Gejala klinis yang
ditimbulkan seperti penyumbatan pada usus, lalu terjadi kolik dan iritasi hingga enteritis
sehingga timbul gejala diare, demam dan anemia. Selain itu teramati kelemahan umum
seperti dehidrasi, penurunan berat badan dan kekurusan (Urquhart, et al., 1985).
Askariasis pada ternak dapat dicegah dengan menjaga kebersihan kandang dan
memberikan antelmintik secara rutin pada ternak. Air rebusan biji pinang dapat
dijadikan alternatif untuk mengatasi hal tersebut. Air rebusan biji pinang memiliki
pengaruh terhadap askariasis dapat dilihat dari adanya penurunan jumlah telur sebelum
perlakuan dan setelah diberikan perlakuan dengan air rebusan biji pinang, seperti yang
terlihat pada perhitungan FECR (Fecal Egg Count Reduction). Dari hasil perhitungan
dengan FECR, konsentrasi air rebusan biji pinang yang paling baik yaitu konsentrasi
40%. Sebelumnya, pembagian kelompok dilakukan secara acak untuk 1 kelompok
kontrol dan 3 kelompok perlakuan dan penelitian ini dilakukan secara in vivo, sehingga
19
respon dari tubuh hewan coba terhadap perlakuan yang diberikan akan berpengaruh
sehingga akan berbeda-beda pula hasilnya. Hal lain yang juga berpengaruh adalah jarak
waktu yang cukup lama antara perhitungan jumlah telur cacing sebelum perlakuan
dengan waktu pemberian perlakuan, dan pada rentang waktu itu siklus hidup dari cacing
terus berlanjut sehingga saat pemberian perlakuan, jumlah telur cacing dapat bertambah
ataupun berkurang.
Penelitian mengenai pengaruh pemberian air rebusan biji pinang ini, dilakukan
dengan membagi sampel secara acak dalam 4 kelompok yakni 1 kelompok kontrol dan 3
kelompok perlakuan. Kelompok kontrol yaitu kontrol positif pada penelitian ini
menggunakan Albendazole. Albendazole merupakan antihelmintik dengan spektrum
yang sangat luas, termasuk dalam golongan Benzimidazole. Pada parasit cacing,
Albendazole dan metabolit-nya diperkirakan bekerja dengan jalan menghambat sintesis
mikrotubulus, dengan demikian mengurangi pengambilan glucose secara irreversible,
mengakibatkan cacing lumpuh (Bertram.G.K, 2004).
Pada penelitian ini, air rebusan biji pinang digunakan sebagai perlakuan dimana
memang sejak dahulu, biji pinang banyak digunakan oleh masyarakat tradisional untuk
menangani berbagai penyakit, salah satu diantaranya yaitu sebagai obat cacing.
Kandungan utama biji pinang adalah karbohidrat, lemak, serat, polyphenol termasuk
flavonoids dan tanin, alkaloid dan mineral (IARC, 2004). Biji pinang mengandung
alkaloid, seperti arekolin (C8 H13 NO2), arekolidine, arekain, guvakolin, guvasine dan
isoguvasine (Wang et al., 1996). Biji pinang mengandung catechin, tanin (15%), asam
galat, gum dan alkaloid seperti arekolin (0.07%), arekain (1%). Arekaidin and
guvakolin, guvasin and choline ada dalam jumlah sedikit. Dari kesemua
kandungannya, arekolin merupakan alkaloid yang paling penting (Reena et al., 2009
dalam Joshi et al., 2012).
Kandungan biji pinang yang diduga memiliki khasiat sebagai obat cacing, yaitu
arekolin dan tanin. Arekolin merupakan alkaloid utama yang terdapat dalam biji pinang
dan menjadi alkaloid terpenting dalam fisiologinya, selain arekolin, arekain, guvakolin,
guvasin, dan isoguvasin. Arekolin bersifat racun bagi beberapa jenis cacing (Lutony,
1993; Suharsono, 1994) dan menyebabkan paralisis sementara, arekolin bekerja dengan
mengganggu aliran impuls saraf pada akson, (Firgorita, 1991). Kandungan biji pinang
yang juga memiliki efek antelmintik adalah tannin. Red tannin pada pinang diketahui
sebesar 15%, tanin pada pinang bekerja dengan menghambat kerja enzim dan merusak
membran. Saat kerja enzim terhambat, dapat menyebabkan proses metabolisme
pencernaan terganggu, sehingga cacing akan kekurangan nutrisi dan akhirnya mati.
Tanin yang merusak membran, dapat menyebabkan paralisis pada cacing dan akhirnya
cacing akan mati (Nonaka, 1989).
Masalah kecacingan memang sering terjadi pada ternak termasuk babi, di desa
pangala, jenis cacing nematoda yang sering menyerang ternak babi, yaitu Ascaris suum.
Ada beberapa faktor yang diduga berpengaruh terhadap tingginya kasus ascariasis
akibat jenis cacing ini yaitu :
Faktor lingkungan
Desa pangala merupakan salah satu desa yang dikelilingi oleh gunung,
sehingga suhu udara di tempat ini cukup rendah, sementara suhu ideal untuk
20
pertumbuhan telur dan larva cacing Ascaris suum berkisar antara 23oC sampai
30o C, (Rasmaliah, 2001).
Faktor kebersihan kandang
Di desa Pangala, pemeliharaan babi dilakukan dengan semi intensif yaitu
ternak babi dipelihara di dalam kandang. Namun perawatan yang dilakukan
kurang baik, dimana kandangnya tidak dibersihkan secara rutin, sehingga
kontaminasi dari feses babi dengan pakan sulit dihindari. Sehingga apabila
terdapat larva infektif pada pakan yang terkontaminasi, akan sangat mudah
masuk kedalam tubuh dan berkembang sehingga semakin tinggi pula angka
kejadian ascariasis. Bila terjadi kasus seperti ini, siklus hidup dari cacing akan
sulit untuk di putus, sehingga derajat keparahannya akan semakin meningkat.
Kasus helmintiasis saluran pencernaan yang sering terjadi disebabkan oleh
berbagai factor diantaranya kualitas kandang, sanitasi, dan hygiene, kepadatan
kandang, dan temperature, (Egido et al.,2001; Levine, 1990).
21
5 PENUTUP
5.1 Kesimpulan
5.2 Saran
22
DAFTAR PUSTAKA
Astiti, L. G., Panjaitan, T., dan Wirajaswadi. 2011. Uji Efektivitas Preparat
Anthelmintik pada Sapi bali di Lombok Tengah. Pengkajian dan Pengembangan
Teknologi Pertanian, Volume 14 Nomor 2,, hlm 77-83.
Beriajaya, Priyanto, D. 2004. Efektifitas Serbuk Daun Nanas Sebagai Antelmintik Pada
Sapi Yang Terinfeksi Cacing Nematoda Saluran Pencernaan. Seminar Nasional
Teknologi Peternakan dan Veteriner, hlm 162-169.
Dewi, Kartikan dan R.T.P. Nugraha. 2007. Endoparasit Pada Feses Babi Kutil ( Sus
Verrucosus). Vol.16(1):13-19. Jakarta
Egido, J.M., J.A, De Diego., and P, Penin. 2001. The Prevalence of Enteropathy due to
Strongyloidiasis in Puerto Maldonado (Peruvian Amazon). Braz J Infect
Dis.Vol.5 no.3.
Ensminger, M.E. 1991. Feeds and Nutrition.Second Edition. The Ensminger Publising
Company. USA
FAO. 2009. The State of The World’s Animal Genetic Resources for Food and
Agricukture. Rischkowsky B, Pilling D, editors. Rome (Italy): Commission on
Genetic Resources for Food and Agriculture Food and Agriculture Organization
Of The United Nations.
Firgorita, I. 1991. Arecoline hydrobromide pada biji pinang (Areca catechu) dosis
efektif terhadap Raillietina spp dan dosis herbal terhadap ayam buras [Skripsi].
Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Fox, M.T. 2012. Gastro Intestinal Parasites of Cattle. The Merck Veterinary Manual.
23
Gea M. 2009. Penampilan ternak babi lokal periode grower dengan penambahan
biotetes ”SOZOFM-4” dalamransum. Bogor (Indonesia): Institut Pertanian
Bogor.
Hannan, A., Karan, S and Chatterjee T.K. 2012. Anti-inflammatory and analgesic
activity of methanolic axtract of Areca seed collected from Areca cathecu plant
grown in Assm. International journal of pharmeceutical and chemical sciences
1(2): 2277-5005
Hartatik T, Soewandi BDP, Volkandari SD, Tabun AC, Sumadi. 2014. Identification
genetics of local pigs, Landrace and Duroc based on qualitative analysis. In:
SUSTAIN. Yogyakarta (Indonesia): Gadjah MadaUniversity. p. 1-6.
IARC. 2004. WHO-biennial report. International Agency for Research on Cancer, Part
I, IARC Group and Cluster reports. Lyon, France, pp: 1-192
Kristina dan Syahid. 2007. Penggunaan Tanaman Kelapa (Cocos nucifera), Pinang
(Areca catechu) Dan Aren (Arenga pinnata) Sebagai Tanaman Obat.
Kusumamihardja, S. 1992. Parasit dan Parasitosis pada Hewan Ternak dan Hewan
Piara. Pusat Antar Universitas Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Levine, D. 1990. Edisi Indonesia :Buku Pelajaran Parasitilogi Veteriner. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta. Original Edition: Textbook Of Veterinary
Parasitology.
Lutony, T.L. 1993. Pinang Sirih Komoditi Ekspor Dan Serbaguna. Jakarta: Kanisius
24
Miyazaki, Ichiro. 1991. An Illustrated Book of Helminthic Zoonoses, Tokyo,
International Medical Foundation of Japan, pp: 296-305.
Nawaz Mohsin, et.al. 2014. In Vitro and In Vivo Anthelmintic Activity Of Leaves Of
Azadirachta Indica Dalbergia Sisso and Morus Alba Againts Haemoncus
Contortus. Jurnal. Lahore, Pakistan.
Nonaka, G. 1989. Isolation and structure elucidation of tannins, Pure & Appl. Chem, 61
(3): 357-360
Permadi IMI. 2012. Prevalensi Cacing Nematoda Pada Babi. Indonesia Medicus
Veterinus. Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas Udayana. Bali.
Plumb, D. C. 2002. Veterinary Drug Handbook (3th Edition ed.). South State Avenue,
United States of America: Iowa State University Press.
Roberts S, John Jr. 2005. Foundations of Parasitology, Seventh Edition. United States:
McGraw-Hill.
Siagian PH. 2014. Pig production in Indonesia. Animal Genetic Resources Knowledge
Bank in Taiwan [Internet]. [diunduh 7 Maret 2016]. Tersedia di:
http://www.angrin.tlri.gov. tw/English/2014 Swine/p175-186.pdf
Sihombing, D.T.H. 1997. Petunjuk Praktis Beternak Babi. Fakultas Peternakan, IPB.
Edisi Pertama. Bogor.
Silalahi Marsudin dan Sinaga. 2010. Pengaruh Pemberian Tepung Kulit Buah Pepaya
(Carica Papaya) Dalam Ransum Babi Periode Finisher Terhadap Persentase
25
Karkas Tebal Lemak Punggung Dan Luas Urat Daging Mata Rusuk. Universitas
Pajajaran Bandung.
Soulsby EJL. 1982. Helminth, Artropods and Protozoa of Domesticated Animals. 7thEd.
Bailliere Tindall, London.
Staples dab Bevaque. 2006. Areca Catechu (Batel Nut Palm). [Internet]. [diunduh 7
Maret 2016] Tersedia di :http://www.agroforestry.net/tti/Areca-catechu-betel-
nut-pdf.
Suharsono, S.K.H. 1994. Pengobatan tradisional penyakit cacing ayam buras. Poultry
Indonesia.173: 14.
Suryati, E dan E.S.M Suprapto. 1988. Isolasi dan penemuan sifat senyawa aktif
piscisida dari biji pinang (Areca catechu). Media Penelitian Sukamandi 6:50
Syamsuhidayat, S.S., dan Hutapea, J.R. 1991. Inventaris Tanaman Obat Indonesia,
Balitbang Departemen Kesehatan. Vol I: 64-65.
Syarif, A., dan Elysabeth. 2007. Farmakologi dan Terapi (5 ed.). (S. G. Gunawan, R.
Setiabudy, & Elysabeth, Eds.) Jakarta, Indonesia: Badan Penerbit FKUI.
Tampubolon Juni Royntan. 2014. Efek Antelmintik Infusa Biji Pinang (Areca catechuL)
Terhadap Ascaris suum Secara In Vitro.
Tiwow, D., Widdhi, B dan Novel, S.K. 2013. Uji efek antelmintik ekstrak etanol biji
pinang (Areca catechu) terhadap cacing Ascaris lumbricoides dan Ascaridia
galli secara in vitro. Pharmacon 2 (02): 76-80.
Tjay, T. H. dan Rahardja, K. 2008. Obat-Obat Penting, Khasiat, Penggunaan dan Efek-
Efek Sampingnya. Edisi Keenam. Jakarta : Penerbit PT. Elex Media
Komputindo. Halaman 578 - 580.
Wang, C.K. and Lee, W.H. 1996. Separation, characteristics, and biological activity es
on phenolics in areca fruit. J. Agric. Food Chem 44(8) : 2014 -2019.
Zaman, V., Ah Keong, L., Rukmono, B., Oemijati, S., dan Pribadi, W. 1988. Buku
Penuntun Parasitologi Kedokteran, Bandung, Binacipta,pp: 119-121.
26
LAMPIRAN
Jumlah Cacing
Kode Perlakuan 1 (Hari ke 3) Perlakuan 2 (Hari ke 6) Perlakuan 3 (Hari ke 9)
Jenis Obat Sebelum Perlakuan
Sampel
Ascarisuum Mati Hidup Bertambah Mati Hidup Bertambah Mati Hidup Bertambah
Albendazole 14 2300 1900 400 0 0 400 0 200 200 0
18 100 100 0 0 0 0 0 0 0 0
22 1800 0 2300 500 2000 300 0 0 400 100
5 1000 500 500 0 300 200 0 100 100 0
5200 2500 3200 500 2300 900 0 300 700 100
Pinang 20% 13 200 200 0 0 0 0 0 0 0 0
21 200 0 600 400 0 2400 1800 1600 800 0
29 1200 0 1400 200 400 1000 0 800 200 0
4 2500 1900 600 0 500 100 0 100 0 0
4100 2100 2600 600 900 3500 1800 2500 1000 0
Pinang 40% 19 2500 0 0 0 0 0 0 0 0 0
35 500 1000 500 300 700 0 200 500 0
37 2100 600 1500 0 1200 300 0 200 100 0
20 100 100 0 0 0 500 500 500 0 0
5200 700 2500 500 1500 1500 500 900 600 0
Pinang 80% 15 2800 2700 100 0 2700 0 0 0 0 0
39 1100 100 1000 0 600 400 0 0 500 100
28 400 0 500 100 0 1400 900 1200 200 0
1 1900 200 1700 0 1300 400 0 400 0 0
6200 3000 3300 100 4600 2200 900 1600 700 100
27
Lampiran Hasil Identifikasi Telur Cacing
28
29
Lampiran Hasil Uji Mc. Master Sebelum Perlakuan
30
31
Lampiran Hasil Uji Mc. Master Setelah Perlakuan Hari ke-3, Hari ke-6, dan Hari ke-9
32
33
Proses pembuatan air rebusan biji pinang
34
Proses pengujian di laboratorium parasitologi BBVet Maros
35
Proses Pengamatan Sampel
di bawah Mikroskop
36
RIWAYAT HIDUP
37