Anda di halaman 1dari 96

Universitas Sumatera Utara

Repositori Institusi USU http://repositori.usu.ac.id


Fakultas Kedokteran Tesis Magister (Kedokteran Klinis)

2018

Gambaran Fragmentasi QRS pada


Elektrokardiogram 12 Sadapan Sebagai
Penanda Adanya Jaringan Parut
Miokard pada Sidik Perfusi Miokard
Penderita Penyakit Jantung Koroner

L. Tobing, Andrico N.
Universitas Sumatera Utara

http://repositori.usu.ac.id/handle/123456789/5045
Downloaded from Repositori Institusi USU, Univsersitas Sumatera Utara
GAMBARAN FRAGMENTASI QRS PADA ELEKTROKARDIOGRAM
12 SADAPAN SEBAGAI PENANDA ADANYA JARINGAN PARUT
MIOKARD PADA SIDIK PERFUSI MIOKARD PENDERITA
PENYAKIT JANTUNG KORONER

TESIS MAGISTER

Oleh
dr. Andrico N. L. Tobing
NIM: 137041107

PEMBIMBING:

1. Prof. dr. Harris Hasan, Sp.PD, Sp.JP(K)


2. dr. Edison Bun, M.Kes, Sp.KN (K)

PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK


DEPARTEMEN KARDIOLOGI DAN KEDOKTERAN VASKULAR
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2018

Universitas Sumatera Utara


GAMBARAN FRAGMENTASI QRS PADA ELEKTROKARDIOGRAM
12 SADAPAN SEBAGAI PENANDA ADANYA JARINGAN PARUT
MIOKARD PADA SIDIK PERFUSI MIOKARD PENDERITA
PENYAKIT JANTUNG KORONER

TESIS MAGISTER

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Magister dalam
Program studi Magister Kedokteran Klinik pada
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Oleh

ANDRICO N. L. TOBING

NIM : 137041107

PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK


DEPARTEMEN KARDIOLOGI DAN KEDOKTERAN VASKULAR
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2018

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara

Powered by TCPDF (www.tcpdf.org)


ii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

GAMBARAN FRAGMENTASI QRS PADA ELEKTROKARDIOGRAM


12 SADAPAN SEBAGAI PENANDA ADANYA JARINGAN PARUT
MIOKARD PADA SIDIK PERFUSI MIOKARD PENDERITA
PENYAKIT JANTUNG KORONER

TESIS MAGISTER

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan
untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya
tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah dituliskan atau diterbitkan oleh orang lain,
kecuali yang digunakan sebagai acuan referensi dan telah disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, April 2018

Andrico N. L. Tobing

Universitas Sumatera Utara


iii

UCAPAN TERIMA KASIH

Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan limpahan berkat dan rahmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.
Tesis ini dibuat untuk memenuhi syarat kelulusan dalam Program Studi Magister Kardiologi
dan Kedokteran Vaskular di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis menyatakan penghargaan dan ucapan


terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara, dan Ketua TKP PPDS I Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah
memberikan penulis kesempatan untuk dapat mengikuti Program Pendidikan Dokter
Spesialis Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah di Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara.
2. Ketua Program Studi Magister Kedokteran Klinik, Dr. dr. Rodiah Rahmawaty Lubis,
M.Ked(Oph), Sp.M(K) yang juga telah memberikan penulis kesempatan untuk mengikuti
Program Studi Magister Kedokteran Klinik Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Jantung dan
Pembuluh Darah di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara hingga dapat
menyelesaikan tesis ini.
3. Prof.dr.Harris Hasan, Sp.PD, Sp.JP(K), selaku Ketua Departemen Ilmu Penyakit Jantung
dan Pembuluh Darah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/RSUP Haji Adam
Malik Medan dan juga sebagai salah satu pembimbing penulis yang telah memberikan
penulis kesempatan untuk mengikuti Program Pendidikan Spesialis Ilmu Penyakit Jantung
dan Pembuluh Darah di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara dan juga telah
memberikan masukan serta arahan yang sangat berguna dalam menyelesaikan penulisan
tesis ini.
4. dr. Cut Aryfa Andra, M.Ked (Cardio), Sp.JP(K) selaku Sekretaris Departemen Ilmu
Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara/RSUP Haji Adam Malik Medan yang telah memberikan saran-saran dalam
penulisan tesis ini.

Universitas Sumatera Utara


iv

5. dr. Ali Nafiah Nasution, M.Ked (Cardio), Sp.JP(K) dan dr. Yuke Sarastri, M.Ked (Cardio),
Sp.JP(K) selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh
Darah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/RSUP Haji Adam Malik Medan
yang telah memberikan kritik dan saran yang berharga dalam penulisan tesis ini.
6. dr. Edison Bun, M.Kes, Sp.KN(K) yang berperan sebagai dokter Sp.KN yang melakukan
interpretasi terhadap hasil SPECT dan juga salah satu pembimbing dalam penyusunan
tesis ini yang telah membimbing, memberikan perbaikan serta masukan yang berharga
sehingga akhirnya tesis ini dapat diselesaikan dengan baik.
7. Dr. Anggia C. Lubis, M.Ked (Cardio), Sp.JP yang dengan penuh kesabaran telah
membimbing, mengajar, dan memberikan banyak pencerahan teori dalam penulisan tesis
ini, sekaligus sebagai salah satu observer dalam penilaian dan pengolahan hasil pada tesis
ini sehingga pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan baik.
8. Guru-guru penulis : Prof.dr.T.Bahri Anwar,Sp.JP(K); Prof.dr.Sutomo Kasiman,Sp.PD,
Sp.JP(K); Prof.dr.Abdullah Afif Siregar,Sp.A(K),Sp.JP(K); Prof.dr.Harris Hasan,Sp.PD,
Sp.JP(K); Alm.dr.Maruli T.Simanjuntak,Sp.JP(K); dr.Nora Christina Hutajulu,Sp.JP(K);
Dr.dr.Zulfikri Mukhtar,Sp.JP(K); dr.Isfanuddin Nyak Kaoy,Sp.JP(K); dr.P.Manik,
Sp.JP(K); dr.Refli Hasan, Sp.PD,Sp.JP(K); dr.Amran Lubis,Sp.JP(K); dr.Nizam Akbar,
Sp.JP(K); dr.Zainal Safri,Sp.PD,Sp.JP; dr.Andre Ketaren,Sp.JP(K); dr.Andika Sitepu
Sp.JP(K); dr.Anggia C. Lubis,Sp.JP; dr.Ali Nafiah Nasution,Sp.JP(K); dr.Cut Aryfa
Andra,Sp.JP(K), dr.Hilfan Ade Putra Lubis,Sp.JP, dr. Andi Khairul,Sp.JP, dr.Abdul
Halim Raynaldo Sp.JP, dr.Yuke Sarastri,Sp.JP, dr. Teuku Bob Haykal,Sp.JP,
dr.Yolandi,Sp.JP serta guru lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang
telah banyak memberikan bimbingan selama mengikuti program pendidikan profesi ini.
9. Direktur Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan yang telah memberikan
kesempatan, fasilitas dan suasana kerja yang baik sehingga penulis dapat mengikuti dan
menjalani Program Pendidikan Spesialis Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah.
10. Rekan-rekan sejawat peserta PPDS Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang tergabung dalam “Kelakar”, yang
telah memberikan dukungan, saran, dan kritik dalam menyelesaikan tesis ini. Semoga
Kelakar semakin kompak, selalu menjadi teman dan keluarga selamanya.
11. Kedua orang tua yang sangat penulis hormati dan sayangi, yaitu Alm.Ir. R.V.L. Tobing
dan Sondang Isabella Siahaan, SH, yang selama ini telah memberikan kasih sayang, doa,
nasehat dan dukungan materi selama proses pendidikan hingga menyelesaikan tesis ini.

Universitas Sumatera Utara


v

12. Kedua ayah dan ibu mertua yang sangat penulis hormati dan sayangi, John Foster
Marpaung, M. A dan Ritha Zahara Tarigan, SE, MM yang telah memberikan dukungan
kasih sayang, nasehat, doa maupun materi selama proses pendidikan dan dalam
penyelesaian tesis ini.
13. Istriku tercinta, dr. Sweet Chatherine Marpaung, untuk cinta, doa, semangat, keceriaan
dan kesabaran yang tiada henti untuk penulis dalam menjalani pendidikan dan selama
proses penyelesaian tesis ini
14. Abang dan adik kandung penulis, Andreas L. Tobing, SS dan Indriana L. Tobing, SE.
Kakak dan adik ipar penulis, dr.Sweet Caroline Marpaung, dr.Rio Sinulingga, Gihon R.
P. Marpaung, SE yang selalu memberikan doa dan semangat selama proses pendidikan.
15. Kelima sahabat seperjuangan penulis “The Garsa Berat” , dr. Dicky Yulianda, dr. Herman
Sinurat, dr. Hidayat, dr. Sheila Dhiene Putri, dr. Mariyetti Kemuning Nasution yang
menjadi teman dalam berbagi ide, ilmu dan kerjasama selama proses pendidikan PPDS.
16. dr. Bertha Gabriella Napitupulu yang telah membantu penulis dalam metode statitistik dan
pengolahan data hingga terselesaikan tesis ini dengan baik.
17. Tim Futsal Kardiologi, Cardiotone dan Sahabat Teh tarik hijau khususnya dr. Herman,
dr. Suhenda, dr. Erwin, dr. Taufik, dr. Mirhan, dr. Omar, dr. Rian, dr. Fauzan, dr. Imam,
dr. Fahrial sebagai teman saling berbagi dan mendukung selama proses pendidikan.
18. Para perawat dan staf administrasi Departemen Kedokteran Nuklir dan Pusat Jantung
Terpadu RSUPHAM serta staf administrasi kardiologi Ahmad Syafi’i, Nanda dan Husna
yang telah membantu pengumpulan data hingga penelitian ini dapat diselesaikan.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa membalas semua jasa dan budi baik mereka yang telah
membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian ini.
Akhirnya penulis mengharapkan agar penelitian dan tulisan ini kiranya dapat berguna
dan memberikan manfaat bagi kita semua.

Medan, April 2018

Andrico N. L. Tobing

Universitas Sumatera Utara


vi

Abstract

Background: Presence of Fragmented QRS (fQRS) on a 12-lead Electrocardiogram (ECG)


was associated with various cardiac diseases. This phenomenon could represent as an electrical
disruption of conduction system following myocardial damage due to coronary artery disease
(CAD). We aimed to investigate the value of fQRS to detect the myocardial scar as detected
by SPECT Myocardial Perfusion Imaging (MPI).

Methods: A cross-sectional study of patients with clinical diagnosis of CAD who underwent
Cardiac SPECT. The fQRS defined as morphologies of QRS wave (<120 ms), which included
an additional R wave (R’), notching in the nadir of S wave, or >1 R’ (fragmentation) in 2
contiguous leads, corresponding to a major coronary artery territory. Pathological Q wave,
paced rhythm, typical right or left bundle branch block pattern with QRS duration of ≥ 120 ms
were excluded. MPI was interpreted by visual analysis and semi-quantitative scores on
17-segment assessment according to standard nomenclature.

Results: Total of 72 patients (49 males, mean age 54.7 ± 9.8 years). fQRS was found in 46
patients (64%). The frequency of myocardial scar was significantly higher in patients with
fQRS (89% vs. 15%, p<0.05). Sensitivity, specificity, positive and negative predictive value of
fQRS for any of myocardial scar as detected by SPECT analysis were 91%, 81%, 89%, and
84%, respectively. For regional scar analysis, fQRS has sensitivity and specificity of 87% and
90% for anterior wall, 76% and 80% for inferior wall, 73% and 79% for lateral wall. LVEF
was significantly lower in patients with fQRS (36.9±2.1 vs. 53.2±2.2, p< 0.05).

Conclusion: The fragmented QRS could serve as a novel ECG marker to detect and localize
the myocardial damage in CAD patients. Regional fQRS patterns denote the presence of
regional myocardial scar and are a valuable diagnostic marker of CAD with good sensitivity
and specificity.

Keywords: fragmented QRS, SPECT

Universitas Sumatera Utara


vii

Abstrak

Latar belakang: Adanya gambaran fragmentasi QRS (fQRS) pada Elektrokardiogram (EKG)
12 sadapan sering dikaitkan dengan berbagai penyakit jantung. Fenomena ini dapat
menggambarkan gangguan pada sistem konduksi jantung setelah terjadi kerusakan miokard
akibat Penyakit Jantung Koroner (PJK). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai
diagnostik fQRS dalam mendeteksi jaringan parut miokard melalui pemeriksaan Sidik Perfusi
Miokard (SPM) menggunakan Single Photon Emission Computed Tomography (SPECT).

Metode: Penelitian ini adalah studi potong lintang pada pasien terdiagnosa PJK yang menjalani
pemeriksaan SPECT jantung. Definisi fQRS adalah berbagai morfologi gelombang QRS
(durasi <120 ms), adanya gelombang R tambahan (R'), takik pada dasar gelombang S, atau
> 1 gelombang R' pada 2 atau lebih sadapan yang berpasangan, sesuai wilayah arteri koroner
mayor. Gelombang Q patologis, irama pacu jantung, pola blok cabang berkas kanan atau kiri
yang tipikal dengan durasi QRS ≥ 120 ms akan dieksklusikan. Hasil SPM diinterpretasikan
secara visual dan skor semikuantitatif pada penilaian 17 segmen sesuai standar.

Hasil: Total 72 pasien (49 laki-laki, usia rata-rata 54,7 ± 9,8 tahun). fQRS dijumpai pada 46
pasien (64%). Frekuensi jaringan parut miokard secara signifikan lebih tinggi pada pasien
dengan fQRS (89% vs. 15%, p<0,05). Sensitivitas, spesifisitas, positive dan negative predictive
value fQRS untuk deteksi jaringan parut adalah 91%, 81%, 89%, dan 84%. Dari analisa
jaringan parut regional, fQRS memiliki sensitivitas dan spesifisitas 87% dan 90% untuk
dinding miokard anterior, 76% dan 80% untuk dinding inferior, 73% dan 79% untuk dinding
lateral. Fraksi ejeksi ventrikel kiri secara signifikan lebih rendah pada pasien dengan fQRS
(36,9±2,1% vs. 53,2±2,2%, p<0,05).

Kesimpulan: Fragmentasi kompleks QRS dapat menjadi penanda baru pada pemeriksaan
EKG untuk mendeteksi kerusakan miokard pada pasien PJK. Wilayah sadapan dengan adanya
gambaran fragmentasi QRS dapat menunjukkan lokasi jaringan parut dan merupakan penanda
penting untuk diagnostik PJK dengan nilai sensitivitas dan spesifisitas yang baik.

Kata kunci: Fragmentasi QRS, SPECT

Universitas Sumatera Utara


viii

DAFTAR ISI
Halaman
Lembar pengesahan .................................................................................... i
Lembar pernyataan orisinalitas ................................................................. iii
Ucapan terima kasih ................................................................................... iv
Abstrak ........................................................................................................ vii
Abstract ....................................................................................................... viii
Daftar isi ...................................................................................................... ix
Daftar gambar ............................................................................................. xii
Daftar tabel ................................................................................................. xiii
Daftar singkatan dan lambang ................................................................... xiv

BAB I PENDAHULUAN .................................................................... 1


1.1. Latar Belakang .................................................................. 1
1.2. Pertanyaan Penelitian ........................................................ 3
1.3. Hipotesis ........................................................................... 3
1.4. Tujuan Penelitian .............................................................. 4
1.5. Manfaat Penelitian ............................................................ 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................... 5


2.1. Penyakit jantung koroner .................................................. 5
2.2. Elektrokardiogram ............................................................ 6
2.2.1. Proses aktivasi ventrikel ....................................... 7
2.2.2. Kompleks QRS ...................................................... 8
2.2.3. Fragmentasi QRS .................................................. 10
2.2.4. Mekanisme fragmentasi fQRS ............................... 12
2.2.5. Fragmentasi QRS pada PJK ................................... 13
2.2.6. Fragmentasi QRS pada penyakit jantung lainnya ... 14
2.2.7. Fragmentasi QRS pada penyakit konduksi jantung.. 16
2.2.8. Fragmentasi QRS pada penyakit lainnya ................ 16

Universitas Sumatera Utara


ix

2.3. Cedera pada miokard ........................................................ 17


2.3.1. Stunning myocardium ........................................... 17
2.3.2. Hibernating myocardium ....................................... 18
2.3.3. Jaringan parut miokard ........................................... 20
2.4. Sidik Perfusi Miokard .......................................................... 23
2.5. Single-Photon Emission-Computed Tomography .............. 26
2.6 Kerangka teori .................................................................. 29
2.7. Kerangka konsep ............................................................... 30

BAB III METODE PENELITIAN ........................................................ 31


3.1. Desain Penelitian .............................................................. 31
3.2. Tempat dan Waktu Penelitian ........................................... 31
3.3. Populasi dan Sampel ......................................................... 31
3.4. Besar Sampel .................................................................... 31
3.5. Kriteria Inklusi dan eksklusi .............................................. 32
3.6. Definisi Operasional .......................................................... 33
3.7. Identifikasi Variabel .......................................................... 35
3.8. Alur Penelitian .................................................................. 35
3.9. Analisa Data ..................................................................... 37
3.10. Etika Penelitian ................................................................. 38
3.11. Perkiraan Biaya ................................................................. 38

BAB IV HASIL PENELITIAN ............................................................. 40


4.1. Karakteristik subyek penelitian ......................................... 40
4.2. Karakteristik subyek penelitian pada kelompok fQRS
dan non-fQRS .................................................................. 41
4.3. Analisis hasil pemeriksaan Sidik Perfusi Miokard
Kelompok fQRS dan tanpa fQRS ...................................... 43
4.3.1 Perbandingan fraksi ejeksi ventrikel kiri kedua
kelompok ................................................................. 43
4.3.2 Perbandingan volume sistolik akhir ventrikel kiri
Kedua kelompok ....................................................... 44
4.3.3 Perbandingan analisa jaringan parut (scar)
antara kedua kelompok ............................................ 46

Universitas Sumatera Utara


x

4.4. Uji diagnostik fragmentasi QRS dalam menentukan


lokasi jaringan parut ........................................................ 48
4.4.1 Karakteristik subyek penelitian berdasarkan lokasi
sadapan fQRS dan lokasi jaringan parut miokard ..... 48
4.4.2 Uji diagnostik fQRS dalam menentukan jaringan
parut pada setidaknya 1 lokasi miokard .................... 49
4.4.3 Uji diagnostik fQRS anterior dalam menentukan
jaringan parut pada miokard anterior ......................... 50
4.4.4 Uji diagnostik fQRS inferior dalam menentukan
jaringan parut pada miokard inferior ......................... 50
4.4.5 Uji diagnostik fQRS lateral dalam menentukan
jaringan parut pada miokard lateral ........................... 51
4.5 Variabilitas Inter-observer pada Fragmentasi QRS ............ 52

BAB V PEMBAHASAN ........................................................................ 53

BAB VI PENUTUP ................................................................................ 57


6.1 Kesimpulan .................................................................... 57
6.2 Keterbatasan penelitian dan saran .................................... 57

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 58

LAMPIRAN ............................................................................................... 70

Universitas Sumatera Utara


xi

DAFTAR GAMBAR

No Judul Halaman

2.1 Urutan aktivasi normal ventrikel kanan dan kiri .................................. 8


2.2 Skema depolarisasi ventrikel ............................................................... 10
2.3 Pengaruh filter low-pass ...................................................................... 11
2.4 Klasifikasi Fragmentasi QRS .............................................................. 12
2.5 Cedera reversibel dan ireversibel pada miokard .................................. 19
2.6 Penyembuhan cedera setelah infark miokard ....................................... 22
2.7 Modalitas pencitraan sidik perfusi miokard ......................................... 26
2.8 Penilaian visual perfusi miokard dengan SPECT ................................. 27
2.9 Penilaian semi kuantitatif dengan sistem penilaian 17 segmen ........... 28
2.10 Diagram kerangka teori ...................................................................... 29
2.11 Diagram kerangka konsep ................................................................... 30
3.1 Diagram alur penelitian ...................................................................... 37
4.1 Grafik perbandingan fraksi ejeksi ventrikel kedua kelompok .............. 44
4.2 Grafik perbandingan volume sistolik akhir ventrikel fase istirahat
pada kedua kelompok ......................................................................... 45
4.3 Grafik perbandingan volume sistolik akhir ventrikel saat fase
pemberian beban pada kedua kelompok .............................................. 46
4.4 Grafik perbandingan analisa jaringan parut berdasarkan hasil
Sidik Perfusi Miokard antara kedua kelompok .................................... 47
4.5 Grafik hasil uji diagnostik fragmentasi QRS dalam mendeteksi
adanya jaringan parut pada setidaknya 1 lokasi miokard ..................... 49
4.6 Grafik hasil sensitivitas dan spesifisitas fQRS pada tiap lokasi
sadapan dalam mendeteksi lokasi jaringan parut pada miokard ........... 51

Universitas Sumatera Utara


xii

DAFTAR TABEL

No Judul Halaman

2.1. Perbandingan modalitas pencitraan ventrikel kiri dan ukuran infark .... 25
4.1. Karakteristik subyek penelitian ........................................................... 40
4.2. Karakteristik Subyek Penelitian kelompok fQRS dan tanpa fQRS ...... 42
4.3. Perbandingan fraksi ejeksi ventrikel kiri kedua kelompok ................... 43
4.4. Perbandingan volume sistolik akhir ventrikel kiri fase istirahat dan
beban antara kedua kelompok ............................................................. 45
4.5. Perbandingan analisa jaringan parut berdasarkan hasil Sidik
Perfusi Miokard antara kedua kelompok ............................................. 47
4.6. Karakteristik subyek berdasarkan lokasi sadapan fragmentasi QRS
dan lokasi jaringan parut miokard ....................................................... 48
4.7. Hasil uji diagnostik fQRS dan adanya jaringan parut .......................... 49
4.8. Hasil uji diagnostik fQRS anterior ...................................................... 50
4.9. Hasil uji diagnostik fQRS inferior ....................................................... 50
4.10. Hasil uji diagnostik fQRS lateral ......................................................... 51
4.11. Uji Variabilitas Inter-observer (Cohen’s Kappa Coefficient) ............... 52

Universitas Sumatera Utara


xiii

DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG

SINGKATAN NAMA

ACC : American College of Cardiology


ACSM : American College of Sports Medicine
AHA : American Heart Association
ALQTS : Acquired Long QT Syndrome
ARVD : Arrhythmogenic Right Ventricular Dysplasia
BPAK : Bedah Pintas Arteri Koroner
CK-MB : Creatine Kinase Myocardial Band
CRT : Cardiac Resynchronization Therapy
CT : Computed Tomography
DCM : Dilated Cardiomyopathy
DM : Diabetes Melitus
ECG : Electrocardiogram
EKG : Elektrokardiogram
EF : Ejection Fraction
fQRS : Fragmentasi QRS
Ga-MRI : Gadolinium Enhancement Cardiac Magnetic Resonance
GAG : Glycosaminoglycan
HEP : High Energy Phospate
HDL : High Density Lipoprotein
ICD : Implantable Cardioverter Defibrillator
IK : Interval Kepercayaan
IKP : Intervensi Koroner Perkutan
IMA : Infark Miokard Akut
IMAEST : Infark Miokard Akut Elevasi ST Segmen
IMANEST : Infark Miokard Akut Non Elevasi ST Segmen
KKvM : Kejadian Kardiovaskular Mayor
LAD : Left Anterior Descending
LBBB : Left Bundle Branch Block
LCX : Left Circumflex
LDL : Low Density Lipoprotein

Universitas Sumatera Utara


xiv

MMPs : Matrix Metalloproteinases


MRI : Magnetic Resonance Imaging
NCEP-ATP II : National Cholesterol Education Program Expert-Adult
Treatment Panel II
NPV : Negative Predictive Value
NYHA : New York Heart Association
PERKI : Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia
PET : Positron Emission Tomography
PCI : Percutaneous Coronary Intervention
PJK : Penyakit Jantung Koroner
PJR : Penyakit Jantung Rematik
PPV : Positive Predictive Value
PRELUDE study : Programmed Electrical Stimulation Predictive Value study
RCA : Right Coronary Artery
RISKESDAS : Riset Kesehatan Dasar
RBBB : Right Bundle Branch Block
RSUP HAM : Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik
SCD : Sudden Cardiac death
SD : Standar Deviasi
SKA : Sindroma Koroner Akut
SPECT : Single-Photon Emission-Computed Tomography
Sp. JP : Spesialis Jantung dan Pembuluh darah
Sp. KN : Spesialis Kedokteran Nuklir
SPM : Sidik Perfusi Miokard
SDS : Summed Difference Score
SRS : Summed Rest Score
SSS : Summed Stress Score
Tc : Technetium
TIMPs : Tissue Inhibitor Metalloproteinases
UAP : Unstable Angina Pectoris
VF : Ventricular Fibrillation
VT : Ventricular Tachycardia
WHO : World Health Organization

Universitas Sumatera Utara


xv

LAMBANG
n : besar sampel
p : p-value (tingkat kemaknaan)
α : alpha
ß : beta
κ : kappa
> : lebih besar
< : lebih kecil
Zα : nilai baku alpha = 1,96
Zß : nilai baku beta = 0,84
% : persentase

Universitas Sumatera Utara


1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit kardiovaskular menjadi penyebab kematian utama dunia. Sekitar
17,3 juta penduduk dunia pada tahun 2008 meninggal akibat penyakit
kardiovaskular. Jumlah ini diperhitungkan sekitar 30% dari seluruh kematian di
dunia. Menurut statistik, sebanyak 7,3 juta orang yang meninggal akibat penyakit
kardiovaskular disebabkan penyakit jantung koroner (WHO, 2013).
Elektrokardiogram (EKG) merupakan alat diagnosis pertama yang sangat
bermanfaat, mudah tersedia, dan sudah umum dipergunakan untuk menegakkan
diagnosa penyakit jantung, Studi sebelumnya menunjukkan perubahan dari
morfologi gelombang QRS berhubungan dengan adanya gangguan konduksi
ventrikel yang disebabkan karena kerusakan miokard akibat iskemia atau infark
dari ventrikel (Ozdemir, 2013).
Timbulnya fQRS pada penyakit jantung koroner diketahui terkait secara
signifikan dengan kejadian disfungsi ventrikel kiri dan penurunan perfusi dari
miokard (Das dkk, 2007; Korhonen dkk, 2010; Pietrasik dkk, 2007; Carey dkk,
2010; Wang dkk, 2010). Adanya fragmentasi QRS (fQRS) pada EKG
dihubungkan dengan adanya jaringan parut miokard, iskemia, dan fibrosis dan
berasal dari kerusakan pada proses transduksi sinyal dan depolarisasi pada
ventrikel (Pietrasik dkk, 2012; Simson dkk, 1983). Fragmentasi QRS dapat
berasal dari suatu daerah kecil miokard yang abnormal di mana aktivasi ventrikel
tertunda dan tidak sejalan. Kerusakan parsial pada sistem konduksi di dalam
ventrikel menyebabkan notching pada segmen QRS pada EKG (Bayes dkk, 1998).
Fragmentasi QRS dapat didefinisikan sebagai adanya berbagai morfologi
gelombang QRS berdurasi kurang dari 120 ms dengan gelombang R tambahan
(R'), notching pada gelombang R, notching pada downstroke atau upstroke
gelombang S, atau adanya > 1 R' pada ≥ 2 sadapan berdekatan yang berhubungan
dengan wilayah arteri koroner utama pada pemeriksaan EKG 12 sadapan
(Das dkk, 2006).

Universitas Sumatera Utara


2

Fragmentasi kompleks QRS pada pemeriksaan EKG 12 sadapan dapat


dijumpai pada berapa keadaan penyakit jantung seperti aneurisma ventrikel,
kardiomiopati dilatasi idiopatik, fibrosis miokard, sarkoidosis, sindrom Brugada,
aritmogenik ventrikel kanan displasia dan miokarditis (Chatterjee dkk, 2010).
Dalam studi yang dilakukan pada 212 pasien dengan sindroma koroner
akut (SKA) didapatkan bahwa dijumpainya fQRS pada rekaman EKG 12 sadapan
pada saat SKA menunjukkan adanya jaringan parut pada miokard atau fibrosis
dan menggambarkan keparahan lesi pada koroner, EKG menunjukkan penurunan
yang signifikan pada fungsi ventrikel kiri pada kelompok fQRS dibandingkan
dengan kelompok yang tidak mengalami fQRS (Tarek, dkk, 2013).
Sebaliknya, dari suatu penelitian yang melibatkan 248 pasien dengan
penyakit jantung koroner menunjukkan bahwa fQRS bukan merupakan faktor
prediktor yang dapat diandalkan dalam mendeteksi jaringan parut miokard,
kejadian kardiovaskular mayor atau angka kematian jangka panjang secara
keseluruhan (Wang, 2014)
Sidik perfusi miokard (SPM) menggunakan Myocardial perfusion-gated
Single-Photon Emission Computed Tomography (SPECT) merupakan suatu
modalitas non invasif yang akurat untuk investigasi dari penyakit jantung koroner
dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi, selain itu pemeriksaaan ini juga
memiliki nilai prognostik yang baik (Driver dkk, 2009; Cuocolo dkk, 2010).
Analisa kuantitatif dari abnormalitas pergerakan dinding miokard dengan
modalitas SPECT menggunakan beban juga merupakan suatu modalitas yang
akurat untuk menilai adanya penyakit jantung koroner yang berat dan ekstensif
(Sharir dkk, 2001; Hachamovitch, 2004).
Sidik perfusi miokard menggunakan SPECT sudah dipergunakan secara
luas dalam perawatan pasien-pasien dengan penyakit kardiovaskular untuk deteksi
dari iskemia miokard, menilai respon dari terapi, stratifikasi resiko, menilai
ukuran infark dan penilaian viabilitas miokard. Adanya metode otomatis untuk
mengukur luas dari iskemia maupun jaringan parut pada miokard ataupun fraksi
ejeksi ventrikel kiri telah menjadi suatu hal yang menarik yang belum sepenuhnya
dimanfaatkan (Ji Chen dkk, 2011).

Universitas Sumatera Utara


3

Dalam studi-studi sebelumnya, pemeriksaan SPECT dengan menggunakan


beban yang dideskripsikan dengan analisa visual dan penilaian semikuantitatif
yang terstandarisasi telah menunjukkan kemampuan untuk mengidentifikasi
abnormalitas perfusi regional dari miokard dan pemeriksaan ini sudah digunakan
dalam pemeriksaan rutin untuk mendeteksi adanya penyakit jantung koroner,
mengidentifikasi perluasan dari iskemia, menilai adanya tanda-tanda kejadian
infark miokard sebelumnya dan juga dapat digunakan untuk mengukur luasnya
infark miokard yang terjadi. (Kawaguchi dkk, 1991).
Menurut ESC Guidelines of myocardial revascularization tahun 2010 dan
2014, pemeriksaan SPM menggunakan SPECT dapat mengidentifikasi pasien-
pasien yang mungkin memiliki manfaat dari revaskularisasi dibandingkan dengan
terapi obat-obatan (Wijns dkk, 2010; Windecker dkk, 2014). Adanya ischemic
burden sedang-besar (≥10 % total miokard) menjadi nilai ambang batas dimana
revaskularisasi akan memberi manfaat yang lebih baik pada pasien dibandingkan
hanya dengan pemberian terapi obat-obatan saja (Hachamovitch dkk 2003, 2011;
Shaw dkk, 2008; Windecker dkk, 2014).

1.2 Pertanyaan Penelitian


Berdasarkan uraian dalam latar belakang tersebut diatas, maka pertanyaan
penelitian adalah apakah gambaran Fragmentasi QRS (fQRS) pada pemeriksaan
EKG 12 sadapan dapat digunakan sebagai penanda untuk menilai adanya jaringan
parut dan mengetahui lokasinya di miokard yang dinilai dengan pemeriksaan sidik
perfusi miokard menggunakan SPECT pada pasien dengan Penyakit Jantung
Koroner (PJK)?

1.3 Hipotesis Penelitian


Fragmentasi QRS (fQRS) pada pemeriksaan EKG 12 sadapan dapat digunakan
sebagai penanda untuk menilai adanya jaringan parut dan mengetahui lokasinya
pada miokard yang dinilai dengan pemeriksaan sidik perfusi miokard
menggunakan SPECT pada pasien Penyakit Jantung Koroner.

Universitas Sumatera Utara


4

1.4 Tujuan Penelitian


1.4.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui peranan Fragmentasi QRS (fQRS) pada pemeriksaan
EKG 12 sadapan sebagai penanda diagnostik dalam menilai adanya jaringan parut
pada miokard yang divalidasi dengan pemeriksaan Sidik Perfusi Miokard
menggunakan SPECT pada pasien yang terdiagnosa Penyakit Jantung Koroner.

1.4.2 Tujuan Khusus


Tujuan khusus untuk penelitian ini adalah :
1. Menilai apakah Fragmentasi QRS (fQRS) pada pemeriksaan EKG 12
sadapan dapat menilai lokasi dari jaringan parut pada miokard yang
divalidasi melalui pemeriksaan sidik perfusi miokard menggunakan
SPECT pada pasien PJK.
2. Menilai apakah ada hubungan Fragmentasi QRS (fQRS) dengan
parameter fungsi jantung lainnya yang divalidasi melalui pemeriksaan
sidik perfusi miokard menggunakan SPECT pada pasien PJK.
1.5. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadikan Fragmentasi QRS
(fQRS) sebagai suatu penanda sederhana yang dapat dinilai melalui EKG
12 sadapan secara rutin dalam praktek sehari-hari untuk memprediksi
adanya jaringan parut pada miokard dari pasien PJK dan sebagai suatu
parameter sederhana untuk stratifikasi resiko dalam menentukan strategi
dan tatalaksana yang tepat.
.

Universitas Sumatera Utara


5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Jantung Koroner


Penyakit jantung koroner (PJK) saat ini merupakan salah satu penyebab
utama kematian di negara maju dan berkembang. Menurut WHO pada tahun
2004, di negara berkembang PJK menempati peringkat ke-2 penyebab kematian
setelah stroke atau penyakit serebrovaskular lainnya. Sekitar 17,3 juta penduduk
dunia pada tahun 2008 meninggal akibat penyakit kardiovaskular. Jumlah ini
diperhitungkan sekitar 30% dari seluruh kematian di dunia. Menurut statistik,
sebanya 7,3 juta orang yang meninggal akibat penyakit kardiovaskular disebabkan
penyakit jantung koroner (WHO, 2013).
Di Indonesia, menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) pada
tahun 2007, PJK menempati peringkat ke-3 penyebab kematian setelah stroke dan
hipertensi (Depkes RI, 2008). Hampir separuh dari penyebab-penyebab kematian
akibat kardiovaskular tersebut adalah penyakit infark miokard akut (IMA). IMA
masih merupakan penyebab kematian utama di dunia. Pada tahun 2009,
didapatkan bahwa angka kejadian IMA di Amerika Serikat berkisar hingga satu
juta orang pertahun (Yusuf, et al. 2001).
Penyakit jantung koroner terutama diakibatkan oleh disfungsi endotel yang
menyebabkan arteri mengalami aterosklerosis dan kehilangan kelenturannya. Lalu
karena ateroma terus tumbuh, maka arteri akan menyempit dan lama kelamaan
ateroma mengumpulkan endapan kalsium, sehingga menjadi suatu plak rapuh dan
dapat ruptur. Darah bisa masuk ke dalam plak ateroma yang ruptur, sehingga
ateroma menjadi lebih besar dan semakin mempersempit arteri. Ateroma yang
pecah kemudian akan memicu pembentukan bekuan darah (thrombus).
Selanjutnya trombus ini akan semakin mempersempit hingga menyumbat arteri
secara total (Falk, 2006; Strom dkk, 2011).
Proses pecahnya plak, oklusi total ataupun parsial arteri koroner serta
nekrosis sel-sel miokard disebut juga dengan Sindroma Koroner Akut (SKA).
SKA dibagi menjadi Infark Miokard Akut dengan Elevasi segmen ST

Universitas Sumatera Utara


6

(IMA-EST), Infark Miokard Akut dengan Non Elevasi segmen ST (IMA-NEST),


Angina Pektoris Tidak Stabil (APTS).
2.2 Elektrokardiogram (EKG)
Identifikasi pasien dengan keluhan nyeri dada akut yang tepat dan cepat
menjadi suatu tantangan klinis untuk dapat menegakkan diagnosis dan juga untuk
memberikan tatalaksana yang tepat untuk pasien secepat mungkin. EKG
merupakan alat diagnosis pertama yang paling bermanfaat, mudah tersedia, dan
umum digunakan dalam penegakkan diagnosis IMA (Sgarbossa dkk, 1996).
Diagnosis yang akurat untuk menegakkan IMA yang merupakan
komplikasi serius dari PJK adalah hal yang sangat penting. Insiden PJK yang
semakin meningkat secara global akan membutuhkan suatu modalitas yang
mudah tersedia untuk mendiagnosa penyakit ini (Abdulla dkk, 2001). Saat ini
EKG telah sangat luas dipergunakan dan para klinisi telah menyadari pentingnya
EKG dalam manajemen penyakit kardiovaskular. EKG menjadi suatu
pemeriksaan yang penting bukan hanya untuk mendiagnosis dan melihat tingkat
keparahan iskemia dan infark miokard, tetapi juga untuk, menemukan sumber dan
jalur penyebab aritmia, menentukan pilihan pengobatan untuk pasien gagal
jantung, dan mengevaluasi pasien dengan penyakit genetik yang rentan terhadap
aritmia (Mirvis, 2012).
EKG merupakan rekaman grafik potensial listrik jantung yang direkam
pada permukaan tubuh. Gambaran yang terdapat pada EKG merupakan gambaran
perbedaan potensial listrik. Sebagai organ, otot jantung adalah otot yang memiliki
karakteristik tersendiri yang dapat membentuk impuls sendiri dan berkontraksi
sendiri secara teratur. Impuls listrik terbentuk dalam sistem konduksi listrik
sehingga menimbulkan kontraksi otot jantung (Goldberger, 2006).
Perekaman EKG dilakukan dengan menggunakan elektroda-elektroda
yang diletakkan pada beberapa titik di permukaan tubuh, kemudian dihubungkan
dengan suatu alat perekam. Hubungan ini akan menimbulkan gambaran defleksi
positif yang berarti mendekati elektroda dan defleksi negatif yang menjauhi
elektroda. Adanya perbedaan potensial dikarenakan ion-ion masuk melewati
membran sel dan menyebabkan perbedaan tegangan sehingga miokard akan

Universitas Sumatera Utara


7

teraktivasi. Saat istirahat, cairan intra seluler sebuah sel bermuatan negatif
terhadap jaringan ekstraseluler disekitarnya (Goldberger, 2006).
Terdapat 4 peristiwa elektrofisiologis yang berperan dalam pembentukan EKG
yaitu :
1. Pembentukan impuls dan pacu jantung primer
2. Penghantaran impuls
3. Pengaktifan (depolarisasi) miokardium
4. Repolarisasi (relaksasi) miokardium
Pada awal dari fase depolarisasi terjadi perubahan permeabilitas membran
sel yang cepat yang ditandai dengan masuknya ion Na ke dalam sel yang akan
mengakibatkan potensial aksi intra sel mengalami peningkatan yang tajam dari
-90 menjadi +20 mV (fase 0). Setelah fase depolarisasi, potensial aksi akan
melambat secara perlahan ke potensial istirahat (repolarisasi), dimana fase 1
adalah proses kembalinya potensial intrasel cepat ke 0 mV akibat penutupan ion
Na; fase 2 timbul karena masuknya ion Ca secara lambat ke dalam sel (plateau);
fase 3 terjadi akibat kembalinya potensial intrasel ke potensial istirahat akibat
pengeluaran ion K dari sel. Gelombang kompleks QRS dapat timbul akibat
potensial aksi sel miokard ventrikel pada fase 0 (Goldberger dkk, 2006).
2.2.1 Proses Aktivasi ventrikel
Aktivasi ventrikel merupakan hasil dari dua proses, yaitu aktivasi
endokardium dan aktivasi transmural (Ramanathan, 2006). Aktivasi dari
endokardium diatur oleh distribusi anatomi dan keadaan fisiologis sistem His-
Purkinje. Cabang sistem konduksi kemudian menyebar dengan cepat seperti
struktur pohon dan konduksi yang cepat menyebabkan aktivasi yang nyaris
simultan pada keseluruhan endokardium yang dapat dicapai dalam beberapa
milisekon (Mirvis, 2012).
Pada proses aktivasi endokardium, aktivitas pertama dimulai pada tiga
tempat: (1) dinding paraseptal anterior ventrikel kiri (2) dinding paraseptal
posterior ventrikel kiri (3) bagian tengah septal bagian kiri. Lokus konduksi
dimulai pada insersi cabang-cabang berkas konduksi kiri. Aktivasi pada bagian
septum dimulai pada bagian kiri lalu menyebar ke seluruh septum dari kiri ke

Universitas Sumatera Utara


8

kanan dan dari apeks ke basal. Gelombang konduksi lalu menyebar dari tempat
awal ke arah anterior dan inferior dan kemudian ke arah superior untuk
mengaktivasi dinding anterior dan lateral ventrikel kiri. Daerah posterobasal
ventrikel kiri adalah daerah terakhir yang teraktivasi (Mirvis, 2012).
Eksitasi dari ventrikel kanan dimulai dari Right Bundle Branch, dekat
dengan basal dari otot papilaris anterior dan menyebar keseluruh dinding. Area
terakhir yang teraktivasi adalah konus pulmonal dan area postero basal. Pada
kedua ventrikel, pola eksitasi endokardium dimulai pada permukaan septum dan
menyebar kebawah kearah apeks dan dinding ventrikel, lalu kemudian konduksi
menyebar kebagian posterior dan basal dari arah apeks ke basal. Gelombang
aktivasi kemudian bergerak dari endokardium menuju ke epikardium. Eksitasi
endokardium dimulai pada hubungan antara serat Purkinje ke otot ventrikel dan
konduksi berlanjut dari otot ke otot secara oblique ke daerah epikardium
(Mirvis, 2012).

Gambar 2.1 Urutan aktivasi normal ventrikel kanan dan kiri. Tampak bagian
endokardium dan septum interventrikular terlihat (Durrer, 1968).

2.2.2 Kompleks QRS


Gelombang QRS digambarkan dari urutan gelombang yang membentuk
kompleks QRS tersebut. Terjadinya aktivasi endokardium dan transmural secara
berurutan menghasilkan gelombang kompleks QRS pada EKG. Defleksi negatif
pertama disebut gelombang Q, gelombang positif yang pertama disebut

Universitas Sumatera Utara


9

gelombang R dan gelombang negatif pertama setelah gelombang positif tersebut


adalah gelombang S. Gelombang positif kedua yang mengikuti gelombang S
disebut gelombang R′. Gelombang yang tinggi (≥ 5mm) digambarkan dengan
huruf besar dan gelombang yang kecil (<5 mm) ditulis dengan huruf kecil. Suatu
kompleks gelombang negatif monofasik disebut kompleks Qs. Oleh karena itu,
kompleks QRS dapat dideskripsikan sebagai QRS jika terdiri dari gelombang
kecil pertama yang negatif (gelombang q) diikuti dengan gelombang positif yang
tinggi (gelombang R) dan diikuti gelombang S yang negatif (Mirvis, 2012).
Pada suatu kompleks RSr′, gelombang inisial R dan S diikuti oleh
gelombang positif yang kecil (gelombang r′). Pada setiap kasus defleksi harus
melewati garis baseline untuk bisa dikatakan membentuk suatu gelombang;
perubahan dari bentuk gelombang yang tidak melewati garis baseline disebut
notches (Mirvis, 2012).
Pola gelombang aktivasi ventrikel yang telah dijelaskan sebelumnya dapat
disederhanakan menjadi dua vektor, yang pertama mewakili aktivasi septum dan
yang kedua mewakili aktivasi dinding ventrikel kiri. Aktivasi awal dari septum
interventrikular sesuai dengan vektor yang mengarah dari kiri ke kanan pada
sumbu fontral dan mengarah ke anterior pada sumbu horizontal, sesuai dengan
posisi anatomis septum dalam rongga dada. Vektor ini menghasilkan gelombang
awal yang positif pada lead yang mengarah ke kanan (lead aVR) atau mengarah
ke anterior (lead V1). Pada lead lain yang mengarah ke kiri (lead I, aVL, V5 dan
V6) akan terbentuk gelombang negatif pertama (gelombang q septum).
Gelombang inisial ini umumnya memiliki amplitudo yang rendah dan
berlangsung singkat (kurang dari 30 msec). Tidak adanya gelombang q septal ini
dengan kompleks QS pada lead prekordial kanan atau sebagai gelombang R awal
pada lead 1 dan V5-V6, biasanya merupakan varian normal dan tidak berhubungan
dengan suatu kelainan jantung (MacAlpin, 2004).
Aktivasi dari dinding ventrikel kiri dan kanan akan direfleksikan oleh
gambaran gelombang QRS. Oleh karena massa otot ventrikel kanan lebih sedikit
dibanding dengan massa otot ventrikel kiri sehingga ventrikel kanan hanya
berkontribusi sedikit pada pembentukan gelombang QRS di EKG. Sehingga,

Universitas Sumatera Utara


10

gelombang QRS dianggap hanya mewakili aktivitas septum dan ventrikel kiri
(Mirvis, 2012).

Gambar 2.2 Skema depolarisasi ventrikel yang menggambarkan aktivasi septum


(kiri) dan aktivasi dinding ventrikel kiri (kanan). Bentuk gelombang QRS yang
dihasilkan setiap tahap aktivasi pada lead V1 dan V2, ditunjukkan pada gambar.

2.2.3 Fragmentasi QRS


Untuk perekaman EKG yang digunakan untuk mendeteksi adanya fQRS
hanya memerlukan pengaturan yang sederhana dan sama seperti pada
pemeriksaan EKG 12 sadapan yang rutin dilakukan: high-pass filter: 0,05-20 Hz
(biasanya 0,15 Hz), low-pass filter: 100-150 Hz, AC filter: 50 atau 60 Hz,
kecepatan kertas biasanya 25-50 mm / detik dan tegangan: 1 mm / mV (Das MK
dkk, 2006, 2007 dan 2008).
Low-pass filter digunakan untuk mengurangi gangguan suara listrik dan
otot-otot pada saat pemeriksaan EKG 12 sadapan, tetapi cut-off untuk frekuensi
low-pass filter akan mempengaruhi pendeteksian dari fQRS. Gambar 2.3
menunjukkan efek dari filter low-pass untuk mendeteksi gambaran spikes yang
kecil. Perekaman EKG dengan filter low-pass 35 Hz menunjukkan hanya 2 spikes
(gelombang R) pada kompleks QRS. Peningkatan cut-off frekuensi low-pass filter
dari 35 menjadi 150 Hz dapat menunjukkan tambahan gambaran spikes pada
kompleks QRS (Gambar 2.3).

Universitas Sumatera Utara


11

Gambar 2.3 Pengaruh filter low-pass. Perekaman EKG dengan filter low-pass 35
Hz menunjukkan hanya 2 spikes pada kompleks QRS (kiri). Perubahan frekuensi
cut-off dari 35 Hz menjadi 150 Hz memperlihatkan 3 tambahan spikes pada
kompleks QRS (kanan).
Gambaran Fragmentasi QRS didefinisikan sebagai adanya berbagai
morfologi gelombang QRS yang berdurasi kurang dari 120 ms dengan adanya
gelombang R tambahan (R'), notching pada gelombang R, notching pada
downstroke atau upstroke gelombang S, atau adanya > 1 R' pada ≥ 2 sadapan yang
berdekatan yang berhubungan dengan wilayah arteri koroner utama pada
pemeriksaan EKG 12 sadapan. (Das dkk, 2006, 2008, 2009; Take dkk, 2012).
Sadapan V1-V5 akan mewakili segmen anterior miokard atau pada daerah
yang diperdarahi arteri Left Anterior Descending (LAD), sadapan I, aVL, dan V6
mewakili segmen lateral miokard atau pada daerah yang diperdarahi arteri Left
Circumflex (LCX) dan sadapan II, III, dan aVF akan mewakili segmen inferior
miokard atau pada daerah yang diperdarahi Right Coronary Artery (RCA)
(Cerqueira dkk, 2002).

Universitas Sumatera Utara


12

Gambar 2.4 Klasifikasi Fragmentasi QRS (berbagai pola RSR’). Fragmentasi


QRS didefinisikan sebagai spike tambahan pada kompleks QRS tanpa blok
cabang berkas (Kadi dkk, 2011)

2.2.4 Mekanisme fragmentasi QRS


Fragmentasi QRS dapat menggambarkan keadaan aktivasi ventrikel kiri
yang heterogen. Adanya perubahan depolarisasi ventrikel kiri mungkin akan
menunjukkan gambaran fQRS pada perekaman EKG 12 sadapan (Flowers dkk,
1969; Lesh dkk, 1988).
Adanya defleksi awal dari gelombang R yang terlihat dapat terjadi akibat
pergeseran dari vektor gelombang QRS ke kanan dan posterior sebagai hasil dari
proses depolarisasi awal (early depolarization). Adanya takik atau lekukan pada
gelombang S dapat merepresentasikan pola aktivasi pada sadapan prekordial (di
sebelah kiri dari zona transisi), serupa dengan pola aktivasi pada blok pada cabang
berkas kiri. Oleh sebab itu, adanya keterlambatan konduksi dari gelombang QRS
yang muncul karena adanya blok atau perlambatan dari jalur konduksi akan
menimbulkan gambaran aktivasi ventrikel yang berupa fragmentasi dari QRS
(Das dkk, 2006).

Universitas Sumatera Utara


13

2.2.5 Fragmentasi QRS pada penyakit jantung koroner


Fragmentasi dari kompleks QRS telah menunjukkan hubungan yang erat
dengan adanya infark miokard yang tersembunyi dalam beberapa studi-studi kecil
dan dalam model komputer (Flowers dkk, 1969; Lesh dkk, 1988; Varialle, 1992;
Ellis dkk, 1995). Konsep ini juga sudah didukung oleh studi-studi yang
menggunakan elektrogram frekuensi tinggi dengan analisis spektral yang
menunjukkan bahwa adanya peningkatan takik atau lekukan pada elektrogram
setelah cedera pada miokard (Schick dkk, 1978).
Gambaran fQRS dapat disebabkan oleh jalur konduksi yang terganggu
pada daerah sekitar miokard yang mengalami jaringan parut, sehingga
mengakibatkan multiple spikes pada kompleks QRS (Das dkk, 2006, 2008 dan
2010; Morita dkk, 2008). Suatu penelitian yang melakukan autopsi pada pasien-
pasien dengan infark miokard dan aneurisma ventrikel kiri telah menunjukkan
adanya nekrosis miokard yang signifikan dengan gambaran kumpulan nekrosis
miokard yang viabel yang diselingi oleh banyak jaringan fibrous. Sekumpulan
miokard yang mengalami iskemia kronis akan menunjukkan gambaran
perlambatan aktivasi yang berasal dari depolarisasi parsial dan kecepatan
potensial aksi yang terhambat. Hal ini mungkin akan berperan dalam
menyebabkan aktivasi ventrikel kiri yang inhomogen dan gambaran fQRS pada
perekaman EKG 12 sadapan (Gardner dkk, 1985).
Selain itu, studi yang menggunakan pemetaan endokardial (endocardial
mapping) dari jaringan parut (scar) juga menunjukkan gambaran fragmentasi
pada elektrogram di area-area yang memiliki jaringan parut pada miokard
(Friedman, 1995). Adanya gambaran pola RSR’ yang berbeda-beda dari fQRS
menunjukkan adanya pergeseran dari vektor QRS yang bervariasi dari ventrikel
sebagai akibat keterlambatan konduksi gelombang QRS yang timbul dari blok
atau perlambatan konduksi pada area jaringan parut miokard (El-Sherif, 1970).
Selain fQRS mampu menunjukkan adanya jaringan parut pada miokard,
fQRS juga dihubungkan dengan disfungsi ventrikel dan terjadinya gagal jantung
kongestif. Pada PJK, fQRS menunjukkan terjadinya infark miokard sebelumnya
dan akan memiliki risiko terjadinya kejadian iskemia berikutnya. Penelitian

Universitas Sumatera Utara


14

sebelumnya menunjukkan bahwa fQRS adalah prediktor independen untuk


kejadian kardiovaskular pada pasien dengan PJK (Das dkk, 2007). Melalui
penelitian oleh Reddy dkk menunjukkan bahwa fQRS pada sadapan prekordial
kiri dengan tidak adanya BBB mengindikasikan tanda adanya aneurisma ventrikel
kiri dengan menggunakan angiografi ventrikel kiri (Reddy dkk, 2006).

2.2.6 Fragmentasi QRS pada penyakit struktural jantung lainnya

Dilated Cardiomyopathy (DCM)

Pada pasien dengan DCM, fQRS dapat dijumpai pada pemeriksaan EKG pada 6
sadapan unipolar prekordial kiri, menggunakan high-precision amplifier. Melalui
sebuah studi, fQRS dapat memprediksi frekuensi kejadian kompleks ventrikel
prematur dan Sudden Cardiac Death (SCD) apabila dibandingkan dengan subyek
kontrol tanpa penyakit jantung (Das dkk, 2008). Gambaran fragmentasi QRS ini
dijumpai pada 23-75% pasien DCM dengan kompleks QRS yang sempit dan lebih
sering dijumpai pada kardiopati iskemik (Take dkk, 2012). Sementara pada DCM
non-iskemik, fQRS lebih dihubungkan dengan asinkroni interventrikel, dan dapat
digunakan untuk identifikasi penderita yang akan dilakukan pemasangan Cardiac
Resynchronization Therapy (CRT). fQRS ini juga dapat digunakan sebagai
prediktor mortalitas, kejadian aritmia dan kejadian kardiovaskular lainnya pada
pasien DCM dengan fraksi ejeksi ≤ 40% (Pietrasik dkk, 2012; Take dkk, 2012).

Arrhythmogenic Right Ventricular Dysplasia (ARVD)

Melalui sebuah penelitian menyebutkan bahwa fQRS telah diidentifikasi sebagai


penanda risiko ARVD. Mereka meneliti nilai fragmentasi QRS pada pemeriksaan
EKG 12 sadapan pada 360 pasien dengan ARVD dan dibandingkan
keberadaannya dengan adanya gelombang epsilon yang timbul pada sadapan
prekordial kanan dengan highly amplified dan sadapan ekstremitas yang
dimodifikasi pada sub-kelompok 207 pasien. Tanda-tanda EKG untuk ARVD
diantaranya adalah perpanjangan QRS, gambaran upstroke dari gelombang S yang
memanjang, keterlambatan aktivasi terminal, dan gelombang epsilon. Sebagian

Universitas Sumatera Utara


15

besar tanda-tanda ini dijumpai juga pada gambaran fQRS yang khas. Mereka
menyimpulkan bahwa fQRS mungkin dapat menyederhanakan diagnosis pada
pasien dengan ARVD dengan probabilitas penyakit yang tinggi melalui
pemeriksaan EKG sederhana (Peters dkk, 2008). Gambaran fQRS dijumpai pada
85% penderita ARVD dan semakin banyak sadapan dengan fQRS pada pasien
ARVD, maka fungsi ventrikel kiri akan semakin buruk (Peters dkk, 2008;
Pietrasik dkk, 2012; Take dkk, 2012).

Penyakit Jantung Rematik (PJR)

Gambaran fQRS juga sering dijumpai pada pasien dengan mitral stenosis yang
disebabkan oleh demam rematik. Demam rematik akan menyebabkan inflamasi
yang disertai degenerasi katup jantung dan juga kerusakan pada miokardium.
Gambaran fQRS dapat dikaitkan dengan penyakit gagal jantung dengan fraksi
ejeksi yang rendah, hipertensi pulmonal, kelas fungsional NYHA yang buruk, dan
penurunan area katup mitral (Yuce dkk, 2010).

Penyakit Jantung Bawaan (PJB)

Pada pasien dewasa dengan Tetralogy of Fallot yang telah dilakukan operasi
perbaikan, fQRS mampu memprediksi ventrikel fibrosis yang terdeteksi dengan
Late Gadolinium Enhancement Cardiac Magnetic Resonance (Ga-MRI).
Gambaran fQRS dapat dihubungkan dengan adanya jaringan parut paska operasi
atau fibrosis dari ventrikel kanan, volume ventrikel kanan yang lebih besar, fraksi
ejeksi ventrikal kanan yang lebih buruk dan disfungsi ventrikel kanan yang lebih
luas (Park dkk, 2012).

Sarkoidosis jantung

Suatu studi menunjukkan bahwa fQRS adalah penanda risiko sarkoidosis jantung
dengan sensitivitas dan spesifisitas fQRS yang baik untuk mendeteksi gambaran
gangguan Gadolinium-delayed Enhancement pada pemeriksaan MRI jantung
yaitu 100% & 80% (Homsi dkk, 2009). Gambaran fQRS dijumpai pada 75 %
yang menderita sarkoidosis jantung (Schuller dkk, 2011).

Universitas Sumatera Utara


16

2.2.7 Fragmentasi QRS pada penyakit konduksi jantung

Sindroma Brugada

Sindroma ini ditandai dengan ST elevasi yang coved-type yang dapat dijumpai
pada sadapan prekordial kanan dan menjadi pemicu terjadinya episode takiaritmia
ventrikel. Pasien dengan sindrom Brugada sering memiliki gambaran fQRS dan
lebih sering dijumpai pada kelompok fibrilasi ventrikel (Takagi dkk, 2012).
Melalui studi PRELUDE telah menunjukkan bahwa fQRS berguna untuk
mengidentifikasi pasien yang dapat menjadi kandidat untuk pemasangan
Implantable Cardioverter Defibrillator (ICD) sebagai profilaksis pada pasien
dengan sindroma Brugada (Priori dkk, 2012).

Acquired long QT syndrome (ALQTS)

ALQTS adalah penyakit yang disebabkan gangguan repolarisasi sekunder.


Gangguan repolarisasi seperti pemanjangan interval QT dan pemanjangan pada
puncak hingga akhir dari gelombang T menunjukkan dispersi transmural atau
intraventrikular pada repolarisasi, dan dihubungkan dengan kejadian Torsades de
Pointes (Antzelevitch dkk, 2005). fQRS memiliki persentase yang lebih besar
pada pasien ALQTS dengan sinkop / Torsades de Pointes (81%). Walaupun
timbulnya Torsades de Pointes dapat dipicu oleh karena aktivitas awal
depolarisasi, namun jaringan parut miokard yang muncul sebagai gambaran fQRS
pada EKG bisa menjadi substrat reentrant untuk aritmia ventrikel berikutnya
(Haraoka dkk, 2010).

2.2.8 Fragmentasi QRS pada penyakit lainnya


fQRS juga dapat digunakan sebagai alat skrining untuk penyakit sistemik dengan
keterlibatan jantung. Pada suatu penelitian oleh Kadi dkk dapat menilai frekuensi
kompleks fQRS pada pasien dengan rheumatoid arthritis (RA) dan kelompok
kontrol pasien dengan fibromyalgia rheumatica. Fragmentasi QRS lebih sering
ditemukan di antara pasien dengan RA dibandingkan dengan pasien kelompok
kontrol (Kadi dkk, 2012).

Universitas Sumatera Utara


17

2.3 Cedera pada miokard


Iskemia miokard merupakan keadaan dimana terdapat ketidakseimbangan
antara penggunaan dan ketersediaan oksigen pada tingkat selular. Ketersediaan
oksigen dipengaruhi oleh aliran darah koroner, resistensi vaskular, tekanan perfusi
diastolik, dan kapasitas pembawa O2; sedangkan penggunaan oksigen didorong
oleh kebutuhan metabolit yang dipengaruhi oleh banyak faktor seperti frekuensi
denyut jantung, kontraktilitas, tegangan dinding saat sistolik, pemeliharaan
viabilitas sel pada keadaan basal, depolarisasi, aktivasi, efek metabolik langsung
dari katekolamin dan uptake asam lemak (Daly dkk, 2011).
Miokard dikatakan viabel (dapat hidup) apabila memiliki kriteria (1)
memiliki kemampuan menghasilkan HEP, (2) memiliki sarkolemma utuh untuk
menjaga gradien ionik/elektrokimia, (3) memiliki perfusi cukup untuk
menyampaikan substrat dan oksigen dan juga membuang metabolit yang
berpotensi beracun. Kriteria tersebut terkait dengan kontraktilitas jantung.
Terdapat dua keadaan cedera reversibel pada jaringan yang memiliki tiga kriteria
tersebut diatas namun mengalami disfungsi kontraktilitas yaitu keadaan stunning
dan hibernating (Thornhill dkk, 2002). Konsep eksperimental untuk dua keadaan
miokard tersebut adalah perfusi miokard dalam keadaan istirahat pada stunning
cenderung normal atau mendekati normal namun menurun pada keadaan
hibernating (Shabana dkk, 2012).

2.3.1 Stunning Myocardium

Braunwald dan Kloner mendefinisikan Stunning myocadium sebagai


keadaan adanya disfungsi kontraktilitas yang memanjang setelah iskemia
sementara dan reperfusi koroner (Bonow dkk, 2011). Walau telah dilakukan
reperfusi sebagian ataupun lengkap memerlukan waktu berhari-hari atau bahkan
berminggu-minggu untuk miokard yang cedera hingga pulih mencapai
kemampuan awal kontraktilitasnya (Thornhill dkk, 2002; Schinkel dkk, 2007;
Patel, 2015). Atau dengan kata lain, keadaan stunning merupakan keadaan
penurunan fungsi kontraktilitas sementara, yang disebabkan oleh periode iskemia

Universitas Sumatera Utara


18

meskipun tanpa keadaan infark, yang terus berlangsung setelah aliran darah
koroner kembali normal atau hampir normal (Daly dkk, 2011).

Keadaan miokard yang stunning dapat ditemukan pada situasi klinis (1)
unstable angina, (2) iskemia cetusan latihan/olahraga, (3) pasien operasi jantung
setelah diberikan kardioplegi, (4) IMA setelah reperfusi (Thornhill dkk, 2002; Bax
dkk, 2015). Keadaan stunning dapat berperan dalam disfungsi kontraktil pada
kasus gagal jantung terutama kardiomiopati iskemia. Terdapat hipotesis bahwa
sensitivitas miofilamen miokard yang stunning terhadap ion kalsium menjadi
abnormal. Pada pasien PJK, episode iskemia yang berulang dapat berdampak
menjadi keadaan stunning yang kumulatif dan dapat memicu keadaan disfungsi
ventrikel kiri paska iskemia yang kronis (Camici dkk, 2008).

2.3.2 Hibernating myocardium

Hibernating myocardium merupakan penurunan fungsi kontraktilitas yang


tertahan karena perfusi yang kurang atau tidak adekuat namun miokard dalam
keadaan viabel, dan dapat pulih sempurna setelah dilakukan revaskularisasi yang
optimal dan berhasil (Daly dkk, 2011). Pada keadaan ini, Fungsi ventrikel kiri
paska revaskularisasi dapat pulih kembali (Schinkel dkk, 2007; Patel, 2015;
Camici dkk, 2008). Regulasi fungsi kontraktilitas menurun sebagai penyesuaian
terhadap asupan oksigen dan substansi metabolit miokardium yang menurun. Pada
miosit yang mengalami hibernating terdapat penurunan sintesis protein dan
mRNA (Schinkel dkk, 2007; Thornhill dkk, 2002).

Perubahan sitologi yang terjadi dalam hibernating myocardium sangat


terlihat walau bersifat reversibel. Terdapat penurunan progresif dari protein
kontraktil tanpa adanya penurunan volume sel, sementara ruang untuk sarkomer
digantikan dengan glikogen. Pada matriks ekstraselular hibernating myocardium
terdapat peningkatan jumlah kolagen dan proteoglikan (Thornhill dkk, 2002).

Keadaan hibernating myocardium dalam waktu yang lama dapat membuat


nekrosis dan pembatasan pemulihan fungsi setelah revaskularisasi. Diperlukan
paling tidak 25-30% miokard disfungsional yang viabel untuk memperbaiki fraksi

Universitas Sumatera Utara


19

ejeksi ventrikel kiri setelah revaskularisasi. Namun, pada ventrikel dengan dilatasi
yang cukup berat dan luas, pemulihan ventrikel akan tetap sulit untuk didapatkan
walaupun setelah dilakukan revaskularisasi meskipun miokard masih tetap dalam
keadaan viabel (Patel, 2015).

Gambar 2.5 Cedera reversibel dan ireversibel pada miokard (Bonow dkk, 2011)

Oklusi total atau sebagian dapat menyebabkan disfungsi kontraktilitas akut


karena penurunan aliran darah. Cedera ireversibel dimulai 20 menit setelah oklusi
total atau 5 jam pada oklusi parsial (atau dengan kolateral yang jelas) yang
disebabkan hibernasi jangka pendek. Ketika reperfusi dilakukan sebelum terjadi
cedera ireversibel, miokard menjadi stunned dan waktu yang diperlukan untuk
pemulihan fungsi sesuai dengan durasi dan tingkat keparahan iskemia. Dengan
iskemia berkepanjangan, stunning pada miokard viabel diperparah dengan
keadaan infark subendokardial dan cenderung mengalami disfungsi reversibel.
Episode iskemia singkat dibandingkan dengan iskemia lama memberikan fungsi
perlindungan dari infark (Patel dkk, 2015).

Universitas Sumatera Utara


20

2.3.3 Jaringan parut miokard


Infark miokard timbul ketika terjadi adanya keadaan kurangnya aliran
darah dalam waktu yang panjang sehingga akan menyebabkan kematian permanen
daripada miosit. Beberapa hari atau minggu setelah infark, miosit yang mati
secara perlahan akan digantikan oleh jaringan parut kolagen. Proses penyembuhan
kerusakan miokard yang progresif ini akan berjalan secara dinamis yang terdiri
dari 3 fase yaitu inflamasi/nekrosis, fibrosis/proliferasi dan remodelling jangka
panjang/maturasi (Dobaczewski dkk, 2010).
1. Fase Inflamasi/nekrosis
Fase ini terjadi pada beberapa hari pertama atau pada minggu
pertama (Fishbein dkk, 1978). Setelah iskemia yang lama, miosit akan
mengalami nekrosis yang diikuti kaskade penyembuhan dimana sel-sel
inflamasi yang bervariasi meliputi netrofil, makrofag dan limfosit akan
masuk ke zona iskemik dimulai dari beberapa jam paska cedera. Sel-sel ini
akan memainkan peran penting dalam proses penyembuhan cedera
(Lindsey dkk, 2012).
Proses remodelling dari area iskemik akan diawali oleh sel-sel
inflamasi dan sekret yang dihasilkan oleh miosit yang nekrosis dan
mengaktivasi Matrix Metalloproteinases (MMPs). Proteinase ini akan
mendegradasi sel dan matriks yang berperan dalam proses resorpsi
jaringan yang nekrotik. Aktivitas proteinase ini kemudian akan
mengganggu serat kolagen dan penopang yang menyokong struktur miosit
jantung pada miokard yang sebelumnya sehat. Pada fase awal ini,
akumulasi kolagen tidak begitu nyata, namun sesaat setelah jaringan
nekrosis diresorpsi, proses granulasi yang melibatkan fibrin, fibronectin,
laminin, Glycosaminoglycans (GAGs) dan molekul lainnya akan dimulai
(Lindsey dkk, 2012).
2. Fase fibrosis/proliferasi
Fase fibrosis atau proliferasi ini akan berlangsung satu hingga
beberapa minggu (Fishbein dkk, 1978). Fase ini akan didominasi oleh
peranan fibroblast. Secara jumlah, fibroblas adalah tipe sel yang paling

Universitas Sumatera Utara


21

banyak dijumpai ada otot jantung yang sehat (Jugdutt, 2003; Ma Y dkk,
2014). Pada zona infark, konsentrasi sel ini akan meningkat melalui
kombinasi migrasi dari miokard sekitar, proliferasi dan proses diferensiasi
tipe sel yang berbeda-beda menjadi fibroblast yang aktif meliputi perisit,
sel otot polos, sel endotel, sel punca mesenkim, dan fibrosit yang
bersirkulasi. Fibroblas pada miosit ditandai dengan peningkatan ekspresi
aktin otot polos yang umumnya menyertai peningkatan migrasi, kekuatan
kontraktilitas dan juga peningkatan ekspresi protein matriks. Diawali
beberapa hari paska infark miokard, fibroblast dapat meningkat hingga 20
kali lipat jumlahnya untuk mencapai jutaan sel/mm2 dan akan bertahan
tetap tinggi selama beberapa minggu (Daskalopoulos, 2012).
Ekspresi sel-sel inflamasi dari MMPs mulai menurun beberapa hari
setelah infark miokard setelah ekspresi fibroblast miosit (sebagian besar
tipe I dan II namun juga IV dan VI) meningkat drastis, mencapai
puncaknya sekitar 1 minggu paska infark sebelum kembali menurun ke
batas normal (Bryant dkk, 2009). Peningkatan sementara ini dapat
meningkatkan kolagen miokard hingga 10 kali lipat dan akan stabil
beberapa minggu atau bulan setelah infark (Jugdutt, 2003; Blom dkk,
2007). Kandungan kolagen adalah hasil dari tingginya regulasi
keseimbangan antara sekret kolagen dan aktivasi MMPs dan Tissue
Inhibitor of MMPs (TIMPs). Selama fase ini kandungan kolagen akan
meningkat dengan cepat, selain itu juga adanya peningkatan sementara
dari sejumlah protein matriks seluler (tenascin-C, thrombospondin,
osteopontin, dan periostin) yang berperan penting dalam struktural
maupun sebagai signal yang memunculkan jaringan parut (Marmor dkk,
1982; Lindsey dkk, 2012)
3. Fase remodelling
Fase akhir dari pembentuk jaringan parut oleh infark sering disebut dengan
remodelling atau maturasi yang dapat berlangsung dalam hitungan bulan
pada manusia (Fishbein dkk, 1978). Dalam waktu ini, apoptosis dari
fibroblas akan mengurangi membran sel daripada infark, namun ada juga

Universitas Sumatera Utara


22

yang tetap bertahan (Jugdutt, 2003; Sun dkk, 2000). Sementara kolagen
akan mulai menjadi stabil, jaringan parut akan terus mengalami maturasi
melalui peningkatan proses crosslink dari kolagen. Selain itu, peningkatan
ekspresi enzim lysil oxidase paska infark miokard, akumulasi dari proses
crosslink hydroxylysylpyrinidium dan hydroxylysylpyrinidoline bersamaan
juga dengan sekresi proteoglikan seperti decorin dan biglycan yang akan
berikatan dengan kolagen dan meregulasi fibrillogenesis dan diameter
serat akan terus berlanjut dalam fase ini (Vivaldi dkk, 1987; Ma Y dkk,
2014; Dobaczewski dkk, 2010). Perubahan dari struktur matriks kolagen
tampaknya terjadi secara perlahan namun dalam laju yang tetap yang akan
terus berlanjut lebih lama daripada akumulasi kandungan kolagen awal
yang relatif lebih cepat (Vivaldi dkk, 1987).

Gambar 2.6 Penyembuhan cedera setelah infark miokard, suatu proses


dinamis yang menggantikan miosit yang nekrotik dengan jaringan parut
berkolagen (Holmes dkk, 2005)
Aktivasi ventrikel terutama ditentukan oleh keadaan elektofisiologi
miosit, konektivitas interseluler, perbedaan keadaan elektrofisiologi dan
konektivitas antar regional miosit dan struktur 3 dimensi miokard
ventrikel. Pada miokardium yang normal, keseimbangan dari faktor-faktor
ini akan memastikan penyebaran konduksi listrik yang efisien dan stabil

Universitas Sumatera Utara


23

melalui jaringan (Smaill dkk, 2013). Pada umumnya, miosit akan terletak
dalam susunan yang sejajar dalam parallel, tersusun seperti serat-serat
(arah yang teratur) dan menghasilkan 4-6 lapisan dari miosit-miosit yang
akan saling bertaut, yang terpisah oleh suatu celah jaringan penyokong
yang melintang dan memiliki konektivitas antar sel yang kecil (Spotnitz,
2000). Konduksi antara sel-sel ini akan melewati susunan gap junction
yang terkonsentrasi dalam diskus interkalaris (intercalated disc) yang
umumnya tersusun di ujung sel. Susunan sel yang kuat dan tersusun
dengan baik ini, akan memiliki perambatan aktivasi listrik yang akan
berjalan sesuai dengan arah aksis daripada konduksi ventrikel (Severs dkk,
2004; Caldwell dkk, 2009; Hooks dkk, 2007).
Setelah kejadian infark miokard, maka timbul juga efek
remodelling pada konduksi listrik jantung yang kemudian akan diperberat
oleh perubahan struktural yang semuanya akan menjadi substrat untuk
sirkuit reentrant takiaritmia ventricular (Janse dkk, 1989). Aktivasi dari
daerah yang terkena infark akan ditandai dengan adanya perubahan dari
gambaran elektrogram. Hal ini disebabkan oleh perubahan pada pola
eksitasi dan konduksi akibat perubahan aktivitas kanal ion dan penurunan
hubungan antar sel (Severs dkk, 2008). Pada zona batas infark, konduksi
miokard terhubung ke sekitar setengah daripada jumlah normal miosit
sekitarnya. Selain itu beberapa mekanisme juga tercetus sebagai penyebab,
salah satunya adalah karena adanya konduksi yang berliku-liku (zig-zag)
pada jaringan parut dan di sekitarnya melalui berkas-berkas konduksi dari
miosit yang masih bertahan (de Bakker, 1988, 1990 dan 1993).
2.4 Sidik perfusi miokard (SPM)
Sidik perfusi miokard adalah pemeriksaan non-invasif yang dapat
mengevaluasi PJK dengan cara melihat adanya stenosis arteri koroner yang
membatasi aliran darah ke miokard dan sebagai modalitas untuk stratifikasi
resiko. Sangat penting untuk setiap klinisi yang melakukan pemeriksaan nuklir
agar memiliki pengetahuan dan pengertian yang baik dalam memahami tentang

Universitas Sumatera Utara


24

prosedur sidik perfusi miokard dan untuk menginterpretasikannya (Ben-Haim


dkk, 2013; Slomkaa dkk, 2012).
SPM adalah pemeriksaan yang paling sering dilakukan untuk evaluasi
perioperatif kardiovaskular dan nyeri dada. SPM memiliki nilai prediksi negatif
yang tinggi untuk infark miokard paska operasi dan kematian akibat jantung
(Harafuji dkk, 2005). Suatu meta-analisis menunjukkan adanya suatu defek yang
sedang hingga luas pada pemeriksaan SPM dapat menjadi suatu prediktor positif
untuk kejadian infark miokard paska operasi dan kematian akibat jantung.
Menurut The 2014 American College of Cardiology (ACC)/American Heart
Association (AHA) guidelines for perioperative cardiovascular evaluation and
management of patients undergoing noncardiac surgery, pemeriksaan SPM
menggunakan fase latihan diindikasikan untuk pasien preoperatif yang akan
menjalani operasi non kardiak dengan peningkatan resiko dan kapasitas
fungsional yang buruk dari hasil pemeriksaan non invasif menggunakan beban
farmakologis, apabila hasilnya dapat mengubah strategi tatalaksana. SPM juga
diindikasikan untuk penyakit katup jantung, karena penyakit ini juga akan
meningkatkan resiko kardiovaskular yang berhubungan dengan prosedur-prosedur
bedah non kardiovaskular. Adanya defek reversibel pada SPM menjadi suatu
prediktor komplikasi kardiovaskular perioperatif dan defek yang ireversibel
menjadi prediktor kematian kardiovaskular jangka panjang (Fleisher dkk, 2014).
SPM umumnya juga diindikasikan pada pasien-pasien dengan resiko
tinggi yang memiliki prognosis jangka panjang yang buruk dibandingkan pasien
lainnya misalnya pada pasien diabetes yang sering mengalami silent ischemia
setelah intervensi koroner, pasien gagal jantung yang sering mengalami kejadian
kardiovaskular mayor dan pasien paska bedah pintas arteri koroner menggunakan
saphenous vein graft. Kejadian iskemia pada SPM pasien-pasien diabetes yang
tak bergejala memiliki resiko tinggi untuk prosedur intervensi ulangan meskipun
tidak ada perbedaan pada kejadian kardiovaskular mayor yang signifikan apabila
dibandingkan dengan pasien diabetes yang memiliki gejala (Pfisterer dkk, 1993;
Anderson dkk, 1998; Keeley dkk, 2001; L’Huillier dkk, 2003).

Universitas Sumatera Utara


25

Dalam pemeriksaan SPM, modalitas non-nuklir yang dapat digunakan


yaitu Ekokardiografi, Magnetic Resonance Imaging (MRI), Computed
Tomography (CT). Modalitas teknik nuklir yang telah diketahui hingga saat ini
yaitu Positron Emission Tomography (PET), Single Photon Emission Computed
Tomography (SPECT) (Matsunari dkk, 2003).

Modalitas untuk pemeriksaan SPM juga dikelompokkan berdasarkan


fungsi penilaian viabilitas miokardium yang terdiri dari pencitraan secara
anatomis, fungsional dan biologis. Pencitraan anatomis menyediakan visualisasi
langsung jaringan jantung seperti pada MRI dengan kontras, ekokardiografi, CT
scan. MRI dengan kontras dapat memvisualisasikan jaringan parut dan
membedakan infark transmural dan subendokardial. Penilaian fungsi ventrikel kiri
juga dapat diperiksa dengan menggunakan ekokardiografi, MRI dan CT scan,
teknik ini dapat menilai fungsi kontraktilitas dan mengetahui adanya akinesia atau
diskinesia yang dinilai sebagai jaringan parut transmural atau hipokinesia ringan
sebagai miokard yang viabel. Pencitraan biologis dapat dilakukan menggunakan
PET dan SPECT yang menilai metabolisme dan perfusi sel yang berkaitan dengan
integritas sel membran dan keutuhan mitokondria (Patel, 2015; Bax, 2015).

Tabel 2.1 Perbandingan modalitas pencitraan untuk penilaian ventrikel kiri dan
ukuran infark (Anavekar dkk, 2016)

Universitas Sumatera Utara


26

2.5 Single-Photon Emission-Computed Tomography (SPECT)

Modalitas pencitraan nuklir non invasif utama untuk melakukan sidik


perfusi miokard adalah menggunakan Single-Photon Emission-Computed
Tomography (SPECT). SPECT digunakan secara tipikal menggunakan sistem
kamera gamma multidetektor (Bengel dkk, 2015). Teknik utamanya mencakup
administrasi tracer-tracer radioaktif seperti Thallium-201 (201Tl) atau Technetium
(Tc-99m), dengan Tc-99m sestamibi sebagai tracer yang paling sering digunakan
dalam praktik klinis. Pemeriksaan SPECT ini mampu menentukan lokasi regio
iskemia untuk menentukan rencana revaskularisasi yang tepat dan menilai
perluasan dan tingkat keparahan kerusakan bagian jantung (Daly dkk, 2011).

Pemeriksaan SPM dengan SPECT jantung yang paling sering digunakan


saat ini adalah menggunakan Technetium Tc-99m (Tc-99m). Pemeriksaan ini
memiliki sensitivitas 83 % dan spesifisitas 65%. Radiofarmaka ini bersifat
lipofilik sehingga mampu masuk ke dalam miokard melalui difusi pasif seiring
dengan aliran darah. Pemeriksaan ini menilai integritas membran mitokondria
miokard, sehingga apabila terjadi kerusakan pada miosit maka akan menyebabkan
penurunan akumulasi radiofarmaka ini di jaringan (Husain dkk, 2007).

Gambar 2.7 Modalitas pencitraan Sidik perfusi miokard (Anavekar dkk, 2016)

Universitas Sumatera Utara


27

Pemeriksaan SPM dengan SPECT diinterpretasikan melalui analisa


kualitatif, kuantitatif dan evaluasi dari fungsi dan pergerakan dinding miokard.
Analisa kuantitatif menggunakan suatu program yang sudah dibuat sedemikian
rupa untuk membantu interpretasi hasil SPM. Program ini menggunakan penilaian
yang meliputi summed stress score (SSS), summed rest score (SRS) dan summed
difference score (SDS). Penilaian ini digunakan pada fase istirahat dan dengan
beban (stress). Sistem penilaian ini juga yang akan menentukan keadaan perfusi
dari miokard dan melihat reversibilitas dari kelainan perfusi miokard. Selain itu
juga akan dilakukan penilaian pergerakan dinding miokard, fraksi ejeksi ventrikel
kiri, volume ventrikel kiri saat fase sistolik dan diastolik serta penilaian luas dan
derajat kerusakan miokard (Dvorak dkk, 2011; Hage, 2015).

Gambar 2.8 Penilaian visual perfusi miokard dengan SPECT (Cerqueira dkk,
2002)

Universitas Sumatera Utara


28

Gambar 2.9 Penilaian semi kuantitatif menggunakan sistem penilaian 17 segmen


miokard (Cerqueira dkk, 2002)

Universitas Sumatera Utara


29

2.6 Kerangka Teori

Penyakit jantung koroner

Iskemia atau infark pada miokard

Kematian sel otot jantung Remodelling otot jantung

Kerusakan struktural dan fungsional miokard

Myocardial scar
(jaringan parut pada miokard)

Gangguan konduksi ventrikel

Fragmentasi QRS pada EKG 12 sadapan

Gambar 2.10 Diagram kerangka teori

Universitas Sumatera Utara


30

2.7 Kerangka Konsep

Pasien Penyakit Jantung Koroner

EKG 12 sadapan Sesuai kriteria inklusi dan eksklusi

fQRS (+) fQRS (-)

Pemeriksaan SPECT jantung

Penilaian visual dan skor semikuantitatif

Jaringan parut miokard (+) Jaringan parut miokard (-)

Gambar 2.11 Diagram Kerangka konsep

Universitas Sumatera Utara


31

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian


Penelitian ini merupakan studi potong lintang (cross sectional study) yang
menguji fragmentasi QRS (fQRS) pada EKG 12 sadapan sebagai parameter
diagnostik dalam mendeteksi adanya jaringan parut pada miokard yang divalidasi
dengan pemeriksaan sidik perfusi miokard menggunakan SPECT jantung pada
pasien yang terdokumentasi sebagai penderita Penyakit Jantung Koroner (PJK).

3.2. Tempat dan Waktu


Penelitian ini dilakukan pada subyek penderita PJK yang dilakukan
pemeriksaan SPECT jantung di RS Haji Adam Malik Medan mulai dari periode
Januari 2017 – Maret 2018.

3.3. Populasi dan Sampel


Populasi target adalah pasien dengan Penyakit Jantung Koroner (PJK).
Populasi terjangkau adalah pasien dengan PJK yang dilakukan pemeriksaan
SPECT jantung di RSHAM Medan. Sampel adalah populasi terjangkau yang
memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

3.4. Besar Sampel

Perkiraan jumlah sampel dihitung berdasarkan rumus besar sampel untuk


penelitian analitik kategorik tidak berpasangan:

Universitas Sumatera Utara


32

dimana :

Zα : deviat baku α untuk α = 0,05  Zα = 1,96

Zß : deviat baku ß untuk ß = 0,2 Zß = 0,84

p1 : proporsi jaringan parut (+) pada kelompok pasien dengan fQRS (+) 0,42

p2 : proporsi jaringan parut (-) pada kelompok pasien fQRS (-)  0,05

q1 : jumlah responden pada kelompok fQRS (+)

q2 : jumlah responden pada kelompok fQRS (-)

q1 = 1 – P1  0,58

p = (p1 + p2)/2  0,235

q = 1 – P  0,765

n1= n2= 20
Dengan menggunakan rumus tersebut di atas, maka didapat jumlah sampel
minimal untuk penelitian ini adalah 20 sampel pada masing-masing kelompok.

3.5 Kriteria inklusi dan eksklusi

3.5.1 Kriteria Inklusi

Pasien yang terdokumentasi sebagai penderita PJK baik melalui


anamnesis, pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan EKG 12 sadapan, uji latih
jantung, ekokardiografi, angiografi koroner ataupun modalitas pendukung lainnya.

3.5.2 Kriteria Eksklusi


Pasien dengan hasil pemeriksaan EKG yang menunjukkan:
1. Gelombang Q patologis
2. Gambaran RBBB atau LBBB yang tipikal
3. Irama pacu jantung (menggunakan alat pacu jantung)

Universitas Sumatera Utara


33

4. Pasien tidak dapat menyelesaikan pemeriksaan SPECT jantung dengan


optimal (timbul keluhan yang berat, perburukan hemodinamik atau
perubahan EKG yang maligna selama pemeriksaan).

3.6 Definisi Operasional

1. Penyakit jantung koroner (PJK) merupakan keadaan dimana terjadi


penimbunan plak atau kelainan di pembuluh darah koroner. Hal ini
menyebabkan lumen arteri koroner menyempit atau tersumbat sehingga
dapat mengurangi sampai menghentikan aliran darah ke otot jantung yang
sering ditandai dengan rasa nyeri (Rhee dkk, 2011).
2. Fragmentasi QRS dapat didefinisikan sebagai adanya berbagai morfologi
gelombang QRS berdurasi kurang dari 120 ms dengan gelombang R
tambahan (R'), notching pada gelombang R, notching pada downstroke
atau upstroke gelombang S, atau adanya > 1 R' pada ≥ 2 sadapan
berdekatan yang berhubungan dengan wilayah arteri koroner utama pada
pemeriksaan EKG 12 sadapan (Das dkk, 2006).
3. Pasien dengan sangkaan PJK atau penderita PJK adalah pasien yang sudah
terdokumentasi baik melalui anamnesis, pemeriksaan laboratorirum,
pemeriksaan EKG 12 sadapan, uji latih jantung, ekokardiografi, angiografi
koroner maupun modalitas pendukung lainnya yang mendukung diagnosis
Penyakit jantung Koroner (PJK).
4. Jaringan parut miokard adalah suatu struktur yang terdiri atas kolagen
yang timbul ketika terjadi adanya keadaan kurangnya aliran darah dalam
waktu yang panjang sehingga akan menyebabkan kematian permanen
daripada miosit dimana beberapa hari atau minggu setelah infark, miosit
yang mati secara perlahan akan digantikan oleh jaringan parut kolagen
(Dobaczewski dkk, 2010).
5. Sidik Perfusi Miokard (SPM) adalah suatu pemeriksaan nuklir non invasif
yang mampu menilai kemampuan fungsional ventrikel kiri dan keadaan
perfusinya baik di fase istirahat maupun dengan beban, sehingga dapat

Universitas Sumatera Utara


34

digunakan untuk deteksi primer PJK maupun menilai viabilitas miokard


pada penderita PJK (Matsuo dkk, 2004 dan 2008).
6. SPECT (Single-Photon Emission-Computed Tomography) merupakan
suatu modalitas pencitraan nuklir non invasif untuk melakukan sidik
perfusi miokard yang menggunakan sistem kamera gamma multidetektor
serta tracer radioaktif seperti Thallium-201 (201Tl) atau Technetium (Tc-
99m), dengan Tc-99m sestamibi sebagai tracer yang paling sering
digunakan dalam praktik klinis (Bengel dkk, 2015).
7. Merokok didefinisikan sebagai riwayat merokok aktif (sampai dengan
dilakukannya angiografi koroner) atau subjek baru berhenti merokok
dalam 6 bulan terakhir (ACSM coronary artery disease risk factor
thresholds, 2008)
8. Riwayat hipertensi didefinisikan apabila memenuhi minimal salah satu
kriteria berikut ini (Karlsberg dkk, 2011);
- Riwayat pernah didiagnosis oleh dokter menderita hipertensi dan telah
diberikan obat anti hipertensi atau advis diet dan olah raga
- Pada anamnesis dijumpai riwayat pemakaian obat anti hipertensi.
9. Diabetes didefinisikan sebagai berikut;
Subjek selama ini telah atau pernah menggunakan obat hipoglikemik oral
atau insulin, atau hasil pemeriksaan kadar gula darah selama perawatan di
rumah sakit memenuhi salah satu dari kriteria; kadar HbA1C ≥ 6,5%,
kadar gula darah puasa ≥ 126 mg/dl, atau kadar gula darah post prandial ≥
200 mg/dl (Karlsberg dkk, 2011).
10. Dislipidemia didefinisikan apabila dijumpai minimal satu dari kriteria
pemeriksaan kadar profil lipid (Karlsberg dkk, 2011; NCEP-ATP III,
2002), selama perawatan di rumah sakit sebagai berikut :
 Kadar total kolesterol > 200 mg/dl
 Kadar LDL > 130 mg/dl
 Kadar HDL < 40 mg/dl pada laki-laki, atau < 50 mg/dl pada
perempuan

Universitas Sumatera Utara


35

3.7. Identifikasi Variabel

Variabel independen :

- Adanya fragmentasi QRS (Skala kategorik)

Variabel dependen :

- Fraksi ejeksi ventrikel kiri (Skala numerik)

- Volume sistolik akhir ventrikel kiri istirahat (Skala numerik)

- Volume sistolik akhir ventrikel kiri dengan beban (Skala numerik)

- Adanya jaringan parut miokard (Skala kategorik)

3.8 Alur Penelitian


Semua sampel penelitian adalah pasien yang terdokumentasi sebagai
penderita penyakit jantung koroner (PJK) baik melalui anamnesis, pemeriksaan
laboratorium, EKG, uji latih jantung, ekokardiografi, angiografi koroner ataupun
modalitas penunjang lainnya yang dirujuk untuk pemeriksaan SPECT jantung
sejak dari bulan Januari 2017 hingga Maret 2018 di RSUPHAM.
Sebelum dilakukan pemeriksaan SPECT jantung, terlebih dahulu
dilakukan perekaman EKG 12 sadapan pada pasien yang termasuk dalam kriteria
inklusi. Pemeriksaan EKG 12 sadapan (filter range 0.05–150 Hz, AC filter 50 Hz;
Fukuda Denshi, Tokyo, Japan, model FX-8322 R) dengan kecepatan 25 mm/s dan
skala 10 mV/mm. Pengukuran fragmentasi kompleks QRS dilakukan pada sesaat
sebelum dilakukan pemeriksaan SPECT jantung. Fragmentasi kompleks QRS
dinyatakan positif apabila sesuai dengan definisi fQRS yang sudah ditentukan.
Pengukuran durasi kompleks QRS dilakukan dengan menggunakan micrometer
dial caliper 150 mm Krisbow (KW0600352) dan kaca pembesar. Hasil
pengukuran dilaporkan dalam satuan msec. Pengukuran dilakukan oleh seorang
residen kardiologi. Setelah data EKG didapatkan, maka sampel yang memenuhi
kriteria eksklusi akan dikeluarkan dari penelitian. Pengukuran EKG divalidasi
oleh seorang kardiolog (Sp.JP) yang tidak mengetahui hasil SPECT pasien.

Universitas Sumatera Utara


36

Fragmentasi QRS adalah berbagai morfologi gelombang QRS berdurasi


kurang dari 120 ms dengan adanya gelombang R tambahan (R'), notching pada
gelombang R, notching pada downstroke atau upstroke gelombang S, atau adanya
> 1 R' pada ≥ 2 sadapan berdekatan yang berhubungan dengan wilayah arteri
koroner utama pada pemeriksaan EKG 12 sadapan, kemudian pasien dibagi
menjadi fragmentasi QRS (+) dan fragmentasi QRS (-).
Sampel pasien kemudian akan dilakukan pemeriksaan SPECT jantung
menggunakan radiofarmaka Tc-99m Sestamibi protokol 1 hari dengan beban
farmakologis berupa Dobutamine. Pemeriksaan SPECT menggunakan ECG-gated
rotating 90º fixed dual-head gamma camera (Philips Medical System, Cleveland).
Dosis Dobutamine diberikan melalui infus intravena yang dimulai dari 5-10
mcg/kg/menit yang dinaikkan bertahap dalam interval 3 menit hingga dosis
maksimal 40 mcg/kg/menit. Radiofarmaka diinjeksikan pada saat puncak laju
jantung (85% dari laju jantung maksimal yang diprediksikan) dan infus
Dobutamine tetap dilanjutkan hingga setelah 1 menit injeksi radiofarmaka.
Melalui pemeriksaan SPECT jantung, dilakukan analisa perfusi miokard
melalui penilaian visual dan penilaian menggunakan skor semikuantitatif.
Penilaian skor semikuantitatif dengan program ini meliputi summed stress score
(SSS), summed rest score (SRS) dan summed difference score (SDS), dimana
SDS = SSS - SRS. Adanya jaringan parut dinyatakan apabila didapatkan hasil
total regional SSS atau SRS ≥ 3 dan regional SDS ≤ 2. Kemudian akan didapatkan
hasil sidik perfusi miokard untuk menilai ada tidaknya jaringan parut (scar) pada
miokard, fraksi ejeksi ventrikel kiri, volume sistolik akhir ventrikel kiri pada saat
fase istirahat dan saat fase pemberian beban farmakologis. Skor semikuantitatif
akan dinilai menggunakan software AutoQuant yang dikembangkan oleh Cedars-
Sinai Medical Center (Los Angeles, California). Hasil SPECT akan
diinterpretasikan oleh seorang Dokter Spesialis Kedokteran Nuklir (Sp.KN).
Setelah semua data terkumpul, dilakukan pengolahan data untuk menguji
hipotesis yang telah ditetapkan.

Universitas Sumatera Utara


37

Pasien penderita Penyakit Jantung Koroner

Dikumpulkan data melalui anamnesis, pemeriksaan laboratorium, EKG,


uji latih jantung, ekokardiografi, angiografi koroner dan modalitas lainnya

Pemeriksaan EKG 12 sadapan Kriteria ekslusi

Fragmentasi QRS (+) Fragmentasi QRS (-)

SPECT jantung menggunakan beban farmakologis

Jaringan parut miokard (+) Jaringan parut miokard (-)

Gambar 3.1 Diagram Alur Penelitian

3.9. Analisa Data

Variabel kategorik dipresentasikan dengan jumlah atau frekuensi (n) dan


presentase (%). Variabel numerik dipresentasikan dengan nilai mean (rata-rata)
dan standar deviasi. Analisa bivariat untuk menguji fQRS dengan parameter-
parameter SPM melalui SPECT akan diuji dengan uji Chi-square dan Fisher’s
Exact untuk variabel kategorik. Untuk melihat perbedaan karakteristik yang
dinyatakan dengan variabel numerik digunakan uji T Independent untuk data yang
berdistribusi normal sedangkan bila tidak berdistribusi normal digunakan uji
Mann Whitney. Lalu dilakukan analisa untuk menilai kesesuaian antara sadapan

Universitas Sumatera Utara


38

EKG dengan fQRS dan lokasi jaringan parut miokard sesuai dengan arteri koroner
yang memperdarahinya yang dinilai dengan SPM menggunakan SPECT. Analisa
data statistik menggunakan software statistik, nilai p < 0,05 dikatakan bermakna
secara statistik.

3.10. Etika Penelitian

Penelitian ini akan meminta persetujuan dari komite etik Fakultas


Kedokteran USU.

3.11. Perkiraan Biaya

Pengurusan izin penelitian Rp. 750.000

Pengadaan alat tulis dan fotokopi Rp. 1.000.000

Pengadaan alat ukur EKG (jangka EKG) Rp. 500.000

Pengolahan hasil statistik Rp. 1.000.000

Biaya – biaya lain / tak terduga Rp. 1.000.000

Total Rp. 4.250.000

Universitas Sumatera Utara


39

BAB IV
HASIL PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di Departemen Kardiologi dan Kedokteran


Vaskular dan Departemen Kedokteran Nuklir RSUP Haji Adam Malik Medan,
pengumpulan sampel dilakukan dengan mengambil data pada saat pemeriksaan
penderita Penyakit Jantung Koroner (PJK) yang dirujuk untuk pemeriksaan Sidik
Perfusi Miokard (SPM) menggunakan SPECT menggunakan beban farmakologis
di mulai Januari 2017 hingga Maret 2018. Jumlah populasi PJK yang dirujuk
untuk pemeriksaan SPM mulai Januari 2017 hingga Maret 2018 adalah sebanyak
86 orang, dimana sampel yang diperoleh adalah sebanyak 72 yang telah
memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi sehingga dapat diikutsertakan dalam
penelitian.

Protokol pemeriksaan SPECT jantung yang dilakukan :


• Subyek menghentikan konsumsi obat penyekat beta, penyekat kalsium,
nitrat, golongan xanthine, kopi dan teh 1 hari sebelum pemeriksaan.
• Menggunakan ECG-gated rotating 90º fixed dual-head gamma camera
(Philips Medical System, Cleveland)
• Menggunakan radiofarmaka Tc-99m Sestamibi protokol 1 hari dengan
beban farmakologis berupa Dobutamine.
• Dosis Dobutamine diberikan melalui infus intravena, dimulai dari 5-10
mcg/kg/menit lalu dinaikkan bertahap dalam interval 3 menit hingga dosis
maksimal 40 mcg/kg/menit. Radiofarmaka diinjeksikan saat puncak laju
jantung (85% dari laju jantung maksimal yang diprediksikan) dan
Dobutamine tetap dilanjutkan hingga setelah 1 menit injeksi radiofarmaka.
• Pemeriksaan akan dihentikan apabila target puncak laju jantung telah
tercapai atau pada subyek yang tidak dapat menyelesaikan pemeriksaan
dengan optimal (timbul keluhan yang berat, perburukan hemodinamik atau
perubahan EKG yang maligna selama pemeriksaan).

Universitas Sumatera Utara


40

4.1. Karakteristik Subyek Penelitian

Sampel yang telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi adalah 72


orang, dimana penderita laki-laki adalah sebanyak 49 orang (68,1%), lebih banyak
dibandingkan perempuan yaitu sebanyak 23 orang (31,9%). Rerata usia subyek
pada penelitian ini adalah 54,7 ± 9,8 tahun.
Berdasarkan faktor resiko Penyakit Jantung Koroner (PJK) didapatkan
bahwa jumlah perokok sebanyak 51 orang (70,8%), penderita dislipidemia
sebanyak 56 orang (77,8%), memiliki riwayat hipertensi sebanyak 34 orang
(47,2%) dan Diabetes Melitus tipe II sebanyak 34 orang (47,2%).
Selain itu dari karakteristik penelitian juga didapatkan penderita yang
pernah menjalani prosedur Intervensi Koroner Perkutan (IKP) sebanyak 9 orang
(12,5%), dan pernah menjalani prosedur Bedah Pintas Arteri Koroner (BPAK)
sebanyak 4 orang (5,6%). Berdasarkan hasil EKG, dijumpai 46 orang (63,8%)
memiliki gambaran fragmentasi QRS (fQRS) dan 26 orang (36,2%) tanpa
fragmentasi QRS (fQRS) pada perekaman EKG 12 sadapan.

Tabel 4.1 Karakteristik Subyek Penelitian

Karakteristik Jumlah (%)


n = 72

Usia (rerata ± SD), tahun 54,7 ± 9,8


Jenis kelamin, n (%)
Laki-laki 49 (68,1)
Perempuan 23 (31,9)
Faktor resiko, n (%)
Diabetes Melitus Tipe II 34 (47,2)
Hipertensi 34 (47,2)
Dislipidemia 56 (77,8)
Merokok 51 (70,8)
Paska IKP, n (%) 9 (12,5)
Paska BPAK, n (%) 4 (5,6)

Universitas Sumatera Utara


41

Fragmentasi QRS (fQRS), n (%)


fQRS 46 (63,8)

non-fQRS 26 (36,2)

SD = Standard Deviasi; n = Jumlah Sampel; IKP = Intervensi Koroner Perkutan;


BPAK = Bedah Pintas Arteri Koroner

4.2 Karakteristik subyek penelitian pada kelompok fQRS dan non-fQRS

Pada karakteristik penelitian yang dinilai dari kelompok subyek dengan


fragmented QRS (fQRS) dan tanpa fragmented QRS maka didapatkan 46 subyek
dengan fQRS dan 26 subyek tanpa fQRS. Subyek dengan fQRS memiliki rerata
usia yang cenderung lebih tua dibandingkan tanpa fQRS walaupun perbedaan
keduanya tidak signifikan. Laki-laki pada subyek dengan fQRS adalah berjumlah
38 orang (82%) dibandingkan pada subyek tanpa fQRS berjumlah 11 orang (42%)
dan perbedaaan ini signifikan secara statistik (p=0,001).

Dalam karakteristik faktor resiko PJK yang dijumpai antara kedua grup
didapatkan bahwa Diabetes Melitus tipe II (DM tipe II) dan perokok menjadi
faktor resiko yang berbeda secara signifikan pada subyek dengan fQRS
dibandingkan tanpa fQRS. 26 orang (56%) subyek adalah penderita DM tipe II dan
8 orang (30%) subyek tanpa fQRS yang merupakan penderita DM tipe II (p=0,03).
38 orang (82%) subyek dengan fQRS adalah perokok, sedangkan hanya 13 orang
(50%) subyek tanpa fQRS yang merupakan perokok (p=0,003). Sementara itu,
tidak dijumpai adanya perbedaan yang bermakna secara signifikan antara faktor
resiko dislipidemia dan hipertensi apabila dibandingkan antara kedua grup. Subyek
dengan fQRS sebagian besar adalah penderita dislipidemia yaitu 39 orang (84%)
dibandingkan dengan subyek tanpa fQRS yang berjumlah 17 orang (65%). Melalui
penelitian ini juga didapatkan bahwa hipertensi dijumpai lebih banyak pada subyek
dengan fQRS dibandingkan dengan subyek tanpa fQRS, walaupun perbedaan
antara kedua kelompok tidak signifikan secara statistik.

Dilakukan juga penilaian karakteristik subyek yang pernah mendapat


terapi revaskularisasi sebelumnya antara kedua kelompok, baik melalui prosedur

Universitas Sumatera Utara


42

Intervensi Koroner Perkutan (IKP) ataupun Bedah Pintas Arteri Koroner (BPAK).
Dijumpai hanya 13 orang dari seluruh subyek yang memiliki riwayat
revaskularisasi sebelumnya. 6 orang (13%) subyek dengan fQRS yang memiliki
riwayat paska IKP dan 4 orang (8%) subyek yang pernah dilakukan prosedur
BPAK sebelumnya. Dari perbandingan kedua grup tidak didapatkan adanya
perbedaan yang signifikan secara statistik pada riwayat revaskularisasi
sebelumnya.

Tabel 4.2 Karakteristik Subyek Penelitian kelompok fQRS dan tanpa fQRS

Fragmentasi QRS
(fQRS)
Variabel Nilai p
Ya Tidak
(n=46) (n=26)

Usia (rerata ± SD), tahun 56,2 ± 8,4 51,9 ± 11,5 0,1a

Jenis Kelamin (n, %)

Laki-laki 38(82) 11(42) 0,001b

Perempuan 8(18) 15(58)

Faktor Risiko PJK (n, %)

Hipertensi 22(48) 12(46) 0,8b

Diabetes Melitus 26(56) 8(30) 0,03b

Dislipidemia 39(84) 17(65) 0,06b

Merokok 38(82) 13(50) 0,003b

Paska IKP 6(13) 3(11) 0,8b

Paska BPAK 4(8) 0(0) 0,29c

SD = Standard Deviasi; n = Jumlah Sampel; IKP = Intervensi Koroner Perkutan;


BPAK = Bedah Pintas Arteri Koroner; aStudent’s t-test; bChi Square Test; cFisher’s
Exact Test; nilai p<0.05 dianggap bermakna secara statistik.

Universitas Sumatera Utara


43

4.3 Analisis hasil pemeriksaan Sidik Perfusi Miokard kelompok fQRS dan
tanpa fQRS

Dalam penelitian ini, dilakukan analisis dari hasil Sidik Perfusi Miokard
(SPM) dengan menggunakan SPECT jantung berdasarkan kelompok dengan
fQRS dan tanpa fQRS. Beberapa parameter pemeriksaan SPM yang dianalisa
meliputi fraksi ejeksi ventrikel kiri, volume sistolik akhir ventrikel kiri pada fase
istirahat dan pemberian beban farmakologis, dan analisa adanya jaringan parut
(scar) yang dilakukan melalui penilaian visual dan skor semikuantitatif yang
diproses oleh software AutoQuant yang dikembangkan oleh Cedars-Sinai Medical
Center (Los Angeles, California). Analisa hasil pemeriksaan SPECT dilakukan
oleh seorang dokter Sp.KN (Spesialis Kedokteran Nuklir).

4.3.1 Perbandingan fraksi ejeksi ventrikel kiri kedua kelompok

Subyek penelitian pada kelompok dengan fQRS memiliki rerata fraksi


ejeksi ventrikel kiri yang lebih rendah dibandingkan dengan subyek tanpa fQRS
yaitu 36,9 ± 2,1 % berbanding 53,2 ± 2,2 %. Dapat dilihat pada tabel 4.3,
perbedaan antara kedua kelompok ini bermakna secara statistik dengan nilai
p=0,002. Fraksi ejeksi ventrikel kiri dihitung menggunakan pemeriksaan SPECT
jantung. Analisa statistik yang dipakai untuk menilai perbandingan antara kedua
kelompok ini menggunakan uji Mann Whitney.

Tabel 4.3 Perbandingan fraksi ejeksi ventrikel kiri kedua kelompok

Variabel Fragmentasi QRS Nilai p

Ya Tidak

Fraksi ejeksi ventrikel kiri 36,9 ± 2,1 53,2 ± 2,2 0,002a


(rerata±SD) %

SD = Standard Deviasi; aUji Mann Whitney; nilai p<0.05 dianggap bermakna secara
statistik

Universitas Sumatera Utara


44

Gambar 4.1 Grafik perbandingan fraksi ejeksi ventrikel kedua kelompok

4.3.2 Perbandingan volume sistolik akhir ventrikel kiri kedua kelompok

Subyek penelitian pada kelompok dengan fQRS memiliki rerata volume


sistolik akhir ventrikel kiri yang lebih tinggi dibandingkan dengan subyek tanpa
fQRS baik pada fase istirahat maupun pada fase pemberian beban farmakologis.
Perbedaan antara kedua kelompok ini signifikan secara statistik. Volume sistolik
akhir ventrikel kiri fase istirahat pada subyek dengan fQRS adalah 138,1 ± 82 ml
berbanding 97,5 ± 64,1 ml pada subyek tanpa fQRS (p=0,02). Sementara itu,
volume sistolik akhir ventrikel kiri saat pemberian beban farmakologis pada
subyek dengan fQRS adalah sebesar 139 ± 86,1 ml berbanding 91 ± 57,6 ml pada
subyek tanpa fQRS (p=0,006).

Universitas Sumatera Utara


45

Tabel 4.3 Perbandingan volume sistolik akhir ventrikel kiri fase istirahat dan
beban antara kedua kelompok

Variabel Fragmentasi QRS Nilai p

Ya Tidak

Volume sistolik akhir-istirahat 138,1 ± 82 97,5 ± 64,1 0,02a


(rerata±SD) ml
Volume sistolik akhir-beban 139 ± 86,1 91 ± 57,6 0,006a
(rerata±SD) ml
SD = Standard Deviasi; aStudent’s t-test; nilai p<0.05 dianggap bermakna secara
statistik

Gambar 4.2 Grafik perbandingan volume sistolik akhir ventrikel fase


istirahat pada kedua kelompok

Universitas Sumatera Utara


46

Gambar 4.3 Grafik perbandingan volume sistolik akhir ventrikel saat fase
pemberian beban pada kedua kelompok

4.3.3 Perbandingan analisa jaringan parut (scar) antara kedua kelompok

Dalam analisa jaringan parut (scar) melalui hasil Sidik Perfusi Miokard
yang dinilai berdasarkan kedua kelompok, maka tampak kelompok fQRS
memiliki jumlah subyek dengan jaringan parut (scar) miokard yang lebih banyak
dibandingkan dengan kelompok tanpa fQRS pada gambaran EKG 12 sadapan.
Subyek-subyek ini memiliki gambaran adanya jaringan parut pada setidaknya di 1
wilayah miokard menurut hasil Sidik Perfusi Miokard. Wilayah yang dimaksud
adalah regio miokard yang diperdarahi oleh pembuluh darah koroner LAD, RCA
maupun LCX.

Universitas Sumatera Utara


47

Tampak dari tabel 4.4, dari 46 subyek dengan fQRS, terdapat 41 orang
subyek (89%) dengan fQRS memiliki gambaran adanya jaringan parut miokard
dari hasil Sidik Perfusi Miokard dibandingkan hanya 5 orang (11%) yang tidak
memiliki gambaran jaringan parut miokard (p<0,001).

Tabel 4.4 Perbandingan analisa jaringan parut berdasarkan hasil Sidik


Perfusi Miokard antara kedua kelompok

Variabel Fragmentasi QRS Nilai p


(fQRS)

Ya Tidak
(n=46) (n=26)

Jaringan parut (+), n (%) 41(89) 4(15) < 0,001a


Jaringan parut (-), n (%) 5(11) 22(85)

a
Chi Square Test

Gambar 4.4 Grafik perbandingan analisa jaringan parut berdasarkan hasil


Sidik Perfusi Miokard antara kedua kelompok

Universitas Sumatera Utara


48

4.4 Uji diagnostik fragmentasi QRS dalam menentukan lokasi jaringan parut
Peneliti melakukan analisa kemampuan diagnostik fragmentasi QRS
dalam mendeteksi adanya jaringan parut miokard dan juga menilai kesesuaian
antara lokasi sadapan EKG dengan fQRS terhadap lokasi jaringan parut miokard
yang diperiksa dengan pemeriksaan Sidik Perfusi Miokard. Sadapan V1-V5 akan
mewakili segmen anterior miokard atau pada daerah yang diperdarahi arteri Left
Anterior Descending (LAD), sadapan I, aVL, dan V6 mewakili segmen miokard
bagian lateral atau pada daerah yang diperdarahi arteri Left Circumflex (LCX) dan
sadapan II, III, dan aVF akan mewakili segmen inferior atau pada daerah yang
diperdarahi Right Coronary Artery (RCA) (Cerqueira dkk, 2002). Kemudian
dinilai sensitivitas dan spesifisitas fQRS di tiap lokasi sadapan dalam mendeteksi
lokasi jaringan parut di wilayah miokard yang diwakili sadapan tersebut.

4.4.1 Karakteristik subyek penelitian berdasarkan lokasi sadapan


fragmentasi QRS dan lokasi jaringan parut miokard
Dari total 46 subyek dengan fQRS, didapatkan lokasi sadapan fQRS
terbanyak adalah di anterior (80,4%), inferior (67,4%) dan lateral (27%).
Berdasarkan hasil Sidik Perfusi Miokard kelompok fQRS, didapati lokasi jaringan
parut terbanyak adalah anterior (84,8%), inferior (65,2%) dan lateral (50%).

Tabel 4.5 Karakteristik subyek berdasarkan lokasi sadapan fragmentasi


QRS dan lokasi jaringan parut miokard
Karakteristik Jumlah (%)
n = 46

Lokasi sadapan FQRS


Anterior 37 (80,4)
Inferior 31 (67,4)
Lateral 27 (58,7)
Lokasi jaringan parut, n (%)
Anterior 39 (84,8)
Inferior 30 (65,2)
Lateral 23 (50)
n = jumlah subyek

Universitas Sumatera Utara


49

4.4.2 Uji diagnostik fQRS dalam menentukan jaringan parut pada


setidaknya 1 lokasi miokard
Dalam analisa nilai diagnostik adanya fQRS pada EKG 12 sadapan dalam
mendeteksi adanya jaringan parut pada setidaknya 1 lokasi miokard melalui hasil
Sidik Perfusi Miokard maka didapatkan sensitivitas 91%, spesifisitas 81%,
Positive Predictive Value 89% dan Negative Predictive Value 84%.

Tabel 4.6 Hasil uji diagnostik fQRS dan adanya jaringan parut
fQRS
Variabel
Ya Tidak Sens. Spes. PPV NPV
(IK 95%) (IK 95%) (IK 95%) (IK 95%)

Jar. parut (+) 41 4 91 81 89 84


Jar. parut (-) 5 22 (78-97) (61-93) (78-94) (67-93)

fQRS = Fragmentasi QRS; Sens. = Sensitivitas; Spes = Spesifisitas; PPV = Positive


Predictive Value; NPV = Negative Predictive Value; IK = Interval Kepercayaan

Gambar 4.5 Grafik hasil uji diagnostik fragmentasi QRS dalam mendeteksi
adanya jaringan parut pada setidaknya 1 lokasi miokard

Universitas Sumatera Utara


50

4.4.3 Uji diagnostik fQRS anterior dalam menentukan jaringan parut pada
miokard anterior
Dalam analisa nilai diagnostik fQRS pada sadapan anterior EKG 12
sadapan dalam mendeteksi adanya jaringan parut pada lokasi anterior melalui
hasil Sidik Perfusi Miokard maka didapatkan sensitivitas 87%, spesifisitas 90%,
Positive Predictive Value 91% dan Negative Predictive Value 85%.

Tabel 4.7 Hasil uji diagnostik fQRS anterior


fQRS

Variabel Ya Tidak Sens. Spes. PPV NPV


(IK 95%) (IK 95%) (IK 95%) (IK 95%)

Jar. parut (+) 34 5 87 90 91 85


Jar. parut (-) 3 30 (72-95) (75-98) (79-97) (72-93)

fQRS = Fragmentasi QRS; Sens. = Sensitivitas; Spes = Spesifisitas; PPV = Positive


Predictive Value; NPV = Negative Predictive Value; IK = Interval Kepercayaan

4.4.4 Uji diagnostik fQRS inferior dalam menentukan jaringan parut pada
miokard inferior
Dalam analisa nilai diagnostik fQRS pada sadapan inferior EKG 12
sadapan dalam mendeteksi adanya jaringan parut pada lokasi inferior melalui hasil
Sidik Perfusi Miokard maka didapatkan sensitivitas 76%, spesifisitas 80%,
Positive Predictive Value 74% dan Negative Predictive Value 82%.

Tabel 4.8 Hasil uji diagnostik fQRS inferior


fQRS

Variabel Ya Tidak Sens. Spes. PPV NPV


(IK 95%) (IK 95%) (IK 95%) (IK 95%)

Jar. parut (+) 23 7 76 80 74 82


Jar. parut (-) 8 34 (57-90) (65-91) (59-84) (71-90)

fQRS = Fragmentasi QRS; Sens. = Sensitivitas; Spes = Spesifisitas; PPV = Positive


Predictive Value; NPV = Negative Predictive Value; IK = Interval Kepercayaan

Universitas Sumatera Utara


51

4.4.4 Uji diagnostik fQRS lateral dalam menentukan jaringan parut pada
miokard lateral
Dalam analisa nilai diagnostik fQRS pada sadapan lateral EKG 12 sadapan
dalam mendeteksi adanya jaringan parut pada lokasi lateral melalui hasil Sidik
Perfusi Miokard maka didapatkan sensitivitas 73%, spesifisitas 79%, Positive
Predictive Value 62% dan Negative Predictive Value 86%.

Tabel 4.9 Hasil uji diagnostik fQRS lateral


fQRS

Variabel Ya Tidak Sens. Spes. PPV NPV


(IK 95%) (IK 95%) (IK 95%) (IK 95%)

Jar. parut (+) 17 6 73 79 62 86


Jar. parut (-) 10 39 (51-89) (65-89) (48-75) (76-92)

fQRS = Fragmentasi QRS; Sens. = Sensitivitas; Spes = Spesifisitas; PPV = Positive


Predictive Value; NPV = Negative Predictive Value; IK = Interval Kepercayaan

Gambar 4.6 Grafik hasil sensitivitas dan spesifisitas fragmentasi QRS pada
tiap lokasi sadapan dalam mendeteksi lokasi jaringan parut pada miokard

Universitas Sumatera Utara


52

Dalam gambar 4.6 ditampilkan grafik hasil uji diagnostik yang


menunjukkan sensitivitas dan spesifisitas fragmentasi QRS di tiap lokasi sadapan
EKG untuk mendeteksi lokasi dari jaringan parut miokard yang diperiksa dengan
Sidik Perfusi Miokard (SPM). Grafik ini menilai kesesuaian antara lokasi sadapan
EKG 12 sadapan dengan fQRS terhadap lokasi jaringan parut (scar) di wilayah
miokard yang diwakili sadapan tersebut. Hasil uji diagnostik ini dilakukan untuk
wilayah anterior, inferior dan lateral dari miokard.

4.5 Variabilitas Inter-observer pada Fragmentasi QRS (fQRS)


Pengukuran Fragmentasi QRS yang dilakukan menggunakan micrometer
dial caliper sering kali bersifat subjektif antara satu peneliti dengan peneliti
lainnya. Dalam penelitian ini nilai variabilitas inter-observer diuji dengan
menggunakan uji Kappa (Cohen’s Kappa Coefficient). Pengukuran fQRS
dilakukan oleh 2 orang observer yaitu 1 orang residen kardiologi dan 1 orang
kardiolog (Sp.JP) dari Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular RSUP
HAM. Nilai Cohen’s Kappa Coefficient (κ) pada variabilitas inter-observer adalah
0,791 yang termasuk dalam kategori baik dengan nilai p<0,001 (Tabel 4.10).

Tabel 4.10 Uji Variabilitas Inter-observer (Cohen’s Kappa Coefficient)

Variabel Kappa (κ) Nilai p

Fragmentasi QRS (fQRS) 0,791 <0,001

Universitas Sumatera Utara


53

BAB V
PEMBAHASAN

Penelitian ini merupakan suatu studi potong lintang yang memiliki tujuan
untuk menilai kemampuan diagnostik dari fragmentasi QRS (fQRS) sebagai suatu
gambaran dalam EKG 12 sadapan dalam mendeteksi adanya jaringan parut pada
miokard dan lokasinya yang diperiksa dengan pemeriksaan Sidik Perfusi Miokard
menggunakan SPECT jantung. SPECT jantung merupakan suatu modalitas non-
invasif berbasis nuklir yang mampu menentukan lokasi regio iskemia untuk
menentukan rencana revaskularisasi yang tepat dan menilai perluasan dan tingkat
keparahan kerusakan bagian jantung dengan sensitivitas dan spesifisitas yang
cukup baik (Daly dkk, 2011).
Secara umum, jumlah subyek yang menjadi sampel pada penelitian ini
adalah 72 orang dimana sebagian besar adalah laki-laki yaitu sebesar 68%. Dalam
proporsi keseluruhan subyek didapatkan 46 orang (64%) dengan fQRS dan 26
orang (36%) tanpa fQRS, Hal ini tidak berbeda jauh dengan penelitian yang
dilakukan Bonakdar dkk yang mengemukakan bahwa prevalensi pasien dengan
fQRS pada pasien PJK adalah sebesar 58% (Bonakdar dkk, 2015). Dari populasi
subyek dengan fQRS tampak sebagian besar adalah laki-laki, sama seperti
penelitian sebelumnya yang menjelaskan bahwa prevalensi fQRS 2-3 kali lebih
tinggi pada laki-laki dibandingkan perempuan (Ozdemir dkk, 2013).
Menurut analisa karakteristik subyek penelitian dengan fQRS dan tanpa
fQRS, tampak sebagian besar subyek dengan fQRS adalah laki-laki, dan apabila
dinilai berdasarkan faktor resiko maka DM tipe II dan merokok adalah faktor
resiko yang secara signifikan mendominasi subyek-subyek dengan fQRS. Hal ini
tampak sejalan dengan penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya (Kakhki
dkk, 2015). Dalam penelitian ini, merokok menjadi suatu faktor resiko yang
signifikan pada subyek dengan fQRS, hal ini mungkin disebabkan oleh karena
subyek dengan fQRS yang didominasi oleh laki-laki, yang cenderung membawa
faktor resiko sebagai seorang perokok. Sementara hipertensi dan dislipidemia juga

Universitas Sumatera Utara


54

cenderung lebih banyak pada subyek dengan fQRS, namun kedua hal ini tidak
berbeda signifikan secara statistik.
Pada beberapa studi sebelumnya telah menunjukkan bahwa fQRS menjadi
suatu penanda penting pada EKG yang menunjukkan fraksi ejeksi ventrikel kiri
yang lebih rendah pada populasi PJK karena melibatkan area iskemia dan
kerusakan miokard yang luas (Canga dkk, 2013; Cheema dkk, 2010; Yuce dkk,
2010; Ma dkk, 2015). Pada penelitian ini juga dijumpai hasil yang sama, dimana
didapatkan pada subyek-subyek dengan fQRS memiliki fraksi ejeksi ventrikel kiri
yang lebih rendah bila dibandingkan subyek tanpa fQRS yaitu 36,9 ± 2,1 %
berbanding 53,2 ± 2,2 % (p=0,002). Fraksi ejeksi ventrikel kiri dalam penelitian
ini diukur melalui pemeriksaan SPECT jantung. Selain itu, volume sistolik akhir
ventrikel kiri baik pada fase istirahat maupun saat fase pemberian beban
farmakologis dijumpai lebih besar secara signifikan pada subyek dengan fQRS
bila dibandingkan dengan subyek tanpa fQRS.
Berdasarkan hasil Sidik Perfusi Miokard menggunakan SPECT pada
penelitian ini, maka didapatkan bahwa jumlah subyek dengan gambaran jaringan
parut pada miokard didapati lebih banyak pada subyek dengan fQRS
dibandingkan tanpa fQRS, yaitu 89% berbanding 15% (p<0,001). Terlihat nyata
pada penelitian ini bahwa perbedaannya sangat signifikan. Hal ini sejalan dengan
penelitian terdahulu yang menyatakan bahwa adanya gambaran fQRS memiliki
hubungan dengan adanya gambaran jaringan parut (scar) miokard pasien-pasien
paska infark miokard dan fQRS mungkin dapat menjadi suatu penanda adanya
gambaran jaringan parut pada infark miokard yang tersembunyi apabila terdeteksi
oleh pemeriksaan SPECT jantung (Mahenthiran, dkk 2007; Das dkk, 2008).
Penemuan ini juga yang mungkin menjadi penyebab fraksi ejeksi ventrikel kiri
yang lebih rendah pada subyek dengan fQRS.
Selain itu dari penelitian ini subyek dengan fQRS cenderung adalah laki-
laki dan memiliki faktor resiko DM tipe II, sehingga hal ini juga dapat
mempengaruhi banyaknya subyek dengan fQRS yang memiliki jaringan parut
miokard, karena populasi PJK yang laki-laki dan penderita DM tipe II cenderung
memiliki tingkat stenosis yang lebih berat, infark yang lebih luas dan fraksi ejeksi

Universitas Sumatera Utara


55

ventrikel kiri yang lebih rendah (Arad dkk, 2001; Abaci dkk, 1999; Natali dkk,
2000). Sementara dari penelitian lainnya mengemukakan bahwa pasien PJK
dengan fQRS cenderung memiliki sistem kolateralisasi koroner yang lebih buruk,
sehingga akan mempengaruhi luasnya infark yang terjadi (Bonakdar dkk, 2015).
Gambaran fQRS pada EKG 12 sadapan dapat disebabkan oleh suatu
sistem konduksi yang zig-zag di sekitar miokard memiliki jaringan parut. Dalam
studi-studi sebelumnya, banyak yang menjelaskan bahwa kemampuan diagnostik
fQRS dalam mendeteksi jaringan parut miokard menggunakan SPECT jantung
lebih tinggi apabila dibandingkan gelombang Q patologis pada pasien-pasien
dengan riwayat infark sebelumnya (Das dkk, 2006 dan 2008).
Pada analisa kemampuan uji diagnostik fQRS terhadap jaringan parut
miokard didapatkan bahwa adanya gambaran fQRS pada EKG 12 sadapan
memiliki sensitivitas 91% dan spesifisitas 81% dalam mendeteksi adanya jaringan
parut (scar) pada setidaknya 1 wilayah segmen miokard menurut hasil analisis 17
segmen berdasarkan pemeriksaan Sidik Perfusi Miokard. Hasil ini tidak berbeda
jauh dengan penelitian sebelumnya oleh Bonakdar dkk yang menjelaskan bahwa
fQRS pada EKG memiliki sensitivitas 89% dan spesifisitas 87% dalam
mendeteksi adanya jaringan parut miokard (Bonakdar dkk, 2015). Begitu juga dari
penelitian lainnya didapatkan hasil sensitivitas dan spesifisitas dari fQRS terhadap
jaringan parut miokard adalah 85% dan 89% (Das dkk, 2006). Namun hasil ini
berlawanan dengan penelitian sebelumnya oleh Wang dkk yang menyebutkan
bahwa fQRS memiliki sensitivitas yang buruk dalam mendeteksi jaringan parut
pada miokard (Wang dkk, 2010).
Selain itu, dilakukan juga analisa kesesuaian antara wilayah sadapan EKG
dengan fQRS terhadap lokasi jaringan parut miokard sesuai dengan wilayah
miokard yang diwakili oleh sadapan EKG tersebut dimana hasil yang didapatkan
menjelaskan bahwa fQRS di sadapan anterior memiliki sensitivitas 87% dan
spesifisitas 90% dalam mendeteksi jaringan parut di miokard bagian anterior.
Sementara fQRS inferior memiliki sensitivitas 76% dan spesifisitas 80% dalam
mendeteksi jaringan parut miokard bagian inferior, dan fQRS di sadapan lateral
memiliki sensitivitas 73% dan spesifisitas 79% dalam mendeteksi jaringan parut

Universitas Sumatera Utara


56

miokard bagian lateral. Dari hasil ini tampak fQRS anterior memiliki nilai
sensitivitas dan spesifisitas tertinggi apabila dibandingkan dengan segmen
lainnya. Spesifisitas yang lebih rendah pada sadapan inferior mungkin disebabkan
karena seringnya gangguan abnormalitas konduksi yang non-spesifik terjadi pada
sadapan di segmen ini (Bonakdar dkk, 2015).
Gambaran fragmentasi QRS pada EKG 12 sadapan telah lama diteliti
sebagai suatu penanda jaringan parut miokard pada beberapa penelitian
sebelumnya. Hal ini mungkin dijelaskan oleh karena adanya sistem konduksi
listrik yang inhomogen pada miokard yang mengalami fibrosis ataupun jaringan
parut akibat infark sebelumnya pada pasien-pasien PJK. Hasil yang dijumpai pada
penelitian ini juga tampaknya konsisten dengan penjelasan ini, dimana subyek
dengan fQRS didapati memiliki jaringan parut pada setidaknya 1 lokasi miokard,
memiliki fraksi ejeksi ventrikel kiri dan volume sistolik akhir yang lebih rendah.
Hasil ini tampak berbeda signifikan secara statistik bila dibandingkan dengan
subyek tanpa fQRS.

Universitas Sumatera Utara


57

BAB VI

PENUTUP

6.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis data yang diperoleh pada penelitian ini, dapat
disimpulkan bahwa:

1. Gambaran Fragmentasi QRS (fQRS) pada EKG 12 sadapan memiliki


Sensitivitas, Spesifisitas, Positive Predictive Value, dan Negative Predictive
Value yang baik dalam mendeteksi adanya jaringan parut (scar) miokard dan
mendeteksi setiap lokasinya pada miokard yang dibuktikan melalui
pemeriksaan Sidik Perfusi Miokard menggunakan SPECT jantung pada pasien
PJK. Gambaran fQRS dapat menjadi suatu penanda (marker) sederhana yang
sangat berguna dalam praktek klinis.
2. Gambaran Fragmentasi QRS (fQRS) pada EKG 12 sadapan juga dapat
menjadi suatu penanda (marker) yang mampu mendeteksi adanya perburukan
fungsi dari ventrikel kiri seperti fraksi ejeksi dan volume sistolik akhir.

6.2. Keterbatasan Penelitian dan Saran

1. Sampel penelitian yang lebih kecil jika dibandingkan dengan penelitian


terdahulu. Diharapkan di masa mendatang agar dapat melakukan penelitian
dengan jumlah sampel yang lebih besar dan beraneka ragam, sehingga akan
menghasilkan lebih banyak variabel untuk dianalisa dan juga menghasilkan
tingkat reliabilitas yang lebih baik terhadap marker ini.
2. Tidak keseluruhan sampel penelitian yang terdiagnosa PJK melalui hasil
angiografi koroner sebagai standar baku emas PJK. Di masa mendatang dapat
dilakukan penyeragaman sampel yang terdiagnosa PJK dari angiografi
koroner, sehingga akan menghasilkan analisa yang lebih baik dan juga dapat
mencari hubungan antara gambaran fQRS pada EKG 12 sadapan dengan
parameter-parameter lainnya yang didapatkan dari hasil angiografi koroner.

Universitas Sumatera Utara


58

DAFTAR PUSTAKA

Abaci A, Oguzhan A, Kahraman S, et al. Effect of diabetes mellitus on formation


of coronary collateral vessels. Circulation. 1999;2239-42.
Abdulla J, Brendorp B, Torp-Pedersen C, et al. Does the electrocardiographic
presence of Q waves influence the survival of patients with acute
myocardial infarction? European heart journal. 2001;22(12):1008-14.
ACSM Coronary Artery Disease Risk Factor Thresholds. 2008.
http://www.acefitness.org/pdfs/ACSM-CAD-Risk-Factor-Chart.pdf.
Diakses 12 Juli 2015.

Anavekar N, Chareonthaitawee P, Narula J, et al. State of the art review:


Revascularization in patients with severe left ventricle dysfunction. J Am
Coll Cardiol. 2016;67(24):2874-87.

Anderson RD, Ohman EM, Holmes DR, et al. Prognostic value of congestive
heart failure history in patients undergoing percutaneous coronary
interventions. J Am Coll Cardiol. 1998;32:936-41.
Antzelevitch C, “Role of Transmural Dispersion of Repolarization in the Genesis
of Drug induced Torsades de Pointes,” Heart Rhythm. 2015;2(11):9-15.

Arad Y, Newstein D, Cadet F, et al. Association of multiple risk factors and


insulin resistance with increased prevalence of asymptomatic coronary
artery disease by an electron-beam computed tomographic study.
Arteriosclerosis Thrombosis and Vascular Biology. 2001;21:2051-8.

Barr CS, Naas A, Freeman M, et al. QT dispersion and sudden unexpected death
in chronic heart failure. Lancet. 1994; 343: 327–9.

Bax JJ, Delgado V. Detection of viable myocardium and scar tissue. European
heart journal cardiovascular Imaging. 2015;16(10):1062-4.

Universitas Sumatera Utara


59

Bayes de Luna A: Electrographic patterns of ischemia, injury and necrosis.


nd
In: Bayes de Luna A (ed.), Clinical electrocardiography: A textbook. 2
ed. Futura Publishing Company Inc., Armonk, NY:1998. p. 141-2.

Bengel FM, Rimoldi O, Camici PG. Nuclear cardiology (PET and SPECT)—
basic principles. In: Zamorano JL, Bax J, Knuuti J, Sechtem U, Lancellotti
P, Badano L, editors. The ESC Textbook of Cardiovascular Imaging.
Second Edition. UK: Oxford University Press; 2015.

.
Blom AS, Pilla JJ, Arkles J, et al. Ventricular restraint prevents infarct expansion
and improves borderzone function after myocardial infarction: a study
using magnetic resonance imaging, three-dimensional surface modeling,
and myocardial tagging. Ann Thorac Surg. 2007;84:200-10.
Bluzaite, I., J. Brazdzionyte, R. Zaliūnas, et al. "QT dispersion and heart rate
variability in sudden death risk stratification in patients with ischemic
heart disease." Medicina. 2005;42(6): 450-4.
Bonakdar H, Ben-Haim S, Murthy VL, Breault C, et al. Quantification of myocardial
perfusion reserve using dynamic SPECT imaging in humans: a feasibility study.
J Nucl Med. 2013;54:873-9Moladoust H, Kheirkhah J, et al. Significance of
a fragmented QRS complex in patients with chronic total occlusion of
coronary artery without prior myocardial infarction. Anatol J Cardiol.
2015;15(0):000-000.
Bonow RO, Mann DL, Zipes DP, et al. Braunwald's Heart Disease: A Textbook
of Cardiovascular Medicine. Elsevier Health Sciences; 2011.
Bountioukos M, Schinkel A, Poldermans D, et al. QT dispersion correlates to
myocardial viability assessed by dobutamine stress echocardiography in
patients with severely depressed left ventricular function due to coronary
artery disease. Eur J Heart Fail. 2004;6(2):187.
Bryant JE, Shamhart PE, Luther DJ, et al. Cardiac myofibroblast differentiation is
attenuated by alpha (3) integrin blockade: potential role in post-MI
remodeling. J Mol Cell Cardiol. 2009;46:186-92.

Universitas Sumatera Utara


60

Çaglar FN, Çaglar IM, Demir B, et al. The Association between QT dispersion-
QT dispersion ratio and the severity-extent of coronary artery disease in
patients with stable coronary artery disease. Istanbul Med J. 2014;15:95-
100
Caldwell BJ, Trew ML, Sands GB, et al. Three distinct directions of intramural
activation reveal nonuniform side-to-side electrical coupling of ventricular
myocytes. Circ Arrhythm Electrophysiol. 2009;2:433-40.
Camici PG, Prasad SK, Rimoldi OE. Stunning, Hibernation, and Assessment of
Myocardial Viability. Circulation. 2008;117(1):103-14.
Canga A, Kocaman SA, Durakoğlugil M, et al. Relationship between fragmented
QRS complexes and left ventricular systolic and diastolic functions.
Herz 2013;38:665-70.
Cantarelli M, Castello H, Gonçalves R, et al. Independent predictors of
multivessel coronary artery disease : results from Angiocardio Registry.
Rev Bras Cardiol Invasiva. 2015;23(4):266-70
Carey MG, Luisi AJ, Baldwa S et al: The Selvester QRS Score is more accurate
than Q waves and fragmented QRS complexes using the Mason-Likar
configuration in estimating infarct volume in patients with ischemic
cardiomyopathy. J Electrocardiol. 2010;43:318-25.

Cerqueira MD, Weissman NJ, Dilsizian V, et al. Standardized myocardial


segmentation and nomenclature for tomographic imaging of the heart: a
statement for healthcare professionals from the Cardiac Imaging
Committee of the Council on Clinical Cardiology of American Heart
Association. Circulation. 2002;105:539-42.

Chatterjee S, Changawala N. Fragmented QRS Complex: a novel marker of


cardiovascular disease. Clin Cardiol. 2010;33:68-71.

Cheema A, Khalid A, Wimmer A, et al. Fragmented QRS and mortality risk in


patients with left ventricle dysfunction. Circ Arrhythm Electrophysiol.
2010;3:339-44.

Universitas Sumatera Utara


61

Cuocolo A, Petretta M, Acampa W, et al. Gated SPECT myocardial perfusion


imaging: the further improvements of an excellent tool. Q J Nucl Med Mol
Imaging. 2010;54:129-44.

Daly CA, Coelho-Filho OR, Kwong RY. Chronic Myocardial Ischemia and
Viability. In: Kramer CM, editor. Multimodality imaging in cardiovascular
medicine. New York: Demos Medical Publishing; 2011.

Das MK, B. Khan, S. Jacob, et al.“Significance of a Fragmented QRS Complex


Versus a Q Wave in Patients with Coronary Artery Disease.” Circulation.
2006;113(21);2495-501.

Das MK, Maskoun W, Shen C, et al. Fragmented QRS on twelve-lead


electrocardiogram predicts arrhythmic events in patients with ischemic and
nonischemic cardiomyopathy. Heart Rhythm. 2010;7:74-80.

Das MK, Saha C, El Masry H, et al: Fragmented QRS on a 12-lead ECG: a


predictor of mortality and cardiac events in patients with coronary artery
disease. Heart Rhythm. 2007;4:1385-92.

Das MK, Suradi H, Maskoun W, et al. Fragmented wide QRS on a 12-lead ECG:
a sign of myocardial scar and poor prognosis. Circ Arrhythm
Electrophysiol. 2008;1:258-68.

Daskalopoulos EP, Janssen BJA, Blankesteijn WM. Myofibroblasts in the infarct


area: concepts and challenges. Microsc Microanal. 2012;18:35-49.
De Bakker JM, Coronel R, Tasseron S, et al. Ventricular tachycardia in the
infarcted, Langendorff perfused human heart: role of the arrangement of
surviving cardiac fibers. J Am Coll Cardiol. 1990;15:1594-607.
De Bakker JM, van Capelle FJ, Janse MJ, et al. Reentry as cause of ventricular
tachycardia in patients with chronic ischemic heart disease:
electrophysiologic and anatomic correlation. Circulation. 1988;
77:589-606.

Universitas Sumatera Utara


62

De Bakker JM, van Capelle FJ, Janse MJ, et al. Slow conduction in the infarcted
human heart. “Zigzag” course of activation. Circulation. 1993;88:915-26.
Dean JW, Lab MJ. Arrhythmia in heart failure: role of mechanically induced
changes in electrophysiology. Lancet. 1989; 333: 1308–11.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Riset Kesehatan Dasar. Badan
Penelitian dan pengembangan kesehatan Depkes RI. 2008.
http://www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskesdas
%202013. Diakses 20 September 2016.
Dobaczewski M, Gonzalez-Quesada C, Frangogiannis NG. The extracellular
matrix as a modulator of the inflammatory and reparative response
following myocardial infarction. J Mol Cell Cardiol. 2010;48:504-11.
Driver KA, Atchley AE, Kaul P, et al. Single photon emission computed
tomography myocardial imaging: clinical applications and future
directions. Minerva Cardioangiol. 2009;57:333-47.

Durrer, D. "Electrical aspects of human cardiac activity: A clinical-physiological


approach to excitation and stimulation." Cardiovasc Rec. 1968;2:1.

Dvorak RA, Brown RKJ, Corbett JR. Interpretation of SPECT/CT myocardial


perfusion images: common artifacts and quality control techniques.
RadioGraphics. 2011;31:2041-57.
Ellis WS, Auslander DM, Lesh MD: Fractionated electrograms from a computer
model of heterogeneously uncoupled anisotropic ventricular myocardium.
Circulation. 1995;92:1619-26.
Elmelegy N, Masoud A, Mansour H, et al. “QT Dispersion: Can it predict the
Extent of Stable Coronary Artery Disease?”. Int J Cardiovasc Res.
2016;5(3).
El-Sherif N: The rsR′ pattern in left surface leads in ventricular aneurysm. Br
Heart J. 1970;32:440-8.
Falk, E. 'Pathogenesis of Atherosclerosis', J Am Coll Cardiol. 2006;47(8):7-12.

Fishbein MC, Maclean D, Maroko PR. The Histopathologic Evolution of


Myocardial lnfarction. Chest. 1978;73:843-9.

Universitas Sumatera Utara


63

Fleisher LA, Fleischmann KE, Auerbach AD, et al. ACC/AHA Guideline on


Perioperative Cardiovascular Evaluation and Management of Patients
Undergoing Noncardiac Surgery: Executive Summary. J Am Coll Cardiol.
2014;64(22)e77-e137.
Flowers NC, Horan LG, Thomas JR, et al. The anatomic basis for high-frequency
components in the electrocardiogram. Circulation. 1969;39:531-9.
Friedman BM, Dunn MI: Postinfarction ventricular aneurysms. Clin Cardiol.
1995;18:505-11.
Gardner PI, Ursell PC, Fenoglio Jr JJ, et al: Electrophysiologic and anatomic basis
for fractionated electrograms recorded from healed myocardial infarcts.
Circulation.1985;72:596-611.
Goldberger, AL. Clinical Electrocardiography: A Simplified Approach. Edisi 7.
St. Louis: CV Mosby. 2006.
Hachamovitch R, Hayes SW, Friedman JD, et al. Stress myocardial perfusion
single-photon emission computed tomography is clinically effective and
cost effective in risk stratification of patients with a high likelihood of
coronary artery disease (CAD) but no known CAD. J Am Coll Cardiol.
2004;43:200-8.

Hage FG, Aljaroudi WA. Review of cardiovascular imaging in The Journal of


Nuclear Cardiology in 2014: Part 2 of 2: Myocardial perfusion imaging.
J Nucl Cardiol. 2015;22:714-9.

Harafuji K, Chikamori T, Kawaguchi S, et al. Value of pharmacologic stress


myocardial perfusion imaging for preoperative risk stratification for aortic
surgery. Circ J. 2005;69:558-63.
Haraoka K, H. Morita, Y. Saito, et al., “Fragmented QRS Is Associated with
Torsades de Pointes in Patients with Acquired Long QT Syndrome.” Heart
Rhythm. 2010;7(12):1808-14.

Henzlova, Duvall W, Einstein A, et al. ASNC imaging guidelines for SPECT


nuclear cardiology procedures: Stress, protocols, and tracers. J Nucl
Cardiol. 2016;23:606-39.

Universitas Sumatera Utara


64

Holmes JW, Borg TK, Covell JW. Structure and mechanics of healing myocardial
infarcts. Annu Rev Biomed Eng. 2005;7:223-53.

Homsi M, Alsayed L, Safadi B, et al. “Fragmented QRS Complexes on 12-Lead


ECG: A Marker of Cardiac Sarcoidosis as Detected by Gadolinium
Cardiac Magnetic Resonance Imaging.” Annals of Noninvasive
Electrocardiology. 2009;14(4):319-26.
Hooks DA, Trew ML, Caldwell BJ, et al. Laminar arrangement of ventricular
myocytes influences electrical behavior of the heart. Circ Res. 2007;
101:e103-12.
Husain SS. Myocardial perfusion imaging protocols: is there an ideal protocol?
J Nucl Med Technol. 2007;35:3-9.
IAEA. Nuclear Cardiology: Guidance on the Implementation of SPECT
Myocardial Perfusion Imaging. IAEA Human Health Series.
2016;23(1):50-1.
Janse MJ, Wit AL. Electrophysiological mechanisms of ventricular arrhythmias
resulting from myocardial ischemia and infarction. Physiol Rev.
1989;69:1049-169.
Ji Chen, Garcia EV, Bax J, et al. SPECT myocardial perfusion imaging for the
assessment of left ventricular mechanical dyssynchrony. J Nucl Cardiol..
2011;18(4):685-94.
Jousilahti P, Vartiainen E, Tuomilehto J, et al. Sex, age, cardiovascular risk
factors, and coronary heart disease: a prospective follow-up study of
14.786 middle-aged men and women in Finland. Circulation.
1999;99:1165-72.
Jugdutt BI. Remodeling of the myocardium and potential targets in the collagen
degradation and synthesis pathways. Curr Drug Targets Cardiovasc
Haematol Disord. 2003;3:1-30.
Kadi H, Ceyhan K, Koc F, et al. Relation between fragmented qrs and collateral
circulation in patients with chronic total occlusion without prior
myocardial infarction. Anadolu Kardiyol Derg. 2011;11:300-4.

Universitas Sumatera Utara


65

Kakhki V, Ayati N, Zakavi S, et al. Comparison between fragmented QRS and Q


waves in myocardial scar detection using myocardial perfusion single
photon emission computed tomography. Kardiologia Polska.
2015;73(6):437-44.
Karlsberg RP, Tcheng JE, Boris JR, et al. “ACCF/AHA 2011 key data elements
and definitions of a base cardiovascular vocabulary for electronic health
record.” J Am Coll Cardiol. 2011;58(2):202-22.

Kawaguchi K, Sone T, Tsuboi H, et al. Quantitative estimation of infarct size by


simultaneous dual radionuclide single photon emission computed
tomography: comparison with peak serum creatine kinase activity. Am
Heart J. 1991;121:1353-60.

Keeley EC, Velez CA, O’Neill WW, et al. Long-term clinical outcome and
predictors of major adverse cardiac events after percutaneous interventions
on saphenous vein grafts. J Am Coll Cardiol. 2001;38:659-65.
Korhonen P, Husa T, Konttila T, et al: Fragmanted QRS in Prediction of Cardiac
Deaths and Heart Failure Hospitalizations after Myocardial Infarction.
Ann Noninvasive Electrocardiol. 2010;15(2):130-7.

L’Huillier I, Cottin Y, Touzery C, et al. Predictive value of myocardial


tomoscintigraphy in asymptomatic diabetic patients after percutaneous
coronary intervention. Int J Cardiol. 2003;90:165-73.
Lancellotti P, Bilge A, Mipinda JB, et al. Significance of dobutamine induced
changes in QT dispersion early after acute myocardial infarction. Am J
Cardiol. 2001;88:939.
Lepeschkin E, Surawicz B. The measurement of the Q-T interval of the
electrocardiogram. Circulation 1952; 6: 378-88
Lesh MD, Spear JF, Simson MB. A computer model of the electrogram: what
causes fractionation? J Electrocardiol. 1988; 21(suppl):S69-S73.
Lindsey ML, Zamilpa R. Temporal and spatial expression of matrix
metalloproteinases and tissue inhibitors of metalloproteinases following
myocardial infarction. Cardiovasc Ther. 2012;30:31-41.

Universitas Sumatera Utara


66

Ma Y, de Castro Brás LE, Toba H, et al. Myofibroblasts and the extracellular


matrix network in post-myocardial infarction cardiac remodeling. Pflugers
Arch. 2014;466:1113-27.
MacAlpin, RN. "Clinical significance of QS complexes in V1 dan V2 without
other electrocardiography abnormality." Ann Noninvasive Electrocardiol.
2004;9:39.

Mahenthiran J, Khan BR, Sawada SG, et al. Fragmented QRS complexes not
typical of a bundle branch block: a marker of greater myocardial perfusion
tomography abnormalities in coronary artery disease. J Nucl Cardiol.
2007;14(3):347-53.

Marmor A, Geltman EM, Schechtman K, et al. Recurrent myocardial infarction:


clinical predictors and prognostic implications. Circulation.
1982;66:415-41.

Matsunari I, Taki J, Nakajima K, et al. Myocardial viability assessment using


nuclear imaging. Annals of nuclear medicine. 2003;17(3):169-79.
Matsuo S, Matsumoto T, Nakae I, et al. Prognostic value of ECG-gated thallium-
201 single-photon emission tomography in patients with coronary artery
disease. Ann Nucl Med 2004;18:617-22.
Matsuo S, Nakajima K, Horie M, et al. Prognostic value of normal stress
myocardial perfusion imaging in Japanese population. Circ J 2008;
72:611-17.
Mirvis, DM, Goldberger AL. "Electrocardiography." In Braunwald's Heart
Disease, by RO Bonow, Mann DL, Zipes DP, Libby P, Braunwald E.
Philadelphia: Elsevier Saunders; 2012. p. 126-36

Natali A, Vichi S, Landi P, et al. Coronary atherosclerosis in Type II diabetes:


angiographic findings and clinical outcome. Diabetologia. 2000;
43:632-41.
National Cholesterol Education Program III Guidelines At A Glance Quick Desk
Reference. US Departement of Health And Human Services. 2002:3301-5.

Universitas Sumatera Utara


67

Norris, RM. "Coronary disease: the natural history of acute myocardial


infarction." Heart. 2000;83:726-30.

Ozdemir S, TanYZ, Colkesen Y, et al. Comparison of fragmented QRS and


myocardial perfusion-gated SPECT findings. Nucl Med Commun. 2013;
34:1107-15.

Park SJ, On YK, Kim JS, et al. “Relation of Fragmented QRS Complex to Right
Ventricular Fibrosis Detected by Late Gadolinium Enhancement Cardiac
Magnetic Resonance in Adults with Repaired Tetralogy of Fallot.”
American Journal of Cardiology. 2012;109(1):110-15.

Patel HC, Ellis SG. Role of revascularization to improve left ventricular function.
Heart failure clinics. 2015;11(2):203-14.
Peters S, Trümmel M, Koehler B. “QRS Fragmentation in Standard ECG as a
Diagnostic Marker of Arrhythmogenic Right Ventricular Dysplasia
Cardiomyopathy,” Heart Rhythm. 2008;5(10):1417-21.
Pfisterer M, Rickenbacher P, Kiowski W, et al. Silent ischemia after percutaneous
transluminal coronary angioplasty: incidence and prognostic significance.
J Am Coll Cardiol. 1993;22:1446-54.
Pietrasik G, Goldenberg I, Zdzienicka J, et al. Prognostic significance of
fragmented QRS complex for predicting the risk of recurrent cardiac
events in patients with Q-wave myocardial infarction. Am J Cardiol. 2007;
100:583-6.

Pietrasik G, Zareba W: QRS Fragmentation: Diagnostic and prognostic


significance. Cardiol J. 2012;19(2):114-21.

Priori SG, M. Gasparini, C. Napolitano, et al. “Risk Stratification in Brugada


Syndrome: Results of the Prelude (Programmed ELectrical Stimulation
Predictive Value) Registry.” J Am Coll. 2012;59(1):37-45.

Rahajeng E, Tuminah S. Prevalensi hipertensi dan determinannya di Indonesia.


Maj Kedokt Indon. 2009;59:580-587

Universitas Sumatera Utara


68

Ramanathan, C, Jia P, Ghanem R. "Activation and repolarization of the normal


human heart under complete physiological condition." Proc Nat Acad Sci
U S A. 2006;103:6309.

Reddy CV, Cheriparambill K, Saul B, et al. Fragmented left sided QRS in absence
of bundle branch block: sign of left ventricular aneurysm.
Ann Noninvasive Electrocardiol. 2006;11:132-8.

Rhee J, Sabatine M, Lilly L, et al. 'Acute coronary syndrome', in Lilly, L.S. (ed.)
Pathophysiology of Heart Disease: A Collaborative Project of Medical
Students and Faculty, 5th edition, Baltimore: Lippincott of Williams and
Wilkins; 2001.

Schick TD, Powers Jr SR: Spectral analysis of the high-frequency


electrocardiogram in contusive myocardial injury. Ann Biomed Eng. 1978;
6:154-60.
Schinkel AF, Poldermans D, Elhendy A, et al. Assessment of myocardial viability
in patients with heart failure. Journal of nuclear medicine: official
publication, Society of Nuclear Medicine. 2007;48(7):1135-46.
Schinkel AFL, Bountioukos M, Poldermans D, et al. Relation between QT
dispersion and myocardial viability in ischemic cardiomyopathy. Am J
Cardiol. 2003;92:712.
Schneider CA, Voth E, Baer FM, et al. QT dispersion is determined by the extent
of viable myocardium in patients with chronic Q-wave myocardial
infarction. Circulation. 1997;96:3913
Schuller JL, Olson MD, Zipse MM, et al. Electrocardiogram characteristics in
patients with pulmonary sarcoidosis indicating cardiac involvement.
J Cardiovasc Electrophysiol. 2011;22:1234-8.
Severs NJ, Bruce AF, Dupont E, et al. Remodelling of gap junctions and connexin
expression in diseased myocardium. Cardiovasc. Res. 2008;80:9-19.
Severs NJ, Coppen SR, Dupont E, et al. Gap junction alterations in human cardiac
disease. Cardiovasc Res. 2004;62:368-77.

Universitas Sumatera Utara


69

Sgarbossa, EB, Pinski SL, Barbagelata A, et al. "Electrocardiography diagnosis of


envolving acute mycardial infarction in presence of LBBB”. N Eng J Med.
1996:334:481-7.

Shabana A, El-Menyar A. Myocardial Viability: What We Knew and What Is


New. Cardiology Research and Practice. 2012;2012-3.
Sharir T, Berman DS, Waechter PB, et al. Quantitative analysis of regional
motion and thickening by gated myocardial perfusion SPECT: normal
heterogeneity and criteria for abnormality. J Nucl Med. 2001;42:1630-8.

Simson MB, Utereker WJ, Spielman SR, et al: Relation between late potentials on
the body surface and directly recorded fragmented electrocardiograms in
patients with ventricular tachycardia. Am J Cardiol. 1983;51:105-12.

Slomkaa P, Xua Y, Bermana D, et al. Quantitative analysis of perfusion studies:


strengths and pitfalls. J Nucl Cardiol. 2012;19(2):338-46.
Smaill BH, Zhao J, Trew ML. Three-dimensional impulse propagation in
myocardium: Arrhythmogenic mechanisms at the tissue level. Circ. Res.
2013;112:834–48.
Spotnitz HM. Macro design, structure, and mechanics of the left ventricle.
J Thorac Cardiovasc Surg. 2000;119:1053-77.
Stilli D, Aimi B, Sgoifo A, et al. Dependence of temporal variability of
ventricular recovery on myocardial fibrosis. Role of mechanoelectrical
feedback? Cardiovasc Res 1998; 37: 58–65.
Strom, J.B, Libby, P. 'Atherosclerosis', in Lilly, L.S. (ed.) Pathophysiology of
Heart Disease: A Collaborative Project of Medical Students and Faculty,
5th edition, Baltimore: Lippincott of Williams and Wilkins. 2011.

Sun Y, Weber KT. Infarct scar: a dynamic tissue. Cardiovasc Res. 2000;46:250-6.
Taggart P. Mechanicoelectric feedback in human heart. Cardiovasc Res 1996; 32:
38–43.

Universitas Sumatera Utara


70

Takagi M, Y. Yokoyama, K. Aonuma, et al. “Clinical Characteristics and Risk


Stratification in Symptomatic and Asymptomatic Patients with Brugada
Syndrome: Multicenter Study in Japan.” Journal of Cardiovascular
Electrophysiology. 2007;18(12):1244-51.

Take Y, Morita H. Fragmented QRS: What Is The Meaning? Indian Pacing and
Electrophysiology Journal. 2012; 12(5):213-25.

Tarek MA. QRS fragmentation as a prognostic test in acute coronary syndrome.


Cardiology department Minia University Hospital, Minia, Egypt, 2013.

Thornhill RE, Prato FS, Wisenberg G. The assessment of myocardial viability:


a review of current diagnostic imaging approaches. Journal of
cardiovascular magnetic resonance : official journal of the Society for
Cardiovascular Magnetic Resonance. 2002;4(3):381-410.
Varriale P, Chryssos BE. The RSR′ complex not related to right bundle branch
block: diagnostic value as a sign of myocardial infarction scar. Am Heart
Journal. 1992;123:369-76.
Vivaldi MT, Eyre DR, Kloner R, et al. Effects of methylprednisolone on collagen
biosynthesis in healing acute myocardial infarction. Am J Cardiol. 1987;
60:424-5.
Wall ST, Walker JC, Healy K, et al. Theoretical impact of the injection of
material into the myocardium: a finite element model simulation.
Circulation. 2006;114:2627-35.
Wang DD, Buerkel DM, Corbett JR, et al. Fragmented QRS complex has poor
sensitivity in detecting myocardial scar. Ann Noninvasive Electrocardiol.
2010;15:308-14.
Wang DD, Tibrewala A, Nguygen P, et al. Fragmented QRS on surface
electrocardiogram is not a reliable predictor of myocardial scar,
angiographic coronary disease or long term adverse outcomes.
Cardiovascular Physicians of North Atlanta, Georgia. 2014.

Universitas Sumatera Utara


71

Westermann D, Mersmann J, Melchior A, et al. Biglycan is required for adaptive


remodeling after myocardial infarction. Circulation. 2008;117:1269-76.

Windecker S, Kolh P, Alonso F. Guidelines on myocardial revascularization. Eur


Heart J. 2014;35:2541-619.
World Health Organization. Cardiovascular disease. 2013.
http://www.who.int/entity/mediacentre/factsheets/fs317/en/index.html.
Diakses 14 April 2013.
Yuce M, V. Davutoglu, B. Ozbala, et al. “Fragmented QRS Is Predictive of
Myocardial Dysfunction, Pulmonary Hypertension and Severity in Mitral
Stenosis.” The Tohoku Journal of Experimental Medicine. 2010;
220:279-83.

Yusuf, S, Reddy S, Ounpuu S, et al. "Global burden of cardiovascular diseases,


part I: general consideration, the epidemiologic transition, risk factors, and
impact of urbanization." Circulation. 2001:104:2764-73.

Universitas Sumatera Utara


Lampiran I

LEMBAR KERJA PROFIL PESERTA PENELITIAN

Nomor sampel :

MR :

Tanggal MRS :

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Jenis Kelamin :

Umur : Tanggal Lahir :

Pekerjaan : Telpon :

Alamat :

Diagnosa :

II. ANAMNESIS

Faktor risiko : Hipertensi/dislipidemia/DM/Merokok

Riwayat PCI :

Riwayat CABG :

III. LABORATORIUM

Hb /Ht : KGD ad random : Ur :

Na : Trop T : Cr :

K : CK-MB :

Cl :

Universitas Sumatera Utara


IV. EKG

HR :

QRS rate :

QRS dur. :

fQRS :

fQRS anterior (LAD) :

fQRS inferior (RCA) :

fQRS lateral (LCx) :

V. EKOKARDIOGRAFI (BILA ADA)

EF : TAPSE :

LVIDD : LVIDS :

IVSD : IVSS :

REGIONAL WALL MOTION ABNORMALITY :

VI. HASIL TREADMILL TEST (BILA ADA)

POSITIVE/ISCHEMIC response :

VI. ANGIOGRAFI KORONER (BILA ADA)

LM :

LAD :

LCX :

RCA :

Universitas Sumatera Utara


VI. HASIL SPECT

EF :

Stress ESV :

Rest ESV :

Jaringan parut miokard :

Jaringan parut anterior (LAD) :

Jaringan parut inferior (RCA) :

Jaringan parut lateral (LCx) :

Universitas Sumatera Utara


Lampiran 1

LEMBAR PENJELASAN KEPADA CALON SUBJEK PENELITIAN

Yth. Bapak / Ibu …………………………………………….

1. Sebelumnya saya ingin memperkenalkan diri. Nama saya dokter Andrico L. Tobing
bertugas di divisi Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FK USU / RSUP H. Adam
Malik Medan. Saat ini, saya sedang melaksanakan penelitian tentang “Gambaran
Fragmentasi QRS Pada Elektrokardiogram 12 Sadapan Sebagai Penanda Adanya
Jaringan Parut Miokard Pada Penderita Penyakit Jantung Koroner”
2. Bapak/Ibu, pertama saya akan menjelaskan sedikit tentang penelitian yang akan saya
lakukan. Penyakit Jantung Koroner (PJK) merupakan penyakit yang menjadi salah
satu penyebab kematian tertinggi diantara penyakit lainnya. PJK adalah penyakit
dimana dijumpai adanya penyumbatan pembuluh darah yang memperdarahi jantung.
Penyumbatan ini akan menyebabkan gangguan fungsi dan struktur jantung yang dapat
menyebabkan keluhan rasa tidak nyaman di dada yang dapat menjalar ke lengan kiri,
leher ataupun punggung, dengan lamanya nyeri > 20 menit, dapat juga disertai
keringat dingin, mual, muntah, rasa mudah lelah saat aktifitas hingga sesak nafas dan
bengkak kedua kaki. Salah satu pemeriksaan untuk mendiagnosa PJK adalah dengan
pemeriksaan EKG, dimana gambaran fragmentasi QRS dapat menjadi suatu penanda
adanya kerusakan otot jantung pada pasien PJK.
3. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui peranan Fragmentasi QRS (fQRS)
pada pemeriksaan EKG 12 sadapan sebagai penanda untuk menilai adanya jaringan
parut pada miokard yang divalidasi dengan pemeriksaan sidik perfusi miokard.
4. Penelitian ini dilakukan dengan pada pasien penyakit jantung koroner (PJK) dimana
akan dilakukan pengumpulan data melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
laboratorium, EKG, uji latih jantung, ekokardiografi, angiografi koroner dan
modalitas penunjang lainnya. Dilakukan pemeriksaan EKG 12 sadapan sebelum
pemeriksaan SPECT jantung. Penelitian ini akan menilai kemampuan diagnostik dari
fQRS untuk mendeteksi adanya jaringan parut (scar) pada miokard pasien yang
didapatkan dari hasil analisis pemeriksaan SPECT jantung.
5. Partisipasi Bapak/Ibu bersifat sukarela dan tanpa paksaan. Setiap data yang ada dalam
penelitian ini akan dirahasiakan dan digunakan untuk penelitian. Untuk penelitian ini
Bapak/Ibu tidak dikenakan biaya apapun.
6. Demikianlah penjelasan yang dapat saya sampaikan kepada Bapak/Ibu. Terima kasih
saya ucapkan kepada Bapak/Ibu yang telah ikut berpartisipasi dalam penelitian ini.

Medan, Februari 2018


Peneliti
dr. Andrico L. Tobing
Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular

Universitas Sumatera Utara


Lampiran 2

PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN (PSP)

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :


Nama :
Umur :
Jenis kelamin :
Alamat :

Setelah mendapat keterangan secara terperinci dan jelas mengenai penelitian yang berjudul
“Gambaran Fragmentasi QRS Pada Elektrokardiogram 12 Sadapan Sebagai Penanda
Adanya Jaringan Parut Miokard Pada Penderita Penyakit Jantung Koroner”, maka
saya menyatakan bersedia untuk ikut serta dalam penelitian ini secara sukarela dan tanpa
adanya paksaan dari pihak manapun.

Medan, Februari 2018

( )

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I. KETERANGAN PERORANGAN
a. Nama Lengkap : dr. Andrico Napolin Lumbantobing
b. NIM : 137041107
c. Tempat/Tanggal Lahir : Medan/ 05 Agustus 1987
d. Jenis kelamin : Laki-laki
e. Bangsa : Indonesia
f. Agama : Kristen Protestan
g. Status Perkawinan : Menikah
h. Nama istri : dr. Sweet Chatherine Marpaung
i. Tempat Tinggal : Jln. Sei Bilah no. 106, Medan
i. Email/No.HP : holladoctor@gmail.com / 082146100176

II. PENDIDIKAN
a. SD Immanuel Medan, Tamat tahun 1998
b. SLTP Immanuel Medan, Tamat tahun 2001
c. SMU Negeri 1 Medan, Tamat tahun 2004
d. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan, Tamat tahun 2010
e. PPDS Kardiologi dan Kedokteran Vaskular, Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara mulai Januari 2014 – hingga saat ini.

III. KARYA ILMIAH


Pengarang (Author) Abstrak/Laporan Kasus

- Successful Management in a Rare Case of Discrete Subaortic Stenosis in Adult


Male: A Case Report. (Poster Presentation 24th ASMIHA 2015).
- Correlation Between Resting Heart Rate and 6-Minute Walk Test Distance in
Systolic Heart Failure Patients. (Poster Presentation 25th ASMIHA 2016).
- Association of Left Ventricular Stiffness Index with Left Atrial Size in Heart
Failure with Preserved Ejection Fraction (HFPEF) Patients. (Moderated Poster 7th
InaEcho 2016).
- Left Ventricle Diastolic Wall Strain as a Simple Parameter of Inhospital Mortality
in Patients with Heart Failure with Reduced Ejection Fraction (HFREF). (Poster
Presentation 26th ASMIHA 2017).
- Value of Fragmented QRS to detect and localize myocardial damage on SPECT
Myocardial Perfusion Imaging (Oral presentation 5th INAHRS 2017).

Universitas Sumatera Utara


IIHITil NHHNGI TflIIGTI GOTTIIIET
IsH ]flfir.fi Ulrcnh $mrn &le, L lllr nffi SrGn[ hrfril
It llr. trffirff Io 5 tcffin, zlltffi - lilmBts
Tel: +62-61'8'211!,N; 8210555 Fax: +62-518216264 E-mail:
komisieti lcffrusr.r@ya haeo.com

PERSETUJUA}I KOMISI ETIK TENTAITIG


PELAKSANAAFI PENEL,ITIAIT KESEHATAI{
NO:[9TI TGI,/IGPK FK USII.RSUP HAM'IOI8

Yang bertanda tangan di bawah ini, Ketua Komisi Etik Penelitian Kesehatan Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara/RSUP H. Adam Malik Medan, setelah dilaksanakan
pembahasan dan penilaian usulan penelitian berdasarkan kaidah Neuremberg Code dan
Deklarasi Helsinki, dengan ini memutuskan protokol penelitian yang berjudul :

o'G*mhrr*n Fr*gnent*si
QRS P*d* ElekfrcI**rdiegr*un 12 S*d*p*n Sch*g*i
Penanda AdanyaJaringan Parut Miokard Pada SidikPerfusi Miokard Penderita
Penyakit Jantung Koroner "

Yang menggunakan manusia de# sebagai suQiek penelitian dangan ketua


PelaksanalPeneliti Utama: Andrico N.L. Tobing
Dari Institusi : Departemen IImn Kardiotogi D*n Kedokter*n V*skular FK USU

Dapat disetujui pelaksanaannya dengan syarat :


Tidak bertentangan dengan nilai'nilai kemarrusiaan dan kode etik penelitian biomedilq
Melapor,kan jika ada ammrdemen protokal penelitian
Melaporkan penyimpangan/pelanggaran terhadap protokol penelitian
Melaporkan sec&ftr periodik perkrembafigan penelitian dan laporan akhir
Melaporkan Kejadian yang tidak diinginkan

Persetujtran ini bertr*lr sej* tanggal ditetapkan sampai dengan batas walctu pelaksanaan
penelitian seperti tertera dalam protokol dengan masa berlaku maksimum selama 1 (satu)
tahun.

Medan,2gMaret 2018
Komisi Etik Penelitian Kesehatan
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/
H. Adam Malik Medan

,-*-<s---),

Kasiman, SpPD., SpJP(K)

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai