Anda di halaman 1dari 73

HASIL PENELITIAN

MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK PPDS FK USU


PROGRAM STUDI ILMU BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

KEAKURATAN PEDIATRIC APPENDICITIS SCORE


DALAM MENEGAKKAN DIAGNOSIS APENDISITIS
AKUT PADA ANAK DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT
HAJI ADAM MALIK MEDAN

Oleh

dr. RADHITYA EKO SATRIA

DEPARTEMEN ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2015

Universitas Sumatera Utara


LEMBAR PENGESAHAN

Hasil Penelitian : Keakuratan Pediatric Appendicitis Score dalam


Menegakkan Diagnosis Apendisitis Akut pada Anak di
Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan
Nama PPDS : Radhitya Eko Satria
NIM 097102006
Bidang Ilmu : Kedokteran / Ilmu Bedah
Kategori : Bedah Anak

HASIL PENELITIAN INI TELAH DIPERIKSA DAN DISETUJUI OLEH

Pembimbing I: Pembimbing II:

dr. Erjan Fikri, M.Ked.(Surg.), SpB., SpBA. dr. Iqbal Pahlevi Nasution, SpBA.
NIP: 19630127 198911 1 001 NIP: 19730721 200912 1 001

Ketua Departemen Ilmu Bedah: Ketua Program Studi Ilmu Bedah:

dr. Emir Taris Pasaribu, SpB.(K)Onk. dr. Marshal, SpB., SpB-TKV(K)


NIP: 19520304 198002 1 001 NIP: 19610316 198611 1 001

Universitas Sumatera Utara


SURAT KETERANGAN

Sudah diperiksa Hasil Penelitian

Judul : Keakuratan Pediatric Appendicitis Score dalam


Menegakkan Diagnosis Apendisitis Akut pada Anak di
Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan
Peneliti : Radhitya Eko Satria
NIM 097102006
Departemen : Ilmu Bedah
Institusi : Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

MEDAN, APRIL 2015


KONSULTAN METODOLOGI
PENELITIAN
FAKULTAS KEDOKTERAN USU

Prof. dr. H. Aznan Lelo, PhD.,


SpFK. NIP: 19511202 197902 1 001

Universitas Sumatera Utara


SURAT KETERANGAN

Sudah diperiksa Hasil Penelitian

Judul : Keakuratan Pediatric Appendicitis Score dalam


Menegakkan Diagnosis Apendisitis Akut pada Anak di
Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan
Peneliti : Radhitya Eko Satria
NIM 097102006
Departemen : Ilmu Bedah
Institusi : Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

MEDAN, APRIL 2015


KONSULTAN PATOLOGI
ANATOMI FAKULTAS
KEDOKTERAN USU / RSUP HAJI
ADAM MALIK MEDAN

dr. Jamaluddin, Sp.P.A.


NIP: 1961 0512 198612 1 001

Universitas Sumatera Utara


PERNYATAAN

Keakuratan Pediatric Appendicitis Score dalam Menegakkan Diagnosis


Apendisitis Akut pada Anak di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam
Malik Medan

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang
pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi,
dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang
pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu
dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Mei 2015

Radhitya Eko Satria

Universitas Sumatera Utara


KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT, berkat rahmat dan karunia-Nya
penulis dapat menyelesaikan penelitian ini yang merupakan salah satu persyaratan tugas
akhir untuk memperoleh keahlian Magister Kedokteran Klinik Program Studi Ilmu Bedah
di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara (FK USU). Selawat dan salam tak
lupa penulis sampaikan kepada junjungan Rasulullah Muhammad SAW.
Dengan selesainya penulisan tesis ini, perkenankanlah penulis menyampaikan
terima kasih kepada :
1. Bapak Rektor USU, Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc (CTM), SpA(K),
dan Bapak Dekan FK USU, Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, SpPD-KGEH atas
kesempatan yang telah diberikan kepada penulis untuk mengikuti Pendidikan
Magister Kedokteran Klinik Program Studi Ilmu Bedah di FK USU.
2. Bapak Ketua Departemen Ilmu Bedah FK USU, dr. Emir T. Pasaribu, SpB(K)Onk.,
dan Bapak Ketua Program Studi Ilmu Bedah, dr. Marshal, SpB, SpBTKV, serta
Bapak Sekretaris Program Studi Ilmu Bedah, dr. Asrul S, SpB-KBD, yang telah
bersedia menerima, mendidik dan membimbing penulis dengan penuh kesabaran
selama penulis menjalani pendidikan.
3. Bapak Ketua Divisi Bedah Anak, dr. Erjan Fikri, MKed.(Surg.), SpB, SpBA, dan
dr. Iqbal Pahlevi Nasution, SpBA sebagai pembimbing penelitian ini, serta
Prof. dr. Aznan Lelo, PhD, SpFK sebagai konsultan metodologi penelitian, dan
dr. Jamaluddin, SpPA sebagai konsultan patologi anatomi. Penulis mengucapkan
terima kasih terima serta penghargaan yang setinggi-tingginya atas bimbingan,
dorongan, dan dukungan yang Bapak berikan selama penulis menjalani pendidikan
hingga penulis menyelesaikan tesis ini dengan baik.
4. Rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya saya sampaikan kepada guru-
guru saya: Prof. dr. Bachtiar Surya, SpB-KBD, dr. Mahyono, SpB, SpBA,
dr. Suyatno, SpB(K)-Onk, dr. Liberti, SpB-KBD, dr. Bungaran Sihombing, SpU,
dr. Utama Tarigan, SpBP-RE, serta seluruh dosen dan staf FK USU dan RSUP Haji
Adam Malik Medan yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu.
5. Kedua orang tua, ayahanda Hadi Suprapto, Ak. dan ibunda dr. Asfawati, MSc,
AIFO yang telah membesarkan dan mendidik penulis dengan penuh kesabaran, kasih
sayang dan perhatian, dengan diiringi doa dan dorongan yang tiada henti.
6. Istri tercinta, dr. Wina Yulinda, dan ananda tersayang Azfar Wafiq Arradhi, atas
segala pengorbanan, pengertian, dukungan, semangat, kesabaran, dan kesetiaan
dalam segala suka duka mendampingi saya selama menjalani masa pendidikan.
7. Kepada teman-teman sejawat yang telah memberi dukungan dan motivasi selama
penulis menjalani pendidikan.
Semoga Allah SWT melimpahkan berkat dan karunianya kepada semua pihak yang
telah memberi dukungan pada penulis selama pendidikan. Amin.

Medan, Mei 2015


Penulis

Radhitya Eko Satria

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................... i


SURAT KETERANGAN HASIL PENELITIAN ......... ............................... ii
PERSETUJUAN KOMISI ETIK.................................................................. .
iv
PERNYATAAN ............................................................................................ v
KATA PENGANTAR ................................................................................. . vi
DAFTAR ISI ............. .................................................................................... vii
DAFTAR TABEL ........................................................................................ x
DAFTAR GAMBAR ................................................................................... . xi
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... . xii
ABSTRACT .................................................................................................. xiii
ABSTRAK ................................................................................................... xiv

BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................................ 1


1.1. Latar Belakang Penelitian ................................................................ 1
1.2. Perumusan Masalah ......................................................................... 2
1.3. Pertanyaan Penelitian....................................................................... 2
1.4. Hipotesis Penelitian.................................................................................2
1.5. Tujuan Penelitian ............................................................................. 2
1.4.1. Tujuan Umum......................................................................... 2
1.4.2. Tujuan Khusus........................................................................ 2
1.5. Manfaat Penelitian ........................................................................... 3
1.5.1 Manfaat Bagi Peneliti........................................................... 3
1.5.2 Manfaat Bagi Tenaga Kesehatan, Institusi Akademis,
dan Peneliti Lain .................................................................. 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA................................................................... 4


2.1. Appendiks vermiformis ................................................................... 4
2.2. Apendisitis ....................................................................................... 5
2.2.1. Definisi ................................................................................. 5
2.2.2. Epidemiologi ........................................................................ 6

Universitas Sumatera Utara


2.2.3. Etiologi ................................................................................. 7
2.2.4. Patofisiologi ......................................................................... 8
2.2.5. Gambaran Klinis Apendisitis Akut pada Anak .................... 9
2.2.5.1. Anamnesis .................................................................. 9
2.2.5.2. Pemeriksaan Fisik .......................................................
10
2.2.6. Uji Diagnostik ...................................................................... 12
2.2.6.1. Pemeriksaan Laboratorium ......................................... 12
2.2.6.2. Pemeriksaan Radiografi.............................................. 14
2.2.6.3. Pemeriksaan Mikrobiologi ......................................... 17
2.2.6.4. Pemeriksaan Patologi Anatomi .................................. 17
2.2.7. Pediatric Appendicitis Score (PAS)..................................... 18
2.2.8. Penatalaksanaan Apendisitis Akut pada Anak ..................... 20
2.2.8.1. Penatalaksanaan Konservatif (Non-Operatif)............. 21
2.2.8.2. Apendektomi .............................................................. 22
2.2.9. Prognosis Apendisitis Akut pada Anak ............................... 25
2.2.10. Komplikasi Apendisitis Akut pada Anak............................. 25
2.3. Diagnosis Banding Apendisitis Akut ............................................... 26

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN ..................................................... 27


3.1. Desain Penelitian ............................................................................. 27
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................................... 27
3.3. Populasi Penelitian........................................................................... 27
3.4. Kriteria Inklusi dan Eksklusi ........................................................... 27
3.5. Cara Pengambilan Sampel dan Besar Sampel ................................. 28
3.6. Kerangka Konsep............................................................................. 28
3.7. Definisi Operasional ........................................................................ 29
3.8. Teknik Pengambilan Data Penelitian............................................... 29
3.9. Pengolahan dan Analisis Data ......................................................... 29

Universitas Sumatera Utara


BAB 4 HASIL PENELITIAN .................... ................................................ 31

BAB 5 PEMBAHASAN ......................... ..................................................... 42

BAB 6 SIMPULAN DAN SARAN ............................................................. 48

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 49


LAMPIRAN ................................................................................................... 52

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR TABEL

Nomor
Judul Tabel Halaman
Tabel
Tabel 2.1. Perbandingan CT scan tanpa kontras dan USG 17
Tabel 2.2. Pediatric Appendicitis Score 19
Perbandingan laparoscopic appendectomy dan open
Tabel 2.3. 23
appendectomy
Tabel 4.1. Deskripsi subjek penelitian berdasarkan jenis kelamin 31
Tabel 4.2. Deskripsi subjek penelitian berdasarkan usia 31
Tabel 4.3. Deskripsi subjek penelitian berdasarkan rerata usia 32
Deskripsi nilai PAS kelompok apendisitis akut dan
Tabel 4.4. 32
bukan apendisitis akut
Deskripsi subjek penelitian berdasarkan keluhan nyeri
Tabel 4.5. 33
saat batuk, perkusi atau melompat
Deskripsi subjek penelitian berdasarkan keluhan
Tabel 4.6. 33
penurunan nafsu makan
Deskripsi subjek penelitian berdasarkan peningkatan
Tabel 4.7. 34
suhu tubuh lebih dari 38,0 oC
Deskripsi subjek penelitian berdasarkan keluhan nyeri
Tabel 4.8. 34
perut kuadran kanan bawah
Deskripsi subjek penelitian berdasarkan peningkatan
Tabel 4.9. 34
jumlah leukosit lebih dari 10.000/mm3
Deskripsi subjek penelitian berdasarkan keluhan mual
Tabel 4.10 35
atau muntah
Deskripsi subjek penelitian berdasarkan peningkatan
Tabel 4.11. 35
jumlah neutrofil lebih dari 7.500 sel/mikroliter
Deskripsi subjek penelitian berdasarkan keluhan nyeri
Tabel 4.12. 36
yang bermigrasi
Tabel 4.13. Deskripsi suhu tubuh subjek penelitian 37
Tabel 4.14. Deskripsi jumlah leukosit subjek penelitian 37
Tabel 4.15. Deskripsi jumlah neutrofil subjek penelitian 37
Deskripsi komplikasi subjek penelitian kelompok
Tabel 4.16. apendisitis akut pada anak berdasarkan hasil pemeriksaan 38
patologi anatomi
Deskripsi komplikasi apendisitis akut pada anak
Tabel 4.17. 39
berdasarkan jenis kelamin
Deskripsi komplikasi apendisitis akut pada anak
Tabel 4.18. 39
berdasarkan usia
Deskripsi komplikasi apendisitis akut pada anak
Tabel 4.19. 40
berdasarkan kelompok usia
Deskripsi nilai PAS berdasarkan komplikasi apendisitis
Tabel 4.20. 40
akut pada anak
Tabel 4.21. Hubungan nilai PAS dengan apendisitis akut pada anak 41

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Anatomi appendiks vermiformis........................................................4


Gambar 2.2. Posisi appendiks vermiformis............................................................5
Gambar 2.3. Lokasi nyeri klasik apendisitis akut..................................................9
Gambar 2.4. Gambaran USG apendisitis akut pada anak.....................................15
Gambar 2.5. CT scan apendisitis akut pada anak.................................................17
Gambar 2.6. Perbandingan laparoscopic apendectomy dan open apendectomy...23
Gambar 2.7. Open apendectomy...........................................................................24

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran
1. Evidence Level and Strength of Recommendations ............. 52
2. Susunan Peneliti ........................................................................ 53
3. Anggaran Penelitian.................. ......................................... 54
4. Jadwal Penelitian ............................................................ 55
5. Lembar Penjelasan Kepada Calon Subjek Penelitian............. 56
6. Persetujuan Setelah Penjelasan .......................................... 57
7. Formulir Penelitian ......................................................... 58
8. Daftar Riwayat Hidup ..................................................... 59

Universitas Sumatera Utara


ABSTRACT

Accuracy of Pediatric Appendicitis Score to Diagnose Pediatric Acute


Appendicitis in Haji Adam Malik Hospital Medan
Radhitya Eko S.1, Erjan Fikri2, Iqbal Pahlevi Nasution2
1
Surgeon Resident of North Sumatera Faculty, 2Plastic Surgery Division

Background: Acute appendicitis is one of acute abdomen in children. Incidence of


pediatric acute appendicitis is 1 – 8 % worldwide among all children came to emergency
unit with acute abdominal pain. In Indonesia, acute appendicitis was 4 th most common
disease in 2006. Early dan accurate diagnosis is very important because if it is delayed, it
will increase morbidity, mortality, dan expenditure. Several scoring system have been
introduced, one of which Pediatric Appendicitis Score (PAS). Aim of this study is to
know accuracy of PAS to diagnose pediatric acute appendicitis in Haji Adam Malik
Hospital Medan.

Methods: Design of this study is cohort, with single blind consecutive sampling. Data
analyzed with Chi square and T test. This study was conducted in Haji Adam Malik
Hospital Medan on January to April 2015. Study population was pediatric patient in Haji
Adam Malik Hospital Medan with abdominal pain suspected appendicitis and willingly
joint this study. The subject was exclude if onset of abdominal pain over 72 hours, history
of appendectomy, could not speak / not cooperative, and concomitant infection.

Results: Of the 23 subjects, 18 were diagnosed acute appendicitis (study group) and 5
(control group) were not. PAS > 6 significantly had higher incidence of acute appendicitis
(x2 = 7,886, df = 1, p value = 0,04), sensitivity 85,71 %, specifisity 40%, and accuracy
86,95% to diagnose pediatric acute appendicitis. PAS > 9 significantly had higher
insidence of complicate appendicitis (x2 = 7,901, df = 1, p value = 0,009).

Conclusion: Accuracy of PAS was good enough to diagnose pediatric acute appendicitis
with sensitivity 85,71 %, spesificity 40%, and accuracy 86,95%, so that PAS could be
recommended as diagnosis tool in pediatric acute appendicitis, espescially in primary care
unit where imaging studies (ultrasonogram, appendicogram, and CT scan) were not
available. PAS > 9 significantly had higher insidence of complicate appendicitis.

Keyword: Pediatric Appendicitis Score, acute appendicitis

Universitas Sumatera Utara


ABSTRAK

Keakuratan Pediatric Appendicitis Score dalam Mendiagnosis Apendisitis Akut


pada Anak di RSUP Haji Adam Malik Medan
Radhitya Eko S.1, Erjan Fikri2, Iqbal Pahlevi Nasution2
1
PPDS Bedah Universitas Sumatera Utara, 2Divisi Bedah Anak

Latar Belakang: Apendisitis akut pada anak merupakan salah satu penyebab
kegawatdaruratan abdomen. Insidensi apendisitis akut pada anak di dunia berkisar antara
1 – 8 % dari seluruh pasien anak yang datang ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) dengan
keluhan nyeri abdomen akut. Pada tahun 2006 apendisitis akut menduduki peringkat ke-4
terbanyak di Indonesia. Diagnosis dini dan akurat sangat penting karena bila terlambat
akan meningkatkan morbiditas, mortalitas dan biaya pengobatan. Untuk menegakkan
diagnosis apendisitis akut pada anak dengan cepat, telah diperkenalkan beberapa sistem
skoring pada berbagai literatur terdahulu, salah satunya Pediatric Appendicitis Score
(PAS). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui keakuratan PAS dalam
menegakkan diagnosis apendisitis akut pada anak di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP)
Haji Adam Malik Medan.

Metode: Penelitian ini menggunakan desain kohort. Pengambilan sample dengan cara
single blind dan consecutive sampling. Analisis data menggunakan uji Chi square dan Uji
T. Penelitian dilakukan di RSUP Haji Adam Malik Medan periode Januari sampai April
2015. Populasi dalam penelitian ini adalah pasien anak yang berobat ke RSUP HAM
dengan keluhan nyeri perut dan diduga apendisitis dan bersedia mengikuti penelitian.
Subjek penelitian dieksklusi bila onset nyeri perut lebih dari 72 jam, memiliki riwayat
apendektomi, belum bisa bicara / tidak kooperatif, dan ada infeksi lain.

Hasil: Dari 23 subjek penelitian, 18 orang didiagnosis apendisitis akut (kelompok studi)
dan 5 orang bukan apendisitis akut (kelompok kontrol). Nilai PAS > 6 secara signifikan
memiliki insidensi apendisitis akut pada anak lebih tinggi daripada nilai PAS < 6 (x2 =
7,886, df = 1, nilai p = 0,04). Nilai PAS > 6 memiliki sensitivitas 85,71 %, spesifisitas
40%, dan akurasi 86,95% dalam menegakkan diagnosis apendisitis akut pada anak. Nilai
PAS > 9 secara signifikan memiliki insidensi apendisitis akut komplikata yang lebih
tinggi (x2 = 7,901, df = 1, nilai p = 0,009).

Simpulan: Keakuratan PAS untuk mendiagnosis apendisitis akut pada anak cukup baik,
dimana sensitivitas 85,71 %, spesifisitas 40%, dan akurasi 86,95% sehingga PAS dapat
direkomendasikan sebagai alat untuk mendiagnosis apendisitis akut pada anak, terutama
pada sarana pelayanan kesehatan primer di mana alat pencitraan seperti ultrasonografi,
apendikogram, dan CT-scan tidak tersedia. Nilai PAS > 9 secara signifikan memiliki
insidensi apendisitis akut komplikata yang lebih tinggi.

Kata kunci: Pediatric Appendicitis Score, apendisitis akut

Universitas Sumatera Utara


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penelitian


Apendisitis akut pada anak merupakan salah satu penyebab kegawatdaruratan
abdomen yang membutuhkan tindakan operasi segera (Ballester, 2009, Victor,
2012, Maki, 2012, Adelia, 2012, Huckins, 2013). Insidensi apendisitis akut pada
anak di dunia berkisar antara 1 – 8 % dari seluruh pasien anak yang datang ke
Instalasi Gawat Darurat (IGD) dengan keluhan nyeri abdomen akut (Jangra,
2013). Pada tahun 2006 apendisitis akut menduduki peringkat ke-4 terbanyak di
Indonesia, setelah dyspepsia, duodenitis, dan penyakit saluran cerna lainnya
dengan jumlah pasien yang dirawat inap mencapai 28.949 orang Eylin, 2009). Di
Medan belum ada data insidensi apendisitis akut pada anak. Namun, pada tahun
2009 tercatat 60 kasus apendisitis akut di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Haji
Adam Malik Medan (Ivan, 2009).
Keterlambatan dalam menegakkan diagnosis dan penatalaksanaan
apendisitis akut pada pasien yang berusia 6 – 17 tahun sering terdapat di IGD
(Huckins, 2013). Gejala klasik apendisitis adalah mual dan muntah, nyeri pada
ulu hati, kemudian nyeri berpindah ke perut kuadran kanan bawah, dan akhirnya
anak menderita demam (Kadhim, 2012). Walaupun 1/3 dari anak-anak yang
menderita apendisitis memiliki gejala klasik, pada anak yang lebih muda
tampaknya gejala lebih atipikal dan lambat terdeteksi. Dilaporkan bahwa 30 – 75
% anak telah mengalami perforasi pada saat pertama kali terdiagnosis (Bansal,
2012). Diagnosis dini dan akurat sangat penting karena bila sudah mengalami
perforasi akan meningkatkan morbiditas, mortalitas dan biaya pengobatan
(Saucier, 2013). Walaupun demikian, diagnosis yang berlebihan juga harus
dihindarkan karena meningkatkan negative-appendectomy rate (pada pemeriksaan
histology apendiks normal) hingga mencapai 46% (Goulder, 2008 dan Goldman,
2008), risiko paparan radiasi saat computed tomography (CT) scan, dan
komplikasi pasca-operasi (Goldman, 2008).

Universitas Sumatera Utara


Untuk menegakkan diagnosis apendisitis akut pada anak dengan cepat, telah
diperkenalkan beberapa sistem skoring pada berbagai literatur terdahulu. Namun,
belum ada sistem skoring yang cukup baik dari segi sensitivitas dan spesivisitas
untuk menegakkan diagnosis apendisitis anak secara independen. Beberapa
penelitian tentang akurasi Pediatric Appendicitis Score (PAS) dalam
mendiagnosis apendisitis akut pada anak masih menunjukkan hasil yang
kontroversial. Oleh karena itu, penulis tertarik meneliti keakuratan Pediatric
Appendicitis Score (PAS) dalam menegakkan diagnosis apendisitis akut pada
anak di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Haji Adam Malik Medan.

1.2. Perumusan Masalah


Karena akurasi PAS masih kontroversial, penulis ingin mengetahui bagaimana
keakurasian PAS dalam menegakkan diagnosis apendisitis akut pada anak di
RSUP Haji Adam Malik Medan.

1.3. Pertanyaan Penelitian


Adapun pertanyaan penelitian pada penelitian ini antara lain :
1. Berapakah sensitivitas PAS di RSUP Haji Adam Malik Medan?
2. Berapakah spesivisitas PAS di RSUP Haji Adam Malik Medan?
3. Berapakah akurasi PAS di RSUP Haji Adam Malik Medan?

1.4. Tujuan Penelitian


1.4.1. Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui keakuratan PAS di RSUP
Haji Adam Malik Medan.

1.4.2. Tujuan Khusus


Tujuan khusus penelitian ini antara lain :
1. Untuk mengetahui sensitivitas PAS di RSUP Haji Adam Malik Medan.
2. Untuk mengetahui spesivisitas PAS di RSUP Haji Adam Malik Medan.

Universitas Sumatera Utara


1.5. Manfaat Penelitian
1.5.1. Manfaat Bagi Peneliti
Manfaat penelitian ini bagi penulis adalah menambah wawasan penulis mengenai
akurasi PAS dalam mendiagnosis secara dini apendisitis akut pada anak.

1.5.2. Manfaat Bagi Tenaga Kesehatan,Institusi Akademis dan Peneliti Lain


Manfaat penelitian ini bagi tenaga kesehatan adalah sebagai data untuk
menegakkan diagnosis secara cepat dan akurat apendisitis akut pada anak.
Bagi institusi akademis, penelitian ini menambah pengetahuan mengenai
akurasi PAS di RSUP Haji Adam Malik Medan.
Bagi peneliti lain, hasil penelitian ini dapat dijadikan dasar untuk
melakukan penelitian lebih lanjut tentang strategi diagnosis apendisitis akut pada
anak.

Universitas Sumatera Utara


BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Appendix Vermiformis


Apendiks pertama kali terbentuk pada usia lima bulan kehamilan. Apendiks
merupakan kelanjutan dari sekum, tapi pemanjangan apendiks tidak secepat kolon
lainnya sehingga terbentuk struktur yang menyerupai cacing (Lee, 2013).
Panjang apendiks bervariasi antara 2 – 20 cm, rata-rata 10 cm. Dinding
apendiks terdiri dari dua lapisan, lapisan luar terdiri dari otot longitudinal yang
merupakan kelanjutan dari taenia coli dan lapisan dalam terdiri dari otot sirkular
yang dilapisi oleh epitel kolon (Lee, 2013).

Gambar 2.1. Anatomi appendiks vermivormis (Lazaro, 2012)

Saat lahir, terdapat beberapa folikel limfoid submukosa yang terus


membesar, puncaknya pada usia 12 – 20 tahun, kemudian folikel ini akan
mengecil kembali. Hal ini berhubungan dengan insidensi apendisitis (Lee, 2013).
Aliran darah apendiks terutama dari arteri apendicular yang merupakan
cabang arteri ileokolika. Arteri ini berjalan dari mesoapendiks posterior menuju
ileum terminal. Arteri apendiks aksesori dapat muncul dari percabangan arteri
cecal posterior. Kerusakan pada arteri ini dapat menyebabkan perdarahan hebat
intra-operatif maupun pos-operatif dan harus dicari secara teliti serta diligasi
setelah arteri apendicular dikontrol (Lee, 2013).

Universitas Sumatera Utara


Bagian proksimal apendiks terletak pada dinding posteromedial sekum,
kira-kira 2,5 cm di bawah katup ileocecal. Di sini juga merupakan tempat
bersatunya taeniae (Lee, 2013).
Letak bagian distal/ ujung apendiks bervariasi, 65 % terletak di retrocecal,
30 % terletak di pelvis, dan 5 % terletak di ekstraperitoneal (di belakang sekum,
kolon asenden, atau ileum distal). Letak ujung apendiks menentukan gejala dan
tanda awal apendisitis (Lee, 2013).

Gambar 2.2. Posisi appendiks vermiformis (Utama, 2012)

2.2.Apendisitis
2.2.1. Definisi
Apendisitis adalah inflamasi pada appendiks vermiformis (DynaMed, 2013).
Menurut definisi lain, apendisitis adalah inflamasi bagian dalam dari apendiks
vermiformis yang menyebar ke bagian-bagian lainnya (Craig, 2013).
Menurut Minkes (2013) apendisitis akut adalah inflamasi dan infeksi akut
dari apendiks vermiformis, yang secara sederhana sering disebut sebagai
apendiks. Apendiks adalah suatu struktur yang buntu, berasal dari sekum.
Apendiks dapat terlibat dalam berbagai proses infeksi, inflamasi, atau proses
kronis yang dapat menyebabkan dilakukan apendektomi. Kata “apendisitis” dan
“apendisitis akut” digunakan secara bergantian dengan maksud yang sama
(Minkes, 2013).

Universitas Sumatera Utara


Sementara itu, keberadaan apendisitis kronis masih kontroversial. Para ahli
bedah menemukan banyak kasus di mana pasien dengan nyeri abdomen kronis,
sembuh setelah operasi apendektomi. Mereka sepakat bahwa ketika apendiks
tidak terisi atau hanya terisi sedikit oleh barium saat barium enema dilakukan
pada pasien dengan keluhan nyeri abdomen kuadran kanan bawah yang bersifat
kronis intermiten, maka diagnosis apendisitis kronis sangat mungkin (Eylin,
2009).

2.2.2. Epidemiologi
Apendisitis merupakan penyebab utama nyeri abdomen yang membutuhkan
tindakan operasi segera pada anak-anak (Lee, 2010, Maki, 2013, Huckins, 2013,
Saucier, 2013). Di Amerika Serikat dijumpai 77.000 kasus apendisitis akut pada
anak per tahun. Laki-laki lebih berisiko menderita apendisitis daripada perempuan
dengan rasio 1,4:1. Puncak insidensi apendisitis pada usia 10 – 20 tahun
(DynaMed, 2013).
Di negara-negara barat, sekitar 7 % populasi mengalami apendisitis pada
suatu waktu dalam kehidupannya (Lee, 2013). Di Inggris dilaporkan 40.000
pasien per tahun dirawat karena apendisitis (DynaMed, 2013). Di Spanyol pada
tahun 2003 dilaporkan bahwa kasus apendisitis sebanyak 132,1 kasus per 100.000
populasi di mana proporsi apendisitis perforasi sebesar 12,1 % dan proporsi
operasi apendektomi negatif sebesar 4,3 %, sedangkan angka mortalitas 0,38 %
(Ballester, 2009).
Di Afrika Selatan, pada akhir abad ke-20 diperkirakan 10 % populasi
berkulit putih menjalani operasi apendektomi, sedangkan populasi berkebangsaan
Afrika hanya kurang dari 1 % yang menjalani operasi apendektomi. Perkiraan
insidensi apendisitis pada orang Afrika adalah 10 kasus per 100.000 populasi.
Perbedaan ini biasanya disebabkan oleh perbedaan pola makan, di mana orang
dari negara sedang berkembang mengkonsumsi makanan yang rendah lemak dan
tinggi serat (Victor, 2012).
Di Korea Selatan dilaporkan bahwa insidensi apendisitis 22,71 kasus per
10.000 populasi per tahun, yang dioperasi apendektomi 13,56 kasus per 10.000
populasi per tahun, dan insidensi apendisitis perforasi 2,91 kasus per 10.000

Universitas Sumatera Utara


populasi per tahun. Risiko menderita apendisitis pada laki-laki tidak berbeda
secara bermakna dengan perempuan yaitu 16,33 % berbanding 16,34 %
(Oguntola, 2010).
Insidensi apendisitis dan operasi apendektomi diduga berhubungan variasi
musim (Oguntola, 2010, Lee, 2010, Jangra, 2013). Menurut sebuah penelitian
pada anak-anak di India Utara, jumlah kasus apendisitis meningkat pada musim
hujan dengan kelembaban tinggi, yaitu pada bulan Juli sampai awal September
(Jangra, 2013). Di Nigeria bagian barat daya juga dilaporkan bahwa insidensi
apendisitis lebih tinggi pada musim hujan (April – September) dengan puncak
pada bulan Juni – Agustus (Oguntola, 2010). Pada penelitian di Korea Selatan
dilaporkan bahwa puncak insidensi apendisitis dan operasi apendektomi adalah
pada musim panas (Lee, 2010). Sedangkan pada penelitian lain pada di Amerika
Serikat dilaporkan bahwa insidensi apendisitis paling tinggi pada musim gugur
(OR 1,12; 95% CI: 1,04-1,21) dan musim semi (OR 1,11; 95% CI: 1,03-1,20)
(Minkes, 2013). Adanya variasi musim memungkinkan adanya peranan faktor-
faktor ekstrinsik yang heterogen, seperti kelembaban, alergen, radiasi sinar
matahari serta infeksi virus dan bakteri dalam etiopatogenesis apendisitis. Infeksi
virus dan bakteri menyebabkan hiperplasia jaringan limfoid sehingga terjadi
obtruksi lumen apendiks (Jangra, 2013).

2.2.3. Etiologi
Etiologi pasti apendisitis akut hingga saat ini belum diketahui. Jumlah asupan
makanan berserat, obstruksi lumen, dan faktor genetik diduga berperan dalam
proses terjadinya penyakit. Sejumlah penyakit infeksi dan parasit diketahui
melibatkan apendiks dan kadang-kadang dapat menyebabkan inflamasi apendiks
(Smallman-Raynor, 2010).
Apendisitis diawali obstruksi lumen apendiks diikuti oleh infeksi (Lee,
2013, DynaMed, 2013). Obstruksi dapat disebabkan oleh hiperplasia limfoid (60
%), fekalit (35 %), benda asing (4 %), tumor (1 %) (Lee, 2013). Obstruksi juga
dapat disebabkan oleh parasit Enterobius vermicularis dengan proporsi
0,2 – 41,8 % di seluruh dunia (Maki, 2012 dan Minkes, 2013).

Universitas Sumatera Utara


Pada penelitian lain dilaporkan bahwa insidensi apendisitis berhubungan
dengan infeksi mumps (95% CI 0,07 – 0,24; p<0,001) (Smallman-Raynor, 2010).

2.2.4. Patofisiologi
Patofisiologi dasar apendisitis adalah obstruksi lumen apendiks diikuti oleh
infeksi (Lee, 2013 dan DynaMed, 2013). Pada 60 % pasien, obstruksi disebabkan
oleh hiperplasia folikel di submukosa. Hal ini paling sering ditemui pada anak-
anak dan disebut sebagai apendisitis katar. Pada 35 % pasien, obstruksi
disebabkan oleh fekalit dan biasanya dijumpai pada pasien dewasa (Lee, 2013).
Bersamaan dengan terjadinya obstruksi, sekresi mukus terus berlangsung
dan meningkatkan tekanan intraluminal. Kemudian terjadi pertumbuhan bakteri
yang berlebihan. Mukus di dalam lumen berubah menjadi pus dan tekanan
intraluminal terus meningkat. Hal ini menyebabkan distensi apendiks dan nyeri
viseral yang khas di daerah epigastrik atau periumbilikus karena apendiks
dipersarafi oleh pleksus saraf torakal sepuluh (T 10) (Minkes, 2013 dan Saucier,
2013).
Karena tekanan intraluminal terus meningkat, terjadi obstruksi aliran
limfe, yang menyebabkan edema dinding apendiks. Stadium ini dikenal sebagai
apendisitis akut atau fokal (Minkes, 2013). Karena inflamasi semakin hebat,
terbentuk eksudat pada permukaan serosa dari apendiks. Ketika eksudat mencapai
peritoneum parietal, timbul nyeri yang lebih intens dan terlokalisasi pada
abdomen kuadran kanan bawah. Inilah yang disebut gejala klasik apendisitis (Lee,
2013).
Peningkatan tekanan intraluminal lebih lanjut menyebabkan obstruksi
vena, yang menyebabkan edema dan iskemia apendiks. Hal ini memudahkan
invasi bakteri ke dinding apendiks yang dikenal sebagai apendisitis akut supuratif.
Akhirnya, dengan peningkatan tekanan intraluminal yang terus berlanjut, terjadi
trombosis vena dan kegagalan arteri yang menyebabkan gangren dan perforasi
(Lee, 2013).

Universitas Sumatera Utara


Perforasi menyebabkan pelepasan cairan dan bakteri dari apendiks yang
inflamasi ke rongga abdomen. Selanjutnya akan terjadi inflamasi pada permukaan
peritoneum yang disebut peritonitis. Lokasi dan luas peritonitis tergantung pada
berapa banyak cairan usus yang tumpah (Minkes, 2013).
Jika tubuh berhasil menutup perforasi, nyeri akan berkurang. Walaupun
demikian, gejala tidak sepenuhnya sembuh. Pasien mungkin masih merasa nyeri
abdomen pada kuadran kanan bawah, penurunan nafsu makan, perubahan pola
defekasi (misalnya diare, konstipasi), atau demam intermiten. Jika perforasi tidak
berhasil ditutup, maka akan terjadi peritonitis difus (Lee, 2013).
Berdasarkan komplikasi, apendisitis diklasifikasikan menjadi dua jenis,
yaitu apendisitis sederhana (tidak dijumpai komplikasi gangren, perforasi atau
abses) dan apendisitis komplikata (bila dijumpai satu atau lebih komplikasi di
tersebut atas) (DynaMed, 2013).

2.2.5. Gambaran Klinis Apendisitis Akut pada Anak


2.2.5.1. Anamnesis
Pada permulaan apendisitis, pasien bisa tidak demam atau subfebris. Peningkatan
suhu yang lebih tinggi dihubungkan dengan apendisitis perforasi (Lee, 2013).
Berdasarkan anamnesis dapat ditemukan 2 (dua) jenis gejala apendisitis, yaitu:
a. Gejala klasik
Gejala klasik hanya dijumpai pada 55 % kasus, yaitu jika apendiks berada di
anterior (Lee, 2013). Gejala diawali oleh nyeri perut di periumbilikus yang
memberat dalam 24 jam. Nyeri menjadi lebih tajam dan berpindah ke fosa
iliaka kanan, lalu menetap. Ditemukan juga gejala hilangnya nafsu makan,
mual, muntah, dan konstipasi (Lee, 2013 dan DynaMed, 2013). Berdasarkan
sebuah penelitian, muntah dan demam lebih sering ditemukan pada anak
dengan diagnosis apendisitis daripada penyebab lain nyeri abdomen (Minkes,
2013).

Gambar 2.3. Lokasi nyeri klasik apendisitis akut (Zadeh, 2013)

Universitas Sumatera Utara


b. Gejala atipikal
Gejala atipikal berhubungan dengan variasi letak anatomi apendiks (Lee,
2013 dan DynaMed, 2013). Nyeri tumpul sering muncul ketika ujung
apendiks terletak di retrosekal. Jika ujung apendiks terletak di pelvis, pasien
akan mengeluhkan disuria, sering berkemih, dan nyeri di suprapubis karena
apendiks yang inflamasi mengiritasi kandung kemih. Pasien juga dapat
mengeluhkan diare atau tenesmus jika ujung apendiks yang inflamasi dekat
dengan rektum (Lee, 2013). Namun, jika ditanya lebih lanjut, biasanya diare
berupa buang air besar yang lunak, sedikit-sedikit, tetapi sering (Minkes,
2013).
Sebuah penelitian yang dilakukan pada 63 pasien apendisitis usia kurang
dari 3 tahun melaporkan bahwa awalnya 57 % mengalami salah diagnosis.
Sebanyak 33 % memiliki keluhan utama diare. Sebanyak 84 % telah mengalami
perforasi dan/ atau gangren (DynaMed, 2013).
Berdasarkan penelitian cohort pada 755 anak, apendisitis pada anak-anak
dapat menunjukkan gejala atipikal. Gejala klasik hanya ditemukan pada 50 – 68 %

anak (DynaMed, 2013).

2.2.5.2. Pemeriksaan Fisik


Temuan pemeriksaan fisik pada anak-anak bisa bervariasi tergantung pada usia
anak. Iritabilitas bisa menjadi satu-satunya tanda apendisitis pada neonatus. Pada
anak yang lebih tua sering terlihat tidak nyaman atau menyendiri, lebih suka
berbaring diam karena iritasi peritoneum. Remaja sering memiliki tanda klasik
apendisitis (Minkes, 2013).
Kebanyakan anak-anak dengan apendisitis tidak demam atau subfebris
(Minkes, 2013). Pada pemeriksaan fisik umum biasanya didapati suhu 38 oC atau
lebih rendah, suhu yang berfluktuasi mungkin mengindikasikan adanya abses
apendiks (DynaMed, 2013).
Pada pemeriksaan fisik jantung dan paru dapat ditemukan takikardi dan
takipnoe karena dehidrasi atau kesakitan (Minkes, 2013 dan DynaMed, 2013).
Pemerikasaan abdomen bertujuan untuk mencari kontraksi involunter dari
muskulus rektus atau oblikus (tanda peritoneal). Pada awal apendisitis, anak

Universitas Sumatera Utara


mungkin tidak menunjukkan tanda peritoneal. Sementara, anak yang lebih muda
lebih sering memiliki nyeri abdomen difus dan peritonitis, mungkin karena
omentumnya belum berkembang dengan sempurna dan tidak dapat membungkus
perforasi (Minkes, 2013).
Nyeri maksimal dapat ditemukan di titik McBurney pada abdomen
kuadran kanan bawah. Dapat teraba massa jika apendiks sudah perforasi (Minkes,
2013 dan DynaMed, 2013).
Temuan fisik yang paling spesifik pada apendisitis adalah nyeri lepas,
nyeri pada perkusi, dan tanda peritoneal. Walaupun nyeri abdomen kuadran kanan
bawah ditemukan pada 96% pasien, ini bukan merupakan temuan spesifik.
Kadang-kadang, nyeri abdomen kuadran kiri bawah menjadi keluhan utama pada
pasien dengan situs inversus (Craig, 2013).
Pada pasien dengan apendiks yang terletak di medial, dapat ditemukan
nyeri tekan suprapubis. Pada pasien dengan apendiks yang terletak di lateral
sering ditemukan nyeri pada daerah panggul kanan. Pada pasien dengan apendiks
yang terletak di retrosekal bisa tidak ditemukan nyeri tekan sampai apendisitis
sudah lanjut atau perforasi (Minkes, 2013).
Ditemukannya tanda Rovsing (nyeri pada abdomen kuadran kanan bawah
setelah dilakukan palpasi atau perkusi pada abdomen bagian kiri) menunjukkan
ada iritasi peritoneal (Minkes, 2013).
Untuk memeriksa tanda Psoas, baringkan anak miring ke kiri dan
hiperekstensikan sendi panggul kanan. Ditemukannya nyeri (respon positif)
mengindikasikan adanya massa inflamasi di atas otot psoas (apendisitis
retrosekal) (Minkes, 2013).
Untuk memeriksa tanda obturator, lakukan fleksi dan internal rotasi pada
sendi paha kanan. Ditemukannya nyeri (respon positif) menunjukkan adanya
massa inflamasi di atas daerah obturator (apendisitis pelvik) (Minkes, 2013).

Cara lain yang dapat digunakan untuk menentukan adanya iritasi


peritoneal antara lain dengan memerintahkan pasien sit up di tempat tidur, batuk,

Universitas Sumatera Utara


atau posisi berdiri dan jongkok begantian. Akan timbul nyeri yang
mengindikasikan adanya iritasi peritoneum (Minkes, 2013).
Pada bayi laki-laki dan anak-anak kadang-kadang datang dengan keluhan
inflamasi pada hemiskrotum karena migrasi cairan atau pus dari apendiks yang
inflamasi melalui prosesus vaginalis yang patent (Craig, 2013).
Sebagai tambahan, penting untuk dilakukan pemeriksaan rektal pada setiap
pasien dengan gejala klinis yang tidak jelas, serta pemeriksaan pelvis pada
perempuan yang mengeluhkan nyeri abdomen (Craig, 2013).
Menurut Minkes (2013) Digital Rectal Examination (DRE) bermanfaat
untuk menegakkan diagnosis yang tepat, khususnya pada anak-anak dengan
apendisitis yang terletak di pelvis. Temuan klasik pemeriksaan ini adalah nyeri
pada bagian kanan rektum. Dapat juga untuk memastikan adanya feses yang keras
atau massa inflamasi (Minkes, 2013). Namun, menurut Craig (2013) tidak ada
bukti ilmiah bahwa DRE bermanfaat untuk menegakkan diagnosis apendisitis.

2.2.6. Uji Diagnostik


Sampai saat ini belum ada satu uji diagnostik yang dapat menegakkan diagnosis
apendisitis secara akurat. Berikut ini adalah beberapa uji diagnostik apendisitis:

2.2.6.1. Pemeriksaan Laboratorium


a. Pemeriksaan Darah Lengkap dengan Diftel
Jumlah leukosit meningkat pada 70 – 90 % kasus apendisitis akut. Namun,
peningkatan tersebut biasanya ringan dan baru jelas terlihat setelah lebih dari 24
jam perjalanan penyakit atau setelah proses penyakit berlanjut. Peningkatan
neutrofil juga ditemukan yaitu lebih dari 75 % pada 78 % pasien apendisitis akut
(Craig, 2013 dan Minkes, 2013).
Jika jumlah leukosit melebihi 15.000 sel/µL, mungkin telah terjadi
apendisitis perforasi. Walaupun deminikian, sebuah penelitian menemukan bahwa
tidak ada perbedaan bermakna jumlah leukosit pada anak-anak dengan apendisitis
sederhana dengan apendisitis perforasi (Minkes, 2013).
Berdasarkan tiga penelitian, jumlah leukosit lebih dari
14.900 – 15.000 sel/µL memiliki akurasi diagnosis apendisitis yang rendah,

Universitas Sumatera Utara


dengan sensitivitas 19 – 60 %, spesifisitas 44-85%, positive likelihood ratio
1 – 3,7 serta negative likelihood ratio 0,48 – 1. Sementara itu, berdasarkan 4
penelitian jumlah leukosit lebih dari 10.000 – 10.100 sel/µL memiliki spesifisitas
yang rendah (29 – 76 %) tapi sensitivitas mencapai 92 %, positive likelihood ratio
1,3 – 3,4 % serta negative likelihood ratio 0,11 – 0 ,26 (DynaMed, 2013).
Pada bayi, jumlah leukosit tidak reliabel dan mungkin tidak meningkat
sebagaimana respon normal terhadap infeksi (Craig, 2013).
Jumlah leukosit kurang dari 10.000/mm3 dan jumlah neutrofil kurang dari
7.500/mm3 dapat mengeksklusi apendisitis pada anak (level 2 [mid level]
evidence). Jumlah leukosit kurang dari 10.000/mm3 memiliki negative likelihood
ratio 0,35 (DynaMed, 2013).

b. Pemeriksaan C-Ractive Protein


C-reactive protein (CRP) adalah protein fase akut yang disintesis di hati sebagai
respon terhadap kerusakan jaringan atau inflamasi. Peningkatan CRP terjadi
setelah 2 – 6 jam setelah terjadinya proses inflamasi, dan karena waktu paruhnya
yang singkat, kadar CRP akan segera menurun setelah stimulus inflamasi hilang.
Kadar CRP normal kurang dari 6 mg/dL (Smallman-Raynor, 2010). Pada sebuah
penelitian dilaporkan bahwa kadar CRP kembali normal setelah 12 jam
munculnya gejala apendisitis (Craig, 2013).
Menurut penelitian Chung et al. dan Okomoto et al. kadar CRP yang tinggi
menunjukkan apendisitis perforasi, dimana rerata kadar CRP pada apendisitis
sederhana (19 + 23 mg/L) sedangkan pada apendisitis perforasi (103 + 68 mg/L)
(Bhatt, 2008).
Menurut penelitian Kutasy (2010) CRP tidak reliabel pada pasien anak
yang diduga apendisitis dengan obesitas berat, dimana dijumpai rata-rata kadar
CRP yang tinggi pada anak obesitas dengan histopatologi apendiks normal.

c. Kombinasi Pemeriksaan Leukosit dan CRP

Universitas Sumatera Utara


Sebuah penelitian prospektif yang dilakukan pada lebih dari 100 anak yang diduga
apendisitis, kemudian dilakukan apendektomi, sebanyak 98 % dari kasus yang
secara histopatologis terbukti apendisitis dijumpai peningkatan jumlah leukosit
atau kadar CRP (Craig, 2013). Jika ditemukan jumlah leukosit lebih dari 10 x
109/L dan kadar CRP 8 mg/L atau lebih, maka dapat ditegakkan diagnosis
apendisitis akut. Sebaliknya jika keduanya tidak ditemukan, maka diagnosis
apendisitis akut dapat dieksklusikan (level 2 [mid-level] evidence) (DynaMed,
2013).

d. Pemeriksaan Tripel (Leukosit, Neutrofil dan CRP)


Menurut penelitian prospektif pada 216 anak dengan apendisitis ditemukan bahwa
pemeriksaan tripel (leukositosis, neutrofilia, dan peningkatan kadar CRP)
memiliki sensitivitas 86 % dan negative predictive value 81 (Craig, 2013).

e. Marker Apendisitis Akut Lainnya


Pemeriksaan laboratorium lain yang memiliki nilai diagnostik moderat terhadap
apendisitis akut adalah hiperbilirubinemia, kadar kalprotektin plasma, dan kadar
amiloid A serum (DynaMed, 2013).

f. Pemeriksaan Urinalisis
Pemeriksaan urinalisis bermanfaat untuk mendeteksi infeksi saluran kemih dan
batu ginjal (Craig, 2013 dan Minkes, 2013). Jika ditemukan dua puluh atau lebih
leukosit per lapangan pandang besar mengindikasikan infeksi saluran kemih. Jika
ditemukan hematuria perlu dipertimbangkan kemungkinan batu ginjal, infeksi
saluran kemih, atau sindroma hemolitik uremikum (Minkes, 2013).
Walaupun demikian, iritasi kandung kemih atau ureter oleh apendiks yang
inflamasi dapat menyebabkan pyuria ringan dan hematuria ringan (Craig, 2013
dan Minkes, 2013). Hal ini dihubungkan dengan apendisitis subsekal atau pelvikal
(DynaMed, 2013). Ketonuria mengindikasikan adanya dehidrasi dan sering
ditemukan pada apendisitis perforasi (Minkes, 2013).
Hasil urinalisis yang normal tidak memiliki nilai diagnostik pada
apendisitis (Minkes, 2013).

Universitas Sumatera Utara


2.2.6.2. Pemeriksaan Radiografi
Karena risiko radiasi dari CT scan, USG dengan kompresi lebih disukai sebagai
pemeriksaan pencitraan pertama apendisitis akut pada anak, yaitu dengan cara
menentukan lokasi apendiks, kemudian mengusahakan untuk menekan lumennya.
Temuan positif berupa diameter transversal lumen apendiks melebar (6 mm atau
lebih) dan tidak dapat dikompresi, timbul nyeri fokal pada titik McBurney ketika
dilakukan kompresi dengan probe USG, apendikolit, dan cairan dalam lumen
apendiks. Pada pasien dengan apendisitis perforasi, tampak gambaran flegmon
atau abses di sekitar apendiks (DynaMed, 2013 dan Minkes, 2013).

Gambar 2.4. Gambaran USG apendisitis akut pada anak (Minkes, 2013)

USG abdomen dapat mengidentifikasi pasien apendisitis akut anak yang


membutuhkan apendektomi maupun yang dapat terapi dengan antibiotik (level 2
[mid-level] evidence) (DynaMed, 2013).
Keputusan terapi dibuat berdasarkan derajat apendisitis, yaitu (DynaMed,
2013):
 Derajat 1 (early) dan derajat 2 (suppurative) diberikan terapi antibiotik.
 Derajat 3 (suppurative-gangrenous) dan derajat 4 (gangrenous) dilakukan
operasi apendektomi.
Hasil pemeriksaan USG yang dilakukan oleh ahli bedah dapat membantu
mengidentifikasi apendisitis dengan sensitivitas 92 % dan spesivisitas 96 %, tetapi
temuan negatif tidak cukup untuk mengeksklusikan apendisitis (DynaMed, 2013).

Universitas Sumatera Utara


Menurut Jaremco (2011) pada setiap tiga anak yang diduga apendisitis
akut, satu anak positif, namun penegakan diagnosis ini tetap sulit dengan atau
tanpa pemeriksaan radiografi. Penelitian ini menunjukkan hasil USG yang tidak
konklusif secara signifikan lebih sering didapati pada usia belasan daripada anak
yang lebih muda, sedangkan angka nonvisualisasi apendiks berdasarkan usia
hanya sedikit bervariasi. Penelitian ini menyimpulkan bahwa USG masih sangat
akurat untuk mendiagnosis apendisitis pada anak dan bahwa CT scan seharusnya
hanya digunakan jika sangat diperlukan (Jaremco, 2011).
Penggunaan USG direkomendasikan untuk konfirmasi, tapi tidak dapat
mengeksklusi apendisitis akut pada anak-anak dan remaja (level 2 [mid-level]
evidence) (DynaMed, 2013 dan Craig, 2013). Untuk mengeksklusi apendisitis
akut, dianjurkan pemeriksaan CT scan (Craig, 2013).
CT scan memiliki sensitivitas dan spesivisitas yang tinggi untuk
mengevaluasi dugaan suatu apendisitis akut (level 1 [likely reliable] evidence)
(DynaMed, 2013). Temuan CT scan yang mengindikasikan apendisitis adalah
penebalan apendiks atau penebalan dinding sekum. Temuan CT scan yang
mengindikasikan apendisitis perforasi adalah gambaran udara di sekitar apendiks
atau sekitar sekum, abses, flegmon, dan udara bebas yang ekstensif. CT scan
dapat membantu mengkonfirmasi dugaan appendiceal mass pada pasien anak
yang obesitas. Pada pasien dengan abses apendiks, CT scan juga dapat membantu
evakuasi abses dengan CT-guided drainage (Minkes, 2013). Namun, pada anak-
anak, gambaran apendikolit memiliki nilai diagnostik yang rendah (level 2 [mid-
level] evidence) (DynaMed, 2013).

Gambar 2.5. CT scan apendisitis akut pada anak (Minkes, 2013)

Universitas Sumatera Utara


Berdasarkan systematic review, CT scan lebih sensitif daripada USG untuk
menegakkan diagnosis apendisitis akut (level 1 [likely reliable] evidence)
(DynaMed, 2013). Perbandingan USG dan CT scan tanpa kontras dipaparkan
dalam tabel 2.1.
Tabel 2.1. Perbandingan CT scan tanpa kontras dan USG (Minkes, 2013)
CT scan tanpa kontras (%) USG (%)
Sensitivitas 97 100
Spesivisitas 100 88
Akurasi 98 91

Kelemahan USG sebagai uji diagnostik apendisitis adalah (Bhatt, 2008):


(1) Sensitivitas sangat bergantung pada keahlian operator;
(2) Kesulitan untuk memvisualisasi apendiks yang tidak mengalami inflamasi;
(3) lebih sulit memvisualisasi apendisitis pada anak yang gemuk.
Kelemahan CT scan sebagai uji diagnosis adalah paparan terhadap radiasi.
Dilaporkan bahwa satu kali CT scan abdomen meningkatkan risiko anak tersebut
menderita kanker dan risiko tersebut semakin besar jika usia paparan semakin
muda. Menurut penelitian Brenner et al., perkiraan risiko kanker pada anak yang
dilakukan CT scan pada usia < 5 tahun adalah 0,15 – 0,23 %, usia 5 – 15 tahun
adalah 0.11 – 0,15 %, dan dewasa 1:1100 (Bhatt, 2008).

2.2.6.3. Pemeriksaan Mikrobiologi


Berdasarkan Texas Children Hospital Evidence-Based Outcomes Centre: Acute
Appendicitis/Appendectomy Management Guideline tahun 2012, kultur bakteri
perioperatif tidak rutin dilakukan pada anak dengan apendisitis akut, kecuali jika
ditemukan apendiks perforasi dengan abses (strong recommendation, low quality
evidence) (The Medical University of South Carolina Library website, 2013).

2.2.6.4. Pemeriksaan Histopatologi

Universitas Sumatera Utara


Pemeriksaan Histopatologi merupakan standard baku emas diagnosis apendisitis
(DynaMed, 2013, Craig, 2013, Lee, 2013, Minkes, 2013). Pada stadium awal
apendisitis, secara makroskopis apendiks tampak edema dengan dilatasi pembuluh
darah serosa. Secara mikroskopis, tampak infiltrat neutrofil pada lapisan mukosa
dan muskularis hingga ke lumen apendiks. Selanjutnya, secara makroskopis
dinding apendiks tampak menebal, lumen berdilatasi, dan terbentuk eksudat
serous. Pada stadium ini, secara mikroskopis tampak nekrosis mukosa. Pada
stadium lanjut apendisitis, secara makroskopis tampak tanda-tanda nekrosis
mukosa hingga lapisan luar dinding apendiks dan bisa ditemukan gangren. Pada
stadium ini, secara mikroskopis tampak mikroabses multipel pada dinding
apendiks dan nekrosis berat pada semua lapisan (Craig, 2013). Pada stadium ini
terjadi perforasi apendiks. Sebuah penelitian melaporkan bahwa bagian tengah
apendiks lebih sering mengalami perforasi daripada bagian ujung apendiks
(Sitorus, 2009).
Temuan apendiks normal pada saat operasi membutuhkan pemeriksaan
histopatologi yang teliti. Kadang-kadang, apendisitis derajat 1 (early appendicitis)
baru teridentifikasi pada pemeriksaan histologi dan secara klinis dikorelasikan
dengan resolusi dari gejala-gejala sebelum operasi dilakukan (Minkes, 2013).

2.2.7. Pediatric Appendicitis Score (PAS)


Pada tahun 2002, untuk pertama kalinya Samuel membuat skor apendisitis khusus
untuk anak-anak. Dari 1170 anak usia 4 – 15 tahun yang dirujuk ke ahli bedah
anak dengan keluhan nyeri perut yang sugestif apendisitif, diteliti secara
prospektif data demografi, gejala, tanda, pemeriksaan laboratorium, dan hasil
pemeriksaan patologi dari apendektomi yang dilakukan oleh ahli bedah anak.
Kemudian dilakukan analisis regresi linear multipel dari semua parameter hingga
diperoleh delapan komponen sebagai komponen Pediatric Appendicitis Score
(PAS). Kedelapan elemen tersebut beserta nilai diagnostiknya dipaparkan pada
tabel berikut (Bhatt, 2008):

Universitas Sumatera Utara


Tabel 2.2. Pediatric Appendicitis Score (Bhatt, 2008)
Indikator Diagnostik Nilai Skor

Nyeri saat batuk/ perkusi/ melompat 2

Penurunan nafsu makan 1


Peningkatan suhu tubuh 1
Mual/ muntah 1
Nyeri perut kuadran kanan bawah 2

Leukositosis lebih dari 10.000 1


Neutrofilia 1
Migrasi nyeri 1
Total 10

Penelitian prospektif yang dilakukan Bhatt pada 246 anak dengan


menggunakan PAS menunjukkan bahwa jika digunakan cut-point tunggal (PAS 5)
menghasilkan false positive dan false negative yang tinggi. Performa PAS
meningkat bila digunakan dua cut-point (Bhatt, 2008). Dengan menggunakan
strategi ini, negative appendectomy rate 4,4% (Wesson, 2014).
Penelitian prospektif yang dilakukan Obinna et al. (2011) pada 112 anak
menunjukkan bahwa PAS dapat digunakan selain sebagai alat diagnostik juga
sebagai indikator prognosis apendisitis akut. Semakin tinggi nilai PAS, semakin
besar pula kemungkinan terjadinya apendisitis komplikata.
Anak dengan keluhan nyeri abdomen dengan PAS (Obinna, 2011 dan
Wesson, 2014):
 PAS < 5 berisiko rendah untuk terjadi apendisitis. Anak dengan PAS < 5
dapat dirawat jalan. Namun, nyeri perut yang menetap atau adanya keluhan
tambahan lain harus dievaluasi ulang.
 PAS > 9 berisiko tinggi untuk terjadi apendisitis komplikata. Anak dengan
PAS > 9 harus dioperasi apendektomi.
 PAS 6 – 8 lebih sering dijumpai apendisitis sederhana. Anak dengan PAS 6 –
8 juga dioperasi apendektomi.

2.2.8. Penatalaksanaan Apendisitis Akut pada Anak

Universitas Sumatera Utara


Perjalanan penyakit mulai dari obstruksi apendiks hingga perforasi apendiks
memerlukan waktu yang sangat singkat, yaitu sekitar 72 jam sejak timbulnya
gejala (Minkes, 2013).
Pasien dengan gejala klasik apendisitis membutuhkan konsultasi bedah
segera. Puasakan pasien yang diduga apendisitis dan berikan cairan intravena
(Craig, 2013 dan Minkes, 2013). Pasien dengan apendisitis biasanya
membutuhkan bolus cairan intravena (level of evidence A II) untuk mengkoreksi
dehidrasi, kemudian resusitasi cairan dilanjutkan sesuai dengan derajat keparahan
apendisitis. Pada pasien tanpa tanda syok, terapi cairan intravena diberikan jika
dicurigai ada infeksi intra-abdominal (The Medical University of South Carolina
Library website, 2013). Pasang kateter untuk memantau produksi urin guna
menghitung kebutuhan cairan. Pasang nasogastric tube (NGT) bila perlu (Craig,
2013 dan Minkes, 2013).
Terapi antibiotik intravena untuk membunuh bakteri usus (misalnya,
cefalosporin generasi kedua, gentamisin, metronidazol.) harus diberikan segera
setelah diagnosis apendisitis perforasi dikonfirmasi (Minkes, 2013).
Antibiotik pascaoperasi tidak diperlukan pada apendisitis sederhana pada
anak-anak (Minkes, 2013).
Apendisitis gangrenosa memerlukan terapi antibiotik 48 – 72 jam (Minkes,
2013). Pada apendisitis komplikata/ lanjut, antibiotik monoterapi (piperacilin/
tazobaktam) minimal diberikan 3 hari efektif untuk menurunkan komplikasi
infeksi pascaoperasi pada anak yang akan dioperasi apendektomi (strong
recomendation, moderate quality evidence). Dosis pertama diberikan segera
setelah tegak diagnosis apendisitis akut terbukti. Dosis kedua diberikan 30 menit
sebelum dilakukan insisi operasi (The Medical University of South Carolina
Library website, 2013). Terapi antibiotik perioperatif terbukti efektif mencegah
komplikasi pascaoperasi apendektomi (level 1 [likely reliable] evidence)
(DynaMed, 2013). Lanjutkan monoterapi minimal 3 hari (dosis ketiga) pada anak
dengan apendisitis komplikata (The Medical University of South Carolina Library
website, 2013). Literatur lain menyebutkan bahwa terapi antibiotik pada
apendisitis perforasi minimal 7 – 10 hari, atau lebih lama bila diperlukan.

Universitas Sumatera Utara


Antibiotik intravena diberikan selama di rumah sakit, dilanjutkan antibiotik per
oral bila pasien sudah cukup sehat untuk pulang (DynaMed, 2013).
Pemberian terapi analgetik pada apendisitis akut tidak boleh ditunda.
Penundaan analgetik tidak menolong dalam mendiagnosis apendisitis (strong
recommendations, high quality evidence). Pemberian terapi analgetik pascaoperasi
harus konsisten sesuai dengan jadwal pemberian (strong recommendation, low
quality evidence) (The Medical University of South Carolina Library website,
2013).
Berikan terapi antiemetik parenteral bila diperlukan serta antipiretik
(Craig, 2013 dan Minkes, 2013).

2.2.8.1. Penatalaksanaan Konsevatif (Non-operatif)


Penatalaksanaan konservatif adalah dengan pemberian obat-obatan tanpa operasi.
Penatalaksanaan konsevatif bermanfaat ketika operasi apendektomi tidak dapat
dilakukan atau sangat berisiko tinggi untuk dilakukan, misalnya pada orang yang
yang berada di kapal selam atau sedang berlayar di laut (Craig, 2013).
Menurut Surgical Infection Society and the Infectious Society of America
tahun 2009, penatalaksanaan non-operatif pada pasien apendisitis akut non-
perforasi dapat dipertimbangkan jika ditemukan perbaikan gejala yang bermakna
sebelum operasi (level of evidence B-II) (The Medical University of South
Carolina Library website, 2013).
Apendisitis sederhana pada dewasa bisa berhasil diobati dengan antibiotik,
tetapi angka kejadian peritonitis dalam 30 hari lebih tinggi daripada pasien yang
dilakukan operasi apendektomi, serta dijumpai angka kekambuhan 15 % dalam 1
tahun (level 1 [likely reliable] evidence) (DynaMed, 2013). Namun,
penatalaksanaan konservatif dengan antibiotik pada anak dengan apendisitis akut
masih merupakan hal yang baru dan perlu dilakukan penelitian lebih lanjut
sebelum direkomendasikan untuk praktik rutin (Minkes, 2013).
Namun, menurut sebuah penelitian meta-analisis menyimpulkan bahwa
walaupun antibiotik dapat digunakan sebagai terapi primer pada apendisitis
sederhana, operasi apendektomi masih menjadi terapi definitif untuk apendisitis
akut (Varadhan, 2010).

Universitas Sumatera Utara


Namun, bila setelah tiga hari pemberian antibiotik intravena, tidak ada
perbaikan yang bermakna, penatalaksanaan konservatif dianggap gagal. Risiko
kegagalan terapi konservatif meningkat pada pasien anak dengan apendisitis
perforasi yang ditemukan apendikolit (41,7 %) dibandingan dengan yang tidak
ditemukan apendikolit (13 %), tetapi lokasi apendikolit tidak menjadi prediktor
terjadinya kegagalan (James, 2011).
CT scan dapat memprediksi kegegalan penatalaksanaan konservatif pada
anak dengan apendisitis perforasi (level 2 [mid level] evidence) (DynaMed, 2013).

2.2.8.2. Apendektomi
Apendektomi merupakan terapi definitif pada apendisitis karena dapat dicapai
perbaikan spontan setelah apendektomi dan angka kekambuhan setelah terapi
konservatif dengan antibiotik cukup besar (14 – 35 %) (DynaMed, 2013).
Indikasi apendektomi adalah (Lee, 2013):
 Pasien dengan gejala klasik apendisitis, pemeriksaan fisik dan laboratorium
yang mendukung apendisitis.
 Pasien dengan gejala atipikal dan temuan radiografi konsisten dengan
apendisitis.
 Pasien dengan gejala atipikal yang mengalami perburukan (nyeri menetap
dan suhu meningkat, pemeriksaan klinis memburuk, leukosit meningkat)
Tidak ada kontraindikasi untuk dilakukan operasi apendektomi. Akan
tetapi, pasien dengan abses periapendiks yang berbatas tegas, operasi apendektomi
biasanya ditunda. Abses dilakukan drainase terlebih dahulu, baik secara per kutan
maupun operasi (level of evidence A-II) (The Medical University of South
Carolina Library website, 2013).
Operasi apendektomi dapat dilakukan dengan prosedur laparoscopic
appendectomy maupun dengan open appendectomy. Prosedur mana yang harus
dipilih, ditentukan oleh tingkat kemahiran ahli bedah dalam melakukan prosedur
tersebut (The Medical University of South Carolina Library website, 2013).
Perbandingan laparoscopic appendectomy dan open appendectomy dipaparkan
pada tabel 2.3.

Universitas Sumatera Utara


Tabel 2.3. Perbandingan laparoscopic apendectomy dan open apendectomy
(Dynamed, 2013)
Laparoscopic Open
appendectomy appendectomy
Lebih rendah Lebih tinggi
Infeksi luka pascaoperasi
(level 2 evidence) (level 2 evidence)
Lebih singkat Lebih panjang
Lama perawatan di rumah sakit
(level 2 evidence) (level 2 evidence)
Abses pascaoperasi
Lebih sering Lebih jarang
pada pasien dengan apendisitis
(level 2 evidence) (level 2 evidence)
gangrenosa atau perforasi

Gambar 2.6. Laparoscopic appendectomy (Zadeh, 2013)

Universitas Sumatera Utara


Gambar 2.7. Open appendectomy (Zadeh, 2013)

Pada penelitian Groves dilaporkan bahwa pada pasien anak dengan


apendisitis, infeksi luka operasi lebih sedikit dan lama perawatan di rumah sakit
lebih singkat pada laparoscopic appendectomy dibandingkan dengan open
appendectomy (Groves, 2013).

Universitas Sumatera Utara


Pada penelitian Schietroma (2012) dilaporkan bahwa pada pasien dengan
apendisitis perforasi dengan peritonitis, stress response setelah open
appendectomy lebih tinggi secara bermakna daripada laparoscopic appendectomy.
Pada kelompok open appendectomy ditemukan peningkatan insidensi bakteremia,
endotoksemia, dan inflamasi sitemik.

2.2.9. Prognosis Apendisitis Akut pada Anak


Adapun prognosis apendisitis akut pada anak yaitu (DynaMed, 2013):
 Risiko perforasi
Risiko perforasi pada pasien apendisitis akut akan meningkat setelah lebih
dari 36 jam munculnya gejala awal dan tanpa pengobatan (level 2 [mid-level]
evidence).
 Sembuh spontan
Apendisitis akut sederhana dilaporkan sering sembuh spontan (level 3
[lacking direct] evidence). Angka kekambuhan dari apendisitis sederhana
yang telah sembuh spontan sebesar 38%, dan biasanya terjadi dalam satu
tahun setelah gejala pertama muncul (level 2 [mid-level] evidence).
 Kematian
Angka kematian neonatus yang menderita apendisitis dilaporkan telah
menurun, yaitu dari 78% (tahun 1975) menjadi 30% (tahun 1976 – 2000).

2.2.10. Komplikasi
Komplikasi apendisitis antara lain (Craig, 2013 dan Minkes, 2013):
 Perforasi
Sebanyak 20 – 35 % pasien akut apendisitis saat terdiagnosis sudah
mengalami perforasi apendiks. Risiko perforasi 7,7 % dalam 24 jam pertama,
dan meningkat seiring dengan waktu.
 Sepsis
 Syok
 Perlengketan paska operasi
 Infeksi luka operasi

Universitas Sumatera Utara


Angka kejadian luka operasi pada apendisitis sederhana tidak berbeda secara
signifikan dibandingkan dengan apendisitis perforasi (Bahar, 2010).
 Obstruksi usus
 Abses intra abdomen/ pelvis
 Kematian
Angka kematian akibat apendisitis di Belanda sebanyak 1 kasus per tahun
pada tahun 1996 – 2003 (Narsule, 2011).

2.3. Diagnosis Banding Apendisitis Akut pada Anak


Gejala dan tanda apendisitis tidak spesifik sering ditemukan pada diagnosis lain
(Minkes, 2013). Kesalahan diagnosis apendisitis pada anak sebanyak 25 – 30 %,
dan angka kesalahan diagnosis ini berbanding terbalik dengan usia pasien.
Kesalahan diagnosis tersering adalah apendisitis didiagnosis sebagai
gastroenteritis (DynaMed, 2013).
Apendisitis jarang pada bayi. Jika ditemukan apendisitis pada bayi, maka
dugaan adanya penyakit Hirschprung juga harus dipertimbangkan (Minkes, 2013).
Berikut ini adalah beberapa diagnosis banding apendisitis akut pada anak (Craig,
2013, DynaMed, 2013, Minkes, 2013):
 Konstipasi
 Sindroma Hemolitik Uremik
 Divertikulum Meckel
 Kista ovarium
 Gastroenteritis
 Intususepsi
 Infeksi saluran kemih dan pyelonefritis
 Pelvic Inflamatory Disease

Universitas Sumatera Utara


BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian


Penelitian ini merupakan penelitian observasional yang menggunakan desain
kohort dengan analisis secara deskriptif dan analitik menggunakan uji Chi square
(Sastroasmoro, 2008).

3.2. Lokasi Penelitian


Penelitian ini akan dilakukan di RSUP Haji Adam Malik Medan karena RSUP
Haji Adam Malik Medan merupakan rumah sakit rujukan tertinggi di Sumatera
Utara dan rumah sakit pendidikan dengan sarana dan prasarana yang memadai
untuk melaksanakan penelitian ini dengan jumlah kasus yang cukup tinggi, yaitu
60 kasus pada tahun 2009 (Ivan, 2009).

3.3. Populasi Penelitian


1. Populasi target : Pasien anak dengan keluhan nyeri perut dan diduga
apendisitis.
2. Populasi terjangkau : pasien anak yang berobat ke RSUP HAM dengan
keluhan nyeri perut dan diduga apendisitis.

3.4. Kriteria Inklusi dan Eksklusi


a. Kriteria inklusi :
 Pasien anak dengan keluhan nyeri perut yang diduga apendisitis
 Bersedia mengikuti penelitian
b. Kriteria eksklusi :
 Onset nyeri perut lebih dari 72 jam
 Anak yang memiliki riwayat operasi apendektomi
 Anak yang belum bisa berbicara atau tidak kooperatif
 Terdapat bukti adanya infeksi lain, seperti infeksi saluran kemih, infeksi
saluran pernapasan, dan infeksi saluran pencernaan.

27

Universitas Sumatera Utara


3.5. Cara Pengambilan Sampel dan Besar Sampel
Pengambilan sampel akan dilakukan dengan cara consecutive sampling. Jumlah
sampel minimal yang dihitung berdasarkan rumus (Sastroasmoro, 2008):
n = zα2 p q

d2
Keterangan :
zα : 1,96 (pada confidence interval 95 %)
p : proporsi apendisitis pada anak 1 %6 = 0,01
q : 1 – p = 1 – 0,01 = 0,99
d : ketepatan absolute 5 % = 0,05
n = (1,96)2 x 0,01 x 0,99 = 15,21
(0,05)2
Maka jumlah sampel minimal penelitian ini adalah 16 orang.
Rumus perhitungan besar sampel di atas digunakan karena data yang digunakan
dalam penelitian ini merupakan data nominal berupa nilai PAS yang dikorelasikan
dengan diagnosis apendisitis akut. Penelitian ini menggunakan zα = 1,96 untuk
memperoleh interval kepercayaan (confidence interval 95%) pada hasil penelitian.
Selain itu penulis menetapkan d = 0,05 untuk mendapatkan ketepatan absolut 5 %.

3.6. Kerangka Konsep


Nilai PAS Tidak Bukan Konsul
PAS Observasi tidak meningkat Operasi apendisi tis akut Pediatri
<6 72 jam

Nilai Bukan
PAS apendisi tis akut
mening kat Operasi
& Histopat Apendisitis
PAS akut sederhana
ologi
6-8

Apendisi
PAStis akut Apendisitis
akut komplikata
≥9

Variabel
Dependen Variabel
Independen

Universitas Sumatera Utara


3.7. Definisi Operasional
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan istilah-istilah yang didefinisikan
sebagai berikut :
 Anak adalah setiap individu yang belum mencapai ulang tahun ke-18
(NSPCC, 2013).
 Apendisitis akut adalah diagnosis apendisitis akut berdasarkan gejala
klinis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang dan dikonfirmasi
melalui pemeriksaan histopatologi berupa gambaran infiltrasi neutrofilik
pada muskularis propria jaringan apendiks.
 Apendisitis komplikata terdiri dari apendisitis perforasi (jika ditemukan
lubang pada dinding apendiks, fekolit intraabdomen, atau abses
intraabdomen); apendisitis gangrenosa (jika ditemukan nekrosis
transmural tanpa perforasi); dan apendisitis supurativa (jika di sekitar
apendiks tampak pus atau flegmon tanpa perforasi) (Obinna, 2011).
 Apendisitis sederhana adalah gambaran inflamasi pada apendiks
berdasarkan histopatologi tanpa disertai tanda apendisitis komplikata di
atas (Obinna, 2011).
 Demam adalah suhu aksila yang diukur dengan thermometer digital lebih
dari 38,0 0C (DynaMed, 2013 dan Craig, 2013).

3.8. Teknik Pengambilan Data Penelitian


Data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah data primer Pediatric
Appendicitis Score (PAS) yang diperoleh dari autoanamnesis dan alloanamnesis,
serta pemeriksaan fisik dan darah lengkap. Semua pasien anak yang memenuhi
kriteria inklusi dan eksklusi dicatat data demografinya dan dihitung nilai PAS-
nya. Kemudian diikuti secara prospektif. Subjek penelitian dengan nilai PAS < 6,
diobservasi selama 72 jam di rumah sakit dan dioperasi apendektomi bila nilai
PAS meningkat. Namun, bila nilai PAS tidak meningkat subjek penelitian
dianggap tidak menderita apendisitis akut dan tidak dioperasi apendektomi, lalu
dikonsulkan ke departemen pediatri. Sebaliknya, subjek penelitian dengan nilai
PAS > 6 dioperasi apendektomi. Jaringan apendiks subjek penelitian yang telah
dioperasi apendektomi diperiksa histopatologinya dan dikelompokkan menjadi

Universitas Sumatera Utara


dua kategori, yaitu apendiks normal dan apendisitis akut. Yang termasuk dalam
kategori apendisitis akut dikelompokkan lagi menjadi dua bagian, yaitu
apendisitis akut sederhana dan apendisitis akut komplikata. Teknik pengambilan
data dilakukan secara single blind dimana ahli patologi anatomi yang memeriksa
histopatologi jaringan apendiks subjek penelitian tidak mengetahui nilai PAS
subjek penelitian tersebut.

3.9. Pengolahan dan Analisis Data


Data penelitian akan dianalisis dengan bantuan program komputer SPSS versi 17
dengan proses sebagai berikut :
a. Editing: memeriksa ketepatan dan kelengkapan data pada lembar pengamatan
subjek penelitian.
b. Coding: pemberian kode dan penomoran.
c. Entry : memasukkan data ke dalam komputer.
d. Cleaning: memeriksa semua data yang telah dimasukkan ke dalam komputer
untuk menghindari kesalahan dalam pemasukan data
e. Saving: penyimpanan data.
f. Analisis data: analisis statistik deskriptif digunakan untuk data demografi.
Analisis statistik analitik Uji T digunakan untuk menguji perbedaan nilai-nilai
parameter klinis kelompok apendisitis akut dengan kelompok bukan
apendisitis akut, sedangkan Uji Chi square untuk menguji sensitivitas,
spesifisitas, dan akurasi PAS dalam memprediksi apendisitis akut pada anak.

Universitas Sumatera Utara


BAB 4
HASIL PENELITIAN

Penelitian ini melibatkan 23 subjek penelitian. Subjek penelitian dibagi menjadi


dua kelompok, yaitu kelompok apendisitis akut (sebagai kelompok studi) dan
kelompok bukan apendisitis akut (sebagai kelompok kontrol).

Tabel 4.1. Deskripsi subjek penelitian berdasarkan jenis kelamin


Jenis Kelamin Kelompok Kelompok bukan Total
apendisitis akut apendisitis akut
Laki-laki 8 5 13
Perempuan 10 0 10
Total 18 5 23
Dari tabel 4.1. dapat disimpulkan bahwa penderita apendisitis akut pada
anak lebih banyak perempuan daripada laki-laki. Rasio perempuan dengan laki-
laki 1,25 : 1. Namun, pada kelompok bukan apendisitis akut, kelima subjek
penelitan memiliki jenis kelamin laki-laki. Berdasarkan uji Chi Square, anak
perempuan secara signifikan memiliki risiko menderita apendisitis akut lebih
tinggi daripada anak laki-laki (x2 = 4,915, df = 1, nilai p = 0,038).

Tabel 4.2. Deskripsi subjek penelitian berdasarkan usia


Usia Kelompok apendisitis akut Kelompok bukan Total
apendisitis akut
Jumlah Persentase Jumlah Persentase
(orang) (%) (orang) (%)
4 1 5,6 1 20 2
5 1 5,6 0 0 1
7 2 11,1 0 0 2
9 2 11,1 0 0 2
10 1 5,6 0 0 1
11 0 0 1 20 1
12 2 11,1 1 20 3
13 2 11,1 0 0 2
14 1 5,6 0 0 1
15 4 22,1 0 0 4
16 0 0 2 40 2
17 2 11,1 0 0 2
Subtotal 18 100 5 100 23
Dari tabel 4.2. dapat disimpulkan bahwa usia yang paling sering dijumpai
pada keloompok apendisitis akut pada anak adalah usia 15 tahun, yaitu sebanyak 4
orang (22,1%), sedangkan pada kelompok bukan apendisitis akut adalah usia 16

Universitas Sumatera Utara


tahun 2 orang (40%). Usia yang paling jarang dijumpai pada kelompok apendisitis
akut pada anak adalah usia 4, 5 dan 14 tahun, yaitu masing-masing sebanyak 1
orang (5,6%), sedangkan pada kelompok bukan apendisitis akut adalah usia 4, 11
dan 12 tahun, yaitu masing-masing sebanyak 1 orang (20%).

Tabel 4.3. Deskripsi subjek penelitian berdasarkan rerata usia


Usia Kelompok apendisitis akut Kelompok bukan
apendisitis akut
Rerata 11,61 11,80
Standard deviasi 4,02 4,92
Minimum 4 4
Maksimum 17 16
Dari tabel 4.3. dapat dilihat bahwa rerata usia penderita apendisitis akut
11,61 + 4,02 tahun, sedangkan pada kelompok bukan apendisitis akut 11,80 +
4,92 tahun. Usia paling muda penderita apendisitis akut pada anak sama dengan
kelompok bukan apendisitis akut yaitu 4 tahun. Usia paling tua penderita
apendisitis akut pada anak 17 tahun, sedangkan pada kelompok bukan apendisitis
akut 16 tahun. Berdasarkan uji T independen, tidak ada perbedaan yang signifikan
rerata usia penderita apendisitis akut pada anak bila dibandingkan dengan
kelompok bukan apendisitis akut (nilai p = 0,93).

Tabel 4.4. Deskripsi nilai PAS kelompok apendisitis akut dan bukan apendisitis
akut
Nilai Kelompok apendisitis akut Kelompok bukan apendisitis Total
PAS akut
Jumlah Persentase Jumlah Persentase
(orang) (%) (orang) (%)
5 0 0 2 40 2
6 2 11,11 0 0 2
7 5 27,78 1 20 6
8 4 22,22 1 20 5
9 4 22,22 1 20 5
10 3 16,67 0 0 3
Subtotal 18 100 5 100 23
Dari tabel 4.4. dapat disimpulkan bahwa pada nilai PAS < 6, tidak ada
subjek penelitian yang menderita apendisitis akut pada anak. Nilai PAS yang
paling sering dijumpai pada kelompok apendisitis akut pada anak adalah nilai
PAS 7, yaitu sebanyak 5 orang (27,78%), sedangkan pada kelompok bukan
apendisitis akut adalah nilai PAS 5, yaitu sebanyak 2 orang (40%). Nilai PAS

Universitas Sumatera Utara


yang paling jarang dijumpai pada kelompok apendisitis akut pada anak adalah
nilai PAS 6, yaitu sebanyak 2 orang (11,11%), sedangkan pada kelompok bukan
penderita apendisitis akut adalah nilai PAS 7, 8 dan 9, yaitu masing-masing
sebanyak 1 orang (20%).

Tabel 4.5. Deskripsi subjek penelitian berdasarkan keluhan nyeri saat batuk,
perkusi atau melompat
Nyeri saat batuk, Kelompok Kelompok bukan Total
perkusi atau apendisitis akut apendisitis akut
melompat
Ya 15 2 17
Tidak 3 3 6
Total 18 5 23
Dari tabel 4.5. dapat disimpulkan bahwa pada kelompok apendisitis akut
pada anak sebanyak lima belas orang subjek penelitian memiliki keluhan nyeri
saat batuk, perkusi, atau melompat. Namun, pada kelompok bukan apendisitis
akut, hanya dua orang subjek penelitian yang memiliki keluhan tersebut.
Berdasarkan uji Chi Square, keluhan nyeri saat batuk, perkusi, atau melompat
tidak secara signifikan lebih sering dijumpai pada kelompok apendisitis akut pada
anak bila dibandingkan dengan kelompok bukan apendisitis akut (x2 = 3,811, df =
1, nilai p = 0,089).

Tabel 4.6. Deskripsi subjek penelitian berdasarkan keluhan penurunan nafsu


makan
Penurunan nafsu Kelompok Kelompok bukan Total
makan apendisitis akut apendisitis akut
Ya 13 4 17
Tidak 5 1 6
Total 18 5 23
Dari tabel 4.6. dapat disimpulkan bahwa pada kelompok apendisitis akut
pada anak sebanyak tiga belas orang subjek penelitian memiliki keluhannafsu
makan menurun. Namun, pada kelompok bukan apendisitis akut, sebanyak 4
orang subjek penelitian memiliki keluhan tersebut. Berdasarkan uji Chi Square,
keluhan nafsu makan menurun tidak secara signifikan lebih sering dijumpai pada
kelompok apendisitis akut pada anak bila dibandingkan dengan kelompok bukan
apendisitis akut (x2 = 0,123, df = 1, nilai p = 0,608).

Universitas Sumatera Utara


Tabel 4.7. Deskripsi subjek penelitian berdasarkan peningkatan suhu tubuh lebih
dari 38,0 oC
Peningkatan suhu Kelompok Kelompok bukan Total
tubuh lebih dari apendisitis akut apendisitis akut
38,0 oC
Ya 17 3 20
Tidak 1 2 3
Total 18 5 23
Dari tabel 4.7. dapat disimpulkan bahwa pada kelompok apendisitis akut
pada anak sebanyak tujuh belas orang subjek penelitian memiliki keluhan nyeri
saat batuk, perkusi, atau melompat. Namun, pada kelompok bukan apendisitis
akut, sebanyak tiga orang subjek penelitian yang memiliki keluhan tersebut.
Berdasarkan uji Chi Square, peningkatan suhu tubuh lebih dari 38,0 oC tidak
secara signifikan lebih sering dijumpai pada kelompok apendisitis akut pada anak
bila dibandingkan dengan kelompok bukan apendisitis akut (x2 = 4,093, df = 1,
nilai p = 0,107).

Tabel 4.8. Deskripsi subjek penelitian berdasarkan keluhan nyeri perut kuadran
kanan bawah
Nyeri perut kuadran Kelompok Kelompok bukan Total
kanan bawah apendisitis akut apendisitis akut
Ya 18 4 22
Tidak 0 1 1
Total 18 5 23
Dari tabel 4.8. dapat disimpulkan bahwa pada kelompok apendisitis akut
pada anak semua subjek penelitian memiliki keluhan nyeri perut kuadran kanan
bawah. Namun, pada kelompok bukan apendisitis akut, hanya empat orang subjek
penelitian yang memiliki keluhan tersebut. Berdasarkan uji Chi Square, keluhan
nyeri perut kuadran kanan bawah tidak secara signifikan lebih sering dijumpai
pada kelompok apendisitis akut pada anak bila dibandingkan dengan kelompok
bukan apendisitis akut (x2 = 3,764, df = 1, nilai p = 0,217).

Tabel 4.9. Deskripsi subjek penelitian berdasarkan peningkatan jumlah leukosit


lebih dari 10.000/mm3
Peningkatan jumlah Kelompok Kelompok bukan Total
leukosit lebih dari apendisitis akut apendisitis akut
10.000/mm3
Ya 14 3 17
Tidak 4 2 6
Total 18 5 23

Universitas Sumatera Utara


Dari tabel 4.9. dapat disimpulkan bahwa pada kelompok apendisitis akut
pada anak sebanyak empat belas orang subjek penelitian memiliki peningkatan
jumlah leukosit lebih dari 10.000/mm3. Namun, pada kelompok bukan apendisitis
akut, sebanyak tiga orang subjek penelitian yang memiliki keluhan tersebut.
Berdasarkan uji Chi Square, peningkatan jumlah leukosit lebih dari 10.000/mm3
tidak secara signifikan lebih sering dijumpai pada kelompok apendisitis akut pada
anak bila dibandingkan dengan kelompok bukan apendisitis akut (x2 = 0,641, df =
1, nilai p = 0,392).

Tabel 4.10. Deskripsi subjek penelitian berdasarkan keluhan mual atau muntah
Mual atau muntah Kelompok Kelompok bukan Total
apendisitis akut apendisitis akut
Ya 12 4 16
Tidak 6 1 7
Total 18 5 23
Dari tabel 4.10. dapat disimpulkan bahwa pada kelompok apendisitis akut
pada anak sebanyak dua belas orang subjek penelitian memiliki keluhan mual atau
muntah. Namun, pada kelompok bukan apendisitis akut, sebanyak empat orang
subjek penelitian yang memiliki keluhan tersebut. Berdasarkan uji Chi Square,
keluhan mual atau muntah tidak secara signifikan lebih sering dijumpai pada
kelompok apendisitis akut pada anak bila dibandingkan dengan kelompok bukan
apendisitis akut (x2 = 0,329, df = 1, nilai p = 0,508).

Tabel 4.11. Deskripsi subjek penelitian berdasarkan peningkatan jumlah


neutrofil lebih dari 7.500 sel/mikroliter
Peningkatan jumlah Kelompok Kelompok bukan Total
neutrofil lebih dari apendisitis akut apendisitis akut
7.500 sel/mikroliter
Ya 12 4 16
Tidak 6 1 7
Total 18 5 23
Dari tabel 4.11. dapat disimpulkan bahwa pada kelompok apendisitis akut
pada anak sebanyak dua belas orang subjek penelitian memiliki peningkatan
neutrofil lebih dari 7.500 sel/mikroliter. Namun, pada kelompok bukan apendisitis
akut, sebanyak empat orang subjek penelitian yang memiliki keluhan tersebut.
Berdasarkan uji Chi Square, peningkatan jumlah neutrofil di atas 7.500
sel/mikroliter tidak secara signifikan lebih sering dijumpai pada kelompok

Universitas Sumatera Utara


apendisitis akut pada anak bila dibandingkan dengan kelompok bukan apendisitis
akut (x2 = 0,329, df = 1, nilai p = 0,508).

Tabel 4.12. Deskripsi subjek penelitian berdasarkan keluhan nyeri yang


bermigrasi
Nyeri yang Kelompok Kelompok bukan Total
bermigrasi apendisitis akut apendisitis akut
Ya 10 4 14
Tidak 8 1 9
Total 18 5 23
Dari tabel 4.12. dapat disimpulkan bahwa pada kelompok apendisitis akut
pada anak sebanyak dua belas orang subjek penelitian memiliki keluhan mual atau
muntah. Namun, pada kelompok bukan apendisitis akut, sebanyak empat orang
subjek penelitian yang memiliki keluhan tersebut. Berdasarkan uji Chi Square,
keluhan nyeri yang bermigrasi tidak secara signifikan lebih sering dijumpai pada
kelompok apendisitis akut pada anak bila dibandingkan dengan kelompok bukan
apendisitis akut (x2 = 0,982, df = 1, nilai p = 0,327).
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa gambaran klinis yang paling
sering dijumpai pada apendisitis akut pada anak adalah keluhan nyeri perut
kuadran kanan bawah, yaitu dijumpai pada 18 orang (100%) subjek penelitian
pada kelompok apendisitis akut pada anak, sedangkan pada kelompok bukan
apendisitis akut adalah nyeri perut kuadran kanan bawah, mual atau muntah,
penurunan nafsu makan, peningkatan jumlah neutrofil lebih dari 7.500
sel/mikroL, dan nyeri perut yang bermigrasi, masing-masing sebanyak 4 orang
(80%). Gambaran klinis yang paling jarang dijumpai pada kelompok apendisitis
akut pada anak adalah keluhan nyeri perut yang bermigrasi, yaitu sebanyak 10
orang (55,6%), sedangkan pada kelompok bukan apendisitis akut adalah keluhan
nyeri perut saat batuk, perkusi, atau melompat, yaitu sebanyak 2 orang (40%).
Berdasarkan uji Chi Square, gambaran klinis yang paling kuat hubungannya
dengan apendisitis akut pada anak adalah keluhan nyeri perut saat batuk, perkusi,
atau melompat (nilai p = 0,089), sedangkan yang paling lemah hubungannya
adalah penurunan nafsu makan (nilai p = 0,608). Namun demikian, tidak ada satu
gambaran klinis yang secara independen memiliki hubungan yang signifikan
dengan apendisitis akut pada anak.

Universitas Sumatera Utara


Tabel 4.13. Deskripsi suhu tubuh subjek penelitian
Suhu Tubuh Kelompok apendisitis akut Kelompok bukan
apendisitis akut
Rerata 38,52 38,16
Standard deviasi 0,38 0,33
Minimum 37,90 37,80
Maksimum 39,30 38,60
Dari tabel 4.13. dapat dilihat bahwa rerata suhu tubuh penderita apendisitis
akut 38,52 + 0,38 oC, sedangkan pada kelompok bukan apendisitis akut 38,16 +
0,33 oC. Suhu tubuh tertinggi penderita apendisitis akut pada anak 39,3 oC,
sedangkan pada kelompok bukan apendisitis akut 38,6 oC. Suhu tubuh terendah
penderita apendisitis akut 37,9 oC, sedangkan pada kelompok bukan apendisitis
akut 37,8 oC. Berdasarkan uji T independen, tidak ada perbedaan yang signifikan
suhu tubuh penderita apendisitis akut pada anak bila dibandingkan dengan
kelompok bukan apendisitis (nilai p = 0,071).

Tabel 4.14. Deskripsi jumlah leukosit subjek penelitian


Jumlah Leukosit Kelompok apendisitis akut Kelompok bukan
apendisitis akut
Rerata 17.306 17.082
Standard deviasi 8.531 11.102
Minimum 5.600 8.410
Maksimum 34.600 34.700
Dari tabel 4.14. dapat dilihat bahwa rerata jumlah leukosit penderita
apendisitis akut 17.306 + 8.531 /mm3, sedangkan pada kelompok bukan
apendisitis akut 17.082 + 11.102 /mm3. Jumlah leukosit tertinggi 34.600/mm 3,
sedangkan pada kelompok bukan apendisitis 34.700/mm3. Jumlah leukosit
terendah pada penderita apendisitis akut 5600/mm3, sedngkan pada kelompok
bukan apendisitis akut 8.410/mm3. Berdasarkan uji T independen, tidak ada
perbedaan yang signifikan jumlah leukosit penderita apendisitis akut pada anak
bila dibandingkan dengan kelompok bukan apendisitis (nilai p = 0,962).

Tabel 4.15. Deskripsi jumlah neutrofil subjek penelitian


Jumlah Neutrofil Kelompok apendisitis akut Kelompok bukan
apendisitis akut
Rerata 13.184 12.069
Standard deviasi 7.260 7.035
Minimum 3.692 4.037
Maksimum 28.092 21.167

Universitas Sumatera Utara


Dari tabel 4.15. dapat dilihat bahwa rerata jumlah neutrofil penderita
apendisitis akut 13.184 + 7.260 sel/mikroliter, sedangkan pada kelompok bukan
apendisitis akut 12.069 + 7.035 sel/mikroliter. Jumlah neutrofil tertinggi 28.092
sel/mikroliter, sedangkan pada kelompok bukan apendisitis akut 21.167
sel/mikroliter. Jumlah neutrofil terendah penderita apendisitis akut 3.692
sel/mikroliter, sedangkan pada kelompok bukan apendisitis akut 4.037
sel/mikroliter. Berdasarkan uji T independen, tidak ada perbedaan yang signifikan
jumlah neutrofil penderita apendisitis akut pada anak bila dibandingkan dengan
kelompok bukan apendisitis (nilai p = 0,763).
Berdasarkan ada atau tidaknya komplikasi, apendisitis diklasifikasikan
menjadi dua jenis, yaitu apendisitis sederhana (tidak dijumpai komplikasi
gangren, perforasi atau abses) dan apendisitis komplikata (bila dijumpai satu atau
lebih komplikasi di tersebut atas). Secara makroskopis dinding apendiks tampak
menebal, lumen berdilatasi, dan terbentuk eksudat serous. Pada stadium ini, secara
mikroskopis tampak nekrosis mukosa. Pada stadium lanjut apendisitis, secara
makroskopis tampak tanda-tanda nekrosis mukosa hingga lapisan luar dinding
apendiks dan bisa ditemukan gangren. Pada stadium ini, secara mikroskopis
tampak mikroabses multipel pada dinding apendiks dan nekrosis berat pada semua
lapisan. Pada stadium ini terjadi perforasi apendiks.

Tabel 4.16. Deskripsi komplikasi subjek penelitian kelompok apendisitis akut


pada anak berdasarkan hasil pemeriksaan patologi anatomi
Komplikasi Hasil Pemeriksaan Patologi Total
Anatomi
Komplikata Sederhana
Perforasi 3 - 3
Abses 5 - 5
Gangren - - -
Radang - 10 10
Total 8 10 18
Dari tabel 4.16. dapat disimpulkan bahwa lebih banyak subjek penelitian
yang mengalami apendisitis akut sederhana daripada komplikata, dengan
perbandingan 5 : 4. Pada kelompok subjek penelitian dengan apendisitis akut

Universitas Sumatera Utara


komplikata, sebanyak 5 orang subjek penelitian sudah terbentuk abses dan 3 orang
subjek penelitan sudah mengalami perforasi.

Tabel 4.17. Deskripsi komplikasi apendisitis akut pada anak berdasarkan jenis
kelamin
Jenis kelamin Komplikasi Total
Komplikata Sederhana
Laki-laki 5 3 8
Perempuan 3 7 10
Total 8 10 18
Dari tabel 4.17. dapat disimpulkan bahwa apendisitis akut komplikata
lebih sering terjadi pada laki-laki, yaitu 5 dari 8 kasus (62,5%). Apendisitis akut
komplikata pada perempuan hanya 3 dari 10 kasus (30%). Namun, berdasarkan uji
Chi Square, tidak ada hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dengan
insidensi apendisitis akut komplikata pada anak (x2 = 1,901, df = 1, nilai p =
0,342).

Tabel 4.18. Deskripsi komplikasi apendisitis akut pada anak berdasarkan usia
Usia (tahun) Komplikasi apendisitis akut Total
Komplikata Sederhana
4 1 0 1
5 1 0 1
7 2 0 2
9 1 1 2
10 0 1 1
12 1 1 2
13 1 1 2
14 0 1 1
15 1 3 4
17 0 2 2
Total 8 10 18
Dari tabel 4.18. dapat disimpulkan bahwa apendisitis akut komplikata
paling sering dijumpai pada anak usia 7 tahun, yaitu 2 dari 8 kasus (25%).
Apendisitis akut komplikata paling jarang dijumpai pada anak usia 4, 5, 9, 12, 13
dan 14 tahun, masing-masing 1 kasus.
Jika tabel di atas dikelompokkan berdasarkan usia lebih besar dari 10
tahun dan lebih kecil atau sama dengan 10 tahun, maka diperoleh tabel 2x2
sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara


Tabel 4.19. Deskripsi komplikasi apendisitis akut pada anak berdasarkan
kelompok usia
Usia (tahun) Komplikasi apendisitis akut Total
Komplikata Sederhana
<= 10 5 2 7
> 10 3 8 11
Total 8 10 18
Dari tabel 4.19. dapat disimpulkan bahwa apendisitis akut komplikata
lebih banyak dijumpai pada anak usia lebih kecil atau sama dengan 10 tahun,
yaitu 5 dari 7 kasus. Pada anak usia lebih dari 10 tahun, apendisitis akut
komplikata hanya dijumpai pada 3 dari 11 kasus. Namun, berdasarkan uji Chi
Square, usia lebih kecil atau sama dengan 10 tahun tidak secara signifikan
memiliki insidensi apendisitis akut komplikata yang lebih tinggi bila
dibandingkan dengan usia lebih dari 10 tahun (x2 = 3,378, df = 1, nilai p = 0,088).

Tabel 4.20. Deskripsi nilai PAS berdasarkan komplikasi apendisitis akut pada
anak
Kategori PAS Komplikasi Total
Komplikata Sederhana
PAS > 9 6 1 7
PAS < 9 2 9 11
Total 8 10 18
Dari tabel 4.20. diketahui bahwa apendisitis komplikata lebih banyak
dijumpai pada nilai PAS > 9, yaitu nilai PAS 6 dari 7 kasus (85,71 %), sedangkan
pada nilai PAS < 9, jumlah apendisitis kompikata hanya 2 dari 11 kasus (18,18
%). Berdasarkan uji Chi Square, nilai PAS > 9 secara signifikan memiliki
insidensi apendisitis akut komplikata yang lebih tinggi (x2 = 7,901, df = 1, nilai
p = 0,009).
Dari delapan belas subjek penelitian yang dilakukan operasi apendektomi,
tidak satu orangpun yang meninggal karena apendisitis akut yang dideritanya.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa walaupun anak mengalami apendisitis
komplikata, angka mortalitasnya sangat kecil, bahkan mencapai nol persen.

Universitas Sumatera Utara


Tabel 4.21. Hubungan nilai PAS dengan apendisitis akut pada anak
Kategori PAS Hasil histopatologi Total
Apendisitis akut Bukan apendisitis
akut
PAS > 6 18 3 21
PAS < 6 0 2 2
Total 18 5 23
Dari tabel 4.21. dapat disimpulkan bahwa dengan menggunakan cut off
point nilai PAS > 6, sebanyak 18 subjek penelitian (85,71%) memiliki hasil
histologi apendisitis akut, sebanyak dua subjek penelitian (9,52%) memiliki hasil
histologi proses radang kronis spesifik tuberkulosis, dan satu subjek penelitian
(4,76%) memiliki hasil histologi divertikulum Meckle. Sedangkan pada nilai
PAS < 6, terdapat dua subjek penelitian yang setelah diobservasi selama tiga hari,
nilai PAS < 6 dan dianggap bukan apendisitis sehingga tidak dilakukan operasi
apendektomi. Berdasarkan uji Chi Square, nilai PAS > 6 secara signifikan
memiliki insidensi apendisitis akut pada anak lebih tinggi daripada nilai PAS < 6
(x2 = 7,886, df = 1, nilai p = 0,04). Nilai PAS > 6 memiliki sensitivitas 85,71 %,
spesifisitas 40%, dan akurasi 86,95% dalam menegakkan diagnosis apendisitis
akut pada anak.

Universitas Sumatera Utara


BAB 5
PEMBAHASAN

Penelitian ini dilakukan secara prospektif pada 23 orang subjek penelitian. subjek
penelitian berdasarkan standard operasional prosedur dikombinasi dengan nilai
PAS. Pasien dengan nilai PAS 1 sampai 5 dianggap bukan apendisitis akut pada
anak dan tidak dilakukan operasi apendektomi. Pasien dengan nilai PAS 6 sampai
10 dianggap menderita apendisitis akut, dilakukan operasi apendektomi, dan
dibandingkan dengan hasil histologi jaringan apendiks pasien.
Risiko menderita apendisitis akut berdasarkan jenis kelamin bervariasi
pada beberapa penelitian. Hasil penelitian ini menunjukkan apendisitis akut pada
anak lebih sering dijumpai pada perempuan daripada laki-laki, dengan
perbandingan 1,25 : 1. Anak perempuan secara signifikan memiliki risiko
menderita apendisitis akut lebih tinggi daripada anak laki-laki (x2 = 4,915, df = 1,
nilai p = 0,038). Hal ini berbeda dengan hasil penelitian Jangra et al. (2013) yang
dilakukan pada 395 anak yang secara histologi terbukti apendisitis akut,
perbandingan laki-laki dengan perempuan adalah 4 : 1. Begitu juga dengan hasil
penelitian Narsule et al. (2011) pada 202 pasien anak yang dilakukan
apendektomi di Amerika Serikat, dimana apendisitis akut pada anak lebih sering
dijumpai pada laki-laki daripada perempuan, dengan perbandingan 1,16 : 1. Hasil
penelitian lainnya menunjukkan bahwa insidensi apendisitis akut pada anak
relatif sama baik pada laki-laki maupun perempuan, yaitu 1,08 : 1 pada penelitian
Saucier et al. (2013), dan 1 : 1 pada penelitian Goulder (2008). Dapat disimpulkan
bahwa terdapat variasi insidensi apendisitis akut pada anak berdasarkan jenis
kelamin. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh perbedaan ras subjek penelitian tempat
dilakukan penelitian apendisitis akut pada anak.
Rata-rata usia subjek penelitian pada kelompok apendisitis akut pada anak
adalah 11,61 + 4,02 tahun. Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan
penelitian Saucier et al. (2013), dimana rata-rata usia apendisitis akut pada anak
10,7 + 3,64 tahun. Begitu juga dengan hasil penelitian Mandeville et al. (2011),
dimana median usia apendisitis akut pada anak adalah 9,8 tahun. Dapat
disimpulkan bahwa insidensi apendisitis akut pada anak paling tinggi pada usia

Universitas Sumatera Utara


belasan tahun. Hal ini sesuai dengan literatur, bila ditinjau dari segi usia, insidensi
apendisitis akut meningkat secara bertahap sejak lahir, mencapai puncak pada usia
belasan tahun, dan menurun secara perlahan-lahan pada lansia. Hal ini karena
hiperplasia limfoid lebih sering dijumpai pada usia tersebut (Craig, 2013).
Keluhan nyeri perut kuadran kanan bawah dijumpai pada 100% subjek
penelitian pada kelompok apendisitis akut pada anak. Hasil penelitian ini juga
tidak jauh berbeda dengan penelitian Samuel (2002), dimana keluhan nyeri perut
kuadran kanan bawah dialami oleh 84% penderita apendisitis akut pada anak.
Begitu juga penelitan Goldman et al. (2008), dimana keluhan nyeri perut kanan
bawah dijumpai pada 80% penderita apendisitis akut pada anak. Adapun
patofisologi nyeri perut kuadran kanan bawah adalah pada apendisitis akut, terjadi
inflamasi pada apendiks, terbentuk eksudat pada permukaan serosa dari apendiks.
Ketika eksudat mencapai peritoneum parietal, timbul nyeri yang lebih intens dan
terlokalisasi pada abdomen kuadran kanan bawah. Hal ini disebut juga gejala
klasik apendisitis (Lee, 2013).
Bila dibandingkan dengan kelompok bukan apendisitis keluhan nyeri perut
kuadran kanan bawah lebih sering dijumpai pada kelompok apendisitis akut pada
anak, namun secara statistik tidak signifikan (nilai p = 0,217). Hal ini karena
keluhan nyeri pada kuadran kanan bawah tidak hanya disebabkan oleh apendisitis
akut pada anak, tetapi juga bisa disebabkan oleh gangguan saluran cerna lain pada
usus, colon, ovarium, saluran kemih, dll. yang juga terletak pada abdomen
kuadran kanan bawah. Hal ini sesuai dengan literatur bahwa walaupun nyeri
abdomen kuadran kanan bawah ditemukan pada 96% pasien, ini bukan merupakan
temuan spesifik (Craig, 2013).
Nyeri saat batuk, perkusi, melompat dijumpai pada 83,3% kelompok
apendisitis akut pada anak. Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan
penelitian Goldman (2008), dimana nyeri saat batuk/ perkusi/ melompat dijumpai
pada 72% penderita apendisitis akut pada anak. Sedangkan penelitian Samuel
(2002), menunjukkan bahwa nyeri saat batuk/ perkusi/ melompat dijumpai pada
96% penderita apendisitis akut pada anak. Keluhan nyeri perut saat batuk/
perkusi/ melompat memiliki hubungan yang paling kuat bila dibandingkan dengan
gambaran klinis lain, namun secara independen tidak memiliki hubungan yang

Universitas Sumatera Utara


signifikan dengan apendisitis akut pada anak (nilai p = 0,089). Hal ini sesuai
dengan literatur bahwa temuan fisik yang paling spesifik pada apendisitis adalah
nyeri lepas, nyeri pada perkusi, dan rigiditas (Craig, 2013).
Demam dijumpai pada 94,4% kelompok apendisitis akut pada anak. Hasil
penelitian ini tidak jauh berbeda dengan penelitian Samuel (2002), dimana demam
dijumpai pada 87% penderita apendisitis akut pada anak. Namun, hasil penelitian
ini berbeda dengan penelitian Goldman (2008), dimana demam hanya dijumpai
pada 59% penderita apendisitis akut pada anak. Dapat disimpulkan bahwa demam
tidak selalu dijumpai pada apendisitis akut pada anak. Hal ini mungkin
disebabkan oleh perbedaan imunitas setiap anak. Pada anak dengan sistem imun
yang kuat, reaksi inflamasi akan lebih hebat dan memicu demam, sedangkan pada
anak dengan sistem imun yang lemah, reaksi inflamasi tidak adekuat sehingga
demam tidak dijumpai. Imunitas anak dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti
status gizi, usia, ada atau tidaknya komorbid lain yang menyebabkan penekanan
sistem imun, dll.
Rerata jumlah leukosit lebih tinggi pada kelompok apendisitis akut pada
anak daripada kelompok bukan apendisitis, yaitu 17.306 + 8.530 /mm3, tetapi
secara statistik tidak signifikan (nilai p = 0,962). Hal ini tidak jauh berbeda
dengan penelitian Samuel (2002), dimana rerata jumlah leukosit dari 734 kasus
apendisitis akut pada anak 15.500 + 500 /mm3. Begitu juga dengan penelitian
Obinna et al. (2011), dimana jumlah leukosit penderita apendisitis akut pada anak
15.900 + 70 /mm3. Berdasarkan tiga penelitian, jumlah leukosit lebih dari 14.900-
15.000 sel/µL memiliki akurasi diagnosis apendisitis yang rendah, dengan
sensitivitas 19-60%, spesifisitas 44-85%, positive likelihood ratio 1-3,7 serta
negative likelihood ratio 0,48-1 (DynaMed, 2013).
Jumlah leukosit lebih dari 10.000/mm3 (leukositosis) lebih sering dijumpai
pada kelompok apendisitis akut pada anak (77,8%), tetapi secara statistik tidak
signifikan (nilai p = 0,392). Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan hasil
penelitian Samuel (2002), dimana leukositosis dijumpai pada 81% penderita
apendisitis akut pada anak. Begitu juga penelitian Goldman et al. (2008), dimana
leukositosis dijumpai pada 88% penderita apendisitis akut pada anak. Hal ini

Universitas Sumatera Utara


sesuai dengan literatur bahwa jumlah leukosit meningkat pada 70 – 90 % kasus
apendisitis akut (Minkes, 2013).
Jumlah leukosit kurang dari 10.000/mm3 dapat mengeksklusi apendisitis
pada anak (level 2 [mid level] evidence). Jumlah leukosit kurang dari 10.000/ mm 3
memiliki negative likelihood ratio 0,35 (DynaMed, 2013). Oleh karena itu, dapat
disimpulkan bahwa peningkatan jumlah leukosit lebih dari 10.000 sel/mikroL
tidak akurat untuk mendiagnosis apendisitis akut pada anak. Hal ini karena
leukositosis tidak hanya disebabkan oleh apendisitis akut pada anak, tetapi juga
disebabkan oleh proses inflamasi dan infeksi lainnya.
Rerata jumlah neutrofil pada kelompok apendisitis akut pada anak lebih
tinggi daripada kelompok bukan apendisitis akut, yaitu 13.184 + 7.260
sel/mikroliter, tetapi secara statistik tidak signifikan (nilai p = 0,763). Peningkatan
jumlah neutrofil lebih dari 7.500 sel/mikroliter lebih sering dijumpai pada
kelompok apendisitis akut pada anak daripada kelompok bukan apendisitis akut,
yaitu , tetapi secara statistik tidak signifikan (nilai p = 0,508). Hasil penelitian ini
tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Samuel (2002), dimana peningkatan
jumlah neutrofil dijumpai pada 80% penderita apendisitis akut pada anak. Begitu
juga dengan penelitian Goldman et al. (2008), dimana peningkatan jumlah
neutrofil dijumpai pada 84% penderita apendisitis akut pada anak. Hal ini sesuai
dengan literatur bahwa jumlah neutrofil kurang dari 7.500/mm3 dapat
mengeksklusi apendisitis pada anak (level 2 [mid level] evidence) (DynaMed,
2013).
Migrasi nyeri dijumpai pada 55,6% penderita apendisitis akut pada anak.
Hasil penelitian ini ini tidak jauh berbeda dengan penelitian Goldman et al.
(2008), dimana migrasi nyeri dijumpai pada 46% penderita apendisitis akut pada
anak. Sedangkan penelitian Samuel (2002) menunjukkan bahwa migrasi nyeri
dijumpai pada 80% penderita apendisitis akut pada anak. Migrasi nyeri nyeri
merupakan gejala klasik apendisitis. Hal ini sesuai dengan literatur bahwa gejala
klasik apendisitis hanya dijumpai pada 55% kasus, yaitu jika apendiks berada di
anterior (Lee, 2013). Gejala diawali oleh nyeri perut di periumbilikus yang
memberat dalam 24 jam. Nyeri menjadi lebih tajam dan berpindah ke fosa iliaka
kanan, lalu menetap (Lee, 2013 dan DynaMed, 2013).

Universitas Sumatera Utara


Mual atau muntah dijumpai pada 66,7% penderita apendisitis akut pada
anak. Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan penelitian Goldman et al.
(2008), dimana mual atau muntah dijumpai pada 75% penderita apendisitis akut
pada anak. Sedangkan penelitian Samuel (2002) menunjukkan bahwa mual atau
muntah dijumpai pada 86% penderita apendisitis akut pada anak.
Penurunan nafsu makan dijumpai pada 72,2% penderita apendisitis akut
pada anak. Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian
Goldman et al. (2008), dimana penurunan nafsu makan dijumpai pada 68%
penderita apendisitis akut pada anak. Sedangkan penelitian Samuel (2002)
menunjukkan bahwa penurunan nafsu makan dijumpai pada 88% apendisitis akut
pada anak.
Mual atau muntah terjadi karena obstruksi apendiks yang terus
berlangsung menyebabkan tekanan intraluminal terus meningkat sehingga terjadi
distensi apendiks. Distensi apendiks merangsang nyeri viseral yang khas di daerah
epigastrik atau periumbilikus karena apendiks dipersarafi oleh pleksus saraf
torakal sepuluh (Saucier, 2013 dan Minkes, 2013). Hal ini menyebabkan
penurunan nafsu makan pada pasien apendisitis akut pada anak.
Apendisitis komplikata lebih banyak dijumpai pada nilai PAS > 9, yaitu
85,71%, sedangkan pada nilai PAS < 9, apendisitis kompikata hanya 18,18%.
Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan penelitian Obinna et al. (2011),
dimana apendisitis komplikata dijumpai sebanyak 63,3% pada nilai PAS lebih
besar atau sama dengan sembilan. Sedangkan pada nilai PAS < 9, apendisitis
komplikata hanya 26,3%. Oleh karena itu, nilai PAS > 9 secara signifikan
memiliki insidensi apendisitis akut komplikata yang lebih tinggi (x2 = 7,901, df =
1, nilai p = 0,009). Hal ini karena pada apendisitis akut komplikata sudah terjadi
peritonitis sehingga respon inflamasi yang timbul lebih hebat yang pada akhirnya
menyebabkan gambaran klinis pasien tampak lebih berat yang ditandai dengan
tingginya nilai PAS penderita apendisitis akut komplikata.
Dari delapan belas subjek penelitian yang dilakukan operasi apendektomi,
tidak satu orangpun yang meninggal karena apendisitis akut yang dideritanya.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa walaupun anak mengalami apendisitis
komplikata, angka mortalitasnya sangat kecil, bahkan mencapai nol persen. Hasil

Universitas Sumatera Utara


penelitian ini sesuai dengan teori bahwa angka mortalitas apendisitis akut pada
anak sangat kecil, yaitu 0,1% sampai 1% (Craig, 2013).
Dengan menggunakan cut off point nilai PAS > 6 sensitivitas PAS untuk
mendeteksi apendisitis akut pada anak yaitu 85,71 %. Hasil penelitian ini tidak
jauh berbeda dengan penelitian Goulder (2008), di mana pada nilai PAS > 6,
sensitivitas PAS sebesar 87%. Spesifisitas nilai PAS > 6 pada penelitian ini juga
tidak jauh berbeda dengan penelitian Goulder (2008), di mana pada penelitian ini
memiliki spesifisitas 40% dan pada penelitian Goulder sebesar 59%. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa akurasi nilai PAS > 6 untuk menegakkan
diagnosis apendisitis akut pada anak sangat baik, yaitu sebesar 86,95%. Oleh
karena itu, PAS dapat direkomendasikan sebagai alat untuk mendiagnosis
apendisitis akut pada anak, terutama pada sarana pelayanan kesehatan primer
dimana alat pencitraan seperti ultrasonografi, apendikogram, dan CT-scan tidak
tersedia.
Kelemahan penelitian ini adalah penelitian ini hanya dilakukan di satu
sentral pelayanan kesehatan, yaitu RSUP Haji Adam Malik sehingga perlu
dilakukan pembuktian hasil penelitian ini pada sentral pelayanan kesehatan
lainnya.

Universitas Sumatera Utara


BAB 6
SIMPULAN DAN SARAN

6.1. Simpulan
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa dengan menggunakan cut off
point nilai PAS > 6, keakuratan PAS untuk mendiagnosis apendisitis akut pada
anak cukup baik, dimana sensitivitas 85,71 %, spesifisitas 40%, dan akurasi
86,95%.
Nilai PAS > 9 secara signifikan memiliki insidensi apendisitis akut
komplikata yang lebih tinggi (x2 = 7,901, df = 1, nilai p = 0,009).

6.2. Saran
Akurasi PAS cukup tinggi sehingga PAS dapat direkomendasikan sebagai alat
untuk mendiagnosis apendisitis akut pada anak, terutama pada sarana pelayanan
kesehatan primer di mana alat pencitraan seperti ultrasonografi, apendikogram,
dan CT-scan tidak tersedia. Namun, mengingat penelitian ini hanya dilakukan
pada satu sentral pelayanan kesehatan, sebaiknya dilakukan pembuktian hasil
penelitian ini pada sentral pelayanan kesehatan lainnya.

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR PUSTAKA

Adelia. Prevalensi apendisitis akut pada anak di rumah sakit Immanuel Bandung
periode Januari-Desember 2011. Bandung. Skripsi, FK Universitas
Kedokteran Maranatha Bandung. 2012.
Appendicitis. In DynaMed [database online]. EBSCO Information Services.
http://search.ebscohost.com/login.aspx?direct=true&site=DynaMed&id=1
15548. Updated November 21, 2013. Accesssed November 28, 2013.
Bahar, Mehrabi M, Jangjoo, et al. Wound infection incidence in patients with
simple ang gangrenous or perforated appendicitis. Archives of Iranian
Med. 2010;13(1):13-16.
Ballester JCA, Sanchez AG, Ballester F. Epidemiology of appendectomy and
appendicitis in the Valencian community (Spain) 1998-2007. Dig Surg.
2009;26:406-412.
Bansal, Samiksha, Benever, et al. Appendicitis in children less than 5 years old:
influence of age in presentation and outcome. The Am J of Surg.
2012;204(6):1031-1035.
Bhatt M. Prospective validation of the pediatric appendicitis score in a Canadian
pediatric emergency department. Montreal. Thesis, McGill University.
2008.
Craig S. Appendicitis. Medscape reference.
http://emedicine.medscape.com/article/773895. Updated November 25,
2013. Accessed December 2, 2013.
Deng Y, David C, Chang, et al. Seasonal and day of the weak variations of
perforated appendicitis in US children. Pediatr Surg Int. 2010;26:691-696.
Eylin. Karakteristik pasien dan diagnosis histologi pada kasus apendisitis
berdasarkan data registrasi depatremen patologi anatomi FKUI RSUPN
Cipto Mangunkusumo pada tahun 2003-2007. Jakarta. Skripsi, FK
Universitas Indonesia. 2009.
Fallon SC, Hassan SF, Larimer EL, et al. Modification of evidence-based protocol
fo advanced appendicitis in children. J of Surg Research.
2013;185(1):273-277.
Goldman RD, Carter S, Stephens D, et al. Prospective validation of pediatric
appendicitis score. J Pediatr. 2008; 153:278-282.
Goulder F and Simpson T. Pediatric appendicitis score: a retrospective analysis. J
Indian Assoc Pediatr Surg. 2008;13(4)125-127.
Groves, Leslie B, Ladd, et al. Comparing the cost and outcomes of laparoscopic
versus appendectomy for perforated appendicitis in children. The Am Surg.
2013;79(9):861-864.
Huckins, David S, Simon, et al. A novel biomarker panel to rule out acute
appendicitis in pediatric patients with abdominal pain. The Am J of Emerg
Med. 2013;31(9):1368-1375.
Ivan CP. Karakteristik penderita apendisitis di RSUP Haji Adam Malik Medan
pada tahun 2009. http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/21908.
Diakses pada tanggal 27 November 2013.
James, Iyore A, Druhan, et al. The presence but not the location of an
appendicolith affects the success of interval appendectomy in children
with ruptured appendicitis. Surg Science. 2011;2(2):39-44.

49

Universitas Sumatera Utara


Jangra, Babita, Jangra, et al. Seasonal and day of weak variations in acute
appendicitis in north Indian children. J of Indian Association of Pediatr
Surg 2013;18(1):42-43.
Jaremko, Jacob L, Crocket, et al. Incidence and significance of inconclusive
results in ultrasound for appendicitis in children and teenagers. Canadian
Association of Radiol J. 2011;62(3):197-202.
Kadhim MM. Appendectomy in pediatrics the value of peritoneal fluid smear and
its bacteriological profile. OJMM. 2012;2:147-152.
Kutasy B, Laxamandass G, Puri P.Is C-reactive protein a reliable test for
suspected appendicitis in extremely obese children? Pediatr Surg Int.
2010;26:123-125.
Lazaro ED. Swedish scientists say antibiotics could replace surgery for
appendicitis. http://www.sci-news.com/medicine/article00620.html.
Updated September 28, 2012. Accessed December 2, 2013.
Lee JH, Park, YS, Choi JS. The epidemiology of appendicitis in south Korea:
national registry data. J Epidemiol. 2010;20(2):97-105.
Lee SL. Vermiform appendix. Medscape reference.
http://emedicine.medscape.com/article/195652-overview. Updated
October 18, 2013. Accessed December 2, 2013.
Legal definition of a child: NSPCC fact sheet. NSPCC Web site.
http://www.nspcc.org.uk/Inform/research/questions/definition_of_a_child.
Updated July, 2013. Accesssed November 28, 2013.
Maki, Alexandra C, Combs, et al. Enterobius vermicularis: a cause of acute
appendicitis in children. The Am Surg. 2012;78(12):E523-524.
Mandeville K, Pottker T, Bulloch B, et al. Using appendicitis scores in the
pediatric emergency department. J.Ajem, 2011;29(9):927-977.
Minkes RK. Pediatric appendicitis. Medscape reference.
http://emedicine.medscape.com/article/926795. Updated April 25, 2013.
Accessed December 2, 2013.
Narsule, Chaitan, Kahle, et al. Effect of delay in presentation on rate of
perforation in children with appendicitis. The Am J of Emerg Med.
2011;29(8):890-893.
Obinna O, Adibe, Oliver J, et al. Severity of appendicitis corelates with the
pediatric appendicitis score. Pediatr Surg Int. 2011;27:655-658.
Oguntola A, Adeoti M, Oyemolade T. Appendicitis: trends in incidence, age, sex,
and seasonal variations in south-western Nigeria. Annals of African Med.
2010;9(4):213-217.
Pediatric appendicitis/appendectomy evidence review. The Medical University of
South Carolina Library website.
http://musc.libguides.com/evidencereviewpedsappy. Updated July 9, 2013.
Accesssed November 28, 2013.
Samuel M. Pediatric appendicitis score. J of Pediatr Surg. 2002;37(6):877-881.
Sastroasmoro S, Ismael S. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis. Edisi ke-3.
Jakarta, Indonesia: Sagung Seto; 2008.
Saucier A, Eunice Y, Huang, et al. Prospective evaluation of a clinical pathway
for suspected appendicitis. Pediatrics. 2013;e88-e95.

Universitas Sumatera Utara


Schietroma, Mario, Piccione, et al. Peritonitis from perforated appendicitis: stress
response after laparoscopic or open treatment. The Am Surg.
2012;78(5):582-590.
Sitorus ASN. Karakteristik letak perforasi dan usia pada pasien yang didiagnosis
menderita apendisitis perforasi di RSUPN Cipto Mangunkusumo antara
tahun 2005 hingga 2007. Jakarta. Skripsi, FK Universitas Indonesia. 2009.
Smallman-Raynor MR, Cliff AD, Ord JK. Common scute childhood infections
and appendicitis: a historical study of statistical association in 27 English
public boarding schools, 1930-1934. Epidemiol and Infection.
2010;138(8):1155-1165.
Utama HSY. Digestive surgery serie: appendicitis (sign, symptoms, etiology,
definition, diagnosis and management).
http://www.dokterbedahherryyudha.com/2012/04/appendicitis-sign-
symptoms-etiology.html. Updated April 11, 2012. Accessed December 2,
2013.
Varadhan KK, Humes DJ, Neal KR, Lobo DN. Antibiotic therapy versus
appendectomy for acute appendicitis: a meta-analysis. World J Surg.
2010;34:199-209.
Victor Y, Kong, Bulajic B, et al. Acute appendicitis in a developing country.
World J Surg. 2012;36:2068-2071.
Wesson DE, Singer JI, Wiley JF. Acute appendicitis in children.
http://www.uptodate.com/contents/acute-appendicitis-in-children-cli...
Updated July 25, 2014. Accesssed August 07, 2014.
Zadeh. Appendicitis. Zadeh Surgical Inc Web site.
http://www.zadehsurgical.com/general-surgery-services-
encino/appendicitis. Accessed December 2, 2013.

Universitas Sumatera Utara


Lampiran 1
Evidence Levels and Strength of Recommendations

Evidence Levels
1. Evidence obtained from > 1 randomized controlled clinical trial and/or
systematic review of randomized trials.
2. Evidence obtained from only 1 well-designed randomized clinical trial.
3. Evidence obtained from nonrandomized cohort studies with a control group
(either concurrent or historical) or a meta-analysis of such studies.
4. Evidence obtained from retrospective studies, such as case-control studies, or
meta-analysis of such studies.
5. Evidence obtained from case series withaout a control group.
6. Evidence based on the opinion of experts or committees of experts, as
indicated in guidelines or consensus conferences, or based on the opinion of
members of the guideline development working group.

Strength of Recommendations
A. Strong recommendation in favor of a particular procedure or diagnostic test;
recommendation is supported by good-quality scientific evidence, although
not necessarily type 1 or 2.
B. It is doubtful that the particular procedure or intervention should always be
recommended, but it should always be carefully taken into consideration.
C. It is uncertain whether the procedure or intervention should or should not be
recommended.
D. The procedure or intervention is not recommended.
E. The procedure or intervention is strongly discouraged.

Universitas Sumatera Utara


Lampiran 2
Susunan Peneliti

Peneliti
Nama Lengkap : dr. Radhitya Eko Satria
Pangkat/ Gol./ NIP :-
Jabatan Fungsional : PPDS Departemen Ilmu Bedah
Fakultas : Kedokteran
Perguruan Tinggi : Universitas Sumatera Utara

Pembimbing I
Nama Lengkap : dr. Erjan Fikri, MKed. (Surg.), Sp.B.,
Sp.BA Pangkat/ Gol./ NIP : -/ IV c / 19630127 198911 1 001
Jabatan Fungsional : Staf Departemen Ilmu Bedah FK
USU Fakultas : Kedokteran
Perguruan Tinggi : Universitas Sumatera Utara
Bidang Keahlian : Ilmu Bedah Anak

Pembimbing II
Nama Lengkap : dr. Iqbal Pahlevi Nasution, Sp.BA
Pangkat/ Gol./ NIP : -/ IV a / 19730721 200912 1 001
Jabatan Fungsional : Staf Departemen Ilmu Bedah FK
USU Fakultas : Kedokteran
Perguruan Tinggi : Universitas Sumatera Utara
Bidang Keahlian : Ilmu Bedah Anak

Universitas Sumatera Utara


Lampiran 3
Anggaran Penelitian

No. Uraian Jumlah


1 Honorarium Rp 1.800.000,-
2 Print literatur, pembuatan proposal penelitian, Rp 1.500.000,-
dan pembuatan laporan penelitian
3 Fotokopi kuesioner, lembar penjelasan, dan Rp 30.000,-
persetujuan subjek penelitian (3 lembar x 200
x 50 rangkap)
4 Penggandaan proposal dan laporan penelitian Rp 1.500.000,-
Total Rp 4.830.000,-

Universitas Sumatera Utara


Lampiran 4
Jadwal Penelitian

Tahun 2014 Tahun


2015
Bulan
6 7 8 9 10 11 12 1 2
Pencarian literatur
Pembuatan proposal
penelitian
Pelaksanaan penelitian
Penyusunan hasil
Penelitian
Publikasi hasil penelitian

Universitas Sumatera Utara


Lampiran 5

LEMBAR PENJELASAN KEPADA CALON SUBJEK PENELITIAN

Bapak/ Ibu yang terhormat, saya dr. Radhitya Eko Satria, peserta Program Pendidikan
Dokter Spesialis Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Saat ini
melakukan penelitian untuk Tesis saya yang berjudul : Keakuratan Pediatric
Appendicitis Score dalam Menegakkan Diagnosis Apendisitis Akut pada Anak di
RSUP H.Adam Malik Medan
Dalam penelitian ini, keluarga Bapak/ Ibu yang diduga menderita appendisitis
akut akan dilakukan wawancara, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratoroium darah
rutin, urin rutin, dan foto toraks sebelum dilakukan tindakan operasi usus buntu. Jaringan
usus buntu tersebut akan diperiksakan ke laboratorium patologi anatomi untuk
memastikan diagnosis apendisitis akut.
Adapun tujuan dari penelitian saya ini adalah untuk mengetahui keakuratan
Pediatric Appendicitis Score yang dihitung berdasarkan hasil wawancara, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan laboratorium darah rutin dalam mendiagnosis appendisitis akut
pada anak. Manfaat yang dapat diperoleh dari hasil penelitian saya ini adalah pasien dapat
dideteksi secara cepat dan tepat kecurigaan apendisitis akut pada anak, terhindar dari
pemeriksaan penunjang yang berlebihan dalam menegakkan apendisitis akut, serta
meminimalkan kemungkinan tindakan operasi apendektomi yang seharusnya tidak
diperlukan pada apendiks normal, sehingga mengurangi morbiditas, biaya pengobatan,
dan appendektomi negatif pada pasien anak dengan kecurigaan appendisitis akut.
Karena penelitian ini mengambil sampel pasien-pasien yang memang harus
dilakukan pemeriksaan tersebut bila diindikasikan, maka biaya pemeriksaan darah rutin,
urin rutin, foto toraks, dan histopatologi ditanggung oleh Pemerintah/ RSUP H.Adam
Malik Medan bila Bapak/ Ibu merupakan peserta BPJS dan Askes. Namun, bila peserta
umum atau pribadi, biaya pemeriksaan tersebut akan ditanggung oleh Bapak/ Ibu.
Pada penelitian ini identitas subjek disamarkan. Hanya dokter peneliti, anggota
peneliti dan anggota komisi etik yang bisa melihat data subjek yang diteliti. Kerahasiaan
data subjek akan dijamin sepenuhnya. Partisipasi subjek dalam penelitian ini bersifat
sukarela, tanpa paksaan pihak manapun.
Saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak/ Ibu atas
kesediaannya untuk dilakukan pemeriksaan ini. Bila ada keluhan setelah dilakukan
pemeriksaan, maka dapat menghubungi saya, Nama : dr. Radhitya Eko Satria, nomor HP:
08126006259, Alamat: Komplek Puri Zahara no.C-45 Medan. Peneliti akan bertanggung
jawab dan membantu mengatasi keluhan tersebut. Atas perhatian Bapak/Ibu, diucapkan
terima kasih.

Hormat saya,
Peneliti

dr. Radhitya Eko Satria

Universitas Sumatera Utara


Lampiran 6
Persetujuan Setelah Penjelasan (PSP)

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :


Nama : ………………………..……
Umur : ……… tahun L/P
Alamat :…..........…………………………………….............................................
Hubungan kerabat dengan pasien : Ibu/ Bapak/ Wali
Dengan ini menyatakan dengan sesungguhnya telah memberikan

PERSETUJUAN

Untuk dilakukan wawancara, pemeriksaan fisik, pemeriksaan darah rutin, urin rutin, foto
toraks, serta pemeriksaan histopatologi jaringan appendiks (bila dilakukan operasi usus
buntu) terhadap pasien:
Nama : ...............................................
Umur : ..............tahun L/P
Alamat :………..……………………………………….........................................
yang tujuan dan manfaat pemeriksaan tersebut, serta risiko yang dapat ditimbulkannya
telah dijelaskan oleh dokter dan telah saya mengerti sepenuhnya.
Demikian pernyataan persetujuan ini saya buat dengan penuh kesadaran dan tanpa
paksaan.

Medan,............................2015
Yang memberikan penjelasan Yang membuat pernyataan persetujuan

dr. .......................................... ………………………..................…...

Universitas Sumatera Utara


Lampiran 7
Formulir Penelitian
No.Register Penelitian:.....................
Pediatric Apendisitis Scoring System
Indikator Diagnostik Nilai Skor

Nyeri saat batuk/ perkusi/ melompat 2

Penurunan nafsu makan 1


Peningkatan suhu tubuh > 38,0 oC(.......................oC) 1
Mual/ muntah 1
Nyeri perut kuadran kanan bawah 2
Leukositosis > 10.000/mm3 (..................../mm3) 1
Neutrofilia > 7.500 sel/mikroL(........................%) 1
Migrasi nyeri 1
Total ..........

Keterangan Subjek Penelitian


Nomor Rekam Medis :...........................
Nama :.............................................................................................
Tgl.Lahir/Usia :.............................................................................................
Jenis kelamin : Laki-laki / Perempuan
Alamat :............................................................................................
.............................................................................................
No.Telp./HP :...........................................................................................
Apendektomi : Tidak / Ya: Laporan operasi: ..........................................
............................................................................................
Hasil Histopatologi* :...........................................................................................
jaringan apendiks ............................................................................................
............................................................................................
Hasil urinalisis :...........................................................................................
............................................................................................
Hasil foto toraks :...........................................................................................
............................................................................................
Keadaan saat keluar RS: PBJ / Exitus

Universitas Sumatera Utara


Lampiran 8
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

1. Nama : dr. Radhitya Eko Satria


2. Tempat / Tanggal Lahir : Medan, 5 Oktober 1982
3. Pangkat / Golongan :-
4. Jabatan : PPDS Departemen Ilmu Bedah
5. Alamat : Komplek Puri Zahara no. 45
Medan Jl. Rinte Raya Kota Medan
6. Pendidikan :
a. SD : 1988-1994, SD Harapan 2 Medan
b. SLTP : 1994-1997, SLTP Harapan 1 Medan
c. SLTA : 1997-2000, SMU Negeri 2 Medan
d. S1 : 2000-2007, Fakultas Kedokteran UISU Medan
e. S2 : Januari 2009 s/d sekarang, Fakultas Kedokteran USU Medan
7. Pelatihan / Kursus :
a. Tahun 2008: Kursus ATLS diselenggarakan oleh Departemen Ilmu Bedah
FK USU di Medan, ACLS diselenggarakan oleh Departemen Kardiologi
FK USU di Medan.
b. Tahun 2009: Kursus BSS I, Wound and Stoma Care, TNT, Perioperative
Care diselenggarakan Kolegium Ilmu Bedah Indonesia, BITDEC di Bali.
c. Tahun 2012: Kursus BSS II diselenggarakan oleh Kolegium Ilmu Bedah
Indonesia, BITDEC di Bali.
d. Tahun 2013: Kursus DSTC & ACS diselenggarakan oleh Kolegium Ilmu
Bedah Indonesia di Jakarta, serta Program Pengembangan Pendidikan
Keprofesian Berkelanjutan Ultrasonografi pada Trauma Abdomen dan
Trauma Toraks diselenggarakan Kolegium Ilmu Bedah Indonesia di
Jakarta.
e. Tahun 2014: Kursus Endoskopi diselenggarakan oleh Kolegium Ilmu
Bedah Indonesia di Bali.

Medan, Januari 2015

dr. Radhitya Eko Satria

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai