Anda di halaman 1dari 75

PENGARUH INJEKSI INTRAMUSKULAR SEL PUNCA MESENKIMAL

TALI PUSAT MANUSIA TERHADAP HISTOPATOLOGI PARU TIKUS


PUTIH (Rattus norvegicus) YANG TERPAPAR ASAP ROKOK

(Skripsi)

Oleh
ANDINI PRAMESTI NINGRUM

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2019
PENGARUH INJEKSI INTRAMUSKULAR SEL PUNCA MESENKIMAL
TALI PUSAT MANUSIA TERHADAP HISTOPATOLOGI PARU TIKUS
PUTIH (Rattus norvegicus) YANG TERPAPAR ASAP ROKOK

Oleh
ANDINI PRAMESTI NINGRUM

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar


SARJANA KEDOKTERAN

Pada

Program Studi Pendidikan Dokter


Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2019
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada 27 Oktober 1997 sebagai putri

pertama dari tiga bersaudara pasangan Ayahanda Edy Wiyanto dan Ibunda Siti

Rusminarni.

Penulis menyelesaikan pendidikan di TK Dharma Wanita Perumahan Korpri pada

tahun 2003, SD Al-Azhar 1 Bandar Lampung pada tahun 2009, SMP Al-Kautsar

Bandar Lampung pada tahun 2012, dan SMA Negeri 9 Bandar Lampung pada

tahun 2015. Tahun 2015, penulis terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas

Kedokteran Universitas Lampung melalui jalur ujian Seleksi Bersama Masuk

Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN).

Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah menjadi asisten dosen Anatomi

periode 2017/2018. Penulis aktif menjadi pengurus organisasi di Badan Eksekutif

Mahasiswa (BEM) Fakultas Kedokteran Universitas Lampung sebagai kepala

dinas Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Organisasi (PSDMO) periode

2017/2018. Penulis juga pernah aktif di Forum Studi Islam (FSI) Ibnu Sina

periode 2015/2016 sebagai anggota muda. Penulis merupakan penerima Djarum

Beasiswa Plus dari Djarum Foundation periode 2017/2018 (angkatan ke-33).


Kupersembahkan karya sederhana ini untuk Papa, Mama,

Dimas, dan Dina sebagai tanda terimakasih atas segala

perjuangan, semangat, usaha, dan doa yang tak terhingga..

“Dan apa saja (kekayaan, jabatan, keturunan) yang diberikan

kepada kamu, maka itu adalah kenikmatan hidup duniawi dan

perhiasannya; sedang apa yang di sisi Allah adalah lebih baik dan

lebih kekal. Tidakkah kamu mengerti?”

(Q.S. Al-Qashash ayat 60)


SANWACANA

Puji syukur Penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan

hidayah-Nya skripsi ini dapat diselesaikan. Sholawat serta salam semoga selalu

tercurahkan kepada Nabi Muhammad S.A.W.

Skripsi dengan judul “Pengaruh Injeksi Intramuskular Sel Punca Mesenkimal Tali

Pusat Manusia Terhadap Histopatologi Paru Tikus Putih (Rattus norvegicus)

Yang Terpapar Asap Rokok” adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar

sarjana Kedokteran di Universitas Lampung.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Hasriadi Mat Akin, M.P., selaku Rektor Universitas Lampung;

2. Dr. dr. Muhartono, S.Ked., M.Kes., Sp.PA., selaku Dekan Fakultas

Kedokteran Universitas Lampung;

3. Dr. dr. Evi Kurniawaty, S.Ked., M.Sc., selaku Pembimbing Utama yang

selalu bersedia menyempatkan waktu untuk membimbing, mengarahkan,

memberi masukan, dan nasihat selama proses penyelesaian penelitian;

4. Dr. dr. Jhons Fatriyadi Suwandi, S.Ked., M.Kes., selaku Pembimbing Kedua

atas kesediannya untuk membimbing, mengingatkan akan ketelitian, dan

mendorong untuk menyelesaikan penyusunan skripsi ini dengan maksimal;


5. Ibu Soraya Rahmanisa, S. Si., M.Sc., selaku Pembahas yang telah bersedia

meluangkan waktu untuk memberikan masukan, saran, dan nasihat yang

bermanfaat dalam penyelesaian skripsi ini;

6. Dr. Dyah Wulan SRW, S.KM., M.KM., selaku Pembimbing Akademik yang

selalu bersedia mendengar curahan, memberikan motivasi, dan nasihat dalam

kepentingan akademik selama masa pre-klinik;

7. Ibu Nuriyah dan Mba Yani yang sudah memberikan pengetahuan dan

membantu dalam proses pembuatan ekstrak sel punca mesenkimal tali pusat

manusia;

8. dr. Rizki Hanriko S.Ked., Sp.PA. dan Mas Bayu yang telah membantu dalam

proses pembuatan dan pembacaan preparat;

9. Seluruh dosen dan karyawan FK Unila atas ilmu, pengalaman berharga, dan

bimbingan yang kelak akan digunakan sebagai bekal dalam menjalankan

tugas sebagai dokter;

10. Papa dan Mama tercinta, Papa Ir. Hi. Edy Wiyanto dan Mama Hj. Ns. Siti

Rusminarni., S.Kep., M.Kes., yang selalu memberikan dukungan material,

emosional, dan spiritual;

11. Adik-adikku tersayang, Dimas Faturrohim dan Andina Salsabila, yang selalu

memberikan pelukan hangat sebagai penyemangat di setiap harinya;

12. Seluruh keluarga besar yang turut memberikan dukungan, terutama Mbah

Putri yang selalu memberikan bantuan spesial lewat doa;

13. Sahabat seperjuangan; teman belajar; teman berlibur; teman yang siap siaga

untuk membantu dan menghibur; Vanessa, Melati, Yuri, Mira, Tara, Ara,

Habibi, Reihan, Ajib, Hasril, Norman, Rifath, Fahri, Brocky, Rifki, Nabil,
Sany dan Diki. Terimakasih atas canda, tawa, dan kebersamaan selama

menjalani pendidikan di FK Unila;

14. Teman penelitian; Mira dan Anggun, teman-teman seperjuangan di Animal

House, serta Khalis yang telah memberikan bantuan tali pusat.

15. BEM FK Unila, Kak Yosu dan Kak Ninis yang telah memberikan banyak

pengetahuan dan nasihat, teman-teman seperjuangan di dinas PSDMO,

Hendro, Winda, Bagas, Alvin, Nadhila, Bagus, Haydar, Januar, Brenda, Bang

Kiki, Upe, Jefri, Reginda, Jason, Sisie, Naflah, Noeril, Syiva, Agus, Rifqi,

Dima, Rara, dan Citra yang selalu memberikan semangat;

16. Teman-teman angkatan 2015 (ENDOM15IUM) yang tidak bisa disebutkan

satu persatu;

17. Teman-teman Asdos Anatomi 2015, atas segala pengalaman dan ilmu yang

bermanfaat;

18. Djarum Beasiswa Plus, atas “gaji” dan pelatihan-pelatihan softskills yang

diberikan serta bantuan rokok untuk penelitian. Kepada teman-teman Beswan

Djarum angkatan 33 dari Sabang sampai Merauke yang sangat menginspirasi

untuk selalu berprestasi, terutama Beswan Lampung Fifki, Mona, Anggy,

Dianti, dan Nicholas;

19. Teman-teman KKN; Bang Fajar, Nafi, Abel, Bella, Yasmin, dan Via yang

selalu memberikan dukungan dan semangat, serta mengajarkan sisi lain

kehidupan selain bidang kedokteran;

20. Teman-teman akrab semasa SMP, 18++; Adinda, Annisa (Krui), Arrahma,

Ayubudi, Dinda, Farrah, Melati, Naurah, Ayun, Retno, Rhava, Riana (Paul),
Selma, Sucha, Tita, Tiyas, dan Ukhti yang sampai saat ini masih selalu

memberikan semangat dan dukungan;

21. Teman-teman sekelas saat SMA, Sekelixx; yang komunikasinya masih

terjaga dengan baik dan selalu memberikan motivasi untuk menjadi orang

yang bermanfaat;

22. Last but not least, thankyou Al Azzurra Pasha (Jero) for always being there

for me through my ups and down.

Akhir kata, Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan.

Akan tetapi, sedikit harapan semoga skripsi yang sederhana ini dapat berguna dan

bermanfaat bagi kita semua. Aamiin.

Bandar Lampung, 25 Januari 2019

Penulis

Andini Pramesti Ningrum


ABSTRACT

THE EFFECT OF INTRAMUSCULAR INJECTION HUMAN


UMBILICAL CORD MESENCHYMAL STEM CELL TO LUNGS OF
RATS (Rattus norvegicus) WITH CIGARETTE SMOKE EXPOSURE

By

ANDINI PRAMESTI NINGRUM

Background: Smoking habits had proved to cause more than 25 types of diseases
that attack various human organs, including the lungs. Mesenchymal stem cells
were an important source of tissue repair and regeneration through their ability to
secrete bioactive metabolites.
Method: This study was a laboratory experimental study using 27 white rats
divided into three groups, the control group (K), exposured by cigarettes smoke
(P1), exposured by cigarettes smoke and injected intramuscular human umbilical
cord mesenchymal stem cells. (P2). The study was conducted for 42 days. After
examination of pulmonary histopathology, the data were analyzed using the
Kruskal-Wallis and post hoc Mann-Whitney statistical tests.
Result: The results were obtained estimated level of lung parenchyma damage
between KK and P1, KK and P2, as well as P1 and P2 because the value of p =
0,000 was obtained so p <0.05, the expected results obtained Ho were expected.
Conclusion: There was effect of intramuscular injection human umbilical cord
mesenchymal stem cell to lungs of rats (Rattus norvegicus) with cigarette smoke
exposure

Keywords: cigarette smoke, human umbilical cord mesenchymal stem cells,


intramuscular injection, histopathology of lungs.
ABSTRAK

PENGARUH INJEKSI INTRAMUSKULAR SEL PUNCA MESENKIMAL


TALI PUSAT MANUSIA TERHADAP HISTOPATOLOGI PARU TIKUS
PUTIH (Rattus norvegicus) YANG TERPAPAR ASAP ROKOK

Oleh

ANDINI PRAMESTI NINGRUM

Latar Belakang: Kebiasaan merokok terbukti menyebabkan kurang lebih 25


jenis penyakit yang menyerang berbagai organ tubuh manusia terutama paru. Sel
punca mesenkimal merupakan sumber penting perbaikan dan regenerasi jaringan
melalui kemampuannya mensekresikan metabolit bioaktif.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorik
menggunakan 27 ekor tikus putih yang dibagi menjadi tiga kelompok, kelompok
kontrol (K), yang dipaparkan asap rokok (P1), dan yang dipaparkan asap rokok
serta diinjeksi intramuskular sel punca mesenkimal tali pusat manusia (P2)
Penelitian dilakukan selama 42 hari. Setelah itu dilakukan pengamatan terhadap
histopatologi paru, kemudian data dianalisis menggunakan uji statistik Kruskal-
Wallis dan post hoc Mann-Whitney.
Hasil: Diperoleh hasil terdapat perbedaan derajat kerusakan parekim paru antara
KK dan P1, KK dan P2, serta P1 dan P2 karena diperoleh nilai p=0,000 sehingga
p<0,05 maka didapatkan hasil bermakna yang berarti Ho ditolak.
Kesimpulan: Terdapat pengaruh injeksi intramuskular sel punca mesenkimal tali
pusat manusia terhadap histopatologi paru tikus putih (Rattus norvegicus) yang
terpapar asap rokok.

Kata Kunci: asap rokok, injeksi intramuskular, histopatologi paru, sel punca
mesenkimal tali pusat manusia.
DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ........................................................................................................... i

DAFTAR TABEL ................................................................................................ iii

DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ iv

DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... v

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1
1.2 Perumusan Masalah .............................................................................. 3
1.3 Tujuan Penelitian .................................................................................. 4
1.4 Manfaat Penelitian ................................................................................ 4
1.4.1 Manfaat bagi Penulis ................................................................. 4
1.4.2 Manfaat bagi Peneliti Lain......................................................... 4
1.4.3 Manfaat bagi Instansi Terkait .................................................... 4
1.4.4 Manfaat bagi Masyarakat .......................................................... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Rokok .................................................................................................... 6
2.1.1 Definisi ...................................................................................... 6
2.1.2 Epidemiologi.............................................................................. 6
2.1.3 Kandungan Rokok ..................................................................... 7
2.1.4 Dampak Merokok ...................................................................... 8
2.2 Paru ....................................................................................................... 9
2.2.1 Anatomi Paru ............................................................................. 9
2.2.2 Fisiologi Paru ........................................................................... 10
2.2.3 Histologi Paru .......................................................................... 12
2.2.4 Patologi Paru ............................................................................ 16
2.2.5 Paru yang Terpapar Asap Rokok ............................................. 20
2.3 Sel Punca............................................................................................. 22
2.4 Tikus Putih (Rattus norvegicus) Galur Sprague Dawley .................... 30
2.5 Kerangka Teori ................................................................................... 32
2.6 Kerangka Konsep ................................................................................ 34
2.7 Hipotesis ............................................................................................. 34
ii

BAB III METODE PENELITIAN


3.1 Rancangan Penelitian .......................................................................... 35
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ............................................................. 35
3.3 Populasi dan Sampel ........................................................................... 36
3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi .............................................................. 36
3.5 Identifikasi Variabel ........................................................................... 37
3.6 Definisi Operasional ........................................................................... 37
3.7 Cara Kerja ........................................................................................... 40
3.7.1 Alat dan Bahan Penelitian ....................................................... 40
3.7.2 Prosedur Penelitian .................................................................. 40
3.8 Alur Penelitian .................................................................................... 49
3.9 Pengolahan dan Analisis Data ............................................................ 50
3.10 Etika Penelitian ................................................................................... 51

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1 Hasil Penelitian ................................................................................... 52
4.1.1 Gambaran Histopatologi Paru Tikus ....................................... 52
4.1.2 Tingkat Kerusakan Parenkim Paru Tikus ................................ 56
4.2 Pembahasan ........................................................................................ 59
4.3 Keterbatasan Penelitian....................................................................... 64

BAB V SIMPULAN DAN SARAN


5.1 Simpulan ............................................................................................. 65
5.2 Saran ................................................................................................... 65

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 66

LAMPIRAN
DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

Tabel 1. Kelainan yang Berkaitan dengan Obstruksi Aliran Udara ...................... 17

Tabel 2. Definisi Operasional. .............................................................................. 38

Tabel 3. Kriteria Penilaian Derajat Kerusakan Parenkim Paru. ............................ 39

Tabel 4. Hasil Pengamatan Kerusakan Parenkim Paru Tikus ............................... 57

Tabel 5. Analisis Uji Mann-Whitney Derajat Kerusakan Parenkim Paru ............ 59


DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

Gambar 1. Paru (pandangan menyeluruh). ........................................................... 13

Gambar 2. Histologi Dinding Alveolus ................................................................ 15

Gambar 3. Emfisema paru..................................................................................... 19

Gambar 4. Anatomi Tali Pusat. ............................................................................. 26

Gambar 5. Kerangka Teori .................................................................................... 33

Gambar 6. Kerangka Konsep ................................................................................ 34

Gambar 7. Alur Penelitian..................................................................................... 49

Gambar 8. Gambaran histopatologi paru tikus kelompok kontrol (KK). ............. 54

Gambar 9. Gambaran histopatologi paru tikus kelompok perlakuan 1 (P1). ........ 55

Gambar 10. Gambaran histopatologi paru tikus kelompok perlakuan 2 (P2). ...... 56
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Uji Statistik

Lampiran 2. Gambar Penelitian

Lampiran 3. Surat Keterangan Lolos Kaji Etik

Lampiran 4. Hasil Pembacaan Preparat


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Manusia telah menggunakan tembakau sejak lama, tetapi pengaruh negatif

dalam konsumsinya sebagai rokok baru dirasakan belakangan ini. Masyarakat

percaya bahwa tembakau tidak merugikan kesehatan, bahkan yang telah

mengalami kecanduan merokok memandangnya sebagai sesuatu yang dapat

memberi ketenangan (Nurrurrahmah, 2014).

Pada tahun 2015 lebih dari 1,1 triliun orang merokok tembakau. Menurut

WHO (World Health Organization) telah terjadi penurunan jumlah perokok

secara luas dibeberapa negara diseluruh dunia, namun prevalensi perokok di

negara bagian Mediterania Timur dan Afrika malah mengalami kenaikan. The

Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) Tobacco Control Report

menyebutkan bahwa jumlah perokok di ASEAN mencapai 124 juta orang.

Persentase perokok di negara ASEAN untuk negara Indonesia (46,16%),

Filipina (16,62%), Vietnam (14,11%), Myanmar (8,73%), Thailand (7,74%),

Malaysia (2,9%), Kamboja (2,07%), Laos (1,23%), Singapura (0,39%) dan

Brunei (0,04%) dengan kata lain Indonesia merupakan negara perokok

terbesar di lingkungan negara-negara ASEAN (Depkes RI, 2016).


2

Kebiasaan merokok terbukti menyebabkan kurang lebih 25 jenis penyakit

yang menyerang berbagai organ tubuh manusia seperti mulut, esofagus,

faring, laring, paru, pankreas, dan kandung kemih. Merokok dapat

mengganggu kerja paru-paru normal karena hemoglobin lebih mudah

membawa karbon dioksida membentuk karboksihemoglobin daripada

membawa oksigen. Paru–paru perokok aktif maupun perokok pasif lebih

banyak mengandung karbon monoksida dibandingkan oksigen sehingga kadar

oksigen dalam darah kurang dari 15% daripada kadar oksigen normal

(Nurrurrahmah, 2014).

Sel punca adalah sel yang tidak atau belum terspesialisasi. Sel punca memiliki

dua sifat utama, yang pertama ia memiliki kemampuan untuk berdiferensiasi

menjadi sel lain. Sifat yang kedua adalah kemampuannya untuk

memperbaharui atau melakukan regenerasi pada dirinya sendiri. Salah satu

jenis sel punca berdasarkan sumbernya adalah sel punca tali pusat manusia

(Saputra, 2006). Sel punca mesenkimal merupakan sumber penting perbaikan

dan regenerasi jaringan. Efek regenerasi sel punca dimediasi oleh

kemampuannya mensekresikan metabolit bioaktif. Faktor-faktor yang

disekresikan oleh sel punca meliputi growth factor dan sitokin (secretome),

exosome, dan mikrovesikel yang ditemukan dalam media tumbuh dan disebut

sebagai media terkondisi sel punca (Lane, 2014).

Huang, et al. (2017) dalam penelitiannya memodifikasi angiopoietin-1 sel

punca mesenkimal tali pusat manusia terhadap tikus yang mengalami luka
3

paru akut menunjukkan penurunan jumlah sitokin pro-inflamasi seperti TNF-

α, TGF-β, dan IL-6 serta terjadi peningkatan ekspresi dari sitokin anti-

inflamasi IL-10. Penelitian mengenai injeksi intramuskular sel punca

mesenkimal tali pusat manusia terhadap tikus yang mengalami dilatasi

kardiomiopati memberikan hasil terjadi peningkatan fungsi jantung, penelitian

tersebut dilakukan oleh Mao, et al. (2017) di China.

Penelitian lain yang dilakukan di Surakarta oleh Priambodo, et al. (2016)

mengatakan bahwa terdapat pengaruh media terkondisi sel punca mesenkimal

selaput amnion terhadap jaringan paru yang terpapar asap rokok. Penelitian

mengenai pengaruh injeksi intramuskular sel punca mesenkimal tali pusat

manusia terhadap histopatologi paru yang terkena asap rokok belum pernah

dilakukan. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian lebih

lanjut untuk mempelajari potensi tali pusat sebagai terapi sel punca. Penelitian

ini bertujuan untuk mengamati dan mempelajari pengaruh injeksi

intramuskular sel punca mesenkimal tali pusat manusia terhadap histologi paru

tikus putih jantan (Rattus norvegicus) yang terpapar asap rokok.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan pemaparan latar belakang di atas, penelitian ini akan

memfokuskan pada batasan pokok, yaitu:

“Apakah terdapat pengaruh injeksi intramuskular sel punca mesenkimal tali

pusat manusia terhadap histopatologi paru tikus putih (Rattus norvegicus)

yang terpapar asap rokok?”


4

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini secara umum, yaitu untuk mengetahui pengaruh

injeksi intramuskular sel punca mesenkimal tali pusat manusia terhadap

histopatologi paru tikus putih (Rattus norvegicus) yang terpapar asap rokok.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat bagi Penulis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah terhadap

perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya tentang pengaruh injeksi

intramuskular sel punca mesenkimal tali pusat manusia terhadap

histopatologis paru tikus putih (Rattus norvegicus) yang terpapar asap

rokok.

1.4.2 Manfaat bagi Peneliti Lain

Penelitian ini diharapkan menjadi dasar penelitian lebih lanjut

mengenai penggunaan injeksi intramuskular sel punca mesenkimal tali

pusat manusia pada pengobatan penurunan fungsi paru akibat paparan

asap rokok.

1.4.3 Manfaat bagi Instansi Terkait

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah

serta masukan pengembangan terapi untuk penyembuhan penyakit

penurunan fungsi paru akibat paparan asap rokok.


5

1.4.4 Manfaat bagi Masyarakat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan

masyarakat luas mengenai pengobatan penurunan fungsi paru akibat

paparan asap rokok menggunakan injeksi intramuskular sel punca

mesenkimal tali pusat manusia.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Rokok

2.1.1 Definisi

Rokok adalah hasil olahan tembakau terbungkus termasuk cerutu atau

bentuk lainnya yang dihasilkan dari tanaman Nicotiana tabacum,

Nicotiana rustica dan spesies lainnya atau sintetisnya yang

mengandung nikotin dan tar dengan atau tanpa bahan tambahan

(Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19, 2003).

2.1.2 Epidemiologi

Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat perokok

tertinggi di dunia, yaitu pada urutan ke empat setelah China, USA dan

Rusia. Jumlah batang rokok yang dikonsumsi di Indonesia cenderung

meningkat dari 182 milyar batang pada tahun 2001 (Tobacco Atlas

2002) menjadi 260,8 milyar batang pada tahun 2009 (Tobacco Atlas

2012). Prevalensi perokok perempuan meningkat hampir tiga kali lipat

di tahun 2011. Prevalensi perokok laki-laki di Indonesia merupakan

yang tertinggi di dunia yaitu sebesar 67,4% (Tobacco Control Support

Center, 2012).
7

Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, sebesar 85%

rumah tangga di Indonesia terpapar asap rokok, estimasinya adalah

delapan perokok meninggal karena perokok aktif, satu perokok pasif

meninggal karena terpapar asap rokok orang lain. Berdasarkan

perhitungan rasio ini maka sedikitnya 25.000 kematian di Indonesia

terjadi dikarenakan asap rokok orang lain (Kementerian Kesehatan RI,

2013).

2.1.3 Kandungan Rokok

Rokok mengandung lebih dari 4000 komponen kimia. Sekitar 100

komponen bersifat toksik seperti bahan karsinogen, tar, nikotin,

nitrosamin, senyawa hidrokarbon aromatik polinuklear, karbonil, klorin

dioksin, dan furan (Fowles dan Bates, 2000). Tar adalah kumpulan dari

ribuan bahan kimia dalam komponen asap rokok dan bersifat

karsinogenik. Tar masuk ke rongga mulut saat dihisap sebagai uap yang

setelah dingin akan menjadi padat dan membentuk endapan berwarna

coklat pada permukaan gigi, saluran napas, dan paru-paru. Komponen

tar mengandung radikal bebas, yang berhubungan dengan risiko

timbulnya kanker (Revianti, 2005).

Nikotin merupakan suatu bahan adiktif bersifat alkaloid yang sangat

toksik yaitu stimulan depresan ganglionik. Nikotin juga meningkatkan

serum glukosa, kortisol, asam lemak bebas, vasopresin dan beta

endorphin. Selain itu, dampak pembakaran rokok yang paling


8

berbahaya berikutnya adalah karbon monoksida yang merupakan salah

satu komponen gas. Daya ikatnya dengan hemoglobin 230 kali lebih

kuat dibandingkan daya ikat oksigen sehingga tingginya kadar ikatan

karboksihemoglobin (COHb) yang beredar mengakibatkan sel-sel

jaringan dan organ tubuh menjadi kekurangan oksigen (Fajriwan,

1999).

Senyawa lain yang berbahaya pada asap rokok adalah benzopiren, beta

naftilamin, trace metal, nitrosamin, hidrazin dan vinil klorida yang

bersifat karsinogenik. Fenol dan kresol bersifat kokarsinogenik dan

iritan. Indol, karbacol, katecol merupakan akselerator tumor. Asam

hidrosianida, akrolein, amonia, formaldehid dan nitrogen oksida yang

merupakan senyawa-senyawa siliotoksin dan iritan (Sitepoe, 1997).

2.1.4 Dampak Merokok

Merokok dalam jangka waktu yang panjang dapat menyebabkan

atherosklerosis dan penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) dengan

dampak sistemik yang signifikan (Kementerian Kesehatan RI, 2013).

Organ yang paling berisiko mengalami penurunan fungsi karena terus

menerus terpapar asap rokok adalah paru (Banerjee, 2008).

Terpaparnya perokok aktif dan perokok pasif oleh asap rokok tentu

meningkatkan kadar radikal bebas di dalam tubuh. Paru akan

mengaktivasi sel inflamasi sebagai responnya terhadap radikal bebas.


9

Proses tersebut akan menghasilkan Reactive Oxygen Species (ROS)

berlebih, yang merupakan oksidan utama dalam tubuh. Peningkatan

ROS menyebabkan kadar oksidan dan antioksidan dalam tubuh menjadi

tidak seimbang yang dapat menyebabkan stres oksidatif dan sangat

berpotensi menyebabkan kerusakan sel (Rahman, 2006).

Pajanan asap rokok terhadap paru meningkatkan ekspresi cleaved

caspase-3 pada sel alveolar tipe II yang akan menyebabkan penurunan

ekspresi vascular endothelial growth factor (VGEF). Hal ini memicu

kerusakan sel endotel alveolar melalui kematian sel pneumosit yang

kemudian berdampak pada terjadinya apoptosis. Apoptosis sel epitel

alveolar merupakan mekanisme penting yang terlibat dalam kerusakan

dinding alveolar yang bermuara pada terjadinya emfisema (Priambodo,

et al., 2016).

2.2 Paru

2.2.1 Anatomi Paru

Pleura dan paru terletak pada kedua sisi mediastinum di dalam rongga

dada (Snell, 2011). Paru terdiri dari paru kanan dan paru kiri yang

masing-masing diliputi oleh dua selaput serosa yang disebut pleura,

yakni pleura parietal melapisi dinding toraks dan pleura viseralis yang

meliputi paru. Paru-paru normal bersifat ringan, lunak, kenyal dan

menyerupai spons. Jika cavitas thoracis dibuka, paru dapat mengisut

sampai sekitar sepertiga besarnya (Moore, 2009).


10

Paru kanan sedikit lebih besar dari paru kiri. Paru kanan terdiri dari tiga

lobus yaitu lobus superior, lobus medius, dan lobus inferior, ketiga

lobus tersebut dibagi oleh fissura obliqua dan fissura horizontalis.

Fissura obliqua berjalan dari pinggir inferior ke atas dan belakang

menyilang permukaan medial dan costalis sampai memotong pinggir

posterior. Fissura horizontalis berjalan horizontal menyilang permukaan

costalis dan bertemu dengan fissura obliqua. Lobus medius merupakan

lobus kecil berbentuk segitiga yang dibatasi oleh fissura horizontalis

dan fisura obliqua. Paru kiri dibagi oleh satu fissura obliqua menjadi

dua lobus yaitu lobus superior dan lobus inferior (Snell, 2011).

Paru berhubungan dengan jantung dan trakea melalui struktur dalam

radiks pulmonis. Radiks pulmonis adalah daerah peralihan pleura

viseralis ke pleura parietalis yang menghubungkan fascies mediastinalis

paru-paru dengan jantung dan trakea. Hilus pulmonis berisi bronkus

prinsipalis, pembuluh pulmonal, pembuluh brokial, pembuluh limfe dan

saraf yang menuju ke paru-paru atau sebaliknya (Moore, 2009).

2.2.2 Fisiologi Paru

Udara memasuki traktus respirasi atas melalui mulut dan hidung lalu

berlanjut ke faring, saluran bersama untuk makanan, cairan, dan udara.

Dari faring, udara mengalir melalui laring ke dalam trakea, atau pipa

udara. Laring mengandung pita suara, pita jaringan ikat yang bergetar

dan mengencang untuk menghasilkan suara saat udara bergerak


11

melewatinya. Trakea adalah pipa semifleksibel yang terdiri dari 15-20

cincin tulang rawan berbentuk-C. Trakea memanjang ke bawah ke

dalam rongga toraks, tempat ia bercabang menjadi sepasang bronkus

primer, satu bronkus ke masing-masing paru. Di dalam paru, bronkus

bercabang sebanyak jumlah lobus paru. Bronkus kemudian akan

bercabang menjadi bagian yang lebih kecil yang disebut dengan

bronkhiolus. Bronkhiolus terus bercabang sampai bronkhiolus

respiratorik membentuk peralihan antara saluran udara dengan epitel

pertukaran paru (Silverthorn, 2013).

Alveolus, berkelompok pada ujung bronkhiolus terminalis, merupakan

massa terbesar jaringan paru. Fungsi utamanya adalah untuk pertukaran

gas antara alvoelus dan darah. Setiap alveolus yang kecil tersusun dari

selapis tunggal epitel. Terdapat dua tipe sel epitel pada alveolus. Sel

alveolar tipe II yang lebih kecil dan tebal mensintesis surfaktan.

Surfaktan bercampur dengan lapisan cairan tipis pada alveolus untuk

membantu paru saat mengembang selama proses bernapas. Sel tipe II

juga membantu meminimalkan jumlah cairan yang terdapat di dalam

alveolus dengan cara mentranspor solut, yang diikuti oleh air, keluar

dari ruang udara alveolus. Sel alveolar tipe I yang lebih besar

menempati sekitar 95% permukaan alveolar dan sangat tipis sehingga

gas dapat berdifusi melewatinya dengan cepat (Silverthorn, 2013).


12

Fungsi utama paru adalah untuk pertukaran gas antara udara atmosfer

dan darah. Dalam menjalankan fungsinya, paru ibarat sebuah pompa

mekanik yang berfungsi ganda, yakni menghisap udara atmosfer ke

dalam paru atau disebut sebagai mekanisme inspirasi dan mengeluarkan

udara alveolus dari dalam tubuh atau disebut dengan mekanisme

ekspirasi (Guyton & Hall, 2007).

Mekanisme perubahan volume paru dan tekanan intra-alveolus sewaktu

inspirasi dan ekspirasi adalah sebagai berikut, sebelum inspirasi atau

pada akhir ekspirasi sebelumnya, tekanan intra-alveolus telah seimbang

dengan tekanan atmosfer dan tidak ada aliran udara. Saat inspirasi

volume paru meningkat, tekanan intra-alveolus berkurang sehingga

terbentuk gradien tekanan yang menyebabkan udara mengalir ke dalam

alveolus dari atmosfer. Sewaktu paru mengalami recoil (kembali

mengecil) ke ukuran pra-inspirasinya karena relaksasi otot-otot

pernapasan, tekanan intra-alveolus meningkat sehingga terbentuk

gradien tekanan yang menyebabkan udara mengalir keluar alveolus

menuju atmosfer, terjadilah ekspirasi (Sheerwood, 2014).

2.2.3 Histologi Paru

Gambar 1 menunjukkan struktur utama di dalam paru untuk hantaran

udara dan pertukaran gas (respirasi). Dinding bronkus intrapulmonal

diidentifikasi oleh adanya lempeng tulang rawan hialin. Bronkus

dilapisi oleh epitel bertingkat semu silindris bersilia dengan sel goblet.
13

Dinding bronkus intrapulmonal terdiri dari lamina propria yang tipis,

lapisan tipis otot polos, submukosa dengan kelenjar bronkialis, lempeng

tulang rawan hialin, dan adventisia (Mescher, 2011).

15 Nodulus
1 Adventisia limfoideus dan vena
2 Submukosa
16 Adventisia
3 Otot polos
17 Bronkiolus
4 Lamina propria
18 Lipatan mukosa
5 Bronkus intrapulmonal 19 Otot polos
6 Kelenjar bronkial
dengan duktus 20 Duktus alveolaris
ekskretorius
7 Lempeng tulang
rawan hialin
8 Bronkiolus terminalis 21 Pembuluh darah
9 Vena dan arteri
pulmonalis 22 Bronkiolus respiratorius
10 Bronkiolus terminalis
dengan lipatan mukosa
23 Alveolus bermuara
11 Otot polos ke dalam duktus
alveolaris

12 Bronkiolus respiratorius
dengan alveoli
24 Sakus alveolaris
13 Duktus alveolaris

25 Trabekula dengan
14 Serosa pembuluh darah
a. Jaringan ikat
b. Mesotelium

Sumber: Eroschenko, 2010.

Gambar 1. Paru (pandangan menyeluruh). Pulasan: hematoksilin dan eosin.


Pembesaran lemah.

Ketika bronkus intrapulmonal bercabang menjadi bronkus yang lebih

kecil dan bronkiolus, ketinggian epitel dan tulang rawan di sekitar

bronkus berkurang, sampai kadangkala hanya ditemukan potongan

kecil tulang rawan. Bronkus dengan diameter kurang dari 1 mm tidak

memiliki tulang rawan. Di bronkiolus, lumen dilapisi oleh epitel

bertingkat semu silindris bersilia dengan adakalanya ditemukan sel

goblet. Lumen menunjukkan lipatan mukosa akibat kontraksi lapisan


14

otot polos. Kelenjar bronkialis dan lempeng tulang rawan sudah tidak

ada, dan bronkiolus dikelilingi oleh adventisia (Mescher, 2011).

Pada gambar 1, suatu nodulus limfoid dan vena dekat adventisia

menyertai bronkiolus. Bronkiolus terminalis memperlihatkan lipatan

mukosa dan dilapisi oleh epitel silindris bersilia tanpa sel goblet.

Lapisan tipis lamina propria dan otot polos serta adventisia mengelilingi

bronkiolus terminalis. Bronkiolus respiratorius dengan kantung-kantung

alveoli berhubungan langsung dengan duktus alveolaris dan alveoli. Di

bronkiolus respiratorius, epitel yaitu silindris rendah atau kuboid dan

mungkin bersilia di bagian proksimal saluran. Lapisan jaringan ikat

tipis menyokong otot polos, serat elastik di lamina propria, dan

pembuluh darah yang menyertai. Alveoli di dinding bronkiolus

respiratorius tampak berupa kantung atau evaginasi kecil. Setiap

bronkiolus respiratorius bercabang menjadi beberapa duktus alveolaris

(Mescher, 2011).

Dinding duktus alveolaris dilapisi oleh alveoli yang langsung bermuara

ke dalam duktus alveolaris. Kelompok alveoli yang mengelilingi dan

bermuara ke dalam duktus alveolaris disebut sakus alveolaris. Pada

gambar ini, bidang irisan melalui bronkiolus terminalis sehingga

bronkiolus respiratorius dan masuk ke dalam duktus alveolaris. Vena

pulmonalis dan arteri pulmonalis juga bercabang sewaktu menyertai

bronkus dan bronkiolus ke dalam paru. Pembuluh darah kecil juga


15

terlihat di jaringan ikat trabekula yang membagi paru-paru menjadi

berbagai segmen. Serosa atau pleura viscerale mengelilingi paru, terdiri

dari lapisan tipis jaringan ikat pleura dan epitel selapis gepeng

mesotelium pleura (Mescher, 2011).

Sumber: Mescher, 2011.

Gambar 2. Histologi Dinding Alveolus

Gambar 2 menunjukkan gambaran dinding alveolus. Dinding antara

alveoli (A) mengandung sejumlah tipe sel. Seperti terlihat di sini.

Kapiler (C) mengandung eritrosit dan leukosit. Alveoli terutama dilapisi

oleh sel alveolar skuamosa tipe I (l), yang melapisi hampir seluruh

permukaan alveolus dan tempat terjadinya pertukaran gas. Sel alveolar

tipe ll melapisi setiap alveolus dan merupakan sel bulat, yang sering

menonjol ke dalam alveolus (ll). Sel tipe ll ini memiliki banyak fungsi

sel Clara, termasuk produksi surfaktan. Makrofag alveolar (M) juga

ditemukan pada gambar ini, terkadang disebut sel debu, yang dapat

berada di alveoli dan septa interalveolar (Mescher, 2011).


16

2.2.4 Patologi Paru

Di saluran napas, partikel yang berkontribusi dalam meningkatkan

toksisitas tergantung dari ukuran, densitas dan bentuk dari patikel

tersebut. Partikel yang berukuran lebih dari 10 µm akan difiltrasi oleh

nasofaring atau terdeposit pada laring. Partikel yang berukuran 3–10

µm akan terdeposit pada saluran napas bagian konduksi. Sedangkan

partikel yang berukuran kurang dari 3 µm akan terdeposit pada saluran

napas bagian bawah dan alveoli (Miller & Chang, 2003).

Pajanan terhadap substansi toksik seperti asap rokok dan polutan yang

terhirup menginduksi inflamasi yang berlangsung terus menerus disertai

akumulasi neutrofil, makrofag dan limfosit di paru. Elastase, sitokin

(termasuk IL-8) dan oksidan yang dilepaskan menyebabkan jejas

epithelial dan proteolisis dari matriks ekstrasel (MES). Produk

degradasi elastin selanjutnya meningkatkan inflamasi (Kumar et al.,

2013).
17

Tabel 1. Kelainan yang Berkaitan dengan Obstruksi Aliran Udara: Spektrum


Penyakit Paru Obstruktif Kronis.
Entitas Klinis Lokasi Perubahan Etiologi Tanda/Gejala
Anatomik Patologis Utama
Bronkitis Kronis Bronkus Hipertrofi dan Merokok, Batuk, produksi
hiperplasia, serta polusi udara sputum
hipersekresi
kelenjar mukus
Bronkiektasis Bronkus Delesi dan skar Infeksi yang Batuk, sputum
jalan napas menetap atau purulen, demam
berat
Asma Bronkus Hipertrofi dan Imunologi atau
Napas berbunyi
hiperplasia otot etiologi yang
berulang, batuk,
polos, mukus tidak jelas sesak napas
berlebihan, radang
Emfisema Asinus Pembesaran Asap tembakau Sesak napas
rongga udara,
destruksi dinding
Penyakit jalan Bronkiolus Skar peradangan, Asap rokok, Batuk, sesak napas
napas kecil, sumbatan sebagian polusi udara
bronkiolitis bronkiolus
Sumber: Kumar et al., 2013.

Tabel 1 menunjukan bahwa berbagai penyebab seperti merokok, polusi

udara, infeksi yang menetap atau berat, imunologi atau etiologi yang

tidak jelas, asap tembakau, dan asap rokok mampu memberikan

perubahan gambaran patologis utama pada organ-organ yang berperan

dalam pernapasan. Perubahan yang terjadi dapat berupa hipertrofi,

hiperplasia, dan hipersekresi kelenjar mukus, delesi dan skar jalan

napas, hipertrofi dan hiperplasia otot polos, radang, pembesaran rongga

udara, destruksi dinding serta penyumbatan. Dari perubahan patologis

utama tersebut menimbulkan berbagai entitas klinis seperti bronkitis

kronis, bronkiektasis, asma, emfisema, dan bronkiolitis. Hal tersebut

akan menimbulkan beberapa tanda dan gejala seperti yang tercantum

dalam tabel 1 (Kumar et al., 2013).


18

Pertukaran gas yang buruk yang disebabkan oleh inhalasi zat beracun

dapat meningkatkan sintesis IL–8 yaitu suatu zat penarik dan pengaktif

neutrofil yang poten yang dilepaskan oleh makrofag paru. Pengeluaran

senyawa serupa seperti IL–1 dan TNFα menyebabkan skuesterasi dan

pengaktifan neutrofil. Neutrofil yang aktif akan mengeluarkan beragam

produk seperti oksidan, protease, platelet activating factor dan

leukotrein yang menyebabkan kerusakan jaringan dan berlanjut ke

jenjang peradangan (Kumar et al., 2013).

Seperti yang dapat dilihat pada gambar 3, interaksi kompleks antara

mediator inflamasi, sinyal sel, dan pengaktifan mekanisme yang tidak

benar dapat mengakibatkan penyakit yang berbeda yaitu kerusakan

jaringan tanpa fibrosis (emfisema) atau fibrosis interstisial. Data terbaru

menunjukkan bahwa respons sel mesenkim dapat menjadi faktor utama

dalam menentukan proses yang akan terjadi kemudian. Pada emfisema

tidak hanya sel epitel dan sel endotel yang hilang tetapi juga sel

mesenkim yang mengakibatkan kurangnya matriks ekstrasel, yang

seharusnya menjadi media pertumbuhan sel epitel. Dengan demikian,

emfisema dianggap sebagai akibat penyembuhan luka yang tidak

sempurna. Sebaliknya, pasien dengan penyakit paru fibrosis memiliki

respons miofibroblastik atau fibroblastik yang berlebihan ketika

menjadi jejas, mengakibatkan skar yang tidak terkendali (Kumar et al.,

2013).
19

Sumber: Kumar et al., 2013.

Gambar 3. Emfisema paru. Terdapat pembesaran rongga udara yang nyata,


dengan destruksi septum alveolus namun tanpa fibrosis. Perhatikan
keberadaan pigmen antrakosis berwarna hitam

Secara mikroskopis, pada fase eksudatif yang terjadi pada hari ke–0

sampai ke–7 hari ditandai dengan kongesti kapiler, nekrosis sel epitel

alveolus, edema dan perdarahan pada intersitium dan intraalveolar serta

penumpukan infiltrat radang neutrofil. Duktus alveolaris melebar dan

alveolus cenderung kolaps. Fase proliferatif terjadi pada minggu

pertama sampai minggu ke–3 ditandai dengan proliferasi dan

hiperplasia pneumosit tipe II, sel ini menggantikan pneumosit tipe I

yang terkelupas dan kemudian berdiferensiasi menjadi sel epitel tipe I

jika kerusakan telah selesai. Juga terjadi ekspansi septum alveolus oleh

proliferasi fibroblas dan jaringan ikat intersitium (Kumar et al., 2013).


20

2.2.5 Paru yang Terpapar Asap Rokok

Pemaparan asap rokok berpengaruh terhadap tingginya tingkat

kerusakan paru. Kerusakan tersebut ditandai dengan terbentuknya lesi

kongesti, inflamasi, degenerasi hidropik, serta nekrosis, terjadi stres

oksidatif pada jaringan paru akibat adanya radikal bebas yang

terkandung dalam asap rokok. Radikal bebas merupakan senyawa tidak

stabil karena mempunyai satu elektron atau lebih yang tak berpasangan,

sehingga untuk memperoleh pasangan elektron senyawa ini sangat

reaktif dan merusak jaringan (Arief, 2008).

Seiring dengan pemaparan asap rokok, kadar radikal bebas dalam tubuh

akan meningkat dan memicu peningkatan reactive oxygen species

(ROS). Tingginya kadar ROS melebihi kadar antioksidan tubuh

menimbulkan terjadinya stress oksidatif. Selanjutnya stress oksidatif

menyebabkan peroksidasi lipid. Peroksidasi lipid bermula saat radikal

bebas yang merupakan suatu molekul yang kehilangan pasangan

elektron bebasnya berusaha mencari elektron lain untuk menjadi

pasangannya sehingga ia akan mengambil elektron dari lipid pada

membran sel. Nanti lipid yang kehilangan elektron akan melakukan hal

yang sama kepada lipid lainnya. Proses akhir dari peroksidasi lipid

menghasilkan senyawa malondialdehyde (MDA). Bahan toksik ini akan

berikatan dengan protein, menghancurkan integritas membran sel,

merusak aktivitas transport protein, membuat kolaps ion gradien, dan

akhirnya memicu kematian sel (Susilowati, 2016).


21

Selain kerusakan sel, peroksidasi lipid juga memicu inflamasi dengan

pengaktifan nuclear factor (NF)-kB. NF-kB merupakan faktor

transkripsi yang mengontrol sejumlah gen penting dalam imunitas dan

inflamasi diantaranya adalah GM-CSF, IL-6, IL-2, dan TNF-α. TNF-α

merupakan sitokin pro-inflamasi. Adanya respon inflamasi

mengaktifkan sel alveolar makrofag sebagai pertahanan pertama. Hal

ini memicu pelepasan mediator sel radang yang merupakan faktor

kemotaktik neutrofil seperti IL-8 dan leukotrien B4. IL-8 dan leukotrien

B4 merangsang neutrofil melepaskan protease yang dapat merusak

jaringan ikat parenkim paru dengan menyebabkan terjadinya elastisitas

berlebihan pada parenkim paru, sehingga timbul kerusakan dinding

alveolar dan hipersekresi mukus. Selain itu, radikal bebas akan

menginaktivasi α1-anti tripsin yang berperan sebagai anti protease.

Ketidak seimbangan antara protease dengan antiprotease yang terdapat

pada jaringan alveolar menyebabkan degradasi jaringan paru (Al-Idrus,

2016).

Kerusakan sel paru yang terjadi adalah kongesti, inflamasi, degenerasi,

dan nekrosis. Kongesti merupakan tahap kerusakan sel sedang, sebelum

sel tersebut menjadi sangat rusak yang ditandai dengan penyempitan

lumen alveoli. Kerusakan selanjutnya adalah lesi inflamasi ditandai

dengan adanya infiltrasi sel-sel radang berupa makrofag yang

menunjukkan adanya peradangan kronis. Kerusakan tersebut ditandai

dengan adanya pembengkakan sel akibat akumulasi air. Akumulasi air


22

intraseluler ini juga mengakibatkan dilusi cairan sitoplasma hingga

warna sitoplasma menjadi lebih pucat dibandingkan dengan sitoplasma

pada sel normal. Selanjutnya ialah lesi nekrosis diawali dengan

pemadatan inti (piknosis), pecahnya inti sel (karyoreksi), kemudian inti

sel yang hilang (karyolisis) (Kumar et al., 2013).

2.3 Sel Punca

Berdasarkan kata yang menyusunnya stem adalah batang dan cell adalah sel,

seperti batang pohon yang menjadi tumpuan dalam pertumbuhan ranting dan

daunnya, stem cell juga merupakan awalan dari berbagai sel yang menyusun

tubuh (Halim, 2010). Stem cell memiliki kemampuan untuk memperbanyak

diri dalam jangka waktu yang lama, belum memiliki fungsi spesifik, dan

mampu berdiferensiasi menjadi tipe sel tertentu yang membangun sistem

jaringan dan organ dalam tubuh (Rantam, 2009). Terdapat beberapa padanan

kata stem cell dalam bahasa Indonesia yaitu sel punca, sel induk, sel dasar, sel

stem, sel tunas, sel premordial, dan sel batang. Hasil konsultasi antara Komisi

Bioetika Nasional (KBN) dengan Pusat Bahasa menentukan sel punca

sebagai padanan baku untuk stem cell dalam bahasa Indonesia (Soenarso,

2007).

Proses diferensiasi sel punca dipicu oleh sinyal yang berasal dari dalam dan

luar sel. Sinyal dari dalam sel yang mempengaruhi proses diferensiasi adalah

gen pada DNA yang membawa kode untuk struktur dan fungsi sel, sedangkan

zat kimia yang disekresi oleh sel lain, kontak fisik dengan sel disebelahnya,

dan molekul tertentu dalam lingkungan mikro merupakan sinyal dari luar sel
23

yang mempengaruhi proses diferensiasi. Hal tersebut menyebabkan DNA

mengalami perubahan ekspresi dan berujung pada diferensiasi menjadi sel

tertentu yang diturunkan melalui pembelahan sel (Yuliana & Suryani, 2012).

Sel punca dapat diklasifikasikan berdasarkan karakteristik dan asalnya.

Berdasarkan karakteristiknya dinilai dari potensi atau kemampuan sel tersebut

berdiferensiasi, sel punca diklasifikasikan sebagai sel punca totipoten, sel

punca pluripoten, sel punca multipoten, sel punca unipoten, dan sel punca

oligopoten. Sel punca totipoten memiliki kemampuan berdiferensiasi menjadi

seluruh sel dan jaringan yang menyusun embrio serta mendukung

perkembangan fetus seperti zigot atau ovum yang dibuahi. Sel punca

pluripoten berpotensi untuk berkembang menjadi tiga lapisan germinal,

contohnya sel punca embrional (ektoderm, endoderm, dan mesoderm). Sel

punca multipoten mampu menghasilkan sejumlah sel spesifik yang

berdiferensiasi sesuai dengan tempatnya, contohnya somatik sel dan

hematopoietic cell. Sel punca unipoten hanya mampu berdiferensiasi menjadi

satu jenis sel dan memiliki sifat dapat memperbaharui atau melakukan

regenerasi diri (self-regenerate/self renew), contohnya sel punca epidermal.

Sel punca oligopoten mampu berdiferensiasi menjadi beberapa jenis sel,

contohnya jaringan myeloid atau limfoid yang dapat menghasilkan lima jenis

sel darah yaitu monosit, makrofag, eosinofil, neutrofil, dan eritrosit (Imantika,

2014; Djauhari, 2010; Saputra, 2006).


24

Berdasarkan asalnya, sel punca diklasifikasikan ke dalam empat kelompok

yaitu sel punca embrionik, sel punca fetal, sel punca ekstraembrional dan sel

punca dewasa. Sel punca embrionik merupakan sel yang diambil dari inner

cell mass, yaitu suatu kumpulan sel yang terletak di satu sisi blastocyst

berumur 5 hari dan terdiri dari 100 sel. Sel diisolasi dari inner cell mass dan

dikultur secara in vitro. Sel punca ini memiliki sifat dapat berkembang biak

secara terus menerus dalam media kultur optimal dan dalam keadaan tertentu

dapat diarahkan untuk berdiferensiasi menjadi berbagai sel yang

terdiferensiasi seperti sel jantung, sel kulit, neuron, hepatosit, dan sebagainya.

Sel punca fetal adalah sel primitif yang berasal dari berbagai organ dan

jaringan fetus, misalnya otak yang diambil untuk menghasilkan sel punca

neural, sumsum tulang untuk menghasilkan sel punca hematopoetik, dan

jaringan bakal pancreas untuk menghasilkan progenitor sel β pulau

Langerhans (Yuliana & Suryani, 2012; Setiawan, 2006; Djauhari, 2010).

Sel punca ekstraembrional dapat diambil dari plasenta, tali pusat, dan darah

tali pusat segera setelah bayi lahir. Sel punca yang berasal dari darah tali

pusat mengandung sel punca hematopoetik yang memiliki kemampuan

multipoten dan proliferasi yang lebih baik dari sel punca dewasa yang berasal

dari sumsum tulang. Selain itu, sel punca yang berasal dari tali pusat memiliki

imunogenisitas yang rendah sehingga tidak membutuhkan 100% ketepatan

HLA (human leukocytes antigen) untuk transplantasinya. Isolasi sel punca

ekstraembrional juga tidak membutuhkan prosedur yang invasif karena


25

jaringan ekstraembrional merupakan jaringan buangan (Yuliana & Suryani,

2012; Setiawan, 2006; Djauhari, 2010).

Sel punca dewasa merupakan sel yang terdapat di semua organ tubuh,

terutama di dalam sumsum tulang dan berfungsi melakukan regenerasi untuk

mengatasi kerusakan yang terjadi dalam kehidupan. Sel punca dewasa

memiliki sifat multipoten yang dapat berdiferensiasi menjadi berbagai jenis

sel. Sel punca dewasa disebut juga sel punca somatik yang mengacu pada

berbagai sel tubuh yang bukan sel germinal. Sel ini berperan dalam

memelihara dan memperbaiki jaringan tempat sel punca tersebut ditemukan.

Saat ini hampir seluruh jaringan dan organ tubuh yang telah matur terbukti

mengandung sel punca dewasa. Oleh karena itu, penggolongan sel punca

dewasa dilakukan berdasarkan organ atau golongan sel yang akan menjadi

alur diferensiasinya, seperti sel punca hematopoietik, sel punca jantung, sel

punca saraf, sel punca mesenkimal, sel punca kulit, dan sebagainya. Sel punca

dewasa dapat diambil dari sumsum tulang, darah perifer atau tali pusat,

pembuluh darah, kulit, pulpa gigi, jantung, saluran cerna, hati, epitel,

ovarium, testis, jaringan lemak, dan masih akan bertambah lagi seiring

dengan penelitian mengenai sel punca (Yuliana & Suryani, 2012; Setiawan,

2006; Djauhari, 2010).

Sel punca mesenkimal merupakan sumber penting untuk perbaikan dan

regenerasi jaringan. Kemampuannya berdiferensiasi menjadi berbagai jenis

sel dan kemampuan imunomodulator-nya membuat mereka sangat berguna


26

untuk perbaikan jantung, meningkatkan hasil transplantasi sumsum tulang,

mengobati penyakit degeneratif, dan melakukan regenerasi pada jaringan ikat.

Sel punca mesenkimal juga mensekresi berbagai sitokin dan mediator

angiogenik yang dapat memperbaiki jaringan rusak. Sebuah studi sebelumnya

mengindikasikan tali pusat manusia adalah alternatif dari sumsum tulang

yang biasa digunakan sebagai sumber sel punca mesenkimal untuk terapi,

mereka memiliki berbagai karakteristik yang sama seperti morfologi,

imunofenotipe, status siklus sel, potensi untuk berdiferensiasi dan fungsinya

sebagai pendukung hematopoiesis (Li et al., 2016).

Cord Arteries

Endhotelial Cells
Wharton’s Jelly

Mesenchymal Stem Cells


Cord Vein and
Cord Blood

Cord Blood Stem Cells

Sumber: Arno & Smith, 2011.

Gambar 4. Anatomi Tali Pusat.

Human umbilical cord atau dalam bahasa Indonesia adalah tali pusat

manusia, mengandung dua arteri dan satu vena yang dikelilingi oleh jaringan

ikat mukoid yang disebut Wharton’s jelly, dapat dilihat pada gambar 4.
27

Melalui analisis flowcytometry pada Wharton’s jelly membuktikan adanya sel

punca mesenkimal pada jaringan ini dengan ditemukannya ekspresi

mesenchymal stem cell markers (SH2, SH3). Selain itu Wharton’s jelly juga

mengekspresikan marker untuk matrix receptors dan integrin yang berperan

penting dalan penyembuhan luka (Wang, 2004). Wharton’s jelly memiliki

densitas sel yan cukup rendah sehingga memudahkan proses isolasi.

Wharton’s jelly dengan ukuran 5-10 mm3 berpotensi menghasilkan satu miliar

sel punca mesenkimal. Sel punca mesenkimal dari Wharton’s jelly memiliki

sifat pluripoten yang lebih luas dibanding dengan sel punca mesenkimal pada

sumsum tulang, ia dapat berdiferensiasi menjadi jaringan tulang, kulit,

hepatosit, saraf, dan lainnya (Batsali, et al., 2013)

Salah satu cara dalam menggunakan sel punca sebagai terapi untuk perbaikan

dan regenerasi sel adalah dengan terapi gen. Terapi gen merupakan proses

penyisipan gen kepada sel resipien yang dapat dilakukan melalui dua cara

yaitu in vivo dan ex vivo. Pada teknik in vivo, gen disalurkan langsung kepada

jaringan target dengan cara naked DNA application, DNA diisolasi dan dapat

langsung diaplikasikan ke jaringan target, dapat secara topikal maupun

injeksi. Teknik ex vivo dimulai dengan mengisolasi gen dan ditanam pada sel

tertentu, setelah itu gen disalurkan ke resipien. Teknik in vivo lebih sering

digunakan karena prosesnya lebih mudah (Branski, et al., 2009).

Beberapa penelitian menyebutkan bahwa efek regenerasi sel punca tidak

dimediasi oleh kemampuan diferensiasi sel punca untuk memperbaiki


28

jaringan yang rusak, melainkan oleh kemampuan sel punca untuk

mensekresikan metabolit bioaktif. Faktor-faktor yang disekresikan oleh sel

punca meliputi growth factor dan sitokin (secretome), exosome, dan

mikrovesikel yang ditemukan dalam media tumbuh dan disebut sebagai

media terkondisi sel punca (Lane, 2014).

Sel punca mesenkimal memiliki efek imunomodulator dengan menekan

proliferasi dari sel T, inhibisi proliferasi dari sel B, menekan migrasi,

maturasi, dan presentasi dari sel dendritik. Sel punca mesenkimal juga

mensekresikan molekul bioaktif berupa prostaglandin E2, Interleukin 10 (IL-

10) yang berfungsi sebagai antiinflamasi, Transforming growth factor β-1

(TGFβ1) dan hepatosit growth factor (HGF) yang berfungsi untuk supresi

proliferasi sel T, LL-37 sebagai antimikroba untuk mengurangi sel inflamasi,

Angiopoietin-1 untuk mengembalikan permeabilitas epitel, MMP3 dan

MMP9 untuk memediasi neovaskularisasi, serta Vascular Endothelial Growth

Factor (VEGF) dan Epidermal Growth Factor (EGF) untuk percepatan

reepitelisasi dengan meningkatkan proliferasi endotel (Kurniawaty, 2017).

Penelitian Guan, et al. (2013) melaporkan bahwa pemberian sel punca

mesenkimal secara intrapulmonal dapat memperbaiki kerusakan jaringan paru

akibat pajanan asap rokok melalui penurunan sitokin pro inflamasi seperti

TNFα, IL­1β, MCP­1, IL­6, MMP­9, dan MMP12, peningkatan aktivasi

VEGF, VEGFR, dan TGFβ1 yang sejalan dengan penurunan apoptosis. Hal

ini sejalan dengan penelitian Zang (2011) yang menyebutkan bahwa


29

transplantasi sel punca mesenkimal sumsum tulang dapat memperbaiki

emfisema akibat pajanan asap rokok. Pada penelitian tersebut tidak

didapatkan engraftment sel punca pada jaringan paru tikus setelah 2 bulan

yang menunjukkan bahwa sel punca memperbaiki emfisema melalui

mekanisme parakrin yang dimediasi oleh sekresi metabolit bioaktif.

Mekanisme parakrin adalah suatu keadaan sel penyekresi bekerja pada sel-sel

target yang berdekatan dengan melepas molekul regulator lokal ke luar sel.

Sel punca mampu menginduksi aktivasi jalur Akt yang merupakan sinyal

penting dalam survival dan proliferasi sel. Selain itu, sel punca mesenkimal

dapat menekan apoptosis sel alveolar melalui modifikasi ekspresi protein

apoptosis dan antiapoptosis. Beberapa growth factor seperti FGF, EGF, dan

VEGF berperan dalam menghambat apoptosis sel endotel dan sel alveolar

melalui peningkatan ekspresi protein antiapoptosis Bcl-2 dan NOS melalui

jalur Akt. VEGF merupakan growth factor yang bersifat pluripoten dan

berperan penting dalam proliferasi sel endotel, perkembangan jaringan paru,

dan beberapa kondisi patologis seperti PPOK, kanker paru, dan cedera paru

akut. Penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa pada pasien PPOK terjadi

penurunan ekspresi VEGF-A dan VEGFR 2. Selain itu, sel punca mesenkimal

mampu menekan tingkat ekspresi cleaved caspase-3 dan meningkatkan

VEGF-A pada sel alveolar yang mengindikasikan kemampuan sel punca

mesenkimal dalam menurunkan apoptosis sel alveolar pada emfisema (Guan,

2013; Rangasamay, 2009).


30

2.4 Tikus Putih (Rattus norvegicus) Galur Sprague Dawley

Tikus putih (Rattus norvegicus) adalah hewan pengerat yang sering

digunakan sebagai hewan percobaan atau untuk penelitian karena tikus

merupakan hewan dari kelas mamalia, sehingga kelengkapan organ, keutuhan

nutrisi, metabolisme biokimia, sistem reproduksi, pernafasan, peredaran

darah dan ekskresi-nya menyerupai manusia. Tikus Sprague dawley termasuk

kedalam Kingdom Animalia, Phylum Chordata, Class Mamalia, Ordo

Rodentai, Subordo Odontoceti, Familia Muridae, Genus Rattus, Species

Rattus norvegicus (Kesenja, 2005).

Tikus yang digunakan dalam penelitian adalah galur Sprague dawley yang

berjenis kelamin jantan berumur 8–10 minggu. Pemilihan tikus putih jantan

dikarenakan tikus jantan tidak memiliki fase estrus sehingga kondisi biologis

tubuh lebih stabil dari pada tikus betina, penggunaan tikus betina dalam

penelitian dikhawatirkan akan memberikan respon yang berbeda dan dapat

mempengaruhi hasil dari penelitian (Al-Idrus, 2016).

Terdapat beberapa galur atau varietas tikus yang memiliki kekhususan

tertentu antara lain galur Sprague dawley, Wistar, dan Long evans. Tikus

galur Sprague dawley memiliki ciri-ciri albino putih, berkepala kecil dengan

ekor yang lebih panjang daripada badannya. Tikus galur Wistar memiliki ciri-

ciri bentuk kepala lebih besar dengan ekor yang lebih pendek sedangkan galur

Long evans memiliki ciri badan berukuran lebih kecil dari tikus putih,

berwarna hitam pada bagian kepala dan tubuh bagian depan. Tikus putih
31

(Rattus norvegicus) galur Sprague dawley merupakan tikus yang paling

sering digunakan untuk percobaan. Tikus ini memiliki tempramen yang

tenang sehingga mudah dalam penanganan. Rata-rata ukuran berat badan

tikus galur Sprague dawley adalah 150-200 gram. Masa hidup tikus ini jarang

lebih dari 3 tahun (Putra, 2009).

Untuk melakukan pengujian menggunakan tikus akan lebih baik jika

dilakukan pada pagi hari karena tikus akan menjadi sangat agresif pada siang

hari. Tikus yang agresif di siang hari dikarenakan tikus merasa waktu

istirahatnya terganggu karena tikus termasuk hewan nokturnal yaitu hewan

yang lebih aktif pada malam hari dan akan tidur di siang hari (Al-Idrus,

2016).

Dalam penelitian ini tikus akan diberikan perlakuan berupa pemaparan asap

rokok secara akut selama 14 hari. Paparan akut dipilih berdasarkan penelitian

yang dilakukan oleh Khabour, et al. (2012) dan Van der Vaart, et al. (2004)

menunjukkan asap rokok yang dipaparkan secara akut akan memberikan hasil

yang sensitif untuk menyelidiki efek spesifik dari asap rokok pada stres

oksidatif dan inflamasi, serta paparan akut sudah dapat menyebabkan

kerusakan elastisitas pada jaringan paru (Al-Idrus, 2016).

Fukushima, et al. (2007) melakukan penelitian yang hasilnya menunjukan

bahwa injeksi sel punca mesenkimal secara intramiokard dapat memicu

aritmia dan infark miokard. Sementara penelitian Barbash, et al. (2003)


32

menunjukan bahwa sel punca mesenkimal yang disuntikan secara

intravaskular akan menumpuk di paru-paru, hati dan limpa. Pada penelitian

Mao, et al. (2017) menunjukan bahwa sel punca mesenkimal tali pusat

manusia yang disuntikan secara intramuskular secara signifikan memperluas

terapi sel tersebut pada tikus yang mengalami pelebaran kardiomiopati dan

juga tidak menunjukkan adanya inflamasi lokal, ulserasi, atau efusi pada sisi

yang diinjeksi. Injeksi intramuskular sel punca mesenkimal tali pusat manusia

yang dilakukan pada tikus normal tidak menginduksi perubahan fungsi

jantung, hati, dan ginjal. Hasil ini mengindikasikan bahwa injeksi

intramuskular sel punca mesenkimal tali pusat manusia adalah prosedur

administrasi yang aman. Oleh karena itu, peneliti memilih perlakuan injeksi

secara intramuskular sel punca mesenkimal kepada tikus putih (Rattus

norvegicus) galur Sprague dawley dan ingin mengetahui pengaruhnya

terhadap gambaran histopatologi parus tikus yang terkena paparan asap

rokok.

2.5 Kerangka Teori

Pajanan asap rokok terhadap paru akan meningkatkan kadar radikal bebas

dalam tubuh sehingga ROS akan meningkat yang akan menyebabkan stres

oksidatif dan terjadinya peroksidasi lipid membran alveolus. Peroksidasi lipid

akan meningkatkan pelepasan sitokin proinflamasi dilanjutkan dengan

peningkatan ekspresi cleaved caspase-3 pada sel alveolar tipe II, hal ini

menyebabkan penurunan ekspresi VEGF. Menurunnya ekspresi VEGF akan

menyebabkan kematian sel pneumosit sehingga terjadi apoptosis sel endotel


33

alveolar yang berujung kepada emfisema dan kerusakan parenkim paru. Hal

yang berkebalikan akan terjadi bila sel punca mesenkimal tali pusat manusia

karena kemampuannya untuk mesekresikan metabolit bioaktif (Priambodo, et

al, 2016; Al Idrus, 2016; Guan, 2013; Rangasamay, 2009)

Pajanan Asap Rokok Terhadap Paru

Radikal bebas ↑, Reactive Oxygen Species (ROS) ↑, stres Sel Punca Mesenkimal
oksidatif, peroksidasi lipid membran alveolus Tali Pusat Manusia

Sitokin Pro-inflamasi

Ekspresi Cleaved Caspase-3 pada


Sel Alveolar Tipe II

Ekspresi VEGF

Peningkatan Ekspresi
Kematian Sel Pneumosit Protein Anti Apoptosis
BCl-2

Apoptosis Sel Endotel Menghambat Apoptosis


Alveolar Sel Endotel Alveolar

Emfisema Memperbaiki Emfisema


Keterangan:
Memberikan efek negatif
Kerusakan Parenkim Paru Perbaikan Kerusakan
Parenkim Paru Memberikan efek positif

Sumber: Priambodo, et al, 2016; Al Idrus, 2016; Guan, 2013; Rangasamay, 2009

Gambar 5. Kerangka Teori


34

2.6 Kerangka Konsep

Injeksi Intramuskular Sel Punca Mesenkimal Tali Pusat


Variabel Bebas Manusia pada Paru yang Terpapar Asap Rokok

Variabel Terikat
Gambaram Histopatologi Paru berupa Emfisema,
Destruksi Septum Alveolar, dan Infiltrat Sel Radang

Gambar 6. Kerangka Konsep

2.7 Hipotesis

Berdasarkan tinjauan pustaka di atas, hipotesis yang diajukan peneliti berupa

hipotesis dua arah. Hipotesis ini terdiri dari hipotesis nol (Ho) dan hipotesis

alternatif (Ha). Hipotesis dinyatakan benar jika hipotesis alternatif dibukti

kebenarannya. Hipotesis yang peneliti ajukan tersebut antara lain.

Ho : Tidak terdapat pengaruh injeksi intramuskular sel punca mesenkimal

tali pusat manusia terhadap histopatologi paru tikus putih (Rattus

norvegicus) yang terpapar asap rokok.

Ha : Terdapat pengaruh injeksi intramuskular sel punca mesenkimal tali

pusat manusia terhadap histopatologi paru tikus putih (Rattus

norvegicus) yang terpapar asap rokok.


BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan metode rancangan

acak lengkap dan dengan pendekatan Post Test Only Control Group Design.

Menggunakan tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague dawley

yang dipilih secara acak dan dibagi 3 kelompok yaitu kelompok kontrol (KK),

kelompok perlakuan I (P1) , dan kelompok perlakuan II (P2).

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di Universitas Lampung. Pemeliharaan tikus dan

pemberian intervensi akan dilakukan di Animal House Fakultas Kedokteran

Universitas Lampung. Pembuatan bahan injeksi sel punca mesenkimal tali

pusat manusia dilakukan di Laboratorium Biokimia dan Biologi Molekuler

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung. Pembuatan preparat dan

pengamatan akan dilakukan di Laboratorium Histologi dan Patologi Anatomi

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung. Waktu penelitian dilakukan

selama 3 bulan yaitu periode Oktober-Desember tahun 2018.


36

3.3 Populasi dan Sampel

Penelitian ini menggunakan populasi tikus putih (Rattus norvegicus) jantan

galur Sprague dawley. Sampel penelitian sebanyak 27 ekor yang dipilih secara

acak yang dibagi dalam 3 kelompok, sesuai dengan rumus Frederer.

Rumus penentuan sampel untuk uji eksperimental adalah :

(n−1)(t−1)≥15

Dengan t merupakan jumlah kelompok percobaan dan n merupakan jumlah

pengulangan atau jumlah sampel tiap kelompok. Penelitian ini menggunakan 3

kelompok perlakuan sehingga perhitungan sampel menjadi:

(n−1)(3−1)≥15

(n−1)2≥15

(n−1)≥15/2

(n−1)≥7,5

n≥7,5+1

n = 8,5 (dibulatkan menjadi 9)

Berdasarkan perhitungan diatas maka jumlah sampel yang digunakan pada

setiap kelompok percobaan adalah 9 ekor dan jumlah kelompok yang

digunakan adalah 3 kelompok, sehingga penelitian ini menggunakan 27 ekor

tikus putih dari populasi yang ada. Ditambah dengan populasi drop out

sebanyak 10%, setiap kelompok perlakuan diberikan 1 tikus cadangan.

3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi

Adapun kriteria inklusi pada penelitian ini adalah tikus sehat ditandai dengan

rambut tidak kusam, rontok, atau botak, serta bergerak aktif. Tikus memiliki
37

berat badan 150-200 gram, berjenis kelamin jantan, dan berusia sekitar 8−10

minggu. Kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah bila terdapat penurunan

berat badan lebih dari 10% setelah masa adaptasi di laboratorium. Mati selama

masa pemberian perlakuan.

3.5 Identifikasi Variabel

Adapun variabel yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Variabel bebas adalah injeksi intramuskular sel punca mesenkimal tali

pusat manusia pada paru yang terpapar asap rokok.

b. Variabel terikat adalah gambaran histopatologi paru emfisema, destruksi

septum alveolar dan infiltrat radang.

3.6 Definisi Operasional

Definisi operasional pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Variabel Bebas

Variabel bebas adalah adalah injeksi intramuskular sel punca mesenkimal

tali pusat manusia pada paru yang terpapar asap rokok.

b. Variabel Terikat

Variabel terikat penelitian ini berupa gambaran histopatologi paru berupa

emfisema, destruksi septum alveolar dan infiltrat radang masing-masing

memiliki skala pengukuran yang pada akhirnya disimpulkan dengan skala

ordinal. Definisi operasional pada penelitian ini dapat dilihat pada tabel 2.
38

Tabel 2. Definisi Operasional.


Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Hasil Ukur Skala
Variabel Bebas
Injeksi Injeksi intramuskular Dilaksanakannya Iya disuntik Nominal
intramuskular sel dengan dosis 75 µL injeksi Tidak disuntik (Kategorik)
punca mesenkimal disuntikan pada intramuskular sel
tali pusat manusia kelompok perlakuan II punca tali pusat
terhadap paru (P2) sesudah manusia dengan
yang terpapar asap dilakukan paparan menggunakan
rokok asap rokok selama 14 spuit 1 cc
hari.
Variabel Terikat
Gambaran Gambaran kerusakan Pengamatan Persentase Rasio
Histopatologi parenkim paru tikus histopatologi kerusakan (Numerik)
Paru dilihat dengan untuk menilai parenkim paru
melakukan kriteria derajat (0%-100%)
pengamatan pada kerusakan
sediaan histopatologi parenkim paru
menggunakan menggunakan
mikroskop dengan mikroskop
perbesaran 400x pada
5 lapang pandang
dimana setiap lapang
pandang diamati
berupa emfisema,
destruksi septum
alveolar dan infiltrat
sel radang yang terjadi
pada alveolus.

Gambaran kerusakan parenkim paru dilihat dari adanya emfisema,

destruksi septum alveolus dan infiltrat radang dengan skor sebagai

berikut (Anggraini, 2014):

1) Emfisema

Dengan skor sebagai berikut:

0= tidak terjadi perubahan pada struktur histologis.

1= emfisema pada <1/3 dari 5 lapang pandang.

2= emfisema pada 1/3 - 2/3 dari 5 lapang pandang.

3= emfisema pada >2/3 dari 5 lapang pandang.


39

2) Destruksi septum alveolar

Dengan skor sebagai berikut:

0= tidak terjadi perubahan struktur histologis.

1= destruksi septum alveolar pada <1/3 dari 5 lapang pandang.

2= destruksi septum alveolar pada 1/3 - 2/3 dari 5 lapang pandang.

3= destruksi septum alveolar pada >2/3 dari 5 lapang pandang.

3) Infiltrasi sel radang

Dengan skor sebagai berikut:

0= tidak terjadi perubahan struktur histologis

1= infiltrasi sel radang pada <1/3 dari 5 lapang pandang

2= infiltrasi sel radang pada 1/3 - 2/3 dari 5 lapang pandang

3= infiltrasi sel radang pada >2/3 dari 5 lapang pandang.

Penilaian kerusakan parenkim paru dihitung dari total kerusakan yang

terjadi pada alveolus seperti yang disebutkan ketiga hal diatas yaitu

emfisema, destruksi septum alveolar dan infiltrat radang yang akan

dipersentasekan dan dikelompokan sesuai dengan derajat kerusakannya

seperti yang tercantum pada tabel 3.

Tabel 3. Kriteria Penilaian Derajat Kerusakan Parenkim Paru.


Kriteria Keterangan Nilai Variabel
Normal Tidak terdapat kerusakan histologis 0
Kerusakan ringan Kerusakan parenkim paru >0%<30% dari 1
seluruh lapangan pandang
Kerusakan sedang Kerusakan parenkim paru >30% - <60% 2
dari seluruh lapangan pandang
Kerusakan berat Kerusakan parenkim paru >60% dari 3
seluruh lapangan pandang
Sumber: Hansel dan Barnes, 2014.
40

3.7 Cara Kerja

3.7.1 Alat dan Bahan Penelitian

Adapun peralatan yang digunakan dalam melaksanakan penelitian ini

adalah kandang hewan coba, Smoking Chamber, Surgical blade, Pinset,

Timbangan analitik, Mikropipet beserta tipnya, Inkubator, Quick-DNA

Universal Kit (Zymo-Spin IIC-XL Column), Tabung mikrosentrifugasi,

Kassa steril, Spuit 1 cc dan jarum, Masker tali, Sarung tangan Vinyl non

Powder. Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

pakan dan minum tikus, NaCl fisiologis, Tali pusat manusia , Larutan

buffer garam fosfat, Quick-DNA Universal Kit (Solid Tissue Buffer,

Proteinase K,Genomic Binding Buffer, DNA-Pre Wash Buffer, g-DNA

Wash Buffer, dan DNA Elution Buffer), Alkohol 70%, dan rokok kretek.

3.7.2 Prosedur Penelitian

3.7.2.1 Adaptasi Tikus

Tikus dengan jumlah 30 ekor dibagi menjadi tiga kelompok

yang terdiri dari sepuluh ekor pada masing-masing kelompok

dan diletakkan pada tiga kandang yang berbeda. Tikus akan

melalui masa adaptasi selama satu minggu sebelum perlakuan

dimulai. Selama masa adaptasi tikus diperlakukan dengan baik,

diberi makan berupa pelet dan air minum aquades serta

dilakukan pengukuran berat badan tikus sebelum perlakuan.


41

3.7.2.2 Pembuatan Ekstrak Sel Punca Mesenkimal Tali Pusat

Penelitian dilakukan setelah mendapat persetujuan ethical

clearance dari Komisi Etik Penelitian Kesehatan Fakultas

Kedokteran Universitas Lampung. Tali pusat didapat dari donor

sukarela.

Setelah bayi lahir, tali pusat dipotong sekitar 5-7 cm

menggunakan pisau steril dan disimpan dalam wadah berisi

larutan salin normal 0.9% pada suhu 4oC sampai proses

pengolahan dilakukan. Tali pusat ditangani secara aseptik dan di

proses dalam biological safety cabinet. Permukaan tali pusat

dibilas dengan larutan buffer garam fosfat untuk

membersihkannya dari darah yang menempel di permukaan

(Puranik, et al., 2012).

Ekstrak sel punca mesenkimal tali pusat manusia dibuat

menggunakan Quick-DNA Universal Kit, produksi Zymo

Research. Sampel disiapkan dengan memotong jaringan tali

pusat kedalam ukuran sangat kecil. 25 mg sampel yang telah di

timbang menggunakan timbangan digital dimasukkan ke dalam

tabung mikrosentrifugasi kemudian di tambah dengan 95 µL

aquabides, 95 µL Solid Tissue Buffer, dan 10 µL Proteinase K


42

lalu putar menggunakan vortex selama 10-15 detik. Setelah itu,

inkubasi tabung tersebut pada suhu 55℃ selama 2 jam.

Setelah inkubasi selesai, mikrosentrifugasi tabung dengan

kecepatan 12.200 rpm selama 1 menit lalu ambil supernatan dan

masukkan ke dalam tabung mikrosentrifugasi baru. Supernatan

yang telah dipisahkan kemudian ditambahkan dengan Genomic

Binding Buffer sebanyak 2 kali volume supernatan tersebut

(contoh: tambahkan 400 µL Genomic Binding Buffer untuk 200

µL supernatan), vortex selama 10-15 detik. Pindahkan campuran

tersebut ke tabung Zymo-Spin IIC-XL dalam tabung pengumpul

lalu sentrifugasi dengan kecepatan 12.200 rpm selama 1 menit,

kemudian buang supernatan hasil sentrifugasi.

Setelah itu, tambahkan 400 µL DNA Pre-Wash Buffer lalu

sentrifugasi dengan kecepatan 12.200 rpm, kosongkan tabung

pengumpul. Kemudian tambahkan 700 µL g-DNA Wash Buffer

lalu sentrifugasi kembali dengan kecepatan 12.200 rpm selama 1

menit, lalu kosongkan tabung pengumpul. Setelah itu,

tambahkan kembali 200 µL g-DNA Wash Buffer lalu

sentrifugasi dengan kecepatan dan waktu yang sama dengan

proses sebelumnya, lalu kosongkan tabung pengumpul.

Terakhir, pindahkan tabung Zymo-Spin yang telah ditambahkan


43

75 µL DNA Elution ke dalam tabung pengumpul baru, lalu

inkubasi pada suhu ruang selama 5 menit, dan kemudian di

sentrifugasi dengan kecepatan 12.200 rpm selama 1 menit.

Terbentuklah 75 µL ekstrak sel punca mesenkimal tali pusat

manusia. Simpan pada suhu -20℃ sampai ekstrak akan

digunakan.

3.7.2.3 Prosedur Pemberian Intervensi

Pemberian intervensi dilakukan berdasarkan kelompok

perlakuan. Kelompok kontrol (K) tidak diberi paparan asap

rokok dan tidak diinjeksi sel punca mesenkimal tali pusat

manusia. Kelompok perlakuan I (P1) yang akan diberi paparan

asap rokok tapi tidak diinjeksi sel punca mesenkimal tali pusat

manusia. Kelompok perlakuan II (P2) sebagai kelompok yang

akan diberi paparan asap rokok dan diberi injeksi sel punca

mesenkimal tali pusat manusia.

Rokok yang digunakan adalah rokok kretek. Semua tikus diberi

paparan asap. Proses pemaparan dilakukan dalam smoking

chamber, setiap hari menggunakan 3 batang rokok. Jumlah

rokok pada tiap kali pemaparan didasarkan pada nilai LD50

nikotin pada tikus yaitu 50mg/kgbb (Bradbury, 2008).

Pemaparan dilakukan secara akut selama 14 hari didalam


44

smoking chamber yang dilengkapi dengan ventilasi, dua buah

pompa udara dan tempat pembakaran rokok (Al-Idrus, 2016).

Injeksi sel punca mesenkimal tali pusat manusia secara

intramuskular dilakukan kepada tikus sesudah pemaparan asap

rokok. Injeksi intramuskular dilakukan pada otot anggota gerak

bagian belakang sebelah kiri dengan dosis tunggal 75 µL (Braid,

2018). Adapun dosis letal injeksi sel punca mesenkimal terhadap

tikus adalah atau ≥ 252 ⅹ 106 sel/kgBB setara dengan 1.875 µL

(Rengasamy, et al., 2015). Kondisi umum tikus diamati sampai

24 jam setelah injeksi untuk melihat efek samping. Setelah 3

minggu dari pengobatan tikus diterminasi (Mao, et al., 2017).

3.7.2.4 Prosedur Pengelolaan Hewan Coba Pasca Penelitian

Telah dilakukan Euthanasia dan determinasi sesuai prosedur

dan etika yang berlaku. Setelah tikus mati dilakukan nekropsi

untuk pengambilan organ paru-paru, kemudian dimasukan ke

dalam larutan Buffered Neutral Formalin (BNF) 10%. Hal ini

dimaksudkan agar organ tidak membusuk dan dapat terfiksasi

pada kondisi saat itu (Novitasari, 2017).


45

3.7.2.5 Prosedur Pengambilan Bagian Paru

Dilakukan pembedahan toraks, paru tikus diambil untuk

pembuatan sediaan mikroskopis menggunakan metode parrafin

dan pewarnaan Hematoksiklin Eosin (HE).

3.7.2.6 Prosedur Operasional Pembuatan Slide

Pembuatan preparat histopatologi dilakukan di Laboratorium

Histologi dan Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran

Universitas Lampung (Mahesya, 2014):

a. Fiksasi

Spesimen berupa potongan organ paru yang telah dipotong

secara representatif kemudian segera difiksasi dengan

formalin 10% selama 3 jam. Lalu, dicuci dengan air mengalir

sebanyak 3−5 kali.

b. Trimming

Organ dikecilkan hingga ukuran ±3 mm. Potongan organ

paru tersebut lalu dimasukkan ke dalam tissue cassette.

c. Dehidrasi

Mengeringkan air dengan meletakkan tissue cassette pada

kertas tisu. Dehidrasi dengan: Alkohol 70% selama 0,5 jam,

Alkohol 96% selama 0,5 jam, Alkohol 96% selama 0,5 jam,

Alkohol 96% selama 0,5 jam, Alkohol absolut selama 1 jam,

Alkohol xylol 1:1 selama 0,5 jam.


46

d. Clearing

Untuk membersihkan sisa alkohol, dilakukan clearing dengan

xylol I dan II, masing−masing selama 1 jam.

e. Impregnasi

Impregnasi dilakukan dengan menggunakan paraffin selama

1 jam dalam oven suhu 650 C.

f. Embedding

Sisa paraffin yang ada pada pan dibersihkan dengan

memanaskan beberapa saat di atas api dan diusap dengan

kapas. Paraffin cair disiapkan dengan memasukkan paraffin

ke dalam cangkir logam dan dimasukkan dalam oven dengan

suhu diatas 580C. Paraffin cair dituangkan ke dalam pan.

Dipindahkan satu persatu dari tissue cassette ke dasar pan

dengan mengatur jarak yang satu dengan yang lainnya. Pan

dimasukkan ke dalam air. Paraffin yang berisi potongan paru

dilepaskan dari pan dengan dimasukkan ke dalam suhu 4−60

C beberapa saat. Paraffin dipotong sesuai dengan letak

jaringan yang ada dengan menggunakan skalpel atau pisau

hangat. Lalu diletakkan pada balok kayu, diratakan

pinggirnya, dan dibuat ujungnya sedikit meruncing. Memblok

paraffin, siap dipotong dengan mikrotom.


47

g. Cutting

Pemotongan dilakukan pada ruangan dingin. Sebelum

memotong, blok didinginkan terlebih dahulu di lemari es.

Dilakukan pemotongan kasar, lalu dilanjutkan dengan

pemotongan halus dengan ketebalan 4−5 mikron.

Pemotongan dilakukan menggunakan rotary microtome

dengan disposable knife. Dipilih lembaran potongan yang

paling baik, diapungkan pada air, dan dihilangkan kerutannya

dengan cara menekan salah satu sisi lembaran jaringan

tersebut dengan ujung jarum dan sisi yan lain ditarik

menggunakan kuas runcing. Lembaran jaringan dipindahkan

ke dalam water bath suhu 600C selama beberapa detik sampai

mengembang sempurna. Dengan gerakan menyendok,

lembaran jaringan tersebut diambil dengan slide bersih dan

ditempatkan di tengah atau pada sepertiga atas atau bawah.

Slide yang berisi jaringan ditempatkan pada inkubator dengan

suhu 370C selama 24 jam sampai jaringan melekat sempurna.

h. Staining atau pewarnaan dengan Harris Hematoksilin−Eosin

Setelah jaringan melekat sempurna pada slide, dipilih slide

yang terbaik, selanjutnya secara berurutan memasukkan ke

dalam zat kimia di bawah ini dengan waktu sebagai berikut.

Dilakukan deparafinisasi dalam larutan xylol I selama 5

menit. Larutan xylol II selama 5 menit. Ethanol absolut


48

selama 1 jam. Kemudian hydrasi dalam Alkohol 96% selama

2 menit. Alkohol 70% selama 2 menit, Air selama 10 menit.

Pulasan inti dibuat dengan menggunakan Harris Hematoksilin

selama 15 menit. Dibilas dengan air mengalir. Diwarnai

dengan eosin selama maksimal 1 menit. Selanjutnya,

didehidrasi dengan menggunakan Alkohol 70% selama 2

menit. Alkohol 96% selama 2 menit. Alkohol absolut selama

2 menit. Setelah itu penjernihan dengan Xylol I selama 2

menit. Xylol II selama 2 menit.

i. Mounting dengan entelan dan tutup dengan deck glass

Setelah pewarnaan selesai, slide ditempatkan di atas kertas

tisu pada tempat datar, ditetesi dengan bahan mounting, yaitu

entelan, dan ditutup dengan deck glass, cegah jangan sampai

terbentuk gelembung udara.

j. Slide dibaca dengan mikroskop

Slide diperiksa di bawah mikroskop cahaya dengan

perbesaran 100x dan 400x. Preparat histopatologi dikirim ke

laboratorium Patologi Anatomi untuk dikonsultasikan dengan

ahli patologi anatomi. Pengamatan mikroskopis dilakukan

oleh spesialis patologi anatomi.


49

3.8 Alur Penelitian

Tikus jantan 27 ekor usia 8-10 minggu berat badan 100-150 gram

Tikus diadaptasi selama 7 hari kemudian di randomisasi

K P1 P2

9 ekor tikus diberi 9 ekor tikus diberi 9 ekor tikus diberi


makan dan minuman paparan asap rokok 3 paparan asap rokok 3
standar selama 24 hari batang/hari selama 14 batang/hari selama 14
hari hari

Hari ke- 22 diberikan


injeksi intramuskular
sel punca tali pusat
manusia dengan dosis
tunggal sebanyak
75µL

Pada hari ke 42 dilakukan terminasi terhadap tikus

Dilakukan pembedahan toraks untuk mengambil organ paru tikus

Pembuatan dan pengamatan preparat histopatologi paru

Interpretasi hasil pengamatan

Gambar 7. Alur Penelitian.


50

3.9 Pengolahan dan Analisis Data

Data yang diperoleh dari hasil pengamatan histopatologi di bawah mikroskop

diuji menggunakan software analisis statistik. Uji hipotesis yang digunakan

untuk mengetahui hubungan antarvariabel numerik dengan kategorik dapat

menggunakan hipotesis komparatif. Pada penelitian ini dilakukan uji

komparatif numerik tidak berpasangan karena subjek dari ketiga kelompok

berbeda. Prioritas uji hipotesis untuk komparatif numerik adalah uji

parametrik. Pada lebih dari dua kelompok tidak berpasangan dengan varian

sama, uji hipotesisnya One Way Anova (Dahlan, 2017).

Syarat uji parametrik adalah distribusi data normal dan melihat varian data.

Pertama dilakukan uji normalitas Shapiro-Wilk untuk melihat data terdistribusi

normal (p>0,05) atau tidak, Shapiro-Wilk dipilih karena jumlah sampel ≤50.

Setelah dilakukan uji Shapiro-Wilk didapatkan p<0,05 pada ketiga kelompok

sampel yang berarti distribusi data tidak normal. Langkah selanjutnya adalah

mengusahakan agar distribusi data menjadi normal dengan melakukan

transformasi data menggunakan fungsi log 10. Transformasi data tidak

berhasil menormalkan data. Sehingga tidak dapat dilakukan uji parametrik

One Way Anova, maka dilakukan uji alternatifnya yaitu uji nonparametrik

Kruskal-Wallis (Dahlan, 2017).

Untuk mengetahui hasil kemaknaan perhitungan statistik dipakai batas

penerimaan Ho (nilai alpha). Nilai alpha yang sangat populer adalah 0,05.

Didapakan hasil p<0.05, maka hasil bermakna yang berarti Ho ditolak atau
51

terdapat pengaruh injeksi intramuskular sel punca mesenkimal tali pusat

manusia terhadap histopatologi paru tikus putih yang terpapar asap rokok.

Kemudian dilanjutkan dengan melakukan analisis post hoc Mann-Whitney

(Dahlan, 2017).

3.10 Etika Penelitian

Penelitian ini telah mendapat persetujuan dari Komisi Etik Penelitian

Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Lampung dengan surat

No.3929/UN26.18/PP.05.02.00/2018. Ethical clearance menerapkan

beberapa prinsip yaitu replacement merupakan etika memanfaatkan hewan

percobaan yang telah diperhitungkan secara seksama, yang tidak dapat

digantikan oleh makhluk hidup lain seperti sel atau biakan jaringan untuk

menjawab pertanyaan penelitian. Reduction yang merupakan pemanfaatan

hewan dalam penelitian sesedikit mungkin, tetapi tetap mendapatkan hasil

yang optimal. Refinement merupakan etika memperlakukan hewan

percobaan secara manusiawi. Prosedur pengambilan sampel pada akhir

penelitian telah dijelaskan dengan metode yang manusiawi oleh orang yang

terlatih untuk meminimalisasi atau bahkan meniadakan penderitaan hewan

coba (Ridwan, 2013).


BAB V
SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa

terdapat pengaruh injeksi intramuskular sel punca mesenkimal tali pusat

manusia terhadap histopatologi paru tikus putih (Rattus norvegicus) yang

terpapar asap rokok.

5.2 Saran

1. Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi dasar bagi penelitian

selanjutnya mengenai pengaruh pemberian injeksi intramuskular sel punca

mesenkimal tali pusat manusia terhadap kondisi patologis lainnya yang

membutuhkan regimen terapi yang dapat mempercepat proses regenerasi

jaringan.

2. Diharapkan penelitian selanjutnya dapat melakukan proses isolasi sel

punca mesenkimal dengan cara kultur sel.

3. Bagi Universitas Lampung, diharapkan dapat meningkatkan ketertarikan

dan mengembangkan prasarana untuk penelitian mengenai sel punca

sebagai terapi regeneratif.


DAFTAR PUSTAKA

Al Idrus. 2016. Uji aktivitas antioksidan ekstrak etanol daun bawang mekah
(Eleutherine americana Merr.) terhadap gambaran histopatologi paru tikus
(Rattus norvegicus) wistar jantan pasca paparan asap rokok. Jurnal
Fitofarmaka Indonesia, Vol. 1 No. 2. Pontianak: Universitas Tanjungpura.

Anggraini T. 2014. Pengaruh perbedaan durasi paparan asap pembakaran bahan


organik terhadap gambaran histopatologi parenkim paru tikus putih (Rattus
norvegicus) jantan galur sprague dawley [skripsi]. Bandarlampung:
Universitas Lampung.

Arief S, 2008. Radikal bebas. Artikel. Surabaya: SMF Ilmu Kesehatan Anak FK
Unair/RSU Dr. Soetomo.

Arno A, Smith AH. 2011. Stem cell therapy: A new treatnebr for burns?
Pharmaceuticals. 4(10):1355-80

Banerjee S. 2008. Cellular and molecular mechanisms of cigarette smoke-induced


lung damage and prevention by vitamin c. Journal of inflammation. 5:21.

Barbash IM, Chouraqui P, Baron J, Feinberg MS, Etzion S, Tessone A, et al.


2003. Systemic delivery of bone marrow-derived mesenchymal stem cells
to the infarcted myocardium: feasibility, cell migration, and body
distribution. Journal Circulation.108:863–8.

Bradbury S. Reregistration eligibility decision (RED) document for nicotine.


United States Environmental Protection Agency. 40:11.

Braid LR, Catherine A, Wood, Danielle M, Wiese, Barry NF. 2018. Intramuscular
administration potentiates extended dwell time of mesenchymal stromal
cells compared to other routes. Journal Cytotherapy.20: 232–244.

Branski LK, Gerd GG, David NH, Marc GJ. 2009. A review of gene and stem cell
therapy in cutaneous wound healing. J Burns; 35(2): 171–180.

Dahlan MS. 2017. Statistik untuk kedokteran dan kesehatan. Edisi ke–6. Jakarta:
Salemba Empat.

Departemen Kesehatan RI. 2016. Profil Kesehatan Indonesia 2015. Jakarta:


Depkes RI
67

Djauhari T. 2010. Sel punca. Jurnal saintika medika.6(13) 91–96.

Eroschenko VP. 2010. Atlas histologi di fiore dengan korelasi fungsional. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC. hlm. 231-245.

Fajriwan JA. 1999. Merokok pasif. Jurnal Respirology Indonesia. 1: 22-6

Fowles J, Bates M. 2000. The chemical constituents in cigarettes and cigarette


smoke: priorities for harm reduction. Epidemiology and Toxicology
Group. A Report to the New Zealand Ministry of Health; Kenepuru
Science Centre

Fukushima S, Varela CA, Coppen SR, Yamahara K, Felkin LE, Lee J, et al. 2007.
Direct intramyocardial but not intracoronary injection of bone marrow
cells induces ventricular arrhythmias in a rat chronic ischemic heart failure
model. Journal Circulation. 115:2254–61.

Guan XL, Song L, Han FF, Cui ZL, Chen X, Guo XJ, et al. 2013. Mesenchymal
stem cells protect cigarette smoke-damaged lung and pulmonary function
partly via VEGF–VEGF receptors. Journal of Cellular
Biochemistry.114:323-35.

Guyton C, Hall E. 2007. Buku ajar fisiologi kedokteran. Jakarta: EGC.

Halim D, Murti H, Sandra F, Boediono A, Djuwantono T, Setiawan B. 2010.


Stem cell: Dasar teori dan aplikasi klinis. Penerbit Erlangga: Jakarta.

Hansel TT, Barnes PJ. 2004. An atlas of chronic obstructive pulmonary disease.
London: Parthenon Publishing group.

Huang ZW, Ning L, Dong L, Hai-Yan Z, Ying W, Yi L, et al. 2017.


Angiopoietin-1 modified human umbilical cord mesenchymal stem cell
therapy for endotoxininduced acute lung injury in rats. Yonsei Med
Journal.58(1):206-216

Imantika E. 2014. Peran sel punca (stem cells) dalam mengatasi masalah
infertilitas pada wanita. Journal Medula, 2(3), hlm.47–55.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2003 Tentang


Pengamanan Rokok bagi Kesehatan 2003. Tersedia pada
http://binfar.kemkes.go.id Diakses tanggal 15 Desember 2017

Kesenja R. 2005. Pemanfaatan tepung buah pare (Momordica charantia l.) Untuk
penurunan kadar glukosa darah pada tikus diabetes mellitus [skripsi].
Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Khabour, Alzoubi KH, Bani AM, Dodin A, Eissenberg T, Shihadeh A. 2012.


Acute exposure to waterpipe tobacco smoke induces changes in the
oxidative and inflammatory markers in mouse lung. Journal Inhal Toxicol.
24(10): 67-75.
68

Kumar V, Abbas AK, Fausto N. 2013. Robbins and cotran pathologic basis of
disease 9th edision. Philadelphia: Elsevier Saunders.

Kurniawaty E. 2017. Terapi Gen: Miracle of placenta. Bandarlampung: CV.


Anugrah Utama Raharja.

Lane SW, Williams DA, Watt FM. 2014. Modulating the stem cell niche for
tissue regeneration. Journal Nature Biotechnology. 32:1-9.

Larasati SA. 2010. Pengaruh pemberian jus pepaya (carica papaya) terhadap
kerusakan histologis alveolus paru mencit yang dipapar asap rokok
[skripsi]. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.

Lauretta M, Muhartono, Wahyuni A. 2014. The effect of phaleria macrocarpa


(scheff.) Boerl. Fruit against 7,12-dimethylbenz[α]anthracene (dmba)
induced on lung histopathology appearance in rat. Medical Journal of
Lampung University. 3(3): 114–23.

Li L, Xiongwen C, Wei EW, Chunyu Z. 2016. How to improve the survival of


transplanted mesenchymal stem cell in ischemic heart?. Journal Stem Cells
International.

Mahesya AP. 2014. Pengaruh pemberian minyak goreng bekas yang dimurnikan
dengan buah mengkudu (morinda citrifolia) terhadap gambaran hepatosit
tikus wistar jantan [skripsi]. Bandarlampung: Universitas Lampung.

Mao C, Xu H, Benzhen W, Jingwei C, Yanjie J, Caining Z, et al. 2017.


Intramuscular injection of human umbilical cord-derived mesenchymal
stem cells improves cardiac function in dilated cardiomyopathy rats.
Journal Stem Cell Research & Therapy. 8:18.

Mescher, Anthony L. 2011. Teks dan atlas histologi dasar junqueira. Edisi ke12.
Jakarta: EGC.

Miller K, Chang A. 2003. Acute inhalation injury. Emergency Medicine Clinics


of North America. 21(1):533–557.

Moore KL. 2009. Clinically oriented anatomy. Philadelphia: Lippincott Williams


& Wilkins.

Nurrurrahmah. 2014. Pengaruh rokok terhadap kesehatan dan pembentukan


karakter manusia. Journal Prosiding Seminar Nasional. Palopo:
Universitas Cokroaminoto Palopo.

Novitasari MO. 2017. Analisis histopatologi organ paru-paru mencit (Mus


musculus) yang diberi pretreatment untuk penyiapan penelitian biomedis
[skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor
69

Priambodo H, Suradi, Reviono, Yusup S, Ana R, Harsini, et al. 2016. Pengaruh


media terkondisi sel punca mesenkimal selaput amnion terhadap jaringan
paru yang terpapar asap rokok; (studi eksperimental pada mencit). J Respir
Indo Vol. 36 No. 4.

Puranik SB, Nagesh A, Guttedar RS. 2012. Isolation of mesenchymal-like cells


from wharton’s jelly of umbilical cord. IJPCBS, 2(3), hlm.218–224.

Putra AP. 2009. Efektivitas pemberian kedelai pada tikus putih (Rattus
norvegicus) bunting dan menyusui terhadap pertumbuhan dan kinerja
reproduksi anak tikus betina [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Rahman I, Adcock IM. 2006. Oxidatuve stress and redox regulation of lung
inflammation in COPD. Eur Respir J. 28:219-242.

Rangasamay T, Misra V, Zhen L. 2009. Cigarette smoke induced emphysema in


A/J mice associated with oxidative stress, apoptosis of lung cells, and
global alteration of gene expression. Am J Physiol Lung Cell Mol Physiol.
296:888900.

Rantam FA, Ferdiansyah, Nasronudin, Purwati. 2009. Stem cell exploration:


method of isolation and culture. Edisi Kedua. Airlangga University Press,
Surabaya. hlm.25-39.

Revianti S. 2005. Peranan antioksidan saliva pada patogenesis kanker orofaring


yang disebabkan oleh pengaruh merokok. Majalah Kedokteran Gigi (Edisi
Khusus Temu Ilmiah Nasional IV).

Rengasamy M, Pawan KG, Udaykumar K, Gurbind S, Sudha B, Swathi SR, et al.


2015. Preclinical safety & toxicity evaluation of pooled, allogeneic human
bone marrow-derived mesenchymal stromal cells. Indian Journal Med Res
144. hlm. 852-864.

Ridwan E. 2013. Etika pemanfaatan hewan percobaan dalam Penelitian kesehatan.


Journal Indonesia Medical Association. 63(3):112–6.

Saputra V. 2006. Dasar-dasar stem cell dan potensi aplikasinya dalam ilmu
kedokteran. Majalah cermin dunia kedokteran No. 153. Jakarta: PT. Kalbe
Farma.

Setiawan B. 2006. Aplikasi terapeutik sel stem embrionik pada berbagai penyakit
degeneratif. Majalah cermin dunia kedokteran, (153), hlm.5–8.

Sherwood L. 2014. Fisiologi manusia: dari sel ke sistem. Jakarta :EGC.

Silverthorn DU. 2013. Fisiologi manusia. Jakarta: EGC.

Sitepoe M. 1997. Usaha mencegah bahaya merokok. Cetakan I. Jakarta:


PT Gramedia Widiasarana Indonesia. hlm. 34-35.
70

Snell RS. 2011. Anatomi klinis berdasarkan sistem. Jakarta : EGC.

Soenarso WS, Rahayu EC, Sriharjo S. 2007. Prospek dan tinjauan bioetik
pengembangan teknologi kloning sel punca untuk terapi di bidang
kedokteran. Jakarta: Kementrian Negara Riset dan Teknologi.

Susilowati T, Suradi, Adi P. 2016. Pengaruh pemberian ekstrak tepung daun kelor
(Morina oleifera) terhadap ROS (kadar MDA) dan gambaran histopatologi
jaringan paru pada tikus wistar yang diinhalasi asap rokok. Jurnal Pasca
UNS: Surakarta.

Tobacco Control Support Center-Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia.


2012. Fakta tembakau dan permasalahannya di Indonesia tahun 2012.
Jakarta: TCSC IAKMI.

Vaart VD. 2004. Acute effects of cigarette smoke on inflammation and oxidative
stress: a review. Journal Thorax. 59:713–721

Wang HS. 2004. Mesenchymal stem cells in the wharton’s jelly of the human
umbilical. Journal Stem Cells. 22:1330–1337

Yuliana I, Suryani D. 2012. Terapi Sel Punca pada Infark Miokard. Jurnal
Bioteknologi, 11(2), hlm. 176–190.

Zang X. 2011. Increased interleukin (IL)-8 and decreased IL-17 production in


chronic obstructive pulmonary disease (COPD) provoked by cigarette
smoke. ELSEVIER. 56:717-25.

Anda mungkin juga menyukai