Anda di halaman 1dari 85

EKSPRESI HEAT SHOCK PROTEIN 70 (HSP70) IKAN KOI (Cyprinus carpio)

YANG TERINFEKSI KOI HERPES VIRUS (KHV) PADA KOLAM


PEMELIHARAAN

SKRIPSI
PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

Oleh:
SHABRINA ANDRAWINI
NIM. 135080100111046

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN


UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
EKSPRESI HEAT SHOCK PROTEIN 70 (HSP70) IKAN KOI (Cyprinus carpio)
YANG TERINFEKSI KOI HERPES VIRUS (KHV) PADA KOLAM
PEMELIHARAAN

SKRIPSI
PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih Gelar Sarjana Perikanan


di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Brawijaya

Oleh:
SHABRINA ANDRAWINI
NIM. 135080100111046

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN


UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
PERTANYAAN ORISINALITAS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi yang saya tulis ini benar-
benar merupakan hasil karya saya sendiri, dan sepanjang pengetahuan saya juga
tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang
lain kecuali yang tertulis dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Apabila kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan skripsi ini hasil penjiplakan
(plagiasi), maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut, sesuai
hukum yang berlaku di Indonesia.

Malang, 31 Juli 2017

Penulis
UCAPAN TERIMAKASIH

Disampaikan Terima Kasih Kepada:


Direktorat Riset Dan Pengabdian Masyarakat
Direktorat Jenderal Penguatan Riset Dan Pengembangan
Kementerian Riset, Teknologi, Dan Pendidikan Tinggi

Yang Telah Membiayai :


Skema Penelitian BOPTN Unggulan Perguruan Tinggi Nomor :
063/SP2H/LT/DRPM/IV/2017, Tanggal 6 April 2017

Dengan Judul :
“Produksi Dan Pengembangan Produk Antiviral Berbasis Peridinin Chloropyll Cell
Pigmen (PCP) Spesies Penting Mikroalga Laut Untuk Komoditas Unggulan Ikan
Ekspor”

Sebagai Ketua Peneliti Dr. Uun Yanuhar, S.Pi, M.Si

Anggota Tim Penelitian Sebagai Berikut:

1. Akbar Nugraha 13. Yosef Benny Alta

2. Irsyadul Fajri 14. Yuni Septiyani

3. Syamsul Rizal 15. Aji Sanjaya

4. Shabrina Andrawini 16. Fariz Nur Yahya

5. Yunda Deliza 17. Elsa Novan Alfiyanto

6. Mimin Wirawati 18. Dewi Mangshuroh

7. Faisal Nur Fachrudin 19. Amanda Agustina

8. M. Rizky Mustaqim 20. Ahmad Arief Fathoni

9. Gus Aryadi 21. Farouq Syahrondhi M.

10. Linda Ayu Pratiwi

11. Leny Rosiana

12. Wildan Effendy

Ketua Peneliti,

(Dr. Uun Yanuhar, S.Pi, M.Si)


NIP. 19730404 200212 2 001
UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-sebesarnya

kepada :

1. Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW yang telah menuntun dan terus

membimbing pribadi saya menjadi lebih baik khususnya selama menjalani

penelitian ini.

2. Mama Riani Dewisari dan papa Wibowo Hadisantoso yang telah memberikan

dukungan berupa fisik dan materi, doa yang tidak pernah putus, kesabaran,

kekuatan, serta kasih sayang sehingga penulis dapat terus termotivasi untuk

menyelesaikan skripsi,

3. Ibu Dr. Uun Yanuhar, S.Pi, M.Si selaku Dosen Pembimbing I atas kesabaran

dalam membimbing penulis, memberikan arahan, masukan, motivasi, serta

ilmu yang sangat berharga bagi penulis hingga terselesaikannya skripsi ini.

4. Prof. Ir. Yenny Risjani, DEA, Ph.D selaku Dosen Pembimbing II atas

kesabaran dalam membimbing penulis, memberikan arahan, masukan,

motivasi, serta ilmu yang sangat berharga bagi penulis hingga

terselesaikannya skripsi ini.

5. Redika Valiant Poerwantoro yang selalu memberikan semangat, bantuan dan

doa untuk sama-sama menyelesaikan tahap penuh perjuangan ini. Semoga

Redika diberikan kemudahan dalam hidupnya di kemudian hari.

6. Selly Dewi P. yang selalu memberi dukungan, doa dan motivasi dari jauh.

7. Tim 17

- Gus Aryadi - Fariz Nur Yahya


- Akbar Nugraha - Farouq Syarondhi
- Syamsul Rizal - Mimin Wirawati
- Linda Ayu - Rizky Mustaqim
- Leny Rosiana - Vj
- Amanda Agustina - Wildan Effendy
- Arief Fathoni - Yosef Benny Alta
- Aji Sanjaya - Yunda Deliza
- Dewi Mangshuroh - Yuni Septiyani
- El Novan Alfiyanto
- Faisal Nur F.

8. Pei dan Choppy terima kasih telah menghibur dengan tingkah laku masing-

masing.

9. Seluruh keluarga angakatan 2013 Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan

Universitas Brawijaya atas kebersamaan, semangat, doa, dan kerjasama

selama ini

10. Seluruh pihak untuk bantuannya yang tidak dapat disebut satu-persatu dan

yang sangat berperan dalam penyusunan skripsi ini

Malang, Juli 2017

Penulis
RINGKASAN

SHABRINA ANDRAWINI. Ekspresi Heat Shock Protein 70 (HSP70) Ikan Koi


(Cyprinus carpio) yang Terinfeksi Koi Herpes Virus (KHV) Pada Kolam
Pemeliharaan (dibawah bimbingan bimbingan Dr. Uun Yanuhar, S.Pi, M.Si dan
Prof. Ir. Yenny Risjani, DEA., Ph.D.)

Ikan koi merupakan salah satu jenis ikan air tawar yang banyak
dibudidayakan di Indonesia. Budidaya ikan koi memiliki banyak keuntungan
dikarenakan mudah dan murah, akan tetapi terdapat faktor lain yang dapat
mengganggu budidaya seperti penyakit. Salah satu jenis penyakit yang paling
sering menyerang ikan koi adalah Koi Herpes Virus (KHV). Koi Herpes Virus (KHV)
adalah penyakit yang dapat mengakibatkan kematian masal pada ikan koi.
Kualitas air adalah faktor yang dapat mempengaruhi keberlangsungan hidup ikan.
Kualitas air yang buruk merupakan faktor yang menyebabkan ikan menjadi stress
sehingga terjangkit KHV. Adanya faktor pemicu stress sel ini akan menimbulkan
respon sel tubuh yang bermacam-macam. Salah satu respon pertahanan tubuh
akibat adanya faktor pemicu tersebut adalah sel tubuh akan memproduksi antigen
tertentu seperti Heat Shock Protein 70 (HSP70).
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui ekspresi Heat Shock Protein
(HSP) pada Ikan Koi (Cyprinus carpio) di kolam pemeliharaan yang terinfeksi Koi
Herpes Virus (KHV) dan mengetahui kondisi kualitas air di kolam pemeliharaan.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey dan
observasi meliputi pengukuran kualitas air, pengujian PCR, pengamatan
histopatologi dan imunohistokimia.
Hasil kualitas air yang didapatkan pada kolam tanah ikan koi untuk suhu
yaitu 28°C, pH 8,1, DO 9,2 mg/l, kecerahan 32 cm, nitrat 0,4 ppm, dan amonia
0,05 ppm. Hasil kualitas air yang didapat merupakan hasil rata-rata pengukuran
yang di lakukan selama 3 minggu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kerusakan
jaringan yang terdapat pada organ ginjal ikan koi yang terinfeksi Koi Herpes Virus
(KHV) adalah kongesti, nekrosis, hemoragi dan vakuolisasi. Kerusakan jaringan
yang ditemukan pada insang ikan koi yang terinfeksi Koi Herpes Virus (KHV)
adalah kongesti, nekrosis, vakuolisasi dan hemoragi. Hasil pengamatan organ
ginjal dan insang ikan koi yang terinfeksi Koi Herpes Virus (KHV) melalui
pewarnaan imunohistokimia mendeteksi adanya ekspresi Heat Shock Protein 70
(HSP70). Berdasarkan hasil uji PCR ikan koi yang diambil dari BBI Bangil, organ
ikan koi yang positif terinfeksi KHV pada penelitian ini adalah ginjal dan insang.
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT, atas limpahan

rahmat dan hidayah-Mu penulis dapat menyajikan Laporan Skripsi yang berjudul

“EKSPRESI HEAT SHOCK PROTEIN 70 (HSP70) IKAN MAS KOI (CYPRINUS

CARPIO) YANG TERINFEKSI KOI HERPES VIRUS (KHV) PADA KOLAM

PEMELIHARAAN”.

Sangat disadari bahwa dengan kekurangan dan keterbatasan yang dimiliki

penulis, walaupun telah dikerahkan segala kemampuan untuk lebih teliti, tetapi

masih dirasakan banyak kekurangtepatan, oleh karena itu penulis mengharapkan

saran yang membangun agar tulisan ini bermanfaat bagi yang membutuhkan.

Malang, 31 Juli 2017

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman

SKRIPSI ............................................................................................................... i
HALAMAN JUDUL .............................................................................................. ii
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................. iii
PERNYATAAN ORISINALITAS ......................................................................... iv
UCAPAN TERIMAKASIH .................................................................................... v
RINGKASAN .................................................................................................... viii
KATA PENGANTAR .......................................................................................... ix
DAFTAR ISI ........................................................................................................ x
DAFTAR TABEL .............................................................................................. xiii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xv
1. PENDAHULUAN ............................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................... 5
1.3 Maksud dan Tujuan .................................................................................. 5
1.4 Manfaat ..................................................................................................... 5
1.5 Tempat dan Waktu ................................................................................... 6
2. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................... 7
2.1 Ikan Koi (Cyprinus carpio) ....................................................................... 7
2.1.1 Morfologi Ikan Koi (Cyprinus carpio) ............................................... 7
2.2 Manajemen Kualitas Air Ikan Koi (Cyprinus carpio) .............................. 9
2.3 Penyakit Ikan Koi...................................................................................... 9
2.4 Koi Herpes Virus (KHV).......................................................................... 11
2.4.1 Sejarah Koi Herpes Virus (KHV) di Indonesia ................................ 12
2.4.2 Klasifikasi Koi Herpes Virus (KHV) ................................................. 13
2.4.3 Morfologi Koi Herpes Virus (KHV) .................................................. 14
2.4.4 Gejala Klinis ..................................................................................... 15
2.4.5 Sistem Imun Ikan Koi ....................................................................... 16
2.4.6 Penularan Koi Herpes Virus (KHV) ................................................. 19
2.5 Heat Shock Protein ................................................................................ 21
2.5.1 Heat Shock Factor (HSF) ................................................................. 22
2.5.2 HSP70 ............................................................................................... 23
2.5.3 Sintesis HSP70 dalam organ ikan koi............................................. 25
3. MATERI DAN METODE ................................................................................ 27
3.1 Materi Penelitian ..................................................................................... 27
3.2 Alat dan Bahan ....................................................................................... 27
3.3 Metode Penelitian ................................................................................... 27
3.4 Pengumpulan Data ................................................................................. 28
3.4.1 Data Primer....................................................................................... 28
3.4.2 Data Sekunder .................................................................................. 29
3.5 Metode Analisis Data ............................................................................. 30
3.6 Teknik Pengambilan Sampel Ikan ......................................................... 30
3.7 Teknik Pengambilan Sampel Air ........................................................... 31
3.8 Prosedur Penelitian................................................................................ 31
3.8.1 Kualitas Air ....................................................................................... 31
A. Parameter Fisika ............................................................................... 31
B. Parameter Kimia ............................................................................... 32
3.8.2 PCR (Polymerase Chain Reaction) ................................................. 34
3.8.3 Metode Pembuatan Preparat ........................................................... 35
3.8.4 Prosedur Analisa Histopatologi ...................................................... 36
3.8.5 Metode Pewarnaan Hematoksilin Eosin (HE) ................................. 39
3.8.6 Metode Imunohistokimia (IHK)........................................................ 40
3.8.7 Metode Skoring ................................................................................ 41
4. HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................................... 42
4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian ........................................................ 42
4.2 Gejala Klinis Ikan Koi ............................................................................. 43
4.3 Hasil Analisa PCR Ikan Koi yang Terinfeksi KHV ................................ 44
4.4 Analisa Kualitas Air ................................................................................ 45
4.4.1 Suhu ................................................................................................. 46
4.4.2 Kecerahan ........................................................................................ 47
4.4.3 pH...................................................................................................... 49
4.4.4 Dissolved Oxygen (DO) ................................................................... 49
4.4.5 Nitrat ................................................................................................. 50
4.4.6 Amonia ............................................................................................. 51
4.5 Konfirmasi Respon HSP70 Pada Jaringan Ginjal dan Insang ............. 52
4.6 Histopatologi Organ Ikan Koi KHV ........................................................ 54
4.6.1 Perubahan Patologis Pada Organ Ginjal Ikan Koi ......................... 54
4.6.2 Perubahan Patologis Pada Organ Insang Ikan Koi ....................... 57
4.6.3 Indeks Kerusakan Jaringan Pada Organ Ikan Koi ......................... 59
5. KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................................... 64
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 65
LAMPIRAN........................................................................................................ 71
DAFTAR TABEL

Tabel Halaman
1. Tipe Stressor ................................................................................................. 23
2. Hasil Kualitas Air............................................................................................ 46
3. Indeks Kerusakan Jaringan............................................................................ 60
4. Tabel Kerusakan Jaringan ............................................................................. 62
DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman
1. Ikan Koi............................................................................................................ 8
2. Koi Herpes Virus ............................................................................................ 15
3. Proses Pembentukan HSP ............................................................................ 21
4. Kolam Ikan Koi di BBI Blitar ........................................................................... 43
5. Ikan Koi yang Terinfeksi KHV ........................................................................ 44
6. Grafik Hasil Pengukuran Suhu ....................................................................... 47
7. Grafik Hasil Pengukuran Kecerahan .............................................................. 48
8. Grafik Hasil Pengukuran pH........................................................................... 49
9. Grafik Hasil Pengukuran DO .......................................................................... 50
10. Grafik Hasil Pengukuran Nitrat ..................................................................... 51
11. Grafik Hasil Pengukuran Amonia ................................................................. 52
12. Hasil Pewarnaan IHK ................................................................................... 53
13. Organ Ginjal Ikan Koi Sehat......................................................................... 55
14. Kerusakan pada organ ginjal ikan koi KHV .................................................. 55
15. Kerusakan pada organ ginjal ikan koi KHV .................................................. 56
16. Organ Insang Ikan Koi Sehat ....................................................................... 58
17. Kerusakan pada organ insang ikan koi KHV ................................................ 58
18. Kerusakan pada organ insang ikan koi KHV ................................................ 58
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman
nnn
1. Jadwal Pelaksanaan Penelitian ..................................................................... 71
2. Alat dan Bahan Pengukuran Kualitas Air ....................................................... 72
3. Metode PCR .................................................................................................. 74
4. Persentase Immunoratio ................................................................................ 81
5. Dokumentasi .................................................................................................. 82
1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ikan koi merupakan jenis ikan air tawar, berbadan memanjang pipih ke

samping dan lunak. Ikan koi sudah dipelihara sejak tahun 475 sebelum masehi di

Cina. Di Indonesia, Ikan koi mulai dipelihara sekitar tahun 1920. Ikan koi yang

terdapat di Indonesia merupakan Ikan koi yang dibawa dari Cina, Eropa, Taiwan

dan Jepang. Sampai saat ini sudah terdapat 10 Ikan koi yang dapat diidentifikasi

berdasarkan karakteristik morfologinya (Mantau, et al. 2004).

Permasalahan yang biasa dihadapi dalam pemeliharaan Ikan koi antara lain

kualitas air, penyakit, nutrisi dan pemijahan. Kualitas air pemeliharaan dapat

menurun dengan cepat karena sisa pakan, feses dan buangan metabolit. Hal ini

tampak dari menurunnya kualitas air akibat peningkatan pH air yang terlalu cepat

dan tingginya kadar amonia selama pemeliharaan. Kualitas air tersebut

menyebabkan keracunan atau kekurangan oksigen serta mempercepat

berkembangnya bibit penyakit (Silaban, 2012).

Ikan sangat sensitif terhadap perubahan apapun baik itu bersifat eksternal

maupun internal. Mahkluk ini sangat cepat merespon segala macam bentuk faktor

tersebut untuk tetap mempertahankan homeostasis tubuh sehingga ia tetap bisa

bertahan hidup. Perubahan eksternal yang dapat menimbulkan respon stres

diantaranya bisa terjadi akibat perubahan lingkungan, kualitas air, penanganan,

dan lain sebagainya yang berasal dari luar tubuh ikan. Sedangkan yang termasuk

faktor internal adalah yang terkait langsung pada proses yang terjadi di dalam

tubuh ikan. Misalnya pada ikan yang terserang penyakit dan ketidaksinambungan

nutrien yang berujung pada kematian (Ismail, 2015).

Kualitas air yang buruk dapat menyebabkan ikan koi terserang penyakit. Salah

satu penyakit yang sering menyerang ikan koi adalah Koi Herpes Virus (KHV).

1
2

Menurut Hendrick et al (2000), penyakit KHV menyebabkan kematian yang besar

dan bersifat sporadis pada ikan koi. Suhu optimal virus herpes yang menyebabkan

kematian adalah 18-28°C. Kematian ikan akan menurun bahkan berhenti bila suhu

air berada di atas atau dibawah kisaran optimal. Serangan penyakit ini

menunjukkan kematian yang sangat cepat, ikan akan terlihat sakit dan akhirnya

mati dalam 24-48 jam. Gejala klinis ikan yang terserang herpes antara lain adalah

pendarahan pada insang, bercak pucat pada insang, mata cekung dan ikan

gelisah (kadang tidak aktif berubah menjadi sangat aktif atau sebaliknya) (OATA,

2001).

Koi Herpes Virus (KHV) sangat berbahaya dalam keberlangsungan hidup ikan

koi. Penyakit ini dapat menyebabkan kematian yang tinggi. Penyakit ini dapat

menyerang berbagai ukuran ikan mulai larva hingga induk, biasanya terjadi pada

kisaran suhu (18-28)°C dan dapat menyebabkan kematian 80-100% (Perelberg,

et al., 2003; Gilad, et al., 2003; Ilouze, et al., 2006). Pada ikan sakit, paling sering

teramati luka pada insang, sisik, ginjal, limfa, jantung dan sistem gastrointestinal

(Ilouze, et al., 2006). Secara visual pada bagian eksternal tubuh, dapat teramati

adanya warna sisik yang gelap dan nekrosis insang yang akut (Choi, et al., 2004)

dan hemoragik pada dasar sirip punggung, sisip dada, dan sirip anus (Grimmett,

et al., 2006), sedangkan secara histologi dapat teramati adanya perubahan pada

insang berupa kehilangan lamela (Pikarsky, et al., 2004).

Ikan koi yang mengalami stres dan terserang penyakit akan menyebabkan

terganggunya sintesis protein pada sel. Gangguan tersebut terutama dalam hal

stuktur dan fungsi protein, dimana protein adalah bagian penting dari

mikroorganisme yang merupakan komponen utama metabolisme suatu sel. Ketika

sel mengalami stres lingkungan, sel tersebut akan berhenti atau paling tidak

memperlambat sebagian besar fungsi dasarnya, seperti proses transportasi,

sintesis DNA, RNA dan protein. Namun, terdapat protein yang unik, yang disebut
3

sebagai protein stres, yang diekspresikan secara khusus pada kondisi ini. Salah

satu contoh respon stres yang mendasar adalah peningkatan tiba-tiba temperatur,

yang disebut sebagai heat shock (Rinaldo, 2008).

Heat shock proteins (HSP) adalah protein stres yang dapat timbul pada semua

jenis sel. Pada keadaan normal HSP berperan sebagai molekul chaperone

(Budhy, 2006). Molekul chaperone adalah protein yang berperan terhadap

pembentukan struktur protein dan keadaan ini disebut protein folding. Selain

berperan terhadap protein folding, molekul tersebut juga berperan untuk stabilisasi

dan pencegahan penggabungan beberapa protein (Melcher, 1999). Apabila

proses pembentukan struktur berjalan tanpa gangguan, maka HSP akan berfungsi

dengan baik dan terbentuk struktur protein folding dengan tepat. Sebaliknya.

apabila proses tersebut terganggu, maka HSP tidak dapat menjalankan fungsinya

dengan baik dan terbentuk struktur prorein yang tidak tepat atau misfolding

(Carver, 2009).

Heat shock proteins (HSP) secara alamiah ada pada sel bakteri dan bertindak

sebagai chaperones yang berperan dalam beradaptasi terhadap perubahan

lingkungan yang ekstrem, seperti perubahan suhu, pH, atau respons imun

manusia, selain itu juga terhadap keadaan stress lainnya seperti hipoksia,

kekurangan makanan, gangguan metabolisme, atau radikal oksigen. Perubahan

yang ekstrem ini dapat menyebabkan gangguan pada sintesis dan proses

pelipatan protein bakteri yang penting untuk bertahan hidup di lingkungan yang

penuh stres (Cahyadi, 2004).

Ikan seperti vertebrata lainnya merespon stressor pada tingkat seluler.

Respon ini meliputi serangkaian perubahan protein yang meliputi peningkatan

sintesis heat shock protein (HSP) (Iwama dkk., 2004). Sepuluh tahun terakhir ini

telah diketahui bila terjadi stres seluler akan terbentuk protein yang berfungsi untuk

menjaga homeostatis tubuh, yaitu heat shock protein (HSP). Ada berbagai jenis
4

HSP yang digolongkan menurut berat molekul, HSP 20, HSP 70, HSP 90, dan

lainnya. Semuanya dikelompokkan ke dalam molekul chaperone (Toussaint,

2000).

HSP20 adalah bagian dari kumpulan Heat Shock Protein. Sama seperti

kumpulan HSP lainnya, jumlah HSP20 akan melimpah ketika sel berada dalam

kondisi stres (Maaroufi, 2013). HSP20 banyak ditemukan di jaringan otak dan

jantung, ia bertindak sebagai pendamping protein yang dapat melindungi protein

lain dari denaturasi dan agregasi yang ditimbulkan panas (Fan, 2005).

HSP70 merupakan protein stress utama yang ditemukan tertinggi pada

eukariot dan prokariot, sangat terpelihara dan esensial bagi kehidupan (Nadeau

dkk., 2001; Bradley, 2006). Jaringan hati, ginjal dan insang merupakan jaringan

yang sensitif dalam merespon HSP70 (Deane dan Woo, 2004; Iwama dkk., 1999).

HSP70 sangat bermanfaat sebagai biomarker (biological response marker) yang

dapat digunakan sebagai penanda stress pada ikan (Iwama dkk., 1999;

CruzRodríguez dan Chu, 2002; Wepener dkk., 2005; Bradley, 2006; Basson,

2006).

HSP90 memegang peranan penting dalam proses pelipatan protein (protein

folding), degradasi dan transduksi (Wu et al., 2012). Selain itu HSP90 juga penting

dalam regulasi siklus, adaptasi seluler jangka panjang dan yang lebih spesifik lagi

yaitu bertanggung jawab dalam pematangan sel benih (Sreedhar dan Csermely,

2004). HSP90 meningkat secara signifikan dalam rentang salinitas yang tinggi

(Yang, 2009).

Berdasarkan masalah diatas, hal yang perlu diperhatikan adalah ada atau

tidaknya ekspresi HSP70 pada organ ikan koi yang terinfeksi KHV. Analisa kualitas

air pada kolam pemeliharaan Ikan koi dibutuhkan sebagai data pendukung.

Kualitas air yang buruk menyebabkan Ikan koi di Balai Benih Ikan Pasuruan

terkena penyakit Koi Herpes Virus (KHV).


5

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas maka dapat diambil rumusan masalah sebagai

berikut :

1. Bagaimana ekspresi HSP70 dalam organ Ikan koi yang terinfeksi KHV?

2. Bagaimana kondisi kualitas air di kolam pemeliharaan Ikan koi yang terinfeksi

KHV?

1.3 Maksud dan Tujuan

Maksud dan tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk membandingkan teori yang sudah didapatkan dalam perkuliahan dengan

kondisi yang ada di lapang.

2. Untuk mengetahui ekspresi HSP70 dalam organ Ikan koi yang terinfeksi KHV.

1.4 Manfaat

Manfaat dari penelitian mengenai Ekspresi Heat Shock Protein 70 (HSP70)

Ikan Koi (Cyprinus carpio) yang Terinfeksi Koi Herpes Virus (KHV) Pada Kolam

Pemeliharaan ini antara lain:

1. Menambah pengetahuan, wawasan dan pengalaman secara langsung tentang

Ekspresi Heat Shock Protein 70 (HSP70) Ikan koi (Cyprinus carpio) yang

Terinfeksi Koi Herpes Virus (KHV) Pada Kolam Pemeliharaan.

2. Mengaplikasikan mata kuliah terkait yang diperoleh selama perkuliahan tentang

Ekspresi Heat Shock Protein 70 (HSP70) Ikan Koi (Cyprinus carpio) yang

Terinfeksi Koi Herpes Virus (KHV) Pada Kolam Pemeliharaan.

3. Sebagai bahan informasi dan pengetahuan yang dapat menunjang penelitian

lebih lanjut tentang Ekspresi Heat Shock Protein 70 (HSP70) Ikan Koi (Cyprinus

carpio) yang Terinfeksi Koi Herpes Virus (KHV) Pada Kolam Pemeliharaan.
6

1.5 Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2017 sampai dengan bulan Juni

2017. Penelitian ini bertempat di Balai Karantina Kelas I Juanda, Sidoarjo,

Laboratorium Lingkungan dan Bioteknologi Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu

Kelutan Universitas Brawijaya dan Laboratorium Patologi Fakultas Kedokteran

Universitas Brawijaya, Malang. Jadwal pelaksanaan penelitian dapat dilihat pada

Lampiran 1.
2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ikan Koi (Cyprinus carpio)

Menurut Suseno (2000), ikan koi di Indonesia berasal dari daratan Eropa dan

Tiongkok yang kemudian berkembang menjadi ikan budidaya yang sangat

penting. Ikan Koi awalnya berasal dari Tiongkok Selatan. Menurut Effendi (1993),

Ikan koi berasal dari keturunan ikan karper hitam dan menghasilkan keturunan

yang berwarna-warni. Ikan koi memiliki klasifikasi sebagai berikut:

Filum : Chordata

Sub filum : Vertebrata

Kelas : Osteichtyes

Ordo : Cypriniformes

Famili : Cyprinidae

Genus : Cyprinus

Spesies : Cyprinus carpio

2.1.1 Morfologi Ikan Koi (Cyprinus carpio)

Ikan koi mempunyai badan yang berbentuk torpedo dengan alat gerak berupa

sirip. Sirip-sirip yang melengkapi bentuk morfologi koi adalah sebuah sirip

punggung (dorsal fin), sebuah sirip anus (anal fin), sebuah sirip ekor (caudal fin)

dan sepasang sirip dada (pectoral fin), sepasang sirip perut (ventral fin). Sirip-sirip

tersebut sangat penting bagi koi untuk berpindah tempat (Prasetya, 2013).

Badan ikan koi berbentuk seperti torpedo dengan gerak berupa sirip. Sirip

dada dan sirip ekor ikan koi hanya memiliki jari-jari lunak. Sirip punggung memiliki

3 jari-jari keras dan 20 jari-jari lunak. Sirip perut hanya memiliki jari-jari lunak

sebanyak 9 buah. Sirip anus mempunyai 3 jari-jari keras dan jari-jari lunak. Pada

sisi badan dari pertengahan batang sampai batang ekor terdapat gurat sisi yang

berguna untuk merasakan getaran suara. Garis ini terbentuk dari urat-urat yang

7
8

ada di sebelah dalam sisik yang membayang hingga kesebelah luar (Susanto,

2001).

Pada awalnya ikan koi hanya memiliki warna tunggal yaitu hitam (karasugoi

dan sumigoi), merah (benigoi, higoi, akagoi), putih (shiromuji), keemasan (kingoi),

dan putih keperakan (gingoi) dan disilangkan sehingga menghasilkan dua warna,

tiga warna, lima warna dan multi warna. Seiring dengan perkembangan teknik

budidaya, koi yang pada awalnya hanya memiliki satu warna saja saling

disilangkan sehingga menghasilkan ikan koi yang memiliki dua warna, tiga warna,

bahkan lima warna. Ikan ini dapat dipelihara hampir di semua tempat, gerak gerik

ikan ini tampak simpatik, bahkan ada anggapan ikan koi dapat membawa

keuntungan bagi pemiliknya (Effendi, 2003).

Ikan koi adalah bottom feeder (pemakan di dasar) dan bersifat omnivora yaitu

pemakan segala jenis pakan. Pakan utama anak ikan koi adalah udang-udang

renik seperti daphnia. Pakan ikan koi akan memengaruhi pembentukan zat warna

tubuhnya. Tubuh ikan koi yang berwarna-warni disebabkan oleh adanya zat warna

yang antara lain: zat pigmen karoten (jingga), rutin (kuning), atasantin (merah).

Zat-zat tersebut di alam bebas dapat dijumpai pada tubuh hewan atau tumbuhan

tertentu yang dapat dijadikan pakan ikan koi untuk meningkatkan warna tubuh ikan

koi yang dipelihara (Natalist, 2003).

Gambar 1. Ikan Koi


(Sumber: Google Image, 2017)
9

2.2 Manajemen Kualitas Air Ikan Koi (Cyprinus carpio)

Ikan koi merupakan ikan air tawar, akan tetapi ikan koi masih dapat hidup

pada air yang agak asin. Ikan koi masih bisa bertahan hidup pada air dengan

salinitas 10 ppt. Ikan koi hidup pada salinitas netral, akan tetapi ikan koi bisa hidup

pada salinitas yang agak basa. Kisaran pH yang dibutuhkan ikan koi agar tumbuh

sehat yaitu pada kisaran 6,5-8,5 sedangkan nilai kesadahan yang dapat ditoleransi

ikan koi adalah 20 mg/L CaCO3 (Effendi, 1993).

Ikan koi menyukai tempat hidup (habitat) di perairan tawar yang airnya tidak

terlalu dalam dan alirannya tidak terlalu deras, seperti di pinggiran sungai atau

danau. Huet (1971) menyatakan habitat ikan koi hidup pada kolam-kolam air tawar

dan danau-danau serta perairan umum lainnya. Dalam perkembangannya ikan ini

sangat peka terhadap perubahan kualitas lingkungan.

Manajemen kualitas air yang baik merupakan salah satu faktor

keberlangsungan hidup ikan koi. Kabata (1985) menyatakan bahwa penyakit pada

ikan dapat terjadi akibat adanya interaksi yang tidak seimbang antara lingkungan,

ikan dan agen penyakit. Interaksi tersebut dapat menyebabkan ikan menjadi stres

dan mekanisme pertahanan tubuhnya melemah, sehingga mudah terserang

penyakit (Kordi, 2004).

2.3 Penyakit Ikan Koi

Penyakit utama ikan adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri maupun

viral. Penyakit viral yang terutama bersumber dari infeksi vertikal dari induk.

Kemungkinan lain infeksi berasal dari infeksi horizontal melalui air, pakan, dan dari

sistem aerasi serta tidak kalah penting adalah kontaminasi dari manusia.

Lingkungan yang baik akan meningkatkan daya tahan ikan, sedangkan lingkungan

yang kurang baik akan menyebabkan ikan mudah stress dan menurunkan daya

tahan tubuh terhadap serangan patogen. Penyakit infeksi dapat diakibatkan oleh
10

parasit, virus, bakteri dan jamur (Sarjito, 2013). Berikut adalah beberapa contoh

penyakit pada ikan koi:

1. Parasit

Salah satu penyakit yang sering menyerang ikan hias di kolam adalah

penyakit parasiter, yaitu penyakit yang disebabkan organisme parasit Protozoa,

Helminth dan Arthropoda. Parasit merupakan hewan renik yang hidup pada

organisme lain yang berbeda spesiesnya, selain mendapatkan perlindungan juga

memperoleh makanan untuk kelangsungan hidupnya. Penularan parasit lebih

mudah dan lebih cepat terjadi dalam usaha budidaya ikan koi (Cyprinus carpio).

Parasit yang sering menyerang pada ikan air tawar adalah Trichodina sp.,

Ichthyophthirius multifilis, Oodonium sp., Chilodonella sp., Cestoda dan Trematoda

(Yuasa et al., 2003).

2. Bakteri

Infeksi bakteri yang paling banyak diresahkan oleh pembudidaya ikan tahun

2003 adalah infeksi bakteri Aeromonas lrydrophila. Penyakit infeksi bakteri

tersebut sering terjadi baik pada komoditas ikan koi, nila maupun ikan gurame.

Penyakit infeksi bakteri lain yang telah dilaporkan yaitu infeksi mycobacteriosis

akibat bakteri Mycobacterium firtuitum (Rukayah, 2010).

3. Jamur

Beberapa jamur dapat menginfeksi ikan koi, tetapi pada prinsipnya ikan koi

akan terinfeksi jamur jika penanganan yang kurang sempurna atau karena sesuatu

hal lainnya. Misalnya akibat air yang mengandung bahan kimia atau pestisida

sehingga menyebabkan terkikisnya lendir dan kulit ikan (iritasi) dan akhirnya

melukai kulit, atau karena perubahan suhu air atau perubahan sifat air yang sangat

mendadak. Salah satu contoh jamur yang sering menyerang ikan koi adalah jamur

Saprolegnia (Afriantono, 1992).


11

4. Virus

Pada tahun 2002 budidaya ikan koi dikejutkan lagi dengan adanya wabah Koi

Herpes Virus (KHV) yang membuat kerugian hingga ratusan miliaran rupiah.

Penyakit ini ditemukan pertama kali di Blitar Jawa Timur pada Maret 2002, dan

dalam waktu yang sangat cepat penyakit ini telah menyebar ke seluruh Jawa dan

Bali.

2.4 Koi Herpes Virus (KHV)

Koi Herpes Virus (KHV) merupakan penyakit yang diakibatkan karena adanya

virus yang menyerang ikan Koi (Cyprinus carpio koi). Koi Herpes Virus (KHV)

sendiri masih merupakan jenis virus yang baru, virus ini menular pada ikan dan

mengakibatkan kematian ikan yang tinggi pada ikan koi (80% - 100%) (Eide, et al.

2011). Pada tahun 1998 penyakit KHV ini mulai mewabah di Israel dan negara-

negara lainnya seperti Amerika, Eropa, dan Asia. Di Indonesia sendiri KHV dimulai

mewabah pada bulan Maret 2002 di Blitar Jawa Timur akibat masuknya impor ikan

koi yang membawa virus KHV dengan tingkat kematian dapat mencapai 80% -

85% yang menyebabkan kerugian mencapai 5 milyar rupiah. Penyakit KHV

menyerang populasi ikan koi dari berbagai umur dan ukuran baik yang dipelihara

dikolam, karamba jaring apung maupun danau (Setyorini, et al. 2008).

Penyakit Koi Herpes Virus (KHV) sudah didiagnosa pada ikan koi, akan tetapi

spesies golongan cyprinid lainnya seperti common goldfish (Carassius auratus)

dan grass carp (Stenopharyngodon idella) menunjukkan bahwa tidak terserang

KHV. Infeksi virus herpes KHV ini diyakini berada dalam tubuh ikan koi yang

terinfeksi selama kelangsungan hidupnya sehingga ikan koi tersebut berpotensi

sebagai carrier virus. Koi Herpes Virus (KHV) ini akan menyerang dan menyebar

dengan beberapa cara seperti halnya herpes virus lainnya. Penyebaran KHV

biasanya terjadi akibat adanya kontak langsung dengan ikan yang terinfeksi, air
12

dari ikan yang terinfeksi dan atau melalui air atau tanah tempat ikan yang terinfeksi

KHV dipelihara (Sucipto, 2011).

Koi Herpes Virus (KHV) dapat hidup dengan bebas pada air tawar selama

kurang lebih 20 jam dan bahkan pada lumpur kolam virus ini dapat bertahan hidup

lebih dari 24 jam. Virus KHV ini mudah sekali menular dari ikan hidup maupun mati

yang terinfeksi oleh KHV. Kolam ikan bekas infeksi KHV sendiri dapat menjadi

tempat yang sangat berbahaya dan mudah menularkan ke kolam lainnya, baik dari

air buangan kolam, lumpur dasar sisa kolam, maupun air dari kolam itu sendiri

(Windri, 2011).

Mekanisme penyerangan virus KHV pada tahap pertama yakni terjadinya

infeksi penyerangan (attachment) dimana reseptor mulai mengenai virus pada

lapisan membran plasma. Tahapan kedua yakni penetrasi (penetration) masuknya

partikel virus kedalam sel inang (host) dimana selanjutnya virus akan melepaskan

bagian luar yang melapisi tubuhnya (uncoating) yang digunakan untuk masuk

kedalam membran sel atau saluran lisosom. Tahap selanjutnya terjadi proses

transcription, yakni virus mulai membuat rekaman untuk mRNA yang kemudian

akan diterjemahkan menjadi protein. Tahap terakhir DNA virus akan membelah diri

(replication) yang selanjutnya membentuk virion dan ketika sudah sempurna

kemudian akan melepaskan diri keluar dari sel untuk menginfeksi sel lainnya.

2.4.1 Sejarah Koi Herpes Virus (KHV) di Indonesia

Infeksi KHV pertama kali ditemukan di Israel pada tahun 1998 dan mulai

menyebar ke berbagaia negara di Eropa pada tahun 1999, kemudian Amerika dan

Asia. Titik masuk KHV ke Indonesia berasal dari impor ikan koi dari China yang

masuk ke Surabaya melalui Hong Kong pada bulan Desember 2001 (Nuryati et

al., 2008).
13

Koi Herpes Virus (KHV) di Indonesia ditemukan di daerah Blitar, Jawa Timur

pada bulan Maret 2002 akibat adanya impor ikan koi yang terinfeksi KHV. Tingkat

kematiannya dapat mencapai 80% - 85% yang menyebabkan kerugian yang

besar. Penyakit ini menyerang populasi ikan koi dari berbagai umur dan ukuran

baik yang dipelihara di kolam, danau, maupun karamba jaring apung (Sunarto et

al., 2004 dalam Setyorini et al., 2008).

Pada bulan Februari 2003, wabah KHV menyebar ke Lubuklinggau, Sumatera

Selatan. Gejala klinis ikan yang sakit sama persis dengan gejala klinis pada wabah

yang terjadi di Jawa. Selanjutnya dari Lubuklinggau, wabah menyebar ke daerah

sekitarnya termasuk di Bengkulu sebelah selatan dan Jambi di sebelah barat.

Pada bulan Agustus 2004, wabah KHV menyebar ke Danau Singkarak dan

Maninjau, Sumatera Barat yang menyebabkan kematian massal ikan koi sebanyak

150 ton. Pada akhir Oktober 2004, dilaporkan terjadi wabah kematian massal ikan

koi di Danau Toba Sumatera Utara (Laelawati, 2008).

2.4.2 Klasifikasi Koi Herpes Virus (KHV)

Menurut Waltzek, et al. (2005) dalam Maswan (2009), Koi Herpes Virus (KHV)

adalah salah satu jenis virus DNA dari famili Herpesviridae dan juga dikenal

dengan nama lain cyprinid herpesvirus-3 atau CyHV3. Berdasarkan hasil

penelitian Waltzek, et al. (2005) menunjukkan bahwa KHV termasuk golongan

virus herpes. Berdasarkan morfologi serta genetiknya KHV memiliki hubungan

dengan dua jenis virus herpes lainnya yakni carp pox virus (cyprinis herpesvirus-1

atau CyHV-1) dan hematopoetic necrosis herpesvirus gold fish (cyprinid

herpesvirus-2 atau CyHV-2).

Klasifikasi dari Koi Herpes Virus (KHV) adalah sebagai berikut :

Kelas : Kelompok 1 (dsDNA)

Ordo : Herpesvirales
14

Famili : Alloherpesviridae

Genus : Cyprinivirus

Spesies : Cyprinid herpesvirus 3 (CyHV)

Koi Herpes Virus (KHV) termasuk dalam virus DNA yang memiliki 3

polipeptida virion. Genom virus KHV sendiri terdiri dari molekul linear dsDNA

dengan ukuran 270-290 kbp. Ukuran virus KHV berdiameter 170 nm – 230 nm

dengan inti virus berukuran 100 nm – 110 nm dan berbentuk icohedral. Bentuk dari

partikel inti yakni circular atau poligonal dengan diameter sekitar 133 nm.

Berdasarkan hasil pemotongan tipis pellet virus yang sudah di murnikan

menunjukkan adanya partikel yang terbungkus seperti benang pada permukaan

inti. Pada area antara pembungkus dengan nucleocapsid terdapat celah

electrolucen sekitar 10 nm. Virus KHV juga berisi daerah padat-elektron asimetrik

yang berukuran relatif kecil pada inti viral yang merupakan DNA genomik dan

komplek nucleoprotein (Puspitaningtyas, et al. 2007).

2.4.3 Morfologi Koi Herpes Virus (KHV)

Koi Herpes Virus (KHV) atau Cyprinus herpesvirus (CyHV-3) adalah salah

satu jenis virus yang berbahaya yang dapat menyebabkan nephritis intersisial dan

nekrosis pada insang ikan yang dapat disebut juga sebagai virus nephritis

intersisial dan nekrosis insang. Virus herpes biasanya memiliki ukuran yang lebih

besar dibandingkan dengan virus lainnya. Berdasarkan morfologinya, anggota

virus herpes secara umum memiliki arsitektur yang serupa. Virus herpes memiliki

bentuk morfologi antara lain struktur herpes dari bagian dalam ke bagian luar terdiri

dari genom DNA untai ganda linier yang berbentuk toroid, kapsid, lapisan tegumen

dan selubung. Pada kapsid terdiri dari protein yang tersusun secara simetri

ikosahendral. Menurut Miwa, et al. (2007) ikan yang terinfeksi KHV memiliki inti sel

yang mengandung banyak kapsid KHV dengan diameter 110 nm dan morfologi
15

yang bervariasi. Tegumen yang ada diantara kapsid dan selubung merupakan

masa fibrous yang memiliki ketebalan bervariasi dan sering kali asimetrik (Daili

dana Makes, 2002 dalam Koiwan, 2009).

Gambar 2. Koi Herpes Virus


(Sumber: Google Image, 2017)

Menurut Taukhid, et al. (2004) dalam Maswan (2009), kelompok virus herpes

pada umumnya memiliki kemampuan untuk survive latent pada sel inang dalam

jangka waktu yang lama dan akan menjadi aktif kembali saat ada pemicu seperti

perubahan lingkungan atau stres yang terjadi pada inang. Beberapa virus herpes

akan tetap tinggal dalam bentuk laten seumur hidup induk semangnya (Malole,

1998). Biasanya virus KHV ini akan menyerang pada saat musim hujan atau pada

suhu dingin, yang berkisar 17°C - 24°C (Nuryati, et al. 2015).

2.4.4 Gejala Klinis

Herpes virus pada ikan secara umum di identifikasi sebagai penyakit mulai

dari infeksi sisik hingga infeksi sistematik yang fatal. Menurut Perdana (2008),

gejala klinis ikan yang terserang penyakit antara lain nafsu makan menurun,

lemah, produksi lendir berlebih, kulit melepuh dan gejala yang sangat khas adalah

insang rusak.

Gejala klinis ikan yang terinfeksi KHV terkadang tidak terdeteksi pada ikan koi,

namun ikan yang terinfeksi KHV dapat menghasilkan lesi pada insang yang

ditunjukkan dengan adanya bintik dengan bercak merah dan putih pada ikan.
16

Bercak putih pada insang terjadi karena nekrosis (kematian) dari jaringan insang.

Lesi insang yang disebabkan oleh penyakit KHV adalah tanda-tanda klinis yang

paling umum pada ikan yang terkena infeksi KHV. Tanda-tanda eksternal KHV lain

yang dapat diamati adalah pendarahan insang, mata cekung, dan bercak pucat

pada kulit. Beberapa ikan yang terinfeksi KHV mungkin memiliki hidung berlekuk

(Goodwin, 2012). Ikan yang terkena KHV biasanya sering berada pada permukaan

perairan, malas berenang, susah bernapas dan berenang tidak teratur (Hartman

et al., 2004).

Menurut Laelawati (2008), gejala klinis ikan yang terserang KHV adalah

hemoragi pada insang, bintik putih pada insang, bercak pucat pada insang, kulit

melepuh, mata cekung, dan ikan gelisah. Gejala klinis lain yang ditimbulkan akibat

serangan KHV adalah gerakan ikan sangat lemah, berenang lambat di permukaan

air, sisik mengelupas, megap-megap, nafsu makan menurun, kulit melepuh

kadang disertai hemoragi pada sirip atau badan, insang geripis pada ujung lamella

dan akhirnya membusuk serta kehilangan lendir pada permukaan kulit dan tubuh,

kadang disertai sirip rontok dan ujung sirip geripis. Kondisi yang akut

menyebabkan hemoragi di bagian pangkal sirip dan perut. Jika virus ini menyerang

organ dalam seperti hati dan limpa, maka akan mengalami perubahan warna dan

ginjal akan rusak serta membengkak.

2.4.5 Sistem Imun Ikan Koi

Ikan sangat sensitif terhadap perubahan apapun baik itu bersifat eksternal

maupun internal. Mahkluk ini sangat cepat merespon segala macam bentuk faktor

tersebut untuk tetap mempertahankan homeostasis tubuh sehingga ia tetap bisa

bertahan hidup. Perubahan eksternal yang dapat menimbulkan respon stres

diantaranya bisa terjadi akibat perubahan lingkungan, kualitas air, penanganan,

dan lain sebagainya yang berasal dari luar tubuh ikan. Sedangkan yang termasuk
17

faktor internal adalah yang terkait langsung pada proses yang terjadi di dalam

tubuh ikan. Misalnya pada ikan yang terserang penyakit dan ketidaksenimbungan

nutrien yang berujung pada kematian. Pada perubahan lingkungan yang negatif,

respon akibat stres pada tubuh ikan akan melalui proses secara bertahap.

Pertama sekali ikan akan berusaha menghindari stressor. Kalaupun tidak mungkin

atau tidak bisa menghindar, ikan akan mencoba berusaha ke tingkat adaptasi.

Mula-mula ikan melakukan fisiologis dengan kecendrungan beraksi cepat.

Kemudian barulah kembali pada keseimbangan fisiologis yang baru, yaitu ikan

mencapai adaptasi optimum yang secara fisiologis atau tingkah laku berusaha

menyesuaikan hidup di lingkungan baru. Selama beradaptasi, ikan akan

berkonsentrasi merespon stressor sebagai prioritas bertahan. Akibatnya, sistem

immun akan turun dan pada saat tersebut penyakit akan timbul. Ikan yang stres

mudah terinfeksi oleh sebagian penyakit yang akan mempengaruhi kesehatannya,

sehingga dapat menurunkan kinerja pada produksi (misalnya, pertumbuhan, hasil

panen, daya hidup dan efisiensi pakan) (Ismail, 2015).

Tingkat glukosa darah dapat menjadi indikator terjadinya stres awal ikan,

karena tingkat glukosa darah sangat sensitif terhadap hormon yang mengatur

stres. Pada dasarnya respon terhadap stres ini dikontrol oleh sistem endokrin

melalui pelepasan hormon kartisol dan hormon katekolamin. Masumoto et al

(1991) menyatakan bahwa pada ikan yang stres, kadar hormon tersebut akan

meningkat dalam tubuh. Sandnes and Waagbo (1991) dalam Marzuqi et al (1997)

menyatakan bahwa akan terjadi peningkatan metabolisme yang dipacu oleh

hormon kortisol dan katekolamin. Stres menyebabkan hiperglisemia

(meningkatnya kadar glukosa darah), yang dapat mengganggu pertumbuhan

selanjutnya bahkan dapat mematikan. Selain mempengaruhi rasa lapar,

hiperglisemia juga merupakan faktor penting bagi kesehatan dan kelangsungan

hidup. Oleh karena itu diperlukan upaya mempercepat kembalinya glukosa darah
18

ke level normal setelah ikan mengalami stres supaya pertumbuhan selanjutnya

tidak terganggu. Pada keadaan stres inilah ikan akan terus mempertahankan

homeostasis tubuh yang mulai berubah dengan terus mengeluarkan glukosa untuk

kebutuhan energi selama tempo stres masih terus berlangsung.Tingkat kortisol

yang tinggi akan mempengaruhi sistem kekebalan tubuh sementara stressor

lingkungan mempengaruhi timbulnya penyakit dan mortalitas. Oleh karena itu

dapat dikatakan bahwa perubahan baik internal maupun eksternal dapat menjadi

penyebab kematian ikan.

Penyakit yang menyerang ikan koi ada yang merupakan penyakit noninfeksi

dan infeksi (Supriyadi, 2000). Penyakit non-infeksi adalah penyakit yang timbul

akibat adanya gangguan faktor selain patogen, misalnya karena faktor lingkungan,

kualitas pakan yang kurang baik, dan penyakit karena turunan (Afrianto dan

Liviawaty, 1992). Sedangkan penyakit infeksi biasanya timbul karena gangguan

organisme patogen berupa parasit, jamur, bakteri, dan virus (Kurniastuty et al.,

2004).

Ikan koi memiliki sistem pertahanan tubuh untuk melawan berbagai macam

penyakit. Dalam tubuhnya, terdapat dua sistem pertahanan yaitu sistem

pertahanan non spesifik dan spesifik. Sistem pertahanan non spesifik

berfungsi untuk segala patogen yang menyerang dan bersifat permanen (selalu

ada). Sistem pertahanan spesifik berfungsi untuk melawan penyakit yang

memerlukan rangsangan terlebih dahulu (Ellis 1988).

Sistem kekebalan tubuh melindungi ikan dari infeksi dengan lapisan pelindung

kekhususan yang meningkat. Pelindung fisikal mencegah patogen seperti bakteri

dan virus memasuki tubuh. Jika patogen melewati pelindung tersebut, sistem imun

bawaan menyediakan perlindungan dengan segera, tetapi respon tidak-spesifik.

Sistem imun bawaan ditemukan pada semua jenis tumbuhan dan

binatang.Namun, jika patogen berhasil melewati respon bawaan, vertebrata


19

memasuki perlindungan lapisan ketiga, yaitu sistem imun adaptif yang diaktivasi

oleh respon bawaan. Disini, sistem imun mengadaptasi respon tersebut selama

infeksi untuk menambah penyadaran patogen tersebut. Respon ini lalu ditahan

setelah patogen dihabiskan pada bentuk memori imunologikal dan menyebabkan

sistem imun adaptif untuk memasang lebih cepat dan serangan yang lebih kuat

setiap patogen tersebut ditemukan (Rahim, 2011).

Pembentukan respon imun dilakukan oleh sel limposit (Roberts 1989). Proses

pembentukan respon imun dimulai dengan stimulasi patogen yang merupakan

protein asing dan dikenal sebagai antigen. Menurut Anderson (1990) bahwa dalam

proses imunomodulasi melibatkan dua mekanisme yaitu sistem imun afferent yang

dimulai dengan kontak, seleksi dan pemrosesan antigen dan sistem imun efferen

yang menghasilkan aktifitas limposit, antibodi dan mekanisme pertahanan lainnya

seperti respon seluler faktor nonlimfoid baik humoral maupun seluler.

2.4.6 Penularan Koi Herpes Virus (KHV)

Metode penyebaran (transmisi) KHV dari satu ikan koi ke ikan koi lain dapat

berlangsung dengan berbagai cara. Penyebaran KHV dapat melalui kontak

langsung dengan ikan yang terinfeksi, cairan dari ikan yang terinfeksi dan air yang

menjadi tempat hidup ikan, lumpur atau obyek lain serta vektor yang bersentuhan

langsung dengan sistem yang terkontaminasi Koi Herpes Virus. Infeksi KHV

masuk ke dalam tubuh ikan koi yang rentan melalui insang dan melalui usus

(Dishon et al., 2005). Patogenitas KHV sangat tinggi dan penyebarannya sangat

cepat, sehingga dianggap sebagai salah satu penyakit yang paling serius dalam

budidaya ikan air tawar (Nuryati et al., 2007).

Penyebaran KHV pada ikan koi secara horizontal dapat melalui feses dan

sekresi partikel virus kedalam air. Kulit ikan sebagai pintu masuk KHV dan tempat

awal dilakukannya replikasi. Replikasi pertama virus saat masuk tidak hanya
20

mengakibatkan infeksi pada satu ikan melainkan pada seluruh populasi ikan yang

ada. Keadaan ini disebabkan karena penyebaran melalui kulit ikan satu ke kulit

ikan yang lain, untuk sekarang tidak ada kejadian penyebaran KHV secara vertikal

(Michel et al., 2010).

Menurut Prajitno (2008), beberapa mekanisme penularan penyakit (a).

menyebar di dalam farm melalui kontak langsung antara ikan sakit dan ikan sehat,

melalui bangkai ikan sakit dan melalui air; (b). penularan lokal antara farm melalui

air yang terkontaminasi dan melalui peralatan yang terkontaminasi; (c). penularan

jarak jauh, terutama melalui pemindahan ikan dari daerah wabah ke daerah bukan

wabah. Pola penyebaran penyakit infeksius bermula dari satu lokasi dan

seterusnya menyebar secara lokal di sekitar lokasi tersebut serta menyebar secara

jarak jauh. Masa inkubasi sekitar 7 hari dengan angka kontak sangat tinggi,

sehingga satu ekor ikan sakit dapat menyebarkan penyakit ke ribuan ikan dalam

satu kolam. Ada beberapa faktor yang meningkatkan resiko terjadinya wabah

penyakit KHV, antara lain:

- Memasukkan ikan dari daerah lain, terutama daerah wabah

- Ukuran ikan. Ikan besar kadang terlihat lebih rentan, tetapi hal ini mungkin karena

berhubungan dengan kerusakan insang sehingga memerlukan oksigen lebih

banyak

- Oksigen terlarut (DO tinggi mungkin mengurangi angka kematian ikan)

- Aliran air

- Ikan yang sakit atau mati segera dipisahkan dari kolam (dibakar atau dikubur)

- Suhu air (virus aktif pada suhu 18-28°C)

- Kualitas air (bahan organik), pakan, pengobatan infeksi sekunder dan

pengelolaan budidaya ikan yang baik (Good Management Practices, GMPs)


21

2.5 Heat Shock Protein

Heat shock proteins (HSP) adalah protein stres yang dapat timbul pada semua

jenis sel. Pada keadaan normal HSP berperan sebagai molekul chaperone

(Budhy, 2006). Molekul chaperone adalah protein yang berperan terhadap

pembentukan struktur protein dan keadaan ini disebut protein folding. Selain

berperan terhadap protein folding, molekul tersebut juga berperan untuk stabilisasi

dan pencegahan penggabungan beberapa protein (Melcher, 1999). Apabila

proses pembentukan struktur berjalan tanpa gangguan, maka HSP akan berfungsi

dengan baik dan terbentuk struktur protein folding dengan tepat. Sebaliknya.

apabila proses tersebut terganggu, maka HSP tidak dapat menjalankan fungsinya

dengan baik dan terbentuk struktur prorein yang tidak tepat atau misfolding

(Carver, 2009).

Heat shock proteins (HSP) secara alamiah ada pada sel bakteri dan bertindak

sebagai chaperones yang berperan dalam beradaptasi terhadap perubahan

lingkungan yang ekstrem, seperti perubahan suhu, pH, atau respons imun

manusia, selain itu juga terhadap keadaan stress lainnya seperti hipoksia,

kekurangan makanan, gangguan metabolisme, atau radikal oksigen. Perubahan

yang ekstrem ini dapat menyebabkan gangguan pada sintesis dan proses

pelipatan protein bakteri yang penting untuk bertahan hidup di lingkungan yang

penuh stres (Cahyadi, 2004).

HSP merupakan protein stres utama yang diekspresikan sebagai respon

terhadap stres lingkungan. Protein stres ini sangat bermanfaat sebagai biomarker

(biological response marker) yang berguna dalam penerapan biomonitoring

(bilogical monitoring) di lingkungan perairan (Lewis et al., 1999 dalam Nadeau.,

2001). HSP merupakan indikator yang sangat sensitif untuk mendeteksi kondisi

stres yang diakibatkan oleh adanya suatu stresor lingkungan (Sanders, 1993

dalam Haap dan Kohker, 2009).


22

Jaringan organ insang, jantung, hati dan ginjal merupakan organ yang sangat

penting dalam proses metabolisme pada ikan, dan akan sangat memungkinkan

jaringan ini dapat merespon adanya HSP. Keadaan lingkungan perairan yang

sudah tidak lagi sesuai dengan keadaan semula akibat adanya macam-macam

bahan pencemar yang dapat berasal dari limbah domestik, pabrik (misalkan

limbahnya mengandung B3, persawahan, dan drainase kegiatan perkotaan) yang

akan menyebabkan perubahan ekosistem pada perairan (Ismayanti, 2015). Selain

itu, saat keadaan semakin memburuk dan tubuh ikan harus tetap beradaptasi

dengan keadaan lingkungan yang ada, maka proses metabolisme dalam tubuhnya

akan terganggu sehingga, tubuh ikan akan mengaktifkan HSP dalam sintesis

tubuhnya untuk bertahan hidup (Iwama et al., 1999). Agar ikan dapat bertahan

hidup respon HSP terus diproduksi oleh ikan sehingga dapat berakibat rusaknya

sel yang ada dalam tubuhnya, yang jika terus berkelanjutan dalam waktu yang

lama maka dapat menyebabkan kematian pada ikan (Iwama et al., 2003).

2.5.1 Heat Shock Factor (HSF)

Heat shock proteins (HSP) adalah suatu protein yang dihasilkan karena

adanya Heat Shock Respons (HSR). HSR adalah suatu respon berbasis genetik

untuk menginduksi gen-gen yang mengkode molecular chaperone, protease dan

protein-protein lain yang penting dalam mekanisme pertahanan dan pemulihan

terhadap jejas selular yang berhubungan dengan terjadinya kesalahan melipat dari

protein. HSR juga merupakan suatu tanggapan sel terhadap berbagai macam

gangguan , baik yang bersifat fisiologik maupun yang berasal dari lingkungan. Jika

terjadi stress yang berat maka akan mengakibatkan kerusakan dan kematian dari

sel, sedangkan stress yang sublethal akan memicu reaksi selular berupa HSR,

HSR ini diaturoleh suatu mekanisme yang melibatkan Heat Shock Transcription

Factor (HSF) (Erwin, 2012).


23

Gambar 3. Proses pembentukan HSP


(Sumber : Erwin, 2012)

Heat shock proteins (HSP) diinduksi oleh beberapa stimulasi selain keadaan

panas itu sendiri.Tabel dibawah ini mencantumkan beberapa contoh

stres lingkungan yang mengarah pada ekspresi dari HSP melalui HSF.

Tabel 1. Tipe Stresor


Tipe Stres / Stressor Deskripsi

Fisik Panas, dingin, radiasi, sinar UV

ROS (reaktif oksigen spesies),

Hidrogen peroksida, perubahan dari


Oksigen
anaerob ke aerob (reperfusi), hiposia

dan anoxia

pH Alkalosis, asidosis

Biologik Infeksi, inflakoii

Psikologik Ketidakseimbangan hormonal

2.5.2 HSP70 (Heat Shock Protein 70)

Keluarga HSP70 merupakan protein stres utama yang diekspresikan sebagai

respon terhadap stres lingkungan. Protein stres ini sangat bermanfaat sebagai
24

biomarker (biological response marker) yang berguna dalam penerapan

biomonitoring (bilogical monitoring) di lingkungan perairan (Lewis et al., 1999

dalam Nadeau., 2001). HSP70 merupakan indikator yang sangat sensitif untuk

mendeteksi kondisi stres yang diakibatkan oleh adanya suatu stresor lingkungan

(Sanders, 1993 dalam Haap dan Kohker, 2009).

HSP70 merupakan Heat Shock Protein dengan berat molekul 70 kDa yang

dapat muncul akibat adanya gangguan lingkungan misalkan dengan adanya

peningkatan suhu yang ekstrim sehingga menyebabkan organisme harus

memproduksi protein pertahanan lebih untuk mempertahankan ketahanan

tubuhnya. Christiawan (2013), menyatakan mekanisme perlindungan potensial

dari HSP70 terdiri dari empat aspek, pertama HSP70 sebagai anti inflakoii dapat

mengurangi mediator-mediator pemicu inflakoii. Kedua, HSP70 menstimulan

produksi antioksidan dan meningkatkan level pelepasan panas terus menerus

sampai selesai dan stabil kembali. Ketiga, HSP70 mempunyai kemampuan

memperbaiki regulasi, menjaga serta menghambat sintesis protein dan

mempercepat sintesis protein lainnya dan yang terakhir adalah HSP70 berperan

penting menghambat Apoptosis dan Necrosis. Menurut Santoso (2010), protein

utama adalah protein tekanan panas yang berat molekulnya berkisar antara 22-

110 kDa (kilo Dalton).

Jaringan organ insang, jantung, hati dan ginjal merupakan organ yang sangat

penting dalam proses metabolisme pada ikan, dan akan sangat memungkinkan

jaringan ini dapat merespon adanya HSP70. Keadaan lingkungan perairan yang

sudah tidak lagi sesuai dengan keadaan semula akibat adanya macam-macam

bahan pencemar yang dapat berasal dari limbah domestik, pabrik (misalkan

limbahnya mengandung B3, persawahan, dan drainase kegiatan perkotaan) yang

akan menyebabkan perubahan ekosistem pada perairan (Ismayanti, 2015). Selain

itu, saat keadaan semakin memburuk dan tubuh ikan harus tetap beradaptasi
25

dengan keadaan lingkungan yang ada, maka proses metabolisme dalam tubuhnya

akan terganggu sehingga, tubuh ikan akan mengaktifkan HSP70 dalam sintesis

tubuhnya untuk bertahan hidup (Iwama et al., 1999). Agar ikan dapat bertahan

hidup respon HSP70 terus diproduksi oleh ikan sehingga dapat berakibat rusaknya

sel yang ada dalam tubuhnya, yang jika terus berkelanjutan dalam waktu yang

lama maka dapat menyebabkan kematian pada ikan (Iwama et al., 2003).

2.5.3 Sintesis HSP70 dalam organ Ikan Koi (Cyprinus carpio)

HSP adalah protein yang ada dalam sel dan biasa dibentuk pada saat suatu

organisme sedang mengalami stres. Perannya dalam sel sebagai penyelamat sel

dari kerusakan ataupun denaturasi sel sehingga sel dapat bertahan dan

melanjutkan proses selanjutnya (Deane dan Woo, 2005). Menurut Csermely dan

Yahara (2002), tanggapan heat shock pertama kali ditemukan oleh Feruccio

Ritossa pada tahun 1962, dimana ia mengamati perbesaran bagian khusus dari

kromosom Drosophila melanogaster (puff heat shock) setelah perlakuan panas

kepada lalat buah. Lisyani (2007) dalam Christiawan (2013), menyatakan HSP

merupakan molekul chaperones untuk molekul protein lain yang berfungsi sebagai

pengikut dan menstabilkan protein lain pada stadium intermediate dari pelipatan,

perakitan, translokasi melalui membran dan degradasi protein yang menyimpang

dari kondisi normal.

Ikan merupakan organisme dalam air yang hidupnya mobile, berenang dan

aktif (Jumhana, 2014). Ikan koi biasa hidup di perairan air tawar yang memiliki air

yang tenang seperti kolam. Pada balai, ikan koi hidup di kolam air tanah yang

memiliki saluran irigasi yang berasal dari persawahan. Air yang masuk kedalam

kolam air tanah seringkali membawa masuk bahan tercemar ataupun virus yang

sudah ada pada lingkungan sebelumnya dan berdampak pada ikan koi. Barton

(2002) dalam Iwama (2003) menyatakan besarnya respon stres fisiologis dapat
26

dipengaruhi oleh stressor, serta faktor genetik, perkembangan dan lingkungan.

Ikan akan memberikan respon tentang keadaan lingkungannya. Menurut Park et

al., (2007) dalam Dominius (2009), pada saat sel merespon tekanan stres

terhadap lingkungan, maka sel akan membentuk suatu kelas chaperone (protein

pengarah protein) yang secara molekuler disebut dengan heat shock protein

(HSP). HSP70 adalah chaperone dan enzim protease yang dapat mecegah

terjadinya denaturasi protein akibat stres lingkungan sehingga sel dapat lebih

tahan hidup dan kuat.

Sebagai chaperone molekuler HSP berperan membantu pelipatan rantai

polipeptida yang baru disintesis, melakukan perbaikan dan mendegradasi protein

yang berubah atau diubah sifatnya (Wepener et al., 2005 dalam Dominius, 2009).

HSP merupakan protein utama yang diekspresi sebagai respon terhadap stres

lingkungan, maka protein stres ini sangat bermanfaat sebagai biomarker

(biological response marker) yang dapat digunakan sebagai penanda stres pada

ikan dan keberadaan bahan pencemar di lingkungan perairan (Iwama et al., 1999).
3. MATERI DAN METODE

3.1 Materi Penelitian

Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah ekspresi heat shock protein

70 ikan koi (cyprinus carpio) yang terinfeksi Koi Herpes Virus pada kolam

pemeliharaan. Parameter kualitas air yang diukur meliputi parameter fisika: suhu

dan kecerahan, serta parameter kimia: pH, Nitrat, DO dan Amonia.

3.2 Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada

Lampiran 2.

3.3 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan

teknik surveillance. Penggunaan metode deskriptif dengan teknik surveillance

dimaksudkan agar dapat menggambarkan suatu kondisi pada daerah tertentu

dengan tidak melakukan perubahan terhadap variabel-variabel yang diteliti.

Menurut Umar (2005), metode deskriptif bertujuan untuk menggambarkan sifat

sesuatu yang tengah berlangsung pada saat riset dilakukan dan memeriksa

sebab-sebab dari suatu gejala tertentu. Metode ini akan memberikan informasi

yang bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan lebih banyak

diterapkan pada berbagai macam masalah. Menurut Prajitno (2008), surveillance

merupakan kegiatan yang secara sistematis mengumpulkan, menganalisa dan

menyebarluaskan informasi untuk mendukung pernyataan bahwa suatu populasi

bebas dari infeksi atau penyakit, atau juga dapat digunakan untuk mendeteksi

keberadaan penyakit yang bertujuan untuk pengendalian. FAO (2004)

menyatakan bahwa teknik surveillance dapat menunjang kegiatan dalam

pencegahan dini terhadap infeksi suatu penyakit, perencanaan kontigensi

27
28

(perencanaan untuk kejadian yang tidak terduga) dan pengontrolan dalam

mencegah penyebaran penyakit.

3.4 Pengumpulan Data

Data adalah informasi atau keterangan mengenai sesuatu hal yang berkaitan

dengan tujuan penelitian karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan

data (Sugiyono, 2010). Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data

primer dan data sekunder.

3.4.1 Data Primer

Data primer adalah data yang dikumpulkan, diolah serta diterbitkan sendiri

oleh organisasi yang menggunakannya (Kuswadi dan Mutiara, 2004). Data primer

yang diambil dalam penelitian ini meliputi semua yang berhubungan dengan

proses penanganan manajemen kualitas air pada kolam pemeliharaan ikan koi

dan gambaran ekspresi heat shock protein 70 ikan koi yang terinfeksi koi herpes

virus. Data primer dalam penelitian ini diperoleh dari hasil observasi, partisipasi

aktif dan wawancara dengan pihak terkait beserta masyarakat yang ada disekitar.

a. Observasi

Observasi adalah seluruh kegiatan pengamatan terhadap suatu obyek

dengan bantuan indera manusia (Rangkuti, 2007). Dalam penelitian ini observasi

dilakukan dengan cara pengamatan langsung gejala klinis ikan koi yang terinfeksi

KHV, pengamatan kualitas air kolam pemeliharaan ikan koi dan pengambilan

sampel organ untuk dilakukan uji pcr pada ikan yang terinfeksi Koi Herpes Virus

(KHV).

b. Partisipasi Aktif

Menurut Marzuki (1986), Partisipasi yaitu proses yang dilakukan untuk

mendapatkan informasi dengan berperan aktif dalam proses yang berlangsung.


29

Partisipasi aktif dilakukan dengan mengikuti secara langsung rangkaian kegiatan

meliputi persiapan alat, pengukuran sampel kualitas air, dan pembedahan ikan.

c. Wawancara

Wawancara merupakan proses interaksi atau komunikasi secara langsung

antara pewawancara dan responden. Wawancara didapatkan berdasarkan fakta,

pendapat dan pengalaman dari responden (Budiarto dan Anggraeni, 2003). Dalam

penelitian ini proses wawancara meliputi tanya jawab mengenai keadaan umum,

pembesaran, permasalahan yang dihadapi, dan hasil yang diperoleh dalam

analisa kualitas air pada kolam pemeliharaan ikan koi.

d. Dokumentasi

Dokumentasi merupakan cara untuk mengambil data yang digunakan untuk

menguatkan data sebelumnya dengan cara pengambilan gambar. Menurut Zain

(2013), metode dokumentasi merupakan salah satu cara mencari data mengenai

hal – hal atau variabel berupa catatan transkrip, buku, surat kabar, majalah,

prasasti, notulen rapat, agenda, dan sebagainya.

3.4.2 Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang telah diterbitkan sebelumnya. Data sekunder

didapatkan dari harian, majalah, bulletin dan media masa lain yang mengutip data

dari sumber-sumber lain yang menerbitkannya (Kuswadi dan Mutiara, 2004).

Data Sekunder selama penelitian diperoleh dari laporan-laporan pustaka yang

menunjang, serta dari lembaga pemerintah, pihak swasta yang berhubungan

maupun masyarakat yang terkait dengan ekspresi HSP pada ikan koi yang

terinfeksi KHV pada kolam pemeliharaan.


30

3.5 Metode Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut :

 Analisis infeksi Koi Herpes Virus (KHV) pada ikan koi dengan menggunakan

metode PCR (Polymerase Chain Reaction).

 Analisis histopatologi organ ikan koi untuk mengetahui ekspresi Heat Shock

Protein 70 (HSP70).

 Analisis data kualitas air dilakukan dengan membandingkan data kualitas air

yang diteliti dengan nilai optimal parameter kualitas air untuk pemeliharaan ikan

koi.

3.6 Teknik Pengambilan Sampel Ikan

Teknik pengambilan sampel ikan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut :

 Mengambil sampel ikan koi dengan menggunakan jaring. Pengambilan sampel

ikan dilakukan berdasarkan pertimbangan bahwa ikan koi termasuk ke dalam

kriteria ikan yang terindikasi Koi Herpes Virus (KHV).

 Mengambil sampel ikan sebanyak 3 kali ulangan pada kolam pemeliharaan ikan

koi.

 Membedah organ ikan yang akan diamati histopatologi secepatnya untuk

menghindari kematian ikan setelah ikan ditangkap. Organ yang diambil dalam

penelitian ini yaitu ginjal dan insang ikan koi.

 Memasukkan organ yang telah diambil kedalam formalin 10% agar jaringan

tetap awet untuk preparat histopatologi.


31

3.7 Teknik Pengambilan Sampel Air

Teknik pengambilan sampel air yang digunakan dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut :

 Mengambil sampel air dengan botol plastik volume 600 ml sebanyak 3 botol

dengan 3 kali ulangan.

 Melakukan pengukuran parameter kualitas air secara langsung (in situ) yang

meliputi : suhu, pH, kecerahan dan oksigen terlarut (DO).

 Melakukan pengukuran parameter kualitas air dengan analisis laboratorium

yaitu : Nitrat dan Amonia.

3.8 Prosedur Penelitian

3.8.1 Kualitas Air

Kualitas air dalam budidaya perikanan air tawar sangat menentukan dalam

keberhasilan suatu usaha. Kualitas air merupakan faktor terpenting dalam

pemeliharaan organisme perairan. Pengelolaan kualitas air adalah salah satu

usaha untuk menstabilkan parameter lingkungan yang sesuai dan dibutuhkan oleh

organisme (Hariyadi et al. 1992).

A. Parameter Fisika

1. Suhu

Menurut Subarijanti (2015), prosedur pengukuran suhu perairan

menggunakan thermometer adalah sebagai berikut:

 Mencelupkan thermometer langsung ke dalam air dengan membelakangi sinar

matahari sampai batas skala baca.

 Membiarkan 2-5 menit sampai skala suhu pada thermometer menunjukan

angka yang stabil.

 Pembacaan skala thermometer dilakukan dengan cepat setelah mengangkat

thermometer dari air.


32

2. Kecerahan

Menurut Hariyadi et al. (1992), pengukuran kecerahan perairan menggunakan

secchi disk adalah sebagai berikut :

 Memasukkan secchi disk ke dalam perairan.

 Mengukur batas tidak tampak pertama kali dan dicatat sebagai d1.

 Memasukkan secchi disk ke dalam perairan.

 Mengangkat secchi disk perlahan-lahan.

 Melihat batas tampak pertama kali dan dicatat sebagai d2.

 Menghitung kecerahan dengan rumus :

𝑑1 + 𝑑2
𝑑=
2

Keterangan :

d1 : Batas secchi disk tidak tampak pertama kali.

d2 : Batas secchi disk tampak pertama kali.

B. Parameter Kimia

1. Oksigen Terlarut (DO)

Menurut Hariyadi et al. (1992), adapun cara untuk mengukur DO perairan

yaitu sebagai berikut :

 Menyiapkan botol DO dan mencatat volumenya.

 Memasukkan botol DO kedalam perairan dengan posisi botol dimiringkan dan

semakin tegak bila botol penuh.

 Menutup botol DO didalam air setelah botol terisi penuh dan memastikan tidak

ada gelembung.

 Menambahkan 2 ml MnSO4 dan 2 ml NaOH + KI pada air sampel.

 Menghomogenkan dengan cara dibolak-balik.

 Mendiamkan hingga terbentuk endapan coklat.


33

 Memberi 1-2 ml H2SO4 pekat pada endapan dan mengocok hingga larut.

 Memberi 2-3 tetes amylum.

 Mentitrasi dengan Na-thiosulfat (Na2S2O3) 0.025 N hingga jernih pertama kali.

 Mencatat ml Na2S2O3 yang terpakai sebagai ml titran.

 Menghitung dengan rumus :

𝜈 (𝑡𝑖𝑡𝑟𝑎𝑛)× Ν (𝑡𝑖𝑡𝑟𝑎𝑛) ×8 ×1000


Oksigen Terlarut (mg/l) = 𝜈 (𝐵𝑜𝑡𝑜𝑙 𝐷𝑂)−4

Keterangan :

V (titran) : ml titrasi Na-thiosulfat

N (titran) : normalitas Na-thiosulfat (0.025)

2. Derajat Keasaman (pH)

Menurut Hariyadi et al. (1992), pengukuran derajat keasaman (pH) perairan

menggunakan pH paper meliputi :

 Mencelupkan pH paper kedalam perairan.

 Mendiamkan pH paper selama kurang lebih 2 menit.

 Mengangkat dan dikibas-kibaskan sampai setengah kering.

 Mencocokkan dengan skala 1-14 yang tertera pada kotak standar pH.

 Mencatat hasil pengukurannya.

3. Amonia

Menurut SNI (1990), pengukuran kadar amonia perairan dapat dilakukan

dengan cara sebagai berikut :

 Mengambil 25 ml air sampel uji dan dimasukkan kedalam Erlenmeyer 50 ml.

 Menambahkan 1 ml larutan fenol, kemudian dihomogenkan.

 Menambahkan 1 ml natrium nitropusid, kemudian dihomogenkan.

 Menambahkan 2.5 ml larutan pengoksidasi, kemudian dihomogenkan.


34

 Menutup Erlenmeyer dengan plastik atau parafilm, dan mendiamkan hingga 1

jam.

 Memasukkan kedalam cuvet ukur dengan spektrofotometer, membaca dan

mencatat serapannya pada panjang gelombang 640 nm.

4. Nitrat (NO3-)

Menurut Boyd (1979), pengukuran nitrat perairan dapat dilakukan dengan

cara sebagai berikut:

 Menyaring 12.5 ml air sampel dan tuangkan ke dalam cawan porselen.

 Menguapkan diatas pemanas hingga kering dan dinginkan.

 Menambahkan 0.25 ml asam fenol disulfonik.

 Mengaduk dengan spatula dan mengencerkan dengan 5 ml aquades.

 Menambahkan NH4OH 1:1 hingga terbentuk warna.

 Mengencerkan dengan aquades hingga 12.5 ml, kemudian masukkan dalam

cuvet.

 Membandingkan dengan larutan standar pembanding, baik secara visual atau

dengan spektrofotometer (panjang gelombang 410 nm).

3.8.2 PCR (Polymerase Chain Reaction)

PCR adalah teknologi canggih yang dapat mendeteksi DNA dengan cara

amplifikasi DNA. Hasil pemeriksaan PCR dapat membantu untuk menegakkan

diagnosa sepanjang pemeriksaan tersebut dikerjakan dengan cara yang benar

dan sesuai dengan standar internasional. Keunggulan PCR dikatakan sangat

tinggi. Hal ini didasarkan atas spesifitas, efisiensi dan keakuratannya (Yusuf,

2010). Metode PCR dalam penelitian ini dilakukan sesuai dengan standard baku

mutu pengujian PCR di BKI Juanda. Metode PCR dapat dilihat di lampiran 3.
35

3.8.3 Metode Pembuatan Preparat

A. Memotong jaringan organ

Setelah jaringan organ yang berada di dalam larutan fiksatif matang, jaringan

ditiriskan pada saringan selanjutnya dipotong menggunakan pisau scalpel dengan

ketebalan 0,3 - 0,5 mm dan disusun ke dalam tissue cassette, kemudian sejumlah

tissue cassette dimasukkan ke dalam keranjang khusus.

B. Proses Dehidrasi

Keranjang yang di dalamnya berisi jaringan organ, dimasukkan ke dalam

mesin processor otomatis. Selanjutnya jaringan mengalami proses dehidrasi

bertahap dengan putaran waktu sebagai berikut : ethanol 70% (2 jam) ethanol 80%

(2 jam) ethanol 90 % (2 jam) ethanol absolute (2 jam) ethanol absolute (2 jam)

xylol (2 jam) xylol (2 jam) parafin cair (2 jam) parafin cair (2jam). Selanjutnya

keranjang yang berisi tissue cassette dikeluarkan untuk dilakukan proses

berikutnya.

C. Vakum

Setelah proses dehidrasi, kemudian dilanjutkan dengan penghilangan udara

dari jaringan dengan menggunakan mesin vakum yang di dalamnya terdapat

tabung untuk menyimpan keranjang yang diisi parafin cair dengan temperatur 59

– 60 o
C di vakum selama 30 menit. Keranjang diangkat, tissue cassette

dikeluarkan dan disimpan pada suhu 60 oC untuk sementara sebelum pencetakan

dilakukan dengan parafin cair.

D. Mencetak Blok Parafin

Cetakan dari bahan stainless steel dihangatkan di atas api bunsen, lalu ke

dalam setiap cetakan di masukkan jaringan sambil diatur dan sedikit ditekan.

Sementara itu ditempat lain telah disiapkan parafin cait dalam tempat khusus,

sehingga dicapai suhu 60 oC. Parafin cair tersebut dituankan ke dalam jaringan
36

sampai seluruh jaringan terendam parafin. Parafin dibiarkan membeku diatas

mesin pendingin. Selanjutnya blik parafin dilepas dari cetakan dan disimpan di

freezer (-20 oC) sebelum dilakukan pemotongan.

E. Memotong Blok Jaringan

Blok parafin yang mengandung jaringan, kemudian dipotong dengan

menggunakan mesin mikrotom dengan ketebalan berkisar 3 – 4 µm. Potongan

tersebut diletakan secara hati-hati di atas permukaan air dalam waterbath bersuhu

46 oC. Pada saat ini bentuk irisan dirapikan, kemudian diletakkan di atas kaca

obyek yang telah diolesi ewith yang berfungsi sebagai bahan perekat. Kaca obyek

dengan jaringan di atasnya disusun di dalam rak khusus dan dimasukkan ke dalam

inkubator bersuhu 60 oC sampai preparat siap di warnai.

3.8.4 Prosedur Analisa Histopatologi

Menurut Angka et al., (1990) metode pembuatan preparat (slide) jaringan

histologi adalah sebagai berikut:

 Sampel organ ikan koi diambil dengan menggunakan pinset agar jaringan organ

tidak rusak. Organ ikan disayat membentuk persegi panjang dengan ketebalan

5 mm agar bahan fiksatif dapat meresap sempurna.

 Sampel jaringan yang diperoleh direndam dalam larutan fiksatif selama 48 jam,

perendaman dilakukan sebanyak 15-20 kali volume jaringan dan dilanjutkan

dengan dehidrasi.

 Larutan fiksatif dibuang, kemudian dimasukkan larutan alkohol 70% kedalam

botol film hingga jaringa terendam, selanjutnya organ diambil dari dalam botol

film dan dibungkus menggunakan kain kasa lalu diikat menggunakan benang

yang dibentuk seperti teh celup, agar memudahkan dalam proses pergantian

alkohol setelah 24 jam. Organ yang dibungkus kain kasa diambil dan ditiriskan

di atas kertas tisu lalu dimasukkan ke dalam botol berisi alkohol 80%, 90%, 95%
37

masing-masing selama dua jam dan alkohol 100% selama 12 jam dengan cara

yang sama. Perendaman dilakukan pada suhu ruang.

 Proses clearing yaitu jaringan direndam dalam alkohol-xylol (1:1) selama 30

menit, dilanjutkan dengan xylol I, xylol II, dan xylol III masing-masing selama 30

menit. Perendaman dilakukan pada suhu ruang.

 Tahap impregnasi, yaitu penggantian xylol dengan parafin cair yang

berlangsung di oven dengan suhu 60°C. proses ini dilakukan dengan

perendaman jaringan kedalam xylol-parafin (1:1) yang diletakkan dalam gelas

piala selama 45 menit.

 Jaringan yang telah di embedding dalam parafin cair lalu diblok (dicetak agar

mudah dipotong) dengan parafin cair, kemudian dibekukan. Proses ini

membuthkan cetakan yang dapat dibuat dari kertas kaku, seperti kertas

kalender dengan ukuran 2×2×2 cm. Parafin cair dituangkan kedalam cetakan

hingga memenuhi 1/8 bagian cetakan dan dibiarkan hingga sedikit membeku.

 Jaringan disusun dalam cetakan dengan bagian sayatan yang diperlukan

menghadap dasar cetakan dan dituangi parafin cair hingga material jaringan

terendam selanjutnya dibiarkan beku dalam suhu ruang selama 24 jam. Setelah

parafin beku dengan sempurna, blok parafin dikeluarkan dari cetakan lalu

dipotong tipis menggunakan silet bermata satu agar dapat disesuaikan dengan

tempat blok pada alat pemotong.

 Pemotongan jaringan dimulai dengan meletakkan blok parafin yang

mengandung preparat pada tempat duduknya di mikrotom. Pita-pita parafin

yang awal tanpa jaringan dibuang hingga diperoleh potongan yang

mengandung preparat jaringan. Hasil irisan diambil dengan jarum lalu

diletakkan di permukaan air hangat dalam 45-50°C waterbath hingga


38

mengembang. Setelah pita parafin berkembang dengan baik, pita parafin

tersebut ditempelkan pada gelas objek yang telah diberi zat perekat.

 Dewaxing yang dimulai dengan meletakkan gelas objek yang berisi jaringan

dalam keranjang preparat yang ukurannya sesuai dengan gelas objek. Lilin

akan terlepas dari jaringan dan jaringan akan tampak jernih. Selanjutnya

dilakukan hidrasi yang merupakan proses pemasukan air kedalam preparat

jaringan pada gelas objek setelah proses dewaxing.

 Jaringan pada gelas direndam dalam alkohol 100% dalam wadah perendaman,

lalu secara berturut-turut dimasukkan kedalam alkohol 95%, 90%, 80%, 70%,

dan 50% masing-masing selama dua menit dengan cara yang sama.

Selanjutnya preparat jaringan direndam kedalam aquades selama dua menit.

 Preparat jaringan diberi pewarna hematoksilin-eosin. Preparat jaringan

direndam dengan pewarna hematoksilin-eosin selama 7 menit kemudian dicuci

dengan air mengalir untuk menghilangkan kelebihan zat warna yang tidak

diserap. Preparat jaringan direndam dengan pewarna eosin selama 3 menit dan

dicuci dengan akuades. Preparat jaringan kemudian direndam dalam alkohol

70%, 85%, 90%, dan 100% masing-masing dilakukan selama dua menit,

selanjutnya preparat jaringan direndam dalam xylol I dan xylol II masing-masing

dengan durasi selama dua menit.

 Preparat jaringan yang telah diwarnai dapat dibuat preparat yang lebih awet

dengan cara mounting menggunakan mounting agent seperti enthelan.

Preparat jaringan ditutup dengan gelas penutup yang sudah ditetesi enthelan

dan dikeringkan dalam oven pada suhu 40°C selama 24 jam.

 Preparat histologi yang telah jadi kemudian diamati dengan menggunakan

mikroskop dengan perbesaran mulai dari 40 kali hingga 1000 kali sesuai

dengan kejelasan objek preparat histopatologi.


39

 Dokumentasi menggunakan kamera untuk kemudian dianalisa secara deskriptif

mengenai kerusakan jaringan organ ikan koi yang diakibatkan oleh infeksi KHV.

3.8.5 Metode Pewarnaan Hematoksilin Eosin (HE)

Pemeriksaan histopatologi dilakukan dengan pewarna rutin hematoksilin

eosin (HE), mengikuti prosedur yang dijelaskan oleh Wasito (1999). Berikut

merupakan metode pewarnaan HE:

 Melakukan deparafinasi dan rehidrasi sayatan jaringan dengan cara merendam

sayatan jaringan (4 - 6 µ) dalam xylene (3 X) masing-masing selama 2 menit.

 Memasukkan sayatan jaringan dimasukkan kedalam etanol 100 % (2 X)

masing-masing selama 2 menit.

 Memasukkan sayatan jaringan kedalam etanol 95 % (1 X) selama 2 menit.

 Memasukkan sayatan jaringan kedalam etanol 50 % (1 X) selama 2 menit.

 Memasukkan sayatan jaringan ke dalam aquades (2 X) masing-masing selama

2 menit.

 Merendam sayatan jaringan kedalam hematoksilin selama 15 menit.

 Memasukkan sayatan jaringan dalam aquades sebanyak 4 celupan.

 Memasukkan sayatan jaringan kedalam acid alcohol 1 % sebanyak 3 – 10

celupan.

 Memasukkan sayatan jaringan kedalam aquades sebanyak 4 celupan.

 Merendam dalam eosin selama 15 – 20 menit.

 Memasukkan sayatan jaringan kedalam alkohol 95 % (2 X) masing-masing

selama 1 menit.

 Memasukkan kedalam alkohol 100 % (2 X) masing-masing selama 1 menit, dan

memasukkan kedalam xylene (3 X) masing-masing selama 2 menit.


40

3.8.6 Metode Imunohistokimia (IHK)

Menurut Yanuhar (2009), prosedur pewarnaan imunohistokimia adalah

sebagai berikut:

 Melakukan preparasi jaringan organ yang dipapar imunogenik.

 Melakukan deparafinasi preparat dengan xilol 20 µm selama ± 5 menit.

 Melakukan dehidrasi dengan alkohol absolut sebanyak 2 kali ulangan pada

konsentrasi 90%, 80% dan 70% masing-masing selama 5 menit.

 Membilas preparasi dengan dionize water 20 µm sebanyak 3 kali ulangan,

masing-masing 5 menit.

 Menyimpan preparasi dalam refrigerator (overnight).

 Membilas preparat dengan PBS pH 7,4 20 µm sebanyak 3 kali masing-masing

selama 5 menit.

 Menginkubasi preparat dengan H2O2 3% selama 10 menit.

 Blocking unspesifik protein dan inkubasi dalam 5% PBS dengan 1-2% BSA.

 Menyiapkan antibodi primer yang dilarutkan dalam larutan blotto dengan

perbandingan 1:1000.

 Mencuci dengan antibodi primer anti MHC fish (1:1000) overnight 40C.

 Menetesi preparat dengan antibodi primer dan diinkubasi overnight 40C.

 Preparat kemudian dicuci kembali dengan PBS pH 7,4 sebanyak 3 kali, masing-

masing 5 menit.

 Keringkan kembali sisa-sisa PBS yang masih menempel dan siapkan antibodi

sekunder yang dilarutkan dalam larutan blotto dengan perbandingan 1:200.

 Preparat kemudian ditetesi dengan larutan antibodi sekunder anti mouse

conjugate pajotin dan diinkubasi selama 1 jam pada suhu ruang.

 Preparat kembali dicuci dengan PBS pH 7,4 sebanyak 3 kali, masing-masing 5

menit.
41

 Keringkan kembali sisa-sisa PBS yang masih menempel.

 Menginkubasi dalam SA-HRP dengan perbandingan 1:500 selama 40 menit.

 Preparat dicuci dengan PBS pH 7,4 sebanyak 3 kali, masing-masing 5 menit.

 Menggunakan kromagen DAB selama 20 menit.

 Preparat dicuci dengan PBS pH 7,4 sebanyak 3 kali, masing-masing 5 menit.

 Memberikan counterstain dengan majer hemotoxilen selama 10 menit.

 Membilas preparat dengan DH2O sebanyak 3 kali ulangan masing-masing

selama 5 menit.

 Mengeringkan preparat dengan cara diangin-anginkan.

 Mengamati preparat hasil pewarnaan IHC dibawah mikroskop okuler dengan

perbesaran 40x.

 Mengambil gambar hasil IHC dengan menggunakan olympus digital camera.

3.8.7 Metode Skoring

Menurut Wahyuwardani (2011), metode skoring kerusakan jaringan dapat

dinyatakan dengan mengamati daerah kerusakan dengan tiga kali pengamatan

yang ditentukan secara acak pada perbesaran 40×, kemudian menentukan derajat

kerusakan berdasarkan kriteria sebagai berikut:

 Skor 0 : tidak ditemukan perubahan yang nyata.

 Skor 1- 3 : rata-rata jumlah kerusakan sel terdeteksi ≤ 30%.

 Skor 4 – 5 : rata-rata jumlah kerusakan sel terdeteksi ≤ 50%.

 Skor 6 – 8 : rata-rata jumlah kerusakan sel terdeteksi ≤ 80%.

 Skor 9 – 10 : rata-rata jumlah kerusakan sel terdeteksi ≤ 100%.


4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian berada di daerah Kabupaten Blitar, Jawa Timur tepatnya di

BBI yang berada di Desa Babadan, Kecamatan Wlingi. Penentuan lokasi

penelitian yang berada di Desa Babadan tersebut didasarkan pada survei ke

wilayah budidaya ikan koi yang memiliki indikasi terserang Koi Herpes Virus.

Secara geografis Balai Benih Ikan Babadan ini terletak di Desa Babadan,

Kecamatan Wlingi, Kabupaten Blitar, Jawa Timur. Kabupaten Blitar sendiri terletak

pada koordinat 111°25’ - 112°20’ BT dan 7°57’ - 8°9’51” LS, yang berada di barat

daya Ibukota Jawa Timur, yaitu Surabaya.

Berdasarkan topografinya Kabupaten Blitar terletak pada ketinggian 40-800

meter (dpl). Kabupaten Blitar termasuk kabupaten dengan kategori iklim tipe C.3

dimana rata-rata curah hujan di Kabupaten Blitar mencapai 1.478,8 mm dengan

curah hujan tertinggi 2.618,2 mm per tahun dan terendah 1.024,7 mm per

tahunnya. Suhu terendah di Kabupaten Blitar mencapai 18°C dan suhu tertinggi

mencapai 30°C. kabupaten blitar juga dipisahkan oleh aliran Sungai Brantas

menjadi Blitar Utara (dataran rendah lahan sawah dan beriklim basah) dan Blitar

Selatan (lahan kering yang cukup kritis dan beriklim kering) (Pemerintah

Kabupaten Blitar, 2015). Akses menuju lokasi Balai Benih Ikan Babadan relatif

cukup mudah, karena BBI Babadan terletak di pinggir jalan yaitu pada Jalan

Semeru, Kabupaten Blitar dan jarak dari Ibukota Jawa Timur ±160 km. Peta lokasi

dari BBI babadan Kabupaten Blitar dapat dilihat pada Lampiran 3. Adapun batas-

batas administratif dari BBI Babadan adalah sebagai berikut:

Sebelah Utara : Desa Soso

Sebelah Selatan : Desa Ngadirenggo

42
43

Sebelah Timur : Desa Bening

Sebelah Barat : Desa Wlingi

Pengambilan sampel ikan koi dan sampel kualitas air berasal dari kolam

pemeliharaan yang memiliki konstruksi berupa tanah pada seluruh bagian kolam.

Pengairan pada kolam lokasi penelitian berasal dari Sungai Leso yang merupakan

aliran dari Gunung Kelud yang masih aktif. Kawasan pada lokasi penelitian

termasuk daerah surplus karena tanahnya subur. Faktor penting yang

mempengaruhi tingkat kesuburan tanah di wilayah ini yatu adanya Gunung Kelud

yang masih aktif serta banyaknya aliran sungai yang cukup memadai. Sungai Leso

selain dimanfaatkan masyarakat sebagai sumber air untuk kolam perikanan juga

dimanfaatkan sebagai irigasi pertanian dan perkebunan.

Gambar 4. Kolam Ikan Koi di BBI Blitar


(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2017)

4.2 Gejala Klinis Ikan Koi

Sampel ikan koi yang didapatkan dari BBI Blitar berjumlah 3 ekor ikan. Sampel

ikan sebanyak 3 ekor didapatkan dengan cara mengambil ikan yang menunjukkan

gejala fisik terserang KHV seperti berenang secara terbalik dan memiliki tubuh

yang melepuh. Ikan koi yang telah diambil kemudian segera dibawa ke Balai

Karantina Kelas I Juanda, Sidoarjo untuk dilakukan pemeriksaan penyakit melalui

analisa PCR (Polymerase Chain Reaction).


44

Gejala klinis ikan koi yang terserang KHV pada penelitian ini antara lain ikan

berenang tidak normal, berenang terbalik di permukaan air, nafsu makan menurun,

produksi lendir berlebih, insang berwarna pucat atau coklat (gelap), kongesti

disekitar operculum, sirip dan bagian tubuh. Laelawati (2008) menjelaskan bahwa

gejala kinis ikan yang terserang KHV adalah hemoragi pada insang, bintik putih

pada insang, bercak pucat pada insang, kulit melepuh, mata cekung dan ikan

gelisah. Afrianto et al. (2015) menjelaskan bahwa serangan KHV pada ikan akan

mengakibatkan ikan kehilangan nafsu makan, gerakan ikan tidak normal dan

megap-megap (operkulum bergerak cepat), bercak putih pada insang yang

selanjutnya berkembang menjadi geripis pada ujung lamella dan akhirnya

membusuk, pendarahan di sirip dan badan serta luka melepuh.

Gambar 5. Ikan Koi yang Terinfeksi KHV


(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2017)

4.3 Hasil Analisa PCR Ikan Koi yang Terinfeksi KHV

Sampel ikan koi yang didapatkan dari BBI Blitar menunjukkan gejala klinis

serta perubahan secara morfologi yang menandakan ikan tersebut terinfeksi Koi

Herpes Virus. Akan tetapi gejala perubahan secara morfologi pada ikan belum

dapat membuktikan bahwa ikan tersebut positif terinfeksi Koi Herpes Virus. Untuk

membuktikan bahwa ikan koi sampel positif terinfeksi KHV perlu dilakukan uji lebih
45

lanjut menggunakan analisa PCR (Polymerase Chain Reaction). Metode PCR

telah banyak digunakan dalam berbagai kepentingan didalam ilmu pengetahuan

yaitu diantaranya deteksi suatu gen, deteksi penyakit, kloning dan mutagenesis

dalam suatu gen. Penggunaan metode PCR dalam bidang perikanan telah

digunakan untuk deteksi berbagai macam penyakit yang menyerang ikan seperti

CCV (Channel Catfish Virus), WSSV (White Spot Sindrome Virus), dan KHV (Koi

Herpesvirus) (Murwantoko, 2006).

Sampel ikan koi yang terindikasi KHV dibedah dan diambil organ dalam

ikan tersebut untuk dilakukan proses PCR. Proses pertama kali yang dilakukan

adalah isolasi jaringan organ. Organ yang digunakan untuk analisis PCR berupa

organ ginjal dan insang ikan koi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Gray et al.

(2002), deteksi Koi Herpes Virus dapat dilakukan dari berbagai jaringan terutama

pada jaringan insang, ginjal, dan Limfa. Betaherpesviruses dari subfamili

herpesviridae menjadi laten (tersembunyi) pada sumsum tulang, jaringan limpoid

dan ginjal (Eide et al., 2011).

Setelah dilakukan isolasi organ kemudian dilakukan analisis PCR pada

organ ikan koi. Tahapan prosedur analisis PCR untuk deteksi KHV dapat dilihat

pada Lampiran 3 dengan tahapan reaksi denaturation, annealing, extension dan

final elongation. Hasil analisis PCR kemudian dipotret dengan uv trans-illuminator.

Analisis PCR yang dilakukan pada organ ikan koi diketahui bahwa organ insang

dan ginjal positif terinfeksi Koi Herpes Virus (KHV). Untuk hasil analisa PCR organ

ikan koi dapat dilihat pada Lampiran 3.

4.4 Analisa Kualitas Air

Kualitas air yang buruk menjadi salah satu faktor yang menyebabkan ikan

koi terjangkit penyakit. Pada lokasi pengambilan sampel ikan koi dilakukan
46

pengukuran kualitas air yang meliputi faktor fisika dan kimia. Pengukuran kualitas

air dilakukan sebanyak 3 kali dengan rentang waktu pengambilan setiap seminggu

sekali, hal ini dilakukan agar data kualitas air yang diperoleh akurat. Dari

pengukuran kualitas air di kolam air tanah ikan koi BBI Blitar didapatkan hasil pada

minggu pertama yaitu suhu sebesar 28°C, kecerahan 32 cm, pH sebesar 8, DO

8,7 mg/l, nitrat 0,389 mg/l, dan amonia 0,09 mg/l. Hasil pengukuran kualitas air

pada minggu kedua yaitu suhu 28°C, kecerahan 32 cm, pH 8, DO 10,119 mg/l,

nitrat 0,328 mg/l, dan amonia 0,05 mg/l. Hasil pengukuran kualitas air minggu

ketiga yaitu suhu 28°C, kecerahan 32 cm, pH 8,2, DO 8,7 mg/l, nitrat 0,607 mg/l,

dan amonia 0,03 mg/l. Dari hasil pengukuran kualitas air di kolam air tanah selama

3 kali didapatkan hasil rata-rata kualitas air sebagai berikut:

Tabel 2. Hasil Kualitas Air

Suhu DO Nitrat Amonia Kecerahan


pH
(°C) (mg/l) (mg/l) (mg/l) (cm)

Minggu I 28 8 8,7 0,3 0,09 32

Minggu II 28 8 10,1 0,3 0,05 32

Minggu III 28 8,2 8,7 0,6 0,03 32

Rata-Rata 28 8,1 9,2 0,4 0,05 32

4.4.1 Suhu

Adanya gejala klinis yang muncul pada ikan koi dapat ditimbulkan karena

suhu yang sesuai untuk replikasi virus KHV. Suhu merupakan salah satu faktor

yang menyebabkan berkembangnya virus KHV pada suatu kolam pemeliharaan

ikan koi. Suhu yang optimal untuk virus KHV berkembang pada inangnya yaitu

antara 18−28°C (Hartman et al., 2004). Selain itu suhu juga berperan penting
47

sebagai faktor pengontrol karena pada suhu yang optimal proses metabolisme

didalam tubuh ikan akan optimal juga. Hasil pengukuran suhu pada kolam

pemeliharaan ikan koi selama 3 minggu memiliki hasil suhu yang konstan yaitu

sebesar 28 ºC. Hasil pengukuran suhu dapat dilihat pada gambar 6.

Suhu
28 28 28
Nilai Pengukuran (°C)

30
25
20
15
10
5
0
Minggu 1 Minggu 2 Minggu 3
Waktu Pengukuran

Gambar 6. Grafik Hasil Pengukuran Suhu

Ikan koi merupakan hewan yang hidup di daerah beriklim sedang dan hidup

pada daerah perairan tawar. Suhu ideal untuk tumbuh ikan koi adalah 15ºC – 25ºC.

Di daerah yang mempunyai musim dingin, ikan koi mampu bertahan hidup pada

suhu 2ºC – 3ºC. Ikan koi merupakan ikan yang tidak tahan terhadap perubahan

suhu secara drastis. Penurunan suhu hingga 5ºC dalam tempo singkat sudah

dapat mengakibatkan ikan koi stress (Tiara dan Murhananto, 2002). Stress pada

ikan dapat menyebabkan pertahanan tubuh ikan terhadap penyakit menurun. Ikan

yang stress kondisi fisiknya akan lemah sehingga ikan mudah terserang KHV

(Salselah et al., 2012).

4.4.2 Kecerahan

Kecerahan merupakan faktor penting dalam budidaya pemeliharaan ikan

koi. Kecerahan merupakan kemampuan penetrasi cahaya ke dalam suatu

perairan. Tinggi rendahnya kecerahan perairan sangat berpengaruh terhadap

produktifitas perairan budidaya karena kecerahan berhubungan dengan cahaya

matahari sebagai sumber kehidupan bagi jasad hidup terutama fitoplankton


48

diperairan. Kecerahan suatu perairan juga dapat dipengaruhi oleh adanya partikel

organik maupun anorganik seperti lumpur, sampah, polutan, hasil dekomposisi

bahan organik dan plankton (Mahyuddin, 2010). Berdasarkan hasil pengukuran

pada kolam pemeliharaan ikan koi didapatkan hasil pengukuran kecerahan

berkisar 100% atau sekitar 32─33 cm. Grafik hasil pengukuran dapat dilihat pada

gambar 7.

Kecerahan
Nilai Kecerahan (cm)

40 32 32 32
30
20
10
0
Minggu 1 Minggu 2 Minggu 3
Waktu Pengukuran

Gambar 7. Grafik Hasil Pengukuran Kecerahan

Air untuk budidaya ikan koi yang baik memiliki ciri-ciri air harus bersih dan

jika sudah lama air tersebut akan berwarna hijau cerah dengan tingkat kecerahan

pada kisaran 35 cm. Hal tersebut dapat menandakan pada kolam pemeliharaan

terdapat pakan alami berupa plankton yang memadai untuk pakan alami ikan

(Prasetio, 2010). Air yang baik untuk budidya ikan memiliki warna air yang tidak

keruh maupun tidak terlalu jernih. Kecerahan dalam perairan sangat bergantung

pada warna air dan kekeruhan kolam. Nilai kecerahan yang optimal untuk

pertumbuhan ikan budidaya yaitu berkisar antara 25−40 cm (Gusrina, 2014).

Media budidaya yang keruh atau kotor dapat menyebabkan ikan mengalami

stress. Ketika ikan mengalami stress akan terjadi perubahan pada perlindungan

alami ikan sehingga ikan menjadi mudah terserang penyakit (Afrianto et al., 2015).
49

4.4.3 pH

Derajat keasaman (pH) adalah salah satu faktor dalam budidaya ikan koi

yang harus diperhatikan. Pengukuran pH dalam perairan sangat diperlukan karena

pH merupakan indikator untuk mengetahui konsentrasi ion hidrogen yang ada di

perairan. Kondisi suatu perairan asam atau basa dapat dilihat dari hasil

pengukuran pH tersebut. Nilai pH yang terlalu tinggi dapat menghambat proses

fotosintesis karena kandungan CO2 berkurang sementara itu jika nilai pH terlalu

rendah dapat menyebabkan ikan lemas bahkan dapat menyebabkan kematian

(Mahyuddin, 2010). Hasil pengukuran pH pada kolam tanah ikan koi selama 3

minggu memliki hasil rata-rata sebesar 8,1. Grafik hasil pengukuran pH dapat

dilihat pada gambar 8.

pH
8,3
8,2
8,2
Nilai pH

8,1
8 8
8

7,9
Minggu 1 Minggu 2 Minggu 3
Waktu Pengukuran

Gambar 8. Grafik Hasil Pengukuran pH


Menurut Malokoi (2011), kisaran pH ditetapkan mulai dari 1 hingga 14,

namun pH yang sesuai untuk pertumbuhan makluk hidup adalah antara 5.5 hingga

8.5. Khusus untuk koi pH sekitar 7 merupakan pH yang ideal. Jika pH lebih tinggi

dari 7 maka bahaya racun ammonia akan semakin rentan terhadap koi.

4.4.4 Dissolved Oxygen (DO)

Tingkat oksigen terlarut yang ideal adalah 8 ppm. Level DO dibawah ini

secara temporer tidak terlalu bermasalah sepanjang tingkat pH, ammonia dan nitrit

masih aman. Namun tingkat DO yang secara berkesinambungan di bawah 8 ppm


50

dapat menyebabkan masalah serius pada koi. Koi masih dapat bertahan hidup

beberapa hari pada level DO 5 ppm, namun jika turun ke level 3 ppm akan

menyebabkan koi mengalami kekurangan oksigen atau hyporexia. Hasil

pengukuran DO pada kolam tanah ikan koi memiliki hasil sebesar 9,2 ppm. Grafik

hasil pengukuran DO dapat dilihat pada gambar 9.

DO
10,5 10,1
Nilai DO (mg/l)

10
9,5
9 8,7 8,7
8,5
8
Minggu 1 Minggu 2 Minggu 3
Waktu Pengukuran

Gambar 9. Grafik Hasil Pengukuran DO


Konsentrasi oksigen terlarut yang baik dalam budidaya perairan adalah

antara 5–7 mg/l. Kadar oksigen dalam perairan sangat dipengaruhi oleh suhu.

Semakin tinggi suhu maka kelarutan oksigen dalam perairan akan semakin rendah

(Effendi, 2003). Pada tekanan tertentu, kelarutan oksigen dalam air dipengaruhi

oleh suhu. Beberapa faktor lain yang mempengaruhi kelarutan oksigen dalam

perairan adalah pergolakan dan luas permukaan air terbuka bagi atmosfer

(Mahida, 1986).

4.4.5 Nitrat

Nitrat merupakan hasil akhir dari proses nitrifikasi dalam siklus nitrogen.

Tidak terlalu berbahaya bagi koi dibanding dengan nitrit dan ammonium. Nitrat ini

merupakan pupuk dan makanan bagi pertumbuhan alga (lumut). Tingginya

pertumbuhan lumut dalam kolam adalah sebagai indikator tingginya tingkat nitrat

dalam air. Pergantian air secara regular setiap minggu dapat mengurangi kadar

nitrat dalam air. Kisaran nitrit yang baik untuk koi adalah 0, maksimum 0,25 ppm.
51

Nitrat diatas 0,25 ppm dapat berbahaya bagi Koi, mempengaruhi pertumbuhan Koi

serta memperlambat penyembuhan penyakit luka pada Koi (Malokoi, 2011). Hasil

pengukuran nitrat pada kolam tanah ikan koi selama 3 minggu mendapatkan hasil

sebesar 0,4 ppm. Grafik hasil pengukuran nitrat dapat dilihat pada gambar 10.

Nitrat
0,8
Nilai Nitrat (mg/l)

0,6
0,6
0,4 0,3 0,3

0,2
0
Minggu 1 Minggu 2 Minggu 3
Waktu Pengukuran

Gambar 10. Grafik Hasil Pengukuran Nitrat


Nitrat terbentuk dari reaksi antara amoniak dan oksigen yang tedarut dalam

air. Besamya kadar nitrat di dalam tarnbak atau kolam yang masih boleh dibiarkan

begitu saja berada di bawah 0,1 ppm. Sementara itu, kadar nitrit yang dibenarkan

tidak lebih dari 0,5 ppm (Piranti, 2009).

4.4.6 Amonia

Amonia di perairan berasal dari pemecahan nitrogen organik dan

anorganik yang terdapat di dalam perairan dan tanah, yang berasal dari

dekomposisi bahan organik baik dari tumbuhan atau biota akuatik yang telah mati

(Effendi, 2003). Peningkatan kadar amonia dapat diakibatkan oleh beberapa hal

seperti penumpukan makanan ikan yang tidak termakan dan menurunnya kadar

oksigen terlarut (Rully, 2011). Hasil pengukuran ammonia pada kolam

pemeliharaan ikan koi selama 3 minggu mendapatkan hasil rata-rata sebesar 0,05

ppm. Grafik hasil pengukuran amonia dapat dilihat pada gambar 11.
52

Amonia

Nilai Amonia (mg/l)


0,06 0,05
0,05
0,04 0,03
0,03
0,02 0,09
0,01
0
Minggu 1 Minggu 2 Minggu 3
Waktu Pengukuran

Gambar 11. Grafik Hasil Pengukuran Amonia


Level amonia yang ideal untuk koi adalah 0, maksimum 0.02 ppm. Amonia

dihasilkan dari pembusukan sisa sisa pakan dan kotoran koi. Menurut Pietsch dan

Hirsch (2015), kadar amonia (NH3) dalam perairan untuk budidaya ikan koi yang

optimal yaitu dibawah 0,02 mg/l. Kandungan amonia yang tinggi dapat

menyebabkan penghambatan daya serap hemoglobin terhadap amonia. Jika hal

tersebut terjadi maka ikan akan menjadi lemas akibat kekurangan oksigen

(Mahyuddin, 2010). Menurut Wijaya, et al. (2007), bahwa ikan mengeluarkan

amonia (N-anorganik) melalui proses osmoregulasi 80% – 90%, sedangkan dari

feses dan urine 10% – 20% dari total nitrogen. Akumulasi amonia pada media

budidaya adalah penyebab penurunan kualitas perairan yang mengakibatkan

kegagalan produksi budidaya ikan.

4.5 Konfirmasi Respon HSP70 Pada Jaringan Ginjal dan Insang

Ikan koi yang diambil dari kolam pemeliharaan BBI Blitar dinyatakan positif

terinfeksi Koi Herpes Virus (KHV) melalui uji PCR. Ikan koi yang positif terserang

KHV dapat terinfeksi diakibatkan faktor stressor lingkungan dan kualitas air yang

buruk. Ikan koi yang stress menyebabkan munculnya ekspresi Heat Shock Protein

70 (HSP70). Ekspresi HSP70 pada ikan koi dapat dideteksi melalui pewarnaan

imunohistokimia (IHK), yaitu suatu teknik deteksi antigen pada jaringan


53

berdasarkan pada reaksi antigen dan antibodi. Hasil reaksi antigen antibodi dapat

diidentifikasi pada jaringan karena antibodi diikat oleh suatu penanda yang dapat

divisualisasikan (BOENISCH, 2001).

Organ ginjal dan insang ikan koi yang positif terinfeksi KHV diberi

pewarnaan imunohistokimia dan diamati menggunakan mikroskop. Persentase

immunoratio organ ginjal dan insang ikan koi yang terinfeksi KHV dapat dilihat

pada Lampiran 4. Berikut adalah gambar organ ginjal dan insang ikan koi yang

telah diberi pewarnaan imunohistokimia :

a b
Gambar 12. Hasil pewarnaan IHK terdeteksi HSP70 pada ginjal (a) dan
insang (b)
Hasil pewarnaan imunohistokimia menandakan adanya ekspresi HSP70

pada organ ginjal dan insang ikan koi yang positif terinfeksi KHV. Ekspresi HSP70

pada organ ginjal dan insang ikan koi ditandai dengan adanya warna coklat pada

organ. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Santoso (2010) bahwa analisis

immunohistokimia HSP70 pada jaringan ginjal cranial ikan koi (Cyprinus carpio)

menunjukkan bahwa ekspresi HSP70 dalam jaringan ginjal cranial ikan koi

ditemukan pada kontrol dan semua perlakuan paparan LAS, yang ditandai dengan

adanya sel yang berwarna coklat.

Faktor stressor dari lingkungan seperti kualitas air yang buruk

menyebabkan ikan koi stres sehingga memicu timbulnya ekspresi HSP70.

Beberapa penelitian lain juga menunjukkan terjadinya peningkatan ekspresi

HSP70 setelah paparan stressor, yaitu penelitian pada jaringan insang, hati dan
54

eritrosit ikan koi (Cyprinus carpio) yang dipapar dengan logam berat tembaga (Cu)

(Boeck dkk., 2003), pada jaringan insang ikan tilapia (Oreochromis mossambicus)

yang dipapar dengan air sungai tercemar (Wepener dkk., 2005), demikian pula

penelitian terhadap jaringan hati ikan tilapia (O. mossambicus) yang dipapar

kadmium (konsentrasi 10% dari LC50) dan kromium (konsentrasi 20% dari LC50)

menemukan adanya peningkatan akumulasi HSP pada periode pengamatan 24

jam untuk kadmium pada 48 dan 96 jam untuk kromium (Basson, 2006).

4.6 Histopatologi Organ Ikan Koi KHV

Ikan koi yang positif terserang KHV diproses secara histopatologi untuk

diketahui kerusakan apa yang terjadi pada sel organ ikan koi. Kemudian ikan koi

diwarnai menggunakan pewarnaan HE (Hematoxilin Eosin). HE digunakan karena

kebanyakan jaringan didapati tidak berwarna, sehingga tidak banyak yang dapat

dilihat di bawah mikroskop. Agar dapat dilihat dibawah mikroskop, kebanyakan

organ/preparat harus diwarnai. Oleh sebab itu, dirancang pewarnaan jaringan agar

berbagai unsur jaringan jelas terlihat dan dapat dibedakan.

Organ ikan koi yang sudah diwarnai menggunakan pewarnaan HE diamati

menggunakan miksrokop. Organ ikan koi yang diamati adalah insang dan ginjal

ikan koi positif KHV. Organ ginjal, insang dan otak ikan koi diamati menggunakan

miksroskop Olympus BX51 dengan perbesaran 1000x.

4.6.1 Perubahan Patologis Pada Ginjal Ikan Koi yang Terinfeksi KHV

Ginjal ikan terdiri dari beberapa komponen, yaitu nefron, glomerulus,

tubulus proksimal, tubulus distal dan sel rodlet atau biasa yang disebut sebagai

sel sekretori (Mumford et al., 2007). Pada ginjal ikan sehat semua komponen

bagian ginjal terlihat masih baik dan tidak mengalami gangguan. Gangguan atau
55

kerusakan yang terjadi pada ginjal akibat agen penginfeksi maupun non infeksi,

dapat menyebabkan gangguan fungsi atau disfungsi pada ginjal (Sugianti,2012).

Terjadinya infeksi virus KHV pada ikan koi dapat menginfeksi dan membuat

kerusakan jaringan organ dalam ikan koi. Organ ginjal ikan koi merupakan salah

satu organ yang dapat terserang infeksi dan mengalami kerusakan jika dilihat

secara histologi. Hasil pengamatan patologis terhadap ginjal ikan yang terinfeksi

KHV ditemukan perubahan patologis berupa kerusakan jaringan yaitu kongesti

(Gambar 14K), haemoragi (Gambar 14H), nekrosis (Gambar 14N) dan vakuolisasi

(Gambar 15). Berikut merupakan gambar kerusakan jaringan pada organ ginjal

ikan koi :

Gambar 13. Organ Ginjal Ikan Koi Sehat (Perbesaran 40x)

N
Gambar 14. Kerusakan pada organ ginjal ikan koi KHV, kongesti (K)
haemoragi (H) dan nekrosis (C) (perbesaran 40x)
56

Gambar 15. Kerusakan Pada Organ Ginjal Ikan Koi, Vakuolisasi


(Perbesaran 40x)
Berdasarkan pengamatan ginjal ikan koi yang terkena KHV dan

perbandingannya dengan ginjal ikan koi yang sehat dapat dilihat perbandingan

patologis yang jelas. Pada organ ginjal ikan koi yang terinfeksi KHV terlihat

perubahan patologis berupa kongesti, haemoragi, nekrosis dan vakuolisasi.

Kongesti sendiri merupakan suatu kerusakan dimana terjadi penumpukan darah

pada pembuluh darah yang terdapat pada jaringan tertentu (Sugianti, 2012).

Terjadinya kongesti pada suatu jaringan juga terkadang dapat menyebabkan

hemoragi di sekitar pembuluh darah yang terdapat kongesti (Robert, 2001).

Hemoragi pada ginjal ikan yang terdapat pada jaringan hematopoietik merupakan

adanya pendarahan atau keluarnya darah dari sistem vaskular yang terjadi akibat

cedera endotelium vaskular. Cedera endotelium vaskular dapat diakibatkan oleh

beberapa hal yaitu oleh infeksi, peradangan, dan nekrosis (Mumford et al., 2007).

Kerusakan jaringan berupa nekrosis juga ditemukan pada organ ginjal ikan

koi yang terinfeksi KHV. Menurut Plumb (1994), nekrosis merupakan kematian sel

atau suatu jaringan yang menyertai degenerasi sel pada setiap kehidupan hewan

dan merupakan tahap akhir degenerasi yang irreversibel. Sel yang baru

mengalami nekrosis akan mengalami pembengkakan. Nekrosis dapat disebabkan

oleh trauma, agen-agen biologis (virus, bakteri, jamur dan parasit), agen-agen
57

kimia atau terjadinya gangguan terhadap penyediaan darah pada suatu daerah

pada organ tersebut. Perubahan histologis organ ginjal ikan koi yang terserang

KHV ditandai oleh perubahan yang terjadi pada sel-sel hematopoietik di jaringan

interstial pada bagian anterior ginjal yang mengalami nekrosis dan di dalam inti

selnya terdapat badan inklusi (Hedrick et al., 2000). Kerusakan jaringan lainnya

adalah vakuolisasi. Vakuolisasi merupakan sel yang mengalami kerusakan

menyebabkan sel hancur sehingga tertinggal sebagai ruangan kosong pada

jaringan (Putri et al., 2013).

4.6.2 Perubahan Patologis Pada Insang Ikan Koi yang Terinfeksi KHV

Perubahan patologis yang ditemukan pada insang merupakan indikasi

terjadinya radang sebagai akibat infiltrasi dan aktivitas replikasi virus. Penelitian

Hedrick et al. (2000) dan Perelberg et al. (2003) menemukan KHV pertama kalinya

masuk dan menginfeksi tubuh ikan melalui insang atau usus. Mekanisme infeksi

KHV menurut laporan Pikarsky et al. (2004), virus pertama kali masuk ke dalam

tubuh ikan melalui insang, selanjutnya bereplikasi di dalam organ tersebut.

Aktivitas replikasi tersebut mempengaruhi struktur insang, sehingga terlihat insang

mengalami nekrosis pada lapisan mukosanya. Kerusakan insang yang parah

merupakan salah satu faktor munculnya gejala klinis pada ikan, seperti

peningkatan frekuensi pernafasan dan ikan kelihatan megap-megap, serta selalu

berenang ke arah permukaan air. Hasil pengamatan patologis terhadap insang

ikan yang terinfeksi KHV ditemukan perubahan patologis berupa kerusakan

jaringan yaitu vakuolisasi (Gambar 17V), kongesti (Gambar 17K), nekrosis

(Gambar 17N) dan haemoragi (Gambar 18). Berikut merupakan gambar

kerusakan jaringan pada organ insang ikan koi:


58

Gambar 16. Organ Insang Ikan Koi Sehat (Perbesaran 40x)

K
V

Gambar 17. Kerusakan pada organ insang ikan koi KHV, vakuolisasi (V)
kongesti (K) dan nekrosis (N) (perbesaran 40x)

V V

Gambar 18. Kerusakan Pada Organ Insang Ikan Koi KHV, Haemoragi
(Perbesaran 40x)
Berdasarkan pengamatan insang ikan koi yang terkena KHV dan

perbandingannya dengan insang ikan koi yang sehat dapat dilihat perbandingan

patologis yang jelas. Pada organ insang ikan koi yang terinfeksi KHV terlihat

perubahan patologis berupa vakuolisasi, kongesti, nekrosis dan haemoragi. Virus

yang ada dalam tubuh ikan dapat mengakibatkan peningkatan volume sel dan

dapat mengubah susunan kelimpahan vakuola sitoplasmik pada sel yang terinfeksi
59

serta dapat mengubah bentuk sel menjadi bulat sebelum virus meninggalkan

inangnya. Sel dalam suatu jaringan yang terinfeksi menunjukkan karakteristik

penurunan patologi yang meliputi kerusakan inti, vakuolisasi, dan penurunan daya

permukaan sitoplasmik (Pokorova et al., 2005). Vakuolisasi terjadi karena

degenerasi pada sel yang membuat bentuk sel menjadi kurang aktif (Sari et al.,

2014). Kerusakan jaringan lainnya merupakan kongesti. Kongesti adalah suatu

keadaan meningkatnya volume darah dalam pembuluh darah yang melebar pada

suatu organ atau bagian tubuh (Saleh ,1979).

Perubahan patologis berupa nekrosis juga ditemukan pada organ insang

ikan koi. Rangsangan atau stimulus patologis yang terjadi pada sel, secara

fisiologis dan morfologis akan beradaptasi dengan sel sebagai reaksi terhadap

stimulus dan sel masih dapat bertahan hidup serta mengatur fungsinya. Namun

apabila stimulus patologis diperbesar sampai melewati batas adaptasi sel

terhadap stimulus, maka akan timbul cedera sel yang biasanya bersifat sementara

(reversible). Sel akan mati atau nekrosis Jika stimulus menetap atau bertambah

besar, dan kemudian sel akan mengalami lesi yang menetap (irreversible). Sel

yang mengalami nekrosis merupakan hasil akhir yang disebabkan oleh iskemia,

infeksi, dan reaksi imun (Sudiono et al., 2003). Nekrosis merupakan kematian sel

yang dapat disebabkan oleh adanya bakteri dan protozoa (Hoole et al., 2001).

Selain itu hemoragi juga ditemukan pada organ insang ikan koi. Hemoragi adalah

suatu kondisi keluarnya darah akibat adanya kerusakan pada dinding vaskula

pada suatu jaringan (Smith dan Jones, 1961).

4.6.3 Indeks Kerusakan Jaringan Pada Organ Ikan Koi

Berdasarkan hasil pengamatan organ ginjal dan insang ikan koi yang

terinfeksi KHV didapatkan hasil kerusakan jaringan berupa kongesti, nekrosis dan
60

hemoragi. Kerusakan jaringan yang ada pada organ ginjal dan insang ikan koi

diamati menggunakan mikroskop Olympus BX51. Dari hasil pengamatan diketahui

bahwa kerusakan yang terjadi tidak hanya terdapat pada 1 luas lapang pandang

organ saja, akan tetapi menyebar. Indeks kerusakan jaringan dibuat untuk

mengetahui seberapa banyak atau parah kerusakan jaringan yang terjadi

berdasarkan masing-masing tipe kerusakan jaringan yang ditemukan. Indeks

kerusakan ini dibuat berdasarkan pengamatan peneliti terhadap kerusakan

jaringan yang ada. Indeks kerusakan jaringan pada organ ginjal dan insang ikan

koi dapat dilihat pada tabel 3:

Tabel 3. Indeks Kerusakan Jaringan


Penilaian (Rata-Rata Jumlah Kerusakan)
Keterangan 9 – 10
1-3 4-5 6-8
(Banyak atau
(Sedikit) (Sedang) (Cukup Banyak)
Parah)
Ginjal
Kongesti 
Nekrosis 
Hemoragi 
Vakuolisasi 
Insang
Kongesti 
Nekrosis 
Hemoragi 
Vakuolisasi 

Hasil indeks kerusakan jaringan yang didapatkan yaitu untuk organ ginjal

ikan koi yang terinfeksi KHV didapatkan skor 1-3 pada kerusakan kongesti yang

menandakan bahwa kerusakan jaringan berupa kongesti memiliki persentase

sebesar ≤ 30%. Kerusakan jaringan berupa nekrosis berada pada rentang skor 4-

5 yang menandakan bahwa kerusakan jaringan berupa kongesti memiliki

persentase sebesar ≤ 50%. Kerusakan jaringan berupa hemoragi dan vakuolisasi


61

berada pada rentang skor 1-3 yang menandakan bahwa kerusakan jaringan

berupa hemoragi dan vakuolisasi memiliki persentase sebesar ≤ 30%.

Hasil indeks kerusakan yang didapatkan dari organ insang ikan koi yang

terinfeksi KHV yaitu kongesti berada pada rentang skor 1-3 yang menandakan

bahwa kerusakan jaringan berupa kongesti memiliki persentase sebesar ≤ 30%.

Kerusakan jaringan nekrosis dan hemoragi berada pada rentang skor 9-10 yang

menandakan bahwa kerusakan jaringan berupa nekrosis dan hemoragi memiliki

persentase sebesar ≤ 100%. Kerusakan jaringan vakuolisasi berada pada rentang

skor 1-3 yang menandakan bahwa kerusakan jaringan berupa vakuolisasi memiliki

persentase sebesar ≤ 30%.

Hasil skoring pada indeks kerusakan jaringan sesuai dengan pernyataan

Wahyuwardani (2011) bahwa metode skoring kerusakan jaringan dapat

dinyatakan dengan mengamati daerah kerusakan dengan tiga kali pengamatan

yang ditentukan secara acak pada perbesaran 40×, kemudian menentukan derajat

kerusakan berdasarkan kriteria sebagai berikut:

 Skor 0 : tidak ditemukan perubahan yang nyata.

 Skor 1- 3 : rata-rata jumlah kerusakan sel terdeteksi ≤ 30%.

 Skor 4 – 5 : rata-rata jumlah kerusakan sel terdeteksi ≤ 50%.

 Skor 6 – 8 : rata-rata jumlah kerusakan sel terdeteksi ≤ 80%.

 Skor 9 – 10 : rata-rata jumlah kerusakan sel terdeteksi ≤ 100%.


62

Tabel 4. Gambar Kerusakan Jaringan


No. Perubahan Histologi Gambar

1. Kongesti, adalah suatu

keadaan meningkatnya

volume darah dalam

pembuluh darah yang

melebar pada suatu

organ atau bagian Kongesti pada jaringan ginjal ikan koi


ditunjukkan dengan panah hitam (Sugianti,
tubuh (Saleh, 1979) 2012)

2. Hemoragi, adalah

suatu kondisi keluarnya

darah akibat adanya

kerusakan pada dinding

vaskula pada suatu


Hemoragi pada jaringan ginjal ikan koi
jaringan (Smith dan
ditunjukkan dengan panah hitam (Sugianti,
Jones, 1961) 2012)

3. Nekrosis, merupakan

kematian sel atau suatu

jaringan yang menyertai

degenerasi sel pada

setiap kehidupan

hewan dan merupakan


Nekrosis pada jaringan ginjal ikan koi
tahap akhir degenerasi ditunjukkan dengan panah hijau (Jiang et al.,
2015)
yang irreversibel
63

4. Vakuolisasi,

merupakan sel yang

mengalami kerusakan

sehingga tertinggal

sebagai ruangan

kosong pada jaringan Vakuolisasi pada jaringan ginjal ikan koi


ditunjukkan dengan panah hit am ( Fischer
(Putri et al., 2013) dan Detrich, 1999)
5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian mengenai ekspresi Heat Shock Protein 70

(HSP70) ikan koi (Cyprinus carpio) yang terinfeksi Koi Herpes Virus (KHV) pada

kolam pemeliharaan, maka dapat disimpulkan bahwa:

 Hasil pewarnaan imunohistokimia mendeteksi terdapat ekspresi HSP70 pada

organ ginjal dan insang ikan koi yang positif terinfeksi KHV.

 Pengamatan parameter kualitas air pada kolam pemeliharaan ikan koi memiliki

hasil berupa kondisi kualitas air yang kurang optimal. Hal tersebut dikarenakan

hasil pengukuran kualitas air menunjukkan ada beberapa nilai parameter

kualitas air yang melebihi baku mutu standard kualitas air bagi ikan koi

5.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian mengenai ekspresi Heat Shock Protein 70

(HSP70) ikan koi (Cyprinus carpio) yang terinfeksi Koi Herpes Virus (KHV) pada

kolam pemeliharaan, maka sebaiknya perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk

mengetahui faktor apa saja yang mempengaruhi masuknya penyakit KHV kedalam

tubuh ikan koi, dan faktor apa saja yang mempengaruhi kekebalan tubuh ikan koi.

Selain itu perlu dilakukan pengontrolan kualitas air yang baik pada kolam

pemeliharaan ikan koi untuk mencegah masuknya penyakit kedalam tubuh ikan

koi.

64
DAFTAR PUSTAKA

Afrianto, I. E., Jamaris, I. Z., Hendi, S. P. 2015. Penyakit Ikan. Penebar Swadaya
Grup.
Afrianto, I. E., Liviawaty, I. E. 1992. Pengendalian Hama dan Penyakit Ikan.
Yogyakarta: Kanisius.
Angka, S.L., Mokoginta, I., Damas, D. 1990. Pengendalian Penyakit Ikan
Histopatologi dan Hematologi Ikan-Ikan Air Tawar yang Dibudidayakan.
Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor.
Basson, T. A. 2006. Pengantar Limnologi Studi Tentang Ekosistem Air Daratan.
Medan: USU Press.
Bloom. 1998. Chemical and Physical Water Quality Analisis. Malang:
Nuffic/Unibraw/Luw/Fish.
Boyd, C. E. 1979. Water Quality Management In Pond Fish Culture. Alabama:
Auburn University Agricultural Experiment Station.
Bradley, W. G. 2006. Neurology in Clinical Practice. Butterworth Heinemann.
Budhy, T. I., Istiati, K., Soehardjo. 2006. “Peran Heat Shock Protein (HSP)
Terhadap Penyakit Rongga Mulut.” IJD Edisi Khusus KPPIKG XIV.
Cahyadi, H., Tyasrini, E., Lucianus. 2004. “Peranan Heat Shock Protein pada
Patogenesis Infeksi dan Penyakit Autoimun.” JKM 2.
Carman, O., Sucipto, A. 2013. Pembesaran Nila 2,5 Bulan. Jakarta: Penebar
Swadaya.
Carver. 2009. “Kualitas Faktor Kimia Perairan Kolam Ikan.” Universitas Soedirman.
Cruz-Rodriguez, L. A., Chu, F. L. E. 2002. “Heat Shock Protein (HSP70) Response
in the Eastern Oyster (Crassostrea virginica), Exposed to PAHs Sorbed to
Suspended Artificial Clay Particles and to Suspended Field Contaminated
Sediments.” Aquatic Toxicology 157-168.
Dishon, A., Perelberg, A., Bishara-Shieban, J., Ilouze, M., Davidovich, M., Werker,
S., Kotler, M. 2005. “Detection of Carp Interstitial Nephritis and Gill
Necrosis Virus in Fish Droppings.” Applied and Environmental Microbiology
7285-7291.
Dominius. 2009. “Identifikasi dan Ekspresi Protein Reseptor Organ Ginjal Ikan
Kerapu Tikus (Cromileptes altivelis) Yang Mengenali Infeksi Vibriosis.”
Tesis. Malang: Program Pascasarjana Budidaya Perairan Universitas
Brawijaya.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan
Lingkungan. Yogyakarta: Kanisius.
Eide, K. E.., Morgan, T. M., Heidel, J. R., Kent, M. L., Bidfell, R. J., Patra, S. L.,
Watson, G., Jin, L. 2011. “Investigation of Koi Herpes Virus Latency in Koi.”
Journal of Virology 4954-4962.

65
66

Fan, L., Soccol, C. R. 2005. Shittake Bag Cultivation. Mushroom Growers.


FAO. 2004. Surveillance and Zoning For Aquatic Animal Disease. Rome:
Publishing Management Service Information Division FAO.
Ghufran, H., Kordi, K. M. G. H. 2010. Panduan Lengkap Memelihara Ikan Air tawar
di Kolam Terpal. Yogyakarta: Lily Publisher.
Goodwin, A. 2012. “Herpes Viruses in Fish.” Southern Regional Aquaculture
Centre (SRAC) Publication 4710.
Gray, W. L., Mullis, L., LaPatra, S. E., Groff, J. M., Goodwin, A. 2002. “Detection
of Koi Herpesvirus DNA in Tissues of Infected Fish.” Journal of Fish
Diseases 171-178.
Gusrina. 2014. Genetika dan Reproduksi Ikan. Yogyakarta: Deepublish.
Haap, D., Kohker, R. P. E. 2009. Disease of Carp and Other Cyprinid Fishes.
United Kingdom: Blackwell Science.
Hariyadi, S., Suryadiputra, N. N., Bambang, W. 1992. Limnologi Metode Analisis
Kualitas Air . Bogor: Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor.
Hartman, K. H., Yanong, R. P., Pouder, D. B., Petty, B. D., Francis-Floyd, R.,
Riggs, A. C., Waltzek, T. B. 2004. “Koi Herpes Virus Disease (KHVD).”
IFAS Extension Factsheet. Florida: University of Florida. 149.
Health), OIE (World Organization For Animal. 2009. “Aquatic Animal Heath Code
18th Edition.”
Hedrick, R. P., Gilad, O., Yun, S., Spangenberg, J. V., Marty, G. D., Nordhausen,
R. W., Kebus, M. J., Bercovier, H., Eldar, A. 2000. “A Herpesvirus Associate
With Mass Mortality of Juvenile and Adult Koi, A Strain of A Common Carp.”
Journal Aquatic Animal Health 44-57.
Hoole, D., Bucke, D., Burgess, P., Wellby, I. 2001. Diseases of Carp and Other
Cyprinid Fishes. Oxford, UK: Fishing News Books.
Huet, M. 1971. Textbook of Fish Culture. London: Fishing News Book Ltd.
Image, Google. 2017. 20 May. https://www.google.co.id.
Ismail, K. 2015. Kiat Mengatasi Stres Pada Ikan. Surakarta: Mediatama.
Iwama, G. K., Afonso, L. O. B., Vijayan, M.M. 2004. “Stress in Fish.” AquaNet
Workshop on Fish Walfare.
Iwama, G., Nakanishi, T. 1999. The Fish Immune System. Organism, Pathogen,
and Environment. California: Academic Press.
Jenie, B. S. L., Jenie, B. S. L., Rahayu, W. P. 1993. Penanganan Limbah Industri
Pangan. Yogyakarta: Kanisius.
Kabata, Z. 1985. Paracite and Disease of Fish Culture In Tropic. Philadelphia:
Taylor and Francis.
Kodoatie, R. J., Sjarief, R. 2010. Tata Ruang Air. Yogyakarta: Penerbit Andi.
67

Kordi, K. M. G. 2004. Penanggulangan Hama dan Penyakit Ikan. Jakarta: Rineka


Cipta.
Kuswadi, Mutiara, E. 2004. DELTA Delapan Langkah dan Tujuh Alat Statistik
Untuk Peningkatan Mutu Berbasis Komputer. Jakarta: Elex Media
Komputindo.
Laelawati, E. 2008. “Respon Tanggap Kebal Ikan Mas Cyprinus carpio Terhadap
Vaksin Koi Herpes Virus yang Diberikan Melalui Injeksi Dengan Dosis
Berbeda.” Skripsi. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Lumaela, A. K., Otok, B. W., Sutikno, S. 2013. “Pemodelan Chemical Oxygen
Demand (COD) Sungai di Surabaya Dengan Metode Mixed Geographically
Weighted Regression.” Jurnal Sains dan Seni ITS 100-105.
Maaroufi, G., Wulandari, L., Kismiyati. 2013. “Perubahan Histopatologi Kulit Ikan
Koi (Cyprinus carpio) yang Terinfestasi Ichtyophtirius Multifiliis Secara
Kohabitasi.” Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan 3(1).
Mahida, U. N. 1986. Pencemaran dan Pemanfaatan Limbah Industri. Jakarta:
Rajawali Press.
Mahyuddin, K. 2010. Panduan Lengkap Agribisnis Patin. Penebar Swadaya Grup.
Malokoi. 2011. www.malokoi.com. 3 Agustus. Diakses Juli 13, 2017.
http://www.malokoi.com.
Malole. 1998. Bahan Teori dan Praktikum Apresiasi Teknik Virologi dan PCR
Penyakit Hewan Aquatik. Jakarta: Balai Besar Karantina Ikan Soekarno-
Hatta.
Mantau, Z., Rawung, J. B. M., Sudarty. 2004. “Pembenihan Ikan Mas yang Efektif
dan Efisien.” Jurnal Litbang Pertanian 2(2):126-130.
Marzuki. 1986. Metodologi Riset . Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia
Fakultas Ekonomi.
Maswan, M. 2009. “Deteksi Koi Herpes Virus (KHV) Pada Ikan Mas Koi (Cyprinus
carpio L) Dengan Menggunakan Metode Aplikasi Polymerase Chain
Reaction (PCR).” Jurnal Teknosains 189-200.
Michel, B., Fournier, G., Lieffrig, B., Costes., Vanderplasschen, A. 2010. “Cyprinid
Herpesvirus 3.” Synopsis 1835-1843.
Miwa, K. , Takano, J., Omori, H., Seki, M., Shinizaki, K., Fujiwara, T. 2007. “Plants
Tolerant of High Boron Levels.” Science 318 (5855) :1417.
Mumford, S., Heidel, J., Smith, C., Morrison, J., MacConnell, B., Blazer, V. 2007.
“Fish Histology and Histopathology.” USFWS-NCTC 357.
Murwantoko, M. 2006. “Metode Loop-Mediated Isothermal Amplification (LAMP)
dan Aplikasinya Untuk Deteksi Penyakit Ikan.” Journal of Fisheries Science
1-8.
68

Nadeau, D., Corneau, S., Plante, I., Morrow, G., Tanguay, R. M. 2001. “Evaluation
for Hsp70 as A Biomarker of Effect of Pollutants on the Earthworm
(Lumbricus terrestris) Cell Stress & Chaperones.” 153-163.
Nuryati, S. Puspitaningtyas, D., Wahjuningrum, D. 2007. “Potensi Ekstrak Bawang
Putih Allium Sativum Untuk Menginaktifasi Koi Herpes Virus (KHV) Pada
Ikan Mas (Cyprinus carpio).” Jurnal Akuakultur Indonesia 147-154.
Nuryati, S., Giri, P., Hadiroseyani, Y. 2008. “Efektivitas Ekstrak Bawang Putih
Allium Sativum Terhadap Ketahanan Tubuh Ikan Mas (Cyprinus carpio)
yang Diinfeksi Koi Herpes Virus (KHV).” Jurnal Akuakultur Indonesia 139-
150.
OIE. 2009. “Aquatic Animal Healtch Code 18th Edition.”
Pemerintah, Kabupaten Blitar. 2017. Gambaran Umum Kota Blitar. Diakses Juni
4, 2017. http://blitarkab.go.id.
Perdana, R. G.,. 2008. Studi Epidemiologi Koi Herpes Virus yang Menyerang Ikan
Mas di Pulau Jawa. Jakarta: Universitas Terbuka.
Pietsch, C., Hirsch, P. 2015. Biology and Ecology of Carp. CRC Press.
Pikarsky, E., Ronen, A., Abramowitz, J., Levavi-Sivan, B., Hutoran, M., Shapira,
Y., Steinitz, M., Perelberg, A., Soffer, D., Kotler, M. 2004. “Pathogenesis of
Acute Viral Disease Induced in Fish by Carp Interstitial Nephritis and Gill
Necrosis Virus.” Journal of Virology 9544-9551.
Plumb, J. A. 1994. Health Maintenance of Cultured Fish: Principal Microbial
Diseases. Florida: CRC Press.
Pokorova, D., Vesely, T., Piackova, V., Reschova, S., Hulova, J. 2005. “Current
Knowledge on Koi Herpes Virus (KHV) : A Review.” Vet Med Czech 139-
147.
Prajitno, A. 2008. Penyakit Ikan dan Udang : Virus. UM: Press.
Prasetio. 2010. 23 Peluang Usaha Top Bidang Agribisnis. Yogyakarta: Penerbit
Andi.
Prasetya, B. 2013. 23 Peluang Usaha Top Bidang Agribisnis. Yogyakarta: Penerbit
Andi.
Puspitaningtyas. 2007. Potensi Ekstrak Bawang Putih Allium Sativum Untuk
Menginaktifasi Koi Herpes Virus (KHV) Pada Ikan Mas (Cyprinus carpio).
Bogor: IPB.
Putri, R. R., Yanuhar, U., Suryanto, H. A. M. 2013. “Perubahan Struktur Jaringan
Mata dan Otak Pada Larva Ikan Kerapu Tikus (Cromileptes altivelis) yang
Terinfeksi Viral Nervous Necrosis (VNN) Dengan Pemeriksaan Scanning
Electron Microsope (SEM).” Jurnal Mahasiswa Manajemen Sumberdaya
Perairan 1-10.
Robert, R. J. 2001. Fish Pathology Edisi ke-3. London: WB Saunders.
69

Rully, R. 2011. “Penentuan Waktu Retensi Sistem Akuaponik Untuk Mereduksi


Limbah Budidaya Ikan Nila Merah Cyprinus sp.” Skripsi. Bogor:
Departemen Budidaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Institut Pertanian Bogor.
Saleh, S. 1979. Patologi Umum. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
Salselah, J. T., Tumbol, R. A., Manoppo, H. 2012. “Determinasi Molekuler Koi
Herpes Virus (KHV) yang Diisolasi Dari Ikan Koi (Cyprinus Carpio Koi).”
Jurnal Perikanan dan Kelautan Tropis 57-65.
Sari, S. D., Setyawan, A. 2014. “Profil Histopatologi Kerapu Tikus (Cromileptes
altivelis) yang Distimulasi Jintan Hitam (Nigella sativa) dan Diinfeksi Viral
Nervous Necrosis (VNN).” AQUASAINS 3(1).
Sarjito, T., Badjoeri, M. 2013. “Kualitas Air Pada Uji Pembesaran Larva Ikan Sidat
(Anguilla Spp.) Dengan Sistem Pemeliharaan yang Berbeda.” Limnotek
169-177.
Setyorini, N., Khusnah, A. Widajaningrum. 2008. “Kelangsungan Hidup Ikan Koi
(Cyprinus carpio Koi) yang Terinfeksi Koi Herpes Virus (KHV).” The
Survival of Koi Goldfish (Cyprinus carpio Koi) (Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan) 3 (1).
Silaban, T. F., Santoso, L., Suparmono. 2012. “Dalam Peningkatan Kinerja Filter
Air Untuk Menurunkan Konsentrasi Amonia Pada Pemeliharaan Ikan Mas.”
E-Journal Rekayasa dan Teknologi Budidaya Perairan 47-56.
Sincero, A. P., Sincero, G. A. 2002. Physical-chemical Treatment of Water and
Wastewater. CRC Press.
Smith, H. A., Jones, T. C. 1961. Veterinary Pathology. Philadelphia: Lea & Febiger.
SNI. 1990. Metode Pengukuran Kualitas Air. Jakarta: Dinas Pekerjaan Umum.
Sucipto. 2011. Budidaya Ikan Mas di Kolam Hemat Air. Jakarta Selatan: PT.
Agromedia Pustaka.
Sudiana, I Ketut. 2005. Teknologi Ilmu Jaringan dan Imunohistokimia. Jakarta:
Sagung Seto.
Sudiono, J., Kurniadhi, B., Hendrawan, A., Djimantoro, B. 2003. Ilmu Patologi.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Sugianti, B. 2012. “Genetic Variation and Pathological Changes of Koi Herpesvirus
(KHV) Infection of Cyprinus carpio.” Skripsi. IPB.
Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D. Bandung:
Alfabeta.
Susanto, H. 2001. Panduan Memelihara Koi. Jakarta: Penebar Swadaya.
Suseno. 2000. Metode Ekologi . Padang: Universitas Andalas.
70

Tatangindatu, F., Kalesaran, O., Rompas, R. 2013. “Studi Parameter Fisika Kimia
Air pada Areal Budidaya Ikan di Danau Tondano, Desa Paleloan,
Kabupaten Minahasa.” Budidaya Perairan 8-19.
Toussaint, O., Dumont, P., Dierick, J. F. 2000. “Stress-induce Premature
Senescence, Essence of Life, Evolution Stress and Aging.” Ann NY Acad
Sci 85-98.
Waltzek, T.B., Kelley, G. O., Stone, D. M., Way, K., Hanson, L., Fukuda, H., Hirono,
I., Aoki, T., Davison, A. J., Hedrick, R. P. . 2005. “Koi Herpesvirus
Represents A Third Cyprinid herpesvirus (CyHV-3) in The Family
Herpesviridae.” J Gen Virol 14(1).
Wijaya, H. K. 2007. “Komunitas Perifiton dan Fitoplankton serta Parameter Fisika-
Kimia Perairan Sebagai Penentu Kualitas Air di Bagian Hulu Sungai
Cisadane, Jawa Barat.” Skripsi. Bogor: IPB.
Wu, C. X., Zhao, F. Y., Zhang, Y., Zhu, Y. J., Ma, M. S., Mao, H. L., Hu, C. Y. 2012.
“Overexpression of Hsp90 from Grass Carp (Ctenopharyngodonidella)
Increases Thermal Protection Against Heat Stress.” Fish & Shellfish
Immunology 42-47.
Yang, W. K., Hseu, J. R., Tang, C. H., Chung, M. J., Wu, S. M., Lee, T. H. 2009.
“Na+/K+-ATPase Expression in Gills of the Euryhalinesailfin Molly
(Poeciliatapinna) is Altered in Response to Salinity Challenge.” Journal of
Experimental Marine Biology and Ecology 41-50.
Yusuf, Z. K. 2010. “Polymerase Chain Reaction (PCR).” Saintek 5(6).

Anda mungkin juga menyukai