Anda di halaman 1dari 145

SKRIPSI

FAKTOR RISIKO YANG BERHUBUNGAN DENGAN


KEJADIAN TB PARU DI WILAYAH PESISIR
KECAMATAN TALLO KOTA MAKASSAR
(WILAYAH KERJA PUSKESMAS
RAPPOKALLING)

MUH. YUSRAN YUNUS


K111 11 042

Skripsi ini Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh


Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat

DEPARTEMEN EPIDEMIOLOGI
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018
i
PERNh’ATAAN PERSETt:JU.4N

Skripsl ini telah dipertahankan dihadspan Tim Penguji Ujian Skripsi dan

disetujui untuk diperbanyfk sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar

Samana Kesehatan Masvarakal Universitas Hasanuddin Makassar.

Makassar, 25 Mei 2018

Tim Penibitnbing

Pernbimbing I Pembimbing II

Prnf. Dr. Ridwan A SKS

Mengetahui
Kenia Departemen Epidemiologi
Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Hasanuddin

A ti Ph.D

ii
PENGESA1L4N 11M PENtiLJI

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Tim Penbm)i Skripsi Fakultas

Keschatan
Hniversitas Hasanuddin Makassar pada han Jum at. 25 Met
! 2018

Ketua . Prof. 1)r. Gideon A., SKM, M.Kes, MScPH (.

Sekretaris lndra Dusnata, SKS. MPH

Anggota : 1 Jumriani Ansar, 5KM, M

Kes

Optimization Software'
iii
PE LUYATAAN KEASLI.4N SKRlPSI

Yang bertanda tangan di bar ah ini:

Nama k1uh. Yusran Yunus

NIM Kl l l || 042

Program Studi : Kesehatan Masyarakat

Jtirusan Epidcmiologi

Menjatakan bahw’a skripsi ini tidak terdapat keselunihan atau sebagian

tulisan oranq lain j ang saya anibil d en s • n cara menyalin atau meniru dalam bentuk

rans kaian kalimat atau simbol jang menunjukkan gagasan atau pendapat

penulis lain tanpa mencantuinkan pcnulis aslinya.

Apabila say’a melakukan hal tersebut di atas. saya bersedia menerima sanksi

sesuai ketentuan j ang berlaku.

Makassar. 24 Mei 2018


Yang membuat pemxataan
I T F R A 16

” .*
(Muh. Yusran Y unus)
RINGKASAN
Universitas Hasanuddin
Fakultas Kesehatan Masyarakat
Epidemiologi
Muh. Yusran Yunus
“Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Kejadian Penyakit TB Paru di
Wilayah Pesisir Kecamatan Tallo Kota Makassar (Wilayah Kerja Puskesmas
Rappokalling”
(xv + 87 Halaman + 13 Tabel + 3 Gambar + 10 Lampiran)
TB paru merupakan penyebab utama kematian diantara berbagai penyakit
infeksi dan menjadi masalah yang cukup besar terutama di negara yang sedang
berkembang termasuk Indonesia. Kota Makassar memiliki angka prevalensi dan
insidensi tertinggi se-Sulawesi Selatan. Hal ini dikarenakan tingginya populasi
penduduk dan banyaknya pemukiman padat sehingga penularan penyakit TB
semakin meningkat tiap tahun. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor
risiko yang berhubungan dengan kejadian penyakit TB paru di Keacamatan Tallo
Kota Makassar (wilayah kerja Puskesmas Rappokalling).
Jenis penelitian ini adalah observasional analitik dengan desain case
control study. Kasus adalah semua penderita TB paru BTA (+) yang tercatat di
rekam medik Puskesmas Rappokalling. Kontrol adalah suspek TB yang
merupakan anggota rumah tangga atau tetangga sekitar penderita TB yang pernah
mengalami gejala batuk lebih dari 2 minggu dan tidak menderita TB. Jumlah
samperl sebanyak 116 dengan rincian 58 kasus dan 58 kontrol.
Hasil analisis statistik menunjukkan kepadatan hunian (OR: 2,199; CI
95%: 1,036-4,666), keluarga miskin (OR: 5,164; CI 95%: 1,774-15,031),
perilaku
merokok (OR: 2,776; CI 95%: 1,044-7,377), dan riwayat kontak (OR: 15,892; CI
95%: 3,515-71,843) merupakan faktor risiko yang bermakna secara statistik
terhadap kejadian penyakit TB paru. Sedangkan jarak rumah ke fasilitas
pelayanan kesehatan (OR: 1,080; CI 95%: 0,500-2,335) merupakan faktor risiko
yang tidak bermakna secara statistik terhadap kejadian penyakit TB paru.

Disarankan kepada masyarakat untuk menerapkan perilaku hidup bersih


dan sehat serta menjaga sanitasi rumah dan lingkungan sekitar agar terhindar dari
infeksi dan penularan penyakit TB paru.

Kata Kunci: Faktor risiko, TB paru, wilayah pesisir, Puskesmas


Rappokalling Daftar Pustaka: 45 (2001-2017)

v
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Bismillaahirrahmaanirrahiim

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas

rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang

berjudul “Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Kejadian Penyakit TB Paru di

Wilayah Pesisir Kecamatan Tallo Kota Makassar (Wilayah Kerja Puskesmas

Rappokalling) ”. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan guna

meraih gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat.

Terwujudnya skripsi ini tidak lepas dari bantuan serta bimbingan yang

sangat berharga dari berbagai pihak, baik secara moril maupun materi sehingga

pada kesempatan ini dengan penuh kerendahan hati, penulis menyampaikan

ucapan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ridwan A., SKM, M.Kes, MScPH selaku Pembimbing I dan

Bapak Indra Dwinata, SKM, MPH selaku pembimbing II yang tanpa

mengenal lelah, telah meluangkan waktu yang sangat berharga di tengah-

tengah kesibukan beliau untuk memberikan motivasi, dorongan, bimbingan,

dan arahan kepada penulis dari awal hingga selesainya penulisan skripsi ini.

2. Ibu Jumriani Ansar, SKM, M.Kes, Bapak Dr. Stang, M.Kes, dan Bapak Dr.

Agus Bintara Birawida, S.Kel, M.Kes, selaku tim penguji yang telah

memberikan kritik dan sarannya demi kesempurnaan penulisan skripsi ini.

vi
3. Bapak Alm. Prof. Dr. dr. H. Buraerah Abd. Hakim, M.Sc dan Ibu Dr. Dra.

Masni, Apt., MSPH selaku Penasihat Akademik yang telah memberikan

bimbingan dan arahan selama penulis mengikuti pendidikan di bangku kuliah.

4. Dekan beserta para Wakil Dekan yang telah memberikan kesempatan dan

memfasilitasi kebutuhan akademik penulis untuk belajar sungguh-sungguh

sehingga pada akhirnya upaya belajar pada program studi S1 ini dapat

terselesaikan dengan baik.

5. Ketua departemen Epidemiologi beserta para staf yang dengan tulus dan

ikhlas telah banyak melayani dan membantu penulis dalam menyelesaikan

program studi S1 ini.

6. Para dosen Program Studi S1 Kesehatan Masyarakat yang tidak sempat

disebut satu persatu atas dorongan dan semangat serta segala ilmu

pengetahuan dan bimbingannya yang memberi nilai tambah bagi penulis.

7. Kepala Badan Koordinasi dan Penanaman Modal Daerah (BKPMD) Propinsi

Sulawesi Selatan beserta staff yang telah memberikan izin untuk melakukan

penelitian ini.

8. Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kota Makassar beserta staff yang

telah memberikan izin untuk melakukan penelitian ini.

9. Kepala Kecamatan Tallo, Kepala Kelurahan Rappokalling, Kepala Kelurahan

Tammua, Kepala Kelurahan Buloa, Kepala Kelurahan Tallo, beserta staff

yang

vii
telah memberikan izin untuk melakukan penelitian ini.

viii
10. Kepala Puskesmas Rappokalling beserta semua staff yang telah memberikan

bantuan yang sangat berharga mulai dari pengambilan data sampai penelitian

selesai dilakukan.

11. Teristimewa kepada Ibunda Tanreang, saudara dan keluarga, yang telah

memberi do’a, motivasi, semangat, dan dukungan kepada penulis selama

mengikuti pendidikan hingga selesai.

12. Special Thanks buat Risman A, Firmansah Thalib, Aswin Renaldy, Sri Wahyu

Ningsi, Rezki Elisafitri, Herul Zaman, Devika Saputri, Aris Setiawan, Muh.

Ilham Madjid, Ahmad Cekidot, Safrimuh, dan Alm. Arisandi yang telah

memberikan dorongan dan semangat serta menjadi teman diskusi yang baik

selama ini.

13. Teman-teman Asrama Mahasiswa Unhas (Aad, Ammank, Eko, Ca’nang,

Jailani, Syahril, Satya, Momoy, dan Arga) yang telah menghiasi memori indah

selama ber”asrama”, serta Acong dkk yang telah menemani hari-hari terakhir

saya di Ramsis.

14. Bapak Drs. Mursalim, M.Si beserta staff pengelola Ramsis Unhas yang telah

banyak memberikan bantuan dan pengertian selama penulis di asrama.

15. Teman-teman se-angkatan “Kalasi 11 FKM Unhas” serta teman-teman

“Himapid” tercinta yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih atas

kebersamaan dan bantuan teman-teman.

16. Teman-teman Posko PBL Kelurahan Lakkang, serta teman-teman posko KKN-

PK Desa Allaere, atas segala kenangan indah, pengalaman, serta pengertiannya.

ix
17. Semua pihak yang tidak sempat penulis sebutkan namanya yang telah banyak

memberikan bantuannya dalam rangka penyelesaian skripsi ini.

Untuk semuanya itu, semoga Allah SWT. senantiasa dapat memberikan

balasan yang baik serta kesejahteraan dan mudah-mudahan karya tulis ini dapat

memberikan sumbangsih untuk perkembangan ilmu dan pengetahuan. Aamiin.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Makassar, 24 Mei 2018

Penulis,

Muh. Yusran Yunus

x
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL........................................................................................i
LEMBAR PERSETUJUAN...............................................................................ii
LEMBAR PENGESAHAN................................................................................iii
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI.........................................iv
RINGKASAN.....................................................................................................v
KATA PENGANTAR.........................................................................................vi
DAFTAR ISI........................................................................................................x
DAFTAR TABEL................................................................................................xii
DAFTAR GAMBAR...........................................................................................xiii
DAFTAR LAMPIRAN.......................................................................................xiv
DAFTAR ISTILAH DAN SINGKATAN.........................................................xv

BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah.......................................................................1
B. Rumusan Masalah.................................................................................8
C. Tujuan Penelitian..................................................................................8
D. Manfaat................................................................................................9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................10


A. Tinjauan Umum Tentang Penyakit Tuberkulosis................................10
B. Tinjauan Umum Tentang Kepadatan Hunian......................................27
C. Tinjauan Umum Tentang Keluarga Miskin.........................................30
D. Tinjauan Umum Tentang Perilaku Merokok.......................................33
E. Tinjauan Umum Tentang Riwayat Kontak..........................................34
F. Tinjauan Umum Tentang Jarak Rumah ke Fasilitas Pelayanan
Kesehatan.............................................................................................36
G. Tinjauan Umum Tentang Wilayah Pesisir...........................................38
H. Kerangka Teori.....................................................................................40

xi
BAB III KERANGKA KONSEP........................................................................41
A. Dasar Pemikiran Variabel Penelitian...................................................41
B. Kerangka Konsep...............................................................................43
C. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif........................................44
D. Hipotesis Penelitian...........................................................................46

BAB IV METODE PENELITIAN...................................................................48


A. Jenis Penelitian..................................................................................48
B. Lokasi dan Waktu Penelitian............................................................49
C. Populasi dan Sampel........................................................................49
D. Cara Pengumpulan Data...................................................................50
E. Instrument Penelitian........................................................................51
F. Pengolahan dan Analisis Data..........................................................51
G. Penyajian Data..................................................................................54

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN............................................................55


A. Hasil Penelitian.................................................................................55
B. Pembahasan.......................................................................................71
C. Keterbatasan Penelitian.....................................................................83

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN...........................................................84


A. Kesimpulan.......................................................................................84
B. Saran..................................................................................................85

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

xii
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Obat Anti Tuberkulosis (OAT)............................................................25


Tabel 4.1 Kontigensi 2 x 2 Analisis data penelitian kasus kontrol.....................53
Tabel 5.1 Distribusi Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin........56
Tabel 5.2 Distribusi Karakteristik Responden Berdasarkan Kelompok Umur....57
Tabel 5.3 Distribusi Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan.............58
Tabel 5.4 Distribusi Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan...............59
Tabel 5.5 Distribusi Karakteristik Responden Berdasarkan Kelurahan..............60
Tabel 5.6 Distribusi Responden Berdasarkan Kepadatan Hunian.......................61
Tabel 5.7 Distribusi Responden Berdasarkan Keluarga Miskin..........................62
Tabel 5.8 Distribusi Responden Berdasarkan Perilaku Merokok........................64
Tabel 5.9 Distribusi Responden Berdasarkan Riwayat Kontak...........................66
Tabel 5.10 Distribusi Responden Berdasarkan Jarak Rumah...............................67
Tabel 5.11 Besar Risiko Variabel Independen Terhadap Kasus Kontrol..............68

xii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Kerangka Teori..........................................................................40


Gambar 3.1. Kerangka Konsep......................................................................43
Gambar 4.1. Tingkat Risiko Tiap Variabel Pada Kasus Dan Kontrol...........48

xiii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Data prevalensi TB paru tahun 2017


Lampiran 2 Data prevalensi TB paru tahun 2016
Lampiran 3 Peta Wilayah Kecamatan Tallo
Lampiran 4 Instrumen Penelitian
Lampiran 5 Tabel Hasil Penelitian
Lampiran 6 Hasil Analisis
Lampiran 7 Surat Penelitian
Lampiran 8 Surat Keterangan Selesai Meneliti
Lampiran 9 Dokumentasi Penelitian
Lampiran 10 Riwayat Hidup

xiv
DAFTAR ISTILAH DAN SINGKATAN

AIDS Acquired Immune Deficiency Syndrome


APHA American Public Health Association
ARTI Annual Risk of Tuberculosis Infection
BCG Bacillus Calmette Guaerrin
BTA Basil Tahan Asam
CDR Case Detection Rate
CI Confidence Interval
DOTS Directly Observed Treatment Shortcourse
ELISA Enzym-linked Immunosorbent
GDP Gross National Product
HIV Human Immunodeficiency Virus
IUATLD International Union Against TB and Lung Diseases
LL-UL Lower Limit-Upper Limit
MDG’s Millenium Development Goals
MDR Multidrug-resistant
OAT Obat Anti Tuberkulosis
OR Odds Ratio
PAP Peroksidase Anti Peroksidase
PMO Pengawas Menelan Obat
RR Rifampicin-resistant
SPS Sewaktu-Pagi-Sewaktu
TB Tuberkulosis
WHO World Health Organization

xv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tuberkulosis (TB paru) merupakan penyakit infeksi bakteri menahun yang

disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, suatu basil tahan asam yang

ditularkan melalui udara. Tuberkulosis dapat menyebar dari satu orang ke orang

lain melalui transmisi udara (droplet dahak pasien penderita tuberkulosis). Pasien

yang terinfeksi Tuberkulosis akan memproduksi droplet yang mangandung

sejumlah basil kuman TB ketika mereka batuk, bersin, atau berbicara. Orang yang

menghirup basil kuman TB tersebut dapat terinfeksi Tuberkulosis. Bersama

dengan malaria dan HIV/AIDS, TB paru menjadi salah satu penyakit yang

pengendaliannya menjadi komitmen global dalam MDG’s (Kemenkes, 2015).

Penyakit TB paru bila tidak ditangani dengan benar akan menimbulkan

komplikasi seperti pleuritis, efusi pleura, laryngitis, dan TB usus.

TB merupakan penyebab utama kematian diantara berbagai penyakit

infeksi. Penyakit ini menjadi masalah yang cukup besar bagi kesehatan

masyarakat terutama di negara yang sedang berkembang. Sosial ekonomi yang

rendah akan menyebabkan kondisi kepadatan hunian yang tinggi dan buruknya

sanitasi lingkungan. Selain itu masalah kurang gizi dan rendahnya kemampuan

untuk mendapatkan pelayanan kesehatan kategori layak juga menjadi masalah

bagi masyarakat golongan sosial ekonomi rendah (Mulyadi, 2011).

WHO dalam Annual Report on Global TB Control 2003 menyatakan

terdapat 22 negara dikategorikan sebagai high-burden countries terhadap TB


1
2

(WHO, 2005). India, Tiongkok, dan Indonesia berkontribusi > 50% dari seluruh

kasus TB yang terjadi di 22 negara. Indonesia menempati urutan ketiga setelah

India dan Tiongkok (Depkes RI, 2008). Namun menurut laporan WHO tahun

2013, prevalensi TB di Indonesia kembali menempati urutan ketiga setelah India

dan Tiongkok yaitu hampir 700 ribu kasus, dengan angka kematian masih tetap 27

per

100.000 penduduk.

Menurut WHO dalam Global Tuberculosis Report 2017, TB merupakan

salah satu penyakit dari 10 penyebab kematian di dunia. TB juga merupakan

penyebab utama kematian yang berkaitan dengan antimicrobial resestence dan

pembunuh utama penderita HIV. Pada tahun 2016, diperkirakan terdapat 10,4 juta

kasus baru (insidensi) TB di seluruh dunia, diantaranya 6,2 juta laki-laki, 3,2 juta

wanita, dan 1 juta adalah anak-anak. Dan diantara penderita TB tersebut, 10%

diantaranya merupakan penderita HIV positif. 7 negara yang menyumbang 64%

kasus baru TB di dunia adalah India, Indonesia, Tiongkok, Filipina, Pakistan,

Nigeria, dan Afrika Selatan. Pada tahun yang sama, 1,7 juta orang meninggal

karena TB termasuk didalamnya 0,4 juta merupakan penderita HIV. Namun

secara global, tingkat kematian penderita TB mengalami penurunan sebanyak

37% dari tahun 2000-2016 (WHO, 2017).

Laporan WHO tahun 2016, jumlah kematian akibat TB/HIV diperkirakan

mencapai 13.000 kasus atau 5 per 100.000 penduduk, dan 32.000 kasus

diantaranya merupakan kasus TB paru yang resisten terhadap obat. Jumlah kasus

(294.000 usia produktif / 15 tahun keatas dan 28.000 usia anak-anak / dibawah
umur
3
baru TB/HIV

mecapai 1,02 juta orang (391 per 100.00 penduduk) diantaranya 323.000 wanita

(294.000 usia produktif / 15 tahun keatas dan 28.000 usia anak-anak / dibawah
umur
3

14 tahun) dan 698.000 laki-laki (666.000 usia produktif / 15 tahun keatas dan

32.000 usia anak-anak / dibawah umur 14 tahun). Insiden MDR/RR-TB (MDR

yaitu penderita TB yang resisten terhadap rifampicin dan isoniazid, RR yaitu

penderita TB yang resisten pada rifampicin) diperkirakan sebesar 32.000 atau 12

per 100.000 penduduk. 4.330 penderita TB paru diketahui mengidap HIV positif

dan 1.228 diantaranya sedang menjalani terapi antiretroviral.

Sejak tahun 1995 Indonesia telah menerapkan strategi baru program

penanggulangan penyakit TB paru yang direkomendasikan oleh WHO. Strategi

tersebut menerapkan panduan obat efektif dan konsep DOTS (Directly Observed

Treatment Shortcourse). Salah satu implementasi DOTS ialah digunakannya obat

jangka pendek yang ampuh membunuh kuman tuberculosis paru dan diberikan

dengan pengawasan (PMO) Pengawas Menelan Obat dan adanya jaminan

ketersediaan obat (Rizka Tri, 2013). Strategi ini telah membawa keberhasilan

dalam pengobatan TB paru dari 83% (2004) menjadi 91% (2005). Selain itu,

hampir seluruh propinsi mencapai kemajuan dalam pengobatan penderita dan

peningkatan penemuan kasus baru TB paru menular antara tahun 2004-2006.

Meskipun demikian, beban TB di Indonesia masih sangat tinggi.

Prevalensi TB pada tahun 2014 sebesar 647 per 100.000 penduduk

meningkat dari 272 per 100.000 penduduk pada tahun 2013. Angka insidensi

tahun 2014 sebesar 399 per 100.000 penduduk meningkat dari 183 per 100.000

penduduk pada tahun 2013. Demikina juga dnengan angka mortalitas pada tahun

2014 sebesar

2013 (Profil Kesehatan Indonesia, 2015). Pada tahun 2015 ditemukan jumlah
kasus
4
41 per 100.000 penduduk meningkat dari 25 per 100.000 penduduk pada tahun

2013 (Profil Kesehatan Indonesia, 2015). Pada tahun 2015 ditemukan jumlah
kasus
4

TB sebanyak 390.910 kasus, meningkat bila dibandingkan semua kasus TB yang

ditemukan pada tahun 2014 yang sebesar 324.539 kasus. Menurut jenis kelamin,

jumlah kasus pada laki-laki lebih itnggi daripada perempuan yaitu 1,5 kali.

Data dari profil kesehatan Republik Indonesia tahun 2016 menyatakan

terdapat 156.723 kasus baru TB paru BTA positif yang terdiri dari 95.382 (61%)

laki-laki dan 61.341 (39%) wanita. 1.507 (0,96%) penderita TB BTA positif

merupakan anak usia 0-14 tahun, 117.474 (74,96%) penderita TB BTA positif

merupakan usia produktif (15-54 tahun),dan 37.742 (24,08%) penderita TB BTA

positif merupakan lansia. Sedangkan hasil cakupan penemuan semua kasus

penyakit TB sebanyak 298.128 (174.675 laki-laki, 123.453 wanita) dengan CDR

(Case Detection Rate) sebesar 60,59%.

Propinsi Sulawesi Selatan menduduki peringkat keenam dengan jumlah

penemuan kasus baru TB di Indonesia di bawah Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa

Tengah, DKI Jakarta, dan Sumatera Utara, dengan jumlah 12.972 (7.613 laki-laki,

5.359 wanita) kasus, dengan penderita TB paru BTA positif sebanyak 7.139 kasus

(4.277 laki-laki, 2.862 wanita). Pada tahun 2015 jumlah kasus TB BTA positif di

propinsi Sulawesi Selatan terbanyak terdapat di Kota Makassar sebesar 1.928

kasus yaitu 1.205 (62,5%) pada laki-laki dan 723 (37,5%) pada wanita. Sedangkan

jumlah seluruh kasus TB di Kota Makassar sebesar 3.639 kasus yaitu 2.192

(60,24%) pada laki-laki dan 1.447 (39,76%) pada wanita. Kasus TB pada anak

umur 0-14 tahun di Kota Makassar sebesar 210 kasus. Angka kesembuhan (Cure

Rate) Kota Makassar

Kesehatan Sulawesi Selatan, 2015).


5
sebesar 1.214 (73,09%) dari 1.661 pasien TB BTA positif yang diobati (Profil

Kesehatan Sulawesi Selatan, 2015).


5

Puskesmas Rappokalling merupakan salah satu puskesmas dengan tingkat

penderita TB paru BTA (+) yang tinggi di Kota Makassar. Pada tahun 2016

Puskesmas Rappokalling menempati urutan ke-11 puskesmas dengan tingkat

kejadian TB paru BTA (+) dari 46 puskesmas di Kota Makassar. Namun pada

tahun 2017 Puskesmas Rappokalling menempati urutan kelima puskesmas dengan

tingkat kejadian TB paru BTA (+) tertinggi di Kota Makassar.

Faktor-faktor risiko terjadinya penyakit TB diantaranya yaitu faktor

individu (umur, jenis kelamin, tingkat pendapatan, tingkat pendidikan, sosial

ekonomi), faktor lingkungan rumah, kebiasaan merokok, riwayat kontak, dan

sebagainya. Hasil penelitian Fitriani (2013) menunjukkan adanya hubungan

kejadian TB paru dengan umur, tingkat pendapatan, kondisi lingkungan rumah,

perilaku, dan riwayat kontak dengan penderita TB paru. Penelitian oleh Butiop

HML dkk (2015) juga menunjukkan ada hubungan kontak serumah dengan

kejadian TB paru.

Hasil penelitian Khadijah Azhar (2013) menunjukkan kondisi fisik rumah

yang mempengaruhi kejadian TB yaitu kondisi lantai rumah yang berlantai semen

pelesteran rusak/papan/tanah berisiko 1,731 kali lebih besar dibanding rumah

yang berlantai keramik, ubin, atau marmer. Perilaku yang mermpermudah

terjadinya penularan TB paru adalah tidak membuka jendela kamar tidur setiap

hari, dengan perbandingan 1,36 kali berisiko lebih besar dibanding yang

membuka jendela kamar tidur, serta perilaku yang tidak menjemur kasur sebesar

1,423 kali.

bahwa faktor-faktor yang terbukti berpengaruh sebagai faktor risiko kejadian


6
Hasil penelitian Agustina Ayu Wulandari dkk (2015) juga menunjukkan

bahwa faktor-faktor yang terbukti berpengaruh sebagai faktor risiko kejadian


6

penyakit TB paru yaitu kepadatan hunian (p=0,002), suhu ruangan (p=0,001),

kelembaban ruangan (p=0,018), jenis lantai rumah (p=0,016), kebiasaan

membuang dahak sembarang tempat (p=0,016), dan kebiasaan batuk/bersin tanpa

menutup mulut (p=<0,001).

Faktor lain yang mempengaruhi kajadian penularan penyakit TB adalah

sanitasi lingkungan perumahan. Rumah dengan pencahayaan dan ventilasi yang

baik akan menyulitkan pertumbuhan kuman, karena sinar ultraviolet dapat

mematikan kuman dan ventilasi yang baik menyebabkan pertukaran udara

sehingga mengurangi konsentrasi kuman. Pada penelitian Rukmini (2011), dari

tujuh komponen kondisi fisik rumah yang diteliti, langit-langit dan ventilasi kamar

tidur yang terbanyak belum memenuhi persyaratan. Hasil tersebut sesuai dengan

penelitian lainnya, dimana hasil temuan Ahmad Dahlan (2001), ventilasi rumah

yang < 10% dari luas lantai mempunyai peluang menderita TB 4,56 kali

dibandingkan dengan rumah dengan ventilasi ≥ 10% dari luas lantainya. Faktor

lingkungan sangat berkaitan erat dengan faktor kondisi wilayah geografis dan

iklim. Kondisi geografis pada wilayah pegunungan, wilayah perkotaan, dan

wilayah pesisir akan membedakan tingkat kejadian dan prevalensi penyakit.

Berdasarkan aspek geografis, masyarakat pesisir merupakan masyarakat

yang hidup, tumbuh, dan berkembang di kawasan pesisir. Masyarakat ini

bergantung hidup dengan mengelola sumber daya alam yang tersedia di

lingkungannya yaitu kawasan perairan dan pulau-pulau kecil (Haerul, 2015).

Dalam

wilayah yang sangat penting bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Lebih dari
7
penelitian yang dilakukan oleh Dirhamsyah (2006), wilayah laut dan pesisir adalah

wilayah yang sangat penting bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Lebih dari
7

14 juta penduduk atau sekitar 7,5% dari total penduduk Indonesia

menggantungkan hidupnya di kawasan ini. Sekitar 26% dari total Produk

Domestik Bruto (Gross National Product/GDP) Indonesia disumbangkan dari

kegiatan sumber daya laut dan pesisir (Dirhamsyah, 2006). Kondisis sosial

ekonomi yang relatif berada dalam tingkat kesejahteraan rendah, maka dalam

jangka panjang tekanan terhadap sumber daya pesisir akan semakin besar guna

pemenuhan kebutuhan masyarakat (Ikhsani, 2011).

Wilayah pesisir merupakan salah satu tempat yang jauh dari akses

pelayanan kesehatan, sehingga hal tersebut perlu menjadi perhatian di bidang

kesehatan dikarenakan sebagian besar masyarakat memiliki status ekonomi

rendah, bertempat tinggal di pemukiman yang kumuh, dan sebagian besar

masyarakat bermata pencaharian sebagai nelayan dan buruh bangunan (Laporan

Pengalaman Belajar Lapangan FKM UNHAS, Buloa 2012). Letaknya yang jauh

dari pelayanan kesehatan seperti rumah sakit dan puskesmas utama dengan jarak

sekitar 5 km menyebabkan masih perlunya penanganan terhadap kesehatan

masyarakat di wilayah pesisir terutama penyakit yang penularannya sangat cepat

dan berbasis lingkungan seperti penyakit TB paru.

Dari beberapa pernyataan di atas, jelas bahwa penyakit TB paru

merupakan salah satu penyakit berbasis wilayah yang menjadi masalah kesehatan

masyarakat. Oleh karena itu, peneliti tertarik mengambil judul “Faktor Risiko

yang Berhubungan dengan Kejadian Penyakit TB Paru di Wilayah Pesisir

Kecamatan Tallo Kota Makassar (Wilayah Kerja Puskesmas

Rappokalling)”.
8

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, dapat dirumuskan masalah penelitian

yaitu faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan kejadian penyakit TB paru

di wilayah pesisir Kecamatan Tallo Kota Makassar (wilayah kerja Puskesmas

Rappokalling).

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor risiko

kejadian TB paru pada penderita TB paru di wilayah pesisir Kecamatan Tallo

Kota Makassar (wilayah kerja Puskesmas Rappokalling).

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui faktor risiko kepadatan hunian terhadap kejadian

TB paru di wilayah pesisir Kecamatan Tallo Kota Makassar (wilayah

kerja Puskesmas Rappokalling).

b. Untuk mengetahui faktor risiko keluarga miskin terhadap kejadian TB

paru di wilayah pesisir Kecamatan Tallo Kota Makassar (wilayah kerja

Puskesmas Rappokalling).

c. Untuk mengetahui faktor risiko perilaku merokok terhadap kejadian

TB paru di wilayah pesisir Kecamatan Tallo Kota Makassar (wilayah

kerja Puskesmas Rappokalling).

d. Untuk melihat faktor risiko riwayat kontak terhadap kejadian TB paru

di wilayah pesisir Kecamatan Tallo Kota Makassar (wilayah kerja

Puskesmas Rappokalling).
9

e. Untuk melihat faktor risiko jarak rumah ke fasilitas pelayanan kesehatan

terhadap kejadian TB paru di wilayah pesisir Kecamatan Tallo Kota

Makassar (wilayah kerja Puskesmas Rappokalling).

D. Manfaat

1. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi Dinas

Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan, khususnya Dinas Kesehatan Kota Makassar

untuk dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan kebijakan terkait

pengembangan program penaggulangan penyakit TB paru dalam rangka

menurunkan angka kejadian penyakit TB paru.

2. Manfaat Ilmiah

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu bahan acuan serta

pembanding bagi peneliti lainnya.

3. Manfaat Peneliti

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengalaman yang

berharga bagi peneliti dalam memperluas wawasan dan pengetahuan serta dapat

mengaplikasikan teori yang telah didapatkan selama proses perkuliahan.

4. Manfaat Bagi Masyarakat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi

masyarakat khususnya yang berada di wilayah pesisir dan daerah pemukiman

padat agar berperilaku hidup sehat dan memiliki kebiasaan serta sanitasi yang

baik bagi lingkungan sendiri maupun di lingkungan sekitar agar mampu

meningkatkan derejat kesehatannya masing-masing.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Penyakit Tuberkulosis

Penemuan Mycobacterium tuberculosis pada tahun 1882 oleh Robert Koch

merupakan suatu momen yang sangat penting dalam penemuan dan pengendalian

panyakit tuberculosis, walaupun penyakit ini sudah dikenal sejak 8000 tahun

sebelum masehi. Dinyatakan bahwa kuman penyebabnya semacam bakteri

berbentuk batang. Dari sinilah diagnosis secara mikrobiologis dimulai dan

penatalaksanaannya lebih terarah dan pada tahun 1896 Rontgen menemukan sinar

X untuk membantu diagnosis yang lebih tepat. Penemuan ini jelas merupakan

pilar yang amat penting yang mengubah perjalanan kehidupan dan dunia

kesehatan selanjutnya (Tjokronegoro, 2004).

1. Pengertian

Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh

kuman TB (Mycobacterium tuberculosis), yang masih keluarga besar genus

mycobacterium. Diantara anggota keluarga Mycobacterium yang diperkirakan

lebih dari 30 jenis, hanya tiga yang dikenal bermasalah dengan kesehatan

masyarakat. Mereka adalah Mycobacterium bovis, Mycobacterium leprae, dan

Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi

dapat juga mengenai organ tubuh lainnya dan yang paling sering terkena adalah

organ paru (90%). Tuberkulosis yang menyerang paru disebut Tuberkulosis Paru

dan yang menyerang selain paru disebut Tuberkulosis ekstra paru. Tuberkulosis

paru dengan

10
11

pemeriksaan dahak menunjukkan BTA (Basil Tahan Asam) positif, dikategorikan

sebagai Tuberkulosis paru menular (Depkes RI, 2008).

2. Etiologi

Tuberkulosis disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, sejenis kuman

yang berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4 mikron dan tebal 0,3-0,6

mikron dan digolongkan dalam Basil Tahan Asam (BTA). Bakteri Mycobacterium

tuberculosis dapat hidup selama 1-2 jam bahkan sampai beberapa hari,

berminggu- minggu, hingga bertahun-tahun bergantung pada ada tidaknya sinar

matahari tetapi dapat bertahan hidup di tempat yang gelap dan lembab. Sebagian

besar bakteri ini terdiri dari asam lemak dan lipid, yang membuat lebih tahan

asam. Sifat lain adalah bersifat aerob, lebih menyukai jaringan yang kaya oksigen.

Energi kuman ini didapat dari oksidasi senyawa karbon yang sederhana,

pertumbuhannya lambat, waktu pembelahan sekitar 20 jam, pada pembenihan

pertumbuhan tampak setelah 2-3 minggu. Daya tahan kuman ini lebih besar

apabila dibandingkan dengan kuman lain karena sifat hidrofobik permukaan sel.

Pada sputum kering yang melekat pada debu dapat hidup 8-10 hari (Aditama,

2006).

Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat tidur selama beberapa tahun

(dorman). Bila dijumpai BTA atau Mycobacterium tuberculosis dalam dahak

orang yang sering batuk, maka orang tersebut didiagnosis sebagai penderita TB

paru aktif dan memiliki potensi yang sangat berbahaya (Aditama, 2006).

Ciri-ciri Mycobacterium tuberculosis adalah:

a. Berbentuk batang tipis agak bengkok bersifat aerob.

b. Berukuran 0,5-4 mikron x 0,3-0,6 mikron.


12

c. Mempunyai granular atau tidak bergranular.

d. Tunggal berpasangan atau berkelompok.

e. Mudah mati pada air mendidih (5 menit pada suhu 800 C, 20 menit

pada suhu 600 C, mudah mati dengan sinar matahari langsung, dapat

hidup berbulan-bulan pada suhu kamar lembab).

f. Tidak berspora.

g. Tidak mempunyai selubung tapi mempunyai lapisan luar tebal yang

terdiri dari lipoid (terutama asam mikolat).

h. Tahan terhadap penghilangan warna dengan asam dan alkohol Basil

Tahan Asam (BTA) (WHO, 2006).

3. Cara Penularan TB Paru

Sumber penularan TB adalah pasien TB BTA positif. Pada waktu batuk

atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak

(droplet infection). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak.

Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada di

udara dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan,

sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat

bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab (Kemenkes

RI, 2011).

Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang

dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan

dahak, makin tinggi tingkat penularan pasien tersebut. Faktor yang

dan lamanya menghirup udara tersebut (Herdin, 2005).


13
memungkinkan

seseorang terpapar kuman TB ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara

dan lamanya menghirup udara tersebut (Herdin, 2005).


13

Menurut Aditama (2006), penularan TB dapat terjadi jika seseorang

penderita TB paru berbicara, meludah, batuk, atau bersin, maka kuman-kuman TB

yang berada dalam paru-parunya akan menyebar ke udara sebagai partikulat

melayang (suspended particulate matter) dan menimbulkan droplet infection.

Basil TB paru tersebut dapat terhirup oleh orang lain yang berada di sekitar

penderita. Dalam waktu 1 tahun seorang penderita TB paru dapat menularkan

penyakitnya pada 10 sampai 15 orang di sekitarnya.

Apabila sudah terkontaminasi dengan kuman Mycobacterium tuberculosis

(TB) itu sangat berisiko dimana sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi

sakit TB. Riwayat alamiah pasien TB yang tidak diobati setelah 5 tahun

diantaranya 50% akan meninggal, 25% akan sembuh sendiri dengan daya

tahan tubuh yang tinggi, 25% menjadi kasus kronis yang tetap menular

(Kemenkes RI, 2011).

4. Mekanisme Terjadinya Penyakit TB Paru

Infeksi terjadinya Tuberkulosis saat seseorang terpapar pertama kali

dengan kuman TB. Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat

melewati sistem pertahanan mukosilier bronkus dan terus berjalan sehingga

sampai ke alveolus dan menetap di sana. Infeksi dimulai saat kuman TB berhasil

berkembangbiak dengan cara pembelahan diri di paru-paru, yang mengakibatkan

peradangan di paru. Saluran limfe akan membawa kuman TB ke kelenjar limfe

sekitar hilus paru, dan ini disebut sebagai kompleks primer. Waktu antara

terjadinya infeksi sampai pembentukan kompleks primer adalah sekitar 4-6

menjadi positif (Depkes RI, 2006).


14
minggu. Adanya

infeksi dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi tuberculin dari negatif

menjadi positif (Depkes RI, 2006).


14

Terjadinya infeksi tergantung banyaknya kuman yang masuk dan besarnya

respon daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan perkembangan kuman TB,

ada beberapa kuman akan menetap sebagai kuman persisten atau dorman (tidur).

Kadang-kadang daya tahan tubuh tidak mampu menghentikan perkembangan

kuman, akibatnya dalam beberapa bulan yang bersangkutan akan menjadi

penderita TB. Masa inkubasi yaitu waktu yang diperlukan mulai terinfeksi

sampai menjadi sakit, diperkirakan sekitar 6 bulan (Depkes RI, 2006).

Penyakit dapat menyebar melalui getah bening atau pembuluh darah.

Organisme yang melewati kelenjar getah bening dalam jumlah kecil akan

mencapai aliran darah yang kadang-kadang dapat menimbulkan lesi pada berbagai

organ. Jenis penyebaran ini dikenal dengan nama penyebaran limphohematogen

yang biasanya sembuh sendiri. Jenis penyebaran hemathogen yang lain adalah

fenomena akut yang biasanya menyebabkan tuberkulosis milier. Ini terjadi apabila

nekrotik merusak pembuluh darah sehingga banyak organisme masuk ke dalam

sistem vascular dan tersebar ke organ-organ.

5. Tanda dan Gejala

Gambaran klinis Tuberkulosis mungkin belum muncul pada infeksi

awal dan mungkin tidak akan pernah timbul bila tidak terjadi infeksi aktif. Bila

timbul infeksi aktif klien biasanya memperlihatkan gejala batuk pirulen

produktif disertai nyeri dada, demam (biasanya pagi hari), malaise, keringat

malam, gejala flu, batuk darah, kelelahan, hilang nafsu makan, dan penurunan

berat badan (Samsuridjal, 2005).


15

Gejala-gejala paling umum dijumpai adalah:

a. Batuk yang terus menerus dan berdahak selama 3 minggu atau

lebih.

Semua orang yang datang ke unit pelayanan kesehatan dengan gejala

utama ini harus dianggap sebagai seorang droplet tuberkulosis, atau

penderita tersangka Tuberkulosis (TB).

b. Mengeluarkan dahak bercampur darah (Haemoptysis), sesak nafas

dan nyeri dada.

c. Lemah badan, kehilangan nafsu makan dan berat badan turun, rasa

kurang enak badan (Malaise), berkeringat pada malam hari padahal

tidak ada kegiatan dan demam meriang lebih dari sebulan.

Bila gejala-gejala tersebut diperkuat dengan riwayat kontak dengan

seorang penderita Tuberkulosis (TB) maka kemungkinan besar dia juga

menderita Tuberkulosis (TB). Gejala-gejala dari Tuberkulosis (TB) ekstra paru

tergantung dari organ yang terkena, nyeri dada Tuberkulosis pleura (Pleuritis),

pembesaran kelenjar limfe (Limfadenitis tuberculosis), dan pembengkokan tulang

belakang (Spondilitis tuberculosis) merupakan tanda-tanda yang sering dijumpai

pada Tuberkulosis ekstra paru (Corwin, 2009).

6. Risiko Penularan

Risiko tertular bergantung pada tingkat pajanan dengan percikan dahak.

Pasien TB paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan

lebih besar dari pasien TB paru BTA negatif. Risiko penularan setiap tahunnya

ditunjukkan dengan Annual Risk of Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi


16

penduduk yang berisiko terinfeksi TB selama satu tahun. ARTI sebesar 1%

berarti 10 orang diantara 1000 penduduk terinfeksi setiap tahun. ARTI di

Indonesia bervariasi antara 1-3%. Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan reaksi

tuberculin negatif menjadi positif.

7. Risiko Menjadi Sakit TB

Risiko seseorang tertular oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis untuk

menjadi sakit TB paru digambarkan oleh Kemenkes RI (2011), sebagai berikut:

a. Hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB

paru. Dengan ARTI 1%, diperkirakan diantara 100.000 penduduk rata-

rata terjadi 1000 terinfeksi TB paru dan 10% diantaranya (100 orang)

akan menjadi sakit TB paru setiap tahun. Sekitar 50 diantaranya

adalah penderita TB Paru BTA positif.

b. Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi

penderita TB paru adalah daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya

infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi buruk).

c. HIV merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi yang terinfeksi

TB menjadi sakit TB paru. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas

sistem daya tahan tubuh seluler (Cellular immunity), sehingga jika

terjadi infeksi oportunistik seperti Tuberkulosis, maka yang

bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan bisa mengakibatkan

kematian. Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka

jumlah penderita TB paru akan meningkat, dengan demikian

penularan TB paru di masyarakat akan meningkat pula.


17

8. Strategi Penemuan Penderita Tuberkulosis (TB) Paru

Kegiatan penemuan pasien terdiri dari penjaringan suspek, diagnosis,

penentuan klasifikasi penyakit, dan tipe pasien. Penemuan pasien merupakan

langkah pertama dalam kegiatan program penanggulangan TB. Penemuan dan

penyembuhan pasien TB menular, secara bermakna akan dapat menurunkan

kesakitan dan kematian akibat TB, penularan TB di masyarakat dan sekaligus

merupakan kegiatan pencegahan penularan TB yang paling efektif di masyarakat.

a. Penemuan Penderita Tuberkulosis Paru Pada Orang Dewasa

Penemuan penderita Tuberkulosis Paru dilakukan secara pasif, artinya

penjaringan tersangka penderita dilaksanakan pada mereka yang datang

berkunjung ke unit pelayanan kesehatan. Penemuan secara pasif didukung dengan

penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat, untuk

meningkatkan cakupan penemuan tersangka penderita. Cara ini biasa dikenal

dengan sebutan passive promotif case finding (penemuan penderita secara pasif

dengan promosi yang aktif).

Selain itu semua kontak penderita Tuberkulosis Paru BTA positif dengan

gejala yang sama harus diperiksa dahaknya. Seorang petugas kesehatan

diharapkan menemukan tersangka penderita sedini mungkin, mengingat

Tuberkulosis adalah penyakit menular yang dapat mengakibatkan kematian.

Semua tersangka penderita harus diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari

berturut-turut, sewaktu-pagi-sewaktu (SPS) yaitu sebagai berikut:


18

1) S (sewaktu): dahak dikumpulkan pada saat suspek TB paru datang

berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah

pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi hari pada hari kedua.

2) P (pagi): dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera

setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan kepada petugas di

UPK.

3) S (sewaktu): dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua, saat

menyerahkan dahak pagi (Depkes RI, 2006).

b. Penemuan Penderita Tuberkulosis Pada Anak

Penemuan penderita Tubekulosis pada anak merupakan hal yang sulit.

Sebagian besar diagnosis Tuberkulosis anak didasarkan atas gambaran klinis,

gambaran radiologis dan uji Tuberkulin (Depkes RI, 2006).

9. Diagnosis Tuberkulosis (TB)

a. Diagnosis Tuberkulosis Pada Orang Dewasa

Menurut Depkes RI (2006), diagnosis TB Paru pada orang dewasa dapat

dilakukan dengan ditemukannya BTA pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Hasil

pemeriksaan dinyatakan positif apabila sedikitnya dua dari tiga spesimen SPS (Sewaktu-

Pagi-Sewaktu) BTA hasilnya positif. Bila hanya satu spesimen yang positif perlu

diadakan pemeriksaan lebih lanjut yaitu foto rontgen dada atau pemeriksaan dahak SPS

(Sewaktu-Pagi-Sewaktu) diulang.

1) Kalau hasil rontgen mendukung TB paru, maka penderita didiagnosis

sebagai penderita TB positif.

2) Kalau hasil foto rontgen tidak mendukung TB paru, maka

pemeriksaan dahak SPS (Sewaktu-Pagi-Sewaktu) diulangi.


19

Bila ketiga spesimen dahak hasilnya negatif, diberikan antibiotik spektum

luas selama 1-2 minggu. Bila tidak ada perubahan namun gejala kinis tetap

mencurigakan TB, ulangi pemeriksaan dahak SPS (Sewaktu-Pagi-Sewaktu).

1) Kalau hasil positif, didiagnosis sebagai penderita TB BTA positif.

2) Kalau hasil SPS tetap negatif, dilakukan pemeriksaan foto rontgen

dada, untuk mendukung diagnosis TB.

3) Bila hasil rontgen mendukung TB, didagnosis sebagai penderita TB

BTA negatif rontgen positif.

4) Bila hasil rontgen tidak mendukung TB, penderita tersebut bukan TB.

b. Diagnosis Tuberkulosis Pada Anak

Diagnosis paling tepat adalah dengan ditemukannya kuman TB dari

bahan yang diambil penderita misalnya dahak. Tetapi pada anak hal ini sulit dan

jarang didapat, sehingga sebagian besar diagnosis TB anak didasarkan atas

gambaran klinis, gambaran rontgen dada dan uji tuberkulin. Seorang anak harus

dicurigai menderita Tuberkulosis kalau mempunyai sejarah kontak erat (serumah)

dengan penderita TB BTA positif, terdapat reaksi kemerahan cepat setelah

penyuntikan BCG (dalam 3-7 hari) serta terdapat gejala klinis TB. Agar anak

terhindar dari penyakit TB maka perlu diberikan imunisasi BCG untuk kekebalan

aktif terhadap penyakit Tubekulosis (TB), vaksin ini mengandung bakteri

Bacillus Calmette Guaerrin (BCG) hidup yang dilemahkan. BCG diberikan 1

kali sebelum anak berumur 2 bulan (Depkes RI, 2006).

1) Uji tuberculin (Mantoux)

Bila uji tuberculin positif, menunjukkan adanya infeksi TB dan

kemungkinan ada TB aktif pada anak. Namun, uji tuberculin dapat


20

negatif pada anak TB berat dengan alergi (malnutrisi, penyakit sangat

berat, dll). Jika uji tuberculin meragukan dilakukan uji silang.

2) Reaksi cepat BCG

Bila dalam penyuntikan BCG terjadi reaksi cepat (dalam 3-7 hari)

berupa kemerahan dan indurasi > 5 mm, maka anak tersebut dicurigai

telah terinfeksi kuman TB.

3) Foto rontgen dada

Gambaran rontgen TB paru pada anak tidak khas dan interpretasi foto

biasanya sulit, harus hati-hati, kemungkinan bias overdiagnosis atau

underdiagnosis.

4) Pemeriksaan mikrobiologi dan serologi

Pemeriksaan BTA secara mikroskopis langsung pada anak biasanya

dilakukan dengan bilasan lambung karena dahak biasanya sulit

didapat pada anak. Demikian juga pemeriksaan serologis seperti

ELISA, PAP, dll, masih memerlukan penelitian yang lebih lanjut.

10. Klasifikasi Penyakit Dan Tipe Penderita

Klasifikasi penderita TB paru adalah sebagai berikut:

a. Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena:

1) Tuberkulosis paru

Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan

(parenkim) paru. Tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar

pada hilus.
21

2) Tuberkulosis ekstra paru

Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru,

misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar

limfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat

kelamin, dan lain-lain.

b. Klasifikasi berdasarkan pemeriksaan dahak mikroskopis

1) Tuberkulosis paru BTA positif

Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA

positif. Spesimen dahak SPS hasilnya positif dan foto rontgen dada

menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif.

2) Tuberculosis paru BTA negatif

Pemeriksaan 3 spesimen dahak SPS hasilnya negatif dan foto rontgen

dada menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif.

c. Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan penyakit

1) TB paru BTA negatif foto toraks positif dibagi berdasarkan tingkat

keparahan penyakitnya, yaitu berat dan ringan. Bentuk berat bila

gambaran foto toraks memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang

luas (misalnya proses “far advanced”), dan keadaan umum pasien

buruk.

2) TB eksta paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan

penyakitnya, yaitu:
22

a) TB ekstra paru ringan, misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis

eksudativa unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan

kelenjar adrenal.

b) TB ekstra paru berat, misalnya: meningitis, milier, pericarditis,

peritonitis, pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB

usus, TB saluran kemih, dan alat kelamin.

d. Tipe Penderita

Tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya.

Ada beberapa tipe penderita yaitu:

1) Kasus baru

Adalah penderita yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah

pernah menelan OAT kurang dari 1 bulan (30 dosis harian).

2) Kambuh (relaps)

Adalah penderita yang pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan

telah dinyatakan sembuh, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil

pemeriksaan dahak BTA positif.

3) Pindahan (transfer in)

Adalah penderita yang sedang mendapatkan pengobatan di suatu

kabupaten lain dan kemudian pindah berobat ke kabupaten tertentu.

Penderita tersebut harus membawa surat rujukan/pindahan.

4) Setelah lalai (pengobatan setelah default/drop out)

Adalah penderita yang sudah pernah berobat paling kurang 1 bulan

dan berhenti 2 bulan lebih, kemudian datang lagi berobat. Umumnya

penderita tersebut kembali dengan hasil dahak BTA positif.


23

11. Pengendalian, Pencegahan, dan Pengobatan TB Paru

a. Pengendalian Tuberkulosis

Sejalan dengan meningkatnya kasus TB (Kemenkes RI, 2011). Pada awal

tahun 1990-an WHO dan International Union Against TB and Lung Diseases

(IUATLD) mengembangkan strategi pengendalian TB yang dikenal sebagai

strategi Directly Observed Treatment Short-course (DOTS). Strategi DOTS

terdiri dari 5 komponen kunci, yaitu:

1) Komitmen politis, dengan peningkatan dan kesinambungan pendanaan.

2) Penemuan kasus melalui pemeriksaan dahak mikroskopis yang

terjamin mutunya.

3) Pengobatan yang standar, dengan supervise dan dukungan bagi pasien.

4) Sistem pengelolaan dan ketersediaan Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

yang efektif.

5) Sistem monitoring pencatatan dan pelaporan yang mampu

memberikan penilaian terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja

program.

Pengendalian TB paru yang terbaik adalah mencegah agar tidak terjadi

penularan maupun infeksi. Pencegahan TB paru pada dasarnya adalah mencegah

penularan bakteri dari penderita yang terinfeksi dan menghilangkan atau

mengurangi faktor risiko yang menyebabkan terjadinya penularan penyakit.

Tindakan mencegah terjadinya penularan dilakukan dengan berbagai cara yang

utama adalah memberikan Obat Anti Tuberkulosis yang benar dan cukup, serta

dengan cara mengurangi atau menghilangkan faktor risiko yang pada dasarnya
24
dipakai dengan patuh sesuai ketentuan penggunaan obat. Pencegahan dilakukan

dengan cara mengurangi atau menghilangkan faktor risiko yang pada dasarnya
24

adalah mengupayakan kesehatan lingkungan dan perilaku, antara lain dengan

pengaturan rumah agar memperoleh cahaya matahari, mengurangi kepadatan

anggota keluarga, mengatur kepadatan penduduk, menghindari meludah

sembarangan, batuk sembarangan, mengonsumsi makanan yang bergizi yang

baik dan seimbang. Dengan demikian salah satu upaya pencegahan adalah

dengan penyuluhan (Notoatmodjo, 2007).

b. Pencegahan Tuberkulosis

Cara pencegahan terhadap penularan pasien TB Paru adalah:

1) Bagi penderita, tutup mulut bila batuk.

2) Jangan buang dahak sembarangan, cara membuang dahak yang

benar yaitu menimbun dahak dengan pasir atau menampung dahak

dalam kaleng berisi Lysol, air sabun, spiritus, dan buang di lubang

WC atau lubang tanah.

3) Memeriksakan anggota keluarga yang lain.

4) Makan makanan bergizi (cukup karbohidrat, protein, dan vitamin).

5) Istirahat yang cukup.

6) Memisahkan alat makan dan minum bekas pasien.

7) Memperhatikan keadaan rumah, ventilasi dan pencahayaan baik.

8) Hindari rokok.

9) Berikan imunisasi BCG pada bayi.

c. Pengobatan Tuberkulosis

Berdasarkan Kemenkes RI (2011), selain penyuluhan, pengobatan juga

merupakan suatu hal yang penting dalam upaya pengendalian penyakit TB paru.
25

Tujuan pengobatan TB paru adalah untuk menyembuhkan penderita, mencegah

kematian, mencegah kekambuhan, dan menurunkan tingkat penularan,

memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap

Obat Anti Tuberkulosis (OAT). Salah satu komponen dalam Directly Observed

Treatment (DOTS) adalah panduan pengobatan panduan Obat Anti

Tuberkulosis (OAT) jangka pendek dengan pengawasan langsung dan untuk

menjamin keteraturan pengobatan diperlukan seorang Pengawasan Minum Obat

(PMO) dan pemberian panduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT). Jenis sifat dan

dosis Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang akan dijelaskan pada bab ini adalah

yang tergolong untuk lini pertama. Secara ringkas Obat Anti Tuberkulosis

(OAT) lini pertama dijelaskan pada tabel di bawah ini:

Tabel 2.1. Obat Anti Tuberkulosis (OAT)


No Jenis OAT Sifat Jenis obat yang direkomendasikan
(mg/kg)direkomendasikan (mg/kg)
Harian 3x seminggu
1. Isoniazid (H) Bakterisid 5 10
(4-6) (8-12)
2. Rifampicin (R) Bakterisid 10 10
(8-12) (8-12)
3. Pyrazinamide (Z) Bakterisid 25 35
(20-30) (30-40)
4. Streptomycin (S) Bakterisid 15 15
(12-18) (12-18)
5 Ethambutol (E) Bakterios- 15 30
tatik (15-20) (20-35)
Sumber: Kemenkes RI, 2011.

Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut:

1) Obat anti Tuberkulosis (OAT) harus diberikan dalam bentuk

kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat

sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan Obat Anti

Tuberkulosis (OAT)
26

tunggal (monoterapi). Pemakaian Obat Anti Tuberkulosis-Kombinasi

Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.

2) Untuk menjamin kepatuhan pasien meminum obat, dilakukan

pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh

seorang Pengawasan Minum Obat (PMO).

3) Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan

lanjutan.

a) Tahap awal (intensif)

1. Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari

dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya

resistensi obat.

2. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat,

biasanya pasien baru TB menjadi tidak menular dalam kurun

waktu 2 minggu.

3. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif

(konversi) dalam 2 bulan.

b) Tahap lanjutan

1. Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit,

namun dalam jangka waktu yang lebih lama.

2. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister

sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.


27

12. Faktor Risiko Terjadinya Tuberkulosis

Faktor risiko adalah semua variabel yang berperan dalam timbulnya

kejadian penyakit. Pada dasarnya berbagai faktor risiko TB paru saling berkaitan

satu sama lain. Faktor risiko yang berperan dalam kejadian tuberkulosis adalah

faktor karakteristik individu (umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan,

penghasilan) faktor sosial ekonomi (status kemiskinan), faktor risiko kondisi

lingkungan (kepadatan hunian, ventilasi, suhu, kelembaban, pencahayaan, dan

jenis rumah/materi bangunan), faktor perilaku kebiasaan merokok, faktor riwayat

kontak, dan jarak rumah ke fasilitas pelayanan kesehatan.

B. Tinjauan Umum Tentang Kepadatan Hunian

Rumah sehat adalah Rumah yang memenuhi standar kebutuhan

penghuninya baik dari aspek kesehatan, keamanan, dan kenyamanan. Kejadian

penyakit TB paru dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor lainnya seperti

lingkungan perumahan terdiri dari lingkungan fisik, biologis, dan sosial (Suyono,

2011).

Menurut WHO, rumah adalah struktur fisik atau bangunan untuk tempat

berlindung, dimana lingkungan berguna untuk kesehatan jasmani dan rohani serta

keadaan sosialnya baik demi kesehatan keluarga dan individu (Komisi WHO

Mengenai Kesehatan dan Lingkungan, 2010).

Rumusan yang dikeluarkan oleh American Public Health Association

(APHA), syarat rumah sehat harus memenuhi kriteria (winslow) sebagai berikut:

1. Memenuhi kebutuhan fisiologis. Antara lain, pencahayaan,

penghawaan dan ruang gerak yang cukup, terhindar dari kebisingan

yang mengganggu.
28

2. Memenuhi kebutuhan psikologis, antara lain, privasi yang cukup,

komunikasi yang sehat antar anggota keluarga dan penghuni rumah.

3. Memenuhi persyaratan pencegahan penularan penyakit antar

penghuni rumah, yaitu dengan penyediaan air bersih, pengelolaan

tinja dan air limbah rumah tangga, bebas vektor penyakit dan tikus,

kepadatan hunian yang tidak berlebihan, cukup sinar matahari pagi,

terlindungnya makanan dan minuman dari pencemaran, disamping

pencahayaan dan penghawaan yang cukup.

4. Memenuhi persyaratan pencegahan terjadinya kecelakaan, baik yang

timbul karena keadaan luar maupun dalam rumah antara lain

persyaratan garis sepadan jalan, konstruksi yang tidak mudah roboh,

tidak mudah terbakar, dan tidak cenderung membuat penghuninya

jatuh tergelincir.

Komponen yang harus dimiliki rumah sehat adalah:

1. Pondasi yang kuat guna meneruskan beban bangunan ke tanah

dasar, memberi kestabilan bangunan, dan merupakan konstruksi

penghubung antara bangunan dengan tanah.

2. Lantai kedap air dan tidak lembab, tinggi minimum 10 cm dari

pekarangan dan 25 cm dari badan jalan, bahan kedap air, untuk rumah

panggung dapat terbuat dari papan atau anyaman bambu.

3. Memiliki jendela dan pintu yang berfungsi sebagai ventilasi dan

masuknya sinar matahari dengan luas minimum 10% luas lantai.


29

4. Dinding rumah kedap air yang berfungsi untuk mendukung

atau menyangga atap, menahan angin dan air hujan, melindungi dari

panas dan debu dari luar, serta menjaga kerahasiaan (privacy)

penghuninya.

5. Langit-langit untuk menahan dan menyerap panas terik

matahari, minimum 2,75 m dari lantai, bisa dari bahan papan,

anyaman bambu, tripleks atau gypsum.

6. Atap rumah yang berfungsi sebagai penahan panas sinar matahari

serta melindungi masuknya debu, angina, dan air hujan.

Luas lantai bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni di

dalamnya, artinya luas lantai bangunan rumah tersebut harus disesuaikan dengan

jumlah penghuni rumah agar tidak menyebabkan overload. Hal ini tidak sehat,

sebab disamping menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen juga bila salah satu

anggota keluarga terkena penyakit infeksi, akan mudah menular kepada anggota

keluarga yang lain (Notoatmodjo, 2005).

Persyaratan kepadatan hunian untuk seluruh rumah biasanya dinyatakan

dalam m2/orang. Luas minimum per orang sangat relative bergantung dari

kualitas bangunan dan fasilitas yang tersedia. Untuk rumah sederhana yang

luasnya minimum 10 m2/orang. Untuk kamar tidur diperlukan luas lantai

minimum 3 m2/orang. Untuk mencegah penularan penyakit pernapasan, jarak

antara tepi tempat tidur yang satu dengan yang lainnya minimum 90 cm. kamar

tidur sebaiknya tidak dihuni lebih dari dua orang, kecuali untuk suami istri dan

anak di
30

bawah 2 tahun (Kepmenkes, 1999). Untuk menjamin volume udara yang cukup,

disyaratkan juga langit-langit minimum tingginya 2,75 m.

Hasil penelitian Agustina dkk (2015) menunjukkan bahwa faktor-faktor

yang terbukti berpengaruh sebagai faktor risiko kejadian penyakit TB paru yaitu

kepadatan hunian (p=0,002).

C. Tinjauan Umum Tentang Keluarga Miskin

Keadaan sosial ekonomi berkaitan erat dengan pendidikan, keadaan

sanitasi lingkungan, status gizi, dan akses terhadap pelayanan kesehatan.

Penurunan pendapatan dapat menyebabkan kurangnya daya beli dalam memenuhi

konsumsi makanan sehingga akan berpengaruh terhadap status gizi. Apabila status

gizi buruk maka akan menyebabkan kekebalan tubuh yang menurun sehingga

memudahkan terkena infeksi TB paru.

WHO (2003) menyebutkan penderita TB paru di dunia menyerang

kelompok sosial ekonomi lemah atau miskin. Walaupun tidak berhubungan secara

langsung namun dapat merupakan penyebab tidak langsung seperti adanya kondisi

gizi memburuk, perumahan tidak sehat, dan kemampuan dalam akses pelayanan

kesehatan menurun. Menurut perhitungan, rata-rata penderita TB kehilangan 3-4

bulan waktu kerja dalam setahun. Mereka juga kehilangan penghasilan setahun

secara total mencapai 30% dari pendapatan rumah tangga (Ahmadi, 2005).

Menurut BPS (Badan Pusat Statisitik), ada 14 kriteria yang digunakan

untuk menentukan keluarga/rumah tangga dikategorikan miskin, yaitu:

1. Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang.

2. Jenis lantai tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan.


31

3. Jenis dinding tempat tinggal dari bambu/rumbia/kayu berkualitas

rendah/tembok tanpa diplester.

4. Tidak memiliki fasilitas buang air besar/bersama-sama dengan rumah

tangga lain.

5. Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik.

6. Sumber air minum berasal dari sumur/mata air tidak

terlindung/sungai/air hujan.

7. Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu

bakar/arang/minyak tanah.

8. Hanya mengonsumsi daging/susu/ayam satu kali dalam seminggu.

9. Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun.

10. Hanya sanggup makan sebanyak satu/dua kali dalam sehari.

11. Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/poliklinik.

12. Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah: petani dengan luas

lahan 500 m2, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan,

dan atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan di bawah Rp. 600.000,-

per bulan.

13. Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga: tidak sekolah/tidak tamat

SD/hanya SD.

14. Tidak memiliki tabungan/barang yang mudah dijual dengan minimal

Rp. 500.000,- seperti sepeda motor kredit/non kredit, emas, ternak,

kapal motor, atau barang modal lainnya.


32

Jika minimal 9 kriteria terpenuhi maka suatu rumah tangga dikategorikan

sebagai rumah tangga miskin.

Sedangkan menurut Kepmensos RI nomor 146/HUK/2013 tentang

penetapan kriteria dan pendataan fakir miskin dan orang tidak mampu menetapkan

bahwa fakir miskin dan orang tidak mampu berasal dari rumah tangga yang

memiliki kriteria sebagai berikut:

1. Tidak mempunyai sumber mata pencaharian dan/atau mempunyai

sumber mata pencaharian tetapi tidak mempunyai kemampuan

memenuhi kebutuhan dasar.

2. Mempunyai pengeluaran sebagian besar digunakan untuk memenuhi

konsumsi makanan pokok dengan sangat sederhana.

3. Tidak mampu atau mengalami kesulitan untuk berobat ke tenaga

medis, kecuali Puskesmas atau yang disubsidi pemerintah.

4. Tidak mampu membeli pakaian satu kali dalam satu tahun untuk setiap

anggota rumah tangga.

5. Mempunyai kemampuan hanya menyekolahkan anaknya sampai

jenjang pendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama.

6. Mempunyai dinding rumah terbuat dari bambu/kayu/tembok dengan

kondisi tidak baik/kualitas rendah, termasuk tembok yang sudah

usang/berlumut atau tembok tidak diplester.

7. Kondisi lantai terbuat dari tanah atau kayu/semen/keramik dengan

kondisi tidak baik/kualitas rendah.


33

8. Atap terbuat dari ijuk/rumbia atau genteng/seng/asbes dengan kondisi

tidak baik/kualitas rendah.

9. Mempunyai penerangan bangunan tempat tinggal bukan dari listrik

atau listrik tanpa meteran.

10. Luas lantai rumah kecil kurang dari 8 m2/orang.

11. Mempunyai sumber air minum berasal dari sumur atau mata air tidak

terlindung/air sungai/air hujan/lainnya.

D. Tinjauan Umum Tentang Perilaku Merokok

Perilaku seseorang yang berhubungan dengan penyakit TB adalah perilaku

yang mempengaruhi atau menjadikan seseorang untuk mudah terinfeksi atau

tertular kuman TB misalnya kebiasaan membuka jendela setiap hari, menutup

mulut bila batuk atau bersin, meludah sembarangan, merokok, dan kebiasaan

menjemur kasur ataupun bantal (Suarni, 2009).

Merokok dapat diketahui mempunyai hubungan dengan peningkatan risiko

untuk mendapatkan kanker paru-paru, penyakit jantung koroner, bronchitis

kronik, dan kanker kandung kemih. Kebiasaan merokok juga meningkatkan risiko

untuk terkena TB paru sebanyak 2,2 kali. Pada tahun 1973 konsumsi rokok di

Indonesia per orang per tahun adalah 230 batang, relatif lebih rendah

dibandingkan dengan 430 batang/orang/tahun di Sierra Leon, 480

batang/orang/tahun di Ghana, dan 760 batang/orang/tahun di Pakistan (Ahmadi,

2005). Prevalensi merokok pada hampir semua negara berkembang lebih dari 50%

terjadi pada laki-laki dewasa, sedangkan

mempermudah untuk terjadinya infeksi TB paru.


34
wanita perokok kurang dari 5%. Dengan adanya kebiasaan merokok akan

mempermudah untuk terjadinya infeksi TB paru.


34

Pada penelitian yang dilakukan oleh Made Agus Nurjana (2015) pada

kelompok usia produktif menunjukkan risiko perokok aktif lebih besar

dibandingkan dengan perokok pasif maupun kelompok bukan perokok.

Namun dalam beberapa penelitian lainnya didapatkan hasil yang berbeda.

Seperti dalam penelitian yang dilakukan oleh Ardhitya dan Liena (2014)

menunjukkan tidak ada hubungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian

tuberkulosis di Puskesmas Depok 3 Kabupaten Sleman. Hal ini dapat terjadi

karena jumlah responden yang merokok lebih sedikit dibandingkan yang tidak

merokok. Hal ini disebabkan responden yang diteliti pernah merokok namun

sudah berhenti ketika terkena TB paru dan tidak merokok kembali. Hal ini sesuai

dengan penelitian yang menyatakan bahwa status kebiasaan merokok setiap hari

tidak memiliki hubungan dengan kejadian tuberkulosis dewasa di Kecamatan

Semarang Utara (Widyaswari, 2011). Hal ini dapat dianggap sebagai bias

penelitian karena pada beberapa kasus penelitian lainnya riwayat merokok (pernah

merokok dan sudah berhenti) maupun status perokok pasif tidak dicantumkan

sehingga kebiasaan merokok bisa saja tidak berpengaruh terhadap kejadian TB

paru dalam suatu penelitian.

E. Tinjauan Umum Tentang Riwayat Kontak

Variabel atau indikator yang paling dominan untuk memprediksi kejadian

TB paru adalah riwayat kontak dengan penderita TB. Hal ini memang sering

ditemui karena faktor utama seseorang dapat terinfeksi adalah setelah menghirup

udara yang mengandung droplet yang mengandung kuman yang ditularkan oleh

penderita TB paru BTA positif (Depkes RI, 2005). Riwayat kontak yang dimaksud
35

antara lain pernah tinggal serumah dengan penderita TB paru, sehingga

memungkinkan droplet kuman TB yang keluar lewat bersin atau batuk penderita

dapat terhirup bersama dengan oksigen di udara dalam rumah oleh anggota

keluarga lainnya sehingga sangat memudahkan terjadinya proses penularan.

Namun tidak semua yang mendapat riwayat kontak akan terjangkit TB paru,

tergantung pada seberapa kuat daya tahan tubuh seseorang serta dapat pula kuman

TB tersebut dorman dalam tubuh seseorang sehingga tidak menimbulkan gejala

tuberkulosis.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Ryana dkk (2012), terdapat 4,4%

kelompok kasus atau penderita TB paru mempunyai riwayat kontak atau tinggal

serumah sedangkan pada kelompok kontrol tidak ada (0%). Dalam penelitian yang

dilakukan oleh Eka Fitriani (2013) menunjukkan ada hubungan antara riwayat

kontak dengan kejadian TB paru. Tingkat penularan TB di lingkungan keluarga

penderita cukup tinggi, dimana seorang penderita dapat menularkan kepada 2-3

orang di dalam rumahnya, sedangkan besar risiko terjadinya penularan untuk

rumah tangga dengan penderita lebih dari satu orang adalah 4 kali lebih besar

dibandingkan dengan rumah tangga yang hanya satu orang penderita TB paru di

dalamnya.

Pada penelitian lainnya oleh Mahpudin dan Mahkota (2007) menunjukkan

bahwa sumber kontak serumah berhubungan secara bermakna dengan kejadian

TB paru BTA (+). Mereka yang tinggal serumah dengan kontak berisiko

menderita tuberculosis 3,16 kali lebih besar dibandingkan dengan mereka yang

tidak ada kontak serumah. Temuan ini sesuai dengan penelitian sebelumnya,

penelitian di Palembang kontak serumah berisiko 41,8 kali lebih besar daripada

mereka yang
36

tanpa kontak serumah. Penelitian di Kabupaten Majalengka 8,59 kali lebih besar

dibandingkan dengan mereka yang tidak ada kontak serumah. Kontak erat dengan

penderita TB paru BTA (+) berisiko maksimum untuk terjadinya infeksi.

Keterlambatan dalam memberikan pengobatan akan memperbesar kemungkinan

terjadinya risiko penularan.

F. Tinjauan Umum Tentang Jarak Rumah ke Fasilitas Pelayanan

Kesehatan

Jarak rumah ke fasilitas atau tempat pelayanan kesehatan adalah seberapa

jauh lintasan yang ditempuh responden menuju tempat pelayanan kesehatan yang

meliputi rumah sakit, puskesmas, dan lainnya. Keterjangkauan masyarakat

termasuk jarak terhadap tempat pelayanan kesehatan akan mempengaruhi

pemilihan pelayanan kesehatan (Khudhori, 2012). Selain itu jarak merupakan

komponen kedua yang memungkinkan seseorang untuk memanfaatkan pelayanan

pengobatan. Salah satu pertimbangan yang menentukan sikap individu memilih

sumber perawatan adalah jarak tempat tinggal ke sumber perawatan. Akses

terhadap pelayanan kesehatan meliputi keterjangkauan lokasi tempat pelayanan,

jenis, dan kualitas pelayanan yang tersedia. Aksesibilitas dapat dihitung dari

waktu tempuh, jarak tempuh, jenis transportasi, dan kondisi di pelayanan

kesehatan, seperti jenis pelayanan kesehatan, tenaga kesehatan yang tersedia, dan

waktu pelayanan kesehatan.

Jarak dan waktu tempuh yang terlalu jauh juga memungkinkan penderita

TB paru untuk tidak melakukan pengobatan tuberkulosis bulanan di fasilitas

pelayanan kesehatan seperti puskesmas atau rumah sakit. Hal ini bisa terjadi

karena
37

kurangnya edukasi, motivasi dan pemahaman yang dilakukan oleh petugas

kesehatan pada saat penderita TB paru melakukan pemeriksaan atau pengobatan

sebelumnya sehingga penderita kurang termotivasi untuk sembuh dari penyakitnya.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Bertin (2011) menunjukkan nilai rata-

rata jarak tempat asal pasien ke fasilitas pengobatan adalah 56,98 km. Pasien terus

diberikan edukasi dan motivasi oleh petugas kesehatan sehingga mereka memiliki

keinginan yang kuat untuk sembuh dan rela menempuh jarak yang jauh untuk

berobat di fasilitas kesehatan yang lebih baik. Hal ini menunjukkan bahwa

walaupun fasilitas pelayanan kesehatan berada dalam jarak yang dekat namun

apabila fasilitas atau tenaga kesehatannya memiliki kinerja dengan kualitas yang

buruk hal itu dapat mempengaruhi tingkat keinginan penderita untuk datang

berobat ke tempat tersebut.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Eka Fitriani (2013), menunjukkan

bahwa kejadian TB paru di wilayah kerja Puskesmas Ketanggungan banyak

ditemukan pada jarak dekat atau ≤ 5 km dari puskesmas yaitu 75,8%. Hal ini

dikarenakan pada penderita TB paru yang jarak rumahnya jauh atau > 5 km tidak

memeriksakan diri dan berobat di puskesmas sehingga tidak tercatat dalam rekam

medik puskesmas. Hal ini terjadi jika jarak yang ditempuh terlalu jauh dan tenaga

kesehatan di puskesmas tersebut tidak melakukan kegiatan penyuluhan atau

edukasi khususnya mengenai penyakit TB paru di daerah-daerah yang jauh atau

terpencil di wilayah kerjanya sehingga kesadaran masyarakat terhadap kesehatan

mereka serta keikutsertaan mereka dalam pemeriksaan kesehatan di puskesmas

jauh lebih sedikit


38

sehingga puskesmas tersebut harus mengambil langkah yang inisiatif dalam

penanggulangan dan pencegahan penyakit seperti TB paru.

G. Tinjauan Umum Tentang Wilayah Pesisir

1. Pengetian Wilayah Pesisir

Perairan pesisir adalah daerah pertemuan darat dan laut, dengan batas darat

dapat meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air yang masih

mendapat pengaruh sifat-sifat laut seperti angin laut, pasang surut, dan intrusi air

laut. Potensi besar wilayah pesisir juga merupakan ekosistem yang mudah terkena

dampak kegiatan manusia. Umumnya kegiatan pembangunan secara langsung

maupun tidak langsung berdampak merugikan terhadap ekosistem perairan pesisir

(Dirhamsyah, 2006).

Kesepakatan umum di dunia bahwa wilayah pesisir adalah suatu wilayah

peralihan antara daratan dan lautan. Apabila ditinjau dari garis pantai (coast line),

maka wilayah pesisir mempunyai dua macam batas yaitu batas yang sejajar

dengan garis pantai dan batas yang tegak lurus dengan garis pantai. Menurut

Dahuri dkk (2001), pengertian wilayah pesisir menurut kesepakatan internasional

adalah merupakan wilayah peralihan antara laut dan daratan, ke arah darat

mencakup daerah yang masih terkena pengaruh percikan air laut atau pasang

surut, dan ke arah laut meliputi daerah paparan benua. Menurut UU No. 27 Tahun

2007 tentang batasan wilayah pesisir, ke arah daratan mencakup wilayah

administrasi daratan dan ke arah perairan laut sejauh 12 mil laut diukur dari garis

pantai ke arah garis laut lepas dan atau ke arah perairan kepulauan (Dirhamsyah,

2006).
39

2. Karakteristik Masyarakat Pesisir

Masyarakat pesisir adalah sekumpulan masyarakat yang hidup bersama-

sama mendiami wilayah pesisir membentuk dan memiliki kebudayaan yang khas

yang terkait dengan ketergantungannya terhadap sumber daya pesisir (Ikhsani,

2011). Masyarakat pesisir pada umumnya bermata pencaharian di sektor

pemanfaatan sumber daya kelautan, seperti nelayan, pembudidaya ikan, dan

transportasi laut, bahkan pedagang ikan (Ikhsani, 2011).

Kondisi lingkungan pemukiman masyarakat pesisir, khususnya nelayan

masih belum tertata dengan baik, dan terkesan kumuh. Kondisi sosial ekonomi

yang berada dalam tingkat kesejahteraan rendah, maka dalam jangka panjang

tekanan terhadap sumber daya pesisir akan semakin besar guna pemenuhan

kebutuhan masyarakat (Ikhsani, 2011).


40

H. Kerangka Teori

Sumber Transmis Manusia Dampak

Faktor Karakterist
risiko ik individu:
Pender Penderi
it a TB lingkungan 1. Umur ta TB
paru
: 2. Jenis kelamin
BTA paru
1. Kepadat 3. Pendidikan
an 4. Pekerjaan
hunian 5. Kebiasa
2. Pencahayaan an
3. ventilasi merokok
4. Suhu 6. Sosial ekonomi
5. Kelembaban (keluarga
6. Jenis lantai miskin)

Faktor risiko geografis:


Sumber: Modifikasi Achmadi,- 2005
Kepadatan perumahan
- Sarana pelayanan kesehatan
Gambar 2.1. Kerangka Teori
- Iklim
BAB III

KERANGKA KONSEP

A. Dasar Pemikiran Variabel Penelitian

Berdasarkan tinjauan pustaka yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya,

terdapat beberapa faktor yang berhubungan dengan kejadian penyakit TB paru,

yaitu: kepadatan hunian, status sosial ekonomi (keluarga miskin), perilaku

merokok, riwayat kontak, dan jarak rumah ke fasilitas pelayanan kesehatan.

Berdasarkan uraian di atas mengenai faktor-faktor yang berhubungan

dengan kejadian penyakit TB paru, maka peneliti mengambil beberapa variabel

penelitian yang akan diuraikan sebagai berikut:

1. Kepadatan hunian

Kondisi lingkungan rumah memiliki hubungan yang sangat erat kaitannya

dalam hal penularan penyakit TB, karena kuman TB memiliki daya tahan hidup

yang sangat kuat dan bertahun-tahun. Salah satu kondisi rumah yang dapat

memungkinkan terjadinya perkembangbiakan dan penularan penyakit TB yaitu

kepadatan hunian. Luas lantai bangunan harus cukup dan disesuaikan dengan

jumlah penghuninya. Jika terjadi overload hal itu tidak sehat karena disamping

menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen, juga bila salah satu anggota keluarga

terkena penyakit infeksi seperti TB paru, akan mudah menular kepada anggota

keluarga yang lain (Notoatmodjo, 2003).

2. Keluarga miskin

Salah satu faktor yang mempengaruhi mudahnya seseorang terjangkit

suatu penyakit terutama yang berkaitan dengan penyakit infeksi yaitu status gizi.

Status gizi sangat berkaitan dengan pemenuhan jumlah nutrisi yang harus

dikonsumsi oleh
41
42

setiap anggota rumah tangga. Selain itu upaya pemeriksaan kesehatan dan

perawatan juga perlu dilakukan agar dapat mencegah terjadinya penyakit. Kedua

hal tersebut tidak mampu terpenuhi apabila kondisi sosial ekonomi keluarga

termasuk kategori miskin. Kondisi kemiskinan juga sangat erat kaitannya dengan

tingkat pendidikan yang dapat mempengaruhi jenis pekerjaan seseorang. Oleh

sebab itu keluarga miskin merupakan salah satu faktor risiko terhadap suatu

kejadian penyakit.

3. Perilaku merokok

Salah satu yang mempengaruhi penyakit TB dapat tertular adalah perilaku

yang berisiko seperti kebiasaan merokok yang dapat dengan mudah mengganggu

sistem pernapasan. Selain memperburuk sistem pernapasan perokok itu sendiri,

perilaku merokok juga membahayakan orang lain di sekitarnya yang biasa dikenal

dengan perokok pasif. Jika dalam suatu rumah terdapat anggota rumah tangga

yang merokok, hal itu dapat membuat seluruh anggota rumah tangga tersebut

sangat rentan terjangkit penyakit berbahaya khususnya penyakit yang berkaitan

dengan sistem pernapasan seperti TB paru.

4. Riwayat kontak

Faktor yang paling berpengaruh dengan kejadian penyakit TB paru adalah

adanya riwayat kontak dengan pasien penderita TB paru atau lingkungan sekitar

penderita TB paru. Hal ini disebabkan karena kuman TB sangat banyak

terkonsentrasi pada dahak atau sputum penderita sehingga sangat besar

kemungkinan orang yang memiliki riwayat kontak dengan pasien penderita TB

paru bisa tertular.


43

5. Jarak rumah ke fasilitas pelayanan kesehatan

Tingkat aksesibilitas fasilitas pelayanan kesehatan sangat berpengaruh

terhadap kemampuan seseorang untuk melakukan pengobatan atau pelayanan

kesehatan lainnya. Jarak yang jauh dan sulit ditempuh dapat menyebabkan

seseorang tidak ingin pergi memeriksakan dirinya ke tenaga medis. Hal ini akan

mengakibatkan diagnosa atau penemuan kasus TB paru bisa terkendala sehingga

penularan penyakit tidak bisa diatasi oleh tenaga kesehatan. Selain jarak yang

jauh, kualitas pelayanan dan tenaga kesehatan juga mempengaruhi aksesibilitas

pelayanan kesehatan.

B. Kerangka Konsep

Adapun kerangka konsep pada penelitian ini adalah sebagai berikut :

Karakteristik Individu Keluarga Miskin Perilaku Merokok Riwayat Kontak

Faktor Lingkungan
Kepadatan Hunian
Penyakit TB Paru

Faktor Geografis
Jarak Rumah ke Fasilitas Pelayanan Kesehatan

Keterangan :
= Variabel Independen

= Variabel Dependen

= Arah Hubungan
Gambar 3.1. Kerangka Konsep
44

C. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif

1. Penyakit Tuberkulosis

Definisi Operasional: penyakit menular langsung yang disebabkan oleh

kuman TB (Mycobacterium tuberculosis) yang digolongkan ke dalam

Basil Tahan Asam (BTA).

Kriteria Objektif:

Kasus : Apabila responden merupakan penderita TB paru BTA

(+). Kontrol : Apabila responden merupakan suspek TB paru.

2. Kepadatan hunian

Definisi Operasional: yaitu perbandingan jumlah penghuni dengan luas

bangunan, dengan persyaratan minimal ≥ 10 m2/orang.

Kriteria Objektif:

Tidak memenuhi syarat : Apabila < 10 m2/orang.

Memenuhi syarat : Apabila ≥ 10 m2/orang.

3. Keluarga miskin

Definisi Operasional: yaitu seseorang yang tidak mampu memenuhi

kebutuhan dasarnya atau memenuhi kebutuhan dasarnya dengan

sederhana, tidak memiliki pekerjaan tetap, atau memiliki pekerjaan dengan

penghasilan di bawah Rp. 600.000,- per bulan, tidak mampu melakukan

pemeriksaan kesehatan di pelayanan kesehatan tanpa bantuan atau subsidi

dari pemerintah, serta mempunyai tempat tinggal yang tergolong kumuh,

tidak baik, atau kondisi rumah dengan kualitas rendah.


45

Kriteria Objektif:

Keluarga miskin : Apabila memenuhi 9 dari 14 kriteria keluarga

miskin menurut BPS.

Keluarga tidak miskin : Apabila tidak memenuhi 9 dari 14 kriteria

keluarga miskin menurut BPS.

4. Perilaku merokok

Definisi Operasional: yaitu kegiatan menghisap gulungan tembakau yang

dibungkus dengan kertas (Kamus Besar Bahasa Indonesia).

Kriteria Objektif:

Perokok : Apabila responden merokok (aktif) dan/atau pernah

merokok atau menghirup asap rokok (pasif).

Bukan perokok : Apabila responden tidak merokok dan/atau tidak

menghirup asap rokok (menghindari asap rokok).

5. Riwayat kontak

Definisi Operasional: yaitu pernah sebelumnya responden mengalami

kontak baik secara langsung dengan penderita TB paru BTA (+) atau

secara tidak langsung melalui lingkungan sekitar penderita TB paru BTA

(+).

Kriteria Objektif:

Ada riwayat kontak : Apabila responden pernah tinggal serumah

dengan penderita TB paru BTA (+).

Tidak ada riwayat kontak : Apabila responden tidak pernah tinggal

serumah dengan penderita TB paru BTA (+).


46

6. Jarak rumah ke fasilitas pelayanan kesehatan

Definisi Operasional: yaitu seberapa jauh jarak yang ditempuh oleh

responden dari tempat tinggal menuju ke tempat atau fasilitas pelayanan

kesehatan (Puskesmas Rappokalling).

Kriteria Objektif:

Jauh : Apabila rumah responden ≥ 3 km dari Puskesmas Rappokalling

(sesuai pengukuran aplikasi Google Maps).

Dekat : Apabila rumah responden < 3 km dari Puskesmas Rappokalling

(sesuai pengukuran aplikasi Google Maps).

D. Hipotesis Penelitian

1. Hipotesis Alternatif (Ha)

a. Faktor kepadatan hunian merupakan faktor risiko kejadian TB paru di

wilayah pesisir Kecamatan Tallo Kota Makassar (wilayah kerja

Puskesmas Rappokalling).

b. Faktor keluarga miskin merupakan faktor risiko kejadian TB paru di

wilayah pesisir Kecamatan Tallo Kota Makassar (wilayah kerja

Puskesmas Rappokalling).

c. Faktor perilaku merokok merupakan faktor risiko kejadian TB paru di

wilayah pesisir Kecamatan Tallo Kota Makassar (wilayah kerja

Puskesmas Rappokalling).

d. Faktor riwayat kontak merupakan faktor risiko kejadian TB paru di

wilayah pesisir Kecamatan Tallo Kota Makassar (wilayah kerja

Puskesmas Rappokalling).
47

e. Faktor jarak rumah ke fasilitas pelayanan kesehatan merupakan faktor

risiko kejadian TB paru di wilayah pesisir Kecamatan Tallo Kota

Makassar (wilayah kerja Puskesmas Rappokalling).

2. Hipotesis Null (Ho)

a. Faktor kepadatan hunian bukan merupakan faktor risiko kejadian TB

paru di wilayah pesisir Kecamatan Tallo Kota Makassar (wilayah kerja

Puskesmas Rappokalling).

b. Faktor keluarga miskin bukan merupakan faktor risiko kejadian TB

paru di wilayah pesisir Kecamatan Tallo Kota Makassar (wilayah kerja

Puskesmas Rappokalling).

c. Faktor perilaku merokok bukan merupakan faktor risiko kejadian TB

paru di wilayah pesisir Kecamatan Tallo Kota Makassar (wilayah kerja

Puskesmas Rappokalling).

d. Faktor riwayat kontak bukan merupakan faktor risiko kejadian TB paru

di wilayah pesisir Kecamatan Tallo Kota Makassar (wilayah kerja

Puskesmas Rappokalling).

e. Faktor jarak rumah ke fasilitas pelayanan kesehatan bukan merupakan

faktor risiko kejadian TB paru di wilayah pesisir Kecamatan Tallo

Kota Makassar (wilayah kerja Puskesmas Rappokalling).


BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Jenis penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan adalah survey analitik dengan pendekatan

case control. Penelitian dengan pendekatan Case control adalah salah satu desain

penelitian yang bertujuan untuk mengetahui kemungkinan hubungan antara

paparan dengan penyakit dengan cara membandingkan kelompok kasus dan

kelompok kontrol berdasarkan status paparannya.

Bagan Case Control mengenai tingkat risiko pada masing-masing


faktor risiko kejadian TB paru yang akan diteliti
Risiko Tinggi
Kepadatan hunian < 10 m2/orang Keluarga Miskin
Perokok
Ada Riwayat Kontak Jarak Puskesmas ≥ 3 km

Risiko Rendah
Kepadatan hunian ≥ 10 m2/orang Keluarga Tidak Miskin
Bukan Perokok Tidak Ada Riwayat Kontak Kelompok Kasus
Jarak Puskesmas < 3 km Penderita TB Paru BTA (+)

Risiko Tinggi
Kepadatan hunian < 10 m2/orang Keluarga Miskin
Perokok
Ada Riwayat Kontak Jarak Puskesmas ≥ 3 km

Risiko Rendah
Kepadatan hunian ≥ 10 m2/orang Keluarga Tidak Miskin
Bukan Perokok Tidak Ada Riwayat Kontak
Jarak Puskesmas < 3 km Kelompok Kontrol

Popula

Gambar 4.1. Bagan kasus kontrol berdasarkan tingkat risiko tiap variabel
penelitian

48
49

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di wilayah pesisir Kecamatan Tallo Kota

Makassar yaitu wilayah kerja Puskesmas Rappokalling (Kelurahan Rappokalling,

Kelurahan Tamua, Kelurahan Buloa, dan Kelurahan Tallo). Pemilihan lokasi

penelitian ini dipilih karena beberapa wilayah berbatasan langsung dengan lautan

(Kelurahan Buloa dan Kelurahan Tallo) dimana masyarakatnya sebagian besar

berada dalam status sosial ekonomi rendah atau keluarga miskin, pemukiman

yang kumuh, dan sanitasi lingkungan yang kurang. Jumlah penderita TB paru

BTA (+) di Puskesmas Rappokalling setiap tahun meningkat sehingga peneliti

tertarik untuk melakukan penelitian di lokasi tersebut.

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai bulan Mei 2018.

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi merupakan keseluruhan dari subjek penelitian, yang memiliki

karakteristik tertentu. Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien penderita

penyakit TB paru BTA (+) dan suspek TB paru yang memiliki alamat yang jelas

atau bertempat tinggal di wilayah kerja Puskesmas Rappokalling Kecamatan Tallo

Kota Makassar dan tercatat pernah melakukan pengobatan di Puskesmas

Rappokalling pada tahun 2017. Populasi dalam penelitian ini sebanyak 126

penderita TB paru BTA (+) dan 381 suspek TB paru.

2. Sampel

Sampel dalam penelitian ini terbagi ke dalam dua kategori yaitu kelompok

kasus yang diambil dari seluruh penderita TB paru BTA (+) dan kelompok kontrol
50

yang diambil dari kelompok suspek TB paru dengan perbandingan 1:1 dengan

matching alamat tempat tinggal (RW pada satu kelurahan yang sama).

a. Kriteria inklusi: pasien penderita TB paru BTA (+) yang telah

didiagnosa oleh tenaga kesehatan dan suspek TB paru yang memiliki

alamat atau bertempat tinggal di wilayah pesisir Kecamatan Tallo Kota

Makassar dan tercatat pernah melakukan pengobatan pada tahun 2017

di Puskesmas Rappokalling.

b. Kriteria ekslusi: pasien penderita TB paru BTA (+) dan suspek TB

paru yang berumur lima tahun kebawah (balita) dan tidak bersedia atau

tidak dapat melakukan wawancara.

Berdasarkan kriteria di atas, maka kelompok kasus yaitu jumlah penderita

TB paru BTA (+) yang memiliki tempat tinggal dan beralamat lengkap dan jelas

yang tercatat di rekam medik Puskesmas Rappokalling sebanyak 58 orang,

sehingga dengan matching 1:1 maka didapatkan jumlah kelompok kontrol (suspek

TB paru) sebanyak 58 orang.

D. Cara Pengumpulan Data

1. Data primer diperoleh dengan melakukan observasi atau mengunjungi

rumah responden yang memiliki alamat lengkap di wilayah kerja

Puskesmas Rappokalling Kecamatan Tallo Kota Makassar, serta

melakukan wawancara secara langsung terhadap responden dan/atau

didampingi oleh keluarga responden untuk mengurangi kemungkinan

recall bias berdasarkan daftar kuesioner dari variabel penelitian yang telah

disusun berdasarkan tujuan penelitian.


51

2. Data sekunder diperoleh dari rekam medik Puskesmas Rappokalling

terhadap responden yang bertempat tinggal di wilayah pesisir Kecamatan

Tallo Kota Makassar wilayah kerja Puskesmas Rappokalling.

E. Instrument Penelitian

Adapun instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

kuesioner berisi pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan tujuan

penelitian dan membantu peneliti dalam menjawab rumusan masalah

peneltian. Pada setiap individu dilakukan pencatatan data demografi yaitu

dengan melengkapi kuesioner berisi pertanyaan pada penderita TB paru yaitu

nomor responden, kuesioner karakteristik, kuesioner kepadatan hunian,

kuesioner keluarga miskin, kuesioner perilaku merokok, kuesioner riwayat

kontak, dan kuesioner jarak rumah ke fasilitas pelayanan kesehatan.

F. Pengolahan dan Analisis Data

1. Pengolahan data tersebut dilakukan dengan tahap-tahap sebagai berikut :

a. Editing

Proses editing dilakukan setelah data terkumpul dan dilakukan dengan

memeriksa kelengkapan data, memeriksa kesinambungan data, dan

kesesuaian data. Proses ini dilakukan setelah data terkumpul.

b. Koding

Proses koding dilakukan untuk memudahkan dalam pengolahan data,

semua jawaban, atau data perlu disederhanakan yaitu dengan simbol-

simbol
52

tertentu, untuk setiap jawaban (pengkodean). Pengkodean dilakukan

dengan memberikan nomor variabel, nama variabel, dan kode.

c. Entry data

Setelah melakukan koding di SPSS, selanjutnya menginput data pada

masing-masing variabel. Urutan data yang diinput berdasarkan nomor

responden pada kuesioner.

d. Cleaning data

Setelah proses penginputan data, maka dilakukan cleaning data dengan

cara melakukan analisis frekuensi pada semua variabel untuk melihat ada

tidaknya missing data. Data yang missing dibersihkan sehingga dapat

dilakukan proses analisis.

e. Tabulasi data

Dilakukan untuk memudahkan dalam pengelolaan data ke dalam suatu

tabel. Pengelolaan data dilakukan secara elektronik dengan menggunakan

software SPSS dan Microsoft Office.

2. Analisis data

a. Analisis Univariat

Analisis univariat dilakukan pada setiap variabel dari hasil penelitian.

Analisa ini akan menghasilkan distribusi dan persentasi dari tiap variabel

yang diteliti.

b. Analisis Bivariat

Analisis bivariat dilakukan dengan pengujian hipoteses, yang diuji adalah

hipotesis nol (H0). Analisis bivariat bertujuan untuk melihat hubungan


53

antara 2 variabel penelitian yaitu variabel dependen dan variabel

independen. Analisis hubungan dilakukan dengan menggunakan Odds

Ratio (OR) yang didahului dengan tabulasi silang (crosstabulation) antar

variabel. Perhitungan nilai dilakukan untuk mengestimasi besarnya risiko

variabel yang diteliti terhadap kejadian TB paru. Perhitungan nilai OR

dilakukan dengan menggunakan aplikasi SPSS.

Tabel 4.1
Kontigensi 2 x 2 Odds Ratio Analisis Data Penelitian Kasus Kontrol
Faktor Kelompok Studi Jumlah
Risiko Kasus (+) Kontrol (-)
(+) a b a+b
(-) c d c+d
Total a+c b+d T

Rumus:
𝑎 𝑎
𝑎+𝑏
= 𝑎 + 𝑏 𝑎
=
𝑎 𝑏 𝑏
1− 𝑎+𝑏 𝑎+𝑏
OR =
𝑐 𝑐
𝑐+𝑑
= 𝑐 + 𝑑 𝑐
=
𝑐 𝑑 𝑑
1 − 𝑐+𝑑 𝑐+𝑑
𝑎𝑥𝑑
OR =
𝑏𝑥𝑐
Keterangan:

a : Jumlah kasus dengan risiko (+)


b : Jumlah kontrol dengan risiko (+)
c : Jumlah kasus dengan risiko (-)
d : Jumlah kontrol dengan risiko (-)
a+b : Jumlah kasus dan kontrol dengan risiko (+)
c+d : Jumlah kasus dan kontrol dengan risiko (-)
a+c : Jumlah kasus dengan faktor risiko (+) dan (-)
b+d : Jumlah kontrol dengan faktor risiko (+) dan (-)
t : Total keseluruhan
54

Interpretasi nilai OR :

a. Jika OR > 1, maka variabel independen merupakan faktor risiko kejadian

TB paru.

b. Jika OR = 1, maka variabel independen bukan merupakan faktor risiko

kejadian TB paru.

c. Jika OR < 1, maka variabel independen merupakan faktor protektif

kejadian TB paru.

Uji kemaknaan nilai OR, dilakukan dengan langkah sebagai berikut :

a. Penentuan nilai Confidence Interval(Cl) = 95%

b. Penentuan Lower Limit (LL) dan Upper Limit (UL)

c. Interpretasi kebermaknaan :

1. Jika nilai LL dan UL berada di bawah nilai 1 (satu) atau berada di atas

nilai 1 (satu), maka nilai OR yang diperoleh mempunyai pengaruh

kebermaknaan.

2. Jika nilai LL dan UL mencakup nilai 1 (satu), maka nilai OR yang

diperoleh tidak mempunyai pengaruh kebermaknaan.

G. Penyajian Data

Data yang telah dianalisis selanjutnya disajikan dalan bentuk tabel yakni

dalam bentuk tabel sederhana/tabel frekuensi (one-way-tabulation) untuk analisis

univariat dan crosstabulation (two-way-tabulation) untuk analisis bivariat yang

disertai dan asumsi penjelasannya mengenai hubungan antara variabel independen

dan variabel dependen.


BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Rappokalling, yang

meliputi empat kelurahan yaitu Kelurahan Rappokalling, Kelurahan Tammua,

Kelurahan Buloa, dan Kelurahan Tallo. Penelitian ini berlangsung dari tanggal 13

April 2018 sampai 30 April 2018. Jumlah responden yang diperoleh dalam

penelitian ini sebanyak 116 dengan rincian 58 kasus dan 58 kontrol.

Hasil pengolahan data yang telah dikumpulkan selanjutnya disajikan

dalam bentuk tabel dan narasi sebagi berikut.

1. Analisis Univariat

Analisis univariat dilakukan pada seluruh variabel dengan tujuan untuk

mengetahui karakteristik data setiap variabel. Hasil analisis univariat setiap

variabel selanjutnya disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi, sebagai

berikut:

a. Distribusi Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin

Distribusi karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin pada

penelitian ini dapat dilihat pada tabel 5.1.

55
56

Tabel 5.1
Distribusi Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin di Wilayah
Pesisir Kecamatan Tallo Kota Makassar (Wilayah Kerja Puskesmas
Rappokalling)
Jenis Kelamin TB Paru
Kasus Kontrol n %
n % n %
Laki-laki 31 53,4 28 48,3 59 50,9
Perempuan 27 46,6 30 51,7 57 49,1
Total 58 100,0 58 100,0 116 100,0
Sumber: Data Primer, 2018

Tabel 5.1 menunjukkan bahwa distribusi karakteristik responden menurut

jenis kelamin lebih banyak pada kelompok laki-laki sebanyak 59 orang (50,9%)

dibandingkan kelompok perempuan sebanyak 57 orang (49,1%). Proporsi jenis

kelamin laki-laki lebih banyak pada kelompok kasus (53,4%) dibandingkan pada

kelompok kontrol (48,3%). Sementara itu, proporsi jenis kelamin perempuan lebih

banyak pada kelompok kontrol (51,7%) dibandingkan pada kelompok kasus

(46,6%).

b. Distribusi Karakteristik Responden Berdasarkan Kelompok Umur

Responden dalam penelitian ini dibagi ke dalam 3 kelompok umur yaitu

kelompok anak-anak, kelompok usia produktif, dan kelompok lansia (lanjut usia).

Kelompok anak-anak merupakan responden yang memiliki rentang usia 5 sampai

14 tahun, kelompok usia produktif yaitu responden yang memiliki rentang usia 15

sampai 59 tahun, sedangkan kelompok lansia merupakan responden dengan usia

60 tahun keatas.

Distribusi karakteristik responden berdasarkan kelompok umur dapat

dilihat pada tabel 5.2.


57

Tabel 5.2
Distribusi Karakteristik Responden Berdasarkan Kelompok
Umur di Wilayah Pesisir Kecamatan Tallo Kota Makassar
(Wilayah Kerja Puskesmas Rappokalling)
Kelompok TB Paru
Umur n %
Kasus Kontrol
n % n %
Anak-anak 3 5,2 1 1,7 4 3,4
Produktif 46 79,3 50 86,2 96 82,8
Lansia 9 15,5 7 12,1 16 13,8
Total 58 100,0 58 100,0 116 100,0
Sumber: Data Primer, 2018

Berdasarkan tabel 5.2 dapat diketahui bahwa proporsi kelompok umur

produktif lebih banyak baik pada kelompok kasus (79,3%) maupun pada

kelompok control (86,2%). Sedangkan pada kelompok umur anak-anak memiliki

proporsi paling sedikit baik pada kelompok kasus (5,2%) maupun pada kelompok

control (1,7%).

Hal ini menunjukkan bahwa kelompok umur produktif lebih rentan terkena

penyakit TB paru dibanding kelompok umur anak-anak maupun lansia. Hal ini

bisa saja disebabkan karena menurunnya imunitas seseorang diakibatkan tingkat

stress dan beban kerja yang tinggi sehingga kuman TB lebih mudah menginfeksi

tubuh seseorang.

c. Distribusi Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Distribusi karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan dapat

dilihat pada tabel 5.3.


58

Tabel 5.3
Distribusi Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan di
Wilayah Pesisir Kecamatan Tallo Kota Makassar
(Wilayah Kerja Puskesmas Rappokalling)
Tingkat TB Paru
Pendidikan Kasus Kontrol n %
n % n %
Tidak sekolah / 6 10,3 9 15,5 15 12,9
tidak tamat SD
Tamat SD 21 36,2 14 24,1 35 30,2
Tamat SMP 9 15,5 10 17,2 19 16,4
Tamat SMA 19 32,8 24 41,4 43 37,1
Tamat PT 3 5,2 1 1,7 4 3,4
Total 58 100,0 58 100,0 116 100,0
Sumber: Data Primer, 2018

Tingkat pendidikan terakhir yang dimiliki responden sangat bervariasi.

Pada kelompok kasus tingkat pendidikan tertinggi yaitu tamat SD sebanyak 21

responden atau sebesar 36,5% dan terendah adalah tamat perguruan tinggi

sebanyak 3 responden atau sebesar 5,2%. Sedangkan pada kelompok control

tingkat pendidikan tertinggi adalah tamat SMA sebanyak 24 responden atau

sebesar 41,4% dan terendah adalah tamat perguruan tinggi sebanyak 1 responden

atau sebesar 1,7%.

Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan seseorang berpengaruh terhadap

kejadian penyakit TB paru. Pemahaman dan pengetahuan seseorang terhadap

suatu penyakit tentu tidak lepas dari tingkat pendidikan yang dimilikinya.

d. Distribusi Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan

Pekerjaan pada umumnya memiliki kemungkinan terhadap keterpaparan

terhadap suatu penyakit atau kecelakaan kerja, seberapa besar tingkat

keterpaparannya, serta besar risiko yang diperoleh berdasarkan jenis pekerjaan


59

yang dilakukan, lingkungan kerja, serta tingkat sosial ekonomi pada pekerjaan

tersebut.

Distribusi karakteritik responden berdasarkan jenis pekerjaan dalam

penelitian ini dapat dilihat pada tabel 5.4.

Tabel 5.4
Distribusi Karakteristik Responden Berdasarkan
Pekerjaan di Wilayah Pesisir Kecamatan Tallo Kota
Makassar (Wilayah Kerja Puskesmas Rappokalling)
Pekerjaan TB Paru
Kasus Kontrol n %
n % n %
Tidak bekerja 8 13,8 4 6,9 12 10,3
IRT 14 24,1 17 29,3 31 26,7
Nelayan 1 1,7 2 3,4 3 2,6
Buruh 5 8,6 4 6,9 9 7,8
Wiraswasta 9 15,5 15 25,9 24 20,7
Ojek / Bentor 3 5,2 2 3,4 5 4,3
Pegawai 8 13,8 9 15,5 17 14,7
swasta
PNS 3 5,2 3 5,2 6 5,2
Pelajar 7 12,1 2 3,4 9 7,8
Total 58 100,0 58 100,0 116 100,0
Sumber: Data Primer, 2018

Berdasarkan tabel 5.4 dapat diketahui bahwa pada kelompok kasus

tertinggi memiliki pekerjaan sebagai IRT sebanyak 14 responden (24,1%)

sedangkan terendah yaitu nelayan sebanyak 1 responden (1,7%). Sedangkan pada

kelompok control tertinggi yaitu IRT sebanyak 17 responden (29,3%) dan

terendah yaitu pada jenis pekerjaan nelayan, tukang ojek/bentor, dan pelajar.

Kurangnya kelompok nelayan yang terkena penyakit TB paru khususnya

di wilayah pesisir seperti Kecamatan Tallo bisa saja diakibatkan oleh

berkurangnya
60

masyarakat pesisir yang bekerja sebagai nelayan. Hal ini dikarenakan banyaknya

warga yang beralih profesi menjadi buruh dan pegawai swasta di daerah tersebut

karena tingginya pembangunan industri dan perusahaan-perusahaan baru yang

banyak menyerap tenaga kerja serta pembangunan pelabuhan baru menyebabkan

pekerjaan nelayan tidak lagi diminati warga setempat.

e. Distribusi Karakteristik Responden Berdasarkan Kelurahan Tempat

Tinggal Distribusi karakteristik responden berdasarkan kelurahan tempat

tinggal

dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel 5.5.

Tabel 5.5
Distribusi Karakteristik Responden Berdasarkan Kelurahan Tempat Tinggal
di Wilayah Pesisir Kecamatan Tallo Kota Makassar
(Wilayah Kerja Puskesmas Rappokalling)
Kelurahan TB Paru
Kasus Kontrol n %
n % n %
Rappokalling 32 55,2 32 55,2 64 55,2
Tammua 6 10,3 6 10,3 12 10,3
Buloa 7 12,1 7 12,1 14 12,1
Tallo 13 22,4 13 22,4 26 22,4
Total 58 100,0 58 100,0 116 100,0
Sumber: Data Primer, 2018

Berdasarkan tabel 5.5 dapat diketahui bahwa kelompok kasus dan

kelompok control tertinggi berada pada Kelurahan Rappokalling sebesar 32

responden (55,2%) pada masing-masing kelompok. Hal ini disebabkan karena

lokasi puskesmas yang dekat sehingga tingkat pemeriksaan kesehatan juga tinggi,

namun berbeda dengan Kelurahan Tammua yang juga berada tidak jauh dengan

Puskesmas Rappokalling yang hanya memiliki 6 responden di masing-masing

kelompok kasus dan control. Hal ini disebabkan pemukiman penduduk di

Kelurahan Rappokalling yang beberapa diantaranya tergolong kumuh dan

berhimpitan sehingga penyebaran penyakit di daerah tersebut sangat tinggi.


61

Hal yang sama juga terjadi pada Kelurahan Tallo yang memiliki

pemukiman padat serta kumuh namun lokasi yang berada jauh dari puskesmas

(lebih dari 4 km) sehingga tingkat pemerikasaan kesehatan jauh lebih sedikit

dibanding warga yang berada di Kelurahan Rappokalling.

f. Distribusi Responden Berdasarkan Kepadatan Hunian

Luas lantai bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni di

dalamnya, artinya luas lantai bangunan rumah tersebut harus disesuaikan dengan

jumlah penghuni rumah agar tidak menyebabkan overload. Persyaratan kepadatan

hunian untuk seluruh rumah biasanya dinyatakan dalam m 2/orang. Dalam

penelitian ini, kepadatan hunian dinyatakan telah memenuhi syarat apabila ≥ 10

m2/orang, sedangkan kepadatan hunian dikatakan tidak memenuhi syarat apabila <

10 m2/orang.

Distribusi responden berdasarkan kepadatan hunian dalam penelitian ini

dapat dilihat pada tabel 5.6.

Tabel 5.6
Distribusi Responden Berdasarkan Kepadatan Hunian
di Wilayah Pesisir Kecamatan Tallo Kota Makassar
(Wilayah Kerja Puskesmas Rappokalling)
Kepadatan TB Paru
Hunian Kasus Kontrol n %
n % n %
Tidak 30 51,7 19 32,8 49 42,2
memenuhi
syarat
Memenuhi 28 48,3 39 67,2 67 57,8
syarat
Total 58 100,0 58 100,0 116 100,0
Sumber: Data Primer, 2018
62

Tabel 5.6 menyajikan informasi terkait kepadatan hunian tempat tinggal

responden. Pada kelompok kasus 51,7% atau sebanyak 30 responden diantaranya

memiliki kepadatan hunian yang tidak memenuhi syarat, sedangkan pada

kelompok kontrol terdapat 39 responden atau sebesar 67,2% diantaranya memiliki

kepadatan hunian yang memenuhi syarat.

g. Distribusi Responden Berdasarkan Keluarga Miskin

Berdasarkan tingkat sosial ekonominya, responden dikategorikan kedalam

dua yaitu keluarga miskin dan keluarga tidak miskin. Penentuan keluarga miskin

dalam penelitian ini ditentukan berdasarkan rumusan yang dibuat oleh BPS tahun

2014 yang terdiri dari 14 kriteria, dimana jika rumah tangga responden memenuhi

9 dari 14 kriteria tersebut maka responden tersebut dinyatakan kedalam kategori

keluarga miskin. Sebaliknya jika tidak memenuhi 9 kriteria maka responden

dinyatakan ksebagai keluarga tidak miskin.

Distribusi responden berdasarkan keluarga miskin dalam penelitian ini

dapat dilihat pada tabel 5.7.

Tabel 5.7
Distribusi Responden Berdasarkan Keluarga Miskin
di Wilayah Pesisir Kecamatan Tallo Kota Makassar
(Wilayah Kerja Puskesmas Rappokalling)
Keluarga TB Paru
Miskin Kasus Kontrol n %
n % n %
Ya 19 32,8 5 8,6 24 20,7
Tidak 39 67,2 53 91,4 92 79,3
Total 58 100,0 58 100,0 116 100,0
Sumber: Data Primer, 2018
63

Tabel 5.7 memberikan informasi mengenai status ekonomi keluarga

responden yang dikategorikan ke dalam keluarga miskin dan keluarga tidak

miskin. Pada kelompok kasus terdapat 32,8% atau sebanyak 19 responden yang

merupakan keluarga miskin, sedangkan pada kelompok control hanya terdapat

8,6% atau sebanyak 5 responden yang merupakan keluarga miskin.

Berdasarkan data yang berhasil dikumpulkan di lapangan, ditemukan

keluarga miskin yang memiliki kepadatan hunian < 8 m 2/orang sebesar 58,3%,

lantai rumah terbuat dari tanah/bambu/kayu sebesar 91,7%, dinding rumah terbuat

dari kayu/bambu/tembok tanpa plester sebesar 100%, tidak punya fasilitas

BAB/bersama rumah tangga lain sebesar 41,7%, sumber penerangan tidak

menggunakan listrik 0%, sumber air minum yang tidak terlindungi 4,2%,

penggunaan bahan bakar memasak seperti kayu/minyak tanah 0%, konsumsi

daging/ayam/susu hanya sekali atau kurang dalam seminggu sebesar 100%,

membeli hanya 1 stel pakaian baru untuk tiap anggota rumah tangga dalam

setahun sebesar 100%, makan hanya 1-2 kali dalam sehari sebesar 100%, tidak

sanggup membayar biaya pengobatan/hanya menggunakan subsidi pemerintah

sebesar 100%, penghasilan kepala rumah tangga yang rendah sebesar 91,7%,

pendidikan kepala rumah tangga yang rendah (tidak sekolah/tamat SD) sebesar

87,5%, tidak memiliki barang modal sebesar 45,8% (Lampiran 4).

Selain itu ditemukan pula bahwa terdapat 62,5% responden dengan status

keluarga miskin yang memiliki kepadatan hunian yang tidak memenuhi syarat,

sedangkan responden yang merupakan keluarga tidak miskin hanya terdapat

37,0% yang kepadatan huniannya tidak memnuhi syarat. Berdasarkan tingkat

pendidikan
64

responden, ditemukan bahwa dari 24 responden yang berstatus keluarga miskin,

terdapat 70,8% yang memiliki tingkat pendidikan rendah (tidak sekolah/tamat

SD), 8,3% yang tingkat pendidikannya sedang (tamat SMP), dan 20,8% dengan

tingkat pendidikan tinggi (tamat SMA/PT). (Lampiran 4).

Data diatas juga menunjukkan sebagian besar responden yang memiliki

status ekonomi keluarga miskin mengalami kejadian penyakit TB paru, sedangkan

responden yang memiliki status ekonomi keluarga tidak miskin sebagian besar

tidak mengalami penyakit TB paru.

h. Distribusi Responden Berdasarkan Perilaku Merokok

Perilaku merokok dalam penelitian ini dibagi kedalam dua kategori yaitu

kelompok perokok, yaitu responden yang merokok (perokok aktif), responden

yang telah berhenti merokok (pernah merokok tapi sudah berhenti karena alasan

kesehatan) dan responden yang memiliki anggota rumah tangga yang merokok

(perokok pasif), serta kelompok bukan perokok.

Distribusi responden berdasarkan perilaku merokok dalam penelitian ini

dapat dilihat pada tabel 5.8.

Tabel 5.8
Distribusi Responden Berdasarkan Perilaku Merokok
di Wilayah Pesisir Kecamatan Tallo Kota Makassar
(Wilayah Kerja Puskesmas Rappokalling)
Status TB Paru
Merokok Kasus Kontrol n %
n % n %
Perokok 51 87,9 42 72,4 93 80,2
Bukan 7 12,1 16 27,6 23 19,8
perokok
Total 58 100,0 58 100,0 116 100,0
Sumber: Data Primer, 2018
65

Tabel 5.8 menunjukkan bahwa pada kelompok kasus terdapat 51

responden atau sebesar 87,9% memiliki status sebagai perokok, sedangkan pada

kelompok control terdapat 72,4% atau sebanyak 42 responden yang memiliki

status perokok. Sementara pada kelompok bukan perokok hanya terdapat 7

responden atau sebesar 12,1% dari kelompok kasus.

Tabel 5.8 menunjukkan status perilaku merokok responden dengan melihat

perilaku merokok responden dan adanya anggota rumah tangga responden yang

merokok atau tidak. Hal ini dijadikan sebagai indikator dalam menentukan apakah

responden yang tidak merokok digolongkan sebagai kelompok perokok (pasif)

bila responden tersebut memiliki anggota rumah tangga yang merokok. Dari data

yang berhasil dikumpulkan, ditemukan responden yang merupakan perokok aktif

sebanyak 42 responden (37,9% pada kelompok kasus dan 34,5% pada kelompok

kontrol), perokok pasif sebanyak 51 responden (50% pada kelompok kasus dan

37,9% pada kelompok kontrol). (Lampiran 4).

i. Distribusi Responden Berdasarkan Riwayat Kontak

Ada tidaknya riwayat kontak TB paru terhadap responden dalam penelitian

ini ditentukan berdasarkan ada tidaknya anggota rumah tangga responden yang

pernah menderita penyakit TB paru BTA (+). Distribusi responden berdasarkan

riwayat kontak dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel 5.9.
66

Tabel 5.9
Distribusi Responden Berdasarkan Riwayat Kontak
di Wilayah Pesisir Kecamatan Tallo Kota Makassar
(Wilayah Kerja Puskesmas Rappokalling)
Riwayat TB Paru
Kontak Kasus Kontrol n %
n % n %
Ada 21 36,2 2 3,4 23 19,8
Tidak ada 37 63,8 56 96,6 93 80,2
Total 58 100,0 58 100,0 116 100,0
Sumber: Data Primer, 2018

Tabel 5.9 menunjukkan ada tidaknya riwayat kontak responden

sebelumnya dengan penderita TB paru yang merupakan anggota rumah tangga

responden. Dari tabel tersebut didapatkan informasi bahwa pada kelompok kasus

terdapat 21 responden atau 36,2% yang memiliki riwayat kontak dengan penderita

TB paru. Jika dibandingkan dengan kelompok control terdapat perbedaan yang

sangat besar dimana hanya terdapat 2 responden atau sebesar 3,4% responden

yang memiliki riwayat kontak penderita TB paru dan 56 responden atau 96,6%

responden pada kelompok control tidak memiliki riwayat kontak terhadap

penderita TB paru.

j. Distribusi Responden Berdasarkan Jarak Rumah dengan Fasilitas

Pelayanan Kesehatan

Jarak rumah responden dari Puskesmas Rappokalling dikatakan jauh apabila

> 3 km, sedangkan responden yang memiliki rumah yang berada < 3 km dari

Puskesmas Rappokalling dikategorikan sebagai jarak dekat. Hal ini dlakukan

karena dari empat kelurahan yang berada dalam wilayah kerja Puskesmas

Rappokalling, dua diantaranya berada pada jarak yang jauh (3 – 6 km).

Distribusi responden berdasarkan jarak rumah ke fasilitas pelayanan

kesehatan dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel 5.10.


67

Tabel 5.10
Distribusi Responden Berdasarkan Jarak Rumah ke Fasilitas Pelayanan
Kesehatan di Wilayah Pesisir Kecamatan Tallo
Kota Makassar (Wilayah Kerja Puskesmas Rappokalling)
Jarak Rumah TB Paru
Kasus Kontrol n %
n % n %
Jauh 20 34,5 19 32,8 39 33,6
Dekat 38 65,5 39 67,2 77 66,4
Total 58 100,0 58 100,0 116 100,0
Sumber: Data Primer, 2018

Tabel 5.10 memberikan informasi mengenai jarak rumah responden

terhadap fasilitas pelayanan kesehatan yaitu Puskesmas Rappokalling. Pada

kelompok kasus terdapat 20 responden (34,5%) yang memiliki rumah dengan

jaraka yang jauh dari Puskesmas Rappokalling, sedangkan pada kelompok control

terdapat 19 (32,8%) responden yang memiliki rumah dengan jarak yang jauh dari

Puskesmas Rappokalling. Perbedaan antara kedua kelompok ini tidak terlalu

signifikan. Hal tersebut dikarenakan pengambilan kelompok control (suspek TB

paru) dilakukan dengan matching RW kelompok kasus (penderita TB paru)

sehingga hanya terdapat perbedaan yang kecil antara kelompok kasus dan

kelompok kontrol.

2. Analisis Bivariat

Analisis bivariat dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kemaknaan

hubungan dan besar risiko setiap variabel independen terhadap kejadian penyakit

TB paru. Penilaian besar risiko dilakukan menggunakan analisis odd ratio (OR)

dengan confident interval 95%.


68

Analisis tabel silang (crosstabs) menjadi awal pada tahap analisis bivariat

yang dilakukan. Hasil analisis tersebut dapat menunjukkan distribusi frekuensi

dari setiap kategori variabel independen pada masing-masing kelompok sampel,

kasus dan kontrol. Selanjutnya dapat dilihat nilai odds ratio, nilai lower limit (LL)

dan upper limit (UL) untuk melihat besar risiko masing-masing variabel dan

kebermaknaan hubungan variabel independen terhadap variabel dependent.

Hasil analisis variabel dependent dan variabel independent dapat dilihat

pada tabel tersebut.

Tabel 5.11
Besar Risiko Variabel Independen terhadap Kasus dan Kontrol
di Wilayah Pesisir Kecamatan Tallo Kota Makassar
(Wilayah Kerja Puskesmas Rappokalling)
Kasus Kontrol Total 95% CI
Variabel Independen OR
n % n % n % (LL-UL)
Kepadatan Hunian
1,036-
Tidak Memenuhi 30 51,7 19 32,8 49 42,2 2,199
4,666
Memenuhi Syarat 28 48,3 39 67,2 67 57,8
Keluarga Miskin
1,774-
Ya 19 32,8 5 8,6 24 20,7 5,164
15,031
Tidak 39 67,2 53 91,4 92 79,3
Perilaku Merokok
1,044-
Perokok 51 87,9 42 72,4 93 80,2 2,776
7,377
Bukan Perokok 7 12,1 16 27,6 23 19,8
Riwayat Kontak
3,515-
Ada Riwayat 21 36,2 2 3,4 23 19,8 15,892
71,843
Tidak Ada Riwayat 37 63,8 56 96,6 93 80,2
Jarak Rumah
0,500-
Jauh 20 34,5 19 32,8 39 33,6 1,080
2,335
Dekat 38 65,5 39 67,2 77 66,4
Total 58 100 58 100 116 100
Sumber: Data Primer, 2018

Berdasarkan tabel 5.11, dari 49 responden yang memiliki kepadatan

hunian yang tidak memenuhi syarat lebih banyak pada kelompok kasus yaitu 30

orang (51,7%) dibandingkan pada kelompok kontrol yaitu 19 orang (32,8%).

Sedangkan responden yang memiliki kepadatan hunian yang memenuhi syarat

lebih banyak
69

pada kelompok kontrol yaitu 39 orang (67,2%) dibandingkan pada kelompok

kasus yaitu 28 orang (48,3%). Berdasarkan hasil uji statistik dengan tingkat

kepercayaan 95%, diperoleh nilai OR = 2,199 dengan interval nilai LL – UL =

1,036 – 4,666. Nilai yang diperoleh menunjukkan bahwa variabel kepadatan

hunian merupakan faktor risiko terhadap kejadian penyakit TB paru serta nilai LL

dan UL tidak mencakup nilai 1 sehingga nilai OR yang diperoleh bermakna secara

statistik.

Variabel keluarga miskin menunjukkan bahwa responden yang memiliki

status keluarga miskin lebih banyak terdapat pada kelompok kasus yaitu 19 orang

(32,8%) dibandingkan pada kelompok kontrol yaitu 5 orang (8,6%). Sedangkan

responden yang memiliki status keluarga tidak miskin lebih banyak terdapat pada

kelompok kontrol yaitu 53 orang (91,4%) dibandingkan dengan kelompok kasus

yaitu 39 orang (67,2%). Hasil uji statistic menunjukkan nilai OR = 5,164 pada

interval LL - UL = 1,774 – 15,031 dengan tingkat kepercayaan 95%. Nilai yang

diperoleh menunjukkan bahwa variabel keluarga miskin merupakan faktor risiko

kejadian TB paru dan bermakna secara statistik.

Variabel perilaku merokok menujukkan bahwa responden yang memiliki

status perokok lebih banyak terdapat pada kelompok kasus yaitu 51 orang (87,9%)

dibandingkan pada kelompok kontrol yaitu 42 orang (72,4%). Sedangkan

responden yang memiliki status bukan perokok lebih banyak terdapat pada

kelompok kontrol yaitu 16 orang (27,6%) dibandingkan dengan kelompok kasus

yaitu 7 orang (12,1%). Hasil uji statistik menunjukkan nilai OR = 2,776 pada

interval LL – UL = 1,044 – 7,377 dengan tingkat kepercayaan 95%. Nilai yang


70

diperoleh menunjukkan bahwa variabel perilaku merokok merupakan faktor risiko

kejadian penyakit TB paru dan bermakna secara statistik.

Variabel riwayat kontak menunjukkan bahwa responden yang memiliki

riwayat kontak dengan penderita TB paru lebih banyak terdapat pada kelompok

kasus yaitu 21 orang (36,2%) dibandingkan pada kelompok kontrol yaitu 2 orang

(3,4%). Sedangkan responden yang tidak memiliki riwayat kontak lebih banyak

terdapat pada kelompok kontrol yaitu 56 orang (96,6%) dibandingkan pada

kelompok kasus yaitu 37 orang (63,8%). Hasil uji statistik menunjukkan nilai OR

= 15,892 pada interval LL – UL = 3,515 – 71,843 dengan tingkat kepercayaan

95%. Nilai yang diperoleh menunjukkan bahwa variabel riwayat kontak

merupakan faktor risiko terhadap kejadian penyakit TB paru dan bermakna secara

statistik.

Variabel jarak rumah ke fasilitas pelayanan kesehatan menunjukkan bahwa

responden yang memiliki tempat tinggal yang jauh lebih banyak terdapat pada

kelompok kasus yaitu 20 orang (34,5%) dibandingkan pada kelompok kontrol

yaitu 19 orang (32,8%). Sedangkan responden yang memiliki tempat tinggal yang

dekat lebih banyak terdapat pada kelompok kontrol yaitu 39 orang (67,2%)

dibandingkan pada kelompok kasus yaitu 38 orang (65,5%). Hasil uji statistik

menunjukkan nilai OR = 1,080 pada interval LL – UL = 0,500 – 2,335 dengan

tingkat kepercayaan 95%. Nilai yang diperoleh menunjukkan bahwa variabel

jarak rumah ke fasilitas pelayanan kesehatan merupakan faktor risiko terhadap

kejadian penyakit TB paru dan tidak bermakna secara statistik.


71

B. Pembahasan

Berdasarkan hasil analisis yang telah diperoleh, maka hubungan variabel

independen dan variabel dependen akan dibahas sebagai berikut.

1. Kepadatan Hunian terhadap Kejadian Penyakit TB Paru

Kepadatan hunian merupakan perbandingan antara luas lantai bangunan

rumah terhadap penghuni di dalamnya. Luas lantai bangunan rumah sehat harus

cukup untuk penghuni di dalamnya, artinya luas lantai bangunan rumah tersebut

harus disesuaikan dengan jumlah penghuni rumah agar tidak menyebabkan

overload. Hal ini tidak sehat, sebab disamping menyebabkan kurangnya konsumsi

oksigen juga bila salah satu anggota keluarga terkena penyakit infeksi, akan

mudah menular kepada anggota keluarga yang lain (Notoatmodjo, 2005).

Persyaratan kepadatan hunian untuk seluruh rumah biasanya dinyatakan

dalam m2/orang. Luas minimum per orang sangat relative bergantung dari kualitas

bangunan dan fasilitas yang tersedia. Untuk rumah sederhana yang luasnya

minimum 10 m2/orang. Untuk kamar tidur diperlukan luas lantai minimum 3

m2/orang. Untuk mencegah penularan penyakit pernapasan, jarak antara tepi

tempat tidur yang satu dengan yang lainnya minimum 90 cm. kamar tidur

sebaiknya tidak dihuni lebih dari dua orang, kecuali untuk suami istri dan anak di

bawah 2 tahun (Kepmenkes, 1999). Untuk menjamin volume udara yang cukup,

disyaratkan juga langit-langit minimum tingginya 2,75 m.

Tabel 5.11 menunjukkan bahwa dari 49 responden yang memiliki

kepadatan hunian yang tidak memenuhi syarat lebih banyak terdapat pada

kelompok kasus
72

yaitu 30 orang (51,7%) dibandingkan pada kelompok kontrol yaitu 19 orang

(32,8%).

Berdasarkan hasil uji statistik dengan tingkat kepercayaan 95%, diperoleh

nilai OR = 2,199 dengan interval nilai LL – UL = 1,036 – 4,666. Hal tersebut

menunjukkan bahwa responden yang memiliki kepadatan hunian yang tidak

memenuhi syarat (< 10 m2/orang) memiliki risiko 2,199 kali lebih besar terkena

penyakit TB paru dibandingkan dengan responden yang memiliki kepadatan

hunian memenuhi syarat dan bermakna secara statistik.

Berdasarkan data yang dikumpulkan ditemukan bahwa dari 23 responden

yang memiliki riwayat kontak serumah 78,3% diantaranya memiliki kepadatan

hunian yang tidak memenuhi syarat, sedangkan dari 93 responden yang tidak

memiliki riwayat kontak serumah terdapat 33,3% responden yang memiliki

kepadatan hunian yang tidak memenuhi syarat (Lampiran 4). Hal ini menunjukkan

bahwa kepadatan hunian tidak berpengaruh langsung terhadap kejadian penyakit

TB paru, tetapi berpengaruh sangat besar terhadap penularan penyakit TB paru di

dalam rumah. Perbedaan antara responden yang memiliki kepadatan hunian tidak

memenuhi syarat dengan responden yang kepadatan huniannya memenuhi syarat

pada kelompok kasus sangat kecil, dikarenakan tidak adanya sumber penularan

kuman TB paru di dalam rumah.

Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh

Agustina dkk (2015) yang menunjukkan bahwa faktor-faktor yang terbukti

berpengaruh sebagai faktor risiko kejadian penyakit TB paru yaitu salah satunya

ialah faktor kepadatan hunian (p=0,002).


73

2. Keluarga Miskin terhadap Kejadian Penyakit TB Paru

Keadaan sosial ekonomi berkaitan erat dengan pendidikan, keadaan

sanitasi lingkungan, status gizi, dan akses terhadap pelayanan kesehatan.

Penurunan pendapatan dapat menyebabkan kurangnya daya beli dalam memenuhi

konsumsi makanan sehingga akan berpengaruh terhadap status gizi. Apabila status

gizi buruk maka akan menyebabkan kekebalan tubuh yang menurun sehingga

memudahkan terkena infeksi TB paru.

WHO (2003) menyebutkan penderita TB paru di dunia menyerang

kelompok sosial ekonomi lemah atau miskin. Walaupun tidak berhubungan secara

langsung namun dapat merupakan penyebab tidak langsung seperti adanya kondisi

gizi memburuk, perumahan tidak sehat, dan kemampuan dalam akses pelayanan

kesehatan menurun. Menurut perhitungan, rata-rata penderita TB kehilangan 3-4

bulan waktu kerja dalam setahun. Mereka juga kehilangan penghasilan setahun

secara total mencapai 30% dari pendapatan rumah tangga (Ahmadi, 2005).

Hasil penelitian di wilayah pesisir Kecamatan Tallo Kota Makassar

menunjukkan bahwa responden yang memiliki status keluarga miskin lebih

banyak terdapat pada kelompok kasus yaitu 19 orang (32,8%) dibandingkan pada

kelompok kontrol yaitu 5 orang (8,6%). Sedangkan responden yang memiliki

status keluarga tidak miskin lebih banyak terdapat pada kelompok kontrol yaitu 53

orang (91,4%) dibandingkan dengan kelompok kasus yaitu 39 orang (67,2%).

Hasil uji statistik menunjukkan nilai OR = 5,164 pada interval LL - UL =

1,774 – 15,031 dengan tingkat kepercayaan 95%. Hal tersebut menunjukkan bahwa

anggota rumah tangga dengan status keluarga miskin meiliki risiko 5,164 kali
lebih
74

besar terhadap kejadian penyakit TB paru dibandingkan dengan anggota rumah

tangga dengan status keluarga sejahterea atau tidak miskin dan bermakna secara

statistik.

Berdasarkan kriteria yang digunakan dalam menentukan status keluarga

miskin selama proses penelitian, peneliti dapat melihat bahwa ada beberapa

kriteria yang masih perlu dievaluasi dan harus dirancang terlebih dahulu untuk

memenuhi kebutuhan penelitian pada saat ini, diantaranya kriteria sumber air

minum, kriteria sumber penerangan listrik, dan kriteria bahan bakar memasak. Hal

ini dikarenakan semua responden yang diteliti tidak menggunakan kayu bakar

atau minyak tanah lagi tapi menggunakan tabung gas LPG 3 kg yang juga

merupakan salah satu bantuan/subsidi pemerintah. Pada kriteria sumber

penerangan listrik, semua rumah sudah teraliri listrik namun peneliti tidak

mempertimbangkan beban biaya penggunaan listrik setiap rumah responden atau

melihat ada tidaknya responden yang menggunakan listrik secara illegal.

Sedangkan pada kriteria sumber air minum, peneliti tidak menggali lebih dalam

informasi mengenai sumber air minumnya, apakah biaya PDAM atau sumur bor

ditanggung sendiri oleh responden atau responden mengambilnya dari bantuan

pemerintah atau tetangga sekitarnya.

Walaupun penelitian mengenai status kemiskinan terhadap kejadian

penyakit TB paru masih sedikit dan memang tidak menimbulkan efek secara

langsung, namun beberapa penelitian sebelumnya yang dilakukan untuk melihat

hubungan status gizi, pendapatan rumah tangga, jenis bangunan tempat tinggal,

kaitan yang erat dengan status kemiskinan keluarga.


75
serta jenis dinding dan lantai rumah terhadap kejadian penyakit TB paru memiliki

kaitan yang erat dengan status kemiskinan keluarga.


75

Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Rukmini

(2011) menggunakan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010 dimana

didapatkan hasil bahwa status gizi buruk lebih banyak ditemukan pada penderita

TB paru, pendapatan rumah tangga yang kecil juga banyak ditemukan pada rumah

tangga penderita TB paru, serta jenis lantai dan dinding rumah yang tidak

memenuhi syarat ditemukan lebih banyak pada rumah tangga penderita TB paru.

Hal ini menunjukkan status kemiskinan keluarga berdampak secara tidak langsung

terhadap kejadian penyakit TB paru di Indonesia.

Hal yang sama juga didapatkan pada penelitian yang dilakukan oleh

Mulyadi (2011) di pesisir pantai Aceh barat daya, dimana ditemukan bahwa

sebagian besar penderita TB paru di daerah tersebut memiliki pendapatan yang

sedang dan rendah. Pada penelitian tersebut juga ditemukan bahwa status gizi

penderita TB paru sebagian besar berada pada status gizi buruk dan status gizi

kurang.

3. Perilaku Merokok terhadap Kejadian Penyakit TB Paru

Perilaku seseorang yang berhubungan dengan penyakit TB adalah perilaku

yang mempengaruhi atau menjadikan seseorang untuk mudah terinfeksi atau

tertular kuman TB misalnya kebiasaan membuka jendela setiap hari, menutup

mulut bila batuk atau bersin, meludah sembarangan, merokok, dan kebiasaan

menjemur kasur ataupun bantal (Suarni, 2009).

Merokok dapat diketahui mempunyai hubungan dengan peningkatan risiko

untuk mendapatkan kanker paru-paru, penyakit jantung koroner, bronchitis kronik,

dan kanker kandung kemih. Kebiasaan merokok juga meningkatkan risiko untuk
76

terkena TB paru sebanyak 2,2 kali. Pada tahun 1973 konsumsi rokok di Indonesia

per orang per tahun adalah 230 batang, relatif lebih rendah dibandingkan dengan

430 batang/orang/tahun di Sierra Leon, 480 batang/orang/tahun di Ghana, dan 760

batang/orang/tahun di Pakistan (Ahmadi, 2005). Prevalensi merokok pada hampir

semua negara berkembang lebih dari 50% terjadi pada laki-laki dewasa,

sedangkan wanita perokok kurang dari 5%.

Erlina Burhan (dokter spesialis paru Rumah Sakit Persahabatan)

menyatakan merokok tidak menyebabkan TB paru secara langsung. Hanya saja,

asap rokok bisa merusak saluran pernafasan, khususnya rambut getar yang ada di

saluran pernafasan. Rambut getar ini berfungsi sebagai penyaring debu atau

partikel asing yang masuk saat kita menarik nafas. Karena rontok, maka tidak ada

lagi penyaring debu dan partikel asing sehingga udara yang belum bersih ini bisa

mengganggu system pernafasan seseorang.

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes)

Kementerian Kesehatan RI, Tjandra Yoga Aditama mengatakan, salah satu yang

bisa membangkitkan kuman TB adalah merokok. Guru Besar Ilmu Paru Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia ini mengatakan, perokok lebih rentan tertular

TB. Racun-racun dalam asap rokok dapat merusak paru-paru manusia dan

menurunkan daya tahan tubuh. Akibatnya, tubuh tak dapat menangkal kuman TB

dan mengaktifkan kuman TB laten. Pasien TB harus berhenti merokok. Jika tidak,

maka TB akan sulit disembuhkan atau menjadi semakin parah.

Hal senada juga dikemukakan oleh Dr. Stanton Glantz (Direktur Pusat

Pendidikan dan Penelitian Pengendalian Penggunaan Tembakau di Universitas


77

California) yang mengatakan bahwa merokok mengurangi kekebalan tubuh dan

membuat orang yang terkena infeksi paru-paru akut bisa terkena bakteri TB dan

mungkin akan meninggal karenanya. Bertambah luasnya perkembangan

perusahaan-perusahaan rokok di negara-negara berkembang yang endemis TB

paru juga akan mempersulit penanggulangan penularan penyakit TB paru di

dunia.

Tabel 5.11 menunjukkan bahwa responden yang memiliki status perokok

lebih banyak terdapat pada kelompok kasus yaitu 51 orang (87,9%) dibandingkan

pada kelompok kontrol yaitu 42 orang (72,4%). Sedangkan responden yang

memiliki status bukan perokok lebih banyak terdapat pada kelompok kontrol yaitu

16 orang (27,6%) dibandingkan dengan kelompok kasus yaitu 7 orang (12,1%).

Hasil uji statistik menunjukkan nilai OR = 2,776 pada interval LL – UL =

1,044 – 7,377 dengan tingkat kepercayaan 95%. Hal ini menunjukkan bahwa

kelompok perokok (baik perokok aktif maupun perokok pasif) memiliki risiko

2,776 kali lebih besar terhadap kejadian penyakit TB paru dibandingkan

kelompok bukan perokok dan bermakna secara statistik.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Made Agus Nurjana (2015) pada

kelompok usia produktif menunjukkan risiko perokok aktif lebih besar

dibandingkan dengan perokok pasif maupun kelompok bukan perokok.

Namun dalam beberapa penelitian lainnya didapatkan hasil yang berbeda.

Seperti dalam penelitian yang dilakukan oleh Ardhitya dan Liena (2014)

menunjukkan tidak ada hubungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian

jumlah responden yang merokok lebih sedikit dibandingkan yang tidak merokok.
78
tuberkulosis di Puskesmas Depok 3 Kabupaten Sleman. Hal ini dapat terjadi karena

jumlah responden yang merokok lebih sedikit dibandingkan yang tidak merokok.
78

Hal ini disebabkan responden yang diteliti pernah merokok namun sudah berhenti

ketika terkena TB paru dan tidak merokok kembali. Hal ini sesuai dengan

penelitian yang menyatakan bahwa status kebiasaan merokok setiap hari tidak

memiliki hubungan dengan kejadian tuberkulosis dewasa di Kecamatan Semarang

Utara (Widyaswari, 2011). Hal ini dapat dianggap sebagai bias penelitian karena

pada beberapa kasus penelitian lainnya riwayat merokok (pernah merokok dan

sudah berhenti) maupun status perokok pasif tidak dicantumkan sehingga

kebiasaan merokok bisa saja tidak berpengaruh terhadap kejadian TB paru dalam

suatu penelitian.

4. Riwayat Kontak terhadap Kejadian Penyakit TB Paru

Variabel atau indikator yang paling dominan untuk memprediksi kejadian

TB paru adalah riwayat kontak dengan penderita TB. Hal ini memang sering

ditemui karena faktor utama seseorang dapat terinfeksi adalah setelah menghirup

udara yang mengandung droplet yang mengandung kuman yang ditularkan oleh

penderita TB paru BTA positif (Depkes RI, 2005).

Riwayat kontak yang dimaksud antara lain pernah tinggal serumah dengan

penderita TB paru, sehingga memungkinkan droplet kuman TB yang keluar lewat

bersin atau batuk penderita dapat terhirup bersama dengan oksigen di udara dalam

rumah oleh anggota keluarga lainnya sehingga sangat memudahkan terjadinya

proses penularan. Namun tidak semua yang mendapat riwayat kontak akan

terjangkit TB paru, tergantung pada seberapa kuat daya tahan tubuh seseorang

serta

menimbulkan gejala tuberkulosis.


79
dapat pula kuman TB tersebut dorman dalam tubuh seseorang sehingga tidak

menimbulkan gejala tuberkulosis.


79

Variabel riwayat kontak pada tabel 5.11 menunjukkan bahwa responden

yang memiliki riwayat kontak serumah dengan penderita TB paru lebih banyak

terdapat pada kelompok kasus yaitu 21 orang (36,2%) dibandingkan pada

kelompok kontrol yaitu 2 orang (3,4%). Sedangkan responden yang tidak

memiliki riwayat kontak lebih banyak terdapat pada kelompok kontrol yaitu 56

orang (96,6%) dibandingkan pada kelompok kasus yaitu 37 orang (63,8%).

Hasil uji statistik menunjukkan nilai OR = 15,892 pada interval LL – UL =

3,515 – 71,843 dengan tingkat kepercayaan 95%. Nilai yang diperoleh

menunjukkan bahwa adanya riwayat kontak serumah dengan penderita TB paru

memiliki risiko 15,892 kali lebih besar terhadap kejadian penyakit TB paru

dibandingkan dengan orang yang tidak mempunyai riwayat kontak serumah

dengan penderita TB paru dan bermakna secara statistik.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Ryana dkk (2012), terdapat 4,4%

kelompok kasus atau penderita TB paru mempunyai riwayat kontak atau tinggal

serumah sedangkan pada kelompok kontrol tidak ada (0%). Dalam penelitian yang

dilakukan oleh Eka Fitriani (2013) menunjukkan ada hubungan antara riwayat

kontak dengan kejadian TB paru. Tingkat penularan TB di lingkungan keluarga

penderita cukup tinggi, dimana seorang penderita dapat menularkan kepada 2-3

orang di dalam rumahnya, sedangkan besar risiko terjadinya penularan untuk

rumah tangga dengan penderita lebih dari satu orang adalah 4 kali lebih besar

dibandingkan dengan rumah tangga yang hanya satu orang penderita TB paru di
dalamnya.
80

Pada penelitian lainnya oleh Mahpudin dan Mahkota (2007) menunjukkan

bahwa sumber kontak serumah berhubungan secara bermakna dengan kejadian

TB paru BTA (+). Mereka yang tinggal serumah dengan kontak berisiko

menderita tuberculosis 3,16 kali lebih besar dibandingkan dengan mereka yang

tidak ada kontak serumah. Temuan ini sesuai dengan penelitian sebelumnya,

penelitian di Palembang kontak serumah berisiko 41,8 kali lebih besar daripada

mereka yang tanpa kontak serumah. Penelitian di Kabupaten Majalengka 8,59 kali

lebih besar dibandingkan dengan mereka yang tidak ada kontak serumah. Kontak

erat dengan penderita TB paru BTA (+) berisiko maksimum untuk terjadinya

infeksi. Keterlambatan dalam memberikan pengobatan akan memperbesar

kemungkinan terjadinya risiko penularan.

5. Jarak Rumah ke Fasilitas Pelayanan Kesehatan terhadap Kejadian Penyakit

TB Paru

Jarak rumah ke fasilitas atau tempat pelayanan kesehatan adalah seberapa

jauh lintasan yang ditempuh responden menuju tempat pelayanan kesehatan yang

meliputi rumah sakit, puskesmas, dan lainnya. Keterjangkauan masyarakat

termasuk jarak terhadap tempat pelayanan kesehatan akan mempengaruhi

pemilihan pelayanan kesehatan (Khudhori, 2012).

Selain itu jarak merupakan komponen kedua yang memungkinkan

seseorang untuk memanfaatkan pelayanan pengobatan. Salah satu pertimbangan

yang menentukan sikap individu memilih sumber perawatan adalah jarak tempat

tinggal ke sumber perawatan. Akses terhadap pelayanan kesehatan meliputi

keterjangkauan lokasi tempat pelayanan, jenis, dan kualitas pelayanan yang


81

tersedia. Aksesibilitas dapat dihitung dari waktu tempuh, jarak tempuh, jenis

transportasi, dan kondisi di pelayanan kesehatan, seperti jenis pelayanan

kesehatan, tenaga kesehatan yang tersedia, dan waktu pelayanan kesehatan.

Jarak dan waktu tempuh yang terlalu jauh juga memungkinkan penderita

TB paru untuk tidak melakukan pengobatan tuberkulosis bulanan di fasilitas

pelayanan kesehatan seperti puskesmas atau rumah sakit. Hal ini bisa terjadi

karena kurangnya edukasi, motivasi dan pemahaman yang dilakukan oleh petugas

kesehatan pada saat penderita TB paru melakukan pemeriksaan atau pengobatan

sebelumnya sehingga penderita kurang termotivasi untuk sembuh dari

penyakitnya.

Hasil penelitian yang dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Rappokalling

menunjukkan bahwa responden yang memiliki tempat tinggal yang jauh lebih

banyak terdapat pada kelompok kasus yaitu 20 orang (34,5%) dibandingkan pada

kelompok kontrol yaitu 19 orang (32,8%). Sedangkan responden yang memiliki

tempat tinggal yang dekat lebih banyak terdapat pada kelompok kontrol yaitu 39

orang (67,2%) dibandingkan pada kelompok kasus yaitu 38 orang (65,5%).

Hasil uji statistik menunjukkan nilai OR = 1,080 pada interval LL – UL =

0,500 – 2,335 dengan tingkat kepercayaan 95%. Nilai tersebut menunjukkan

bahwa responden yang memiliki rumah atau tempat tinggal yang jauh dari fasilitas

pelayanan kesehatan memiliki risiko 1,080 kali lebih besar terhadap kejadian

penyakit TB paru dibandingkan dengan mereka yang memiliki tempat tinggal

yang dekat dengan fasilitas pelayanan kesehatan namun hasil tersebut tidak

bermakna secara statistik.


82

Hal ini terjadi karena metode pengambilan sampel yang digunakan yaitu

dengan matching tempat (RW dalam satu kelurahan yang sama) sehingga jumlah

sampel pada kelompok kasus dan kelompok kontrol berdasarkan jarak rumah

terhadap Puskesmas Rappokalling tidak jauh berbeda sehingga hasilnya tidak

bermakna secara statistik.

Hasil di atas tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Bertin

(2011) yang menunjukkan nilai rata-rata jarak tempat asal pasien ke fasilitas

pengobatan adalah 56,98 km. Pasien terus diberikan edukasi dan motivasi oleh

petugas kesehatan sehingga mereka memiliki keinginan yang kuat untuk sembuh

dan rela menempuh jarak yang jauh untuk berobat di fasilitas kesehatan yang

lebih baik. Hal ini menunjukkan bahwa walaupun fasilitas pelayanan kesehatan

berada dalam jarak yang dekat namun apabila fasilitas atau tenaga kesehatannya

memiliki kinerja dengan kualitas yang buruk hal itu dapat mempengaruhi tingkat

keinginan penderita untuk datang berobat ke tempat tersebut.

Penelitian yang dilakukan oleh Eka Fitriani (2013), menunjukkan bahwa

kejadian TB paru di wilayah kerja Puskesmas Ketanggungan banyak ditemukan

pada jarak dekat atau ≤ 5 km dari puskesmas yaitu 75,8%. Hal ini dikarenakan

pada penderita TB paru yang jarak rumahnya jauh atau > 5 km tidak

memeriksakan diri dan berobat di puskesmas sehingga tidak tercatat dalam rekam

medik puskesmas. Hal ini terjadi jika jarak yang ditempuh terlalu jauh dan tenaga

kesehatan di puskesmas tersebut tidak melakukan kegiatan penyuluhan atau

edukasi khususnya mengenai penyakit TB paru di daerah-daerah yang jauh atau

terpencil di wilayah kerjanya sehingga kesadaran masyarakat terhadap kesehatan

mereka serta
83

keikutsertaan mereka dalam pemeriksaan kesehatan di puskesmas jauh lebih

sedikit sehingga puskesmas tersebut harus mengambil langkah yang inisiatif

dalam penanggulangan dan pencegahan penyakit seperti TB paru.

C. Keterbatasan Penelitian

Beberapa kendala yang ditemukan dalam penelitian ini turut berpengaruh

dalam kelengakapan/keakuratan informasi yang diperoleh. Kendala yang

dimaksud merupakan keterbatasan dalam penelitian ini antara lain:

1. Kesulitan berkomunikasi dengan sebagian responden secara langsung

karena faktor bahasa dan usia, dimana sebagian responden tidak dapat

memberikan jawaban dalam bahasa Indonesia sehingga responden

harus didampingi oleh anggota keluarganya

2. Penelitian ini menggunakan desain case control study yang

mengharuskan responden untuk mengingat kembali kejadian pada saat

menderita sedangkan responden yang digunakan dalam penelitian ini

yaitu responden yang menderita penyakit TB paru pada tahun 2017

sehingga kemungkinan terjadi recall bias yang menyebabkan

informasi yang didapatkan tidak sesuai dengan kenyataannya.

3. Masih banyak berkas kartu kuning penderita TB paru yang tidak

lengkap serta kurangnya berkas pada suspek TB paru yang telah

menjalani pemerikasaan laboratorium.


BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian mengenai faktor risiko yang berhubungan

dengan kejadian penyakit TB paru di wilayah pesisir Kecamatan Tallo Kota

Makassar (wilayah kerja Puskesmas Rappokalling), maka dapat disimpulkan

sebagai berikut:

1. Kepadatan hunian merupakan faktor risiko terhadap kejadian penyakit

TB paru di wilayah pesisir Kecamatan Tallo Kota Makassar (wilayah

kerja Puskesmas Rappokalling).

2. Keluarga miskin merupakan faktor risiko terhadap kejadian penyakit TB

paru di wilayah pesisir Kecamatan Tallo Kota Makassar (wilayah kerja

Puskesmas Rappokalling).

3. Perilaku merokok merupakan faktor risiko terhadap kejadian penyakit

TB paru di wilayah pesisir Kecamatan Tallo Kota Makassar (wilayah

kerja Puskesmas Rappokalling).

4. Riwayat kontak merupakan faktor risiko terhadap kejadian penyakit TB

paru di wilayah pesisir Kecamatan Tallo Kota Makassar (wilayah kerja

Puskesmas Rappokalling).

5. Jarak rumah ke fasilitas pelayanan kesehatan merupakan faktor risiko

terhadap kejadian penyakit TB paru di wilayah pesisir Kecamatan Tallo

Kota Makassar (wilayah kerja Puskesmas Rappokalling).

84
85

B. Saran

1. Disarankan kepada masyarakat agar memenuhi kriteria rumah sehat seperti

lantai dan dinding rumah yang tidak lembab, suhu ruangan, langit-langit

yang tinggi, tersedianya jendela dan ventilasi tiap ruangan agar udara dan

cahaya matahari bisa masuk untuk menghindari kondisi ruangan yang

lembab, hal ini bertujuan untuk menghindari tumbuh dan

berkembangbiaknya kuman TB dalam rumah, serta menekan tingkat

penularan penyakit terutama rumah yang kepadatan huniannya tidak

memenuhi syarat.

2. Diharapkan kepada pemerintah terkait untuk menghidupkan kembali

program bedah rumah khususnya pada wilayah-wilayah pemukiman

kumuh dan padat penduduk dengan sasaran pada warga miskin yang tidak

mampu memenuhi persyaratan rumah sehat, hal ini bertujuan untuk

mencegah terjadinya kejadian penyakit serta penularannya, juga untuk

menekan beban biaya pengobatan kesehatan yang berlebihan.

3. Diharapkan kepada pemerintah atau dinas sosial agar melakukan

pengumpulan data ulang untuk menghindari data yang tidak lengkap

mengenai jumlah keluarga miskin atau keluarga prasejahtera karena masih

banyak penduduk setempat yang berada dibawah garis kemiskinan namun

tidak mendapat beberapa bantuan subsidi dari pemerintah seperti beras

miskin.

4. Diharapkan kepada masyarakat pada umumnya dan masyarakat pesisir pada

khususnya agar menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat terutama


86

menjaga sanitasi lingkungan dan menghindari perilaku berisiko seperti

merokok sehingga dapat meningkatkan imunitas dan terhindar dari infeksi

penyakit berbahaya.

5. Disarankan kepada pemerintah agar menekan penjualan rokok dengan cara

menaikkan harga rokok. Hal ini bertujuan agar masyarakat bisa

mengurangi perilaku merokok bahkan mempertimbangkan kembali untuk

memenuhi gizi rumah tangganya dibandingkan menghabiskan banyak

uang hanya untuk membeli rokok.

6. Disarankan kepada pemerintah untuk meregulasi ulang aturan dalam BPJS

Kesehatan dimana pasien yang merokok atau memiliki anggota rumah

tangga perokok dengan diagnosa penyakit yang berhubungan dengan

perilaku merokok (seperti infeksi paru-paru dan penyakit jantung),

pembiayaannya tidak ditanggung oleh BPJS (dibebankan kepada pasien).

Hal ini bertujuan untuk menekan beban subsidi pemerintah pada

masyarakat miskin yang masih hobi merokok, serta memberi paradigma

pada masyarakat bahwa walau rokok tidak mampu membunuhmu, tapi

mampu membunuh perekonomian keluargamu. Hal tersebut diharapkan

akan menurunkan perilaku merokok khususnya pada masyarakat yang

memiliki tingkat sosial ekonomi menengah ke bawah.

7. Diharapkan kepada pemerintah terkait untuk mengatur ulang pembagian

wilayah kerja puskesmas di Kota Makassar, khususnya yang berada di

Kecamatan Tallo dimana warga yang berada di daerah pesisir Tallo harus

menempuh jarak 5 km dan melewati tiga puskesmas lain yang lebih dekat
87

untuk sampai di Puskesmas Rappokalling. Hal ini dapat mengurangi

efektifitas dan efisiensi baik terhadap warga/pasien yang bersangkutan

maupun terhadap petugas kesehatan setempat.

8. Diharapkan kepada petugas TB paru di Puskesmas Rappokalling agar

mengisi rekam medic (kartu kuning penderita TB paru) secara lengkap dan

jelas agar memudahkan ketika data tersebut sewaktu-waktu dibutuhkan.

9. Diharapkan kepada peneliti selanjutnya agar dapat meneliti tentang

kejadian penyakit TB paru khususnya di wilayah pesisir atau wilayah

pinggiran kota yang memiliki pemukiman kumuh dengan variabel yang

belum diteliti dalam penelitian ini.


DAFTAR PUSTAKA

Achmadi. 2008. Penyakit berbasis wilayah. UI Pres: Jakarta.

Aditama. 2006. Pengobatan Tuberkulosis Diagnosis, Terapi dan Masalahnya.


FKUI: Jakarta.

Ayunah, Y. 2008. Hubungan Antara Faktor-Faktor Kualitas Lingkungan Fisik


Rumah dengan Kejadian TB Paru BTA Positif di Kecamatan Cilandak
Kotamadya Jakarta SelatanTahun 2008. FKM UI. Jakarta.

Azhar, K., & Perwitasari, Dian. 2013. Kondisi Fisik Rumah dan Perilaku dengan
Prevalensi TB Paru di Propinsi DKI Jakarta, Banten, dan Sulawesi Utara.
Media Litbangkes 23(4) hal. 172-181.

Butiop, HML., Kandau, GD., & Palandeng, HMF. 2015. Hubungan Kontak
Serumah, Luas Ventilasi, dan Suhu Ruangan dengan Kejadian
Tuberkulosis Paru di Desa Wori. Kedokteran Komunitas dan Trop. III
(November 2015) hal. 241-248.

Crofton, J. 2002. Tuberkulosis Klinis. Widya Medika EGC: Jakarta.

Dahlan, Ahmad. 2001. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian


Penyakit TB Paru BTA (+), Studi Kasus Kontrol di Jambi Tahun 2000-
2001. Tesis. Program Pascasarjana, FKM Universitas Indonesia. Jakarta.

Depkes RI. 2005. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta.

Depkes RI. 2006. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta.

Dinkes Kota Makassar. 2016. Profil Data Kesehatan Kota Makassar Tahun 2016.
Makassar.

Dinkes Kota Makassar. 2017. Profil Data Kesehatan Kota Makassar Tahun 2017.
Makassar.

Dinkes Sulawesi Selatan. 2015. Profil Data Kesehatan Propinsi Sulawesi Selatan
Tahun 2015. Makassar.

Dirhamsyah. 2006. Pengelolaan Wilayah Pesisir Terintegrasi di Indonesia dalam


Oseana volume XXXI, Nomor 1, Tahun 2006.

Fitriani, E. 2013. Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Kejadian Tuberkulosis


paru. Unnes J Public Health. 2(1) hal. 2-5.
Herlinda, MH. 2014. Hubungan Karakeristik dan Perilaku Ibu dengan Status
Persalinan di Wilayah Pesisir Kecamatan Tallo Makassar. FKM
Universitas Hasanuddin. Makassar.

Kemenkes RI. 2011. Profil Data Kesehatan Indonesia. Jakarta.

Kemenkes RI. 2014. Profil Data Kesehatan Indonesia. Jakarta.

Kemenkes RI. 2015. Profil Data Kesehatan Indonesia. Jakarta.

Kemenkes RI. 2016. Profil Data Kesehatan Indonesia. Jakarta.

Khudhori. 2012. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keputusan


Pemilihan Tempat Persalinan Pasien Poliklinik Kandungan dan
Kebidanan Rumah SakitIMC Bintaro. Jakarta.

Kurniasari, RA., dkk. 2012. Faktor Risiko Kejadian Tuberkulosis Paru di


Kecamatan Baturetno Kabupaten Wonogiri. FKM UNDIP. Semarang.

Mahpudin, AH., & Mahkota, Renti. 2007. Faktor Lingkungan Fisik Rumah,
Respon Biologis, dan Kejadian TBC Paru di Indonesia. FKM UI. Depok.

Mulyadi. 2011. Profil Penderita Tuberculosis Paru di Pesisir Pantai Aceh Barat
Daya (Kajian di Puskesmas Blangpidie). J Respir Indo. 31 (2).

Notoatmodjo. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta: Jakarta.

Nurjana, Made Agus. 2015. Faktor Risiko Terjadinya Tuberkulosis Paru Usia
Produktif (15-49 Tahun) di Indonesia. Balai Litbang P2B2 Donggala.

Rukmini, & Chatarina, UW. 2011. Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap


Kejadian TB Paru Dewasa di Indonesia (Analisis Data Riset Kesehatan
Dasar Tahun 2010). Bulletin Penelitian Sistem Kesehatan 14 (4). Oktober
2011 hal. 320-331.

Sejati, A., & Sofiana, L. 2014. Faktor-Faktor Terjadinya Tuberkulosis. Fakultas


Kesehatan Masyarakat Universitas Ahmad Dahlan. Yogyakarta.

Suarni, H. 2009. Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Kejadian Penyakit TB


Paru BTA Positif di Kecamatan Pancoran Mas Kota Depok Bulan Oktober
Tahun 2008 – April 2009 [Tesis]. Program Pasca Sarjana FKM UI: Depok.

Suharyo. 2013. Determinan Penyakit Tuberkulosis di Daerah Pedesaan. Jurnal


Kesehatan Masyarakat. 9 (1) hal. 85-91.
Suhermi. 2013. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian TB Paru di
Puskesmas Johan Pahlawan Kecamatan Johan Pahlawan Kabupaten Aceh
Barat. Universitas Teuku Umar. Aceh.

Suriadi. 2001. Tuberculosis Paru. Agung Seto: Jakarta.

Survei Kesehatan Nasional (Surkesnas) RI. 2009. Profil Kesehatan Indonesia,


Jakarta.

Tirtana, BT. 2011. Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Pengobatan


pada Pasien Tuberkulosis Paru dengan Resistensi Obat Tuberkulosis di
Wilayah Jawa Tengah. Fakultas Kedokteran Undip. Semarang.

Tri, Rizka YA. 2013. Analisis Distribusi dan Faktor Resiko Tuberkulosis Paru
melalui Pemetaan berdasarkan Wilayah di Puskesmas Candilama
Semarang Triwulan Terakhir Tahun 2012. Semarang.

Versitaria, HU. 2003. Hubungan Sumber Penular dan Lingkungan di dalam


Rumah Terhadap Kejadian TBC Paru BTA (+) di Kota Palembang Tahun
2003, [Tesis]. Program Pascasarjana FKM UI. Depok.

WHO. 2005. Global Tuberculosis Report 2015. Geneva: World Health


Organization.

WHO. 2013. Global Tuberculosis Report 2015. Geneva: World Health


Organization.

WHO. 2015. Global Tuberculosis Report 2015. Geneva: World Health


Organization.

WHO. 2016. Global Tuberculosis Report 2016. Geneva: World Health


Organization.

WHO. 2017. Global Tuberculosis Report 2017. Geneva: World Health


Organization.

Widoyono. 2011. Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan, dan


Pemberantasannya. Edisi kedua. Penerbit Erlangga.

Widyaswari, RN. 2011. Hubungan antara Jenis Kepribadian, Riwayat Diabetes


Mellitus, dan Riwayat Paparan Merokok dengan Kejadian Tuberkulosis
Dewasa di Wilayah Kecamatan Semarang Utara Tahun 2011. Jurnal
kesehatan masyarat, 1 (2) hal. 446-453.

Winslow. 2010. Kriteria Rumah Sehat. Jakarta.


Wulandari, AA., dkk. 2015. Faktor Resiko dan Potesi Penularan Tuberkulosis di
Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia
14 (1). April 2015 hal. 8-12.

Zaman, Haerul. 2015. Determinan Perilaku Keselamatan Berkendara Sepeda


Motor pada Remaja di Wilayah Pesisir Kabupaten Pangkep. FKM
Universitas Hasanuddin. Makassar.
LAMPIRAN
Data prevalensi TB paru tiap Puskesmas di Kota Makassar tahun 2017

Sumber: Dinas Kesehatan Kota Makassar


Data prevalensi TB paru tiap puskesmas di Kota Makassar tahun 2016

Sumber: Dinas Kesehatan Kota Makassar


PETA WILAYAH KECAMATAN TALLO
Kuesioner penelitian

Puskesmas : Rappokalling
Alamat :
Titik Koordinat : S: E:

Kelurahan : Rappokaling
Alamat :
Titik Koordinat : S: E:
Kepadatan Penduduk :
Jumlah KK :
Keluarga Miskin :

Kelurahan : Tamua
Alamat :
Titik Koordinat : S: E:
Kepadatan Penduduk :
Jumlah KK :
Keluarga Miskin :

Kelurahan : Buloa
Alamat :
Titik Koordinat : S: E:
Kepadatan Penduduk :
Jumlah KK :
Keluarga Miskin :

Kelurahan : Tallo
Alamat :
Titik Koordinat : S: E:
Kepadatan Penduduk :
Jumlah KK :
Keluarga Miskin :
Kuesioner Penelitian
*Karakteristik Responden
Nomor responden : Status :
Jenis Kelamin:
Umur (Tahun lahir) : Pendidikan Pekerjaan :
terakhir : Kelurahan : RT/RW : /

Titik Koordinat : S: E:
*Kepadatan Hunian
Panjang Lebar Luas Jumlah Kepadatan Keterangan
bangunan bangunan bangunan penghuni hunian (memenuhi
2
(m) (m) (m ) (orang) (m2/orang) syarat /
tidak)

*Keluarga Miskin
No Kriteria Ya Tidak
1 Kepadatan hunian < 8 m2 / orang
2 Jenis lantai dominan dari tanah / bambu / kayu murahan
3 Jenis dinding dominan dari bambu / rumbia / kayu
kualitas
rendah / tembok tanpa diplester
4 Tidak memiliki fasilitas BAB / bersama dengan rumah
tangga lain
5 Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan
listrik
6 Sumber air minum dari sumur / mata air tidak terlindung /
sungai / air hujan
7 Bahan bakar memasak sehari-hari adalah kayu / arang /
minyak tanah
8 Hanya mengonsumsi daging / susu / ayam 1 x seminggu
9 Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun
10 Hanya sanggup makan sebanyak satu / dua kali dalam
sehari
11 Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas
/ poliklinik
(hanya memakai bantuan / subsidi pemerintah)
12 Penghasilan kepala rumah tangga dibawah Rp. 600.000,-
per bulan
13 Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga: tidak sekolah /
tidak tamat SD / hanya SD
Kuesioner Penelitian
14 Tidak memiliki tabungan / barang yang mudah dijual
dengan minimal Rp. 500.000,- seperti sepeda motor,
emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya
Keluarga Miskin
*Perilaku Merokok
No. Pertanyaan Jawaban
1 Apakah anda merokok?
1) Ya 2) Tidak 3) Sudah berhenti
Jika jawabannya (2) lanjut ke pertanyaan nomor 6
2 Seberapa seringkah anda merokok?
1) Tiap hari 2) 3-4 kali seminggu 3) 3-4 kali sebulan
3 Berapa batang rokok yang anda hisap per hari?
1) 1-5 batang 2) 6-14 batang 3) 15 batang atau lebih
4 Berapa lama anda sudah mulai merokok (sampai berhenti
merokok)?
1) < 5 tahun 2) > 5 tahun
5 Jenis rokok apa yang anda hisap?
1) kretek 2) filter
6 Apakah ada anggota rumah tangga anda yang merokok / pernah
merokok?
1) Ada 2) Tidak ada
7 Apakah di tempat kerja / sekolah anda sering menghirup udara
/ asap rokok?
1) Ya 2) Tidak Pernah
Catatan: bila pertanyaan no 1  tidak; no 6  tidak ada; dan no 7  tidak
pernah, maka responden dikategorikan sebagai “bukan perokok”.
*Riwayat Kontak
Kontak serumah (ada anggota rumah tangga yang pernah terkena penyakit
TB paru BTA (+) selain responden : (lingkari jawaban yang benar)
1. Ada 2. Tidak ada

*Jarak Rumah ke Puskesmas Rappokalling


(jarak diukur menggunakan aplikasi Google Maps)
km
Tabel 1. Tabulasi Silang Antara Kepadatan Hunian Dan Keluarga Miskin
Kepadatan Hunian Status Keluarga Miskin
Ya Tidak n %
n % n %
Tidak Memenuhi 15 62,5 34 37,0 49 42,2
Syarat
Memenuhi Syarat 9 37,5 58 63,0 67 57,8
Total 24 100,0 92 100,0 116 100,0
Sumber: Data Primer, 2018

Tabel 2. Tabulasi Silang Antara Kepadatan Hunian Dan Riwayat Kontak


Kepadatan Hunian Riwayat Kontak
Ya Tidak n %
n % n %
Tidak Memenuhi 18 78,3 31 33,3 49 42,2
Syarat
Memenuhi Syarat 5 21,7 62 66,7 67 57,8
Total 23 100,0 93 100,0 116 100,0
Sumber: Data Primer, 2018

Tabel 3. Tabulasi Silang Tingkat Pendidikan Dan Keluarga Miskin


Tingkat Pendidikan Status Keluarga Miskin
Ya Tidak n %
n % n %
Rendah 17 70,8 33 35,9 50 43,1
Sedang 2 8,3 17 18,5 19 16,4
Tinggi 5 20,8 42 45,7 47 40,5
Total 24 100,0 92 100,0 116 100,0
Sumber: Data Primer, 2018

Tabel 4. Tabulasi Silang Kategori Perokok Dan Kasus Kontrol


Kategori Perokok TB Paru
Kasus Kontrol n %
n % n %
Perokok Aktif 22 37,9 20 34,5 42 36,2
Perokok Pasif 29 50,0 22 37,9 51 44,0
Bukan Perokok 7 12,1 16 27,6 23 19,8
Total 58 100,0 58 100,0 116 100,0
Sumber: Data Primer, 2018
Tabel 5. Tabulasi Silang Kriteria Keluarga Miskin Berdasarkan Status Keluarga Miskin
Kriteria Status Keluarga Miskin
Miskin Tidak Miskin n %
n % n %
Kepadatan Hunian
< 8 M2 / Orang 14 58,3 11 12,0 25 21,6
≥ 8 M2 / Orang 10 41,7 81 88,0 91 78,4
Lantai Rumah
Tanah / Bambu / Kayu Murahan 22 91,7 16 17,4 38 32,8
Semen / Ubin 2 8,3 76 82,6 78 67,2
Dinding Rumah
Bambu / Kayu Murahan / Tembok 24 100 17 18,5 41 35,3
Tanpa Plester
Tembok Plester / Ubin 0 0 75 81,5 75 64,7
Jamban Keluarga
Tidak Ada / Bersama RT Lain 10 41,7 3 3,3 13 11,2
Ada 14 58,3 89 96,7 103 88,8
Listrik
Tidak Ada 0 0 0 0 0 0
Ada 24 100 92 92 116 100
Sumber Air Minum
Sumur / Hujan / Sungai 1 4,2 0 0 1 0,9
PDAM / Sumur Bor / Galon 23 95,8 92 100 115 99,1
Bahan Bakar Memasak
Kayu / Minyak Tanah 0 0 0 0 0 0
Gas LPG 24 100 92 100 116 100
Konsumsi Daging / Ayam / Susu
Hanya 1 kali Seminggu / Tidak 24 100 16 17,4 40 34,5
Lebih Dari 1 kali Seminggu 0 0 76 82,6 76 65,5
Pakaian Baru
1 Stel Setahun 24 100 18 19,6 42 36,2
Lebih Dari 1 Stel Setahun 0 0 74 80,4 74 63,8

Makan Dalam Sehari


1-2 Kali 24 100 17 18,5 41 35,3
3 Kali 0 0 75 81,5 75 64,7
Biaya Pengobatan
Tidak Saggup Bayar / Subsidi 24 100 35 38,0 59 50,9
Sanggup Bayar 0 0 57 62,0 57 49,1
Penghasilan Kepala RT
Rendah 22 91,7 15 16,3 37 31,9
Sedang / Tinggi 2 8,3 77 83,7 79 68,1
Pendidikan Kepala RT
Tidak Sekolah / Tamat SD 21 87,5 22 23,9 43 37,1
Tamat SMP / SMA / PT 3 12,5 70 76,1 73 62,9
Kepemilikan Barang Modal
Tidak Ada 11 45,8 3 3,3 14 12,1
Ada 13 54,2 89 96,7 102 87,9
Total 24 100,0 92 100,0 116 100,0
Sumber: Data Primer, 2018
OUTPUT ANALISIS SPSS

1. Analisis Univariat

jenis kelamin responden * kategori Crosstabulation


kategori Total
kasus kontrol
Count 31 28 59
laki-laki
% within kategori 53.4% 48.3% 50.9%
jenis kelamin responden
Count 27 30 57
perempuan
% within kategori 46.6% 51.7% 49.1%
Count 58 58 116
Total
% within kategori 100.0% 100.0% 100.0%

kelompok umur responden * kategori Crosstabulation


kategori Total
kasus kontrol
Count 3 1 4
anak-anak
% within kategori 5.2% 1.7% 3.4%
Count 46 50 96
kelompok umur responden produktif
% within kategori 79.3% 86.2% 82.8%
Count 9 7 16
lansia
% within kategori 15.5% 12.1% 13.8%
Count 58 58 116
Total
% within kategori 100.0% 100.0% 100.0%

tingkat pendidikan responden * kategori Crosstabulation


kategori Total
kasus kontrol
tidak sekolah / tidak Count 6 9 15
tamat SD % within kategori 10.3% 15.5% 12.9%
Count 21 14 35
tamat SD
% within kategori 36.2% 24.1% 30.2%
tingkat Count 9 10 19
pendidika tamat SMP
n % within kategori 15.5% 17.2% 16.4%
responden
Count 19 24 43
tamat SMA / SMK
% within kategori 32.8% 41.4% 37.1%
Count 3 1 4
tamat perguruan tinggi
% within kategori 5.2% 1.7% 3.4%
Count 58 58 116
Total
% within kategori 100.0% 100.0% 100.0%
pekerjaan responden * kategori Crosstabulation
kategori Total
kasus kontrol
Count 8 4 12
tidak bekerja
% within kategori 13.8% 6.9% 10.3%
Count 14 17 31
IRT
% within kategori 24.1% 29.3% 26.7%
Count 1 2 3
nelayan
% within kategori 1.7% 3.4% 2.6%
Count 5 4 9
buruh / serabutan
% within kategori 8.6% 6.9% 7.8%
Count 9 15 24
pekerjaan responden wiraswasta
% within kategori 15.5% 25.9% 20.7%
Count 3 2 5
ojek / ojol / bentor
% within kategori 5.2% 3.4% 4.3%
Count 8 9 17
pegawai swasta
% within kategori 13.8% 15.5% 14.7%
Count 3 3 6
pegawai negeri
% within kategori 5.2% 5.2% 5.2%
Count 7 2 9
pelajar
% within kategori 12.1% 3.4% 7.8%
Count 58 58 116
Total
% within kategori 100.0% 100.0% 100.0%

kelurahan tempat tinggal responden * kategori Crosstabulation


kategori Total
kasus kontrol
Count 32 32 64
Rappokallin 55.2% 55.2% 55.2%
% within kategori
Count 6 6 12
g Tammua 10.3% 10.3% 10.3%
kelurahan tempat % within kategori
tinggal responden 7 7 14
Count
Buloa 12.1% 12.1% 12.1%
% within kategori
13 13 26
Count 22.4% 22.4% 22.4%
Tallo
% within kategori 58 58 116
Count 100.0% 100.0% 100.0%
Total % within kategori
2. Analisis Bivariat

Kepadatan Hunian * status responden


kepadatan hunian responden * kategori Crosstabulation
kategori Total
kasus kontrol
Count 30 19 49
kepadatan tidak memenuhi syarat
% within kategori 51.7% 32.8% 42.2%
hunian
responde Count 28 39 67
memenuhi syarat
n
% within kategori 48.3% 67.2% 57.8%
Count 58 58 116
Total
% within kategori 100.0% 100.0% 100.0%

Risk Estimate
Value 95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for kepadatan
hunian responden (tidak
2.199 1.036 4.666
memenuhi syarat /
memenuhi syarat)
For cohort kategori = kasus 1.465 1.022 2.100
For cohort kategori = kontrol .666 .444 1.000
N of Valid Cases 116

Keluarga Miskin * status responden


status ekonomi keluarga miskin * kategori Crosstabulation
kategori Total
kasus kontrol
Count 19 5 24
keluarga miskin
status ekonomi % within kategori 32.8% 8.6% 20.7%
keluarga Count 39 53 92
miskin keluarga tidak miskin
% within kategori 67.2% 91.4% 79.3%
Count 58 58 116
Total
% within kategori 100.0% 100.0% 100.0%

Risk Estimate
Value 95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for status
ekonomi keluarga miskin
5.164 1.774 15.031
(keluarga miskin / keluarga
tidak miskin)
For cohort kategori = kasus 1.868 1.364 2.558
For cohort kategori = kontrol .362 .163 .804
N of Valid Cases 116
Perilaku merokok * status responden

status perilaku merokok * kategori Crosstabulation


kategori Total
kasus kontrol
Count 51 42 93
perokok
% within kategori 87.9% 72.4% 80.2%
status perilaku merokok
Count 7 16 23
bukan perokok
% within kategori 12.1% 27.6% 19.8%
Count 58 58 116
Total
% within kategori 100.0% 100.0% 100.0%

Risk Estimate
Value 95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for status
perilaku merokok (perokok / 2.776 1.044 7.377
bukan perokok)
For cohort kategori = kasus 1.802 .946 3.434
For cohort kategori = kontrol .649 .457 .922
N of Valid Cases 116

Riwayat Kontak * status responden

riwayat kontak TB paru * kategori Crosstabulation


kategori Total
kasus kontrol
Count 21 2 23
ada
% within kategori 36.2% 3.4% 19.8%
riwayat kontak TB paru
Count 37 56 93
tidak ada
% within kategori 63.8% 96.6% 80.2%
Count 58 58 116
Total
% within kategori 100.0% 100.0% 100.0%

Risk Estimate
Value 95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for riwayat
kontak TB paru (ada / tidak 15.892 3.515 71.843
ada)
For cohort kategori = kasus 2.295 1.734 3.037
For cohort kategori = kontrol .144 .038 .549
N of Valid Cases 116
Jarak Rumah ke Fasilitas Pelayanan Kesehatan * status responden

jarak rumah ke puskesmas rappokalling * kategori Crosstabulation


kategori Total
kasus kontrol
Count 20 19 39
jauh
jarak rumah ke % within kategori 34.5% 32.8% 33.6%
puskesmas rappokalling Count 38 39 77
dekat
% within kategori 65.5% 67.2% 66.4%
Count 58 58 116
Total
% within kategori 100.0% 100.0% 100.0%

Risk Estimate
Value 95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for jarak rumah
ke puskesmas rappokalling 1.080 .500 2.335
(jauh / dekat)
For cohort kategori = kasus 1.039 .710 1.520
For cohort kategori = kontrol .962 .651 1.421
N of Valid Cases 116
PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN
DINAS PENANAMAN MODAL DAN PELAYANAN TERPADU SATU PINTU
BIDANG PEN YELENGGARAAN PELAYANAN PERIZINAN

Nomor 4474/S.01/PTSP/2018
KepadaYth.
Lampiran
’›^.’’alikc1a ! \akassar
Perihal Izin Penelitian

TemDat

Bert as ark an sural Dekan Fak. Ke.sehatan \1asyarakat UNHAS Mak as sar Nomnp /7 81 ’UN4 14 1 PL TO.00’2518
tanggal 12 April 2018 perihal lersebut diatas mahasiswa‘peneliti diba›vah ml

L ama MUH. YUSRAN YUNUS


K 1 1 ! 042
Kesehatan k1asyarakat
h4ahasis•’ai S1
JI PerirJtis Kemerdekaan Km 10, Makassar

bermaksud unluK melak uhan penelitian di daerah. kant or saudara dalam ran ka pen yusunan Sk rips de .ger
judul
" FAKTOR RISIKO YANG BERHUBUNGAN DEhIGAhI PENYAKIT TB PARU DI WILAYAH PESISIR
KECAMATAN TALLO KOTA MAKASS AR (WILAYAH KERJA PUSKESMA SRAPPOKAL LING) ”

Yan$ akan ilaks anak an dari : Tgl 14 April s/d 13 Mei 2018

Seh uhung an dengan hal tersebut diatas pada prinsipnya kami menyetujui kegiatan ditm aksud cent an
L elentuan yan g tertera di belakao sura t izin penelitian

be wikian Surat Keterangan Eni diberikan agar dipergunakan sebagaimana mestinya

Dilerbilkan di I.Iakassar
Pada tanggal 13 ,April 20 1g

A.n. GUBERNUR SULAWESI S ELATAN


KEPALA DINAS PENANAMAN MODAL DAN PELAYANAN TERPADU SATU
PINTU PROVINSI SULAWESI SELATAN
Selaku Administrator Pelay anan Perizinan Terpadu
PEMERINTAH KOTA MAKASSAR
BADAN KESATUAN BANGSA DAN POLITIK
Jalan Ahmad Yank No 2 Makassar 901a 1 Telp +62411 - 3615887 Fax +82411 - 5615867
Email . Kesbans@makassar oo Id Home page

Makassar, |$ April 2018

N or 070 / $g -fl/BKBP/IV/201B Yrh, 1. XkPALA DIAAS KESEHATAN


XO’TA MAKASSAR
Penhal Izin PenelltJan
T. MATTALLO
KOTAMAl{55AR

Dengan Hormat,
Menunjuk Surat dari Kapala Dinas Koordinasf Penanaman Modal Daerah
Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 4474/S.01/PTSP/2018 Tanggal 13 April zolg,
Perihal tersebut di atas, maka bersama ini disampaikan kepada Bapak bahwa:
NAMA . MUH. YUSRAN YUNUS
NIM/ Jurusan : K11111042 / Kesehatan Masyarakat
Pekaqaan Mahastswa (S1) UNHAS
Alamat JI. P.Kemerdekaan Km. 10, Makassar
Judul “f ToR RJSJKO YANG BERHUBUNGAN DENGAN
PENYAMJT TB PdRtf DI I 'ILAYAff PESISIR KECA fATAN
TALLO KOTA MAf $$AR fWIL8VAff fS RJA PIJSKESMAS

Bermaksud mengadakan Penelhian pada Instansi / Wilayah Bapak, dalam


rangka Penyt/sonan Skripsi sesuai dengan judul di atas, yang akan
dilaksanakan
mulai tangga! 18 April s/d 13 Mei 2018.
Sehubungan dengan hal tersebut, pada prinsipnya kaml dapat menyetujui
dengan memberikan surat rekomendasl izln penelitian ini dan harap diberikan
bantuan dan fasilitas sepertunya.
Demikian disampaikan kepada Bapak untuk dimsklumi dan selanjutnya yang
bersangkutdn melaporkan hasilnya kepada Walikota Makassar Cq, Kepala Badan
Xesatuan Bangsa dan Politik

A,n. VAt.-tKQ,T KASSA


SBANG AN POLITIK
f, KABID GAN AN A LEMBAGA

H .P ELLERI, M.AP
bir}â
NIP ”: 18621 Y10 198603 1 042

Kesatuan Bangsa dan Poliiik Prop Sul - Sai di Makassar,


Pelaksana Teknis P2T Badan Koordinasi Penaraman Modal Daerah Prov. Sul Sal di Makassar.
esehatan Masyarakat UNHAS Makassar di Makassar,
eng bersangkutan,
PEMERINTAH KOTA MAKASSAR
DINAS KESEHATAN KOTA MAKASSAR
3Z.. TEDUH BERSJNAR i1O.J PFAXASSAR
TELP. (0411} 81549 FAX {0411) Bg77fg

Nomor 440 / /PSDSK/lV/2018


Lampiran Kepada Yth,
Perihal Penelitian
Kepada Puskesmas RappokaIIi ^8

D+

Tempat

SehubunQsn dengan su:atdan Badan Kesatuan bangsa danpol%t, no:


surat:070/980- II-BKBP/IV /2018 , tanggal 16 April 2018 ,perihal tersebut diatas,maka
bersama ini disampaihankepada saudara bahwa :

Nama Muh.Yusran
Yunus NIM ' K11111042
Juruaan Kasehatan masyarakat
Institusi UNHAS Makassar
Judul Faktor resiko yang berhubungan dengan penyakñ TB paru di
wilayah pesisir Kecamatan Tallo kota Makassar(witayah
kerja puskesmas Rappokalling)

Akan melaksanakan peneIitian,di wilayah kerja saudara pada tanggal 16 April 2018 s/d
13 mei 2018 . Demikianlah disampaikan ,agar diberikan bantuan seperIunya.Atas
kegasamanya diucapkan terima kasih.

IVlakassar, 18 April 2017


an.Kepala Dinas kesehatan
K assar

.Kes
Nips 701 989011002
PEMERINTAH KOTA MAKASSAR PMO

KECAMATAN TALLO R&T

JL. A R. HAKIN No.54 B' @11- 448 415 MAKASSAR Ts 90211

Makassar 18 April 2018

Nomor 070/ / 9 7 /07/KTL/IV/2018 Kepaaa


Lamp Yth 1. Lurah Rappokalling
Hal Rehomendasi Pene/it/an 2. Lurah Tammua
3. Lurah Buloa
4. Lurah Tallo
di —
Makassar

Berdasarkan Surat Kantor Kesatuan Bangsa dan Politik Kota


Makassar, Nomor 070/980-II/BKBP/IV/2018. Tanggal 16 April 201B.
Perihal tersebut diatas. maka bersama ”ini disampaik an kepada saudara
bahwa:

Nama MUH. YUSRAN YUNUS


NIM/Jurusan . K11111042 / Kesehatan
Masyarai‹at Pekerjaan Mahasiswa (S1)
UNHAS
Alamat JI P Kemerdehaan Km.10, Maka sar
Judul "FAATOR RISIKO YAHG BERI IUBUNGAd DEHGAN
PENYAK1T TB PARU DI WILAYAH PES/SfR
KECAMATAN TALLO KOTA MAKASSAR (WI6AYAH
KERJA PL/SXESMAS RAPPOK ALLING )”

Bermaksud mengadakan Penelitian, di Wilayah Kecamatan Tallo


Kota Makassar dalam rangka Penyusunan Skrips/ yang akan
dilaksanakan mulai tanggal 16 April s/d 13 Mei 2018.
Senubungan dengan hal tersebut pada prinsipnya kami dapat
menyetujui dengan memberikan surat rekomendasi izin penelitian ini
oan memberikan bantuan dan fasilitas seperl unya
Demikian disampaikan kepada Saudara untuk dimaklumi dan
selanjutnya yang bersangkutan melaporkan kembali dan rnelamoirkan
satu rangkap Basil penelitian kepada Camat Tallo Kota Makassar.

MAT TALLO
ETARIS,

ENYA UPAD S.STP. M.Hi


PangKat Penata Tk.I
Nip 19790725 1 9912 001

Tembusan:
1 Keoala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Prop. SuI—Sel di Makassar,
2. Kepala Unit Pelaksana Teknis P2T Badan Koordinasi Penanaman
Modal Daerah Prop. Sul Sel di Makassar;
3 Dekan Fak. Kesehatan Masyarakat UNHAS Makassar di Makassar,
4 Manasiswa yang bersangkutan:
5. Peninggal
PEMERINTAH KOTA MAKASSAR
BECAt4A7Zud 7AIG•O naT
JL. A.R. HAKIM NO.54 M 0411- 448 415 MAKASSAR 1s 90211

SURAT KETERANGAN
Nomor pyo/ z /› / v/ v s

Yang bertanda tangan dibawah ini:


Nama BENYAMIN B. TURUPADANG, S.STP., M.SI
NIP 19790725 199912 1 001
Pangkat/Gol Penata Tk.I / III d
Jabatan Sekertaris Camat Tallo

Menerangkan bahwa

Nama MUH. YUSRAN YUNUS


N I M / Jurusan K11111042 / Kesehatan Masyarakat
Pekerjaan Mahasiswa (S1) UNHAS
Alamat JI. P. Kemerdakaan Km.10, Makassar

Berdasarkan Surat Kepata Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kota Makassar,
Nomor : 070i980-II/BKBP/iV/2018, Tanggal 1g April 2018, Mahasiswa tersebut telah
melaksanakan Penelitian di Wilayah Kecamatan Tallo Kota Makassar dalam rangka
Penyusunan Skripsi mulai Tanggal 16 April s/d 13 Mei 2D1B. dengan Judul “EAIfiTOR RISIKO
YANG BERHUBUNGAfiI DENGAN PENYA f IT TB PARU DI DISAYAH PESISIR KI
CAMATAN TALt.0 ROTA MAKASSAR {IN/'ILALAH I ERJA PUSAESMAS
RAPPOKALL/NG}”.

Demikian Surat Keterangan ini dibuat, untuk dipergunahan sebagaimana mestinya.

Makassar, 21 Mei 2018

g Pangs £IRUPADG. S.STP.. M.Si


enata Tk.I
: 197907259912 1 001
DOKUMENTASI
WAWANCARA DAN OBSERVASI LAPANGAN
Optimization Sofiware:
RIWAYAT HIDUP

Nama : Muh. Yusran Yunus

NIM : K111 11 042

Alamat : BTN Lamunre Blok F No. 11-12, Kec. Belopa Utara

Tempat Tanggal Lahir: Seppong, 30 Januari 1994

Agama : Islam

Suku / Bangsa : Bugis / Indonesia

Email : yusransangepidemiologi@gmail.com

Riwayat Pendidikan :

1. TK Al-Qur’an Belopa Tahun 1998-1999

2. SDN 24 Kampung Tangnga Tahun 1999-2005

3. SMP Negeri 1 Belopa Tahun 2005-2008

4. SMA Negeri 1 Belopa Tahun 2008-2011

5. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin Tahun 2011-2018

Anda mungkin juga menyukai