Anda di halaman 1dari 80

IMUNOGENISITAS VAKSIN INAKTIF WHOLE CELL Edwardsiella tarda

PADA IKAN KOI (Cyprinus carpio)

TESIS

Oleh :
M. EKA SUPRIYA DANNY
NIM. 146080100011002

PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN


MINAT PENYAKIT IKAN

PROGRAM PASCASARJANA
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
IMUNOGENISITAS VAKSIN INAKTIF WHOLE CELL Edwardsiella tarda
PADA IKAN KOI (Cyprinus carpio)

TESIS

Untuk Memenuhi Persyaratan


Memperoleh Gelar Magister

Oleh :

M. EKA SUPRIYA DANNY


NIM. 146080100011002

PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN


MINAT PENYAKIT IKAN

PROGRAM PASCASARJANA
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017

ii
TESIS

IMUNOGENISITAS VAKSIN INAKTIF WHOLE CELL Edwardsiella tarda PADA


IKAN KOI (Cyprinus carpio)

Oleh
M. EKA SUPRIYA DANNY
Nim. 146080100011002

Telah dipertahankan di depan Penguji


Pada tanggal 10 Juli 2017
Dan dinyatakan telah memenuhi syarat

Menyetujui,
Komisi Pembimbing

Ketua Anggota

Prof. Dr. Ir. Sri Andayani, MS Dr. Uun Yanuhar, S.Pi, M.Si
NIP. 19611106 198602 2 001 NIP. 19730404 200212 2

Mengetahui,
Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Dr. Ir. Happy Nursyam, MS


NIP. 19600322 198601 1 001

iii
JUDUL TESIS:

IMUNOGENISITAS VAKSIN INAKTIF WHOLE CELL Edwardsiella tarda


PADA IKAN KOI (Cyprinus carpio)

Nama Mahasiswa : M. Eka Supriya Danny


NIM : 146080100011002
Program Studi : Budidaya Perairan
Minat : Penyakit Ikan

KOMISI PEMBIMBING
Ketua : Prof. Dr. Ir. Sri Andayani, MS
Anggota : Dr. Uun Yanuhar, S.Pi, M.Si

KOMISI PENGUJI
Penguji 1 : Dr. Ir. Muhammad Fadjar, M.Sc
Penguji 2 : Dr. Ir. Maftuch, M.Si

Tanggal Ujian Thesis : 10 Juli 2017


SK Penguji : 087/UN10.F06.14.21/PP/2017

iv
PERNYATAAN
ORISINALITAS TESIS

Saya menyatakan dengan sebenar - benarnya bahwa sepanjang

pengetahuan saya, di dalam Naskah Tesis ini tidak terdapat karya ilmiah yang

pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik di suatu

Perguruan Tinggi, dan tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau

diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis dikutip dalam naskah ini

dan disebutkan dalam sumber kutipan dan daftar pustaka.

Apabila ternyata di dalam naskah Tesis ini dapat dibuktikan terdapat unsur

- unsur PLAGIASI, saya bersedia Tesis (MAGISTER) dibatalkan, serta diproses

sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (UU No. 20 Tahun

2003, pasal 25 ayat 2 dan pasal 70).

Malang,
Penulis

M. Eka Supriya Danny


NIM. 146080100011002

v
Dan Dia-lah, Allah yang menundukkan lautan (untukmu) agar kamu dapat
memekan daripada-Nya daging yang segar (ikan), dan kamu mengeluarkan
dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai; dan kamu melihat bahtera
berlayar pada-Nya, dan supaya kamu mencari (keuntungan) dari karunia-Nya,
dari supaya kamu bersyukur. (Terjemahan QS. An Nahl [16] : 14)

Karya Ilmiah ini saya persembahkan untuk


Keluarga tercinta, serta almamater tercinta.

vi
RIWAYAT HIDUP

Muhammad Eka Supriya Danny lahir di Jombang pada

tanggal 22 Juli 1992 dari pasangan suami-istri M. Ali

Imron dan Supriyati. Penulis merupakan anak pertama

dari tiga bersaudara. Penulis pernah mengenyam

pendidikan di TK Tinggar, Jombang pada tahun 1996-

1998. Pendidikan Sekolah Dasar diselesaikan di SDN 1

Tinggar, Kecamatan Bandarkedungmulyo, Jombang

pada tahun 1998-2004. Pendidikan Sekolah Menengah Pertama diselesaikan di

SMPN 1 Perak, Jombang pada tahun 2004-2007. Pendidikan Sekolah Menengah

Atas diselesaikan di SMAN 1 Jombang pada tahun 2007-20010. Pendidikan Strata

1 (S1) diselesaikan di Pogram Studi Budidaya Perikanan, Jurusan Manajemen

Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Unversitas

Brawijaya, Malang pada tahun 2010-2014. Saat ini penulis sedang menyelesaikan

Pendidikan Strata (S2) Program Magister Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan

dan Ilmu Kelautan, Unversitas Brawijaya Malang pada tahun 2014-2017. Saat

menempuh program S1 SHQXOLV PHPEXDW WXJDV DNKLU \DQJ EHUMXGXO ³Pengaruh

Pemberian Ekstrak Daun Binahong (Andredera cordifolia (Ten.) Steenis) Untuk

Meningkatkan Jumlah Leukosit dan Aktivitas Fagositosis Ikan Koi (Cyprinus

carpio) yang Diinfeksi Bakteri Aeromonas hydrophila´6DDWPHQHPSXKSURJUDP

S2 penulis membuat tesis yang berjuduO³Imunogenisitas Vaksin Inaktif Whole Cell

Edwardsiella tarda Pada Ikan Koi (Cyprinus carpio)´

vii
UCAPAN TERIMAKASIH

Tesis ini disusun atas bantuan dan dukungan dari banyak pihak. Oleh

karena ini penulis menyampaikan rasa terimakasih sebesar-besarnya kepada:

1. Allah SWT, Sang Penerang Kehidupan, yang sangat menyayangi hamba-Nya

serta memberikan banyak kemudahan pada penulis selama ini, khususnya

dalam penyelesaian laporan tesis ini.

2. Kepada Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) yang telah

memberikan beasiswa dana peneleitian Tesis tahun 2016, yang dimana

diharapkan hasil penelitian ini dapat bermanfaat sebagai sumber informasi

untuk kemajuan industri perikanan di Indonesia.

3. Keluarga besar yang tak hentinya memberi sumbangan materi dan moril

kepada penulis selama menyelesaikan pendidikan.

4. Prof. Dr. Ir. Sri Andayani, M.Si. dan Dr. Uun Yanuhar, S.Pi, M.Si. selaku komisi

pembimbing, atas segala bantuan dan bimbingan selama penyusunan

rancangan proposal sampai penyusunan laporan tesis ini.

5. Dr. Ir. Muhammad Fadjar, M.Sc. dan Dr. Ir. Maftuch, M.Si. selaku dosen

penguji atas masukan dan arahannya.

6. Pak Zainudin, Mbak Titin, dan Mbak Reni yang telah mengizinkan penulis

untuk melakukan analisis sampel di laboratorium dan banyak membantu

penulis selama penelitian.

7. Khususnya penulis memberikan ucapan terima kasih banyak kepada Huriyatul

Fitriyah Noor selaku tim penelitian yang sudah sabar membantu dalam segala

proses tahapan tesis ini dari proposal, penelitian hingga terselesaikannya

laporan.

viii
8. Teman-teman Magister 2014 dan 2015 terimakasih banyak atas

kebersamaan, semangat dan sumbangsih dalam bentuk apapun yang telah

diberikan selama masa-masa pendidikan.

ix
RINGKASAN

M. Eka Supriya Danny. Imunogenitas Vaksin Inaktif Whole Cell


Edwardsiella tarda Pada Ikan Koi (Cyprinus carpio). (di bawah bimbingan
Prof. Dr. Ir. Sri Andayani, MS. dan Dr. Uun Yanuhar, S.Pi, M.Si.)

Vaksinasi merupakan salah satu cara yang paling efektif untuk


menanggulangi masalah penyakit Edwardsiellosis dari bakteri Edwardsiella tarda
pada budidaya benih ikan koi (Cyprinus carpio) yang memiliki nilai ekonomis tinggi,
karena vaksinasi dapat meningkatkan sistem imun non spesifik dan spesifik ikan.
Oleh karena itu perlu dilakukannya penelitian, untuk mengetahui imunogenisitas
vaksin inaktif E. tarda pada ikan koi (C. carpio) yang terinfeksi bakteri E. tarda.
Penelitian ini terdiri dari 2 tahap, yaitu Tahap I dilakukan pembuatan vaksin dengan
metode head kill pada suhu 100-115°C selama 10-30 menit dan dilakukannya uji
viabilitas serta uji patogenitas dari vaksin tersebut. Dan pada Tahap II dilakukan
vaksinasi untuk mengetahui imunogenisitas vaksin dengan dilakukan pengamatan
parameter imunologi seperti: titer antibodi, imunohistokimia, aktivitas fagositosis,
diferensial leukosit, RPS dan kualitas air. Dari hasil uji viabilitas, pembuatan vaksin
dengan suhu 115°C selama 30 menit menghasilkan hasil viabilitas sebesar 0%
dan tingkat patogenitas negatif. Dan untuk parameter imunologinya, perlakuan C
dengan dosis vaksin  sel/mL memberikan nilai terbaik pada setiap parameter
dengan rata-rata nilai titer antibodi sebesar 2.16 ± 0.39, nilai imunohistokimia
tertinggi pada ginjal sebesar 64.67 ± 8.73% (Positive) dan pada limpa sebesar
78.10 ± 6.22% (High positive), nilai diferensial leukosit 2 minggu setelah vaksinasi
sebesar limfosit: 83.33 ± 4.04%; monosit: 12.00 ± 4.58%; neutrofil: 4.67 ± 0.58%
dan setelah uji tantang sebesar limfosit: 67.33 ± 3.79%; monosit: 28.00 ± 3.00%;
neutrofil: 4.67 ± 1.53%, untuk nilai aktivitas fagositosis sebelum dan sesudah uji
tantang sebesar 43,28 ± 0,11% dan 35,10 ± 5,19% dan untuk nilai relative percent
survival (RPS) setelah vaksinasi dan setelah uji tantang masing-masing sebesar
94,12% dan 83,33%. Dari hasil penelitian ini, dosis vaksin inaktif whole cell E. tarda
sebesar  sel/mL memberikan hasil terbaik untuk meningkatkan sistem imun
spesifik pada ikan koi (C. carpio) yang terseang penyakit Edwardsiellosis. Dan dari
hasil tersebut diharapkan dapat diterapkan untuk diaplikasikan di dunia budidaya
ikan koi, dan selain itu juga dapat digunakan sebagai sumber informasi untuk
dilakukannya penelitian lebih lanjut.

Kata kunci: Imunogenisitas, vaksin inaktif E. tarda, ikan koi (C. carpio), uji
viabilitas, titer antibodi, imunohistokimia, diferensial leukosit,
aktivitas fagositosis, RPS.

x
SUMMARY

M. Eka Supriya Danny. Immunogenity Inactive Edwardsiella tarda Whole Cell


Vaccine on Koi Fish (Cyprinus carpio). (Guided by Prof. Dr. Ir. Sri Andayani,
MS., and Dr. Uun Yanuhar, S.Pi, M.Si.)

Vaccination is one of the most effective ways to cope with Edwardsiellosis


disease problems from Edwardsiella tarda bacteria on koi fish cultivation (Cyprinus
carpio) which has high economic value, because vaccination can improve non
specific and specific fish immune systems. Therefore it is necessary to do
research, to know immunogenicity of inactivated vaccine E. tarda in koi fish (C.
carpio) infected by E. tarda bacteria. This research consisted of 2 stages, namely
Phase I was made vaccine with head kill method at temperature 100-115 ° C for
10-30 minutes and doing viability test and pathogenity test from vaccine. And in
Phase II, vaccination is done to determine immunogenicity of vaccine by
observation of immunological parameters such as: antibody titer,
immunohistochemistry, phagocytosis activity, leukocyte differential, RPS and
water quality. From the results of the viability test, vaccine manufacture with a
temperature of 115 ° C for 30 minutes yielded a viability result of 0% and a negative
pathogenity level. And for immunologic parameters, treatment of C with dose of
vaccine  cell/mL gives the best value on each parameter with average antibody
titer value of 2.16 ± 0.39, the highest immunohistochemical value in the kidney is
64.67 ± 8.73% (Positive) and in the spleen of 78.10 ± 6.22% (High positive),
leukocyte differential values 2 weeks after vaccination of lymphocyte: 83.33 ±
4.04%; Monocytes: 12.00 ± 4.58%; Neutrophils: 4.67 ± 0.58% and after a challenge
test of lymphocytes: 67.33 ± 3.79%; Monocytes: 28.00 ± 3.00%; Neutrophils: 4.67
± 1.53%, for the value of phagocytic activity before and after the challenge test of
43.28 ± 0.11% and 35.10 ± 5.19% and for the relative percent survival (RPS) after
vaccination and after the challenge test - 94.12% and 83.33% respectively. From
the results of this study, the inactivated dose of inactivated E. tarda whole cell
vaccine for  cell/mL gave the best results for improving the specific immune
system in koi fish (C. carpio) affected by Edwardsiellosis disease. And from the
results are expected to be applied to be applied in the world of koi fish culture, and
besides it can also be used as a source of information for further research.

Keywords: Immunogenicity, inactivated E. tarda vaccine, koi fish (C. carpio),


viability test, antibody titer, immunohistochemistry, leucocyte
differential, phagocytosis activity, RPS.

xi
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan

karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis dengan judul

³Imunogenisitas Vaksin Inaktif Whole Cell Edwardsiella tarda Pada Ikan Koi

(Cyprinus carpio)´Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

gelar Magister di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya.

Penulis menyadari bahwa dalam Tesis ini masih terdapat banyak

kekurangan. Akhirnya, semoga dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu

pengetahuan perikanan khususnya bagi kami pribadi dan pembaca.

Malang, 12 Juni 2017

Penulis

xii
DAFTAR ISI

Halaman

RINGKASAN..................................................................................................... x
SUMMARY ........................................................................................................ xi
KATA PENGANTAR ......................................................................................... xii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... x
DAFTAR TABEL ............................................................................................... xi

I. PENDAHULUAN ......................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ...................................................................................... 1
1.2 Rumusan masalah ................................................................................ 3
1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................... 4
1.4 Hipotesis ............................................................................................... 4
1.5 Manfaat Penelitian ................................................................................. 4
1.6 Tempat dan Waktu Penelitian ................................................................ 5
II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................. 6
2.1 Vaksin ................................................................................................... 6
2.1.1 Tujuan dan Manfaat Vaksinasi ..................................................... 6
2.1.2 Jenis dan Sifat Vaksin .................................................................. 7
2.1.3 Cara Vaksinasi .............................................................................. 7
2.1.4 Preparasi vaksin Konvensional ..................................................... 8
2.1.5 Mekanisme Kerja Vaksin Inaktif..................................................... 9
2.1.6 Pengukuran Efektivitas Vaksin ...................................................... 12
2.2 Bakteri Uji .............................................................................................. 12
2.2.1 Bakteri Edwardsiella tarda ............................................................ 12
2.2.2 Infeksi dan Tanda Penyerangan ................................................... 14
2.3 Biologi Ikan Koi (Cyprinus carpio)........................................................... 14
2.3.1 Klasifikasi dan Morfologi ............................................................... 14
2.3.2 Habitat dan Daerah Penyebaran ................................................... 15
2.3.3 Perkembangbiakan ....................................................................... 16
2.3.4 Makanan dan Kebiasaan Makan ................................................... 17
2.4 Imunologi Ikan ....................................................................................... 18
2.4.1 Sistem Imun Non Spesifik Ikan ..................................................... 19
2.4.2 Sistem Imun Spesifik Ikan ............................................................. 20
2.5 Darah Ikan ............................................................................................. 22
2.5.1 Leukosit ........................................................................................ 22
2.6 Imunohistologi ........................................................................................ 23

III. KERANGKA KONSEP PENELITIAN .......................................................... 25

xiii
3.1 Landasan Teori ...................................................................................... 25
3.2 Kerangka Konsep Penelitian ................................................................. 26
3.3 Kerangka Operasional Penelitian .......................................................... 28
IV.METODE DAN MATERI PENELITIAN ......................................................... 31
4.1 Materi Penelitian .................................................................................... 31
4.1.1 Alat Penelitian .............................................................................. 31
4.1.2 Bahan Penelitian .......................................................................... 31
4.2 Metode penelitian .................................................................................. 31
4.3 Rancangan Penelitian ........................................................................... 32
4.4 Prosedur Penelitian ............................................................................... 33
4.4.1 Persiapan Wadah.......................................................................... 33
4.4.2 Adaptasi Ikan Uji ........................................................................... 33
4.4.3 Pembuatan Vaksin ........................................................................ 34
4.4.4 Vaksinasi....................................................................................... 34
4.4.5 Uji Tantang.................................................................................... 35
4.4.6 Pengukuran Kualitas Air ................................................................ 35
4.5 Parameter Penelitian ............................................................................. 36
4.5.1 Titer Antibodi ................................................................................. 36
4.5.2 Imunohistokimia............................................................................. 37
4.5.3 Diferensial Leukosit ....................................................................... 38
4.5.4 Aktivitas Fagositosis ...................................................................... 38
4.5.5 Relative Percent Survival (RPS) .................................................... 39
4.6 Analisa Data........................................................................................... 40
V. HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................ 41
5.1 Uji Viabilitas Vaksin ................................................................................ 41
5.2 Titer Antibodi .......................................................................................... 42
5.3 Imunohistokimia .................................................................................... 47
5.4 Diferensial Leukosit ............................................................................... 51
5.5 Aktivitas Fagositosis .............................................................................. 55
5.6 Relative Percent Survival (RPS) ............................................................ 60
5.7 Kualitas Air ............................................................................................. 63
VI.KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................................ 65
6.1 Kesimpulan ............................................................................................. 65
6.2 Saran ...................................................................................................... 65

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 66


LAMPIRAN ....................................................................................................... 74

xiv
DAFTAR GAMBAR

Gambar ...................................................................................................... Halaman

1. Inisiasi respon vaksin ............................................................................. 10


2. Sistem sel imun...................................................................................... 11
3. Ikan koi (Cyprinus carpio)....................................................................... 15
4. Induk betina dan jantan ikan koi (Cyprinus carpio) ................................. 17
5. Sistem imun ikan.................................................................................... 19
6. Sel darah ikan mas ................................................................................ 23
7. Diagram alur konseptual penelitian ........................................................ 27
8. Diagram alur operasional penelitian tahap 1 .......................................... 28
9. Diagram alur operasional penelitian tahap 2 .......................................... 30
10. Denah penelitian .................................................................................... 33
11. Grafik hubungan antara nilai viabilitas dengan suhu dan waktu ............. 41
12. Pewarnaan bakteri dan media uji viabilitas............................................. 42
13. Niai titer antibodi selama penelitian ........................................................ 44
14. Nilai imunohistokimia ginaj dan limpa ikan koi ........................................ 48
15. Profil imunohistokimia ginjal ikan koi ..................................................... 49
16. Profil imunohistokimia limpa ikan koi ..................................................... 49
17. Diferensial leukosit selama penelitian..................................................... 54
18. Histogram aktivitas fagositosis ............................................................... 56
19. Grafik hubungan pemberian vakisin terhadap aktivitas fagositosis ......... 58
20. Aktivitas fagositosis................................................................................ 59
21. Histogram RPS setelah vaksinasi dan setelah infeksi bakteri................. 61
22. Histogram SR setelah vaksinasi dan setelah infeksi bakteri ................... 62
23. Morfologi tubuh ikan selama pemeliharaan ............................................ 62

xv
DAFTAR TABEL

Tabel ....................................................................................................... Halaman

1. Rancangan Perlakuan............................................................................ 33
2. Kualitas Air yang Optimum untuk Ikan Koi.............................................. 35
3. Pembacaan nilai titer antibodi ................................................................ 37
4. Hasil uji viabilitas.................................................................................... 41
5. Titer antibodi pada ikan koi (-log2) ......................................................... 43
6. Nilai imunohistokimia pada ikan koi yang divaksinasi ............................. 47
7. Nilai Diferensial leukosit ikan koi selama penelitian ................................ 51
8. Rata-rata aktivitas fagositois (%) ikan koi selama penelitian................... 55
9. Nilai survival rate dan relative percent survival (RPS) ............................ 60
10. Parameter kualitas air ............................................................................ 64

xvi
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran........................................................................................... Halaman

1. Dokumentasi penelitian .......................................................................... 74


2. Bagan alur pembuatan vaksin ................................................................ 76
3. Uji viabilitas ............................................................................................ 77
4. Titer antibodi .......................................................................................... 80
5. Imunohistokimia ..................................................................................... 81
6. Diferensial leukosit ................................................................................. 84
7. Aktivitas fagositosis................................................................................ 85
8. Survival rate (SR) dan relative percent survival (RPS) ........................... 89

xvii
1

1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Perkembangan penanggulangan penyakit dalam budidaya ikan lebih

cenderung memilih cara pencegahan dengan strategi vaksinasi yang dapat secara

spesifik melindungi ikan dari jenis patogen tertentu. Berbagai usaha pengendalian

penyakit ikan, terbukti vaksinasi adalah pengendalian penyakit yang paling baik

(Passarela, 2006). Menurut Purwaningsih et al., (2014) Vaksinasi merupakan

upaya untuk meningkatkan respons imun terhadap patogen tertentu yang

berdasarkan pada dua elemen imunitas adaptif yaitu spesifitas dan memori.

Pengendalian penyakit menggunakan vaksinasi sangat efektif bila di

kombinasikan dengan mengaplikasikan sistem manajemen teknik budidaya dan

dapat menghasilkan produksi budidaya yang lebih tinggi. Tetapi produksi budidaya

khususnya benih ikan koi (C. carpio) dengan nilai ekonomis tinggi (Utami, 2013;

Zubaidah, 2013) ini banyak terkendala akibat serangan penyakit bakterial seperti

penyakit Edwardsiellosis akibat infeksi bakteri E. tarda (Firma et al., 2013; Li et al.,

2015).

Bakteri E. tarda merupakan jenis bakteri gram negatif yang hidup pada air

laut maupun air tawar (KIPM 1 Batam, 2014) dengan struktur dinding sel lebih

kompleks, yakni pada bagian luar peptidoglikan terkandung tiga polimer yaitu

lipoprotein, selaput luar dan lipopolisakarida (Jawetz, et al., 1995) dan penyebab

penyakit Edwardsiellosis. Penyakit Edwardsiellosis ini merupakan penyakit yang

mengakibatkan penyumbatan darah pada sirip dan pendarahan kecil pada

permukaan tubuh (Anshary, 2006) sehingga dapat mengakibatkan kematian pada

ikan, khususnya benih ikan koi (Cyprinus carpio). Infeksi sering terjadi apabila

inang mengalami immunosuppressed karena stres atau penurunan kualitas air

saat ikan benih (Olga et al., 2007; Dangeubun et al., 2013; Sumiati, 2015)
2

sedangkan pada ikan, terbentuknya respon imun secara sempurna disaat ikan

telah dewasa (Suhermanto et al., 2011).

Salah satu alternatif pencegahan dari efek penyakit yang menyerang ikan

yaitu dengan meningkatkan sistem kekebalan tubuh ikan secara spesifik dan non

spesifik pada titer antibodi (Hardi et al., 2013; Purwaningsih et al., 2014);

diferensial leukosit (Desi et al., 2012; Hazzulli et al., 2015); dan relative percent

survival (RPS) (Sugiani et al., 2013; Taukhid, et al.,2014). Penggunaan vaksin

diduga lebih efektif dari pada menggunakan imunostimulan yang hanya berkerja

pada imun non spesifik pada organisme uji, berbeda dengan vaksin yang bisa

berkerja pada sistem imun non spesifik maupun spesifik pada ikan uji dan dapat

memberikan memori antibodi pada patogen spesifik tertentu (Hazzulli et al., 2015;

SongLin et al., 2015; Pratiwi, 2016). Menurut Setiawan et al., (2012) vaksinasi

dapat meningkatkan kekebalan spesifik maupun non spesifik ikan.

Penelitian tentang vaksin E. tarda belum banyak dilakukan, hingga saat ini

penelitian tentang bakteri E. tarda masih banyak mengacu pada penggunaan

imunostimulan sebagai pengendali E. tarda (Apriyanto et al., 2014; Sari et al.,

2014); uji kepatogenan bakteri E. tarda (Firma et al., 2013; Ratnawati et al., 2013);

dan penelitian tentang uji nilai LC-50 dan Phylogenetic tree dari empat isolat E.

tarda di Indonesia (Nariyani, 2010; Nariyani dan Kurniasih, 2011). Namun belum

pernah dilakukan penelitian terhadap pemanfaatan vaksin inaktif whole cell E.

tarda untuk mencegah Edwardsiellosis, penyakit yang ditimbulkan bakteri E. tarda

pada ikan koi. Dan kebanyakan pembuatan vaksin inaktif dari penelitian-penelitian

sebelumnya inaktivasi bakteri menggunakan buffer neutral formaline (BNF) 3%

(Pratiwi, 2016). Belum diketahui kualitas imunogenisitas vaksin E. tarda dengan

pemanasan (heat killed) pada 100°C selama 15 sampai 20 menit pada ikan koi.

Menurut Wintoko et al., (2013) bakteri yang diinaktifasi dengan pemanasan hanya

mengandung polisakarida (karbohidrat) karena saat pemanasan bagian lipid


3

terhidrolisis yang disebut sebagai antigen O bakteri, dan antigen O ini merupakan

penyusun senyawa liposakarida yang mampu memunculkan respon kekebalan

atau imunogenisitas pada hewan.

Imunogenisitas adalah potensi dari zat-zat yang meyebabkan induksi suatu

respons oleh tubuh dan semakin tinggi nilai imunogenisitas suatu vaksin, semakin

baik vaksin tersebut digunakan (Setyawan et al., 2012). Sampai saat ini penelitian

tentang imunogenisitas vaksin inaktif whole cell banyak dilakukan dengan

menggunakan bakteri A. salmonicida pada ikan mas (Setyawan et al., 2012;

Wintoko et al., 2013); kombinasi A. salmonicida dengan jintan hitam (Nigella

sativa) (Trilia et al., 2014), vitamin C (Hazzulli et al., 2015), gliserol (Putri et al.,

2013) pada ikan mas; penambahan adjuvant pada vaksin inaktif A. salmonicida

pada ikan mas (Sari et al., 2013), tetapi belum dilakukan penelitian tentang

imunogenisitas vaksin inaktif whole cell E. tarda pada ikan koi (Cyprinus carpio),

Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui nilai imunogenisitas

vaksin inaktif whole cell E. tarda pada ikan koi (Cyprinus carpio) yang dikaji melalui

peningkatan jumlah titer antibodi, diferensial leukosit dan nilai RPS pada ikan koi.

1.2. Perumusan Masalah


Menurunnya produksi budidaya ikan koi (Utami, 2013; Zubaidah, 2013)

salah satunya disebabkan oleh penyakit Edwardsiellosis dari infeksi bakteri E.

tarda (Firma et al., 2013; Li et al., 2015). Tapi hingga saat ini belum pernah

dilakukan penelitian tentang pencegahan penyakit Edwardsiellosis akibat bakteri

E. tarda menggunakan vaksin inaktif whole cell E. tarda. Vaksin inaktif whole cell

E. tarda sangat efektif diaplikasikan karena penggunaan vaksin dapat

meningkatkan kekebalan spesifik maupun non spesifik ikan (Setiawan et al., 2012)

selain itu penggunaan vaksin tidak menimbulkan efek samping seperti

penggunaan bahan kimia (Apriyanto et al., 2014). Karena hal tersebut, perlu
4

dilakukan penelitian tentang imunogenisitas vaksin inaktif E. tarda untuk

pencegahan Edwardsiellosis, penyakit pada ikan koi (Cyprinus carpio) yang

terinfeksi bakteri E. tarda.

Berkaitan dengan hal tersebut, maka rumusan dari penelitian ini adalah:

x Seberapa efektif metode pemanasan (heat killed) untuk menginaktif bakteri

yang akan dibuat menjadi vaksin.

x Seberapa efektif imunogenisitas vaksin inaktif E. tarda untuk pencegahan

Edwardsiellosis, penyakit pada ikan koi (Cyprinus carpio) yang terinfeksi bakteri

E. tarda.

1.3. Tujuan Penelitian


Berdasarkan masalah yang sudah diterangkan seperti pada penjelasan

sebelumnya, penelitian ini bertujuan sebagai berikut:

x Untuk mengetahui pengaruh suhu terhadap kualitas vaksin terhadap nilai

viabilitas dan tingkat patogenitas.

x Untuk mengetahui nilai imunogenisitas dari vaksin hasil inaktifasi bakteri E.

tarda pada ikan koi (Cyprinus carpio) yang terinfeksi penyakit Edwardsiellosis

oleh bakteri E. tarda.

1.4. Hipotesis
H1 : Metode pemanasan (heat killed) diduga efektif untuk menginaktif bakteri E.

tarda yang akan dibuat menjadi vaksin.

H2 : Aplikasi vaksin inaktif whole cell E. tarda diduga dapat mempengaruhi atau

meningkatkan imunogenisitas ikan koi (Cyprinus carpio) yang terinfeksi

bakteri E. tarda.

1.5. Manfaat Penelitian


Dari hasil penelitian ini, manfaat yang dapat diambil adalah sebagai berikut:
5

x Dapat diaplikasikan sebagai bahan yang praktis untuk pencegahan

Edwardsiellosis pada ikan koi (Cyprinus carpio) yang ramah lingkungan

selain menggunakan antibiotik

x Dapat memberikan informasi seberapa efektif vaksin inaktif E.tarda dapat

mencegah penyakit Edwardsiellosis pada ikan koi (Cyprinus carpio) yang

terinfeksi bakteri E. tarda.

1.6. Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Hasil Perikanan FPIK,

Brawijaya Malang, Laboratorium Parasit dan Penyakit Ikan FPIK, Universitas

Brawijaya Malang, Laboratorium Mikrobiologi FPIK, Universitas Brawijaya Malang,

pada bulan Juli 2016 sampai januari 2017.


6

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Vaksin
Berbagai usaha pengendalian penyakit ikan, terbukti vaksinasi adalah yang

paling baik (Passarela, 2006). Vaksinasi merupakan cara pengobatan yang lebih

efektif biaya dibanding cara pengobatan lain seperti menggunakan imunostimuan

dan antibiotik. Menurut Alifuddin, (2002) vaksinasi merupakan suatu tindakan

untuk memunculkan sistem imun spesifik melalui pemberian vaksin. Sistem kerja

vaksin, berpusat pada peningkatan respon imun spesifik yang berkerja dengan

pengenalan patogen tertentu sehingga apabila terinfeksi oleh jenis patogen yang

sudah pernah menginfeksi maka sistem imun secara otomatis akan mengenali dan

dapat membentuk antibodi spesifik untuk melawan patogen yang menyerang

(Purwaningsih, 2013). Perlindungan yang diberikan melalui vaksin lebih lama dan

tidak ada kekhawatiran mengenai akumulasi residu.

2.1.1 Tujuan dan Manfaat Vaksinasi


Vaksinasi merupakan usaha pencegahan penyakit yang sangat efekrif,

karena dapat meningkatkan sistem kekebalan non spesifik maupun spesifik pada

tubuh ikan terhadap serangan penyakit. Menurut Setiawan et al., (2012)

penggunaan vaksin merupakan salah satu alternatif untuk mengendalikan infeksi

bekterial, karena vaksin dapat meningkatkan sistem imun spesifik dan non spesifik

pada ikan yang terserang penyakit. Menurut Nur, (2006) vaksinasi dapat

merangsang munculnya imun spesifik, khususnya respon imun humoral (antibodi)

yang timbul terhadap antigen tertentu. Menurut Alifuddin, (2002) tujuan spesifik

vaksin adalah untuk mendapatkan ketahanan sistem imun spesifik tertentu,

sehingga didapatkan tingkat kelulushidupan lebih tinggi ketika terserang penyakit

akibat imunologik tertentu. Manfaat vaksinasi secara umum antara lain: dapat

meningkatan sistem imun ikan kuhususnya imun spesifik, menghindari efek


7

samping kemoterapeutika, proteksi dari serangan penyakit tertentu, menghindari

pencemaran lingkungan akibat bahan kemoterapeutik dan residu antibiotik.

2.1.2 Jenis dan Sifat Vaksin


Vaksin dapat dibedakan menjadi 2 jenis yaitu vaskin konvensional dan

moderen, kedua jenis vaksin tersebut dibedakan dari teknologi produksi

vaksinnya. Vaksin yang diproduksi menggunakan teknologi moderen (hi-tech)

disebut sebagai vaksin moderen, dan vaksin uang diproduksi menggunakan

teknologi yang lebih sederhana disebut vaksin konvensional. Untuk vaksin

konvensional memiliki 2 jenis yaitu vaksin mati dan hidup (Alifuddin, 2002). Vaksin

mati yang berupa organisme patogen yang dinonaktifkan (dimatikan) dengan cara

pemanasan yaitu pada suhu 100 °C (heat killed), formalin (formaline killed) dan

penghancuran dengan menggunakan sonikator (sonic killed), sedangkan vaksin

hidup yang berupa organisme patogen yang dilemahkan tanpa atau dengan

mengurangi virulensinya (Ellis, 1988). Vaksin moderen terdiri dari vaksin

monoklonal, genetic attenuation vaccine, protein engineering vaccine, dan

rekombinan (Alifuddin, 2002).

Salah satu tujuan vaksinasi adalah untuk mendapatkan nilai relative percent

survival (RPS) yang tinggi, oleh karena itu vaksin harus bersifat imunogenik,

protektif dan antigenik. Dan apabila vaksin sudah memiliki sifat-sifat tersebut,

vaksin harus dapat memicu terbentuknya respon imun spesifik pada ikan terhadap

infeksi patogen tertentu (spesifik). Selain itu, vaksin yang digunakan tidak boleh

menimbulkan efek samping seperti penurunan kesehatan ikan bahkan kematian

ikan setelah vaksinasi (Alifuddin, 2002).

2.1.3 Cara Vaksinasi


Sebagai salah satu upaya pengendalian penyakit, kegiatan vaksinasi biota

budidaya termasuk dalam proses tahap produksi. Proses vaksinasi itu sendiri
8

dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain penyuntikan, perendaman, dan

melalui pakan (oral) (Alifuddin, 2002). Untuk pemilihan cara vaksinasi ini harus

memperhatikan ukuran ikan, untuk mendapatkan hasil vaksinasi yang optimal dan

vaksinasi pada ikan baik digunakan ketika ikan berumur 1-2 minggu setelah

menetas (fase larva). Dosis vaksin yang umum digunakan sebesar ͳͲହ െ  ͳͲ଺

sel/ml dengan pemberian vaksin selama 2-3 minggu dan dilakukan vaksinasi ulang

ketika umur ikan mencapai 2 bulan. Menurut Purwaningsih, (2013) imunisasi ikan

atau proses vaksinasi dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu:

a) Injeksi
Dengan penyuntikan intramusculer dan intraperitoneal, difusi antigen akan

terjadi perlahan dan lebih konstan untuk menstimulsi antibodi. Kekurangan dari

metode ini adalah sering terjadi kerusakan di daerah otot.

b) Perendaman langsung
Dengan metode perendaman ini, vaksin dapat dengan mudah diserap oleh

insang tanpa menimbulkan luka seperti pada metode injeksi.

c) Oral (pencampuran dalam pakan)


Vaksinasi secara oral memilii keuntungan yang nyata jika diaplikasikan pada

ikan dalam jumlah yang banyak, selain itu ikan tidak akan mengalami stress dan

tidak begitu banyak membutuhkan waktu dan tenaga ahli. Namun harus

memperhatikan kualitas pakan, proses pemberian vaksin ke dalam pakan (pellet),

dan disribusi harus merata pada ikan.

2.1.4 Preparasi Vaksin Konvensional


Vaksin konvensional dengan jenis vaksin mati sampai saat ini masih aman

digunakan dengan perlakuan fisik dan kimiawi. Menurut Alifuddin, (2002) berikut

ini merupakan cara preparasi vaksin yang dimatikan secara fisik menggunakan

pemanasan (heat killed vaccine) dan kimiawi mengunakan formalin (formalin killed

vaccine):
9

a) Pemanasan heat killed vaccine


Pembuatan vaksin dengan cara heat killed dilakukan dengan memanaskan

biakan bakteri berumur 24 jam dengan suhu 100°C (15-20 menit) atau 60°C (30-

60 menit). Setelah proses pemanasan, biakan bakteri disentrifuse dengan

kecepatan 3500-5000 rpm (15-20 menit) dan kemudian dilakukan pemisahan

antara pelet dan supernatannya. Pelet yang didapat dari hasil pemisahan tersebut

dicuci menggunakan phosphat buffer soline (PBS) sebanyak 3 kali, sehingga

didapat pelet vaksin sebagai whole cell (vaksin utuh) dan supernatan sebagai

vaksin supernatan.

b) Penambahan Formalin
Preparasi pembuatan vaksin menggunakan formalin dilakukan dengan cara

penambahan formalin 0.5% selama 24 jam kedalam biakan bakteri dalam media

TSB berumur 24 jam. Kemudian biakan bakteri di sentrifuse dengan kecepatan

3500-5000 rpm (15 menit), dan hasil sentrifuse dipisahkan dan dilanjutkan dengan

pencucian menggunakan PBS sebanyak 3 kali sehingga didapat didapat pelet

vaksin sebagai whole cell (vaksin utuh) dan supernatan sebagai vaksin

supernatan.

Untuk menguji kualitas vaksin sebelum digunakan, perlu dilakukan uji

viailitas vaksin dengan cara menumbuhkan kembali vaksin hasil inaktifasi kedalam

media padat. Ketika vaksin tersebut tidak tumbuh dalam media padat, maka bisa

dikatakan vaksin sudah bisa digunakan dan apabila vaksin tumbuh, maka perlu

dilakukan inaktifasi ulang sampai vaksin tidak tumbuh pada media padat.

2.1.5 Mekanisme Kerja Vaksin Inaktif

Prinsip dasar dari vaksinasi adalah memberikan induksi imun spesifik hewan

terhadap agen infeksi tertentu. Menurut Setiawan et al., (2013) mekanisme kerja

vaksin adalah mempengaruhi respon imun (kebal) yaitu sel-sel memori yang
10

bersifat melindungi dan telah terbentuk pada waktu sebelumnya. Vaksin dapat

melindungi tubuh hewan terhadap agen infeksi yang patogen secara primer

dengan membentuk antibodi dan secara sekunder dengan membentuk sistem

cellular mediated immunity (CMI) serta mendorong pembentukan antibodi lokal.

Antibodi yang dibentuk tubuh bersifat spesifik, artinya satu jenis antibodi hanya

mengenal satu macam agen infeksius (bakteri/virus tertentu) yang telah dikenali

oleh tubuh melalui vaksinasi. Sistem imun akan melakukan pengenalan struktur

vaksin sebagai antigen dan makrofag akan memecah antigen tersebut dan

mengingatnya. Kemudian ketika terjadi infeksi lagi, sistem imun sudah mengenali

dan melakukan mekanisme seperti berikut:

Sistem kekebalan tubuh telah siap dengan mekanisme sebagai berikut:

1. Menetralkan bahannya sebelum memasuki sel;

2. Pengenalan sel dan memecah atau menghancurkan sel antigen sebelum

berkembang;

3. Jika tetap sakit, maka sakitnya akan jauh lebih ringan

Gambar 1. Inisiasi respon vaksin. Berikut injection (1), pola patogen terkait
terkandung dalam vaksin antigen menarik sel dendritik, monosit dan
neutrofil yang patroli di seluruh tubuh (2). Jika antigen vaksin /
adjuvant memperoleh cukup 'sinyal bahaya,' ini mengaktifkan
monosit dan sel dendritik (3) yang mengubah reseptor permukaan
dan menginduksi migrasi mereka sepanjang pembuluh limfatik (4), ke
kelenjar getah bening (5) dimana aktivasi limfosit T dan B akan
berlangsung. (Vaccine Immunology, 2012)

Apabila respon sel imun lebih rendah dari pada infeksi penyakit yang

menyerang, maka hal tersebutlah yang menimbulkan terjadinya gejala klinis


11

seperti timbulnya luka pada tubuh ikan. Dan pada keadaan ikan yang sedang

mengalami penurunan tingkat kesehatan seperti inilah, tidak dianjurkan untuk

dilakukan proses vaksinasi karena dapat menambah beban sel imun untuk

melawan antigen yang masuk ke dalam tubuh.

Gambar 2. Sistem sel imun (Vaccine Immunology, 2012)

Dari gambar diatas dapat dilihat bahwa serangkaian respons imun terjadi

melalui interaksi dari sistem imun non spesifik dan spesifik melalui komponen-

komponennya masing-masing. Respon imun ikan terbagi menjadi dua tahap,

tahap pertama yaitu tahap non spesifik dan tahap kedua yaitu tahap spesifik, ketika

sistem imun tahap pertama non spesifik tidak dapat melawan antigen yang masuk,

maka respon imun tahap kedua, respon imun spesifik yang akan melakukan

perlawanan terhadap antigen yang masuk tersebut. Antigen yang masuk akan

dikenali oleh antigen presenting cell (APC), dan kemudian makrofag yang

merupakan bagian dari sel APC, akan memecah antigen menjadi fragmen-

fragmen yang lebih kecil untuk dipresentasikan kepada sel limfosit T melalui major

histocompability complex (MHC) kelas II untuk diperkenalkan dan mengaktifkan

sel limfosit Th. Kemudian limfosit Th akan memproduksi sitokin-sitokin diantaranya

IL-2, IL-4, IL-6, dan IL-10 untuk mengaktivasi sel B dalam bentuk sel B plasma dan

sel B memori (Yanuhar, 2011). Sel B plasma tersebut berungsi sebagai


12

pengsekresi antibodi-antibodi spesifik terhadap antigen yang masuk, sedangkan

sel memori berfungsi sebagai pengingat struktur antigen yang pernah masuk.

2.1.6 Pengukuran Efektivitas Vaksin


Efektivitas vaksin dapat diukur setalah dilakukan vaksinasi. Pengukuran

vaksinasi ini dengan menggunakan parameter proteksi imunologis ikan uji setelah

uji tantang.dan parameter proteksi imunulogis berupa titer antibodi (Hardi et al.,

2013; Purwaningsih et al., 2014); diferensial leukosit (Desi et al., 2012; Hazzulli et

al., 2015); dan relative percent survival (RPS) (Sugiani et al., 2013; Taukhid, et

al.,2014).

2.2 Bakteri Uji


Bakteri gram negatif umumnya lebih tidak peka terhadap daya kerja

antibakteri bila dibandingkan dengan bakteri gram positif. Struktur dinding sel

bakteri gram negatif kemungkinan berpengaruh terhadap masuknya molekul besar

ke dalam sel. Struktur dinding sel bakteri gram positif hanya terdiri dari lapisan

peptidoglikan dan asam teikoat. Struktur dinding sel bakteri gram negatif lebih

kompleks, yakni pada bagian luar peptidoglikan terkandung tiga polimer yaitu

lipoprotein, selaput luar dan lipopolisakarida (Jawetz, et al., 1995).

2.2.1 Bakteri Edwardsiella tarda


Sistematika bakteri Edwardsiella tarda menurut Holt et. al (1994) adalah

sebagai berikut :

Kingdom : Eubacteria

Subkingdom : Prokaryota

Phylum : Proteobacteria

Divisi : Protophyta

Kelas : Schizomycates

Ordo : Pseudomonadales
13

Subordo : Thiorhodaceae

Famili : Enterobacteriaceae

Genus : Edwardsiella

Spesies : Edwarsiella tarda

E. tarda berbentuk batang bengkok, dengan ukuran 1 x 2-3 µm, bersifat gram

negatif bergerak dengan bantuan flagella, tidak membentuk spora atau kapsul dan

bersifat fakultatif anaerob. Bakteri ini dapat dijumpai di lingkungan air tawar dan

air laut, dengan suhu optimal bagi pertumbuhannya sekitar 35oC, sedangkan pada

suhu di bawah 10oC atau di atas 45oC tidak dapat tumbuh. E.tarda menyebabkan

luka pada ikan yang terinfeksi karena bakteri ini memproduksi eksotoksin (Rao, et

al., 2004)

E. tarda merupakan salah satu bakteri yang menyerang golongan catfish

termasuk ikan lele (Clarias sp.) dan penyebab penyakit Edwardsiellosis,

Emphisematous Putrefactive Disease of Catfish (EPDC), dan Red Pest. Bakteri ini

memiliki cukup banyak inang dan daerah penyebaran cukup luas yaitu Eropa,

Thailand, Amerika Serikat, Malaysia, Asia, Kanada, Australia, dan juga Indonesia

(KEPMEN KP RI 2010).

Bakteri E. tarda memiliki mekanisme toksisitas melalui produksi dua

eksotoksin dermatonekrosis. Kedua jenis toksin yang dihasilkan merupakan

antigenik dan tidak ditemukan pada sistem imun hewan. Toksin yang telah masuk

ke dalam tubuh hewan akan menyebabkan nekrosis dan produksi gas pada bagian

perut (dropsy) (Ullah dan Arai 1983). Bakteri ini juga mampu menginfeksi manusia,

terutama infeksi melalui luka pada kulit, walaupun belum pernah ada laporan

sebelumnya mengenai infeksi langsung dari organisme akuatik ke manusia, tapi

melalui bakteri yang menginfeksi hewan terestrial (Lowry dan Smith 2007).

Edwardsiella tarda merupakan tipe bakterium enterik. Edwardsiellosis dapat

ditularkan secara horizontal antara ikan sakit dan ikan sehat, dapat bertahan di
14

dalam air dan lumpur sehingga air dan lumpur yang sudah bebas dari ikan sakit

pun dapat menjadi karier dan menyebabkan penyakit (Wakabayasi dan Egusa,

1973). Menurut Nucci et. al., (2002), infeksi E. tarda pada manusia ditularkan

melalui kontaminasi tinja manusia, makanan dan air yang terkontaminasi bakteri

ini atau disebut penularan oral-fecal. Strain E. tarda pada ikan diperoleh proses

penularan hanya antar ikan.

2.2.2 Infeksi dan Tanda Penyerangan


Ikan yang mengalami infeksi akut dari E.tarda akan berkembang hiperemia

yang serius dan terjadi penyumbatan darah pada sirip, terjadi pendarahan kecil

(petechial haemorrage) pada permukaan tubuh, adanya kantong-kantong terisi

udara pada kulit dan nekrosis otot. Bagian anal mengalami pembengkakan dan

hyperemic. Sumber infeksi E. tarda adalah dari kandungan usus organisme karier,

tetapi juga dapat umum ditemukan pada lingkungan perairan, seperti air, sediment

dan hewan karier lainnya. Suhu tinggi, kualitas air jelek dan kesuburan organik

tinggi dapat berkontribusi terhadap munculnya penyakit. Infeksi dapat berkembang

dari luka-luka pada bagian organ viscera ke otot dan pada bagian kulit (Anshary,

2006).

2.3 Biologi Ikan Koi (Cyprinus carpio)


2.3.1 Klasifikasi dan Morfologi
Klasifkasi ikan koi menurut Priyagung (2008) adalah sebagai berikut :

Filum : Chordata

Subfilum : Vertebrata

Superkelas : Gnasthostomata

Kelas : Osteichtyes

Superordo : Teleostei

Ordo : Ostariophysi
15

Famili : Cyprinidae

Genus : Cyprinus

Spesies : Cyprinus carpio

Gambar 3. Ikan Koi (C. carpio) (Firdaus, 2010).

Badan ikan koi berbentuk seperti torpedo dengan perangkat gerak berupa

sirip, yang meliputi sebuah sirip punggung, sepasang sirip dada, sepasang sirip

perut, sebuah sirip anus, dan sebuah sirip ekor. Pertumbuhan badannya

bergantung pada suhu air, pakan dan jenis kelamin. Dalam tempo setengah tahun

ikan koi tumbuh sangat cepat. Umumnya ikan koi jantan tumbuh langsing,

sedangkan ikan koi betina membulat. Sampai umur 2 tahun, ikan koi jantan

tumbuh lebih pesat dibandingkan betina. Namun setelah itu terjadi sebaliknya,

betina tumbuh lebih pesat daripada jantan. Di dalam air ikan koi mampu mengenali

pakannya dan bahkan mencarinya di antara lumpur dan kotoran, karena ikan koi

mempunyai organ penciuman yang sangat tajam. Organ pencium ini berupa dua

pasang kumis yang menghiasi mulutnya (Firdaus, 2010).

2.3.2 Habitat dan Daerah Penyebaran


Ikan koi (C. carpio) merupakan salah satu jenis ikan hias yang saat ini

sedang mendapat perhatian pemerintah Jawa Timur untuk pengembangan

budidayanya, karena menurut Gustiano et al., (2008), Jawa Timur merupakan

salah satu daerah penghasil ikan hias air tawar terbesar di Indonesia. Menurut
16

Trimariani dan Rustikawati (1990), daerah pengembang budidaya ikan hias di

Jawa Timur yaitu Kabupaten Kediri, Tulungagung, serta Blitar sebagai sentra

budidaya ikan koi.

Ikan koi merupakan ikan air tawar, akan tetapi ikan koi masih dapat hidup

pada air yang agak asin. Ikan koi masih bisa bertahan hidup pada air dengan

salinitas 10 ppt. Ikan koi hidup pada salinitas berkisar 6 - 7,5 ppt, akan tetapi ikan

koi masih bisa hidup pada salinitas basah antara 5 - 6 ppt. Kisaran pH yang

dibutuhkan ikan koi agar tumbuh sehat yaitu pada kisaran 6,5 - 8,5 (Susanto,

2005).

Ikan koi merupakan hewan yang hidup di daerah beriklim sedang dan bisa

hidup pada suhu 8°C - 30°C. Oleh karena itu ikan koi bisa dipelihara di seluruh

wilayah Indonesia, mulai dari pantai hingga pegunungan. Ikan koi asli merupakan

ikan air tawar, tapi masih bertahan pada air yang agak asin, yaitu sekitar 10 permil

(Ardias, 2008).

2.3.3 Perkembangbiakan
Ikan koi umumnya mencapai ukuran induk pada umur dua atau tiga tahun.

Tidak ada perlakuan khusus dalam pematangan induk, untuk memacu

pematangan induk yang dilakukan adalah pemberian pakan dengan takaran dan

kandungan nutrisi yang sesuai dengan kebutuhan tubuh induk. Syarat utama induk

adalah calon induk sudah matang kelamin. Matang kelamin artinya induk jantan

sudah menghasilkan sperma dan induk betina sudah menghasilkan telur yang

matang. Induk jantan matang kelamin bila perutnya diurut akan mengeluarkan

cairan berwarna putih pekat, sperma. Sedangkan induk betina dilihat dari ukuran

perut yang membesar dan warna lubang genital kemerahan. Matang tubuh artinya,

secara fisik induk ikan sudah siap menjadi induk-induk produktif (Firdaus, 2010).
17

Gambar 4. Induk betina dan jantan ikan koi (C. carpio) (Firdaus, 2010)

Menurut Firdaus (2010), pemijahan ikan koi dilakukan dengan perbandingan

satu ekor induk betina dengan dua atau tiga ekor induk jantan. Bila induk jantan

berukuran besar cukup satu banding satu. Namun, perbandingan ini cukup

beresiko. Jika induk jantan tersebut tidak mengeluarkan sperma, maka pemijahan

gagal dilakukan. Pemilihan varietas induk jantan dan betina sangat mempengaruhi

varietas benih yang akan dihasilkan. Maka, jika ingin menghasilkan varietas anak

tertentu harus mengetahui kombinasi yang tepat antara varietas jantan dan

betinanya.

2.3.4 Makanan dan Kebiasaan Makan


Menurut Khairuman dan Sudenda (2002), ikan koi bersifat omnivor, artinya

pemakan segala. Dengan demikian dapat diberikan jenis pakan yang

beranekaragam, misalnya ikan kecil, kerang±kerangan atau jenis tumbuh±

tumbuhan. Pakan utama anak ikan koi adalah udang±udang renik seperti Daphnia

sp. Sejalan dengan pertumbuhan badannya mereka dapat memakan serangga air,
18

jentik±jentik nyamuk atau lumut±lumut yang menempel pada tanaman. Pakan ikan

koi akan mempengaruhi pembentukan zat warna tubuhnya. Tubuh ikan koi yang

berwarna-warni disebabkan adanya zat warna yang antara lain: zat pigmen

karoten (jingga), rutin (kuning), atasantun (merah).

Menurut Firdaus (2010), larva tidak diberi pakan dari luar hingga kuning telur

habis (kurang lebih umur 5 hari). Saat umur 5 hari dilakukan penjarangan larva

untuk mencegah kematian massal karena jumlah yang terlalu padat. Penjarangan

dilakukan dengan membagi larva yang ada ke dalam dua kolam pemeliharaan

larva. Menurut Susanto (2005), di dalam air ikan koi mampu mengenali pakannya

dan bahkan mencarinya diantara lumpur didasar kolam, karena ikan koi

mempunyai organ penciuman yang sangat tajam. Organ penciuman ini berupa dua

pasang kumis yang terletak pada bagian kiri dan kanan mulutnya. Ikan koi akan

memburu sepotong pakan atau mengaduk±aduk lumpur untuk mendapatkan

pakan yang dibutuhkan. Mulut ikan koi berukuran cukup besar dan dapat

disembulkan. Letaknya diujung moncong (terminal). Air bersama ± sama pakan

memasuki rongga mulut. Pakan yang kecil langsung ditelan dan air ditelan lewat

insang setelah keping±keping insang menyerap oksigen yang terdapat di air,

pakan masuk kedalam kerongkongan pakan dibawa langsung ke usus yang

panjangnya sekitar 5x panjang tubuh.

2.4 Imunologi Ikan


Sama seperti udang, respon imun pada ikan dibentuk oleh jaringan limfoid

yang menjadi satu dengan jaringan mieloid yang biasa disebut sebagai jaringan

limfomieloid (Alifuddin, 2002; Purwaningsih, 2013). Sistem imun pada ikan terbagi

menjadi 2 tahap, yaitu tahap non spesifik dan tahap spesifik. Tahap pertama, tahap

non spesifik berkerja pertama kali ketika ikan mengalami infeksi oleh antigen

tertentu dan ketika imun non spesifik tidak dapat mengatasi infeksi oleh antigen
19

tersebut, maka ikan akan mengaami gejala klinis dengan timbulnya luka pada

tubuh ikan, dan saat inilah akan memicu aktifanya sistem imun tahap kedua yaitu

sistem imun spesifik dengan memproduksi antibodi spesifik dan memori untuk

mengenali struktur antigen ketika menginfeksi kembali.

Gambar 5. Sistem Imun Ikan (Takahashi dan Elisabeth, 2014)

2.4.1 Sistem Imun Non Spesifik Ikan


Saat dalam keadaan larva, sistem imun ikan yang berfungsi adalah sistem

imun non spesifik, dan sistem imun ikan spesifik baru berkembang ketika ikan

berumur berberapa minggu setelah menetas. Menurut Anderson (1974) respon

seluler pada ikan merupakan respon imun yang bersifat non spesifik. Sistem imun

non spesifik pada ikan merupakan sistem kekebalan tubuh bawaan (innate

immunity) dan berfungsi untuk memproteksi sistem imun ikan dari segala bentuk

infeksi dan bersifat alami walaupun tubuh ikan belum pernah terinfeksi patogen

tersebut sebelumnya.Respon ini meliputi pertahanan mekanik dan kimiawi

(mukus, kulit, sisik dan insang) dan pertahanan seluler (sel makrofag, leukosit

seperti limfosit, monosit, neutrofil, eosinofil dan basofil) (Purwaningsih, 2013).

Selain sistem imun non spesifik dan spesifik, pertahanan pertama pada

tubuh ikan meliputi sisik, kulit dan mukus. Mukus pada tubuh ikan mengandung

imunoglobulin M (IgM) yang bermanfaat untuk menghancurkan patogen yang


20

mengnfeksi tubuh ikan. Dan ketika terjadi kerusakan jaringan sisik atau kulit ikan

akan mengaibatkan mudahnya patogen menginfeksi inangnya. Dan ketika antigen

sudah melewati sistem pertahanan pertama, sel makrofag akan memecah antigen

melalui 3 tahap, yaitu melakukan pelekatan, memfagosit dan pencernaan antigen

yang masuk. Fagositosis merupakan langkah awal untuk mekanisme respon

imunitas (Wintoko et al., 2012). Terjadinya pemecahan antigen oleh sel-sel fagosit

terjadi ketika sel-sel fagosit menempel pada permukaan antigen atau berdekatan

dengan antigen (Setiawan et al., 2012). Sistem kekebalan tubuh ikan terhadap

antigen melalui mekanisme fagosit dengan perantara makrofag dan granular

leukosit, sebagai contoh neutrofil menyerang mikroorganisme yang masuk melalui

jaringan kulit ikan atau mukus. Proses chemotaksis dan pinocytosis dapat

dilakukan oleh sel makrofag dan neutrofil pada sistem imun non spesifik

(Purwaningsih et al., 2014). Chemotaksis merupakan proses migrasi sel fagosit

ke lokasi terjadinya inflamasi dengan adanya reaksi antigen-antibodi (immune

reactions). Proses tersebut ditandainya dengan munculnya lubang (vakuola) di

permukaan membran sel melalui proses endocytosis.

2.4.2 Sistem Imun Spesifik Ikan


Sistem imun spesifik ikan mempunyai kemampuan untuk mengenali benda

yang bersifat patogen bagi dirinya, dan benda yang pertama kali muncul atau

masuk ke dalam badan ikan akan segera dikenali oleh sistem spesifik sehingga

terjadi pengenalan oleh sel-sel sistem imun spesifik (Nur, 2006). Ada dua sistem

pertahanan spesifik pada tubuh ikan, yaitu pertahanan seluler (antibody

production) dan pertahanan humoral (cell mediated immunity) (Desi et al., 2012).

Paparan antigen menghasilkan stimulasi sejumlah sel limfosit yang akan

mengadakan pembelahan secara mitosis dengan memproduksi sel limfosit muda

yang dapat mengenali antigen melalui reseptor spesifik (Hazzulli et al, 2015).
21

Ketika terjadi paparan antigen, produksi jumlah sel limfosit lebih banyak dari pada

dengan jumlah monosit dan neutrofil (Setiawan et al., 2012), hal ini disebabkan sel

limfosit berperan sebagai sel memori yang membentuk antibodi (Hardi et al.,

2013). Limfosit T dan limfosit B merupakan jenis sistem imun dari sel limfosit,

dimana aktivitas sel T pada ikan belum banyak diketahui manfaat utamanya, tetapi

secara keseluruhan sel T tersebut berperan salam sistem imun seluler (cell

mediated immunity) dan sel B yang berfungsi untuk memproduksi IgM melalui

respon antigen tertentu. Ellis (2001) mengemukakan bahwa respon dan faktor

humoral terdiri dari serum amiloid protein, antibodi, lisosim, transferin, interferon,

antiprotease, lektin, lisin, protease, protein C-reaktif, dan komplemen. Sedangkan

respon dan faktor seluler antara lain adalah makrofag, killer cell, neutrofil, reaksi

penolakan allograft dan hipersensitifitas. Tanggap kebal adaptif dapat terbentuk

pada kelompok teleostei seperti ikan dan dapat dideteksi dalam hitungan hari

bahkan minggu (4-6 minggu) dari infeksi atau peradangan awal tergantung dari

suhu lingkungan. Press & Evensen (1999) menyatakan bahwa tanggap kebal

adaptif terdiri dari jaringan sel protein komplek, pengantar pesan biokimia (sitokin)

dan gen yang bekerja sama untuk menghasilkan suatu induksi tanggap kebal

spesifik yang memerlukan Abs (antibodi spesifik) dan Ags (antigen spesifik).

Menurut Fujaya (2004) bahwa perolehan kekebalan aktif pada ikan tergantung

pada peran serta jaringan dan sel ± sel hospes setelah bertemu dengan imunogen.

2.5 Darah Ikan


Darah meliputi dua kelompok besar yaitu sel darah dan plasma darah. Darah

berfungsi sebagai sistem sirkulasi yang terdiri dari berbagai macam sel dalam

plasma darah. Darah sebagian besar tersusun atas cairan plasma darah dan sel-

sel darah. Plasma darah terdiri dari air, protein (albumin, globulin, dan faktor-faktor

koagulasi), lipid dan ion. Sel darah merah (eritrosit) dan sel darah putih (leukosit)
22

merupakan bagian dari sel darah. Sel dan cairan darah (plasma darah)

mempunyai peran fisiologi sangat penting (Fujaya, 2004).

Sel darah berdasarkan warnanya dibagi menjadi sel darah merah (eritrosiy)

dan sel darah putih (leukosit). Sel-sel darah dirancang untuk menghentikan

pendarahan, mengangkut hormon, dan mencegah infeksi. Sel darah putih sangat

berperan penting dalam hal sistem pertahanan tubuh. Jenis-jenis sel darah putih

seperti neutrofil, eosonofil, basofil, monosit, limfosit, dan monosit yang berfungsi

dalam sistem kekebalan imun dalam tubuh ikan (Johnny et al., 2003).

2.5.1 Leukosit
Menurut Bijanti (2005). Ikan mempunyai sel darah putih (leukosit) cukup

banyak antara 137.000/mm3 ± 798.000/mm3. Proses pembentukan leukosit pada

mamalia terbatas pada sumsum tulang, limpa dan limpnode, sedangkan pada ikan

selain pada tempat-tempat tersebut juga pada ginjal dan thymus turut berperan

pada proses pembentukan leukosit. Fungsi utama leukosit adalah memproteksi

tubuh dari infeksi. Leukosit ini berkerja sama dengan protein respon imun,

immunoglobulin dan komplemen. Neutrofil, eosinofil, basofil dan monosit

merupakan fagosit (Hoffbrand dan Atul, 2005).

Jumlah leukosit dalam komposisi darah memiliki jumlah yang lebih rendah

dibandingkan dengan eritrosit berkisar 20.000/mm3 - 150.000/mm3. Leukosit

berbentuk lonjong dan bulat. Sel darah putih memiliki berberapa jenis seperti

granulosit meliputi: a). Heterofil; b). Eosonofil; dan c). basosil, dan agranulosit

meliputi: a). Monosit; dan b) limfosit. Sebagian besar sel darah putih berfungsi

sebagai protektor untuk mengeliminasi antigen yang masuk kedalam tubuh.

Jumlah leukosit di dalam tubuh dapat dipengaruhi berberapa faktor antara lain

kesehatan dan kondisi tubuh ikan. Pada waktu 12-24 jam setelah infeksi bakteri

pada ikan rainbow trout dapat mengakibatnya terjadinya infiltrasi granulosit dan
23

mengakibatkan persentase makrofag dan granulosit meningkat pada waktu 2-4

hari (Noercholis et al., 2013).

Gambar 6. Sel darah ikan mas: 7a. Limfosit; 7b. Eritrosit; 7c. Heterofil; 7d. Monosit;
7e. Eosinofil (Noercholis et al., 2013).

2.6 Imunohistokimia
Imunohistokimia adalah metode yang digunakan untuk mengukur atau

mengidentifikasi sel-sel yang berifat spesifik berdasarkan struktur antigenik dan

reaksi kompleks antara antigen (Ag) ± antibodi (Ab) dalam sediaan jaringan (Yani

et al., 2014). Metode IHK merupakan metode deteksi protein antigen dalam

jaringan dengan prinsip reaksi imunologi melalui deteksi ikatan antigen dan

antibodi (Santos et al., 2009). Imunohistokimia mempunyai nilai lebih dibandingkan

metode lainnya, seperti Western Blot, ELISA dan PCR karena dapat menentukan

lokasi protein yang diidentifikasi (Santos et al., 2009). Reaksi antara antigen-

antibodi diidentifikasi menggunakan marker spesifik yang dilekatkan dengan

antibodi dan dapat ditampilkan secara langsung dengan reaksi kompleks untuk

mengidentifikasi marker. Marker yang digunakan berupa senyawa berwarna, zat

berfluoresensi, logam berat, label radioaktif, atau enzim. Dari hasil reaksi antara

antigen-antibodi akan menimbulkan pewarnaan pada sel yang spesifik yang ingin

diukur berdasarkan markernya, biasanya ditampakkan dengan timbulnya warna


24

coklat keemasan pada ulasan jaringan di preparat. Pemeriksaan ini dilakukan

pada jaringan yang umumnya jaringan berasal dari organ hewan uji.

Interaksi yang terjadi antara antigen dan antibodi dalam proses

imunohistokima tidak terlihat secara kasat mata. Oleh karena itu diperlukan

visualisasi untuk memastikan adanya ikatan antigen antibodi dalam proses

imunohistokimia. Antibodi primer terhadap bakteri E. taeda akan mengikat antigen

secara spesifik pada jaringan sehingga antibodi sekunder akan dikonjugasikan

dengan enzim. Enzim yang terkonjugasi dengan antibodi sekunder mampu

mengikat warna (kromogen) sehingga menghasilkan visualisasi berupa warna.


25

3. KERANGKA KONSEP PENELITIAN

3.1 Landasan Teori


Indikator kinerja dan kegiatan pembangunan perikanan budidaya 2010-2014

adalah dengan hasil produksi ikan hias tahun 2014 sebesar 1.19 miliar ekor. Salah

satu ikan yang paling diutamakan dalam hal produksi adalah ikan koi (26.8%)

karena memiliki nilai ekonomis yang sangat tinggi dengan produksi ikan hias

secara keseluruhan pada tahun 2014 mencapai Rp. 7,59 trilliun (DJPB KKP,

2015). Edwardsiella tarda adalah bakteri gram negatif berbentuk batang dan

termasuk ke dalam family Enterobacteriaceae dan berbentuk batang, bersifat gram

negatif, motil, bersifat fakultative anaerob. Bakteri ini tidak dapat hidup tanpa

inangnya dan dapat ditemukan pada air laut maupun air tawar. Gejala klinis yang

timbul akibat penyakit ini adalah: pembengkakan dibawah kulit yang biasanya

menjadi luka terbuka berisi nanah dan darah, sirip putus atau patah, pendarahan

pada insang, ptechiae pada otot serta usus di bagian belakang lengket dan

bersatu. Infeksi bakteri ini menunjukkan gejala klinis luka pada bagian badannya,

insang luka, perdarahan di perut dan perdarahan di usus (KIPM 1 Batam, 2014).

Hingga saat ini upaya para petani budidaya ikan untuk pencegahan penyakit

bakterial yang dilakukan dengan pemberian antibiotik yang dapat menyebabkan

resistensi terhadap lingkungan maupun organismenya sendiri, hal ini dilakukan

karena sedikitnya pengetahuan para petani tentang efek samping penggunaan

antibiotik. Sampai saat ini untuk pengendalian hama dan penyakit, para petani

masih mengandalkan antibiotik seperti tetracycline, ampicillin, oxytetracycline,

chloramphenicol, cananycine, tetracycline dan disinfektan pada ikan, selain itu

penggunaan antibiotik secara berkepanjangan dapat mengakibatkan resistensi

bakteri patogen dan terjadi penumpukan residu bahan kimia di lingkungan perairan

dan dalam tubuh ikan, akhirnya dapat membahayakan konsumen yang


26

mengkonsumsinya (Dangeubun et al., 2013; Lengka, 2013). Untuk menghindari

dampak negatif penggunaan antibiotika, maka penanggulangan penyakit ikan

diupayakan dengan menggunakan vaksin inaktif dari bakteri patogen tertentu

(Hazzulli et al., 2015; SongLin et al., 2015; Pratiwi, 2016).

Vaksin dapat meningkatkan sistem kekebalan imun spesifik pada ikan.

Respon imun ikan terbagi menjadi dua tahap, tahap pertama yaitu tahap non

spesifik dan tahap kedua yaitu tahap spesifik, ketika sistem imun tahap pertama

non spesifik tidak dapat melawan antigen yang masuk, maka respon imun tahap

kedua, respon imun spesifik yang akan melakukan perlawanan terhadap antigen

yang masuk tersebut. Antigen yang masuk akan dikenali oleh antigen presenting

cell (APC), dan kemudian makrofag yang merupakan bagian dari sel APC, akan

memecah antigen menjadi fragmen-fragmen yang lebih kecil untuk

dipresentasikan kepada sel limfosit T melalui major histocompability complex

(MHC) kelas II untuk diperkenalkan dan mengaktifkan sel limfosit Th. Kemudian

limfosit Th akan memproduksi sitokin-sitokin diantaranya IL-2, IL-4, IL-6, dan IL-10

untuk mengaktivasi sel B dalam bentuk sel B plasma dan sel B memori (Yanuhar,

2011). Sel B plasma tersebut berungsi sebagai pengsekresi antibodi-antibodi

spesifik terhadap antigen yang masuk, sedangkan sel memori berfungsi sebagai

pengingat struktur antigen yang pernah masuk.

3.2 Kerangka Konsep Penelitian


Berdasarkan penjelasan dari landasan teori diatas, maka pemberian vaksin

E. tarda bermanfaat untuk pencegahan penyakit Edwardsiellosis. Pada penelitian

ini dipelajari peranan vaksin E. tarda terhadap penyakit Edwardsiellosis dengan

alur kerangka konseptual penelitian pada Gambar 7.


27

Budidaya Air Tawar

Ikan Konsumsi Ikan Hias

Ikan Koi (Cyprinus carpio)

Kendala

Penyakit

Infeksi Non Infeksi

Edwardsiella tarda Pencegahan

Gram negatif
Antibiotik Vaksin whole cell
E. tarda
Whole cell
bakteri
Inaktivasi Sistem imun
LPS bakteri ikan koi
Sistem imun Antibodi
Sehat spesifik
Limfosit
Antigen
B&T
Spesifik Non Spesifik
Produksi
antibodi
Diferensial
Titer Antibodi leukosit &
(Hazzulli et al., Aktivitas
2015) fagositosis
(Wu et al., 2010)

Imunohistokimia Antibodi
Relative IHK spesifik
Percent Survival (RPS)
(Hardi et al., 2013)

Kematian

Keterangan
: Aspek yang diteliti
: Aspek yang tidak diteliti

Gambar 7. Diagram Alur Konseptual Penelitian


28

3.3 Kerangka Operasional Penelitian


Penelitian ini terbagi atas 2 tahapan sebagai berikut :

3.3.1 Tahap 1
a. Produksi Vaksin whole cell E. tarda

Pembuatan vaksin E. tarda mengacu metode Alifuddin, (2002) dengan metode

heat killed.

Umur 24 jam Edwardsiella tarda

Pemanasan kultur bakteri 15 ± 20 menit pada


(heat killed vaccine) suhu 100 °C

Sentrifuse 3500 ± 5000 rpm


(15 ± 20 menit)

Pemisahan

Supernatan Pellet
(Vaksin supernatan) (Vaksin inaktif whole cell)

Dicuci dengan phosphat


buffer soline (PBS) 3 kali

Uji kualitas vaksin


(Uji viabilitas vaksin)

Tumbuh Tidak tumbuh

Inaktivasi ulang Hitung kepadatan

Disimpan dalam
pendingin dengan suhu - Vaksin
20 °C sampai digunakan

Keterangan:
: Aspek yang diteliti
: Aspek yang tidak diteliti

Gambar 8. Diagram Alur Operasional Penelitian Tahap 1 (Pembuatan vaksin)


(Alifuddin, 2002)
29

3.3.2 Tahap 2
Setelah pembuatan vaksin E. tarda menggunakan metode heat killed,

kemudian ikan divaksinasi dam setelah satu minggu pasca penyuntikan vaksin

pertama dilakukan booster dengan menyuntikkan lagi vaksin pada ika koi dan

kemudian dilakukan uji tantang menggunakan bakteri E. tarda. Untuk melihat

perubahan imunitas kekebalan tubuh ikan uji, dilakukan pengambilan darah untuk

mengetahui kualitas jumlah titer antibodi, diferensial leukosit, dan Relative Percent

Survival (RPS). Dapat dilihat pada Gambar 9.


30

Ikan Koi (Cyprinus carpio)

Penangulangan
Aklimatisasi
selama 15 hari
Pencegahan Pengobatan

Vaksin Inaktif E.
Hari ke - 0 tarda

Penyuntikan

Dosis A Dosis B Dosis C Dosis D

Hari ke - 8 Pengambilan
Booster
darah

Hari ke - 16
Uji Tantang

Edwardsiella tarda
Hari ke - 24
Pengambilan
darah

Diferensial
Titer Antibodi
Imunohistokimia leukosit (Hazzulli et al., 2015)
(Wu et al., 2010)

Relative Percent Survival (RPS)


(Hardi et al., 2013)

Analisa data

Hasil
Keterangan:
: Aspek yang diteliti
: Aspek yang tidak diteliti

Gambar 9. Diagram Alur Operasional Penelitian Tahap 2


65

6. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan
x Metode pembuatan vaksin dengan cara pemanasan (heat killed) dengan

suhu 115ÛC selama 30 menit dapat memberikan nilai viabilitas vaksin 0%

dengan tingkat patogenitas negatif.

x Vaksin inaktif whole cell E. tarda dengan dosis ͳͲ଼ sel/ml dapat

meningkatkan imunogenisitas ikan koi (C. carpio) yang terinfeksi bakteri E.

tarda, dengan dibuktikannya peningkatan parameter imunitas ikan seperti

titer antibodi, IHK, diferensial leukosit, aktivitas fagositosis dan memiliki

nilai relative percent survival sebesar 83.33% setelah terinfeksi bakteri E.

tarda selama 2 minggu.

6.2 Saran
Dari hasil penelitian ini, perlu diteliti tentang perbandingan keefektifan jenis

vaksin dengan teknik penambahan formalin, pemanasan dan pengabungan antara

penambahan formalin dan pemanasan dan juga dilakukan pemberian vaksin pada

induk ikan koi, untuk mengetahui imun spesifik pada induk ikan koi apakah

diturunkan pada benih ikan koi.


41

5. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Uji Viabilitas Vaksin


Uji viabilitas vaksin merupakan uji kualitas vaksin yang bertujuan untuk

mengetahui apakah bakteri yang diinaktivasi menggunakan metode pemanasan

(heat killed) benar-benar sudah inaktif atau masih aktif dengan dilakukannya

penumbuhan kembali vaksin hasil inaktivasi kedalam media padat. Dan vaksin

dapat digunakan apabila bakteri didalam vaksin tidak tumbuh ketika di tumbuhkan

ulang di dalam media padat. Hasil uji viabilitas vaksin dapat dilihat pada tabel 4.

Tabel 4. Hasil uji viabilitas bakteri E. tarda setelah diinaktivasi menggunakan


pengaruh suhu.
Jumlah bakteri ͳͲ଻ (sel/ml)
Suhu (ÛC)
waktu Viabilitas (%) Patogenitas
Kontrol - 99.99 +++
10 menit 10.03 +
100 20 menit 5.91 +
30 menit 2.96 +
10 menit 6.69 +
115 20 menit 3.49 +
30 menit 0.00 -
Keterangan: sangat patogen (+++); patogen (++); patogen lemah (+); dan tidak
patogen (-)

Viabilitas (%)
120
99,99 99,99
100
Viabilitas (%)

80

60

40

20 10,03 5,91 6,69


2,96 3,49 0,00
0
100 115 ^ƵŚƵ;ȗͿ
K 10 menit 20 menit 30 menit

Gambar 11. Grafik hubungan antara nilai viabilitas dengan suhu dan waktu.

Pada gambar grafik diatas, membuktikan bahwa suhu dan lama waktu

pemanasan bakteri dapat mempengaruhi tingkat viabilitas dan patogenitas bakteri.

Pemanasan dengan suhu 115 ÛC selama 30 menit memberikan hasil yang paling
42

baik dengan nilai viabilitas 0 % yang membuktikan bakteri hasil inaktivasi tidak

tumbuh ketika ditumbuhkan ulang dalam media spesifik BHIA dan memberikan

nilai patogenitas negatif ketika ditumbuhkan didalam media blood agar.

A C

Gambar 12. A). Pewarnaan bakteri Edwardsiella tarda dari hasil uji viabilitas yang
gagal, (perbesaran 40x); B). Blood agar plate hasil patogenitas
negatif; C). Media BHIA hasil uji viabilitas 0%.

Suhu mumpengaruhi pertumbuhan bakteri dan suhu yang terlalu tinggi akan

mengakibatkan denaturasi enzim yang berakibat inaktifnya bakteri. Maka

peningkatan pertumbuhan hingga suatu saat peningkatan suhu tidak diikuti

dengan meningkatnya pertumbuhan (Suriani et al., 2013; Subagiyo et al., 2015).

Dari kedua hasil tersebut membuktikan bahwa vaksin yang akan digunakan sudah

memiliki kualitas yang baik untuk digunakanan sebagai vaksin inaktif whole cell.

5.2 Titer Antibodi


Hasil uji titer antibodi menunukan bahwa ikan koi yang divaksinasi dengan

antigen O dari Edwarsiela tarda memiliki respon imun adaptif yang lebih tinggi

dibandingkan ikan konrol yang tidak divaksinasi, hal tersebut mengindikasikan

bawa pemberian vaksin mampu meningkatkan kemampuan bakterisidal pada

serum ikan terhadap infeksi antigen (Setyawan et al., 2012; Sugiani, 2012).
43

Vaksinasi dilakukan dengan metode suntik, dimana menurut berberapa penelitian

metode ini lebih efektif dibandingkan dengan metode perendaman dan oral

(Setyawan et al., 2012; Purwaningsih, 2013). Vaksin inaktif merupakan vaksin

yang dibuat dari organisme patogen yang dibuat non-patogen dengan berbagai

macam metode (Sugiani, 2012). Titer antibodi merupakan salah satu indikator

imunologis ketika ikan terserang penyakit, khususnya imun spesifik ikan (Sumiati,

2015) yang teridentifikasi dengan terjadinya penggumpalan pada campuran

serum, phosphat buffer soline (PBS), dan bakteri (Purwaningsih et al., 2014). Hasil

pengamatan titer antibodi selama penelitian disajikan pada tabel 5.

Tabel 5. Titer antibodi pada ikan koi (-log2)


Hari
Perlakuan Rata-rata ± SD
Hari-7 Hari-14 Hari-21 Hari-28 Hari-42
K- (0) 1.81 1.81 2.11 0.90 1.20 1.56 ± 0.49
A (ͳͲସ ) 1.81 2.11 1.81 2.11 1.51 1.86 ± 0.25
B (ͳͲ଺ ) 2.11 2.41 2.11 2.11 1.81 2.10 ± 0,21
C (ͳͲ଼ ) 1.81 2.71 2.41 2.11 1.81 2.16 ± 0.39
D (ͳͲଵ଴ ) 2.11 2.11 1.51 1.81 1.51 1.80 ± 0.30

Pengambilan darah untuk pengujian titer antibodi dilakuakan 5 kali, pada

hari-7 (booster 1); hari-14 (booster 2); hari-21; hari-28 (1 minggu setelah infeksi);

dan hari-42 (2 minggu setelah infeksi). Titer antibodi pada hari-7 sampai hari-14

cenderung meningkat pada setiap perlakuan untuk 2 minggu pertama vaksinasi

(Taukhid dan Purwaningsih, 2011; Sugiani, 2013; Trilia et al., 2014), hal ini

dipengaruhi oleh pengenalan sistem imun ikan yang merespon produksi antibodi

spesifik untuk mengenali struktur vaksin yang diberikan. Produksi dan pengenalan

antibodi secara spesifik terhadap antigen berlangsung berberapa minggu (Sumiati,

2015), dimana T helper dan sel B masih melakukan proses pengenalan molekul

asing dari antigen meskipun lamanya proses pengenalan ini tergantung dari

berberapa faktor seperti: pada jenis ikan, suhu perairan, dosis vaksin, metode

inakifasi, dan metode aplikasi dimana sel (Romstad el al., 2012).


44

3,50

2,71
3,00

2,41

2,41
2,50

2,11

2,11

2,11

2,11

2,11

2,11

2,11
2,11
2,11
TITER ANTIBODI

1,81

1,81
1,81
1,81

1,81

1,81

1,81

1,81
2,00

1,51

1,51

1,51
1,50

1,20
0,90
1,00

0,50

0,00
Hari-7 Hari-14 Hari-21 Hari-28 Hari-42

PERLAKUAN K- (0) A B C D

Gambar 13. Niai titer antibodi selama penelitian

Besar kecilnya nilai antibodi yang dihasilkan dari proses vaksinasi

dipengaruhi oleh kemampuan makrofag dalam memberikan respon ke sel limfosit

untuk memproduksi antibodi spesifik sesuai jenis antigen yang masuk (Sumiati,

2015). Sedangkan untuk jumlah titer antibodi tertinggi sebelum infeksi pada

perlakuan C hari-14 (booster 2) sebesar 2.71, tingginya jumlah titer antibodi ini

dipengaruhi oleh dosis vaksin yang optimal untuk memicu produksi antibodi

spesifik. Antigen yang telah masuk ke dalam tubuh ikan pertamakali akan direspon

oleh sel-sel APC (antigen presenting cells) yang terdiri dari makrofag, sel limfosit

B, dan sel-sel dendrit. Kemudian makrofag akan memecah antigen menjadi

fragmen-fragmen yang lebih kecil (epitop) dan akan dipresentasikan kepada sel

limfosit T melalui molekul major histocompatibility complex kelas II (MHC kelas II)

(Uribe et al., 2011; Yanuhar, 2011). Setelah itu Sel T akan menangkap antigen

tersebut melalui TCR (T-cell receptor) dan sel T yang sudah teraktivasi akan

mensekresikan sitokin diantaranya IL-2, IL-4, IL-6, dan IL-10 (Munasir, 2001;

Yanuhar, 2011; Purwaningsih et al., 2014) untuk memicu aktivasi Sel B yang

terjadi di limpa (Sari et al., 2013) untuk berdiferensiasi menjadi B plasma dan sel
45

B memori. Sel plasma tersebut berfungsi untuk mensekresi antibodi-antibodi

spesifik terhadap antigen yang ditangkap oleh APC (Uribe et al., 2011), sedangkan

sel memori berfungsi untuk mengingat atau membuat memori struktur antigen

sehingga apabila ada infeksi kedua (booster atau saat uji tantang) maka sel-sel

imun akan merespon dengan lebih cepat (Yanuhar, 2011; Setyawan et al., 2012).

Menurut Romstad el al., (2012), besar kecilnya nilai titer antibodi juga

dipengaruhi oleh metode preparasi antigen. Sedangkan jumlah titer antibodi

setelah 1 minggu infeksi pada hari ke-21, mengalami penurunan nilai titer antibodi

pada setiap perlakuan kecuali kontrol (Sumiati, 2015), hal tersebut disebabkan

oleh antibodi yang terbentuk dalam tubuh ikan saat vaksinasi digunakan untuk

melawan antigen yang masuk yaitu bakteri E. tarda. Pada hari ke-28 (1 minggu

setelah infeksi) setiap perlakuan mengalami peningkatan jumlah nilai titer antibodi

kecuali pada perlakuan B yang memiliki nilai titer antibodi sama seperti minggu

sebelumnya dan perlakuan C yang penurunan nilai titer antibodi dari minggu

sebelumnya. Dan jumlah titer antibodi 2 minggu setelah infeksi, menurun pada

setiap perlakuan. Penurunan jumlah titer antibodi ini masih dalam batas normal

apabila dibandingakan dengan jumlah antibodi ikan kontrol (Sumiati, 2015)

sebelum infeksi yaitu sebesar 1.50-1.80.

Terjadinya penurunan jumlah antibodi ikan setelah uji tantang

memperlihatkan bahwa antibodi yang terbentuk digunakan untuk melawan antigen

yang masuk (Setiawan et al., 2012). Dari keseluruhan hasil, antigen yang diberikan

berupa vaksin bersifat imunogenik yaitu mampu meningkatkan respon imun pada

ikan (Setyawan et al., 2012), karena mampu meningkatkan nilai titer antibodi pada

ikan yang divaksinasi. Imunogenisitas suatau antigen dapat dipengaruhi oleh

berberapa faktor seperti ukuran, kompleksitas dan bentuk antigen. Ukuran antigen

adalah salah satu faktor yang paling penting dalam imunogenisitas antigen dengan

ukuran imunogenik (imunogen) + 10 kDa (Setyawan et al., 2012), kurang dari 60


46

kDa (Hardi et al., 2013; Purwaningsih et al., 2014). Berat molekul imunogenik E.

tarda sebesar 37 kDa (Sun et al., 2011).

Antibodi merupakan hasil respon dari sistem imunitas berupa protein yang

menyerupai bentuk Y (rouhhly Y-shape) yang digunakan untuk pengenalan,

penetralisasi dan memecah benda asing ataupun patogen seperti bakteri dan

virus. Sedangkan antigen adalah suatu bahan atau senyawa berwujud protein,

lemak atau polisakarida yang dapat merespon pembentukan satu jenis atau lebih

antibodi (Sumiati, 2015). Tujuan dilakukannya pengukuran titer antibodi adalah

untuk menentukan jumlah antibodi spesifik yang dihasilkan akibat dari proses

vaksinasi (Sumiati, 2015), dan apabila ikan yang divaksinasi mampu membentuk

dan peningkatan nilai titer antibodi, secara sederhana vaksin dapat merangsang

sel-sel limfosit untuk berkerja secara humoral (spesifik) pada ikan (Wintoko et al.,

2013; Trilia et al., 2014;). Antibodi berkerja secara presipitin dan agglutinin, selain

itu antibodi berkerja dengan melakukan blokade dari efek antigen dimana antibodi

berekasi dengan epitop antigen yang menyebabkan antigen tidak dapat mengenali

reseptor dari sel inang dan menyebabkan gagalnya proses pelekatan antigen pada

permukaan sel inang (antibodi sebagai inhibin).

Antibodi juga dapat mempercepat eliminasi antigen dengan cara proses

opsonisasi (antigen sebagai opsonin) (Hardi et al., 2013; Sumiati, 2015), dimana

antigen yang dalam keadaan teropsonisasi lebih mudah dikenali oleh makrofag

dan mudah untuk dipecah atau dihancurkan. Oleh karena itu apabila semakin

tinggi nilai titer antibodi, maka kemampuan untuk perlindungan terhadap infeksi

juga akan semakin tinggi (Hazzulli et al., 2015). Peningkatan nilai titer antibodi

pada ikan setelah vaksinasi dapat diindikasikan sebagai adanya pengaktivan

respon imun spesifik terhadap antigen (whole cell E. tarda) (Setyawan et al., 2012)
47

5.3 Imunohistokimia
Hasil uji imunohistokimia (IHK) didapat nilai positif dimana ikan yang

divaksinasi menggunakan vaksin inaktif E. tarda dapat menghasilkan antibodi

spesifik E. tarda dengan ditunjukkan nilai imunoratio pada Tabel 5. Teknik

immunohistokimia merupakan metode yang digunakan untuk mengidentifikasi sel-

sel yang bersifat spesifik berdasarkan struktur atau komponen antigenik dan

produk seluler dengan reaksi kompleks antara antigen-antibodi (Yani et al., 2004).

Dengan kata lain immunohistokimia dapat digunakan sebagai alat untuk

mendeteksi anibodi spesifik yang dihasilkan ikan dari proses vaksinasi, dan hal

tersebut bertujuan untuk mengetahui bawa antibodi yang berkerja pada ikan bukan

antibodi nonsepesifik alami dari ikan, melainkan antibodi spesifik dari hasil

imonogenisitas vaksin. Penentuan nilai immunohistokimia pada Tabel 5, diolah

menggunakan software ImageJ dengan plugin ImmunoRatio yang menampilkan

hasil dalam bentuk persentase daerah DAB (indikator warna coklat) dan HE

(indikator warna biru/ungu).

Tabel 6. Nilai imunohistokimia pada ikan koi yang divaksinasi


Ginjal Limpa
Perlakuan Imunoratio (%) Intensitas Imunoratio (%) Intensitas
± SD Pixel ± SD Pixel
K- 17.57 ± 2.15 Negative 25.30 ± 1.35 Negative
A 24.73 ± 2.86 Low Positive 37.33 ± 2.49 Low Positive
B 53.00 ± 9.14 Low Positive 61.83 ± 3.10 Positive
C 64.67 ± 8.73 Positive 78.10 ± 6.22 High Positive
D 32.83 ± 1.46 Low Positive 48.10 ± 1.90 Low Positive
Pengamatan immunohistokimia menggunakan dua jaringan organ yaitu

ginjal dan limpa. Proses pembentukan leukosit pada mamalia terbatas pada

sumsum tulang, limpa dan limpnode, sedangkan pada ikan selain pada tempat-

tempat tersebut juga pada ginjal dan thymus turut berperan pada proses

pembentukan leukosit. Dari hasil immonoratio pada organ ginjal, perlakuan C

memiliki nilai immunoratio antibodi spesifik E. tarda paling tinggi dengan nilai

64.67±1.46, hal tersebut berbanding lurus dengan nilai titer antibodi yang
48

dihasilkan. Dan perlakuan terendah didapat pada perlakuan A sebesar 24,73 ±

2,86, dimana nilai perlakuan A tidak berbeda jauh dengan nilai perlakuan kontrol

negatif sebesar 17,57 ± 2,15. Kecilnya nilai IHK dari antibodi spesifik E. tarda pada

perlakuan A bisa disebabkan karena kecilnya dosis vaksin yang diberikan, yang

mengakibatkan tidak optimalnya vaksin untuk meransang imun spesifik pada ikan.

Pada organ limpa didapat nilai immonoratio antibodi spesifik E. tarda tertinggi pada

perlakuan C sebesar 78,10 ± 6,22, secara keseluruhan nilai immonoratio pada

organ limpa lebih besar dari pada organ ginjal, hal tersebut terjadi karena pada

limpa merupakan tempat terjadinya aktivasi sel B untuk berdiferensiasi menjadi B

plasma dan sel B memori (Sari et al., 2013), dimana sel plasma tersebut berfungsi

sebagai pengsekresi antibodi spesifik terhadap antigen yang ditangkap oleh APC

(Uribe et al., 2011) sedangkan sel memori bertugas sebagai pengingat dan

pembentuk memori sesuai struktur antigen (Setyawan et al., 2012).

90,00
78,10
80,00
70,00 64,67
61,83
Imunoratio (%)

60,00 53,00
48,10
50,00
37,33
40,00 32,83
30,00 24,73 25,30
17,57
20,00
10,00
0,00
Ginjal limpa
Perlakuan K- (0) A B C D

Gambar 14. Nilai Imunohistokimia ginjal dan limpa ikan koi (Cyprinus carpio)
49

Pixel Count: 1320352 Pixel Count: 1320352


Percentage contibution of High Positive: 19.7068 Percentage contibution of High Positive: 44.4554
Percentage contibution of Positive: 43.8628 Percentage contibution of Positive: 34.6977
Percentage contibution of Low Positive: 33.3584 Percentage contibution of Low Positive: 18.5337
Percentage contibution of Negative: 3.072 Percentage contibution of Negative: 2.3131
The score is Positive The score is High Positive

Pencitraan 3D Surface DAB Stain Hematoxylin Stain) Pencitraan 3D Surface DAB Stain Hematoxylin Stain)
Plot Plot
Gambar 15. Profil Imunohistokimia ginjal. A). Histologi ginjal dengan metode Gambar 16. Profil Imunohistokimia limpa. A). Histologi limpa dengan metode IHK;
IHK; B). Histologi ginjal dengan metode IHK setelah analisis menggunakan B). Histologi ginjal dengan metode IHK setelah dianalisis menggunakan
Immunoratio, warna coklat keeamasan hasil respon positif (+), warna biru hasil Immunoratio, warna coklat keeamasan hasil respon positif (+), warna biru hasil
respon negatif (-). Perbesaran 100X. respon negatif (-). Perbesaran 40X.
50

Nilai imunoratio dari IHK dilihat dari presentasi warna coklat keemasan yang

dihasilkan dari pewarnaan HE, dengan membandingkan luas area yang memiliki

warna biru dan coklat. Warna coklat yang timbul pada jaringan setelah dilakukan

pewarnaan IHK menggunakan antibodi monoklonal anti E. tarda menunjukkan

adanya antiodi spesifik atau pengikatan antibodi yang sama dengan adanya warna

coklat keemasan pada jaringan, sedangkan warna biru menunjukan jaringan yang

tidak terdeteksi antibodi spesifik dan warna biru tersebut dihasilkan oleh pewarna

HE. Perubahan warna coklat keemasan pada hasil uji IHK menunjukkan adanya

reaksi silang antara protein imunogenik dengan sistem imun spesifik (Yanuhar,

2011). Protein imunogenik merupakan protein yang dapat memicu aktifnya sistem

imun komplek, apabila protein tersebut dimasukkan atau dipaparkan kedalam

suatu organisme. Biasanya protein imunogenik tersebut masuk kedalam tubuh

organisme dalam bentuk antigen.

Seperti dijelaskan pada pembahasan titer antibodi, molekol antigen yang

masuk ke tubuh ikan akan ditangkap oleh APC dan berdeferensiasi di permukaan

sel imun untuk diekspresikan oleh MHC II ke limfosit T dan dipresentasikan kepada

sel Th2. Sel Th2 yang teraktivasi akan memproduksi sitokin-sitokin diantaranya IL-

2, IL-4, IL-6, dan IL-10 untuk mengaktivasi sel B dalam pembentukan sel B plasma

dan sel B memori (Yanuhar, 2011; Tang et al., 2017). Dengan demikian antibodi

spesifik pada jaringan ginjal maupun limpa ikan koi yang terbentuk dengan ditandai

oleh rekasi pewarnaan antiboi anti E.tara, menunjukkan bahwa sitoplasma

jaringan ginjal dan limpa tersebut mempunyai sistem kekebalan terhadap bakteri

E. tarda setelah dilakukan uji tantang pasca vaksinasi.

Hasil imunohistokimia menunjukan adanya antibodi yang berkerja pada

tubuh ikan uji berasal dari hasil respon sistem imun spesifik yang di picu dengan

pemberian vaksin, sehingga antibodi yang digunakan ikan untuk melawan paparan

bakteri E. tarda pada waktu uji tantang selama penelitian merupakan antibodi
51

spesifik E. tarda. Sehingga bisa dikatakan pada penelitian ini, dosis vaksin yang

paling baik untuk vaksinasi dan dapat meningkatkan imunogenisitas ikan

merupakan dosis C sebesar ͳͲ଼ .

5.4 Diferensial Leukosit


Hasil pengamatan yang dilakukan selama penelitian menggunakan vaskin

inaktif whole cell E. tarda sangat berpengaruh terhadap profil darah khususnya

jenis leukosit atau diferensial leukosit yaitu neutrofil, monosit dan limfosit. Salah

satu faktor yang berperan terhadap sistem imun bawaan (innate immunity) dan

berfungsi untuk melawan segala jenis patogen yang menyerang dan bersifat alami

walaupun tubuh sebelumnya tidak pernah terpapar oleh zat tersebut. Respon ini

meliputi pertahanan mekanik dan kimiawi (mukus, kulit, sisik dan insang) dan

pertahanan seluler (sel makrofag, leukosit seperti limfosit, monosit, neutrofil,

eosinofil dan basofil) (Purwaningsih, 2013).

Pengamatan diferensial leukosit dilakukan sebanyak 3 kali pengamatan,

yaitu pada hari ke-14 satu minggu setelah booster pertama; hari ke-28 satu minggu

setelah infeksi bakteri E. tarda; dan pada hari ke-42 dua minggu setelah infeksi.

Hal ini dilakuakan untuk melihat profil diferensial leukosit ikan yang sudah di

vaksinasi. Berikut ini adalah hasil pengamatan diferensial leukosit selama

penelitian.

Tabel 7. Nilai Diferensial leukosit (%) ikan koi selama penelitian


1 minggu setelah 2 minggu
Diferensial

Sebelum infeksi
Perlakuan

leukosit
(Sel/ml)

infeksi setelah infeksi


Rata - Rata ± SD
Hari - 14 Hari - 28 Hari - 42
Limfosit 65,67 ± 4,51 72.00 ± 3.46 48.67 ± 6.51
K (0) Monosit 27,33 ± 4,16 17.33 ± 4.16 32.67 ± 3.51
Neutrofil 7,00 ± 1,00 10.67 ± 1.15 18.67 ± 3.06
Limfosit 76,33 ± 3,79 80.33 ± 3.51 79.33 ± 4.04
A
Monosit 16,67 ± 3,79 14.00 ± 1.00 14.00 ± 3.46
(ͳͲସ )
Neutrofil 7,00 ± 1,00 5.67 ± 2.52 6.67 ± 1.53
Limfosit 77,67 ± 2,52 90.00 ± 3.00 77.33 ± 3.06
52

B Monosit 16,33 ± 3,21 7.33 ± 2.08 17.33 ± 4.93


(ͳͲ଺ ) Neutrofil 6,00 ± 1,00 2.67 ± 1.15 5.33 ± 2.08
Limfosit 83,33 ± 4,04 94.00 ± 2.65 67.33 ± 3.79
C
Monosit 12,00 ± 4,58 3.67 ± 2.08 28.00 ± 3.00
(ͳͲ଼ )
Neutrofil 4,67 ± 0,58 2.33 ± 1.53 4.67 ± 1.53
Limfosit 77,33 ± 5,51 85.67 ± 5.51 70.33 ± 4.51
D
Monosit 17,67 ± 6,51 9.33 ± 3.79 18.67 ± 4.04
(ͳͲଵ଴ )
Neutrofil 5,00 ± 1,00 5.00 ± 1.73 11.33 ± 0.58

Pada hari ke-14 (2 minggu setelah vaksinasi) sebelum uji tantang, jumlah

limfosit tertinggi didapat pada perlakuan C (ͳͲ଼ sel/ml) sebesar 83.33±4.04%;

untuk monosit pada perlakuan D (ͳͲଵ଴ sel/ml) sebesar 17.67±6.51%; dan neutrofil

pada perlakuan A (ͳͲସ sel/ml) sebesar 7.00±1.00%. Sedangkan pada kontrol

positif (ikan normal) dalam pemeliharaan tanpa vaksinasi memiliki jumlah rata-rata

diferensial leukosit berturut-turut sebagai berikut: limfosit sebesar 65.67±4.51%;

monosit 27.33±4.16%; neutrofil 7.00±1.00%, jika dibandingkan jumlah rata-rata

diferensial leukosit ikan kontrol positif lebih rendah dibandingkan ikan yang telah

divaksinasi kecuali nilai monosit, hal tersebut dikarenakan ikan yang divaksinasi

melakukan respon pengenalan antigen berupa vaksin secara spesifik dengan

memproduksi jumlah limfosit yang lebih banyak. Menurut Andayani et al., (2012),

nilai rata-rata diferensial ikan koi normal adalah sebagai berikut: limfosit: 68.00%;

monosit: 28.00%; dan neutrofil: 4.00%. Ikan yang divaksinasi akan mengalami

peningkatan jumlah leukosit dibandingkan ikan kontrol (Sugiani, 2012). Jumlah

leukosit yang meningkat setelah vaksinasi dan uji tantang menunjukkan respon

sistem imun terhadap antigen yang menginfeksi dalam tubuh sebagai upaya

pertahanan (Hardi et al., 2013; Sukenda et al., 2014).

Pada hari ke-28 (satu minggu setelah uji tantang), rata-rata jumlah limfosit

mengalami peningkatan yang signifikan dari setiap perlakuan. Peningkatan rata-

rata jumlah limfosit pada hari ke-28 (satu setelah uji tantang) terjadi karena adanya

respon imun secara spesifik ketika ikan mengalami infeksi oleh bakteri E. tarda

yang masih aktif. Rata-rata jumlah limfosit tertinggi didapat pada perlakuan C (ͳͲ଼
53

sel/ml) sebesar 94.00±2.65%; diikui berturut-turut perlakuan B (ͳͲ଺ sel/ml) sebesar

90.00±3.00%; perlakuan D (ͳͲଵ଴ sel/ml) sebesar 85.67±5.51%; perlakuan A (ͳͲସ

sel/ml) sebesar 80.33±3.51%; dan ikan kontrol negatif sebesar 72.00±3.46%.

Rendahnya rata-rata jumlah limfosit pada ikan kontrol negatif ini disebabkan oleh

fase awal sistem imun ikan yang masih berkerja secara non spesifik dengan

melakukan pengenalan antigen yang masuk. Rendahnya jumlah limfosit dalam

darah dapat menurunkan konsentrasi antibodi dan menyebabkan meningkatnya

serangan penyakit (Purwaningsih et al., 2014). Sedangkan rata-rata jumlah

monosit dan neutrofil tertinggi didapatkan pada ikan kontrol negatif berturut-turut

sebesar 17.33±4.16% dan 10.67±1.15%.

Dari rata-rata hasil diferensial leukosit tersebut, ikan yang divaksinasi

memiliki rata-rata jumlah limfosit lebih tinggi dibandingkan dengan ikan kontrol

negatif (tanpa vaksinasi) setelah sama-sama dilakukan uji tantang dengan

menggunakan bakteri E. tarda. Hal tersebut terjadi karena sistem imun ikan yang

divaksinasi merespon antigen secara spesifik dengan memproduksi limfosit lebih

banyak dibandingkan sistem imun ikan kontrol negatif yang masih berkerja secara

non spesifik, dimana sistem imun ikan kontrol masih melakukan pengenalan

antigen dengan memproduksi monosit dan neutrofil lebih banyak. Jumlah neutrofil,

monosit, dan limfosit mengalami fluktuasi secara homeostasi total leukosit dari

pasca vaksinasi sampai pasca uji tanatang.

Homeostasis adalah keadaan suatu tubuh untuk mempertahankan

keseimbangan dalam menghadapi kondisi yang di alaminya (Siagian, 2004).

Fluktusai homeostasis tersebut menunjukkan adanya aktifitas imun dari ikan koi

berupa peningkatan jumlah monosit sebagai sel fagosit (makrofag) yang akan

memfagositosis antigen dalam tubuh (Setiawan et a;., 2012; Sugiani, 2012;

Sukenda et al., 2014). Sedangkan neutrofil bermigrasi ke tempat inflamasi dan


54

infeksi dimana neutrofil berperan sebagai pertahanan imun non spesifik ketika

terinfeksi infeksi bakteri (Purwaningsih et al., 2014). Untuk peningkatan jumlah

limfosit menunjukkan adanya aktivitas pertahanan secara spesifik, dimana limfosit

itu sendiri berfungsi untuk pembentukan antibodi spesifik atau memori (Hardi et

al., 2013). Oleh karena itu ikan kontrol negatif memiliki rata-rata jumlah limfosit

lebih rendah dibandingkan ikan yang sudah divaksinasi, yang sebelumnya sistem

imun ikan yang telah divaksinasi sudah mengenal atau membentuk memori sesuai

antigen yang menginfeksi ke dalam tubuh ikan.

100,00

90,00
94,00
85,67
83,33

80,33
90,00

79,33
77,67
77,33

77,33
76,33

72,00

70,33
80,00

67,33
Diferensial Leukosit (%)

65,67

70,00
60,00

48,67
50,00

32,67
40,00

28,00
27,33

30,00

18,67

18,67
17,67

17,33

17,33
16,67
16,33

14,00

14,00
12,00

11,33
10,67

20,00
9,33
7,33
7,00
7,00

6,67
6,00
4,67

4,67
5,67

5,33
5,00

5,00

3,67
2,33
2,67

10,00
0,00
Neutrofil Monosit Limfosit Neutrofil Monosit Limfosit Neutrofil Monosit Limfosit
Hari-14 Hari-28 Hari-42
Perlakuan: K A B C D Hari
Gambar 17. Diferensial leukosit selama penelitian

Setelah 2 minggu pasca uji tantang pada hari ke-42, rata-rata jumlah limfosit

mengalami penurunan dan peningkatan rata-rata jumlah monosit dan neutrofil

dibandingkan pada hari ke-28 di seiap perlakuan. Untuk rata-rata jumlah limfosit

tertinggi, berturut-turut didapat perlakuan A (ͳͲସ sel/ml) sebesar 79.33±4.04;

perlakuan B (ͳͲ଺ sel/ml) sebesar 77.33±3.06; D (ͳͲଵ଴ sel/ml) sebesar 70.33±4.51;

C (ͳͲ଼ sel/ml) sebesar 67.33±3.79; dan Kontrol negatif sebesar 48.67±6.51. Rata-

rata jumlah limfosit pada ikan kontrol negatif mengalami menuruan yang sangat

drastif jika dibandingkan pada hari ke-28 (72.00±3.46), bahkan jumlah limfosit

yang dihasilkan dibawah rata-rata jumlah limfosit ikan normal (68.00%, Andayani

et al., 2012). Rendahnya nilai limfosit ini dikarenakan respon imun yang dihasilkan
55

ikan kontrol negatif lebih rendah dibandingkan dengan jumlah infeksi bakteri yang

menyerang dan mengakibatkan timbulnya luka pada tubuh dan kematian dalam

jumlah besar. Selain hal tersebut penurunan rata-rata jumlah limfosit pada ikan

perlakuan vaksinasi menunjukkan mulai normalnya respon imun pada ikan setelah

2 minggu pasca uji tantang atau bisa dikatakan ikan sudah mulai sehat dengan

jumlah limfosit; monosit dan neutrofil yang sudah mendekati nilai normal. Menurut

Andayani et al., (2012), nilai rata-rata diferensial ikan koi normal adalah sebagai

berikut: limfosit: 68.00%; monosit: 28.00%; dan neutrofil: 4.00%. Dari hasil

pengamatan terhadap diferensial leukosit ikan uji selama masa penelitian, jumlah

limfosit memiliki jumlah yang paling tinggi dibandingkan dengan jumlah monosit

atau neutrofil. Jumlah limfosit yang tinggi dikarenakan proprosi limfosit didalam

darah paling banyak dan berfungsi sebagai penyedia zat kebal tubuh (Setiawan et

al., 2012).

5.5 Aktivitas Fagositosis


Hasil pengamatan yang dilakukan selama penelitian menggunakan vaksin

dengan dosis A (ͳͲସ sel/ml); B (ͳͲ଺ sel/ml); C (ͳͲ଼ sel/ml); D (ͳͲଵ଴ sel/ml) memiliki

indeks aktivitas fagositosis lebih tinggi dibandingkan dengan ikan kontrol tanpa

vaksinasi. Hal ini disebabkan karena vaksin dapat merespon kemampuan fagosit

untuk mengenali lebih awal terhadap aktivitas antigen yang menginfeksi ke dalam

tubuh ikan.

Tabel 8. Rata-rata aktivitas fagositois (%) ikan koi selama penelitian


Pra Infeksi Bakteri Post Infeksi Bakteri
Perlakuan

Ulangan Rata-rata Ulangan Rata-rata


1 2 3 ± SD 1 2 3 ± SD
K 21,9 25,2 21,7 22,99 ± 1,96 16,7 13,3 15,2 15,12 ± 1,71
A 35,3 36,2 36,4 36,05 ± 0,57 28,6 31,3 31,3 30,45 ± 1,55
B 40,3 39,4 40,8 40,22 ± 0,66 35,0 29,6 29,4 31,37 ± 3,17
C 43,2 43,4 43,1 43,28 ± 0,11 36,5 29,3 39,4 35,10 ± 5,19
D 36,4 37,7 35,6 36,63 ± 1,05 28,5 29,1 38,5 32,07 ± 5,58
Keterangan : Dosis K = 0 sel/ml; A = ͳͲସ sel/ml; B = ͳͲ଺ sel/ml; C = ͳͲ଼ sel/ml; D
= ͳͲଵ଴ sel/ml (data dalam bentuk arcsin)
56

Untuk perlakuan vaksinasi sebelum uji tantang menggunakan bakteri E.

tarda, perlakuan C (ͳͲ଼ sel/ml) memiliki persentase aktivitas fagositosis paling

tinggi sebesar 43,28 ± 0,11 dibandingkan dengan perlakuan A (ͳͲସ sel/ml) 36,05

± 0,57; B (ͳͲ଺ sel/ml) 40,22 ± 0,66; dan D (ͳͲଵ଴ sel/ml) 36,63 ± 1,05. Dosis vaksin

pada perlakuan A (ͳͲସ sel/ml) dan B (ͳͲ଺ sel/ml) cenderung meningkatkan

presentase aktivitas fagositosis ikan sampai titik maksimal pada dosis C (ͳͲ଼

sel/ml), dan mengalami penurunan presentase pada dosis D (ͳͲଵ଴ sel/ml). Nilai

aktivitas fagositosis meningkat setelah uji tantang dan menurun ketika setelah uji

tantang (Sukenda et al., 2014). Menurut Setiawan et al., (2012), vaksin dapat

merangsang kemampuan fagosit terhadap antigen pada kelompok ikan vaskinasi

dibandingkan ikan kontrol tanpa vaksinasi.

50,00
45,00 43,28
40,22
40,00 36,05 36,63
35,10
Aktivitas fagositosis (%)

35,00 31,37 32,07


30,45
30,00
25,00 22,99

20,00
15,12
15,00
10,00
5,00
0,00
K A B C D
Pra Infeksi Post Infeksi
Dosis vaksin (sel/ml)

Gambar 18. Histogram Aktivitas Fagositosis Sebelum dan Sesudah Uji Tantang
dengan Bakteri E. tarda dengan Kepadatan 106 sel/ml.

Tingginya nilai aktivitas fagositosis mengindikasikan bahwa vaksin dapat

meningkatkan kinerja respon imun non spesfik pada ikan yang terinfeksi bakteri

patogen (Purwaningsih et al., 2014). Sedangkan terbentuknya imun spesifik

(antibodi) diawali dengan masuknya antigen kedalam tubuh ikan dan kemudian

difagosit oleh makrofag, setelah itu makrofag akan merangsang sel limfosit untuk

memproduksi antibodi sesuai jenis antibodi yang masuk (spesifik) (Setiawan et al.,
57

2012). Komponen antigen hasil proses fagositik inilah yang nantinya akan diikat

oleh limfosit T untuk diinformasikan ke limfosit B dan kemudian limfosit B akan

membentuk antibodi spesifik berdasarkan antigen yang masuk. Menurut Wintoko

et al., (2012) fagositosis merupakan langkah awal untuk mekanisme respon

imunitas, berikutnya adalah terbentuknya respon spesifik yang berupa antibodi,

sedangkan peningkatan proses fagositosis ini menunjukan adanya peningkatan

kekebalan tubuh.

Penurunan nilai fagositosis pada perlakuan D disebabkan oleh semakin

tingginya dosis vaksin yang mempengaruhi penurunan presentase aktivitas

fagositosis, dikarenakan semakin tingginya dosis vaksin yang diberikan

mengakibatkan lambatnya proses pengenalan vaksin akibat tidak seimbangnya

jumlah sel monosit yang berfungsi sebagai sel makrofag dengan jumlah antigen

berupa vaksin. Dan selain hal tersebut, penurunan aktivitas fagositosis juga diduga

karena terjadinya cytokine strom, dimana sel T yang mensekresi sitokin (IL-2, IL-

4, IL-6, dan IL-10) dalam jumlah besar, mengakibatkan besarnya jumlah energi

yang diperlukan untuk proses produksi tersebut dan mengakibatkan menurunnya

tingkat kesehatan ikan atau stres. Menurut Vitria (2013), badai sitokin/kemokin

(cytokine/chemokine storm) dapat meningkatkan risiko kerusakan pada banyak

organ.

0HQXUXW -HQQLIHU   ,VWLODK ³Cytokine strom´PHUXSDNDQ menunjukkan

gambaran yang jelas tentang sistem kekebalan tubuh yang tidak berfungsi secara

normal dan respons inflamasi berfungsi di luar control. Sitokin adalah kelompok

mikro protein yang disekresikan oleh sel yang bertujuan untuk pemberian sinyal

atau komunikasi antar sel. Sitokin spesifik memiliki aktivitas autokrin, parakrin,

atau endokrin, dan melalui pengikatan reseptor dapat menghasilkan berbagai

respon, tergantung pada sitokin dan sel target. Di antara banyak fungsi sitokin

adalah kontrol proliferasi sel dan diferensiasi dan regulasi angiogenesis dan
58

respon kekebalan dan inflamasi. Jenis sitokin yang berperan dalam sistem imun

spesifik adalah interleukin (IL-2, IL-4, IL-6, dan IL-10). Berbeda dengan IFNs,

interleukin adalah keluarga pengatur sistem kekebalan yang beragam yang

berfungsi terutama dalam diferensiasi sel imun dan aktivasi. Penunjukan

interleukin awalnya dibuat untuk merujuk pada sitokin yang diproduksi oleh

leukosit yang berfungsi dalam komunikasi interselular; Namun, interleukin

sekarang diketahui diproduksi oleh berbagai jenis sel.

50
45 y = 22,536 + 5,1884x - 0,3648x2
R² = 0,9406
40
35
Aktivitas Fagositosis (%)

30
Pra Infeksi
25
y = 15,215 + 4,8437x - 0,3129x2
R² = 0,8175 Post Infeksi
20
15
10
5
0
0 2ଶ
ͳͲ 4ସ
ͳͲ 6଺
ͳͲ 8଼
ͳͲ 10ଵ଴
ͳͲ 12ଵଶ
ͳͲ
Dosis Vaksin (sel/ml)

Gambar 19. Grafik hubungan pemberian vakisin terhadap aktivitas fagositosis ikan
koi pada pra infeksi dan post infeksi

Setelah uji tantang, presentase aktivitas fagositosis ikan rata-rata menurun

pada setiap perlakuan, termasuk ikan kontrol. Presentase aktivitas fagositosis

tertinggi tetap didapat pada perlakuan C (ͳͲ଼ sel/ml) sebesar 35,10 ± 5,19

dibandingkan dengan perlakuan A (ͳͲସ sel/ml) 30,45 ± 1,55; B (ͳͲ଺ sel/ml) 31,37

± 3,17; dan D (ͳͲଵ଴ sel/ml) 32,07 ± 5,58. Penurunan presentase aktivitas

fagositosis ikan yang divaksin cenderung masih dalam keadaan normal apabila

dibandingkan dengan persentase aktivitas fagositosis pada ikan konrol positif

tanpa uji tantang maupun tanpa vaksinasi (ikan normal) yaitu sebesar (K+) 22,99
59

± 1,96 dan jauh berbeda apabila dibandingkan dengan ikan kontrol negatif tanpa

vaksinasi dan diuji tantang (ikan sakit) yaitu sebesar (K-) 15,12 ± 1,71.

1 2 3

6 5 4
Gambar 20. Aktivitas Fagositosis: 1. Sel monosit, 2. pelekatan, 3. Aktivitas
membran, 4. permulaan fagositosis, 5 penghancuran, 6. Pelepasan
dan mengeluarkan hasil fagositosis

Kematian ikan biasanya disebabkan oleh produksi antibodi yang dihasilkan,

tidak seimbang dengan proses antigen yang menyerang tubuh ikan yaitu bakteri

E. tarda. Hal inilah yang biasanya mengakibatkan timbulnya luka pada tubuh ikan.

Selain ketidakseimbangan produksi antibodi, fase awal septic shock yang di

pengaruhi banyaknya produksi senyawa sitokin oleh makrofag yang melakukan

pelepasan dalam jumlah besar, dimana apabila terjadi pelepasan sitokin dalam

jumlah besar dapat berakibat pada tingkat kesehatan ikan (cytokine strom).

Makrofag dapat memproduksi sitokin, ketika makrofag teraktivasi oleh

lipopolisakarida (dinding sel bakteri gram -). Bakteri yang menginfeksi dalam tubuh

ikan akan mengeluarkan lipopolisakarida (LPS), senyawa ini merupakan senyawa

yang berada di dinding sel bakteri gram negatif yang dimana senyawa ini berfungsi

untuk melemahkan sistem imun ikan, dan ketika senyawa ini masuk ke dalam

tubuh ikan, secara otomatis sistem imun ikan akan merespon pembentukan

antibodi. Lipopolisakarida (LPS) dalam dinding bakteri gram (-) dapat mengaktivasi

komplemen (C3b) jalur alternatif tanpa adanya antibodi yang menyebabkan


60

opsonisasi, lisis bakteri melalui respon inflamasi akibat aktivitas leukosit

(Purwaningsih et al., 2014).

5.6 Relative Percent Survival (RPS)

Nilai RPS ikan koi setelah vaksinasi dan setelah infeksi menunjukkan hasil

yang beragam pada setiap perlakuannya. Salah satu yang mempengaruhi tinggi

rendahnya nilai RPS pada penelitian ini adalah dosis vaksin. Dimana seperti

pejelasan sebelumnya, tingkat kepadatan bakteri yang diinaktivasi pada dosis

vaksin berpengaruh besar pada tingkat kesehatan ikan.

Tabel 9. Nilai survival rate dan relative percent survival (RPS)


Setelah Valsinasi Setelah Infeksi
Sintasan (Survival Sintasan (Survival
Perlakuan rate) (%) rate) (%)
RPS (%) RPS (%)
Minggu Minggu Minggu Minggu
ke-1 ke-2 ke-4 ke-5
K- 100 100 - 55,56 33,33 -
A (ͳͲସ ) 94,44 88,89 88,23 77,78 66,67 50,00
B (ͳͲ଺ ) 94,44 94,44 94,12 83,33 77,78 66,67
C (ͳͲ଼ ) 100,00 94,44 94,12 88,89 88,89 83,33
D (ͳͲଵ଴ ) 94,44 83,33 82,35 72,22 61,11 41,67

Relative percent survival (RPS) adalah persentase relatif perbandingan

antara mortalitas ikan yang divaksin dengan mortalitas ikan kontrol. Pada

penelitian nilai sintasan (SR) setelah vaksinasi memiliki hasil yang tidak berbeda

nyata pada setiap perlakuan untuk minggu ke-1. Pada minggu ke-1 nilai SR

tertinggi didapat pada perlakuan C dan K+ dengan nilai SR 100% diikuti dengan

perlakuan A; B; dan D yang memiliki nilai SR yang sama sebesar 94.44%. Hal

tersebut menunjukkan bahwa efek pemberian vaksin tidak memiliki sifat

patogenitas, dengan ditunjukkannya nilai SR yang sama dengan ikan Kontrol yang

tidak diberi vaksin. Untuk minggu ke-2 nilai SR tertinggi didapat pada perlakuan B

dan C dengan nilai SR 94.44%, dimana untuk keseluruhan nilai SR mengalami

penurunan di setiap perlakuan (A= 88.89%; C= 83.33%) dari minggu ke-1 kecuali
61

ikan kontrol positif yang memiliki nilai SR 100%. Niai RPS setelah vaksinasi

didapat hasil yang hampir sama dengan nilai SR pada minggu ke-2, nilai RPS

tertinggi didapat pada perlakuan B dan C sebesar 94.12% diikuti berturut-turut

perlakuan A (88.23%); dan D (82.35%). Hal tersebut dikarenakan, efek pemberian

vaksin dapat merangsang respon imun membutuhkan waktu +2 minggu untuk

mengenali antigen berupa vaksin sebelum dapat memberikan respon imun.

Produksi antibodi terhadap antigen berlangsung berberapa minggu (Sumiati,

2015), meskipun tergantung pada jenis ikan, suhu perairan, dosis vaksin, metode

inakifasi, dan metode aplikasi.

Relative Percent Survival (RPS)


120,00

94,12 94,12
Relative Percent Survival (%)

100,00 88,23
83,33 82,35
80,00
66,67
60,00 50,00
41,67
40,00

20,00

0,00
A B C D
Perlakuan
Setelah Valsinasi Setelah Infeksi

Gambar 21. Histogram Relative percent survival (RPS) setelah vaksinasi dan
setelah infeksi dengan bakteri E. tarda dengan kepadatan 106 sel/ml.

Setelah uji tantang atau setelah infeksi menggunakan bakteri E. tarda nilai

SR dan RPS cenderung menurun pada setiap perlakuan, tetapi masih jauh lebih

tinggi dibandingkan ikan kontrol tanpa pemberian vaksin yang diinfeksi. Nilai SR

tertinggi minggu ke-4 didapat pada perlakuan C dengan nilai 88.89% diikuti

berturut-turut perlakuan B (83.33%); A (77.78%); D (72.22%); dan K- (55.56%).

Sedangkan untuk minggu ke-5 nilai SR tertinggi tetap pada perlakuan C sebesar

88.89%. diikuti perlakuan B (77.78%); A (66.67%); D (61.11%); dan kontrol negatif

(33.33%). Penurunan nilai SR pada minggu ke-4 dan 5 cukup signifikan pada
62

setiap perlakuan, kecuali perlakuan C. Penurunan nilai SR biasa diartikan bahwa

tingkat kemampuan hidup ikan menurun yang disebabkan tidak optimalnya dosis

vaksin yang diberikan untuk menghambat infeksi baktei E. tarda atau dosis vaksin

tidak optimal untuk meningkatkan respon imun non-spesifik maupun spesifik.

Penurunan tingkat kelangsungan hidup ikan diduga karena adanya

ketidakseimbangan aktivitas bakteri dengan kekebalan tubuh ikan, dimana

aktivitas bakteri lebih kuat dan cepat dibandingkan dengan aktivitas peningkatan

kekebalan alami tubuh ikan, sehingga antibodi yang terbentuk tidak cukup kuat

untuk mengantisipasi infeksi bakteri E. tarda selama penelitian (Setiawan et al.,

2012; Purwaningsih et al., 2014).

Survival Rate (SR)


120,00
100,00

100,00

100,00
94,44

94,44

94,44

94,44

94,44
88,89

88,89

88,89
100,00
83,33

83,33
77,78

77,78
72,22
Survival Rate (%)

66,67
80,00

61,11
55,56

60,00

33,33
40,00

20,00

0,00
Minggu 1 minggu 2 minggu 3 minggu 4
setelah vaksinasi setelah uji tantang
Dosis vaksin K A B C D

Gambar 22. Histogram survival rate (SR) setelah vaksinasi dan setelah infeksi
dengan bakteri E. tarda dengan kepadatan 106 sel/ml.

Hari ke 23 Hari ke 34 Hari ke 42


Gambar 23. Morfologi tubuh ikan selama pemeliharaan. Didalam lingkaran merah
merupakan perkembangan penyembuhan luka pada tubuh ikan
selama penelitian
63

Pada periode awal uji tantang, antibodi yang dihasilkan belum begitu banyak

dan ketika ada paparan antigen, ikan tidak maksimal dalam melakukan

perlindungan terhadap infeksi dan hal tersebut biasanya terjadi pada 1 minggu

setelah uji tantang dengan meningkatnya presentase kematian (Sumiati, 2015).

Sedangkan untuk nilai RPS setelah infeksi, nilai RPS tertinggi didapat pada

perlakuan C sebesar 83.33% diikuti perlakuan B (66.67%); A (50%); dan D

(41.67%). Dari keseluruhan hasil dari SR dan RPS, perlakuan C dengan dosis

vaksin ͳͲ଼ sel/ml memiliki hasil yang paling bagus dibandingkan dengan perlakuan

lainnya. Menurut berberapa penelitian vaksin E. tarda dengan dosis ͳͲ଻ cfu/ml

menghasilkan RPS 100% (Li et al., 2015) pada ikan gurame; dosis ͳͲ଼ cfu/ml

menghasilkan RPS tertinggi sbesar 78% pada ikan Paralichthys olivaceus. Suatu

vaksin bisa dikatakan efektif apabila memiliki nilai RPS >50% (Sukenda et al.,

2014), tingkat kematian ikan kontrol paling sedikit 60%, sedangkan tingkat

kematian pada ikan yang di vaksinasi kurang dari 24% (Purwaningsih et al., 2014),

yang berarti sistasan ikan yang divaksinasi lebih tinggi dibandingkan dengan ikan

yang tidak divaksinasi.

5.7 Kualitas Air

Dalam suatu kegiatan budidaya perairan, kualitas air merupakan salah satu

faktor yang memgang peranan penting karena organisme hidup dalam perairan

tersebut. Kualitas air yang diuji meliputi faktor fisika dan kimia, diantaranya adalah

suhu, kandungan oksigen terlarut dan pH (Subarijanti, 2000).

Selama penelitian berlangsung, pengukuran kualitas air dilakukan yang

meliputi suhu, oksigen terlarut (DO) dan pH pada setiap wadah media

pemeliharaan. Faktor-faktor tersebut turut diperhatikan selama penelitian

berlangsung karena air dapat mempengaruhi kelangsungan hidup ikan itu sendiri.

Selama penelitian pengukuran kualitas air dilakukan 2 kali sehari yaitu pada pagi
64

dan malam hari. Hasil pengukuran kualitas air selama penelitian dapat dilihat pada

Tabel 10.

Tabel 10. Parameter Kualitas Air pada Media Pemeliharaan Selama Penelitian
Parameter Kualitas Partosuwiryo dan
No. Parameter Kualitas Air
Air pada Perlakuan Warseno (2011)
1. Suhu 26 ± 280C 25 ± 300C
2. pH 6,75 ± 8,38 6,5 ± 8,5
3. Oksigen Terlarut 4,38 ± 7,41 ppm 3 ± 7 ppm

Berdasarkan Tabel 10, menunjukkan bahwa air sebagai media

pemeliharaan dan media hidup ikan koi masih memenuhi syarat sehingga tidak

berpengaruh terhadap penurunan kondisi fisiologisnya.


66

DAFTAR PUSTAKA

Abasali, Hajibeglou., and Mohamad S. 2010. Immune Response of Common Carp


(Cyprinus carpio) Fed with Herbal Immunostimulants Diets. Agricultural
Joumal. 5(3): 163-172.
Andayani,S., Marsoedi, Sanoesi, E., Wilujeng, A. E., dan H. Suprastiani. 2012.
Profil Hematologis Beberapa Spesies Ikan Air Tawar Budidaya. Fakultas
Sains dan Tekmologi UIN Maliki Malang. 353-365.
Alifuddin, M. 2002. Imunostimulasi pada Hewan Akuatik. Jurnal Akuakultur
Indonesia. 1 (2): 80-90.
Anderson DP. 1974. Fish immunology. T.F.H. Publication, Inc. Ltd. Hongkong. Hlm
239.
Apriyanto, Herman., Harpeni E., Setyawan A., dan Tarsim. 2014. Pemanfaatan
Ekstrak Buah Rhizophora sp. Sebagai Anti Bakteri Terhadap Bakteri
Patogen Ikan Air Tawar. e-Jurnal Rekayasa dan Teknologi Budidaya
Perairan. 3(1): 289-296.
Ardias, N. 2008.Peranan NaCl Terhadap Derajat Pembuahan, Penetasan Telur
dan Kelangsungan Hidup Larva Ikan Koi (Cyprinus carpio). Institut
Pertanian Bogor. Bogor. Skripsi tidak di publikasikan.
Bijanti R., 2005. Hematologi Ikan-Teknik Pengambilan Darah dan Pemeriksaan
Hematologi Ikan. Kedokteran Hewan Universitas Airlangga.Surabaya. Hlm
195.
Choi, Seung H., Kim, Sun M., and Kim, Ki H. 2015. Generation of killed but
metabolically active (KBMA) Edwardsiella tarda and evaluation of its
SRWHQWLDO DV D SURWHFWLYH YDFFLQH (OVHYLHU )LVK  6KHOO¿VK ,PPXQRORJ\
45: 889-894.
Dangeubun J., Hardoko., Andayani S., and Yenny R. 2013. The Use of Active
Compound in the Methanol Extract of Alstonia acuminata for the
Improvement of Non-Specific Immune System in Tiger Grouper
(Epinephelus fuscoguttatus). Journal of Biology and Life Science. 4(2): 167-
179.
Danny, Muhammad E. S. 2014. Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Binahong
(Anredera cordifolia (Ten.) Steenis) Untuk Meningkatkan Jumlah Leukosit
Dan Aktivitas Fagositosis Ikan Koi (Cyprinus carpio) Yang Diinfeksi Bakteri
Aeromonas hydrophila. Fakultas Peikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas
Brawijaya. Skripsi tidak di publikasikan.
Desi, Sugiani., Sukenda., Harris E., Lusiastuti A. M. 2012. Respons Imun Ikan
Tilapia (Oreochromis niloticus), Terhadap Vaksin Bivalen Sel Utuh Dan
Ekstraselular Antigen Aeromonas hydrophila dan Streptococcus
agalactiae. Prosiding Indoaqua - Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2012.
67

DJPB, KKP. 2015. LAMPIRAN - Peraturan Direktur Jenderal Perikanan Budidaya


Nomor 113/PER-DJPB/2015 Tentang Rencana Strategis Direktorat
Jenderal Perikanan Budidaya Tahun 2015 ± 2019.KKP.
Du, Yang., Tang, Xiaoqian., Sheng, Xiuzhen., Jing X., and Wenbin Z. 2015.
,PPXQHUHVSRQVHRIÀRXQGHU Paralichthys olivaceus) was associated with
the concentration of inactivated Edwardsiella tarda and immersion time.
Elsevier. Veterinary Immunology and Immunopathology.
Ellis AE. 1988. General principles of fish vaccination. Di dalam: Ellis AE, editor.
Fish vaccination. Academic Press, London, hlm 1- 19
Ellis AE. 2001. Innate host defense mechanisms of fish against viruses and
bacteria. Developmental and Comparative Immunology 25: 827-39.
Firdaus, R. 2010. Pembenihan Ikan Koi (Cyprinus carpio). Institut Pertanian Bogor.
Bogor. Hlm 84.
Firma., Amalia, Rizky R., Sari U., Chotimah C., Abdulgani A. S. 2012. Deteksi
Edwardsiella tarda pada Ikan Lele (Clarias sp.) dengan Metode Fluorescent
Antibody Technique (FAT). Jurnal Akuakultur Indonesia. 11(1): 16-102.
Fujaya, Y., 2004. Fisiologi Ikan- Dasar Pengembangan Teknik Perikanan. PT
Rineka Cipta. Jakarta Pandang. Hlm 36.
Gustiano, R., T.H. Prihadi, dan E, Kusrini. 2008. Survei Potensi, Distribusi Sumber
Daya, dan Usaha Ikan Hias Air Tawar di Beberapa Sentra Produksi. 3 (1):
77-80.
Hardi, Esti H., Sukenda., Endang H., Angela M. L. 2013. Potential Vaccine
Candidate of Streptococcus agalactiae for Prevent Strepcococosis On Nila
Tilapia (Oreochromis niloticus). Jurnal Veteriner. 14(4): 408-416.
Hazzulli, Nurma J., Agus S., Esti H. 2015. Imunogenisitas Kombinasi Vaksin Inaktif
Whole Cell Aeromonas salmonicida Dan Vitamin C Pada Ikan Mas
(Cyprinus carpio). e-Jurnal Rekayasa dan Teknologi Budidaya Perairan.
3(2): 359-365.
Hoffbrand, V dan Atul, M. 2005. At a Glance Hematologi Edisi Kedua. Erlangga.
Jakarta. Hlm 117.
Holt, J.G., N.R. Krieg, P.H.A. Sneath, J.T. Staley, and S.T. Williams. 1994.
%HUJH\¶V0DQXDORI'HWHUPLQDWLYH%DFWHULRORJ\WKHG%DOWLPRUH:LOOLDPs
and Wilkins.
Jawetz E, Melnick LJ, Adelberg AE. 1996. Microbiologi Kedokteran, Edisi-20, alih
bahasa Edi Nugroho, R.F. Maulany, C.V EGC, Jakarta: 236-237.
Jennifer T. R., Korth M. J., Simmons C. P., Jeremy F., Thomas R. M., and Michael
G. K. 2012. Into the Eye of the Cytokine Storm. Microbiology and Molecular
Biology Reviews. 76 (1): 16-32.
Johnny, Zafran., Des Roza, dan Ketut Mahardika. 2003. Hematologis Beberapa
Spesies Ikan Laut Budidaya. Jurnal Penelitian Indonesia. 9 (4): 65-71
68

Khairuman dan Sudenda, D. 2002. Budidaya Patin Secara Intensif. Agro Media
Pustaka. Yogyakarta. Hlm 78.
Laelawati, E. 2008. Respon tanggap kebal ikan mas (Cyprinus carpio) terhadap
vaksin koi herpesvirus yang diberikan melalui injeksi dengan dosis
berbeda. Skripsi. Hlm 68.
Lengka, Kedis., Henky Manoppo dan Mangdalena. E.F.K. 2013. Peningkatan
Respon Imun Non Spesik Ikan Mas (Cyprinus carpio L) Melalui Pemberian
Bawang Putih (Allium Sativum). Jurnal Budidaya Peraira. 1(2): 21-28.
Li, Jie., Mo, Zhaolan., Li, Guiyang., Xiao, P., and Huang, Jie. 2015. Generation and
evaluation of virulence attenuated mutants of Edwardsiella tarda as vaccine
candidates to combat edwardsiellosis LQÀRXQGHU Paralichthys olivaceus).
(OVHYLHU)LVK 6KHOO¿VK,PPXQRORJ\-180.
Lowry T, Smith SA. 2007. Aquatic zoonoses associated with food, bait,
ornamental, and tropical fish. Vet. Med. Today: JAVMA. 231 (6).
Lukistyowati, Iesje. 2012. Studi Efektifitas Sambiloto (Andrographis paniculata
Nees) untuk Mencegah Penyakit Edwardsiellosis pada Ikan Patin
(Pangasius hypopthalmus). Berkala Perikanan Terubuk. 40(2): 56-74.
Lukistyowati, Iesje., dan Morina, Riauwaty. 2012. Pemanfaatan Bahan Alami
Untuk Mencegah dan Mengobati Penyakit Ikan Ekonomis Penting Riau.
Laporan Penelitian DANA DIPA. Lembaga Penelitin Universitas Riau.
Pekanbaru.
Munasir, Zakiudin. 2001. Respon Imun Terhadap Infeksi Bakteri. Sari Pediatri.
2(4): 193-197.
Narwiyani, Siti. 2010. Lethal Concentration 50% (LC-50) Empat Isolat Edwardsiella
tarda Pada Ikan Air Tawar Di Indonesia. Jurnal Sain Veterner (JSV). 28(2):
51-54.
Narwiyani, Siti., dan Kurniasih. Phylogenetic Tree dari Empat Isolat Edwardsiella
Tarda di Indonesia Phylogenetic Tree from Four Isolates of Edwardsiella
tarda in Indonesia. Biota. 16(2): 348-353.
Nazir, M. 1988. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia: Jakarta.
Noercholis, Achmad., Aziz. M dan Maftuch. 2013. Ekstraksi Fitur Roundness untuk
Menghitung Jumlah Leukosit dalam Citra Sel Darah Ikan. Jurnal EECCIS.
7 (1): 1-9.
Nucci, C., Silveira, W.D., Correa, S.S., Nakazato, G., Bando, S.Y., Ribeiro, M.A.
dan Castro, A.F.P. 2002. Microbiological Comparative Study of Isolates of
Edwardsiella tarda Isolated in Different Countries from Fish and Human.
9HWHULQDU\0LFUREí9.
Nur I. 2006. Respon humoral ikan nila (Oreochromis niloticus Linne) yang
divaksinasi dengan konsentrasi bakteri Aeromonas hydrophila yang
berbeda. Jurnal WIPTEK. 14: 0854-0667.
69

Nuryati, S; A. Maswan; Alimuddin; Sukenda; K. Sumantadinata; F. H. Pasaribu; R.


D. Soejoedono; A. Santika. 2010. Gambaran Darah Ikan Mas (Cyprinus
carpio) Setelah Divaksinasi dengan Vaksin DNA. Jurnal Akuakultur
Indonesia. 9 (1): 9-15.
Olga., Rini, Ririen K., Akbar J., Alim I., dan Langkah S. 2007. Protein Aeromonas
hydrophila Sebagai Vaksin Untuk Pengendalian MAS (Motile Aeromonas
Septicemia) pada Jambal Siam (Pangasius hypophthalamus). Jernal
Perikanan (J. Fish. Sci.). 9(1): 17-25.
Passarela, Muhamad P. 2006. Uji Tantang Pada Ikan Gurame (Osphronemus
gouramy) Yang Dllmunlsasl Dengan Vaksln Inaktif Anti Aeromonas
hydrophila Peroral Melalui Pelet. Fakultas Kedokteran Hewan, Institut
Pertanian Bogor. Skripsi tidak di publikasikan.
Pratiwi, Kiki A. 2016. Efikasi Vaksin Sel Utuh Aeromonas hydrophila pada Induk
Lele Clarias sp. dalam Meningkatkan Ketahanan Benih Terhadap Infeksi
Bakteri Aeromonas hydrophila. Institut Pertanian Bogor. Tesis tidak di
publikasikan.
Press CM, Evensen O. 1999. The morphology of the immune system in teleost
fishes. Fish and Shellfish Immunology 9: 309-18.
Priyagung, T. P. 2008. Identifikasi Jenis Kelamin Ikan Koi (Cyprinus carpio)
Menggunakan Voting Feature Intervals. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Skripsi tidak dipublikasikan.
Purwaningsih, Uni. 2013. Vaksin Koktail Sel Utuh Untuk Pencegahan Penyakit
Mycobacteriosis Dan Motile Aeromonas Septicemia Pada Ikan Gurame
(Osphronemus gouramy). Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Tesis tidak dipublikasikan.
Purwaningsih, Uni., Agustin I., dan Angela M. L. 2014. Proteksi Vaksin Monovalen
Dan Koktail Sel Utuh Terhadap Ko-Infeksi Mycobacterium fortuitum Dan
Aeromonas hydrophila Pada Ikan Gurame, Osphronemus gouramy. J. Ris.
Akuakultur. 9(2): 283-294.
Putri, Rinda A., Wardiyanto., dan Setyawan A. 2013. Penyimpanan Vaksin Inaktif
Whole Cell Aeromonas salmonicida dengan Penambahan Gliserol. e-
Jurnal Rekayasa dan Teknologi Budidaya Perairan. 1(2): 79-86.
Rao, P. S., Y. Yamada., Y . P. Tan., and K. Y. Leung. 2004. Use Of Proteomics To
Identify Novel Virulence Determinants That Are Required For Edwardsiella
Tarda Pathogenesis. Mol Microbiol. Vol.3: 573-86.
Ratnawati, Atik., Purwaningsih U., dan Kurniasih. 2013. Histopatologi Dugaan
Edwardsiella tarda sebagai Penyebab Kematian Ikan Maskoki (Crassius
auratus): Postulat Koch. Jurnal Sain Veterner (JSV). 31(1): 55-65.
Romstad AB, Reitan LJ, Midtlyng P, Gravningen K, Evensen O. 2012.
Development of an antibody ELISA for potency testing of furunculosis
70

(Aeromonas salmonocida subsp salmonicida) vaccines in Atlantic salmon


(Salmo salar L). Biologicals (40): 67 ± 71.
Sari, Ria H., Setyawan A., dan Suparmono. 2013. Peningkatan Imonogenisitas
Vaksin Inaktif Aeromonas salmonicida dengan Penambahan Adjuvant
pada Ikan Mas (Cyprinus carpio). e-Jurnal Rekayasa dan Teknologi
Budidaya Perairan. 1(2): 87-94.
Sari, Dian R., Prayitno, Slamet B., dan Sarjito. 2014. Pengaruh Penyuntikan
Ekstrak Bawang Putih (Allium sativum) Terhadap Kelulushidupan Dan
Histologi Ginjal Ikan Lele (Clarias gariepinus) Yang Diinfeksi Bakteri
³Edwardsiella tarda´-RXUQDORI$TXDFXOWXUH0DQDJHPHQWDQG7echnology.
3(4): 126-133.
Saselah, Jetti. T., Reiny. A. T dan Henky. M. 2012. Determinasi Molekuler Koi
Herpes Virus (KHV) yang Diisolasi dari Ikan Koi (Cyprinus carpio koi).
Jurnal Perikanan dan Kelautan Tropis. 8 (2): 1-5.
Sastrosupadi, A. 2000. Rancangan Percobaan Praktis Bidang Pertanian Edisi
Revisi. Kanisius. Yogyakarta. Hlm 276.
6HWLDZDQ5DGHQ%'XOP¶LDGGDQ5RVLGDK(IHNWLYLWDV9DNVLQ'DUL%DNWHUL
Mycobacterium fortuitum Yang Dllnaktivasi Dengan Pemanasan Untuk
Pencegahan Penyakit Mycobacteriosis Pada Ikan Gurami (Osphronemus
gouramy). Jurnal Perikanan Dan Kelautan. 3(1): 25-40.
Setyawan A., Hudaidah S., dan Zulfikar Z. 2012. Imunogenisitas Vaksin Inaktif
Whole Cell Aeromonas salmonicida Pada Ikan Mas (Cyprinus carpio).
Aquasains.
Siagian, Minarma. 2004. Homeostasis: Keseimbangan yang Halus dan Dinamis.
Review. Departemen Ilmu Faal. FKUI.
Siegrist, Clarie A. 2012. Vaccine Immunology ± Section 1: General Aspects of
Vaccination. Chapter 2.
SKIPM. 2014. Laporan Pemantauan HPI/HPIK Tahun 2014. KKP. Badan
Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan.
Batam.
SongLin, Guo., PanPAn, Lu., Jianjun, Feng., Zhao, JinPing., Lin P., Duan L. 2015.
A novel recombinant bivalent outer membrane protein of 9LEULRYXOQL¿FXV
and Aeromonas hydrophila as a vaccine antigen of American eel (Anguilla
rostrata). Fish & Shellfish Immunology. 43: 477-484.
Subagiyo., Margino Sebastian., Triyanto., dan Wilis Ari S. 2015. Pengaruh pH,
Suhu Dan Salinitas Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Asam Organik
Bakteri Asam Laktat Yang Diisolasi Dari Intestinum Udang Penaeid. Ilmu
Kelautan. 20(4): 187-194.
Sugiani, Desy., Sukenda., Endang H., dan Angela M. L. 2013. Vaksinasi Ikan
Tilapia (Oreochromis niloticus) Menggunakan Vaksin Monovalen Dan
71

Bivalen Untuk Pencegahan Penyakit Motile Aeromonas Septicemia Dan


Streptococcosis. J. Ris. Akuakultur. 8(2): 229-239.
Suhermanto, Achmad., Sri Andayani dan Maftuch. 2011. Pemberian Total Fenol
Teripang Pasir (Holothuria Scabra) untuk Meningkatkan Leukosit dan
Diferensial Leukosit Ikan Mas (Cyprinus carpio) yang Diinfeksi Bakteri
Aeromonas hydrophila. Jurnal Kelautan. 4(2): 1-8.
Sukenda., Rizky, Febriansyah T., Nuryati, Sri. 2014. Whole-cell vaccine of
Streptococcus agalactiae in Oreochromis sp. with immersion method.
Jurnal Akuakultur Indonesia. 13(1): 89-93.
Sumiati, Tuti. 2015. Durasi Proteksi Vaksin Koktail Untuk Pencegahan Penyakit
Motile Aeromonads Septicemia Dan Streptococcosis Pada Ikan Nila
(Oreochromis niloticus). Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Tesis tidak dipublikasikan.
Sun, Yun., Liu, Chun-Sheng., Sun, Li. 2011. Comparative study of the immune
effect of an Edwardsiella tarda antigen in two
forms: Subunit vaccine vs DNA vaccine. Vaccine 29 (2011) 2051±2057.
Supriadi, Iwan. 2012. Viabilitas dan Patogenitas Edwardsiella tarda pada Ikan Lele
Dumbo (Clarias gariepinus) yang Dibekukan pada Suhu -20°C. Program
Pascasarjana Universitas Terbuka Jakarta. Tesis tidak di publikasikan.
Surakhmad, W. 1989. Pengantar Penelitian ± Penelitian Ilmiah, Dasar
MetodeTeknik, Edisi 7. Bandung: Tansito.
Surianim, Santa., Soemarno., Suharjono. 2013. Pengaruh Suhu dan pH terhadap
Laju pertumbuhan Lima Isolat Bakteri Anggota Genus Pseudomonas yang
diisolasi dari Ekosistem Sungai Tercemar Deterjen di sekitar Kampus
Universitas Brawijaya. J-PAL. 3(2): 59-62.
Suryabrata, S. 1989. Metodologi Penelitian. CV Rajawali: Jakarta.
Susanto, H. 2005. Koi. Penebar Swadaya. Jakarta. Hlm 77.
Sutton, S. 2011. Microbiology Topics - Determination of Inoculum for
Microbiological Testing. 15 (3): 49.
Tang, Xiaoqian., Qin, Yinghui., Sheng, X., Jing, X., Wenbin, Z. 2017.
Characterization of CD3þ T lymphocytes of Japanese flounder
(Paralichthys olivaceus) and its response after immunization with
formalin-inactivated Edwardsiella tarda. Fish & Shellfish Immunology 63
(2017) 220-227.
Takahashi, Jaqueline D. B., and Elisabeth C. U. 2014. Fish Immunology. The
modification and manipulation of the innate immune system: Brazilian
studies. An Acad Bras Cienc. 86 (3): 1483-1495.
Taukhid., Purwaningsih U., Angela M. L. 2014. Efikasi Beberapa Sediaan Vaksin
Streptococcus agalactiae-N14G Untuk Pencegahan Penyakit
72

Streptococcosis Pada Ikan Nila, Oreochromis niloticus. J. Ris. Akuakultur.


9(2): 295-305.
Trilia, Nur Ani O., Setyawan A., Adiputra Y. T., dan Wardiyanto. 2014.
Imunogenisitas Kombinasi Vaksin Inaktif Whole Cell Aeromonas
salmonicida dan Jintan Hitam (Nigella sativa) Pada Ikan Mas (Cyprinus
carpio). e-Jurnal Rekayasa dan Teknologi Budidaya Perairan. 2(2): 249-
258.
Trimariani, A. dan Rustikawati, I. (1990).Masalah Zooparasit dalam Pemeliharaan
Benih Ikan Air Tawar. Prosiding Seminar Nasional II. Penyakit Ikan Dan
Udang. Bogor. Hlm 16-18.
Ullah MA, Arai T. 1983. Exotoxic substances produces by Edwardsiella tarda. Fish
Pathology 18: 71±75.
Uribe, C., Folch, H., Enriquez, R., and Moran, G. 2011. Innate and adaptive
immunity in teleost fish: a review. Review Article. Veterinarni Medicina.
56(10): 486-503.
Utami, Saras Wati. 2013. Warta Ekspor, Peluang Ekspor Ikan Hias. Ditjen
PEN/MJL,25/V/2013. Djpen.kemendag.go.id. Tradexpo Indonesia. Hlm 3-
7.
Vitria, Sandy K. 2013. Penghambatan Sphingosine Kinase 1 Pada Pengobatan
Sepsis. Damianus Journal of Medicine. 12(1): 53-60.
Wakabayashi, H. and Egusa, S. 1973. Edwardsiella tarda (Paracolobactrum
anguillimortiferum) assiciated with pond-cultured eel diseases, Bull. of the
-DSDQHVH6RFLHW\RI6FLHQWLILF)LVKHULHVí
Wang, G-X., Wang, Young., Wu, Z-F., Jiang, H-F., Dong, R-Q., Li, F-Y., Liu, X-L.
Immunomodulatory effects of secondary metabolites from thermophilic
Anoxybacillus kamchatkensis XA-1 on carp, Cyprinus carpio. Fish and
6KHOO¿VK,PPXQRORJ\  -1338.
Wintoko, Fredi., Agus, Setyawan., Siti H., Mahrus, Ali. 2013. Imunogenisitas Heat
Killed Vaksin Inaktif Aeromonas salmonicida Pada Ikan Mas (Cyprinus
carpio). e-Jurnal Rekayasa dan Teknologi Budidaya Perairan. 2(1): 205-
210.
Wu, C-C., Liu, C-H., Chang, Y-P., Hsieh, S-L. 2010. Effects of hot-water extract of
Toona sinensis on immune response and resistance to Aeromonas
hydrophila in Oreochromis mossambicus)LVKDQG6KHOO¿VK,PPXQRORJ\
29: 258-263.
Yanti, Zuraidha., Muchisin, Z A. dan Sugito. Pertumbuhan dan Kelangsungan
Hidup Benih Ikan Nila (Oreochromis niloticus) pada Berberapa Konsentrasi
Tepung Daun Jaloh (Salix tetrasperma) dalam Pakan. Depik. 2(1): 16-19.
Yanuhar, Uun. 2011. Respon Immun Sel Interleukin -4 (IL-4) Pada Ikan
Kerapu Tikus (Cromileptes altivelis) Yang Dipapar Protein
Imunogenik Vibrio Harveyi. Jurnal Kelautan. 4(2): 25-33.
73

Zubaidah, Siti. 2013. Vaksin Ikan Koi Menggunakan Vaksin DNA Anti-KHV dengan
Dosis Berbeda. Institut Pertanian Bogor. Tesis tidak di publikasikan.

Anda mungkin juga menyukai