Tesis
Oleh:
dr. Dewi Puspitasari
Tesis
Diajukan untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Salah Satu Syarat untuk Mencapai
Gelar Magister dalam Bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah
Kepala Leher
Oleh:
dr. Dewi Puspitasari
Ketua
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Departemen Ketua Program Studi
Puji dan syukur kehadirat Allah Subhanahu Wata’ala atas rahmat, karunia dan
hidayahNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini sebagai salah satu tugas dan
syarat untuk mencapai gelar Magister dalam bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan.
Berkat dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak, akhirnya tesis ini dapat
diselesaikan. Untuk itu perkenankanlah penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan
Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Sjahril Pasaribu, Dr, dr, Sp.A (K),
DTM&H, dan mantan rektor Prof. Chairuddin Panusunan Lubis, dr, Sp.A (K), DTM&H
yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti Program Pendidikan
Alamsyah, dr, Sp.PD-KGEH yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk
Bapak Direktur Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan yang telah
memberikan kesempatan kepada penulis untuk belajar dan bekerja di Rumah Sakit ini.
Prof. Abdul Rachman Saragih, dr, Sp.THT-KL (K) sebagai Kepala Departemen
Yang terhormat, dr. T. Siti Hajar Haryuna, Sp. THT-KL sebagai Ketua Program
Malik Medan, atas bimbingan dan dorongan semangat yang diberikan sehingga
lainnya.
Yang terhormat dr. Hafni, Sp. THT-KL(K) sebagai ketua pembimbing tesis,
dr.Rizalina A.Asnir, Sp. THT-KL(K) dan dr. Adlin Adnan, Sp. THT-KL sebagai anggota
pembimbing tesis, yang telah banyak memberikan petunjuk, perhatian serta bimbingan
terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya atas waktu dan bimbingan yang
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya saya tujukan kepada semua guru-guru
di Departemen THT-KL FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan, Prof. Ramsi Lutan, dr.
Sp.THT-KL (K); dr. Yuritna Haryono, Sp.THT-KL (K); Prof. Askaroellah Aboet, dr,
Sp.THT-KL (K); Prof. Abdul Rachman Saragih, dr, Sp.THT-KL (K); dr. Muzakkir
Zamzam, Sp.THT-KL (K); dr. Mangain Hasibuan, Sp.THT-KL; dr. T. Sofia Hanum,
Sp.THT-KL (K); Dr. dr. Delfitri Munir, Sp.THT-KL (K); dr. Linda I Adenin, Sp.THT-
KL; dr. Hafni, Sp.THT-KL (K); dr. Ida Sjailandrawati Harahap, Sp.THT-KL; dr. Adlin
Adnan, Sp.THT-KL; dr. Rizalina A. Asnir, Sp.THT-KL(K), dr. Siti Nursiah, Sp.THT-KL;
dr. Andrina YM Rambe, Sp.THT-KL; dr. Harry Agustaf A, Sp.THT-KL; dr. Farhat,
Sp.THT-KL; dr. T. Siti Hajar Haryuna, Sp.THT-KL, dr. Aliandri, Sp.THT-KL; dr. Ashri
Sp.THT-KL, dr.M. Pahala Hanafi Hrp, Sp.THT-KL dan dr. Ferryan Sofyan, M.Kes,
Sp.THT-KL yang telah memberikan bimbingan, ilmu dan pengetahuan di bidang THT-KL
Yang terhormat dr. Putri C. Eyanoer, MSEpid, PhD yang telah banyak membantu
segala daya upaya telah mengasuh, membesarkan dan membimbing dengan penuh kasih
saying semenjak kecil sehingga penulis dewasa agar menjadi anak yang berbakti kepada
kedua orang tua, agama, bangsa dan Negara. Dengan memanjatkan do’a kehadirat Allah
SWT, ampunilah dosa kedua orang tua penulis serta sayangilah mereka sebagaimana
mereka menyayangi penulis sewaktu kecil. Terimakasih juga penulis tujukan kepada
Syafina Khairiah, MSI,Ak yang telah memberikan dorongan semangat selama penulis
THT-Bedah Kepala dan Leher yang telah bersama-sama, baik dalam suka maupun dalam
duka, saling membantu sehingga terjalin persaudaraan yang erat, dengan harapan teman-
teman lebih giat lagi sehingga dapat menyelesaikan studi ini. Semoga Allah selalu
Semoga segala bantuan dan bimbingan yang diberikan kepada penulis menjadi
amal ibadah. Akhirnya penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi semua
pihak, dan semoga Allah Subhanahu Wata’ala selalu melimpahkan rahmat dan
Dewi Puspitasari
Abstrak
Abstract
Introduction: Nasopharynx carcinoma is a carcinoma that is highly potential to obtain
regional metastases to cervical lymph nodes or distant metastases. About 90%,
nasopharynx carcinoma patients show cervical lymph node malignancy. Typically,
nasopharyngeal carcinoma carries a poor prognosis because of its proximity to skull base
and other vital structures. Beside that, early diagnosis was difficult because the subtlety of
its symptoms and the difficult nature of the examination, especially for primary care
physicians. In order to entire head and neck cancer in Indonesia, almost 60% of
nasopharynx carcinoma. Based on data from Depkes in 2007, nasopharynx carcinoma
including 10 types of most cancer in Indonesia in 2004-2006 and is constantly increasing
the number of patients in the period.
Objective: In order to obtain data about the description nasopharynx carcinoma patients
in RSUP H.Adam Malik Medan in 2006-2010.
Method: This study is descriptive by using secondary data from medical record of new
patients with the nasopharynx carcinoma based on histopathological that come to RSUP
H. Adam Malik Medan in January 2006-December 2010.
Result: Patients with nasopharynx carcinoma in January 2006-December 2010 are 335
patients. They are most prevalent in men (73.1%), age group 51-60 years (26.5%), Batak
ethnic group (57.1%), working as a farmer (27.8%), with the main complaint in the form
of lump in the neck (71%), non-ceratinizing squamous cell carcinoma (46.6%) and
patients on stage IV (45.%).
Gambar 5.3. Distribusi kelompok umur penderita KNF selama tahun 2006-2010
Gambar 5.4. Distribusi frekuensi jenis kelamin penderita KNF per tahun
Gambar 5.5. Distribusi frekuensi jenis kelamin penderita KNF selama tahun 2006-2010
Gambar 5.6. Distribusi frekuensi suku bangsa penderita KNF tahun 2006-2010
Gambar 5.8. Distribusi frekuensi keluhan utama penderita KNF per tahun
Gambar 5.12. Distribusi frekuensi menurut stadium pada KNF setiap tahunnya
Gambar 5.16. Frekuensi jenis kelamin berdasarkan stadium klinis pada penderita KNF
Gambar 5.17. Frekuensi kelompok umur berdasarkan stadium klinis pada penderita KNF
Abstrak ii
Abstract iii
Daftar Tabel iv
Daftar Gambar v
Daftar Isi vi
Bab 1 Pendahuluan
2.2. Epidemiologi............................................................................ 5
2.3. Etiologi.................................................................................... 7
2.5. Diagnosis 12
2.7. Stadium..................................................................................... 16
2.8. Penatalaksanaan.............................................................................. 17
2.9. Prognosis........................................................................................ 17
19
19
3.7.1. Persiapan........................................................................... 21
KNF....................................................................................... 26
Bab 5. Pembahasan
Daftar Pustaka 49
Lampiran 55
Abstrak
Abstract
Introduction: Nasopharynx carcinoma is a carcinoma that is highly potential to obtain
regional metastases to cervical lymph nodes or distant metastases. About 90%,
nasopharynx carcinoma patients show cervical lymph node malignancy. Typically,
nasopharyngeal carcinoma carries a poor prognosis because of its proximity to skull base
and other vital structures. Beside that, early diagnosis was difficult because the subtlety of
its symptoms and the difficult nature of the examination, especially for primary care
physicians. In order to entire head and neck cancer in Indonesia, almost 60% of
nasopharynx carcinoma. Based on data from Depkes in 2007, nasopharynx carcinoma
including 10 types of most cancer in Indonesia in 2004-2006 and is constantly increasing
the number of patients in the period.
Objective: In order to obtain data about the description nasopharynx carcinoma patients
in RSUP H.Adam Malik Medan in 2006-2010.
Method: This study is descriptive by using secondary data from medical record of new
patients with the nasopharynx carcinoma based on histopathological that come to RSUP
H. Adam Malik Medan in January 2006-December 2010.
Result: Patients with nasopharynx carcinoma in January 2006-December 2010 are 335
patients. They are most prevalent in men (73.1%), age group 51-60 years (26.5%), Batak
ethnic group (57.1%), working as a farmer (27.8%), with the main complaint in the form
of lump in the neck (71%), non-ceratinizing squamous cell carcinoma (46.6%) and
patients on stage IV (45.%).
PENDAHULUAN
Karsinoma nasofaring (KNF) pertama kali dilaporkan secara terpisah oleh Regaud
dan Schminke pada tahun 1921 (Wei & Sham, 2005; Brennan, 2006). KNF sering berawal
dari fossa Rosenmuller, dan dapat meluas kedalam atau keluar dari dinding lateral
dan/atau posterosuperior ke dasar otak atau ke palatum, kavum nasi atau orofaring
(Brennan, 2006).
maupun metastase jauh. Sekitar 90 % pasien KNF menunjukkan keganasan nodus limfe
servikal. Sebagian besar penderita KNF datang pada stadium lanjut (III dan IV) bahkan
sebagian lagi datang dengan keadaan umum yang jelek. Diantara berbagai jenis kanker
kepala leher, KNF merupakan salah satu jenis dengan prognosis buruk karena posisi tumor
berdekatan dengan dasar tengkorak dan berbagai struktur penting lainnya. Selain itu,
diagnosis dini sulit ditegakkan karena gejala yang tidak khas dan pemeriksaan nasofaring
yang sulit. Hal ini merupakan kendala yang dihadapi sehingga memberikan hasil
penanganan yang tidak memuaskan (Mulyarjo, 2002; Jeyakumar et al, 2006; Brennan,
2006).
Distribusi KNF memiliki ras/etnik dan geografi yang khusus dimana insiden KNF
yang paling tinggi pada etnik Cina di sekitar propinsi Guangdong, selain itu juga daerah
Asia Selatan, Afrika utara, Timur Tengah dan populasi Eskimo di Alaska (Chang &
Adami, 2006; Plant, 2009). KNF relatif jarang pada populasi kulit putih (Plant, 2009).
Pada daerah endemik insiden meningkat sejak usia 20 tahun dan mencapai puncak pada
Di Cina Selatan dan Utara penyakit ini endemik dengan angka insiden meningkat
menjadi 50 per 100.000 penduduk (Cottrill dan Nutting, 2003). Insiden di Thailand pada
suku Thai 3 per 100.000 penduduk, sedangkan pada turunan Cina 10 per 100.000
penduduk (McDermott AL, Dutt SN & Watkinson JC, 2001). Insidensi turunan Cina di
Los Angeles adalah 6,5 kasus per 100.000 laki-laki, sedangkan insidensi turunan Cina di
Singapura 18,1 kasus per 100.000 penduduk pada laki-laki (Sun et al, 2005; Lo et
al,2007). Distribusi ras/etnik dan geografi yang khusus ini memberi kesan bahwa faktor
lingkungan dan genetik turut berperan dalam terjadinya KNF (Pua et al, 2008).
karsinoma nasofaring, kemudian diikuti oleh karsinoma hidung dan sinus paranasal, laring,
sedangkan tumor ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam persentase rendah (Roezin,
1995). Data kanker pada Depkes (2007), KNF termasuk 10 jenis kanker terbanyak di
Indonesia pada tahun 2004-2006 dan terus mengalami peningkatan jumlah penderita
selama periode tersebut, dimana pada tahun 2004 dijumpai 1.039 penderita dari 25.055
seluruh penderita keganasan (proporsi 4,15 %) dan pada tahun 2006 meningkat menjadi
1.633 penderita dari 31.155 seluruh penderita (proporsi 5,24 %). Tan (2010) melaporkan
penduduk setiap tahunnya dengan rata-rata 12.000 kasus baru per tahun.
RSU Wahidin dan RSU Dadi di Makassar selama periode 10 tahun (1990-1999)
ditemukan 274 kasus KNF dari 570 kasus keganasan kepala dan leher (Kuhuwael, 2006).
Laporan di RS dr.Kariadi antara tahun 1996-2000 dijumpai penderita KNF sebanyak 270
kasus (Yuyun, 2000). Di Bagian THT FK-UI RSCM selama periode 1988-1992 didapati
dari 1370 pasien baru onkologi kepala dan leher (Lutan, 2003), sedangkan selama Januari
1991 sampai April 1996 didapatkan 94 kasus KNF dari 160 kasus tumor ganas (Adnan,
1996).
Mengetahui gambaran penderita KNF di RSUP H.Adam Malik Medan tahun 2006 -
2010.
Malik Medan.
Malik Medan.
Medan
Sebagai bahan informasi bagi peneliti lain yang akan melakukan penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
pseudostratified columnar tipe pernafasan dan epitel non keratinizing stratified squamous
(Cottrill & Nutting, 2003; Wei, 2006). Tumor nasofaring mudah meluas ke fosa serebri
media melalui 2 titik lemah yaitu, foramen laserum dan ovale (Cotrril &Nutting, 2003).
Sistem limfatik dari atap dan dinding posterior nasofaring berjalan ke arah
anteroposterior dan bergabung pada garis tengah. Pada dinding lateral, terutama di daerah
tuba Eustachius paling kaya akan pembuluh limfe. Aliran limfenya juga berjalan ke arah
proksimal dari masing-masing sisi rantai kelenjar spinal dan jugularis interna, dimana
rantai kelenjar ini terletak di bawah otot sternokleidomastoideus pada tiap prosesus
mastoid. Beberapa kelenjar dari rantai jugular letaknya sangat dekat dengan saraf-saraf
2.2. Epidemiologi
Insiden KNF yang paling tinggi adalah pada etnik Cina di sekitar propinsi
Guangdong yaitu 20-30 kasus per 100.000 penduduk laki-laki dan 15-20 kasus per
100.000 penduduk wanita (Wei WI & Kwong DLW, 2010), selain itu juga daerah Asia
Selatan, Afrika utara, Timur Tengah dan populasi Eskimo di Alaska (Chang dan Adami,
2006; Plant, 2009). KNF relatif jarang pada populasi kulit putih, insidensi di Inggris 0,3
per 1.000.000 penduduk pada usia 0-14 tahun (Brennan, 2006), sedangkan di Amerika
penurunan insidens KNF menjadi 5 per 100.000. Insidensi turunan Cina di Negara Barat
lebih rendah dibandingkan turunan Cina di Asia. Insidensi turunan Cina di Los Angeles
adalah 6,5 kasus per 100.000 laki-laki, sedangkan insidensi turunan Cina di Singapura
18.1 kasus per 100.000 penduduk pada laki-laki (Sun et al, 2005; Lo et al,2007).
Distribusi ras/etnik dan geografi yang khusus ini memberi kesan bahwa faktor lingkungan
dan genetik turut berperan dalam terjadinya KNF (Pua et al, 2008).
Penelitian case series Roezin (1996) selama periode 10 bulan mendapatkan insiden
tertinggi pada kelompok umur 30-39 tahun dan 40-49 tahun masing-masing sebesar
25.92% di RSCM Jakarta. Penelitian case series Muyassaroh et al (1999) di RSUP dr.
Kariadi Semarang mendapatkan insiden tertinggi pada kelompok umur 40-49 tahun dan
Hasil yang berbeda didapat oleh Hadi dan Kusuma (1999) di RSUD dr. Soetomo
Surabaya mendapatkan insiden tertinggi pada kelompok umur 51-60 tahun yaitu 39
(30.23%) diikuti kelompok umur 41-50 tahun yaitu 31 dari 129 kasus (24.03%). Penelitian
lain di RSUP H. Adam Malik Medan, seperti penelitian case series oleh Lutan (2003)
mendapatkan insiden tertinggi pada kelompok umur 40-49 tahun sebanyak 40% dari 130
kasus. Di kepustakaan disebutkan umur penderita bervariasi mulai kurang dari 10 tahun
hingga lebih 80 tahun, dengan puncak insiden pada usia 40-50 tahun (Lee, 2003) ataupun
Insiden KNF di Malaysia Juli 2007 sampai Februari 2008 antara laki-laki dengan wanita
berbanding 3 : 1 (Pua et al,2008). Secara case series, di RSUP dr. M. Djamil Padang dan
RSUD Dr. Achmad Muchtar Bukittinggi selama tahun 2006-2008 ditemukan 45 kasus
2.3. Etiologi
Penyebab pasti dan spesifik KNF sampai saat ini masih belum diketahui, namun faktor
genetik dan lingkungan, seperti infeksi Epstein Barr virus dan konsumsi ikan asin
diyakini sebagai penyebab (Zou, 2007). Beberapa faktor yang dianggap berpengaruh
terhadap KNF :
Faktor Genetik
beberapa kelompok etnik, adanya peningkatan risiko pada keluarga penderita KNF dan
masih tingginya risiko KNF emigran Cina di daerah yang insiden KNF nya sangat
Penelitian pertama tentang adanya kelainan genetik ras Cina yang dihubungkan
dengan kejadian KNF adalah penelitian tentang Human Leucocyte Antigen (HLA).
Pada etnik Cina, KNF dihubungkan dengan ditemukannya HLA tipe A2 dan Bw46
(Cottrill dan Nutting, 2003). Penelitian di Medan menemukan alel gen yang potensial
sebagai penyebab kerentanan timbulnya KNF pada suku Batak adalah alel gen HLA-
Faktor Lingkungan
Virus ini pertama kali ditemukan oleh Epstein dan Barr pada tahun 1964 dalam
biakan sel limfoblas dari penderita limfoma Burkitt. Virus ini merupakan virus DNA
berreplikasi pada sel epitel orofaring dan kelenjar parotis, kemudian menyebar lewat
Faktor Makanan
menyebutkan bahwa konsumsi dini ikan asin menyebabkan KNF di Cina Selatan dan
Hongkong. Suatu studi kasus kontrol menunjukkan bahwa konsumsi ikan asin yang
sering sebelum usia 10 tahun yang berhubungan dengan peningkatan risiko terjadinya
Zat nitrosamin juga didapati pada makanan yang dikonsumsi masyarakat Tunisia,
Cina Selatan, dan Greenland dimana angka kejadian KNF cukup tinggi. Nitrosamin
banyak dijumpai pada bahan makanan yang diawetkan dengan cara pengasinan seperti
ikan asin ataupun dengan cara pengasapan. Pada proses pengasinan atau pengeringan
ikan dengan pemanasan sinar matahari, ekstrak ikan asin membentuk nitrosamin dan
Faktor lingkungan lain yang mempunyai risiko terhadap KNF adalah merokok,
terpapar bahan dari industri seperti formaldehid, asap kayu bakar, asap dupa, tetapi
hubungan yang jelas antara zat-zat tersebut dengan KNF belum dapat dijelaskan.
berbentuk uap dan asap yang terhirup berpeluang terbesar terhadap terjadinya KNF
(Nolodewo A, Yuslam, dan Muyassaroh, 2007). Perokok berat berisiko 2-4 kali
dibanding yang tidak merokok. Konsumsi alkohol yang tinggi tidak menunjukkan
Dikarenakan kaya akan suplai limfatik dan area yang sulit diperiksa, maka metastasis
servikal sering dijumpai pada tampilan awal. Seperti keganasan kepala dan leher lainnya,
tidak ada hubungan antara ukuran tumor primer dengan kelenjar limfe servikal. Tanda dan
gejala awal KNF tidak khas dan tidak spesifik, dan nasofaring merupakan area yang sulit
untuk diperiksa. Sehingga KNF sering didiagnosa saat stadium lanjut dibandingkan
Penderita KNF sering mengalami satu atau lebih dari 4 kelompok gejala yaitu gejala
hidung, telinga, keterlibatan saraf kranial, dan pembesaran kelenjar limfe leher (Wei, WI
Epistaksis
Gejala ini timbul akibat permukaan tumor rapuh sehingga iritasi ringan dapat
Hidung sumbat
Gejala ini akibat pertumbuhan massa tumor yang menutup koana, infiltrasi tumor
dapat terjadi ke mukosa kavum nasi, dan massa tumor dapat menonjol kedalam
kavum nasi.
Gangguan pendengaran
Tinnitus
Bila dijumpai gejala otalgia, maka tumor sudah menginfiltrasi daerah parafaring
dan mendestruksi basis kranii. Nyeri yang hebat pada telinga dapat juga terjadi
Sindroma Petrosfenoidal
Akibat penjalaran tumor primer ke atas melalui foramen laserum dan ovale
sepanjang fosa kranii medial sehingga mengenai saraf kranial anterior berturut-
turut yaitu saraf VI, III, IV, sedangkan saraf II paling akhir mengalami gangguan.
visus, parese saraf III menimbulkan ptosis, dan parese saraf III, IV, dan VI
pergerakan bola mata, dan saraf V (trigeminus) dengan keluhan rasa kebas di pipi
dan wajah yang biasanya unilateral. Apabila semua saraf grup anterior (n. II – n.
VI) terkena, maka akan timbul gejala : neuralgia trigeminal unilateral, oftalmoplegi
unilateral, serta gejala nyeri kepala hebat yang timbul akibat penekanan tumor
Sindroma Parafaring
Gejala ini timbul akibat gangguan saraf kranial grup posterior (n. IX, X, XI dan
disfagia dan spasme esofagus. Gangguan sensorik berupa nyeri daerah laring dan
dan atrofi sebelah lidah, nervus VII dan nervus VIII jarang terkena KNF karena
Gejala ini paling sering ditemukan dan membawa penderita berkonsultasi dengan
dokter, sebagian besar penderita datang dengan pembesaran kelenjar leher baik
terdekat secara limfogen dari KNF. Pembesaran kelenjar yang agak khas akibat
mandibula yaitu kelenjar jugulodigastrik dan kelenjar servikal posterior (atas dan
mendapatkan sebagian besar penderita KNF (74.5%) datang berobat dengan keluhan
benjolan di leher, dan paling banyak bilateral sebesar 50% (Lee et al, 1997),
kelenjar leher (Liu et al,2003). Dari enam sentra di Malaysia keluhan utama adalah
bengkak di leher (42%), hidung sumbat (30%), keluhan telinga (11%), sakit kepala
(5%), saraf kranial (6 %), dll (6%) (Pua et al, 2008). Tumor biasa teraba keras, tidak
nyeri, dapat terfiksir atau mudah digerakkan (Ahmad, 2002; Cottrill dan Nutting,
Metastasis jauh dari KNF dapat secara limfogen atau hematogen, yang dapat
mengenai spina vertebra torakolumbar, femur, hati, paru, ginjal dan limpa.
yang sangat buruk, biasanya 90% meninggal dalam waktu 1 tahun setelah diagnosis
2.5. Diagnosis
2.5.1. Anamnesis
bervariasi antara satu pasien dengan pasien yang lain (Munir, 2009).
2.5.2. Pemeriksaan
2.5.2.2. Endoskopi
selalu dimasukkan seiring dengan endoskopi agar dapat melakukan biopsi tumor
biopsi yang tepat dan menentukan luas penyebaran tumor ke jaringan sekitarnya
(Her, 2001).
tumor ke jaringan sekitarnya yang belum terlalu luas, dan juga dapat mendeteksi
erosi basis kranii dan penjalaran perineural melalui foramen ovale sebagai jalur
utama perluasan ke intrakranial. CT scan dilakukan tanpa zat kontras atau bila
diperlukan dapat digunakan zat kontras bila terdapat kesulitan dalam menentukan
batas tumor atau untuk menilai kelenjar limfe dan pembuluh darah. Selain itu,
dapat pula menilai kekambuhan tumor setelah pengobatam, adanya metastasis, dan
juga akibat komplikasi paska radioterapi seperti nekrosis lobus temporal dan atrofi
lunak nasofaring superfisial atau dalam dan untuk membedakan tumor dengan
jaringan lunak. MRI juga lebih sensitif untuk menilai metastase kelenjar retrofaring
dan kelenjar leher dalam. Akan tetapi MRI kemampuannya terbatas dalam detail
tulang dan CT harus dilakukan bila status dasar tengkorak tidak dapat ditentukan
dengan jelas oleh MRI (Cottrill dan Nutting 2003; Wei dan Sham, 2005).
sensitif untuk menilai adanya tumor residual atau rekuren pada KNF (Wei dan
Sham, 2005).
a. Histopatologi
b. Pemeriksaan Imunohistokimia
c. Pemeriksaan Serologi
2.6. Histopatologi
KNF merupakan kanker sel skuamus yang berasal dari epitel yang melapisi
Tipe ini berisiko rendah untuk terjadi metastasis, namun mempunyai angka survival
Merupakan tipe yang paling sering dijumpai dan hampir dijumpai pada KNF di daerah
2.7. Stadium
Cara penentuan stadium KNF menurut AJCC/UICC edisi ke-6 tahun 2002, yaitu (Brennan,
2006) :
supraklavikular
supraklavikular
Stadium T N M
I T1 No Mo
II A T 2a No Mo
II B T 1-2a N1 Mo
III T 1-2b N2 Mo
T3 N0 Mo
IV A T4 N 0-2 Mo
IV B semua T N3 Mo
IV C semua T Semua N M1
Database 2007-2008 di Malaysia pada kasus baru KNF dijumpai 47 % stadium IV,
28 % stadium III, 21 % stadium II, dan hanya 4 % stadium I. (Pua et al, 2008). Di RSUP
HAM periode Desember 2006 sampai September 2007 dari 24 penderita KNF dijumpai
41,1 % stadium III, stadium IV sebanyak 29,1 %, dan hanya 4,2 % dan 25 % dengan
2.8. Penatalaksanaan
tindakan reseksi bedah jarang dilakukan pada KNF (Brennan, 2006; Plant, 2009).
2.9. Prognosis
Penelitian pada 2.678 pasien yang diterapi di 5 pusat onkologi Hongkong, dengan
untuk harapan hidup (survival). Pada penelitian ini, KNF yang diterapi antara 1996
87 % untuk stadium II, 79 % untuk stadium III, dan 65 % untuk stadium IV (Plant,
2009).
KERANGKA KONSEP
Epitel Nasofaring
Sosial Ekonomi
Suku/Ras
Genetik Pekerjaan Paparan bahan industri
Rokok
Faktor Makanan :
Konsumsi ikan
asin Karsinoma Nasofaring Jenis
(mengandung Kelamin
nitrosamine)
Terapi
: Variabel penelitian
METODE PENELITIAN
2011.
3.3.1. Populasi
3.3.2. Sampel
Variabel yang diteliti : umur, jenis kelamin, suku bangsa, pekerjaan, keluhan
Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang berasal dari sel epitel
histopatologi jaringan.
Umur adalah usia yang dihitung dalam tahun dan menurut ulang tahun
Jenis kelamin yaitu laki-laki dan perempuan sesuai dengan yang tertulis di
rekam medis.
Suku bangsa adalah suatu masyarakat dengan budaya, bahasa, agama, dll
Tipe histopatologi adalah jenis dari suatu tumor yang sediaanya diambil dari
jaringan biopsi yang dilihat di bawah mikroskop oleh ahli patologi anatomi
sesuai dengan yang tertulis di rekam medis yang tipenya menurut kriteria
WHO. :
Rekam Medis
Umur
Jenis Kelamin
Suku
Pekerjaan
Keluhan Utama
Histopatologi
Stadium
Terapi
3.7.1. Persiapan
Mencatat nama dan nomor rekam medis penderita KNF yang datang ke poliklinik
Medan mulai Januari 2006 sampai Desember 2010 dan menghubungi Instalasi
Data yang dikumpulkan adalah data sekunder yang diperoleh dari pencatatan
rekam medis penderita KNF di RSUP H.Adam Malik Medan mulai Januari 2006 –
Desember 2010.
Data yang diperoleh akan disajikan dalam bentuk tabel dan diagram. Data
Data yang diperoleh akan diolah dengan SPSS versi 15. Dilakukan analisa
data untuk melihat kebermaknaan antara jenis kelamin dan umur berdasarkan
stadium klinis dilakukan uji chi-square dengan tingkat kemaknaan bila p<0.05.
HASIL PENELITIAN
Malik Medan mulai Januari 2006-Desember 2010 yang terkumpul sebanyak 335 orang
Tahun N (%)
2006 43 12.8
2007 44 13.1
2008 93 27.8
2009 88 26.5
2010 67 20.6
Total 335 100
Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa frekuensi tertinggi dijumpai pada tahun
2008 diikuti tahun 2009 sebesar 93 penderita (27.8%) dan 88 penderita (26.5%),
TAHUN TOTAL
Umur 2006 2007 2008 2009 2010
n (%) n (%) n (%) n (%) n (%) n (%)
<11-20 0 (0) 2 (4.5) 1 (1.1) 4 (4.5) 5 (7.5) 12 (3.6)
21-30 3 (7.1) 4 (9.1) 7 (7.5) 5 (5.7) 2 (3.0) 21 (6.3)
31-40 6 (13.9) 6 (13.6) 17 (18.3) 18 (20.4) 12 (17.9) 59 (17.6)
41-50 6 (13.9) 8 (18.2) 21 (22.6) 29 (33.0) 24 (35.8) 88 (26.3)
51-60 15 (34.9) 11 (25.0) 33 (35.5) 13 (14.8) 17 (25.4) 89 (26.5)
>60 13 (30.2) 13 (29.6) 14 (15.0) 19 (21.6) 7 (10.4) 66 (19.7)
Distribusi frekuensi tertinggi sejak tahun 2006-2010 terdapat pada kelompok umur
51-60 tahun sebanyak 89 penderita (26.5%) dan diikuti 41-50 tahun 88 penderita
(26.35%), sedangkan yang terendah pada kelompok umur <11-20 tahun sebanyak 12
penderita (3.6%). Usia termuda adalah 12 tahun dan tertua berusia 88 tahun dengan umur
Distribusi kelompok umur 51-60 tahun merupakan frekuensi yang terbanyak pada
tahun 2006 dan 2008. Hal ini berbeda dengan tahun 2007 dimana kelompok umur yang
terbanyak adalah > 60 tahun, sedangkan tahun 2009 dan 2010 adalah pada kelompok
TAHUN TOTAL
Jenis 2006 2007 2008 2009 2010
Kelamin n (%) n (%) n (%) n (%) n (%) n (%)
Laki-laki 25 (58.1) 33 (75.0) 64 (68.8) 67 (76.1) 56 (83.6) 245 (73.1)
Perempuan 18 (41.9) 11 (25.0) 29 (31.2) 21 (23.9) 11 (16.4) 90 (26.9)
Total 43(100) 44(100) 93 (100) 88(100) 67(100) 335(100)
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa setiap tahunnya jenis kelamin laki-laki lebih
TAHUN TOTAL
Suku bangsa 2006 2007 2008 2009 2010
n (%) n (%) n (%) n (%) n (%) n (%)
Batak 22 (51.2) 29 (65.9) 51 (54.8) 48 (54.5) 41 (61.2) 191 (57.1)
Aceh 8 (18.5) 3 (6.8) 7 (7.6) 13 (14.8) 11 (16.4) 42 (12.5)
Melayu 3 (7.0) 4 (9.1) 8 (8.6) 13 (14.8) 6 (9.0) 34 (10.1)
Jawa 7 (16.3) 8 (18.2) 23 (24.7) 13 (14.8) 7 (10.4) 58 (17.3)
Minang 3 (7.0) 0 (0) 4 (4.3) 1 (1.1) 2 (3.0) 10 (3.0)
Total 43(100) 44(100) 93(100) 88 (100) 67 (100) 335(100)
suku tercatat tertinggi adalah Batak 57.1% dan terendah adalah Minang 3.0%.
TAHUN TOTAL
Pekerjaan 2006 2007 2008 2009 2010
n (%) n (%) n (%) n (%) n (%) n (%)
PNS 3 (7.0) 2 (4.5) 13 (13.9) 16 (18.2) 12 (17.9) 46 (13.7)
Wiraswasta 14 (32.6) 10 (22.7) 23 (24.7) 19 (21.6) 9 (13.4) 75 (22.4)
Ibu rumah tangga 12 (27.9) 7 (16.0) 14 (15.1) 22 (25.0) 10 (14.9) 65 (19.4)
Petani 12 (27.9) 18 (40.9) 28 (30.1) 21 (23.9) 14 (20.9) 93 (27.8)
Nelayan 1 (2.3) 2 (4.5) 9 (9.7) 6 (6.8) 16 (23.9) 34 (10.1)
Tidak bekerja 1 (2.3) 5 (11.4) 6 (6.5) 4 (4.5) 6 (9.0) 22 (6.6)
Total 43(100) 44(100) 93 (100) 88(100) 67(100) 335(100)
TAHUN TOTAL
Keluhan Utama 2006 2007 2008 2009 2010
n (%) n (%) n (%) n (%) n (%) n (%)
Benjolan di leher 31 (72.0) 33 (75.0) 67 (72.0) 60 (68.1) 47 (70.1) 238(71.0)
Keluhan Hidung 9 (23.3) 9 (20.4) 10 (10.8) 21 (23.9) 17 (25.4) 66(19.7)
Keluhan telinga 0 (0) 1 (2.3) 7 (7.5) 2 (2.3) 1 (1.5) 11 (3.3)
Keluhan neurologis 3 (4.7) 1 (2.3) 9 (9.7) 5 (5.7) 2 (3.0) 20 (6.0)
Metastase jauh 0 (0) 0 (0) 0 (0) 0 (0) 0 (0) 0 (0)
Total 43 (100) 44(100) 93(100) 88(100) 67(100) 335(100)
Berdasarkan tabel di atas dapat terlihat bahwa setiap tahunnya benjolan di leher
merupakan keluhan utama tersering dijumpai sebesar 71.0%. Keluhan hidung sebesar
19.7% terdiri dari hidung sumbat 16.7% dan hidung berdarah 3.0%.
TAHUN TOTAL
Histopatologi 2006 2007 2008 2009 2010
n (%) n (%) n (%) n (%) n (%) n (%)
Tipe I 18 (41.9) 7 (15.9) 28 (30.1) 12 (13.6) 10 (15.0) 75 (22.4)
Tipe II 18 (41.9) 21 (47.7) 50 (53.8) 46 (52.3) 21 (31.3) 156 (46.6)
Tipe III 7 (16.2) 16 (36.4) 15 (16.1) 30 (34.1) 36 (53.7) 104 (31.0)
Total 43(100) 44(100) 93(100) 88(100) 67(100) 335(100)
merupakan tipe tersering yang ditemukan sebanyak 156 kasus (46.6%), diikuti tipe III
TAHUN TOTAL
Stadium 2006 2007 2008 2009 2010
n (%) n (%) n ( %) n (%) n (%) n (%)
I 0 (0) 0 (0) 1 (1.1) 1 (1.1) 0 (0) 2 (0.6)
II 6 (13.9) 6 (13.6) 25 (26.8) 10(11.3) 9 (13.5) 56 (16.7)
III 18 (41.9) 16 (36.4) 33 (35.5) 38(43.2) 21 (31.3) 126(37.6)
IV 19 (44.2) 22 (50) 34 (36.6) 39(44.4) 37 (45.2) 151(45.1)
Total 43(100) 44(100) 93(100) 88(100) 67(100) 335(100)
Pada tabel di atas diketahui bahwa setiap tahunnya stadium lanjut merupakan
frekuensi stadium yang terbanyak, dan selama periode 5 tahun stadium lanjut dijumpai
sebesar 82.7% yang terdiri dari stadium IV sebesar 45.1% dan stadium III sebesar 37.%,
TAHUN TOTAL
Terapi 2006 2007 2008 2009 2010
n (%) n (%) n (%) n (%) n (%) n (%)
Radioterapi 0 (0) 0 (0) 18 (19.4) 17 (19.3) 12 (17.9) 47 (14.0)
Kemoterapi 33 (76.7) 19 (43.2) 32 (34.4) 12 (13.6) 24 (35.8) 120 (35.8)
Radioterapi+ 0 (0) 0 14 (15.1) 43 (48.9) 20 (29.9) 77 (23.0)
kemoterapi
10 (23.3) 25 (56.8) 29 (31.2) 16 (18.2) 11 (16.4) 91 (27.2)
Terapi (-)
Total 43 (100) 44(100) 93(100) 88(100) 67(100) 335(100)
Pada tabel di atas tampak penderita KNF paling banyak mendapat kemoterapi
sebesar 120 penderita (35.8%) sedangkan paling sedikit mendapat radioterapi sebanyak
47 penderita (14%).
Jenis kelamin berdasarkan stadium klinis penderita KNF di RSUP H. Adam Malik
Tabel 4.2.1. Distribusi frekuensi jenis kelamin penderita KNF berdasarkan stadium klinis
Berdasarkan tabel 4.2.1. dapat dilihat bahwa penderita KNF 58 orang stadium dini dengan
jenis kelamin laki-laki 32 penderita dan perempuan 27 penderita. Dari 277 penderita
stadium lanjut, laki-laki sebesar 213 penderita dan perempuan sebesar 64 penderita.
berarti secara statistik tidak ada perbedaan bermakna antara jenis kelamin berdasarkan
stadium klinis.
Umur Jumlah
Stadium 48 tahun >48 tahun
Stadium dini 24 (40.7%) 35 (59.3%) 59 (100%)
Stadium lanjut 139 (50.3) 137 (49.7%) 276 (100%)
df=1 p=0.177
berarti secara statistik tidak ada perbedaan bermakna antara kelompok umur berdasarkan
stadium klinis.
BAB 5
PEMBAHASAN
penderita KNF selama 5 tahun terakhir (2006-2010) sebanyak 335 penderita yang akan
Dari gambar di atas tampak frekuensi penderita KNF dari tahun 2007-2010
peningkatan sebesar dua kali lipat pada tahun 2008 dan 2009 dibandingkan tahun 2006.
peningkatan jumlah pasien KNF tahun 1995 dibandingkan tahun 1991 sebesar 29% di
RSUP dr. Sardjito Yogyakarta. Muyassaroh et al (1999) di RSUP dr. Kariadi Semarang
terjadi peningkatan dari 40 penderita KNF tahun 1996 menjadi 54 penderita pada tahun
Guangdong dengan angka insiden 14.02/100.000 penduduk per tahun pada tahun 1970
menjadi 17.02/100.000 penduduk per tahun pada tahun 1999, dimana terjadi peningkatan
Pada gambar di atas tampak frekuensi tertinggi pada tahun 2008. Menurut peneliti,
salah satu yang mempengaruhinya adalah program simposium deteksi dini KNF di
Sumatera Utara yang membuka wacana tenaga medis, paramedis dan masyarakat
sehingga lebih peduli bila dijumpai gejala-gejala KNF untuk diperiksakan ke Rumah
Sakit sentra.
Medan sejak Januari 2006-Desember 2010 dapat dilihat pada gambar 5.2.
Pada gambar 5.2 terlihat bahwa setiap tahunnya memiliki variasi untuk kelompok
umur terbanyak.
Gambar di atas menunjukkan bahwa kelompok umur 41-50 tahun terus meningkat
dari tahun 2006 sampai 2010. Sedangkan kelompok umur >60 tahun mengalami
penurunan tahun 2010 dibandingkan tahun 2006 sebesar 46.2%. Hal ini sesuai dengan
data BPS, yang menunjukkan komposisi penduduk Indonesia pada kelompok umur 15-64
tahun pada tahun 2007 sebesar 65.05% dan pada tahun 2008 sebesar 67.67%; sedangkan
kelompok umur ≥65 tahun pada tahun 2008 sebesar 5.10% menurun dibandingkan tahun
2007 (Depkes, 2007). Dari kepustakaan dinyatakan bahwa umur penderita bervariasi
mulai dari kurang 10 hingga 80 tahun, dengan puncak insiden pada umur 40-50 tahun
Pada penelitian ini didapatkan umur termuda adalah 12 tahun dan tertua umur 88
tahun . Hal ini sesuai dengan penelitian case series Hsien et al (2009) pada Rumah Sakit
Raja Isteri Pangiran Anak Saleha (RIPAS) Brunei Darusalam mayoritas dijumpai pada
usia termuda 12 tahun dan tertua 83 tahun. Berbeda dengan penelitian cross sectional
Kartika (2010) di RSUP dr.Kariadi Semarang dilaporkan umur termuda 14 tahun dan
terdapat pada kelompok umur 51-60 tahun sebanyak 89 penderita (26.5%), diikuti 41-50
tahun sebanyak 88 penderita (26.3%) dan terendah pada kelompok umur <11-20 tahun.
Hal ini sesuai dengan penelitian lain di Indonesia, yaitu Hadi dan Kusuma (1999)
di RSU dr.Soetomo Surabaya mendapatkan kelompok terbanyak pada umur 51-60 tahun
sebanyak 39 penderita pada 129 penderita KNF. Penelitian case series Yenita dan Asri
(2008) di Sumatera Barat selama periode 2006-2008 melaporkan paling sering terdapat
pada kelompok umur 51-60 tahun yaitu sebesar 17 penderita (37.8%) dari 45 penderita .
Sedangkan di luar negeri, dijumpai hal yang sama oleh Pua et al (2008) terhadap 225
kasus baru KNF pada beberapa sentra di Malaysia terbanyak pada kelompok usia 51-60
Keganasan didapatkan pada usia tua (lebih dari 40 tahun) karena sistem imunitas
dan mekanisme perbaikan DNA yang mengalami mutasi (DNA repair) sudah kurang
rangkaian asam amino pada kode genetik DNA yang mengalami mutasi. Jika mekanisme
DNA yang sudah terjadi akan menyebabkan pertumbuhan sel tidak terkendali
(Soehartono et al, 2007). Berdasarkan penelitian para ahli disimpulkan bahwa suatu
transformasi sel sendiri dapat berlangsung lama, karena di dalam sel kanker telah
terakumulasi banyak mutasi. Selain itu, dibutuhkan sejumlah banyak pembelahan sel
untuk menjadikan suatu tumor menjadi manifes dari satu sel yang mengalami
transformasi. Tergantung dari frekuensi pembelahannya hal ini dapat berlangsung 5-10
tahun. Dengan demikian tumor tersebut telah ada jauh sebelum kita dapat
mendiagnosisnya (Bostman, 1996). Infeksi EBV sebagai salah satu faktor risiko KNF
memiliki masa laten untuk mempertahankan episom EBV dalam epitel nasofaring yang
terinfeksi, sekitar 20-25 tahun tanpa gejala. Hal ini menyebabkan infeksi EBV
menyediakan kumpulan sel target pada nasofaring yang rentan terhadap paparan
karsinogen lingkungan serta perubahan genetik selanjutnya pada onkogen dan gen
suppressor tumor yang berperan dalam transformasi keganasan menjadi KNF (Richardson,
2005).
Distribusi frekuensi jenis kelamin pada penderita KNF dapat dilihat pada gambar
5.4.
Gambar di atas menunjukkan bahwa setiap tahunnya, jenis kelamin laki-laki lebih
banyak dijumpai dibandingkan perempuan. Frekuensi jenis kelamin laki-laki tahun 2007
sampai 2010 mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2006, sedangkan jenis kelamin
Gambar 5.5. Distribusi frekuensi jenis kelamin penderita KNF selama tahun 2006-2010
Hasil ini sesuai dengan penelitian lain di RSUP H. Adam Malik Medan yaitu oleh
Lutan (2003) mendapatkan perbandingan laki-laki dan perempuan 2.3:1, Henny (2006)
2.4:1, Nasution (2007) 2.69:1, Harahap (2009) 2.5:1 dan Siregar (2010) 2.7:1. Penelitian
di sentra lain di Indonesia mendapatkan hasil yang hampir sama yaitu Hutagalung et al
(1996) di RSUP dr.Sardjito Yogyakarta 2.47:1, Hadi dan Kusuma (1997) di RSUD
dr.Soetomo Surabaya 2.1:1, Masrin (2005) di RSCM dengan 2.5:1, Yenita dan Asri
(2008) di Sumatera Barat 2.5:1, Sofyan (2010) di RS dr.Hasan Sadikin Bandung 2:1.
hampir semua penelitian, hal ini diduga ada hubungannya dengan kebiasaan hidup serta
pekerjaan yang menyebabkan laki-laki sering kontak dengan karsinogen penyebab KNF.
Paparan uap, asap debu dan gas kimia di tempat kerja meningkatkan risiko KNF 2-6 kali.
Sementara paparan formaldehid di tempat kerja meningkatkan risiko KNF 2-4 kali.
Peningkatan risiko juga terjadi pada pekerja yang menghirup uap kayu, dan risiko
meningkat 2 kali pada pekerja yang terpapar panas industri dan produk pembakaran
(Chang dan Adami, 2006). Risiko juga meningkat pada peminum alkohol dengan OR 2.9;
95% CI, 1.2-6.9 (Vaughan et al, 1996). Selain itu, hormon testosteron yang dominan pada
sehingga laki-laki lebih rentan terhadap infeksi EBV dan kanker (Munir,2009).
Distribusi frekuensi suku bangsa tahun 2006-2010 dapat dilihat pada gambar 5.6.
Suku Batak merupakan kelompok yang terbanyak sebesar 57.1% dapat dilihat
pada gambar di atas, diikuti suku Jawa sebesar 12.5% dan terendah dijumpai pada suku
Pada hampir semua penelitian di RSUP H. Adam Malik Medan mendapatkan hasil
yang sama seperti seperti Lutan (2003) mendapatkan angka 43.1% pada suku Batak,
Aliandri (2007) mendapatkan 51.9% penderita suku Batak, Zahara (2007) mendapatkan
penderita suku Batak sebesar 54.2%. Harahap (2009) 42.9% dan Astuty (2010) sebesar
44.4%. Sama halnya dengan Nurhalisah (2009) di RSU dr.Pirngadi Medan melaporkan
54.5% penderita KNF suku Batak. Sebagai perbandingan dengan hasil penelitian di sentra
lain di Indonesia seperti Hadi dan Kusuma (1997) di RSUD dr. Soetomo Surabaya
mendapatkan suku terbanyak adalah suku Jawa (73.6%) dan Punagi (2007) di Makassar
mendapatkan angka 46.7% pada suku Bugis, diikuti Makassar sebesar 26.7%.
kekerapan yang cukup tinggi (Roezin, 1995; Chew, 1997). Perbedaan yang didapat pada
penelitian ini dibandingkan sentra lain mungkin dipengaruhi lokasi rumah sakit dan suku
sebagai penyebab kerentanan timbulnya KNF yaitu alel gen HLA-DRB*08 (Munir, 2007)
penderita yang tercatat, tertinggi adalah petani 27.8% dan terendah pada yang tidak
Hasil ini hampir sama dengan penelitian lain di RSUP H.Adam Malik Medan
yaitu Astuty (2010) dengan pekerjaan terbanyak sebagai petani sebesar 28.8%, Siregar
(2010) sebesar 29.4%. Hal ini mungkin disebabkan petani/buruh lebih sering terpapar
asap industri, serbuk kayu dan beberapa ekstrak tumbuhan (Ahmad, 2002).
Gambar 5.8. Distribusi frekuensi keluhan utama penderita KNF per tahun
utama tertinggi pada tiap tahun adalah benjolan di leher. Keluhan hidung tahun 2006 ke
tahun 2008 mengalami penurunan, sedangkan dari tahun 2008 ke 2010 mengalami
peningkatan. Sebaliknya keluhan telinga dan gejala neurologis mengalami kenaikan pada
Berdasarkan gambar 5.9 tampak bahwa selama lima tahun benjolan di leher
merupakan keluhan yang tersering mendorong penderita berobat sebesar 71%, diikuti
keluhan hidung sebesar 19.7% berupa hidung sumbat dan hidung berdarah, gejala
neurologis 6%, keluhan telinga 3% dan keluhan metastase jauh tidak dijumpai.
Hal ini sesuai dengan penelitian lain di Medan oleh Nurhalisah (2009) di RSU
dr.Pirngadi masing-masing sebesar 88.9% dari 108 penderita. Penelitian di sentra lain
oleh Hadi dan Kusuma (1999) di Surabaya sebesar 51.16% dari 129 penderita dan
141 penderita.Penelitian lain oleh Lee et al (1997) di Hongkong benjolan di leher sebesar
75.8% dari 4768 penderita, Pua et al (2008) di Malaysia benjolan di leher sebesar 42 %
karena penderita lebih banyak mencari pengobatan setelah merasakan adanya benjolan di
leher dan mengganggu aktivitas, sedangkan gejala lain seperti hidung sumbat ataupun
sakit kepala dianggap hal biasa dan merupakan gejala penyakit lain.
Pada gambar di atas dilihat tipe II mengalami peningkatan frekuensi dari tahun
2006 sampai 2009 dan mengalami penurunan dari tahun 2009 ke tahun 2010 sebesar
54.3%. Tipe III mengalami peningkatan yang signifikan dari tahun 2006 ke 2010 sebesar
37.5%. Sebaliknya terjadi penurunan frekuensi tipe I dari tahun 2006 ke 2010 sebesar
26.9%.
Frekuensi jenis histopatologi selama lima tahun pada gambar 5.11 tampak tipe II
merupakan jenis yang tersering sebesar 46.6%, diikuti tipe III sebesar 31% dan terendah
Hal ini sama dengan penelitian lain di RSUP H. Adam Malik Medan yaitu
Harahap (2009) sebesar 50%, Hidayat (2009) sebesar 63.6%. Berbeda dengan Aliandri
(2007) mendapatkan WHO tipe 3 yang terbanyak (54.4%), diikuti WHO tipe 2 (41.8%)
dan WHO tipe 1 (3.8%). Zahara (2007) mendapatkan jenis histopatologi terbanyak WHO
tipe 3 (58.3%), diikuti WHO tipe 2 (37.5%) dan WHO tipe 1 (4.2%). Nasution (2007)
mendapatkan WHO tipe 3 yang terbanyak (38.6%), diikuti WHO tipe 2 (33.3%) dan
WHO tipe 1 (28.1%). Delfitri M (2007) mendapatkan WHO tipe 3 sebesar 54.6%, diikuti
Dalam kepustakaan distribusi jenis histopatologi adalah WHO tipe 1 (10%), WHO
tipe 2 (20%) dan WHO tipe 3 (70%) (Lin, 2007). Di Amerika Utara didapati WHO tipe 1
(25%), WHO tipe 2 (12%) dan WHO tipe 3 (63%). Sementara itu distribusi histopatologi
di Cina Selatan WHO tipe 1 (3%), WHO tipe 2 (2%), dan WHO tipe 3 (95%) (Wei dan
Sham, 2005; Wei, 2006). Erkal et al. (2001) di Turki mendapatkan WHO tipe 1 (35%),
WHO tipe 2 (20%) dan WHO tipe 3 (61%) dari 155 penderita KNF. WHO tipe 2 dan 3
paling banyak dijumpai di daerah endemik KNF, seperti di Cina Selatan, Asia Tenggara
dan Afrika Utara. Sementara WHO tipe 1 lebih sering dijumpai di Eropa dengan
prognosis yang lebih buruk (Licitra et al. 2003; Guigay et al. 2006).
Berdasarkan gambar 5.12. terlihat bahwa frekuensi setiap tahunnya stadium lanjut
yaitu stadium III dan IV selalu lebih banyak dijumpai dibandingkan stadium dini
13.4% pada tahun 2008 dibandingkan tahun 2007, sebaliknya stadium II mengalami
peningkatan sebesar 13.2% pada tahun 2008 dibanding tahun 2007, hal ini mungkin
disebabkan pengaruh Simposium Upaya Deteksi Dini KNF di Sumatera Utara, sehingga
bila dijumpai gejala dan tanda dini mendorong pasien, paramedis dan medis untuk
Pada gambar 5.13. tampak bahwa stadium lanjut sebesar 82.7% merupakan frekuensi
tersering selama periode lima tahun yaitu stadium IV sebesar 45.1% dan stadium III
sebesar 37.6%. Sedangkan stadium dini hanya sebesar 17.3% yang terdiri dari stadium I
Penelitian lain di Medan, Nasution (2007) stadium lanjut sebesar 99%, Zahara (2007)
Diagnosis dini sulit dilakukan karena tanda dan gejala awal KNF tidak khas dan
tidak spesifik, dan nasofaring merupakan area yang sulit untuk diperiksa. Sehingga KNF
sering didiagnosa saat stadium lanjut dibandingkan keganasan kepala leher lainnya (Plant,
2009).
Distribusi frekuensi terapi pada KNF setiap tahunnya selama tahun 2006-2010
Pada gambar di atas tampak pemberian kemoterapi dominan pada tahun 2006
meningkat setiap tahunnya, terutama pada tahun 2009. Hal ini mungkin disebabkan
radioterapi mulai kembali efektif sejak tahun 2008. Sehingga pemberian radioterapi
Pada tahun 2007 tampak bahwa penderita tidak mendapatkan terapi, hal ini
dikarenakan banyak pasien yang pulang atas permintaan sendiri (PAPS) setelah dilakukan
Pada gambar 5.15 terlihat bahwa kemoterapi merupakan terapi yang sering
diberikan selama periode 2006-2010 sebesar 35.8% diikuti pemberian kombinasi terapi
stadium lanjut menyebabkan tindakan reseksi bedah jarang dilakukan pada KNF
(Brennan, 2006; Plant, 2009). KNF memiliki sensitivitas tinggi terhadap radiasi maupun
kemoterapi dibandingkan kanker kepala dan leher lainnya (Wei, 2006; Lin, 2006; Guigay
et al. 2006). Pada pasien KNF stadium dini (stadium I dan II), terapi pilihan adalah
radioterapi definitif. Pada KNF stadium lanjut (stadium III dan IV) pemberian kemoterapi
masih didapati perbedaan-perbedaan dalam laporan studi di literatur (Licitra et al. 2003;
Lin, 2006).
5.2.1. Frekuensi jenis kelamin berdasarkan stadium klinis pada penderita KNF
Gambar 5.16 Frekuensi jenis kelamin berdasarkan stadium klinis pada penderita KNF
Dari gambar 5.16 dapat diketahui bahwa frekuensi tertinggi penderita KNF
stadium dini dan stadium lanjut adalah laki-laki sebesar 9.6% dan 63.6%. Hasil analisis
statistik dengan menggunakan uji chi-square diperoleh p>0.05 berarti secara statistik
Hal ini serupa pada penelitian Nurhalisah (2009) di RSU dr.Pirngadi yang
p<0.001 antara jenis kelamin dengan stadium dengan OR 0.819, CI 0.760-0.883 pada
4768 penderita KNF yang menunjukkan bahwa perbedaan jenis kelamin bermakna
Gambar 5.17. Frekuensi kelompok umur berdasarkan stadium klinis pada penderita KNF
Dari gambar di atas tampak bahwa frekuensi penderita KNF stadium dini paling
tinggi pada kelompok umur >48 tahun sebes ar 59.5%. Sedangkan stadium lanjut antara
kelompok umur 48 tahun dan>48 tahun hanya berbeda sedikit yaitu 0.6%.
Analisa statistik dengan uji chi-square diperoleh p=0.177 sehingga secara statistik
Hasil ini hampir sama dengan penelitian case series oleh Nurhalisah (2009)
diperoleh kelompok umur stadium dini paling tinggi pada kelompok umur >50 tahun
Keterbatasan dalam penelitian ini terkait dengan data yang diperoleh berupa data
sekunder dari rekam medis, sehingga bias informasi tidak dapat dihindari, dimana peneliti
hanya bergantung pada apa yang telah tertera di dalam rekam medis.
6.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian pada penderita KNF mulai Januari 2006-
Desember 2010 didapatkan 335 penderita, dapat diambil kesimp ulan sebagai berikut :
6.1.1. Distribusi frekuensi penderita KNF menurut kelompok umur terdapat pada
6.1.2. Distribusi frekuensi penderita KNF terbanyak dijumpai pada jenis kelamin
(27.8%).
6.1.5. Distribusi frekuensi keluhan utama penderita KNF terbanyak adalah benjolan
6.1.6. Distribusi frekuensi jenis histopatologi penderita KNF selama lima tahun
(2006-2010) adalah tipe II sebanyak 156 penderita (46.6%), tipe III sebesar
penderita (0.6%).
6.1.9. Tidak ada perbedaan bermakna antara jenis kelamin berdasarkan stadium
6.1.10. Tidak dijumpai perbedaan bermakna antara umur berdasarkan stadium klinis
penderita KNF.
6.2. Saran
medis mengenai gejala dini KNF sehingga stadium dini lebih cepat terdeteksi
selanjutnya akan memberikan terapi dan prognosa yang lebih baik bagi
penderita KNF.
Astuty SJ. 2010. Hubungan LMP-1 dengan berbagai stadium tumor dan jenis
Bostman FT. 1996. Aspek-aspek fundamental kanker. Di dalam: Van de CJH, Bostman
Cao Su-Mei, Simons MJ & Qian CN. 2011. The prevalence and prevention of
Chang ET dan Adami HO. 2006. The enigmatic epidemiology of NPC. Cancer
Chiesa F & De Paoli F. 2001. Distant metastasis from nasopharyngeal cancer. ORL
(63):214-6.
Cottrill CP, Nutting CM. 2003. Tumours of The Nasopharynx. Di dalam Evans PHR,
Montgomery PQ, Gullane PJ (ed). Principles and practice of Head and Neck
Oncology.UK :Martin-Dunitz:473-81
Harahap MPH, 2009. Ekspresi Vascular Endothelial Growth Factor pada karsinoma
Henny F. 2006. Ekspresi Protein Mutan p53 pada Karsinoma Nasofaring. Tesis,
Medan:FK USU,
Her C. 2001. Nasopharyngeal cancer and the Southeast Asian patient. American Family
50(4):371-6.
Hutagalung M, Tjakra IGM, Dhaeng Y. 1996. Tinjauan Lima Besar Tumor Ganas THT
di RSUP dr. Sardjito Selama Lima Tahun (1991-1995). Kumpulan Naskah Ilmiah
Kartika CF. 2010. Hubungan antara klasifikasi histopatologis dengan respon kemoradiasi
berdasarkan gambaran CT scan pada penderita KNF. Artikel Karya Tulis Ilmiah:8-10
Jia WH, Feng BJ, Xu ZL, Zhang XS, Huang P, Suang LX. 2004. Familial risk and
Lin JC, Jan JS, Hsu CY, et al. 2003. Outpatient weekly neoadjuvant chemotherapy
Liu MT, Hsieh CY, Chang TH, et al. 2003. Prognostic factors affecting the outcome of
McDermott AL, Dutt SN, Watkinson JC. 2001. The aetiology of nasopharyngeal
Hasanusi & Artono (ed). Perkembangan terkini diagnosis dan penatalaksanaan tumor
Nasofaring di SMF Kesehatan THT RSUP dr. Kariadi Semarang Tahun 1996-1998.
Nasution II. 2007. Hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring. Tesis, Medan: FK
USU
Nurhalisah H. 2009. Karakteristik penderita KNF yang dirawat inap di RSU dr.Pirngadi
Plant RL. 2009. Neoplasms of the Nasopharynx. Di dalam: Snow JB, Wackym PA,
Pua KC. 2008. Nasopharyngeal Carcinoma Database. Med J Malaysia (63): 59-62
Punagi AQ. 2007. Ekspresi Vascular Endothelial Growth Factor Receptor (VEGFR) dan
Richardson CD. 2005. Viruses and Cancer. Di dalam: The basic science of oncology. 4th
Roezin A. 1996. Faktor predisposisi kanker nasofaring. Kumpulan Naskah Ilmiah PIT
Siregar SM 2010. Hubungan EBNA-1 pada KNF di RSUP H.Adam Malik Medan, Tesis,
Medan: FK USU
Sudiana IK. 2005. teknologi ilmu jaringan dan immunohistokimia. Jakarta: Agung Seto:
36-40.
Sun LM, Epplein M, Li CI, Vaughan TL, Weiss NS 2005. Trends in the incidence rates
162:1174-8.
UNHAS:7
Thompson LDR. 2005. Nasopharyngeal carcinoma. Ear Nose and Throat Journal (84):
404-5.
Vaughan TL, Shapiro JA, Burt RD, et al. 1996. Nasopharyngeal Cancer in a Low-Risk
USA :587-93
Wei WI & Sham JST. 2005. Nasopharyngeal Carcinoma, Lancet 365: 2041-54.
Wei WI, 2006. Nasopharyngeal Cancer. Didalam : Bailey BJ, Johnson JT. Head and
Neck Surgery Otolaryngology, 4th ed, vol.2, USA: Lippincott Williams dan Wilkins.
hlm.657-71
Yenita dan Asri A. 2009. Studi retrospektif karsinoma nasofaring di sumaterea barat:
Yuyun M, 2000. Survival rate penderita karsinoma nasofaring di RSUP dr. Kariadi
1. Peneliti Utama
NIP : -
Gol/Pangkat : -
Fakultas : Kedokteran
Gol/Pangkat : IV b / Pembina Tk I
Fakultas : Kedokteran
Gol/Pangkat : IV b / Pembina Tk I
Fakultas : Kedokteran
Fakultas : Kedokteran
NO THN MR NAMA JK UM SK PK KU ST PA T
1 2006 11‐87‐71 L 1 70 1 1 1 4 1 2
2 27‐95‐45 RG 2 65 1 4 4 5 3 3
3 28‐43‐92 SH 1 40 1 2 1 4 3 2
4 28‐45‐52 OR 2 64 1 4 1 4 2 3
5 29‐08‐28 MB 1 59 2 4 2 5 2 3
6 29‐28‐92 AS 1 59 1 1 2 5 1 2
7 29‐49‐32 RML 1 57 1 4 1 4 1 2
8 29‐53‐51 MRH 1 59 1 4 1 4 2 2
9 29‐60‐68 D 1 64 1 2 1 3 1
10 29‐63‐96 SLT 1 60 1 2 1 5 2 2
11 29‐99‐45 MAF 1 66 2 5 1 6 1 2
12 30‐15‐91 N 2 54 1 3 2 3 2 2
13 30‐21‐76 MC 1 80 3 1 4 5 1 2
14 30‐29‐59 MH 2 54 1 3 2 4 1
15 30‐36‐72 SL 2 51 4 3 1 3 2
16 30‐44‐78 AKL 2 22 2 6 1 4 1 2
17 30‐46‐42 AN 2 65 1 4 1 4 2 2
18 30‐47‐98 BHR 1 51 1 2 2 4 2 2
19 30‐53‐23 RSG 2 45 1 3 1 4 2 3
20 30‐57‐28 MS 1 26 3 2 1 6 2 3
21 30‐59‐86 SR 2 41 4 3 2 4 2 2
22 30‐62‐99 US 2 59 2 3 2 6 1 2
23 30‐66‐27 RSL 1 43 4 4 2 4 2 2
24 30‐75‐54 HZ 1 53 2 2 1 3 2 2
25 30‐77‐33 AMN 2 35 3 2 1 6 2 2
26 30‐83‐58 TMR 2 69 1 3 1 4 1 2
27 30‐84‐03 PRG 1 52 1 4 1 5 1 2
28 30‐84‐07 SU 2 88 1 3 4 5 3 2
29 30‐84‐47 HY 2 32 5 3 1 6 3
30 31‐00‐60 YS 1 42 4 2 1 5 2 2
31 31‐06‐66 TR 1 26 1 2 1 4 2
32 31‐12‐22 MUS 1 68 5 4 1 6 1 2
33 31‐14‐94 LG 2 54 4 3 1 4 1 2
34 31‐18‐75 MSN 2 52 1 3 1 4 1 2
35 31‐28‐34 JLT 1 50 1 2 1 4 3 2
36 31‐37‐02 MP 1 38 1 2 2 5 3 2
37 31‐37‐23 RA 2 57 1 4 1 6 1 2
JK 1 . Laki-laki
2. Perempuan
SK 1, Batak 3. Melayu 5. Minang
2. Aceh 4. Jawa
PD 1. 3.
(pendidikan) SD SMA 5. tidak sekolah
2.
SMP 4. Akademi/PT
PK(pekerjaan) 1. PNS/POLRI 4. Petani
2. Peg.swasta/wiraswasta 5. Nelayan
3. IRT 6. tidak bekerja
KU(kel.utama 1. benjolan di leher 4. saraf kranial
2. keluhan hidung 5. metastase jauh
3. keluhan telinga
Stadium(2006) 1. Std I Std I = 1
Std II =
2. Std Iia 2,3
3. Stad Iib Std III= 4
4. Std III Std IV = 5,6,7
5. Std Iva
6. Std IV b
7. Std IV c Terapi 1. radioterapi
PA 1. keratinizing 2. kemoterapi
2. non-keratizining 3 radiokemoterapi
3. undifferentiated