Anda di halaman 1dari 48

PENGARUH PEMBERIAN AIR REBUSAN BIJI PINANG

(Areca catechu L) TERHADAP INFEKSI CACING Ascaris suum


SECARA In Vivo PADA BABI

SKRIPSI

WENDELINDIA V.T.T
O11112262

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017

i
PERNYATAAN KEASLIAN

1. Yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : Wendelindia V.T.T.


NIM : O111 12 262
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa :

a) Karya skripsi saya adalah asli


b) Apabila sebagian atau seluruhnya dari skripsi ini, terutama dalam bab hasil dan
pembahasan tidak asli atau plagiasi, maka saya bersedia dibatalkan dan
dikenakan sanksi akademik yang berlaku.

2. Demikian pernyataan keaslian ini dibuat untuk dapat digunakan seperlunya.

Makassar, 1 November 2017

Wendelindia V.T.T.

ii
ABSTRAK

WENDELINDIA V.T.T. O11112262. Pengaruh Pemberian Air Rebusan Biji Pinang


(Areca catechu L) Terhadap Infeksi Cacing Ascaris suum Secara In Vivo Pada Babi.
Dibimbing oleh LUCIA MUSLIMIN dan MUH. NUR AMIR

Penelitian dengan judul Pengaruh Pemberian Air Rebusan Biji Pinang (Areca
catechu L) Terhadap Infeksi Cacing Ascaris suum secara In Vivo Pada Babi, dilakukan
pada bulan Agustus 2016. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh
pemberian air rebusan biji pinang terhadap infeksi cacing Ascaris suum secara in vivo
pada babi. Sampel awal yang digunakan pada penelitian ini ada 40 sampel, kemudian
dilakukan uji apung dan 22 positif, kemudian dilakukan pengujian Mc.Master dan 16
sampel yang dapat dihitung telur cacingnya. Kemudian diambil 16 sampel untuk dibagi
atas 4 kelompok dan diberikan perlakuan setiap 3 hari selama 9 hari, dengan hasil untuk
cacing Ascaris suum, albendazole 69%, Pinang konsentrasi 20% yaitu 42%, pinang
konsentrasi 40% yaitu 70%, dan pinang konsentrasi 80% yaitu 62%. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa konsentrasi dari biji pinang yang paling baik untuk mengatasi
cacing Ascaris suum adalah air rebusan biji pinang dengan konsentrasi 40%.

Kata Kunci : Air Rebusan Biji Pinang, Ascaris suum , Babi, Saluran pencernaan.

iii
ABSTRACT

WENDELINDIA V.T.T. O11112262. The Influence of Areca Nut (Areca catechu L.)
Stew Water toward an Infection of Ascaris suum. in vivo on Pig. Under supervision of
LUCIA MUSLIMIN and MUH. NUR AMIR

This research has been done with the title of "The Influence of Areca Nut (Areca
catechu L.) stew water toward an Infection of Ascaris suum in vivo on Pig". The
research was conducted in August 2016. The research aims to determine the influence of
areca nut water stew toward an infection of Ascaris suum worms in vivo on pig.. The
used initial samples were 40 then followed by floating test and 22 of them were positive.
Afterwards, Mc. Master test was conducted and there are 16 samples that their worm
eggs can be counted. Then, 16 samples were taken to be divided into 4 groups and given
treatment every 3 days for 9 days, and the result albendazole is 69%, concentration 20%
of areca nut of 42%, concentration 40% of areca nut 70%, and concentration 80% of
areca nut of 62%. The result of the research showed that the best concentration of areca
nut to overcome Ascaris suum. worms is the 40% concentration of areca nut stew water.

Keywords :Areca Nut Stew Water, Ascaris suum., Pig, Digestive Tract

iv
PENGARUH PEMBERIAN AIR REBUSAN BIJI PINANG
(Areca catechu L) TERHADAP INFEKSI CACING Ascaris suum
SECARA In Vivo PADA BABI

WENDELINDIA V.T.T.
O11112262

Skripsi :
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Program Studi Kedokteran Hewan
Fakultas Kedokteran

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSSAR
2017

v
vi
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
karena oleh nikmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul “Pengaruh Pemberian Air Rebusan Biji Pinang (Areca catechu L) Terhadap
Infeksi Cacing Ascaris Suum Secara In Vivo Pada Babi”. Skripsi ini merupakan hasil
dari penelitian dan disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Kedokteran Hewan (S.Kh). Dengan selesainya skripsi ini, penulis mengucapkan terima
kasih yang tidak terhingga kepada :

1. Ayahanda Simon Tandira’pak, dan ibunda Asteria Fides Tambing, yang telah
memberikan kasih sayang, doa yang terbaik dan dukungan moril yang sangat
luar biasa serta bantuannya selama penelitian hingga sripsi ini terselesaikan.
2. Prof. Dr. Dwia Aries Tina Pulubuhu, M.A. selaku Rektor Universitas
Hasanuddin.
3. Prof. Dr. dr. Andi Asadul Islam, Sp.BS. selaku Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin.
4. Prof. Dr. drh. Lucia Muslimin, M.Sc selaku Ketua Program Studi Kedokteran
Hewan Universitas Hasanuddin, serta sebagai Pembimbing Akademik (PA),
dan juga sebagai pembimbing utama yang telah meluangkan waktu, tenaga dan
pikiran untuk membimbing penulis selama penelitian dan penyusunan skripsi.
5. Bapak Muh Nur Amir, S.Si, M.Si, Apt selaku pembimbing yang telah
meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk membimbing penulis selama
penelitian dan penyusunan skripsi.
6. drh. Sandra Diah Widhyana, drh. Adriany Ris M.Si, dan drh. Alfinus selaku
pembahas dan penguji dalam seminar proposal, seminar hasil dan ujian skripsi
yang telah memberikan masukan dan komentar yang sangat membangun
dalam penyusunan skripsi ini.
7. Dr. drh. Dwi Kesuma Sari dan drh. Dini Kurnia Ikliptikawati selaku panitia
seminar proposal dan panitia seminar hasil yang banyak membantu dan
memberi kemudahan bagi penulis.
8. Para dosen dan staf tata usaha di Program Studi Kedokteran Hewan Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanuddin yang telah memberikan banyak bantuan
dan dukungan bagi penulis selama kuliah.
9. Staf Laboratorium Parasitologi BBVet Maros; drh. Hadi Purnama W, drh.
Fitri Amaliah, Ibu Siti Aminah, Bapak Muh. Irfan, Amd, kak Rika Rahim yang
banyak membantu dan membimbing penulis selama proses penelitian.
10. Para peternak di desa Pangala, Kecamatan Rinding Allo, Kabupaten Toraja
Utara yang telah banyak memberikan bantuan.
11. L. Robby Hartono M.P. yang telah memberikan semangat, perhatian, dan
selalu sabar membantu penulis dimanapun dan kapanpun, hingga penulis
menyelesaikan skripsi ini.

vii
12. Keempat adik yang tersayang Wensesclaudia Virginnia T.T. (Cicok),
Wendelina Vinsensia T.T (Ibong), Cherish Venansia T.T. (Cherish), dan
Putra Vinsensius T. (Putat) yang dengan setia memberikan dukungan serta
perhatian hingga penulis menyelesaikan skripsi ini.
13. Sahabat-sahabat tersayang, Hidayanti Adillah, Fridayanti Kusuma Indah
Cantik, dan Try Agustianingsih yang selalu setia menemani dan membantu
mulai dari semester satu hingga saat ini, terimakasih untuk waktunya, untuk
persahabatannya, dan untuk kebersamaannya dalam suka dan duka.
14. Sahabat sejak SMP, Fransiska Nova Ika (ope’) , Dea Hardiyanti (Pekong),
Hamidah Nur Aulia Hamid (Ham), Nuraeva Pakata (Epa), Indahna Lola
Palentek yang selalu memberikan semangat dan perhatian kepada penulis
untuk menyelesaikan skripsi ini, terima kasih untuk semua kebersamaannya.
15. Teman-teman cantika’s Agustina L, Wira Nisrina, Castelein Marlen L,
Jenecklin, Jisril P, Novtri P, Putri, dan Jeslin yang senantiasa memberikan
semangat kepada penulis.
16. Teman-teman Akestor Anwelf angkatan 2012 Kedokteran Hewan Unhas,
yang telah memberikan motivasi dan bantuan, yang telah berjuang bersama-
sama.
17. Kakak-kakak V-gen (2010) dan Clavata (2011), adik-adik O-Brev (2013),
Rollvet (2014) dan adik-adik Vermillion (2015) yang telah memberikan
dukungan dan doanya.
18. Teman-teman KKN Tematik Pulau Sebatik gelombang 90, di kecamatan
Sebatik Tengah, Kak Agung, Dian, kak El, Juliandi, Aris, Kak Iping, Elis,
Ika, Elvi, dan Ani yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi, dan
yang telah memberikan motivasi serta dukungan.
19. Semua pihak yang membantu penulis baik secara langsung maupun tidak
langsung dalam seluruh proses perkuliahan di Universitas Hasanuddi.n.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena
itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi terciptanya hasil
karya yang baik dan dapat bermanfaat untuk kemajuan ilmu pengetahuan.

Makassar, 1 November 2017

Wendelindia V.T.T.

viii
DAFTAR ISI

PERNYATAAN KEASLIAN .................................................................................. ii


ABTRAK .................................................................................................................. iii
ABSTRACT .............................................................................................................. iv
HALAMAN JUDUL ................................................................................................. v
HALAMAN PENGESAHAN .................................................................................. vi
KATA PENGANTAR .............................................................................................. vii
DAFTAR ISI ............................................................................................................ ix
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................ xi
DAFTAR TABEL ..................................................................................................... xi
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................. xi
1. PENDAHULUAN ................................................................................................ 1
1.1. Latar Belakang............................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah ........................................................................................ 2
1.3. Tujuan Penelitian .......................................................................................... 2
1.3.1. Tujuan Penelitian Umum ................................................................. 2
1.3.2. Tujuan Penelitian Khusus ................................................................. 2
1.4. Manfaat Penelitian ........................................................................................ 2
1.4.1. Manfaat Pengembangan Ilmu ............................................................ 2
1.4.2. Manfaat Aplikasi ............................................................................... 2
1.5. Hipotesis ........................................................................................................ 3
1.6. Keaslian Penelitian ........................................................................................ 3
2. TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................................... 4
2.1. Cacing Nematoda .......................................................................................... 4
2.1.1. Nematodiasis ..................................................................................... 4
2.1.2. Cacing Nematoda .............................................................................. 4
2.1.2.1. Ascaris suum. ....................................................................... 5
2.2. Deskripsi Umum Ternak Babi ...................................................................... 6
2.2.1. Babi Lokal Indonesia ........................................................................ 7
2.2.2. Babi Di Toraja .................................................................................. 8
2.3. Penanggulangan terhadap Infeksi Cacing ..................................................... 8
2.4. Deskripsi Umum Pinang................................................................................ 9
2.4.1. Deskripsi Umum Pinang .................................................................. 9
2.4.2. Manfaat Biji Pinang ......................................................................... 10
2.4.3. Kandungan Biji Pinang .................................................................... 11
3. METODOLOGI PENELITIAN ........................................................................... 12
3.1. Waktu dan Tempat ........................................................................................ 12
3.2. Bahan Penelitian ............................................................................................ 12

ix
3.3. Alat Penelitian ............................................................................................... 12
3.4. Perlakuan ...................................................................................................... 12
3.5. Pengambilan Sampel ..................................................................................... 12
3.6. Prosedur Pemeriksaan Feses .......................................................................... 13
3.7. Pembuatan Air Rebusan Biji Pinang ............................................................. 13
3.8 Analisis Data ................................................................................................ 14
4. HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................................... 15
4.1 Hasil Penelitian ............................................................................................ 15
4.2 Pembahasan .................................................................................................. 20
5. PENUTUP .......................................................................................................... 23
5.1 Kesimpulan ................................................................................................... 23
5.2 Saran ............................................................................................................. 23
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 24
LAMPIRAN ............................................................................................................. 28
RIWAYAT HIDUP ................................................................................................... 37

x
DAFTAR GAMBAR

1. Gambar Cacing Nematoda ………………………………………….………..……. 5


2. Gambar Telur Cacing Ascaris suum …………………………………………… 6
3. Gambar Babi Di Toraja ……………………………………….…………………... 8
4. Gambar Pohon Dan Biji Pinang …..…………..…………………………………... 10
5. Gambar Telur Cacing Ascaris suum dengan Uji Apung … …………………..…. 15
6. Gambar Uji Mc.Master (Tampak Telur Ascaris suum)……… .…………..…….. 16
7. Gambar Rata-Rata Penurunan Jumlah Telur Cacing ……………………………19

DAFTAR TABEL

1. Tabel Hasil Uji Identifikasi Telur Cacing dengan Metode Uji Apung ................... 16
2. Tabel Hasil Uji Mc. Master Sebelum dan Setelah Perlakuan ................................. 17
3. Tabel Hasil Perhitungan dengan FECR 18

DAFTAR LAMPIRAN

1. Lampiran Tabel Hasil Pemeriksaan dengan Uji Mc. Master 27


2. Lampiran Contoh Perhitungan dengan Rumus FECR 27
3. Lampiran Hasil Identifikasi Telur Cacing 28
4. Lampiran Hasil Pemeriksaan dengan Uji Mc. Master 30
5. Lampiran Gambar Proses Pembuatan Air Rebusan Biji Pinang 34
6. Lampiran Gambar Proses Pengujian Sampel 35
7. Lampiran Gambar Proses Pemberian Perlakuan dan Pengambilan Sampel 36

xi
1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Parasit merupakan organisme yang hidup merugikan induk semang yang


ditumpanginya. Berdasarkan tempat hidupnya, parasit digolongkan dalam 2 kelompok
yaitu ektoparasit dan endoparasit. Ektoparasit hidup di luar tubuh hospes seperti lalat,
tungau, kutu, caplak, pinjal, sedangkan endoparasit merupakan parasit yang hidup dalam
jaringan atau dalam tubuh hospes seperti cacing trematoda, cestoda, nematoda, dan
protozoa. Endoparasit merupakan salah satu masalah pada ternak yang dapat
menimbulkan banyak kerugian, walaupun penyakit ini kadang-kadang tidak langsung
mematikan, akan tetapi kerugiannnya dari segi ekonomi sangat besar dan dapat
menimbulkan kerugian berupa penurunan berat badan ternak, penurunan produksi susu,
kualitas daging, kulit, jeroan, produktivitas ternak sebagai tenaga kerja di sawah serta
bahaya penularan terhadap manusia atau zoonosis (Arifin, 1982).
Babi sering terserang penyakit yang berhubungan dengan saluran pencernaan,
diantaranya yaitu kecacingan. Jenis cacing yang sering menyerang saluran pencernaan
babi yaitu cacing jenis nematoda, salah satu jenis dari cacing nematoda ini, yaitu:
Ascaris suum. Cacing ini dapat menimbulkan masalah pada babi seperti kehilangan
nafsu makan yang berdampak pada penurunan berat badan dan selalu terlihat lemas
karena cacing ini yang mengambil sari-sari makanan dari organ pencernaan babi
(Permadi, 2012).
Faktor penyebab timbulnya penyakit karena adanya interaksi antara hospes
(ternak), agen penyakit (infeksi cacing) dan lingkungan. Lingkungan menentukan
pengaruh positif atau negatif terhadap hubungan antara ternak dengan agen penyakit.
Pada lingkungan tropis basah, tingkat infeksi cacing pada ternak cukup tinggi. Telur-
telur cacing masuk ke dalam tubuh ternak melalui hijauan yang dikonsumsi dan
berkembang dalam saluran pencernaan. Bagian usus halus dan lambung tempat cacing
menghisap darah akan mengalami iritasi dan kerusakan mukosa usus. Kerusakan
mukosa usus mengakibatkan gangguan penyerapan nutrisi dan pencernaan sehingga
membuat ternak tampak kurus (Setiawan, 2008). Masyarakat pedesaan termasuk
masyarakat Toraja, biasanya menggunakan obat-obat tradisional seperti daun lamtoro,
daun papaya, dan biji pinang untuk mengatasi kecacingan pada ternak.
Pinang (Areca Catechu L) adalah salah satu jenis tumbuhan palma yang banyak
digunakan untuk ramuan obat tradisional, dikonsumsi, sebagai bahan industri
kosmetika, kesehatan, dan bahan pewarna pada industri tekstil. Pohon pinang banyak
tumbuh di wilayah Asia, termasuk di Indonesia, umumnya pohon pinang ditanam
sebagai tumbuhan pagar ataupun untuk membatasi perkebunan. Pinang merupakan
tumbuhan palma yang tingginya dapat mencapai 12-30 meter, berakar serabut berwarna
putih, batang tegak lurus bergaris, dan tidak bercabang, bentuk daun yang sobek dan
bergerigi, dan mempunyai buah (Staples dan Bevacqua, 2006).
Sejak dahulu, masyarakat Toraja sudah akrab dengan tumbuhan pinang. Pohon
pinang banyak dijumpai di pinggir-pinggir jalan. Masyarakat Toraja menggunakan biji
pinang sebagai sirih pinang dan dicampur dengan daun sirih serta kapur sirih yang selalu

1
ada dalam setiap upacara adat masyarakat Toraja yang digunakan sebagai suguhan
kepada tamu dan sebagai rasa penghormatan.
Biji pinang merupakan bagian dari tanaman pinang (Arecae catechu L) secara
empiris digunakan sebagai obat cacing dengan cara meminum air rebusan biji pinang
yang telah dihaluskan (Trubus, 2013). Penelitian sebelumnya mengenai efek
antelmintik infusa biji pinang (Arecae catechu L) terhadap Ascaris suum secara in vitro
telah dilakukan oleh Tampubolon pada tahun 2014 dengan hasil infusa biji pinang dosis
20%, 40%, dan 80% efektif sebagai antelmintik terhadap Ascaris suum. Untuk itu perlu
dilakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh pemberian air rebusan biji pinang
secara in vivo sebagai antelmintik pada ternak, khususnya pada babi.
Dari latar belakang yang telah dikemukakan, maka perlu dilakukan penelitian
tentang “Pengeruh Pemberian Air Rebusan Biji Pinang (Areca catechu L) Terhadap
Infeksi Cacing Ascaris suum Secara In Vivo Pada Babi“.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan urain pada latar belakang, maka dapat ditarik rumusan masalah
dalam penelitian ini yaitu :
 Bagaimana pengaruh pemberian air rebusan biji pinang (Areca catechu L)
terhadap infeksi cacing Ascaris suum pada babi?
 Berapakah konsentrasi air rebusan biji pinang (Areca catechu L) yang
memiliki efek paling baik untuk mengatasi cacing Ascaris suum pada babi?

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
 Untuk mengetahui pengaruh pemberian air rebusan biji pinang (Areca
catechu L) terhadap infeksi cacing Ascaris suum pada babi.
 Untuk mengetahui konsentrasi berapa yang memiliki efek paling baik untuk
mengatasi cacing Ascaris suum pada babi.

1.3.2 Tujuan Khusus


 Untuk mengetahui jenis-jenis cacing nematoda dan derajat keparahannya
yang ada pada feses babi yang diambil dari peternakan babi di Toraja Utara.
 Untuk tambahan informasi kepada Dinas Peternakan dan peternak mengenai
infeksi cacing nematoda pada babi di Toraja Utara.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Pengembangan Ilmu


Manfaat pengembangan ilmu pada penelitian ini adalah untuk mengetahui jenis-
jenis cacing nematodapada saluran pencernaan babi di Toraja Utara.

2
1.4.2 Manfaat Aplikasi
Adapun manfaat aplikasi dari penelitian ini yaitu :
 Untuk Peneliti
Melatih kemampuan meneliti dan menjadi acuan bagi penelitian-penelitian
selanjutnya.

 Untuk Masyarakat
Mengetahui ciri-ciri babi yang terserang cacing jenis Ascaris suum, serta
mengetahui cara penanggulangan cacing Ascaris suum sehingga dapat menjaga
dari cemaran cacing Ascaris suum.

1.5 Hipotesis

Air rebusan biji pinang (Areca catechu L) memiliki pengaruh terhadap infeksi
cacing Ascaris suum.

1.6 Keaslian Penelitian

Penelitian mengenai identifikasi cacing Ascaris suum pada ternak babi di Toraja
Utara belum pernah dilakukan. Pada tahun 2014 oleh Tampubolon, telah dilakukan
penelitian mengenai pengaruh pemberian air rebusan biji pinang untuk mengatasi cacing
Ascaris suum pada babi namun secara in vitro.

3
2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Cacing Nematoda

Endoparasit merupakan parasit yang hidup dalam jaringan atau dalam tubuh
hospes. Endoparasit merupakan salah satu masalah pada ternak yang dapat
menimbulkan banyak kerugian, walaupun penyakit ini kadang-kadang tidak langsung
mematikan, akan tetapi kerugiannnya dari segi ekonomi sangat besar dan dapat
menimbulkan kerugian berupa penurunan berat badan ternak, penurunan produksi susu,
kualitas daging, kulit, jeroan, produktivitas ternak sebagai tenaga kerja di sawah serta
bahaya penularan terhadap manusia atau zoonosis. Contoh endoparasit seperti protozoa,
cacing trematoda, cestoda, dan nematoda (Arifin, 1982).

2.1.1 Nematodiasis
Nematodiasis merupakan penyakit yang disebabkan oleh nematoda saluran
pencernaan (gastrointestinal) merupakan sekelompok cacing nematoda yang terdapat
pada saluran pencernaan ternak ruminansia sapi, kerbau, kambing, domba, kuda, babi
dan mamalia lainnya (Beriajaya, 2004). Salah satu sifat merugikan yang dapat
ditimbulkan oleh cacing pada saluran pencernaan yaitu gangguan nafsu makan dan
pertumbuhan. Gangguan pada pertumbuhan akan berlangsung cukup lama sehingga
produktivitas akan turun (Kaufmann, 1996). Gejala-gejala dari hewan yang terinfeksi
cacing antara lain, badan lemah dan bulu rontok. Infeksi berlanjut diikuti dengan
anemia, diare dan badannya menjadi kurus yang akhirnya bisa menyebabkan kematian
(Ardana dan Putra, 2008).
Infeksi parasit berdasarkan epidemiologi parasit dipengaruhi oleh 3 faktor
utama, antara lain faktor : parasit (terutama cara penyebaran atau siklus hidup, viabilitas
atau daya tahan hidup, patogenisitas dan imunogenisitas), faktor hospes (terutama
spesies, umur, ras, jenis kelamin, status imunitas dan status gizi), serta faktor
lingkungan (terutama musim, keadaan geografis, tata laksana peternakan) (Soulsby,
1982; Urquhart et al. 1985; Roberts, 2005).

2.1.2 Cacing Nematoda


Nematoda berasal dari bahasa Yunani, Nema artinya benang. Nematoda adalah
cacing yang bentuknya panjang, silindrik, tidak bersegmen dan tubuhnya bilateral
simetrik, panjang cacing ini mulai dari 2 mm sampai 1 m. Nematoda memiliki siklus
hidup langsung, sehingga tidak memerlukan inang antara dalam perkembangan
hidupnya. Cacing betina dewasa bertelur dan mengeluarkan telur bersamaan dengan
tinja, di luar tubuh telur akan berkembang. Larva infektif dapat masuk ke dalam tubuh
babi secara aktif, tertelan atau melalui gigitan vektor berupa rayap. Badannya dibungkus
oleh lapisan kutikula yang dilengkapi dengan gelang-gelang yang tidak dapat dilihat
oleh mata biasa (Kusumamihardja, 1992). Betina dapat menghasilkan telur setiap hari
sekitar 20 – 200.000 butir, tergantung jenisnya. Sistem ekskresi terdiri dari dua kanal
lateral yang berhubungan dengan suatu jembatan, dimana saluran terminal lubang di
daerah esophagus (Irianto, 2013).

4
Gambar 1 : Cacing Nematoda (Sumber : Fox, 2012).

2.1.2.1 Ascaris suum


Askariasis merupakan infeksi yang disebabkan oleh cacing Ascaris sp. Pada
ternak babi, askariasis disebabkan oleh infeksi cacing Ascaris suum yang hidup sebagai
parasit di dalam usus halus, terutama pada babi muda (Soulsby, 1982).
Klasifikasi Ascaris suum yaitu (Zaman dkk, 1998):
Kingdom : Animalia
Filum : Nemathelminthes
Class : Nematoda
Subclass : Secernentea
Ordo : Ascaridida
Famili : Ascarididae
Genus : Ascaris
Spesies : Ascaris suum
Ascaris suum memiliki tiga bibir tipis di ujung anterior. Terdapat peninggian
bergerigi yang dibentuk oleh deretan gigi yang bentuknya mirip dengan segitiga bertepi
lurus sama sisi pada permukaan dalam masing-masing bibir. Cacing jantan panjangnya
15-25 cm dan berdiameter 3-4 mm, dengan spikulum sama besar dan kuat dengan
panjang sekitar 2 mm dan mempunyai 69-75 papila kaudal. Betinanya 20-40 cm dengan
diameter 5-6 mm, dengan vulva terletak di sekitar 1/3 panjang tubuh dari ujung anterior.
Telur cacing berukuran 55-75 x 35-50 μm, mempunyai dinding yang tebal serta
mempunyai ciri khas yaitu bagian luarnya dilapisi oleh albumin yang tidak rata sehingga
membentuk tonjolan yang bergerigi (Levine, 1990).
Ascaris suum memiliki siklus hidup langsung. Cacing betina mengeluarkan telur
200.000 - 1 juta setiap hari di dalam usus dan keluar bersama tinja. Telurnya tidak
bersegmen ketika sampai di tanah (Gambar 2), dan membutuhkan 13-18 hari untuk
menjadi infektif di bawah kondisi optimal, atau 31-40 hari pada 18-20 oC. Stadium
infektif A. suum yaitu larva stadium ke dua yang masih di dalam kulit telur. Babi
terinfeksi dengan menelan telur-telur infektif dan kemudian menetas di dalam usus.

5
Larva menembus dinding usus dan migrasi menuju hati melalui sistem porta hepatik.
Larva stadium dua tersebut kemudian bermigrasi dan berkembang di dalam hati,
menyilih menjadi stadium ke tiga dalam 4-5 hari. Kemudian menuju jantung dan paru-
paru melalui aliran darah. Larva tersebut berkembang lebih lanjut pada paru-paru,
menyilih menjadi stadium ke empat setelah 5-6 hari, dan kemudian bergerak perlahan
dari alveoli ke bronkiola, bronki, dan trakea. Puncak dari perpindahan ini terlihat sekitar
12 hari sesudah infeksi. Larva dibatukkan, tertelan, dan mencapai usus kecil dan
kemudian menjadi dewasa. Banyak larva stadium ke empat ditemukan dalam usus halus
2-3 minggu sesudah infeksi. Masa prepaten 7-9 minggu, dan sedikit sekali cacing
dewasa yang hidup lebih dari satu tahun (Levine, 1990).
Pada stadium larva, Ascaris suum dapat mengakibatkan terbentuknya jejas
berwarna putih di bawah kapsul hati (milk spot), bronchitis, dan pneumonia. Sedangkan
cacing dewasa dalam usus halus dengan jumlah yang banyak sering menyebabkan
penyumbatan pada usus, sehingga terjadi kolik dan iritasi hingga enteritis lalu timbul
gejala diare, demam dan anemia. Selain itu teramati kelemahan umum seperti dehidrasi,
penurunan berat badan dan kekurusan (Urquhart, et al.,1985).

Gambar 2 : Telur Ascaris suum (Sumber : Dewi, 2007).

2.2 Deskripsi Umum Ternak Babi

Babi adalah ternak monogastrik dan bersifat prolifik (banyak anak tiap
kelahiran), dan dalam umur enam bulan sudah dapat dipasarkan. Selain itu ternak babi
efisien dalam mengkonversi berbagai sisa pertanian dan restoran menjadi daging
(Ensminger, 1991). Babi merupakan hewan yang dipelihara untuk tujuan tertentu, salah
satunya untuk memenuhi kebutuhan akan daging atau protein hewani bagi manusia.
Ternak babi merupakan salah satu komoditas ternak penghasil daging yang memiliki
potensi besar untuk dikembangkan, karena mempunyai sifat-sifat menguntungkan yaitu:
pertumbuhannya cepat, efisien dalam mengubah pakan menjadi daging dan memiliki
daya adaptasi yang tinggi terhadap makanan dan lingkungan (Silalahi dan Sinaga,
2010).

6
Adapun klasifikasi babi (Sihombing, 1997), yaitu :
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Sub Filum : Vertebrata
Class : Mammalia
Ordo : Artiodactyla
Famili : Suidae
Genus : Sus
Spesies : Sus scrofa
Sus vittatus / Sus strozzli
Sus cristatus
Sus leucomystax
Sus celebensis
Sus verrucosus
Sus barbatus

2.2.1 Babi Lokal Indonesia


Babi secara luas di seluruh dunia terdiri dari berbagai bangsa dan delapan
spesies, dimana 52 bangsa diantaranya tersebar pada beberapa negara di kawasan Asia
Tenggara (FAO, 2009). Indonesia memiliki lima spesies babi dari delapan spesies yang
ada di dunia (Rothschild et al., 2011). Populasi babi terkonsentrasi pada beberapa daerah
antara lain di Bali, Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan, Nusa Tenggara Timur (NTT),
Sulawesi dan Papua.
Di Indonesia, beberapa bangsa babi lokal berasal dari Sus scrofa dan salah satu
babi lokal yang berasal dari Sus scrofa yaitu babi Bali. Menurut Hartatik et al. (2014)
alel cytochrome B yang dimiliki oleh babi Bali sama dengan alel babi Landrace. Jadi
babi Bali dan Kupang merupakan babi yang berasal dari Sus scrofa. Beberapa bangsa
babi lokal seperti babi Bali dan Kupang juga dipelihara oleh peternak. Selain babi Bali
ada beberapa babi lokal lain yang dipelihara oleh peternak seperti babi Timor, Nias,
Papua, Toba, Samosir dan Toraja (Gea 2009; Hartatik 2013; Hartatik et al. 2014;
Siagian 2014). Menurut Rothschild et al (2011) ada empat babi lokal yang ada di
Indonesia yang tidak berasal dari spesies Sus scrofa yaitu Sus verrucosus (Javan warty
pig), Susbarbatus (bearded pig), Sus celebensis (Sulawesi wartypig) dan Babyroussa
babyrussa (Babirusa).
Pada babi lokal ada beberapa karakteristik yang dapat dilihat. Babi Timor atau
babi Kupang memiliki karakteristik ukuran tubuh sedang, bentuk kepala kecil, taring
tidak melekat saat sudah menua, tulang punggung tidak kuat sehingga sewaktu-waktu
bagian perut menyentuh tanah jika status kondisi gemuk atau sedang bunting. Warnanya
bermacam-macam dominan hitam, diikuti belang hitam, putih dan merah bata, berambut
kasar terutama pada punggung, kaki dan moncong (Hartatik et al. 2014; Siagian, 2014).
Babi ini gesit dan pada babi betina umur bunting pertama kurang lebih empat bulan
(Siagian, 2014). Ada tiga bangsa babi lokal yang berada di Provinsi Sumatera Utara dan

7
hidup di empat daerah yaitu babi Nias yang hidup di Nias, babi Toba atau babi Batak
yang hidup di daerah Toba Samosir dan Tapanuli Utara dan babi Samosir yang hidup di
daerah Samosir, babi lokal tersebut secara umum memiliki karakteristik rambut
berwarna hitam keabu-abuan, punggung melengkung dan kadang ada yang datar, bagian
badan besar dan rendah sehingga bagian perutnya menyentuh tanah, moncongnya
panjang serta telinganya sedikit runcing dan kecil (Gea, 2009).

2.2.2 Babi di Toraja


Babi Toraja ditemukan di Provinsi Sulawesi Selatan khususnya di daerah Tana
Toraja dan Toraja Utara. Jenis babi yang dipelihara oleh masyarakat Toraja adalah babi
lokal, namun seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, babi lokal
kini telah disilangkan dengan babi impor. Babi Toraja yang telah dipelihara dari
generasi ke generasi sering disebut babi kampong (menurut bahasa Toraja). Jumlah babi
yang dipelihara tiap keluarga berbeda-beda mulai dari 1-20 ekor babi, tergantung dari
kemampuan ekonomi suatu keluarga (Siagian, 2014). Dari data BPS Sulsel tahun 2013,
populasi babi di Toraja Utara yaitu 297.583 ekor.
Babi Toraja memiliki karakteristik warna hitam atau kehitam-hitaman, kepala
kecil, telinga agak runcing, punggung melengkung dan ukuran tubuh sedang seperti
pada gambar.

Gambar 3 : Babi Toraja

Sistem pemeliharan babi di Toraja dilakukan secara tradisional dan semi intensif.
Pakan yang diberikan pada babi juga bervariasi tergantung dari keadaan ekonomi tiap
keluarga. Biasanya pakan yang diberikan berupa dedaunan hijau yang dicampurkan
dengan dedak maupun makanan sisa dari dapur. Pakan ini dimasak dahulu sebelum
diberikan, namun ada juga yang langsung mencampurkan pakan tanpa dimasak terlebih
dahulu dan langsung diberikan (Siagian, 2014).

2.3 Penanggulangan Terhadap Infeksi Cacing

Penanggulangan terhadap infeksi cacing yang saat ini sering dilakukan adalah
dengan memberi obat cacing (antihelmintik). Pemberian obat cacing harus dilakukan
secara berkala, karena ternak dapat terinfeksi melalui rumput atau pakan (Larsen, 2000).
Penanganan dan pengendalian helminthiasis atau kasus kecacingan dapat dilakukan

8
dengan pemberian antelmintik (Astiti dkk., 2011). Antelmintik atau obat cacing adalah
obat yang digunakan untuk mengurangi atau menghilangkan cacing dalam lumen usus
atau jaringan tubuh hewan atau manusia. Kebanyakan obat cacing efektif terhadap satu
macam cacing, sehingga diperlukan diagnosis tepat sebelum menggunakan obat tertentu.
Beberapa obat yang sering digunakan seperti albendazole, levamisol, mebendazole dan
piperazine (Syarif dan Elysabeth, 2007).
Albendazole adalah obat cacing derivat benzimidazol berspektrum luas yang
dapat diberikan secara peroral. Dosis tunggal efektif untuk infeksi cacing nematoda.
Obat ini bekerja dengan cara berikatan dengan β-tubulin parasit sehingga menghambat
polimerisasi mikrotubulus dan memblok pengambilan glukosa oleh larva maupun cacing
dewasa, sehingga persediaan glikogen menurun dan pembentukan ATP sebagai sumber
energi berkurang, akibatnya cacing akan mati (Syarif dan Elysabeth, 2007). Obat ini
juga memiliki efek larvicid (membunuh larva) pada penyakit hydatid, cysticercosis,
ascariasis, dan infeksi cacing tambang serta efek ovicid (membunuh telur) pada
ascariasis, ancylostomiasis, dan trichuriasis (Plumb, 2002).

2.4 Deskripsi Umum Pinang

2.4.1 Deskripsi Umum Pinang


Pinang merupakan tanaman yang sekeluarga dengan kelapa. Salah satu jenis
tumbuhan monokotil ini tergolong palem-paleman. Secara rinci, sistematika pinang
diuraikan sebagai berikut (Syamsuhidayat and Hutapea, 1991):
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyte
Sub divisi : Angiospermae
Class : Monocotyledonae
Ordo : Arecales
Famili : Arecaceae/palmae
Genus : Areca
Spesies : Areca catechu L.

Pinang (Areca catechu L) merupakan tanaman famili Arecaceae yang dapat


mencapai tinggi 15-20 m dengan batang tegak lurus bergaris tengah 15 cm. Buahnya
berkecambah setelah 1,5 bulan dan 4 bulan kemudian mempunyai jambul daun-daun
kecil yang belum terbuka. Pembentukan batang baru terjadi setelah 2 tahun dan berbuah
pada umur 5-8 tahun tergantung keadaan tanah (Depkes RI, 1989).
Bagian-bagian dari tanaman pinang antara lain: (a) Akar: berakar serabut, putih
kotor. (b). Batang: tegak lurus dengan tinggi 10-30 meter, bergaris tengah 15 cm, tidak
bercabang dengan bekas daun yang lepas. (c) Daun: majemuk menyirip tumbuh
berkumpul di ujung batang membentuk roset batang. (d) Bunga: tongkol bunga dengan
seludang panjang yang mudah rontok, keluar dari bawah roset daun, panjang sekitar 75
cm, dengan tangkai pendek bercabang rangkap. (f) Biji: biji satu, bentuknya seperti
kerucut pendek dengan ujung membulat, pangkal agak datar dengan suatu lekukan
dangkal, panjang 15-30 mm, permukaan luar berwarna kecoklatan sampe coklat

9
kemerahan, agak berlekuk-lekuk menyerupai jala dengan warna yang lebih muda. Pada
bidang irisan biji tampak perisperm berwarna coklat tua dengan lipatan tidak beraturan
(Depkes RI, 1989). Tanaman ini berbunga pada awal dan akhir musim hujan dan
memiliki masa hidup 25-30 tahun.

(A) (B)
Gambar 4: (A) Pohon Pinang, (B) Biji Pinang

2.4.2 Manfaat Biji Pinang


Tanaman pinang sangat akrab bagi masyarakat Indonesia terkhusus bagi
masyarakat pedesaan. Masyarakat Biak dan Serui (Papua) memanfaatkan biji pinang
muda sebagai obat untuk mengecilkan rahim setelah melahirkan oleh kaum wanita
dengan cara memasak buah pinang muda tersebut dan airnya diminum selama satu
minggu. Umbut pinang muda digunakan untuk mengobati patah tulang, dan sakit
pinggang (salah urat). Selain itu umbut dapat juga dimakan sebagai lalab atau acar.
Daun pinang berguna untuk mengatasi masalah tidak nafsu makan, dan sakit pinggang.
Selain sebagai obat, pelepah daun digunakan untuk pembungkus makanan dan bahan
campuran untuk topi. Sabut pinang rasanya hangat dan pahit, digunakan untuk gangguan
pencernaan, sembelit dan edema. Biji dan kulit biji bagian dalam dapat juga digunakan
untuk menguatkan gigi goyah bersama-sama dengan sirih. Air rendaman biji pinang
muda digunakan untuk obat sakit mata oleh suku Dayak Kendayan di Kalimantan Barat
(Kristina dan Syahid, 2007).
Biji pinang, oleh masyarakat Desa Semayang Kutai-Kalimantan Timur,
digunakan untuk mengatasi penyakit seperti hidung berdarah, bisul, koreng, kudis,
cacingan, diare, dan disentri. Biji pinang yang aromatis memiliki efek antioksidan dan
antimutagenik, serta bersifat memabukkan, sehingga telah lama digunakan sebagai
taeniafuge untuk mengobati cacingan selain itu pinang digunakan juga untuk mengatasi
bengkak karna retensi cairan (edema), luka, batuk berdahak, terlambat menstruasi,
keputihan, beri-beri, malaria, dan memperkecil pupil mata (Kristina dan Syahid, 2007).

10
2.4.3 Kandungan Biji Pinang
Kandungan utama biji pinang adalah karbohidrat, lemak, serat, polyphenol
termasuk flavonoids dan tanin, alkaloid dan mineral (IARC, 2004). Biji pinang
mengandung catechin, tanin (15%), asam galat, gum dan alkaloid seperti arekolin
(0.07%), arekain (1%). Arekaidin and guvakolin, guvasin and choline ada dalam
jumlah sedikit. Dari kesemua kandungannya, arekolin merupakan alkaloid yang paling
penting (Reena et al., 2009 dalam Joshi et al., 2012).
Biji buah pinang mengandung alkaloid, seperti arekolin (C8 H13 NO2),
arekolidine, arekain, guvakolin, guvasine dan isoguvasine (Wang et al., 1996). Jenis
alkaloid yang dominan yang terdapat di dalam biji pinang dan yang kemungkinannya
mempunyai efek antelmintik adalah arekolin (Suryati dan Suprapto, 1988). Arekolin
bersifat racun bagi beberapa jenis cacing (Lutony, 1993; Suharsono, 1994) dan
menyebabkan paralisis sementara (Firgorita, 1991).
Nonaka (1989) menyebutkan bahwa biji buah pinang mengandung
proantosianidin, yaitu suatu tanin terkondensasi yang termasuk dalam golongan
flavonoid. Senyawa tanin diduga memiliki kemampuan daya antelmintik yang mampu
menghambat enzim dan merusak membran (Shahidi dan Naczk, 1995). Terhambatnya
kerja enzim dapat menyebabkan proses metabolisme pencernaan terganggu sehingga
cacing akan kekurangan nutrisi pada akhirnya cacing akan mati karena kekurangan
tenaga. Membran cacing yang rusak karena tanin menyebabkan cacing paralisis yang
akhirnya mati. Tanin umumnya berasal dari senyawa polifenol yang memiliki
kemampuan untuk mengendapkan protein dengan membentuk koopolimer yang tidak
larut dalam air (Harborne, 1987). Tanin juga memiliki aktivitas ovasidal, yang dapat
mengikat telur cacing yang lapisan luarnya terdiri atas protein sehingga pembelahan sel
didalam telur tidak akan berlangsung pada akhirnya larva tidak terbentuk (Tiwow et al.,
2013). Pada pengobatan hewan, ekstrak biji pinang digunakan untuk pengobatan cacing
pada anjing dan ternak, dan untuk mengobati masalah pencernaan pada kuda (Hannan et
al., 2012).

11
3. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat


Penelitian ini berlangsung dari Agustus hingga Oktober 2016. Pengambilan
sampel dilakukan di Pangala, Kecamatan Rindingallo, Kabupaten Toraja Utara.
Sedangkan tempat penelitian dilakukan di Laboratorium Parasitologi Balai Besar
Veteriner, Maros.
3.2 Bahan Penelitian
Bahan penelitian yang digunakan adalah feses babi, albendazole, garam jenuh
(NaCl), es batu, formalin 10%, kapas, air, serta biji pinang (Areca catechu L),
albendazole.

3.3 Alat Penelitian


Alat yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah cool box, plastik klip,
sendok plastik, kertas labeling, pipet tetes, gelas ukur, saringan, kain kasa, timbangan
analitik digital, kamar hitung (Counting Chamber), kamera, sarung tangan, masker,
timbangan, kompor, panci, pisau, spoit, tabung sentrifus, alat sentrifugasi, objek glass,
cover glass, dan mikroskop.
3.4 Perlakuan
Pemeriksaan dilakukan baik secara kualitatif maupun secara kuantitaif. Babi
yang dinyatakan positif memiliki cacing Ascaris suum, akan diberikan perlakuan.
Jumlah sampel yang digunakan adalah 16 ekor babi. 16 ekor babi dibagi menjadi 4
kelompok yaitu kelompok kontrol positif dengan menggunakan albendazole dan
kelompok dengan pemberian air rebusan biji pinang dengan konsentrasi berturut-turut
20%, 40% dan 80% diberikan selama 9 hari dan dilakukan pemeriksaan tiap 3 hari.
Dalam pemeriksaan yang dilakukan kembali tiap 3 hari, dilakukan pemeriksaan
identifikasi telur cacing Ascaris summ dan menentukan derajat keparahannya sudah
berkurang. Perlakuan terhadap babi untuk pengambilan sampel serta saat pemberian
perlakuan dengan memberi tanda setiap babi yang diberi perlakuan dengan pemberian
nomor pada babi serta menandai setiap ciri khusus dari babi sehinggga tidak terjadi
kesalahan dalam pengambilan sampel.
Pemeriksaan kualitatif dimaksudkan untuk mengidentifikasi jenis cacing yang
menginfeksi babi yaitu cacing Ascaris suum berdasarkan bentuk dan ukuran telur,
sedangkan pemeriksaan kuantitatif dimaksudkan mengetahui banyaknya Eggs Per Gram
(EPG) yaitu jumlah telur cacing per gram feses yang menggambarkan berat ringannya
derajat infeksi. Hasil pengamatan dijelaskan secara deskriptif yaitu menjelaskan tentang
jenis cacing yang menginfestasi babi dan jumlah telur cacing babi (Soulsby, 1982).

3.5 Pengambilan Sampel


Pengambilan sampel dilakukan bulan Agustus 2016 pada peternakan babi milik
warga di desa Pangala dengan pengambilan sampel acak / random sampling. Sampel
yang diambil secara random untuk penulisan awal (baseline) sebanyak 40 ekor babi
yang memiliki berat badan 10kg–20 kg, sampel yang diambil adalah feses segar babi.
Feses diambil menggunakan sendok plastik kemudian dimasukkan ke dalam klip plastik

12
yang sudah diberikan larutan formalin 10%. Klip plastik yang berisi sampel feses segar
kemudian dimasukkan ke dalam coolbox untuk menjaga agar feses tetap dalam kondisi
yang baik dan tidak rusak yang selanjutnya akan dibawa menuju Laboratorium BBVet
Maros untuk dilakukan pemeriksaan identifikasi telur cacing Ascaris suum.
Pengulangan pengambilan sampel dilakukan setiap 3 hari setelah diberikan perlakuan
dengan albendazole dan air rebusan biji pinang konsentrasi tertentu, cara pengambilan
sampel dilakukan sama seperti pengambilan sampel awal.

3.6 Prosedur Pemeriksaan Feses


Penelitian ini dilakukan dengan metode apung dengan sentrifugasi dan jika
hasilnya positif maka selanjutnya akan dilakukan perhitungan telur cacing per gram
(EPG) dengan menggunakan metode Mc. Master.
a. Metode Uji Apung
Sampel feses ditimbang sebanyak 2 gram dengan menggunakan timbangan
analitik digital, selanjutnya ditambahkan NaCl sebanyak 30 ml dan diaduk sampai
homogen. Kemudian dilakukan penyaringan untuk memisahkan ampas feses selajutnya
air saringan tersebut dituangkan ke dalam tabung sentrifus sampai setinggi batas tabung
sentrifus. Sentrifugasi dilakukan dengan kecepatan 1500 rpm selama 5 menit. Tabung
sentrifus diletakkan di atas rak dengan posisi tegak lurus, diteteskan NaCl jenuh dengan
pipet tetes sampai permukaan cairan di dalam tabung sentrifus menjadi cembung,
tempelkan cover glass di atas permukaan yang cembung tadi dengan hati-hati dan
biarkan selama 2-3 menit selanjutnya diletakkan diatas objek glass dan diperiksa di
bawah mikroskop dengan pembesaran 100x (Soulsby, 1982).

b. Metode Mc. Master


Sampel feses ditimbang sebanyak 2 gram dengan menggunakan timbangan
analitik digital, selanjutnya ditambahkan NaCl sebanyak 28 ml dan diaduk sampai
homogen. Kemudian dilakukan penyaringan untuk memisahkan ampas feses selanjutnya
air saringan diambil menggunakan pipet dan dimasukkan ke dalam kamar hitung
(Counting Chamber). Diamkan larutan yang berada dalam counting chamber (kamar
hitung) selama 15 menit supaya telur mengapung ke permukaan. Periksa counting
chamber (kamar hitung) dengan menggunakan mikroskop pembesaran 100 x dan
fokuskan pada tiap-tiap kolom dimana dalam 1 chamber (kamar) berisi 6 kolom. Dalam
1 chamber (kamar) berisi 0,15 ml. Pencampuran berlaku pada tiap telur atau ookista
berbeda dalam 1 gram tinja. Jumlah telur yang terhitung pada kedua chamber (kamar)
dikalikan 100 (Soulsby, 1982).

3.7 Pembuatan Air Rebusan Biji Pinang


Buah pinang yang digunakan adalah yang berwarna hijau tua, cara pembuatan
rebusan biji pinang dengan mengambil pinang yang masih muda kemudian pinang
dibelah dua, lalu bijinya diambil. Biji yang diperoleh kemudian diiris tipis-tipis, lalu
dikeringkan dan dihaluskan. Pembuatan konsentrasi air rebusan biji pinang dilakukan
dengan menimbang biji pinang yang dan dihaluskan dengan perbandingan 20 mg biji
pinang/100 ml air, untuk konsentrasi 20%. Begitu juga yang dilakukan utuk

13
mendapatkan air rebusan biji pinang dengan konsentrasi 40% dan 80%. Setelah
ditimbang, lalu dimasukkan kedalam wadah, dan ditambahkan air sesuai dengan
konsentrasi masing-masing kelompok, lalu dilakukan proses perebusan. Proses
perebusan dilakukan selama 15 menit dengan suhu 90 oC. Hasil rebusan biji pinang lalu
di cekokan kedalam mulut babi, atau dicampurkan dengan pakan.

3.8Analisis Data
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental, data yang didapat lalu di
analisis dan dilakukan perhitungan untuk mengetahui penurunan jumlah telur cacing
dengan menggunakan rumus (Nawaz dkk, 2014).

EPG sebelum perlakuan – EPG setelah perlakuan


FECR(%) = x 100
EPG sebelum perlakuan

Ket : FECR = Fecal Egg Count Reduction


EPG = Eggs Per Gram

14
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian

Penelitian mengenai pengaruh pemberian air rebusan biji pinang terhadap infeksi
cacing Ascaris suum secara in vivo pada babi, telah dilaksanakan pada bulan Agustus
hingga Oktober 2016. Sampel awal feses babi ada 40 sampel, kemudian dilakukan
identifikasi telur cacing dengan metode uji apung.

Gambar 5. Telur cacing Ascaris suum, dengan Uji Apung

Hasil pengamatan mikroskop pada gambar di atas menunjukkan bahwa telur


cacing tersebut berbentuk oval pendek dan lapisan luarnya yang bergranul adalah
protein dan dalam telur merupakan membrane vitelinus yang bergelombang hal ini
sesuai dengan literatur dari Miyazaki (1991) yang menyatakan bahwa telur Ascaris
suum yang dibuahi berbentuk oval pendek dengan panjang 55-75 μm dan lebar 35-
50μm. Ascaris suum memiliki siklus hidup langsung. Cacing betina mengeluarkan telur
200.000 – 1 juta setiap hari di dalam usus dan keluar bersama tinja. Telurnya tidak
bersegmen ketika sampai di tanah, dan membutuhkan 13-18 hari untuk menjadi infektif
di bawah kondisi optimal, atau 31-40 hari pada 18-20 oC (Dewi, 2007).
Infeksi dari cacing ini pada babi sering tidak menunjukkan gejala klinis yang
nyata. Cacing dewasa hidup di dalam rongga usus dan mendapat makanan berupa
makanan yang setengah dicernakan dan dari sel-sel mukosa usus. Cacing ini juga
mempunyai kemampuan menghambat pencernaan protein dengan mengeluarkan zat
penghambat tripsin. Akibatnya babi akan mengalami kelesuan dan menjadi lebih rentan
terinfeksi penyakit lain. Pada infeksi yang berat cacing ini dapat menyebabkan
penyumbatan pada usus (Dewi, 2007).

15
Tabel 1. Hasil Uji Identifikasi Telur Cacing Ascaris suum dengan Metode Uji Apung
dan Hasil Uji dengan Metode Mc. Master

No Kode Ascaris suum Uji Mc. Master


Sampel Identifikasi
1. 1 Positif 1900
2. 3 Positif -
3. 4 Positif 2500
4. 5 Positif 1000
5. 8 Positif -
6. 13 Positif 200
7. 14 Positif 2300
8. 15 Positif 2800
9. 16 Positif -
10. 18 Positif 100
11. 19 Positif 2500
12. 20 Positif 100
13. 21 Positif 200
14. 22 Positif 1800
15. 28 Positif 400
16. 29 Positif 1200
17. 33 Positif -
18. 34 Positif -
19. 35 Positif 500
20. 37 Positif 2100
21. 38 Positif -
22. 39 Positif 1100

Dari 40 sampel awal yang diidentifikasi dengan metode uji apung, ditemukan 22
sampel yang positif terinfeksi cacing nematoda jenis Ascaris suum, lalu dilakukan uji
Mc. Master, untuk menghitung jumlah telur cacing. Berikut adalah gambar pemeriksaan
dengan uji Mc.Master :

Gambar 6. Uji Mc. Master (tampak telur Ascaris suum)

16
Jumlah babi yang digunakan yaitu 16 ekor dari 22 ekor babi yang dinyatakan
positif terhadap cacing Ascaris suum, karena ada 5 sampel yang termasuk infeksi ringan
dan jumlah telur cacing yang sedikit sehingga yang saat diuji Mc. Master, telur cacing
tidak terlihat. 16 sampel ini lalu dibagi dalam 4 kelompok yaitu kelompok kontrol, dan 3
kelompok perlakuan dengan biji pinang yang tiap 3 hari selama 9 hari dilakukan
pengambilan sampel, sehingga total keseluruhan sampel feses babi 48 sampel.
Kelompok pertama adalah kontrol positif dengan pemberian albendazole, kelompok
kedua dengan air rebusan biji pinang konsentrasi 20%, kelompok ketiga dengan air
rebusan biji pinang 40%, kelompok ke empat dengan air rebusan biji pinang 80%. Pada
saat proses pemeriksaan dengan uji Mc.Master feses ditimbang sebanyak 2 gram.
Sehingga hasil perhitungan telur cacing dengan uji Mc.Master dibagi 2, untuk
mendapatkan perhitungan per gram feses. Uji Mc. Master dilakukan untuk sampel yang
dinyatakan positif pada Uji Identifikasi telur cacing. Uji Mc Master dilakukan untuk
mengetahui jumlah telur cacing sehingga dapat terlihat ada perubahan setelah diberikan
perlakuan dengan air rebusan biji pinang.
Berikut adalah hasil uji Mc. Master sebelum dan setelah diberikan perlakuan:

Tabel 2. Hasil Uji Mc. Master Sebelum dan Setelah Perlakuan

No Kode Sebelum Setelah Perlakuan


Perlakuan
Sampel Perlakuan
Hari ke 3 Hari ke 6 Hari ke 9
1. 14 2300 400 400 200
2. 18 100 - - -
Albendazole
3. 22 1800 2300 300 400
4. 5 1000 500 200 100
5. 13 200 - - -
Air Rebusan
6. 21 200 600 2400 800
Biji Pinang
7. 29 1200 1400 1000 200
20%
8. 4 2500 600 100 -
9. 19 2500 - - -
Air Rebusan
10. 35 500 1000 700 500
Biji Pinang
11. 37 2100 1500 300 100
40%
12. 20 100 - 500 -
13. Air 15 2800 100 - -
14. Rrebusan 39 1100 1000 400 500
15. Biji Pinang 28 400 500 1400 200
16. 80%
1 1900 1700 400 -

Kusumamihardja (1992), menyatakan bahwa perbedaan jumlah perhitungan telur


per gram pada inang definitif dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu, jenis cacing,
umur cacing, waktu produksi telur, jumlah tinja yang dihasilkan oleh host definitif,

17
kepadatan atau konsistensi tinja, dan penyebaran telur dalam tinja. Jumlah ttg juga dapat
digunakan untuk menentukan tingkat infeksi cacing terhadap host definitif. Jika
ditemukan jumlah telur cacing nematoda kurang dari 5000 telur per gram tinja maka
termasuk infeksi ringan. Bila ditemukan 5000-25000 telur per gram tinja maka infeksi
termasuk infeksi sedang dan jika ditemukan lebih dari 25000 telur per gram tinja maka
termasuk infeksi berat (Levine, 1968). Dari hasil uji Mc.Master diatas dan dibandingkan
dengan teori yang ada, maka dapat disimpulkan bahwa babi yang digunakan untuk
penelitian ini, adalah babi dengan kondisi infeksi yang ringan dimana jumlah telur
cacing kurang dari 5000 telur per gram tinja.
FECR (Fecal Egg Count Reduction) digunakan untuk mengetahui pengaruh dari
pemberian air rebusan biji pinang terhadap telur cacing Ascaris suum, dengan rumus
sebagai berikut :

EPG sebelum perlakuan – EPG setelah perlakuan


FECR(%) = x 100
EPG sebelum perlakuan

Ket : EPG = Egg Per Gram Feses

Contoh perhitungan dengan FECR :


Albendzole hari ke 3 (rata-rata) :

1300 – 800 500


FECR = x 100 x 100 = 0,38 x 100 = 38 %
1300 1300

Dari hasil perhitungan dengan FECR maka di dapat hasil dalam tabel berikut :

Tabel 3. Hasil perhitungan dengan FECR

Perlakuan Hari 3 Hari 6 Hari 9

Albendazole 38 % 82 % 86 %

Air Rebusan Biji 36 % 14 % 75 %


Pinang 20 %

Air Rebusan Biji 52 % 71 % 88 %


Pinang 40 %

Air Rebusan Biji 32 % 64 % 89 %


Pinang 80 %

18
Dari tabel hasil perhitungan dengan FECR, kemudian dilakukan penghitungan
rata-rata sehingga dapat dibuat grafik seperti berikut :

80
69 70
70 62
Nilai rata-rata penurunan

60
50
jumlah telur cacing

42
40
30
20
10
0
Albendazole Pinang 20% Pinang 40% Pinang 80%
Kelompok perlakuan

Gambar 7. Rata-rata Penurunan Jumlah Telur Cacing

4.2 Pembahasan

Askariasis merupakan infeksi yang disebabkan oleh cacing Ascaris sp. Pada
ternak babi, askariasis disebabkan oleh infeksi cacing Ascaris suum yang hidup sebagai
parasit di dalam usus halus, terutama pada babi muda (Soulsby, 1982). Cara penularan
cacing Ascaris suum adalah melalui telur yang dikeluarkan bersama tinja induk semang
yang terinfeksi, kemudian berkembang menjadi bentuk infektif dalam waktu 18 hari
atau 30-40 hari pada suhu 18-20oC. Stadium infektif merupakan larva stadium kedua
yang masih di dalam kulit telur. Babi terinfeksi Ascaris suum apabila menelan makanan
atau minuman yang terkontaminasi telur infektif (Levine, 1994). Gejala klinis yang
ditimbulkan seperti penyumbatan pada usus, lalu terjadi kolik dan iritasi hingga enteritis
sehingga timbul gejala diare, demam dan anemia. Selain itu teramati kelemahan umum
seperti dehidrasi, penurunan berat badan dan kekurusan (Urquhart, et al., 1985).
Askariasis pada ternak dapat dicegah dengan menjaga kebersihan kandang dan
memberikan antelmintik secara rutin pada ternak. Air rebusan biji pinang dapat
dijadikan alternatif untuk mengatasi hal tersebut. Air rebusan biji pinang memiliki
pengaruh terhadap askariasis dapat dilihat dari adanya penurunan jumlah telur sebelum
perlakuan dan setelah diberikan perlakuan dengan air rebusan biji pinang, seperti yang
terlihat pada perhitungan FECR (Fecal Egg Count Reduction). Dari hasil perhitungan
dengan FECR, konsentrasi air rebusan biji pinang yang paling baik yaitu konsentrasi
40%. Sebelumnya, pembagian kelompok dilakukan secara acak untuk 1 kelompok
kontrol dan 3 kelompok perlakuan dan penelitian ini dilakukan secara in vivo, sehingga

19
respon dari tubuh hewan coba terhadap perlakuan yang diberikan akan berpengaruh
sehingga akan berbeda-beda pula hasilnya. Hal lain yang juga berpengaruh adalah jarak
waktu yang cukup lama antara perhitungan jumlah telur cacing sebelum perlakuan
dengan waktu pemberian perlakuan, dan pada rentang waktu itu siklus hidup dari cacing
terus berlanjut sehingga saat pemberian perlakuan, jumlah telur cacing dapat bertambah
ataupun berkurang.
Penelitian mengenai pengaruh pemberian air rebusan biji pinang ini, dilakukan
dengan membagi sampel secara acak dalam 4 kelompok yakni 1 kelompok kontrol dan 3
kelompok perlakuan. Kelompok kontrol yaitu kontrol positif pada penelitian ini
menggunakan Albendazole. Albendazole merupakan antihelmintik dengan spektrum
yang sangat luas, termasuk dalam golongan Benzimidazole. Pada parasit cacing,
Albendazole dan metabolit-nya diperkirakan bekerja dengan jalan menghambat sintesis
mikrotubulus, dengan demikian mengurangi pengambilan glucose secara irreversible,
mengakibatkan cacing lumpuh (Bertram.G.K, 2004).
Pada penelitian ini, air rebusan biji pinang digunakan sebagai perlakuan dimana
memang sejak dahulu, biji pinang banyak digunakan oleh masyarakat tradisional untuk
menangani berbagai penyakit, salah satu diantaranya yaitu sebagai obat cacing.
Kandungan utama biji pinang adalah karbohidrat, lemak, serat, polyphenol termasuk
flavonoids dan tanin, alkaloid dan mineral (IARC, 2004). Biji pinang mengandung
alkaloid, seperti arekolin (C8 H13 NO2), arekolidine, arekain, guvakolin, guvasine dan
isoguvasine (Wang et al., 1996). Biji pinang mengandung catechin, tanin (15%), asam
galat, gum dan alkaloid seperti arekolin (0.07%), arekain (1%). Arekaidin and
guvakolin, guvasin and choline ada dalam jumlah sedikit. Dari kesemua
kandungannya, arekolin merupakan alkaloid yang paling penting (Reena et al., 2009
dalam Joshi et al., 2012).
Kandungan biji pinang yang diduga memiliki khasiat sebagai obat cacing, yaitu
arekolin dan tanin. Arekolin merupakan alkaloid utama yang terdapat dalam biji pinang
dan menjadi alkaloid terpenting dalam fisiologinya, selain arekolin, arekain, guvakolin,
guvasin, dan isoguvasin. Arekolin bersifat racun bagi beberapa jenis cacing (Lutony,
1993; Suharsono, 1994) dan menyebabkan paralisis sementara, arekolin bekerja dengan
mengganggu aliran impuls saraf pada akson, (Firgorita, 1991). Kandungan biji pinang
yang juga memiliki efek antelmintik adalah tannin. Red tannin pada pinang diketahui
sebesar 15%, tanin pada pinang bekerja dengan menghambat kerja enzim dan merusak
membran. Saat kerja enzim terhambat, dapat menyebabkan proses metabolisme
pencernaan terganggu, sehingga cacing akan kekurangan nutrisi dan akhirnya mati.
Tanin yang merusak membran, dapat menyebabkan paralisis pada cacing dan akhirnya
cacing akan mati (Nonaka, 1989).
Masalah kecacingan memang sering terjadi pada ternak termasuk babi, di desa
pangala, jenis cacing nematoda yang sering menyerang ternak babi, yaitu Ascaris suum.
Ada beberapa faktor yang diduga berpengaruh terhadap tingginya kasus ascariasis
akibat jenis cacing ini yaitu :

 Faktor lingkungan
Desa pangala merupakan salah satu desa yang dikelilingi oleh gunung,
sehingga suhu udara di tempat ini cukup rendah, sementara suhu ideal untuk

20
pertumbuhan telur dan larva cacing Ascaris suum berkisar antara 23oC sampai
30o C, (Rasmaliah, 2001).
 Faktor kebersihan kandang
Di desa Pangala, pemeliharaan babi dilakukan dengan semi intensif yaitu
ternak babi dipelihara di dalam kandang. Namun perawatan yang dilakukan
kurang baik, dimana kandangnya tidak dibersihkan secara rutin, sehingga
kontaminasi dari feses babi dengan pakan sulit dihindari. Sehingga apabila
terdapat larva infektif pada pakan yang terkontaminasi, akan sangat mudah
masuk kedalam tubuh dan berkembang sehingga semakin tinggi pula angka
kejadian ascariasis. Bila terjadi kasus seperti ini, siklus hidup dari cacing akan
sulit untuk di putus, sehingga derajat keparahannya akan semakin meningkat.
Kasus helmintiasis saluran pencernaan yang sering terjadi disebabkan oleh
berbagai factor diantaranya kualitas kandang, sanitasi, dan hygiene, kepadatan
kandang, dan temperature, (Egido et al.,2001; Levine, 1990).

 Faktor Pemberian obat cacing


Antihelmintik atau obat cacing adalah obat yang dapat dan berkhasiat
memusnahkan cacing dalam tubuh manusia dan hewan. Antihelmintik mencakup
semua zat yang bekerja lokal menghalau cacing dari saluran pencernaan maupun
obat-obat sistemis yang membasmi cacing maupun larva cacing yang berada
dalam organ dan jaringan tubuh, (Tjay dan Rahardja, 2008). Peternak di desa
pangala, belum memahami benar mengenai manfaat pemberian obat cacing
secara rutin pada ternak mereka. Sehingga tidak dilakukan pencegahan dengan
pemberian obat cacing pada ternak. Alhasil, tingkat pertumbuhan dari ternak
yang mengalami kecacingan akan lambat dan akan merugikan peternak itu
sendiri.

21
5 PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan penelitian ini, maka diperoleh kesimpulan bahwa pemberian air


rebusan biji pinang memiliki pengaruh untuk menurunkan jumlah telur cacing Ascaris
suum pada babi dan konsentrasi air rebusan biji pinang yang paling baik untuk
mengatasi cacing Ascaris suum pada babi adalah konsentrasi 40% dengan nilai rata-rata
penurunan jumlah telur cacing yaitu 70%.

5.2 Saran

Berdasarkan penelitian di atas, maka saran yang dapat diberikan adalah


penelitian mengenai pengaruh pemberian air rebusan atau infusa sebaiknya dilakukan
dengan berfokus pada satu jenis cacing, dan tenggang waktu selama penelitian juga
harus diperhatikan, mulai dari pengambilan sampel awal hingga saat perlakuan.

22
DAFTAR PUSTAKA

Ardana IB dan Putra DKH .2008.Ternak Babi. Udayana University Press.Bali.

Arifin, C. Dan Soedarmono, 1982. Parasit Temak Dan Cara Penanggulangannya.


PT.Penebar Swadaya Jakarta .

Astiti, L. G., Panjaitan, T., dan Wirajaswadi. 2011. Uji Efektivitas Preparat
Anthelmintik pada Sapi bali di Lombok Tengah. Pengkajian dan Pengembangan
Teknologi Pertanian, Volume 14 Nomor 2,, hlm 77-83.

Beriajaya, Priyanto, D. 2004. Efektifitas Serbuk Daun Nanas Sebagai Antelmintik Pada
Sapi Yang Terinfeksi Cacing Nematoda Saluran Pencernaan. Seminar Nasional
Teknologi Peternakan dan Veteriner, hlm 162-169.

Bertram G.Katzung. 2004. Farmakologi Dasar dan Klinis, Bagian Farmakologi


Fakultas Kedokteran Universitas Erlangga, Penerbit Salemba Medika, Mc Graw
Hill, edisi 8, Hal. 261 – 269 .

Depkes RI. 1989. Materia Medika Indonesia, Jilid V, p. 55-58

Dewi, Kartikan dan R.T.P. Nugraha. 2007. Endoparasit Pada Feses Babi Kutil ( Sus
Verrucosus). Vol.16(1):13-19. Jakarta

Egido, J.M., J.A, De Diego., and P, Penin. 2001. The Prevalence of Enteropathy due to
Strongyloidiasis in Puerto Maldonado (Peruvian Amazon). Braz J Infect
Dis.Vol.5 no.3.

Ensminger, M.E. 1991. Feeds and Nutrition.Second Edition. The Ensminger Publising
Company. USA

FAO. 2009. The State of The World’s Animal Genetic Resources for Food and
Agricukture. Rischkowsky B, Pilling D, editors. Rome (Italy): Commission on
Genetic Resources for Food and Agriculture Food and Agriculture Organization
Of The United Nations.

Firgorita, I. 1991. Arecoline hydrobromide pada biji pinang (Areca catechu) dosis
efektif terhadap Raillietina spp dan dosis herbal terhadap ayam buras [Skripsi].
Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Fox, M.T. 2012. Gastro Intestinal Parasites of Cattle. The Merck Veterinary Manual.

23
Gea M. 2009. Penampilan ternak babi lokal periode grower dengan penambahan
biotetes ”SOZOFM-4” dalamransum. Bogor (Indonesia): Institut Pertanian
Bogor.

Hannan, A., Karan, S and Chatterjee T.K. 2012. Anti-inflammatory and analgesic
activity of methanolic axtract of Areca seed collected from Areca cathecu plant
grown in Assm. International journal of pharmeceutical and chemical sciences
1(2): 2277-5005

Harborne. 1987. Metode fitokomia, penuntun cara modern menganalisis tumbuhan.


Terjemahan : K. Padmawinata, I. Sudiro. Bandung : Institut Teknologi Bandung.

Hartatik T, Soewandi BDP, Volkandari SD, Tabun AC, Sumadi. 2014. Identification
genetics of local pigs, Landrace and Duroc based on qualitative analysis. In:
SUSTAIN. Yogyakarta (Indonesia): Gadjah MadaUniversity. p. 1-6.

Hartatik T. 2013. Analisis genetika ternak lokal. Hartatik T, penyunting. Yogyakarta


(Indonesia): Universitas Gadjah Mada Press.

IARC. 2004. WHO-biennial report. International Agency for Research on Cancer, Part
I, IARC Group and Cluster reports. Lyon, France, pp: 1-192

Irianto, K. 2013. Parasitolgi Medis (Medical Parasitology). Alfabeta. Bandung.

Joshi, Madhusudan., Kavita Gaonkar, Sneha Mangoankar, Sneha Satarkar. 2012.


Pharmacological Investigation of Areca catechu Extracts For Evaluation of
Learning, Memory and Behavior In Rats. India: International Current
Pharmaceutical Journal, 1(6): 128-132.
Kaufmann J .1996 . Parasitic Infection of Domestic Animal. ILRI.Germany.

Kristina dan Syahid. 2007. Penggunaan Tanaman Kelapa (Cocos nucifera), Pinang
(Areca catechu) Dan Aren (Arenga pinnata) Sebagai Tanaman Obat.

Kusumamihardja, S. 1992. Parasit dan Parasitosis pada Hewan Ternak dan Hewan
Piara. Pusat Antar Universitas Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor. Bogor

Larsen, M. 2000. Prosp.ect for controlling animal parasitic nematodes by predacious


micro fungi. Parasitology. 120: S121-S131.

Levine, D. 1990. Edisi Indonesia :Buku Pelajaran Parasitilogi Veteriner. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta. Original Edition: Textbook Of Veterinary
Parasitology.

Lutony, T.L. 1993. Pinang Sirih Komoditi Ekspor Dan Serbaguna. Jakarta: Kanisius

24
Miyazaki, Ichiro. 1991. An Illustrated Book of Helminthic Zoonoses, Tokyo,
International Medical Foundation of Japan, pp: 296-305.

Nawaz Mohsin, et.al. 2014. In Vitro and In Vivo Anthelmintic Activity Of Leaves Of
Azadirachta Indica Dalbergia Sisso and Morus Alba Againts Haemoncus
Contortus. Jurnal. Lahore, Pakistan.

Nonaka, G. 1989. Isolation and structure elucidation of tannins, Pure & Appl. Chem, 61
(3): 357-360

Permadi IMI. 2012. Prevalensi Cacing Nematoda Pada Babi. Indonesia Medicus
Veterinus. Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas Udayana. Bali.

Plumb, D. C. 2002. Veterinary Drug Handbook (3th Edition ed.). South State Avenue,
United States of America: Iowa State University Press.

Rasmaliah. 2001. Askariasis dan Cara Penanggulangannya [Internet]. [diunduh 6


Januari 2016ersedi]. Tersedia di http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkm-
rasmaliah.pdf.

Roberts S, John Jr. 2005. Foundations of Parasitology, Seventh Edition. United States:
McGraw-Hill.

Rothschild MF, Ruvinsky A, Larson G, Gongora J, Cucchi T, DobneyK, Andersson L,


Plastow G, Nicholas FW, Moran C, et al. 2011. The genetics of the pig.2nd ed.
Rothschild MF, Ruvinsky A, editors. London: CAB International.

Setiawan, A. 2008. Efektivitas Pemberian Ekstrak Temulawak (Curcuma xanthoriza,


Roxb) dan Temuireng (Curcuma aeruginosa, Roxb) Sebagai Kontrol
Helminthiasis Terhadap Packed Cell Volume (PCV),Sweating Rate dan
Pertambahan Bobot Badan Pedet Sapi Potong Brahman Cross Lepas Sapih.
Skripsi .

Shahidi, F and M. Naczk. 1995. Food phenolics. Technomic Inc, Basel.

Siagian PH. 2014. Pig production in Indonesia. Animal Genetic Resources Knowledge
Bank in Taiwan [Internet]. [diunduh 7 Maret 2016]. Tersedia di:
http://www.angrin.tlri.gov. tw/English/2014 Swine/p175-186.pdf

Sihombing, D.T.H. 1997. Petunjuk Praktis Beternak Babi. Fakultas Peternakan, IPB.
Edisi Pertama. Bogor.

Silalahi Marsudin dan Sinaga. 2010. Pengaruh Pemberian Tepung Kulit Buah Pepaya
(Carica Papaya) Dalam Ransum Babi Periode Finisher Terhadap Persentase

25
Karkas Tebal Lemak Punggung Dan Luas Urat Daging Mata Rusuk. Universitas
Pajajaran Bandung.

Soewandi B D P dan C Talib. 2015. Pengembangan Ternak Babi Lokal Di Indonesia.

Soulsby EJL. 1982. Helminth, Artropods and Protozoa of Domesticated Animals. 7thEd.
Bailliere Tindall, London.

Staples dab Bevaque. 2006. Areca Catechu (Batel Nut Palm). [Internet]. [diunduh 7
Maret 2016] Tersedia di :http://www.agroforestry.net/tti/Areca-catechu-betel-
nut-pdf.

Suharsono, S.K.H. 1994. Pengobatan tradisional penyakit cacing ayam buras. Poultry
Indonesia.173: 14.

Suryati, E dan E.S.M Suprapto. 1988. Isolasi dan penemuan sifat senyawa aktif
piscisida dari biji pinang (Areca catechu). Media Penelitian Sukamandi 6:50

Syamsuhidayat, S.S., dan Hutapea, J.R. 1991. Inventaris Tanaman Obat Indonesia,
Balitbang Departemen Kesehatan. Vol I: 64-65.

Syarif, A., dan Elysabeth. 2007. Farmakologi dan Terapi (5 ed.). (S. G. Gunawan, R.
Setiabudy, & Elysabeth, Eds.) Jakarta, Indonesia: Badan Penerbit FKUI.

Tampubolon Juni Royntan. 2014. Efek Antelmintik Infusa Biji Pinang (Areca catechuL)
Terhadap Ascaris suum Secara In Vitro.

Tiwow, D., Widdhi, B dan Novel, S.K. 2013. Uji efek antelmintik ekstrak etanol biji
pinang (Areca catechu) terhadap cacing Ascaris lumbricoides dan Ascaridia
galli secara in vitro. Pharmacon 2 (02): 76-80.

Tjay, T. H. dan Rahardja, K. 2008. Obat-Obat Penting, Khasiat, Penggunaan dan Efek-
Efek Sampingnya. Edisi Keenam. Jakarta : Penerbit PT. Elex Media
Komputindo. Halaman 578 - 580.

Trubus, R. 2013. Herbal Obat Berkhasiat.

Urquhart GM, J Amour, JL Duncan, AM Dunn and FW Jennings. 1985. Veterinary


Parasitology. Longman Scientific & Technical.

Wang, C.K. and Lee, W.H. 1996. Separation, characteristics, and biological activity es
on phenolics in areca fruit. J. Agric. Food Chem 44(8) : 2014 -2019.

Zaman, V., Ah Keong, L., Rukmono, B., Oemijati, S., dan Pribadi, W. 1988. Buku
Penuntun Parasitologi Kedokteran, Bandung, Binacipta,pp: 119-121.

26
LAMPIRAN

Lampiran tabel hasil pemeriksaan dengan uji Mc.Master

Jumlah Cacing
Kode Perlakuan 1 (Hari ke 3) Perlakuan 2 (Hari ke 6) Perlakuan 3 (Hari ke 9)
Jenis Obat Sebelum Perlakuan
Sampel
Ascarisuum Mati Hidup Bertambah Mati Hidup Bertambah Mati Hidup Bertambah
Albendazole 14 2300 1900 400 0 0 400 0 200 200 0
18 100 100 0 0 0 0 0 0 0 0
22 1800 0 2300 500 2000 300 0 0 400 100
5 1000 500 500 0 300 200 0 100 100 0
5200 2500 3200 500 2300 900 0 300 700 100
Pinang 20% 13 200 200 0 0 0 0 0 0 0 0
21 200 0 600 400 0 2400 1800 1600 800 0
29 1200 0 1400 200 400 1000 0 800 200 0
4 2500 1900 600 0 500 100 0 100 0 0
4100 2100 2600 600 900 3500 1800 2500 1000 0
Pinang 40% 19 2500 0 0 0 0 0 0 0 0 0
35 500 1000 500 300 700 0 200 500 0
37 2100 600 1500 0 1200 300 0 200 100 0
20 100 100 0 0 0 500 500 500 0 0
5200 700 2500 500 1500 1500 500 900 600 0
Pinang 80% 15 2800 2700 100 0 2700 0 0 0 0 0
39 1100 100 1000 0 600 400 0 0 500 100
28 400 0 500 100 0 1400 900 1200 200 0
1 1900 200 1700 0 1300 400 0 400 0 0
6200 3000 3300 100 4600 2200 900 1600 700 100

27
Lampiran Hasil Identifikasi Telur Cacing

28
29
Lampiran Hasil Uji Mc. Master Sebelum Perlakuan

30
31
Lampiran Hasil Uji Mc. Master Setelah Perlakuan Hari ke-3, Hari ke-6, dan Hari ke-9

32
33
Proses pembuatan air rebusan biji pinang

1. Biji pinang 2. Menimbang biji pinang


setelah dikeringkan yang telah dihaluskan

3. Proses perebusan 4. Hasil infusa biji pinang


biji pinang dengan konsentrasi 20%, 40%
dan 80%

34
Proses pengujian di laboratorium parasitologi BBVet Maros

Proses Penimbangan Proses Penyaringan


Sampel sampel

Proses Pengujian dengan Proses Pengujian dengan


Metode Uji Apung Mc Master

35
Proses Pengamatan Sampel
di bawah Mikroskop

Pemberian Perlakuan Dan Pengambilan Sampel

Pemberian Infusa Biji Proses Pengambilan


Pinang Sampel

36
RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama lengkap Wendelindia Virgillya Tambing


Tandira'pak lahir pada tanggal 10 Mei 1994 di Makale, Kabupaten
Toraja Utara, Sulawesi Selatan. Penulis merupakan anak pertama
dari lima bersaudara dari pasangan suami istri Simon Tandirqpak
dan Asteria Fides Tambing. Penulis menempuh pendidikan di Tk
Angela, Paku Makale pada tahun 1998-2000. Kemudian
melanjutkan pendidikan di SD Katolik Renya Rosari, Paku
Makale pada tahun 2000-2006. Lalu penulis melanjutkan
pendidikan di SMP Negeri 1 Makale, Tana Toraja pada tahun
2006-2009. Kemudian melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 1
Makale pada tahun 2009-2012. Pada tahun 2012, penulis diterima sebagai mahasiswa di
Program Studi Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran, Universitas Hasanuddin.
Selama masa pendidikan, penulis aktif dalam organisasi internal kampus yaitu
Himpunan Mahasiswa Kedokteran Hewan (HIMAKAHA), sebagai anggota divisi
Danus (Dana dan Usaha) pada tahun 2014-2015 dan organisasi KMK (Kerukunan
Mahasiswa Katolik) UNHAS sebagai anggota divisi Humas (Hubungan Masyarakat)
pada tahun periode 2013-2014 dan 2014-2015.

37

Anda mungkin juga menyukai