PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2011
DISERTASI
PROGRAM DOKTOR
PROGRAM STUDI ILMU KEDOKTERAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2011
PROGRAM DOKTOR
PROGRAM STUDI ILMU KEDOKTERAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2011
ii
Promotor,
Kopromotor I,
Kopromotor II,
Prof.Dr.dr.Ketut Suastika,Sp.PD-KEMD
Mengetahui
Ketua Program Studi Ilmu Kedokteran
Direktur
Program Pascasarjana
Program Pascasarjana
Universitas Udayana,
Universitas Udayana,
Anggota :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
iv
Sudewa Djelantik, Sp.PK(K), Prof.drh. I Nyoman Mantik Astawa, Ph.D, atas masukan,
saran, sanggahan, dan koreksi yang telah diberikan.
(7) Kepada Dr.dr. Iswari Setianingsih, Sp.A dan dr Nanis Sacharin,Sp.A yang telah
membimbing kami selama belajar genetika di Lembaga Biomolekuler Eijkman Jakarta.
(8) Seluruh dosen pengajar Program Doktor, Program Studi Ilmu Kedokteran, Program
Pascasarjana, Universitas Udayana, staff tata usaha dan seluruh teman teman mahasiswa S3
Kedokteran khususnya angkatan 2007/2008.
(9) Kepada teman-teman dokter spesialis anak di RSUD Wangaya, RSUP Sanglah dan IDAI
Cabang Bali yang telah memberikan dorongan dan dukungan kepada penulis. Kepada
perawat zal Kaswari RSUD Wangaya, petugas Laboratorium Prodia Denpasar,
Laboratorium Biomolekuler FK UNUD, YAYASAN GENNEKA Eijkman Institute for
Molekuler Biology di Jakarta, Laboratorium Kedokteran Hewan F.KH UNUD yang telah
membantu penelitian ini. Terima kasih kepada pasien yang dipakai sebagai kasus dan
kontrol dengan suka rela pada penelitian ini.
(10) kepada seluruh guru-guru yang telah membimbing penulis, mulai dari sekolah dasar sampai
perguruan tinggi dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
(11) Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada ayah dan ibu yang telah mengasuh dan
membesarkan penulis, memberikan dasar dasar berpikir logik dan suasana demokratis
sehingga tercipta suasana yang baik untuk berkembangnya kreativitas. Akhirnya penulis
sampaikan terima kasih kepada istri tercinta Ni Made Muliasih, SE, serta anak-anak: Putu
Siska Suryaningsih dan Kadek Adi Suryamulyawan tersayang, yang dengan penuh
pengorbanan telah memberikan kepada penulis kesempatan untuk lebih berkonsentrasi
menyelesaikan disertasi ini.
Semoga Ida sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa selalu melimpahkan rahmat-Nya
kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan penyelesaian disertasi ini, serta kepada
penulis sekeluarga.
Denpasar,
Juni 2011
POLIMORFISME GEN insl3 DAN lgr8, KADAR HORMON INSL3 DAN ESTRADIOL
SEBAGAI FAKTOR RISIKO KRIPTORKISMUS PADA ANAK
Oleh: I Wayan Bikin Suryawan
Di bawah bimbingan: Soetjiningsih, Ketut Suastika, Joserizal Latief Batubara
Abstrak
Kriptorkismus disebabkan multifaktorial dan peran polimorfisme gen insl3 dan lgr8,
hormon INSL3 dan estradiol masih belum jelas. Penelitian ini bertujuan mengetahui frekuensi
polimorfisme (exon 1, exon 2) gen insl3, frekuensi polimorfisme (exon 8, exon 12, exon 13) gen
lgr8 pada anak kriptorkismus dan membuktikan polimorfisme (exin 1, exon 2) gen insl3,
polimorfisme (exon 8, exon 12, exon 13) gen lgr8, kadar hormon INSL3 dan estradiol sebagai
faktor risiko kriptorkismus.
Penelitian ini merupakan penelitian observasional case control study, di poliklinik anak
dua Rumah Sakit Umum dan satu Rumah Bersalin mulai September 2010 sampai Maret 2011,
menggunakan 31 anak kriptorkismus sebagai kasus dan 31 anak sehat sebagai kontrol yang di
matching usia kehamilan dan usia anak. Polimorfisme gen diperiksa dengan sequenzing hasil
PCR, hormon diperiksa dengan ELISA. Frekuensi dianalisis dengan prosentase, polimorfisme
dianalisis dengan odds ratio berpasangan, kadar hormon dianalisis dengan paired student t test
dengan program komputer, hipotesis dengan tingkat kepercayaan ( ) diterima bila p<0,05.
Penelitian ini menghasilkan frekuensi polimorfisme exon1(A9A=19,36%;T60T= 51,61%,
T60A= 25,81%), exon 2 (E146E= 9,68%) gen insl3. Frekuensi polimorfisme exon 8 (kdn
stp223M= 3,23%), exon 12 ( E319E= 100%; L331L= 48,39%), exon 13 ( S337A= 54,84%;
P340P= 41,94%; H345P= 61,29%; K346K= 90,32%; Q354K= 16,13%; Q356P= 29,03%;
S357S= 48,39%) gen lgr8. Polimorfisme T60T exon 1 gen insl3, polimorfisme E319E, L331L
exon 12 gen lgr8 dan polimorfisme S337A, H345P, Q356P, S357S exon 13 gen lgr8, kadar
hormon INSL3 rendah (< 0,42 ng/ml) dan kadar hormon estradiol tinggi (>10,22 ng/ml)
ditemukan lebih banyak bermakna pada anak dengan kriptorkismus dibandingkan dengan
kelompok control.
Simpulan penelitian ini polimorfisme T60T, S357S dan E319E, L331L merupakan
marker baru dan marker dan polimorfisme S337A, H345P dan Q356P, kadar hormon INSL3
rendah dan kadar hormon estradiol tinggi merupakan faktor risiko kriptorkismus. Penelitian ini
diharapkan dapat dipakai menentukan pilihan terapi, prognosis dan dasar penelitian lebih lanjut.
Kata kunci : Polimorfisme gen insl3, polimorfisme gen lgr8, hormon INSL3, hormon estradiol,
kriptorkismus, anak
vii
Cryptorchidism has a multifactorial etiology and the role of insl3 and lgr8 gene
polymorphism, INSL3 and estradiol hormonal remains unclear. This study aims to know the
frequency of polymorphism (exon 1, exon 2) of insl3 gene, the frequency of polymorphism
(exon 8, exon 12, exon 13) of lgr8 gene in children with cryptorchidism, and to examine whether
polymorphism (exon 1, exon2) of insl3 gene and polymorphism (exon 8, exon 12, exon 13) of
lgr8 gene, INSL3 and estradiol hormonal could be implied as risk factors for cryptorchidism.
This is an observational case control study, conducted at the childrens ambulatory services
of two general hospitals and one maternity clinic from September 2010 until March 2011, with
31 children with cryptorchidism and 31 healthy children as controls who were matched by
gestational age and age of the children. Polymorphism of genes insl3 and lgr8 was examined by
DNA sequencing using PCR, hormonal was examined by ELISA. Frequency was analyzed by
percentages; polymorphism was analyzed by paired odd ratios, hormonal was analyzed by paired
student t rest and computerized programmes, hypothesis with () and p<0,05.
We found the following frequencies: polymorphisms of exon 1 (A9A= 19.36%; T60T=
51.61%, T60A= 25.81%), and of exon 2 (E146E= 9.68%) of insl3 gene. The frequency of
polymorphism of exon 8 (stop codon 223M= 3.23%), exon 12 (E319E= 100%; L331L=
48.39%), exon 13 (S337A= 54.84%; P340P= 41.94%; H345P= 61.29%; K346K= 90.32%;
Q354K= 16.13%; Q356P= 29.03%; S357S= 48.39%) of lgr8 gene. Both polymorphisms T60T of
exon 1 insl3 gene, and polymorphisms E319E, L331L of exon 12 lgr8 gene and polymorphisms
S337A, H345P, Q356P, and S357S of exon 13 lgr8 gene, INSL3 hormonal level low (<0,42
ng/ml) and estradiol hormonal level high (>10,22 ng/ml) were found significantly more often in
children with cryptorchidism compared with those of the control group.
In conclusion, polymorphisms T60T, S357S and E319E, L331L are respectively a new
marker and a marker; and polymorphism S337A, Q356P and H345P, INSL3 hormonal level low
and estradiol hormonal level high are risk factors for cryptorchidism. Hope this study can be use
choise of therapy, prognosis and base are for the next study
Keywords : insl3 gene polymorphism, lgr8 gene polymorphism, INSL3 hormonal, estradiol
hormonal, cryptorchidism, children
viii
ii
iii
iv
vii
7.Halaman Abstract .
viii
ix
xiii
xiv
xvi
xviii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang ..
1.2.Rumusan masalah ..
1.3.Tujuan penelitian
1.4.Manfaat penelitian .
2.2. Gonad ..
10
2.2.3. Mikropenis
11
ix
12
16
16
17
19
22
24
26
31
32
33
33
35
36
38
39
39
40
2.6.2. Mikrosatelit ..
43
2.6.3. Minisatelit .
44
2.6.4. Dilesi, duplikasi dan insersi pada lokus yang tidak diulang (Indel) .
45
47
2.7. Kriptorkismus ..
48
48
49
50
51
54
57
60
63
BAB IV.
64
64
65
66
METODE PENELITIAN
67
67
68
68
70
73
73
74
84
85
86
86
88
88
91
xi
94
94
95
98
104
105
110
112
115
117
6.5. Hubungan Polimorfisme Gen insl3, Kadar Hormon Estradiol Plasma yang Tinggi,
Kadar Hormon INSL3 Plasma yang Rendah dan Adanya
Polimorfisme Gen
lgr8 dengan Kejadian Kriptorkismus
.. 120
6.6.Kebaharuan Penelitian ( Novelty)
125
6.7.Keterbatasan Penelitian .
126
127
7.1.Simpulan .
127
7.2.Saran ..
128
DAFTAR PUSTAKA
129
xii
15
Tabel 2.2 Perbandingan Undescended testis, testis ektopik dan testis retraktil
54
Tabel 5.1 Karakteristik Subyek Penelitian Kelompok Kasus dan Kelompok Kontrol ...
86
86
Tabel 5.3 Frekuensi Polimorfisme Gen Insl3, Gen lgr8 pada Kelompok Kasus
dan Kontrol ..
87
Tabel 5.4 Hubungan antara Frekuensi Polimorfisme Exon 1 Gen Insl3 dan Kejadian
Kriptorkismus pada Anak Laki laki .
90
Tabel 5.5 Hubungan antara Frekuensi Polimorfisme Exon 2 Gen Insl3 dan Kejadian
Kriptorkismus pada Anak Laki-laki .
93
Tabel 5.6 Hubungan antara Frekuensi Polimorfisme Exon 12 Gen lgr8 dan Kejadian
Kriptorkismus pada Anak Laki-laki..
97
Tabel 5.7 Hubungan antara Frekuensi Polimorfisme Exon 13 Gen lgr8 dan Kejadian
Kriptorkismus pada Anak pada Laki-laki
102
Tabel 5.8.1 Beda Kadar Hormon INSL3 Plasma antara Kasus dan Kontrol pada Anak
Laki-laki .
104
Tabel 5.8.2 Beda Frekuensi Kadar Hormon INSL3 Plasma yang Rendah antara Kasus
dan Kontrol pada Anak Laki-laki .
104
Tabel 5.9.1 Beda Kadar Hormon Estradiol Plasma antara Kasus dan Kontrol pada
Anak Laki-laki
105
Tabel 5.9.2 Beda Frekuensi Kadar Hormon Estradiol Plasma yang Tinggi antara
Kasus dan Kontrol pada Anak Laki-laki
106
xiii
15
Gambar 2.2
19
Gambar 2.3
20
Gambar 2.4
22
23
25
26
29
30
33
34
35
37
38
43
44
45
46
60
Gambar 3.1
Kerangka Berpikir.
64
Gambar 3.2
Konsep Penelitian ..
65
Gambar 4.1 Bagan Rancangan penelitian observasional dengan case control study ...
67
76
xiv
Gambar 4.3
79
Gambar 5.1
88
Gambar 5.2 Sequenzing exon 1 gen insl3 normal dan polimorfisme T60T(ACCNCC)
89
Gambar 5.3
91
Gambar 5.4
92
Gambar 5.5 Sequenzing exon 2 gen insl3 normal dan polimorfisme E146E
(GAGNAG) .
92
Gambar 5.6 Hasil PCR exon 8 gen lgr8 (panjang 229 pasang basa) ...
94
Gambar 5.7 Sequenzing exon 8 gen lgr8 normal dan polimorfisme kdstp223M
(AGAANA)
95
Gambar 5.8 Hasil PCR exon 12-13 gen lgr8 ( panjang 439 pasang basa) ..
96
Gambar 5,9 Sequenzing exon 12 gen lgr8 normal dan polimorfisme E319E( GAAGAG)
L331L (CTACTG) ..
96
98
Gambar 5.11 Sequenzing exon 13 gen lgr8 normal dan polimorfisme S337A (TCAGCA),
H345P (CACCCC) . 101
Gambar 5.12 Sequenzing exon 13 gen lgr8 normal dan polimorfisme Q356P (CAGCCG),
S357S (TCTTCC) ..
101
Gambar 5.13 Frekuensi Polimorfisme S337A, H345P, Q356P, S357S Exon 13 Gen lgr8
103
105
106
xv
AMH
BMI
CGRP
CSL
DHT
Dehydrotestosterone
DNA
dNTP
Deoxyribonucleosida triphosphate
EIA
ELISA
FSH
GABA
GFN
Genitofemoral nerve
GnRH
hCG
HHG
HRD
INSL3
insl3
JAK3
Jenis Kinase3
LGR8
lgr8
LH
Luteinizing Hormone
LHRH
MIS
mRNA
PCR
RLF
Relaxin-like factor
RLFP
Sf1
Steriogenic factor 1
SNPs
SSR
TMB
tRNA
UDT
Undescended testicle
wt1
Willem tumor 1
xvii
xviii
BAB I
1.1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Lokasi testis dalam skrotum sangat diperlukan untuk proses spermatogenesis dan
fungsi epididimis, karena suhunya yang lebih rendah 1,5-2,0 derajat C dibandingkan
dengan suhu tubuh. Dengan adanya testis dalam skrotum pemantauan ke arah keganasan
testis dapat dilakukan dan adanya hernia inguinalis dapat dicegah di samping untuk
pemantauan kesehatan yang lainnya. Pada saat bayi dilahirkan dalam keadaan normal
kedua testis sudah berada di skrotum, bila kedua testis pada saat bayi lahir belum ada di
skrotum akan menjadi problem untuk kesehatan selanjutnya. Turunnya testis dari rongga
abdomen ke skrotum terjadi selama kehamilan, dan penurunan itu dipengaruhi oleh faktor
hormonal dan faktor mekanik (Wales dkk, 2003).
Pada tikus pertumbuhan gubernakulum dipengaruhi secara langsung oleh Leydig
insulin like hormone (INSL3), regresi cranial suspensory ligament (CSL) dan penebalan
gubernakulum menghasilkan migrasi transabdominal, yang mana membawa testis pada
cincin inguinalis interna pada usia 3 bulan kehamilan. Fase penurunan testis
transabdominal ini lebih banyak terjadi pada saat embrio (Kaefer, 2004). Pada fase
migrasi transinguinal penurunan testis dimulai bulan ke 7 kehamilan dan sudah komplit
pada akhir trimester 3 kehamilan. Antara bulan ke 7 dan ke 9 kehamilan testis cepat
masuk ke kanalis inguinalis, kemudian secara perlahan-lahan ke skrotum. Selama waktu
ini terjadi regresi gubernakulum yang dipengaruhi hormon testosteron dan diikuti
persistennya ligamen gubernakulum. Secara normal prosesus vaginalis menutup komplit
sebelum bayi lahir, tetapi apabila testis tidak turun maka prosesus vaginalis biasanya
masih menetap. Pada prematuritas sering diikuti penurunan testis secara inkomplit dan
penutupan prosesus vaginalis bersifat sementara. Penurunan testis pascanatal pada
kriptorkismus terjadi sampai usia 1 tahun, namun penurunan terbanyak terjadi selama
usia 3 bulan pertama (Wales dkk., 2003; Kaefer, 2004; McGlynn dkk., 2005).
Kriptorkismus
merupakan
kelainan
saluran
genitourinaria
berupa
tidak
sempurnanya penurunan testis ke dalam skrotum, testis yang tidak turun ke skrotum dapat
berada pada saluran yang normal di antara ginjal dan bagian dalam skrotum (Kaefer,
2004); atau testis terletak pada salah satu tempat sepanjang jalur desensus yang normal,
tetapi tidak mencapai tempat kedudukannya yang normal di dalam skrotum (Styne,
2002).
Pada bayi prematur insiden kriptorkismus ditemukan 30% dari bayi laki-laki yang
prematur, insiden ini menurun menjadi 3 - 5% pada bayi yang lahir cukup bulan,
kemudian pada usia 3 bulan insidennya menjadi 1-3% dan pada usia 1 tahun insiden
tinggal 0,8% (Kaefer, 2004; Acerini dkk., 2009).
kriptorkismus bisa meningkat lagi karena adanya acending testis yang jumlahnya hampir
seimbang dengan jumlah kriptorkismus testis kongenital (Acerini dkk., 2009;
Sijstermans dkk., 2008; Toppari, 2009; Wohlfart-Veje dkk., 2009). Penelitian Virtanen
dan Toppari tahun 2008 didapatkan insiden kriptorkismus 2-9% dari bayi laki-laki yang
lahir cukup bulan dan insidennya juga ditemukan meningkat pada bayi prematur.
Penelitian di Inggris pada bayi laki-laki yang lahir cukup bulan ditemukan insiden
kriptorkismus meningkat dua kali dari tahun 1905 ke tahun 1980. Secara regional ada
perbedaan yang bermakna antara satu Negara dengan Negara lainnya di mana insiden
kriptorkismus paling rendah di Finlandia dan tertinggi di Denmark dan perbedaan ini
sebagian besar disebabkan oleh faktor lingkungan ( Toppari dkk., 2001). Kaefer tahun
2004 mengatakan kriptorkismus unilateral insidennya dua kali kriptorkismus bilateral,
kriptorkismus dektra insidennya dua kali yang sinistra.
Komplikasi kriptorkismus berupa infertilitas, keganasan, hernia inguinalis, torsi
testis dan masalah psikologis. Insiden azoospermia lebih tinggi pada kelompok
kriptorkismus bilateral daripada unilateral dan keadaan semen lebih baik pada yang
unilateral (Moldenhauer dkk., 2003; Moretti dkk., 2007).
Leydig insulin like hormone atau INSL3 merupakan faktor auto-parakrin yang
menyebabkan formasi gubernakulum menjadi normal, dan formasi
gubernakulum
menentukan turunnya testis. Pada tikus percobaan dilesi gen insl3 menyebabkan
kriptorkismus. Pada manusia polimorfisme
hubungannya dengan kriptorkismus masih belum jelas ( Toppari dkk., 2001). Kekacauan
genetik gen insl3 atau reseptornya gen lgr8 yang ada pada gubernakulum pada tikus
percobaan menyebabkan tingginya kriptorkismus intraabdominal. Analisis mutasi gen
insl3 dan gen lgr8 pada pasien kriptorkismus hanya ditemukan beberapa mutan dan
khusus pada allel dengan single nucleotide polymorphysm (SNPs). Jadi dasar genetik dari
kriptorkismus pada manusia masih tidak jelas
faktor risiko kriptorkismus adalah bayi lahir prematur dan bayi lahir berat badan rendah.
(Virtanen & Toppari., 2008).
Canto dkk (2003) melakukan 2 penelitian yaitu pertama dengan melakukan
transgenik tikus dengan target dilesi gen insl3 menyebabkan terjadinya kriptorkismus
bilateral. Penelitian kedua dari 150 pasien dengan kriptorkismus idiopatik diobservasi gen
insl3 dan ditemukan mutasi misen pada exon 2, di mana terjadi substitusi nukleotida
2560, dan perubahan asparagin menjadi lisin pada codon 86, mutasi ini terletak pada
rantai A protein INSL3. Pada penelitian ini ditemukan juga tiga polimorfisme pada exon
1 dari gen insl3.
Penelitian Krausz dkk (2000) di Paris dengan melakukan sequenzing gen insl3
pada 31 anak laki-laki yang menderita kriptorkismus idiopatik unilateral dan bilateral,
hanya ditemukan variasi perubahan asam amino pada molekul C peptide. Namun
perubahan ini ditemukan juga pada anak yang dipakai kontrol. Penelitian Bogatcheva dkk
(2003) mendapatkan mutasi exon 1 dan exon 2 gen insl3 yaitu pada P49S, P93L, R102C,
N110K, R102H dan R73X. Penelitian Lim dkk (2001) dan Garlov dkk (2002) di
Denmark menemukan tidak adanya kesuaian polimorfisme gen insl3 pada A 36T dengan
isolated kriptorkismus.
Ferlin dkk (2003) menemukan satu mutasi missen T222P pada exon 8 gen lgr8,
pada 4 kasus anak dengan kriptorkismus namun pada kontrol tidak ditemukan mutasi.
Keempat kasus yang mengalami mutasi menunjukkan fenotip yang berbeda-beda. Pada
gen lgr8 ditemukan juga polimorfisme baik pada exon maupun pada intron, namun
polimorfisme ini juga ditemukan pada kelompok kontrol. Adapun polimorfisme gen lgr8
ditemukan pada intron 2, exon 3 (261G>A) namun asam aminonya tetap (A87A), intron
4, exon 12 ( 957 G>A) dengan asam amino ( E319E), exon 12 ( 993A>G) dengan asam
amino (L331L), intron 12, exon 12 berdekatan dengan exon13, exon 17 (1810 A>G)
dengan asam amino (I160V) dan exon 18.
Pada tikus, pemberian hormon estrogen dapat menghambat proses penurunan
testis transabdominal. Pada ibu hamil yang mendapat pengobatan estrogen sintetik
(diethylstilbestrol) menunjukkan peningkatan insiden kriptorkismus pada anak lakilakinya (Kaefer, 2004). Penurunan testis secara signifikan dihambat oleh hormon
estradiol atau diethylstilbesterol (estrogen non steroid). Pengaruh estrogen diperkirakan
sebagai mediasi penekanan perkembangan sel leydig pasien yang menghasilkan
penurunan produksi testosteron dan INSL3. Sebagai alternatif estrogen dapat secara
langsung mempengaruhi perkembangan CSL dan gubernaculum (The Endocine society,
2005). Penelitian di Denmark menunjukkan ekspresi INSL3 secara substansi menurun
oleh obat diethylstilbesterol ( Ferline dkk., 2003 ). Alat reproduksi laki-laki mengalami
gangguan oleh xenobiotik dan khususnya xenoestrogen dimana fetus dan testis neonatus
sangat sensitif terhadap estrogen karena terjadi inaktisipasi estrogen reseptor
alfa,
meningkatkan steriodogenesis dan inaktivasi estrogen reseptor beta (Delbes dkk., 2006 ).
Penelitian pada tikus yang diobati dengan diethylstilbesterol kasus kriptorkismus
ditemukan meningkat, ini terjadi karena adanya peningkatan inkomplit dari INSL3/RLF
mRNA pada testis fetus. Hormon estrogen dapat menurunkan regulasi produksi INSL3
dan penurunan kinerja INSL3 (Main dkk., 2006 ). McGlynn dkk (2005) mendapatkan
peningkatan estrogen ibu hamil tidak berhubungan dengan meningkatnya risiko
kriptorkismus dan kemungkinan berhubungan dengan menurunnya risiko kriptorkismus.
Dari uraian di atas dapat dikatakan kriptorkismus kasusnya cukup tinggi dan
sebagian masih dapat turun spontan terutama pada usia 3 bulan pertama kelahiran, di
samping itu insiden kriptorkismus meningkat dari tahun ke tahun dan ada perbedaan
insiden antara satu Negara dengan negara lainnya. Kriptorkismus merupakan kelainan
kongenital yang menjadi faktor risiko dan penyebab mayor terjadinya infertilitas dan
keganasan testis di samping faktor risiko lainnya pada usia dewasa (The Endocrine
society, 2005). Kriptorkismus disebabkan oleh multifaktorial dan penyebab pasti masih
belum jelas. Sampai saat ini belum ada data frekuensi polimorfisme gen insl3 dan gen
lgr8, penelitian yang menghubungkan antara polimorfisme pada (exon 1, exon 2) gen
insl3, polimorfisme pada (exon 8, exon 12, exon 13) gen lgr8 dengan kriptorkismus pada
manusia belum ada. Begitu juga dengan penelitian yang menghubungkan kadar hormon
estradiol plasma, kadar hormon INSL3 plasma dengan kriptorkismus pada manusia
belum ada.
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut :
1. Berapa frekuensi polimorfisme (exon 1, exon 2) gen insl3, ( exon 8, exon 12, exon 13 )
gen lgr8 pada anak laki-laki yang kriptorkismus ?
2. Apakah polimorfisme ( exon 1, exon 2) gen insl3 merupakan faktor risiko kejadian
kriptorkismus pada anak laki-laki ?
3. Apakah polimorfisme (exon 8, exon 12, exon 13) gen lgr8 merupakan faktor risiko
kejadian kriptorkismus pada anak laki-laki ?
4. Apakah kadar hormon INSL3 plasma yang rendah merupakan faktor risiko kejadian
kriptorkismus pada anak laki-laki ?
5. Apakah kadar hormon estradiol plasma yang tinggi merupakan faktor risiko kejadian
kriptorkismus pada anak laki-laki ?
1.3
Tujuan Penelitian
1.3.1
Tujuan umum
Mengetahui frekuensi polimorfisme dan faktor faktor risiko kejadian kriptorkismus
pada anak laki-laki.
1.3.2
1.
Tujuan khusus
Mengetahui frekuensi polimorfisme (exon 1, exon 2) gen insl3, polimorfisme (exon 8,
exon 12, exon 13 ) gen lgr8 pada anak laki-laki yang kriptorkismus.
2. Membuktikan polimorfisme (exon 1, exon 2) gen insl3 sebagai faktor risiko kejadian
kriptorkismus pada anak laki-laki.
3. Membuktikan polimorfisme ( exon 8, exon 12, exon 13) gen lgr8 sebagai faktor risiko
kejadian kriptorkismus pada anak laki-laki.
4. Membuktikan kadar hormon INSL3 plasma yang rendah sebagai faktor risiko kejadian
kriptorkismus pada anak laki-laki.
5.
Membuktikan kadar hormon estradiol plasma yang tinggi sebagai faktor risiko kejadian
kriptorkismus pada anak laki-laki.
1.4
Manfaat Penelitian
Manfaat praktis
Bila terbukti Polimorfisme (exon 1, exon 2) gen insl3, (exon 8, exon 12, exon 13)
gen lgr8 sebagai faktor risiko kriptorkismus pada anak laki-laki, ini bisa menjadi marker
dalam target terapi hormon hCG dan untuk meramalkan prognosis.
Bila terbukti hormon estradiol plasma yang tinggi sebagai faktor risiko
kriptorkismus pada anak laki-laki, bisa disarankan untuk menghindarkan diri dari paparan
hormon estradiol pada saat ibu hamil.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
10
yang dimulai pada usia 9 minggu kehamilan. Produksi testosteron meningkat dengan cepat
dan kadar tertingginya pada usia 15 sampai 18 minggu kehamilan dan kemudian setelah itu
kadar testosteron menurun sampai kelahiran, produksi testosteron dipengaruhi oleh enzim
3-hydroxysteroid dehydrogenase. Walaupun human chorionic gonadotropin (hCG) tidak
dibutuhkan untuk memulai fungsi sel Leydig, namun hCG mempertahankan rangsangan
steroidogenesis pada hamil muda. Ketika kadar hCG menurun pada trimester tiga
kehamilan, aksis hipotalamus-hipofise mempertahankan kontrol produksi testosteron.
Tidak ada atau tidak sempurnanya aksis hipotamaus-hipofise menyebabkan kegagalan
perkembangan genitalia pada fetus. Testis fetus harus mampu mempertahankan produksi
testosteron yang tinggi selama beberapa minggu sampai lengkapnya defrensiasi traktus
genitalia. Pada saat lahir kadar testosteron plasma lebih tinggi pada bayi laki-laki
dibanding bayi perempuan. Sesaat setelah lahir, plasma testosteron meningkat lagi kedua
kalinya akibat rangsangan aksis hipotalamus-hipofise-gonad. Kadar yang tinggi ini
bertahan selama 3 bulan, setelah 3 bulan kadarnya menurun lagi sampai mulainya pubertas.
2.2.2 Hipospadia dan kordae
Hipospadia merupakan tidak sempurnanya penutupan uretra pada ventral penis
yang disebabkan berhentinya perkembangan spongiosum uretra dan bagian ventral penis.
Pada anak yang mengalami hipospadia orifisium uretra eksterna tidak terletak pada ujung
penis melainkan terletak pada pangkal bagian vental penis. Hipospadia biasanya juga
diikuti oleh kordae yang merupakan lipatan kulit yang terbentang antara ventral penis dan
skrotum sehingga penis kelihatan melekat pada krotum. Prevalensi hipospadia pada bayi
laki-laki yang baru lahir adalah 3-4 kasus per seribu bayi laki-laki yang lahir hidup,
sedangkan prevalensi kordae pada penis prevalensinya lebih banyak. Penyebab pasti dari
11
kasus hipospadia sendiri masih belum jelas, dikatakan gen yang berhubungan dengan
hipospadia terletak pada kromosom 7q32.2q36.1. Mutasi gen
dikatakan menyebabkan hipospadia. Gen Wt1 dan gen steriogenic factor 1 (Sf1) berfungsi
membentuk urogenital ridge, sedangkan bipotensial gonad yaitu pemisahan 46xx dan 46xy
dipengaruhi oleh gen Wt1, gen Sf1, gen SRY dan gen Sox 9. Gen Sf1 mengatur sel leydig
dalam memproduksi hormon testosteron, dan hormon testosteron berfungsi dalam
menstabilisasi struktur duktus wolffian, dikatakan pembentukan struktur duktus wolffian
terjadi pada trimester pertama kehamilan, adanya hipospadia dan kordae menandakan tidak
sempurnanya pembentukan struktur duktus wolffian pada trimester pertama kehamilan,
yang berarti adanya gangguan produksi hormon testosteron pada trimester pertama
kehamilan yang kemungkinan disebabkan oleh mutasi salah satu gen di atas (Hughes,
2009).
2.2.3 Mikropenis
Mikropenis merupakan kelainan dalam ukuran panjang penis ( dari pangkal penis
ke ujung gland penis) dengan ditarik lebih besar dari 2,5 standar deviasi (SD) dibawah
panjang penis rata-rata sesuai usia anak, untuk usia neonatus sampai usia 5 bulan dikatakan
mikropenis bila panjang penis dibawah 1,9 cm dan juga dikatakan mikropenis bila panjang
penis 2,5 cm atau lebih rendah saat penis ditarik (Hughes, 2009). Mikropenis sering
berhubungan dengan sindrom sindrom kelainan kongenital. Pertumbuhan penis sangat
dipengaruhi oleh kelainan pada biosintesis hormon testosteron dan aktivitas hormon
testeosteron. Hormon testosteron dalam merangsang pertumbuhan gitalia eksterna terutama
panjang penis dirubah menjadi hormon dehydrotestosterone (DHT) dan gangguan dalam
perubahan ini disebabkan kekurangan enzim 5 alfa reduktase, di samping itu hormon
12
testosteron dalam menjalankan aktivitasnya dipengaruhi oleh reseptor testosteron yang ada
di penis, kelainan atau mutasi gen reseptor androgen menyebabkan complit androgen
insensitivity syndrome (CAIS) dan partial androgen insensitivity syndrome (PAIS). Jadi
gangguan pada produksi maupun aktivitas testosteron baik pada bayi dalam kandungan
setelah trimester pertama maupun pada masa bayi dan anak akan menyebabkan ukuran
penis kecil atau mikropenis (Hughes, 2009).
2.2.4 Hormon testosteron
Fungsi hormon testis sangat penting selama kehidupan fetus dalam kandungan.
Adanya determinasi kromosom Y pada gonad memberikan efek terjadinya penentuan
gender. Selama masa anak-anak sampai usia 6 bulan sebelum mulainya pubertas produksi
hormon testosteron minimal. Pada saat pubertas terjadi peningkatan produksi hormon
testosteron karena rangsangan dari hormon gonadotropin yang merangsang aktivitas sel
Leydig, pada saat pubertas terjadi sekresi inhibin dari tubulus seminiferus. Beberapa
kelainan
biosistessis
kelainan
reseptor
androgen
atau
sindroma
Kalman
13
disetimulasi oleh hormon yang dihasilkan plasenta berupa hCG (Gallagher & Oberfield.,
2004). Di perifer terjadi konversi dari hormon testosteron oleh enzim mikrosomal 5reduktase menghasilkan circulating dehydrotestosteron, hal ini sangat dibutuhkan juga
untuk perkembangan prostat, palus (penis) dan skrotum (Honour & Savage., 2003, Nuver
dkk., 2005). Volume testis yang besar dengan kadar inhibin B yang tinggi menunjukkan
volume tubulus seminiferus membesar (Main dkk., 2006-a). Penelitian yang dilakukan di
Denmark dan Finlandia, di Denmark kasus kriptorkismus dan hipospadianya tinggi diikuti
oleh tingginya ca testis, kecilnya volume testis, kadar semen rendah dan kadar inhibin B
postnatal juga rendah berlawanan dengan di Finlandia (Main dkk., 2006-b)
Secara klinis pemeriksaan perabaan gonad adalah sangat penting, diikuti dengan
pemeriksaan laboratorium dari fungsi testis. USG mungkin dapat membantu lokasi testis
atau tidak terabanya testis. Kelainan testis unilateral kebanyakan disebabkan kelainan
kongenital. Ukuran penis dapat bervarisi mulai dari normal klitoris sampai penis normal
(Honour & Savage., 2003).
Pada saat lahir konsentrasi plasma testosteron dapat meningkat sampai 15 nmol/L
apabila diukur saat ekstraksi. Konsentrasi plasma testosteron menurun setelah minggu
pertama kehidupan dan hormon hCG juga hilang dari sirkulasi. Mulai usia 2 minggu
sampai 2 bulan setelah lahir konsentrasi plasma testosteron dan dihydrotestosteron
meningkat sampai batas di bawah nilai normal dari konsentrasi laki-laki dewasa dan
menurun setelah usia 3-4 bulan. LH menstimulasi sekresi testosteron selama periode ini.
Pada bayi yang prematur, konsentrasi plasma testosteron sesuai dengan keadaan bayi.
Kecepatan dari konsentrasi testosteron pada periode postnatal segera akan meningkat
setelah lahir . Selama masa anak-anak kadar testosteron adalah < 1 nmol, dan kadar
14
dehydotestosteron < 0,5 nmol/L dan meningkat secara progresif pada awal pubertas
terutama pada malam hari (Honour & Savage., 2003). Pengukuran testosteron pada hari
pertama
pada
male
pseudohermaprodite,
kadar
testosteronnya
rendah
akan
15
Cholesterol
1
Pregnenolone
2
17-Hydroxypregnenolone
3
Progesteron
DHA
4
17-Hydroxyprogesteron
Androstenedione
1=20-Hydroxylase;22-Hydroxylase;20,22-desmolase
Oestrone
2=3-Hydroxysteroid dehydrogenase
Testosteron
3=17-Hydroxylase
5
Oestradiol
4=17,20-Lase
Dihydrotestosterone
Gambar 2.1 Kelainan enzim pada biosintesis testosteron, dipetik dari Honour & Savage, 2003
Tabel 2.1
Kadar hormon pada anak-anak dan pubertas, dipetik dari Honour & Savage., 2003
Umur
testosteron,
nmol/l
androstenedion,
nmol/l
DHT, nmol/l
LH, IU/l
FSH, IU/l
1-3 hari
Naik 12
4-10
1,5-4,5
hCG terukur
0-10
4-7 hari
0,5-3,0
1-2,4
0,1-0,8
0-1
0-5
0,5-4 bln
4-14
0,5-2,5
0,2-4,5
0-1
0-28
5 bln-9 thn
0,2-0,5
0,1-0,7
0,05-2
0-1
0-7
P1
0,1-1
0,5-1,2
0-0,2
0,5-2,5
0,5-3
P2
0,1-2
1-2,5
0,1-0,2
1-4 *
0,5-4
P3
0,3-15*
1,5-3,5
0,2-0,8
1-5 *
2,5-4,5
P4
5-25
1,5-5
0,5-2
2-8
3-5,5
P5
9-32
2-5
0,5-2,5
2-8
2-5,5
16
17
konsentrasinya tinggi dalam lingkungan dan makanan, secara epidemiologi, klinis dan
penelitian eksperimen diperkirakan terpapar secara berlebihan oleh estrogen dan
xenoestrogen. Selama masa fetus dan perkembangan neonatal estrogen bisa merangsang
kelainan perkembangan testis dan memicu kejadian fertilitas pada dewasa. Penelitian ini
menjelaskan testis fetus dan neonatus sangat sensitif terhadap estrogen, inaktivasi estrogen
reseptor alfa meningkatkan steriogenesis dan inaktivasi estrogen reseptor beta
meningkatkan perkembangan sel germinal (Delbes dkk., 2006; Cederroth dkk., 2007).
Toppari (2003) mengatakan hormon estrogen menekan regulasi gen Insl3 dan akan bisa
menyebabkan kriptorkismus pada beberapa kasus.
Penurunan testis secara signifikan dihambat oleh hormon estradiol atau
diethylstilbesterol (estrogen non steroid), pengaruh estradiol diperkirakan sebagai mediasi
penekanan perkembangan sel leydig pasien dan menyebabkan menurunnya produksi
hormon testosteron dan hormon INSL3 (The endocrine society, 2005). Penelitian pada
tikus yang diobati dengan diethylstilbesterol saat hamil kasus kriptorkismus ditemukan
meningkat, diperkirakan adanya estrogen dalam fetus dapat menimbulkan penekanan
ekspresi INSL3 dan adanya estrogen dalam testis menyebabkan feedbac inhibisi terhadap
18
axis hipothalamus hipofise gonad sehingga terjadi hipoandrogenisme (Ivell & Hartung.,
2003).
Thonneau dkk (2003) mendapatkan pencemaran lingkungan oleh bahan- bahan
yang mengandung estrogen atau anti androgen akan mempengaruhi kesehatan reproduksi
laki-laki. Watanabe dkk (2007) mengatakan gen estrogen reseptor 1 dapat meningkatkan
kepekaan perkembangan kelainan alat genitalia laki-laki dihubungkan dengan responnya
terhadap hormon estrogen. Menurut Delbes dkk ( 2005) estrogen reseptor merupakan
mediasi yang menghambat secara invivo pengaruh estrogen endogen pada perkembangan
steriodogenesis testis selama fase janin dan neonatus pada tikus percobaan, karena
produksi androgen merupakan satu-satunya kunci dari mekanisme difrensiasi testis lakilaki di samping diperlukan untuk pertumbuhan traktus reproduksi. Hal ini mendukung
hipotesis fetus dan neonatus yang terpapar dengan lingkungan xenoestrogen dapat
mengganggu maskulinisasi sistem urogenital laki-laki dan fertilitas pada laki-laki dewasa.
Penghambatan biosintesis estrogen pada kriptorkismus unilateral pada binatang percobaan
dengan kadar estrogen testis yang tinggi, bisa memperbaiki secara signifikan pengaruh
estrogen pada fungsi testis. Pada penelitian Galan dkk
19
1
61
121
181
241
301
martvvlitg
etlqldvrds
rmlqaflpdm
lsliecgpvh
fltalrapkp
gagpgaedea
cssgiglhla
ksvaaarerv
krrgsgrvlv
tafmekvlgs
tlryftterf
grgavgdpel
vrlasdpsqs
tegrvdvlvc
tgsvgglmgl
peevldrtdi
lpllrmrldd
gdppaapq
fkvyatlrdl
naglgllgpl
pfndvycask
htfhrfyqyl
psgsnyvtam
ktqgrlweaa
ealgedavas
faleglcesl
ahskqvfrea
hrevfgdvpa
ralacppgsl
vldvnvvgtv
avlllpfgvh
aqnpeevaev
kaeagaeagg
Atau
1 Met-Ala-Arg-Thr-Val-Val-Leu-Ile-Thr-Gly-Cys-Ser-Ser-Gly-Ile-Gly-Leu-His-Leu-Ala21 Val-Arg-Leu-Ala-Ser-Asp-Pro-Ser-Gln-Ser-Phe-Lys-Val-Tyr-Ala-Thr-Leu-Arg-Asp-Leu41 Lys-Thr-Gly-Gly-Arg-Leu-Trp-Glu-Ala-Ala-Arg-Ala-Leu-Ala-Cys-Pro-Pro-Gly-Ser-Leu61 Glu-Thr-Leu-Gln-Leu-Asp-Val-Arg-Asp-Ser-Lys-Ser-Val-Ala-Ala-Ala-Arg-Glu-Arg-Val81 Thr-Glu-Gly-Arg-Val-Asp-Val-Leu-Val-Cys-Asn-Ala-Gly-Leu-Gly-Leu-Leu-Gly-Pro-Leu101 Glu-Ala-Leu-Gly-Glu-Asp-Ala-Val-Ala-Ser-Val-Leu-Asp-Val-Asn-Val-Val-Gly-Thr-Val121 Arg-Met-Leu-Gln-Ala-Phe-Leu-Pro-Asp-Met-Lys-Arg-Arg-Gly-Ser-Gly-Arg-Val-Leu-Val141 Thr-Gly-Ser-Val-Gly-Gly-Leu-Met-Gly-Leu-Pro-Phe-Asn-Asp-Val-Tyr-Cys-Ala-Ser-Lys161 Phe-Ala-Leu-Glu-Gly-Leu-Cys-Glu-Ser-Leu-Ala-Val-Leu-Leu-Leu-Pro-Phe-Gly-Val-His181 Leu-Ser-Leu-Ile-Glu-Cys-Gly-Pro-Val-His-Thr-Ala-Phe-Met-Glu-Lys-Val-Leu-Gly-Ser201 Pro-Glu-Glu-Val-Leu-Asp-Arg-Thr-Asp-Ile-His-Thr-Phe-His-Arg-Phe-Tyr-Gln-Tyr-Leu221 Ala-His-Ser-Lys-Gln-Val-Phe-Arg-Glu-Ala-Ala-Gln-Asn-Pro-Glu-Glu-Val-Ala-Glu-val241 Phe-Leu-Thr-Ala-Leu-Arg-Ala-Pro-Lys-Pro-Thr-Leu-Arg-Tyr-Phe-Thr-Thr-Glu-Arg-Phe261 Leu-Pro-Leu-Leu-Arg-Met-Arg-Leu-Asp-Asp-Pro-Ser-Gly-Ser-Asn-Tyr-Val-Thr-Ala-Met281 His-Arg-Glu-Val-Phe-Gly-Asp-Val-Pro-Ala-Lys-Ala-Glu-Ala-Gly-Ala-Glu-Ala-Gly-Gly301 Gly-Ala-Gly-Pro-Gly-Ala-Glu-Asp-Glu-Ala-Gly-Arg-Gly-Ala-Val-Gly-Asp-Pro-Glu-Leu321 Gly-Asp-Pro-Pro-Ala-Ala-Pro-Gln
Gambar 2.2 Susunan asam amino estradiol 17-beta-dehydrogenase 1, dipetik dari NCBI estradiol,
2010
20
hypertropi atau perubahan bentuk. Pada tikus percobaan yang mengalami kriptorkismus
kadar hormon INSL3 konsentrasinya menurun ( Ivell & Bathgate., 2002).
Selanjutnya
diuraikan gambar peran hormon INSL3 pada penurunan testis sebagai berikut:
Gambar 2.3 Peran hormon INSL3 pada penurunan testis, dipetik dari Bott, 2006
Identifikasi hormon INSL3 yang normal menandakan fungsi gen Insl3 adalah
baik (Klonisch dkk., 2003). Sejak diketahui hormon INSL3 dapat mencegah apoptosis
pada sel germinal, selanjutnya diperkirakan hormon INSL3 bisa berfungsi juga sebagai
kontrasepsi pada laki-laki ( Amory dkk., 2007). Bott (2006) mengatakan hormon INSL3
dihasilkan oleh sel leydig testis sebelum proliferasi mesenchym dan pertumbuhan
gubernakulum. Transgenik gen Insl3 pada tikus percobaan menyebabkan terjadinya
kriptorkismus dengan gubernakulum yang tidak tumbuh, namun kasus kriptorkismus
yang berhubungan dengan mutasi pada gen Insl3 atau reseptornya s ditemukan sedikit.
21
Pada laki-laki yang normal dan pada tikus percobaan yang organ seksualnya
sudah matur hormon INSL3 konsentrasinya di sirkulasi dapat terdeteksi maksimum 1
ng/ml, sedangkan konsentrasi hormon INSL3 dalam vena spermatika alalah > 14 ng/ml,
karena hormon Insl3 merupakan hormon autokrin-parakrin ( Anand-Ivell dkk., 2006 ).
Hormon INSL3 merupakan marker penting untuk mengetahui fungsi sel leydig dan status
difrensiasinya, ekpresi hormon INSL3 meningkat pada masa fetus,
menurun setelah
bayi lahir dan kemudian ekspresi INSL3 meningkat lagi saat remaja. Kekurangan hormon
INSL3 sangat penting sebagai tanda dari adanya hipogonad ( Foresta dkk., 2008 ).
Konsentrasi hormon INSL3 dalam sirkulasi meningkat pada tikus laki-laki yang dimulai
pada usia 10 hari dan terus meningkat sampai konsentrasi hormon INSL3 mencapai kadar
dewasa pada usia 39 hari setelah lahir. Testis turun ke sekrotum selama fase peningkatan
konsentrasi INSL3. Hormon INSL3 merupakan produksi dari sel leydig fetus dan sel
leydig testis setelah lahir, dan juga pada perempuan hormon INSL3 merupakan produksi
sel theca dan sel luteal dari ovarium setelah lahir. Hormon INSL3 bisa juga berfungsi
sebagai endokrin dan parakrin pada jaringan yang lain (Kumagai dkk., 2002-a).
Selanjutnya diuraikan gambar susunan asam amino hormon INSL3
1 mdprlpawal vllgpalvfa lgpaptpemr eklcghhfvr alvrvcggpr wstearrpat
61 ggdrellqwl errhllhglv adsnltlgpg lqplpqtshh hrhhraaatn parycclsgc
121 tqqdlltlcp y
22
Atau:
1. Met-Asp-Pro-Arg-Leu-Pro-Ala-Trp-Ala-Leu-Val-Leu-Leu-Gly-Pro-Ala-Leu-Val-Phe-Ala21. Leu-Gly-Pro-Ala-Pro-Thr-Pro-Glu-Met-Arg-Glu-Lys-Leu-Cys-Gly-His-His-Phe-Val-Arg41. Ala-Leu-Val-Arg-Val-Cys-Gly-Gly-Pro-Arg-Trp-Ser-Thr-Glu-Ala-Arg-Arg-Pro-Ala-Thr61. Gly-Gly-Asp-Arg-Glu-Leu-Leu-Glu-Trp-Leu-Glu-Arg-Arg-His-Leu-Leu-His-Gly-Leu-Val81. Ala-Asp-Ser-Asn-Leu-Thr-Leu-Gly-Pro-Gly-Leu-Gln-Pro-Leu-Pro-Gln-Thr-Ser-His-His101. His-Arg-His-His-Arg-Ala-Ala-Ala-Thr-Asn-Pro-Ala-Arg-Tyr-Cys-Cys-Leu-Ser-Gly-Cys121. Thr-Gln-Gln-Asp-Leu-Leu-Thr-Leu-Cys-Pro-Tyr
Gambar 2.4 Susunan asam amino hormon INSL3, dipetik dari NCBI INSL3 protein , 2010
mivflvfkhl
rafhcdgkdd
elecvngdlk
ffglcnlqil
vnnylealpk
fsslknlgel
erieipnint
fvwviafitc
qyqkyallwm
fslrlitmff
cgngadeenc
svpmisnnvt
ylnhncittl
qmcaqmpqln
dlssntitel
rmfqpmknls
fgnlfvigmr
esvqcrlmgf
llhfivlinv
gdtsgwatif
llslkknkih
rpgifkdlhq
wvdlegnrik
sphlfkdlkl
hiyfknfryc
sfikaentth
lamlstevsv
kdfaltqgsm
gtvhgnansv
slpdkvfiky
ltwlilddnp
yltnstflsc
lqklnlssnp
syaphvricm
amsikilcca
llltyltlek
itpscqkgyf
altqecflkq
tklkkiflqh
itrisqrlft
dsltvlflpr
lmylhknqfe
pltdgissfe
dclmgvylff
flvivfpfsn
pcgnltkclp
ypqccdcket
ncirhisrka
glnslfflsm
nqigfvpekt
slkqlqsldl
dllannilri
vgifdikyrg
irpgkrqtsv
23
541
601
661
721
iliciwmagf
afliivfsyi
slfrveipdt
slstsivwie
liavipfwnk
tmfcsiqkta
mtswiviffl
dssslklgvl
dyfgnfygkn
lqttevrncf
pvnsalnpil
nkitlgdsim
Atau:
1
21
41
61
81
101
121
141
161
181
201
221
241
261
281
301
321
341
361
381
401
421
441
461
481
501
521
541
561
581
601
621
641
661
681
701
721
741
Met-Ile-Val-Phe-Leu-Val-Phe-Lys-His-Leu-Phe-Ser-Leu-Arg-Leu-Ile-Thr-Met-Phe-PheLeu-Leu-His-Phe-Ile-Val-Leu-Ile-Asn-Val-Lys-Asp-Phe-Ala-Leu-Thr-Gln-Gly-Ser-MetIle-Thr-Pro-Ser-Cys-Gln-Lys-Gly-Tyr-Phe-Pro-Cys-Gly-Asn-Leu-Thr-Lys-Cys-Leu-ProArg-Ala-Phe-His-Cys-Asp-Gly-Lys-Asp-Asp-Cys-Gly-Asn-Gly-Ala-Asp-Glu-GLu-Asn-CysGly-Asp-Thr-Ser-Gly-Trp-Ala-Thr-Ile-Phe-Gly-Thr-Val-His-Gly-Asn-Ala-Asn-Ser-ValAla-Leu-Thr-Gln-Glu-Cys-Phe-Leu-Lys-Gln-Tyr-Pro-Gln-Cys-Cys-Asp-Cys-Lys-Glu-ThrGlu-Leu-Glu-Cys-Val-Asn-Gly-Asp-Leu-Lys-Ser-Val-Pro-Met-Ile-Ser-Asn-Asn-Val-ThrLeu-Leu-Ser-Leu-Lys-Lys-Asn-Lys-Ile-His-Ser-Leu-Pro-Asp-Lys-Val-Phe-Ile-Lys-TyrThr-Lys-Leu-Lys-Lys-Ile-Phe-Leu-Gln-His-Asn-Cys-Ile-Arg-His-Ile-Ser-Arg-Lys-AlaPhe-Phe-Gly-Leu-Cys-Asn-Leu-Gln-Ile-Leu-Tyr-Leu-Asn-His-Asn-Cys-Ile-Thr-Thr-LeuArg-Pro-Gly-Ile-Phe-Lys-Asp-Leu-His-Gln-Leu-Thr-Trp-Leu-Ile-Leu-Asp-Asp-Asn-ProIle-Thr-Arg-Ile-Ser-Gln-Arg-Leu-Phe-Thr-Gly-Leu-Asn-Ser-Leu-Phe-Phe-Leu-Ser-MetVal-Asn-Asn-Tyr-Leu-Glu-Ala-Leu-Pro-Lys-Gln-Met-Cys-Ala-Gln-Met-Pro-Gln-Leu-AsnTrp-Val-Asp-Leu-Glu-Gly-Asn-Arg-Ile-Lys-Tyr-Leu-Thr-Asn-Ser-Thr-Phe-Leu-Ser-CysAsp-Ser-Leu-Thr-Val-Leu-Phe-Leu-Pro-Arg-Asn-Gln-Ile-Gly-Phe-Val-Pro-Glu-Lys-ThrPhe-Ser-Ser-Leu-Lys-Asn-Leu-Gly-Glu-Leu-Asp-Leu-Ser-Ser-Asn-Thr-Ile-Thr-Glu-LeuSer-Pro-His-Leu-Phe-Lys-Asp-Leu-Lys-Leu-Leu-Gln-Lys-Leu-Asn-Leu-Ser-Ser-Asn-ProLeu-Met-Tyr-Leu-His-Lys-Asn-Gln-Phe-Glu-Ser-Leu-Lys-Gln-Leu-Gln-Ser-Leu-Asp-LeuGlu-Arg-Ile-Glu-Ile-Pro-Asn-Ile-Asn-Thr-Arg-Met-Phe-Gln-Pro-Met-Lys-Asn-Leu-SerHis-Ile-Tyr-Phe-Lys-Asn-Phe-Arg-Tyr-Cys-Ser-Tyr-Ala-Pro-His-Val-Arg-Ile-Cys-MetPro-Leu-Thr-Asp-Gly-Ile-Ser-Ser-Phe-Glu-Asp-Leu-Leu-Ala-Asn-Asn-Ile-Leu-Arg-IlePhe-Val-Trp-Val-Ile-Ala-Phe-Ile-Thr-Cys-Phe-Gly-Asn-Leu-Phe-Val-Ile-Gly-Met-ArgSer-Phe-Ile-Lys-Ala-Glu-Asn-Thr-Thr-His-Ala-Met-Ser-Ile-Lys-Ile-Leu-Cys-Cys-AlaAsp-Tys-Leu-Met-Gly-Val-Tyr-Leu-Phe-Phe-val-Gly-Ile-Phe-Asp-Ile-Lys-Tyr-Arg-GlyGln-Tyr-Gln-Lys-Tyr-Ala-Leu-Leu-Trp-Met-Glu-Ser-Val-Gln-Cys-Arg-Leu-Met-Gly-PheLeu-Ala-Met-Leu-Ser-Thr-Glu-Val-Ser-Val-Leu-Leu-Leu-Thr-Tyr-Leu-Thr-Leu-Glu-LysPhe-Leu-Val-Ile-Val-Phe-Pro-Phe-Ser-Asn-Ile-Arg-Pro-Gly-Lys-Arg-Gln-Thr-Ser-ValIle-Leu-Ile-Cys-Ile-Trp-Met-Ala-Gly-Phe-Leu-Ile-Ala-Val-Ile-Pro-Phe-Trp-Asn-LysAsp-Tyr-Phe-Gly-Asn-Phe-Tyr-Gly-Lys-Asn-Gly-Val-Cys-Phe-Pro-Leu-Tyr-Tyr-Asp-GlnThr-Glu-Asp-Ile-Gly-Ser-Lys-Gly-Tyr-Ser-Leu-Gly-Ile-Phe-Leu-Gly-Val-Asn-Leu-LeuAla-Phe-Leu-Ile-Ile-Val-Phe-Ser-Tyr-Ile-Thr-Met-Phe-Cys-Ser-Ile-Gln-Lys-Thr-AlaLeu-Gln-Thr-Thr-Glu-Val-Arg-Asn-Cys-Phe-Gly-Arg-Glu-Val-Ala-Val-Ala-Asn-Arg-PhePhe-Phe-Ile-Val-Phe-Ser-Asp-Ala-Ile-Cys-Trp-Ile-Pro-Val-Phe-Val-Val-Lys-Ile-LeuSer-Leu-Phe-Arg-Val-Glu-Ile-Pro-Asp-Thr-Met-Thr-Ser-Trp-Ile-Val-Ile-Phe-Phe-LeuPro-Val-Asn-Ser-Ala-Leu-Asn-Pro-Ile-Leu-Tyr-Thr-Leu-Thr-Thr-Asn-Phe-Phe-Lys-AspLys-Leu-Lys-Gln-Leu-Leu-His-Lys-His-Gln-Arg-Lys-Ser-Ile-Phe-Lys-Ile-Lys-Lys-LysSer-Leu-Ser-Thr-Ser-Ile-Val-Trp-Ile-Gln-Asp-Ser-Ser-Ser-Leu-Lys-Leu-Gly-Val-LeuAsn-Lys-Ile-Thr-Leu-Gly-Asp-Ser-Ile-Met-Lys-Pro-Val-Ser
Gambar 2.5 Susunan asam amino reseptor LGR8, dipetik dari NCBI LGR8 protein, 2010
24
penurunan testis transabdominal dan transinguinal serta gambar peran gubernakulum pada
penurunan testis sebagai berikut:
25
Gambar 2.6 Penurunan testis transabdominal dan transinguinal, dipetik dari Foresta dkk.,2008
Gambar A menunjukkan posisi testis sebelum penurunan transabdominal, dimana testis pada
bagian cranial dipegang oleh CSL yang melekat pada dinding belakang abdomen dan bagian
caudal dipegang oleh gubernakulum yang ujungnya pada cincin inguinalilis pada dinding
abdomen. Gambar B penurunan testis transabdominal oleh karena terjadi pertumbuhan
gubernakulum yang dipengaruhi hormon Insl3 dan regresi CSL yang dipengaruhi testosteron,
dan regresi duktus mulleri yang dipengaruhi AMH. Gambar C penurunan testis transinguinal
karena regesi gubernakulum yang dipengaruhi oleh hormon testosteron dan GFN. Gambar D
testis sudah di skrotum dan sudah terjadi regesi penuh gubernakulum.
26
Gambar 2.7
27
terdiri dari 2 fase, yang pertama disebut fase pertama atau fase transabdominal terjadi
sebelum bayi dilahirkan, pada fase transabdominal testis bergerak menuju abdomen
bagian bawah. Fase kedua disebut juga fase transinguinal, pada fase transinguinal testis
bergerak dari bagian bawah abdomen menuju dasar skrotum. Ada 2 ligamen yang
mempengaruhi pergerakan testis seperti CSL yang melekat dengan gonad pada dinding
perut bagian belakang, dekat dengan tulang rusuk paling bawah.Sedangkan
gubernakulum melekat dengan testis melalui epididymis kemudian masuk dari
intraabdominal menuju cincin bagian dalam canalis inguinalis. Selama fase
transabdominal gubernakulum pada laki-laki berkembang dengan membesar pada cavum
abdomen dan di bawah tekanan pertumbuhan organ visceral pada abdomen serta di
bawah pengaruh hormonal terjadi regresi CSL dan pada saat ini pertumbuhan
gubernakulum bagian caudal yang disebut gubernakulum bulb, pertumbuhan keluar
gubernakulum menyebabkan terjadinya migrasi testis ke inguinal dan testis memilih
tempat dibelakang leher kandung kencing (Emmen dkk., 2000; Foresta dkk.,2008;
Virtanen & Toppari.,2008). Pada fase penurunan testis transinguinal testis bergerak dari
inguinal menuju sekrotum. Pada fase ini terjadi pemendekan gubernakulum cord dan
pemendekan pertumbuhan keluar dari gubernakulum bulb. Fase transabdominal terjadi
antara usia kehamilan 10-23 minggu sedangkan fase transinguinal terjadi antara usia
kehamilan 26-28 minggu dan saat lahir. Pada fase transabdominal yang diperlukan
hormon INSL3 sedangkan pada fase traninguinal yang diperlukan hormon testosteron
(Foresta, dkk., 2008).
28
29
Gambar 2.8 Migrasi testis transabdominal, dipetik dari Amann &Veeramachaneni, 2007
2.4.2
biasanya lengkap pada trimester ketiga. Antara bulan ketujuh dan kesembilan kehamilan
penurunan testis secara cepat pada kanalis inguinalis dan pelan-pelan masuk ke skrotum.
Selama waktu ini, terjadi regresi gubernakulum atau kejadian ini dipengaruhi proses
androgen dan tetap menetap di ligament gubernakulum. Dalam keadaan normal prosesus
vaginalis menutup komplit sebelum bayi lahir, apabila testis tidak turun, prosesus
vaginalis biasanya masih tertinggal jelas ( secara tidak langsung menjadi hernia
inguinalis). Pada bayi prematur penurunan testis kedalam skrotum banyak tidak lengkap
(Kaefer,
berikut:
30
Gambar 2.9 Migrasi testis transinguinal, dipetik dari Amann & Veeramachaneni, 2007
2.4.3
spontan kedalam skrotum. Walaupun penurunan testis masih tetap berlangsung sampai
usia 12 bulan, kebanyakan kasus penurunan testis ditemukan antara usia 4 sampai usia 6
bulan ( dengan asumsi bayi lahir cukup bulan). Terjadinya penurunan testis setelah lahir
diperkirakan disebabkan oleh peningkatan kadar testosteron setelah lahir. Peningkatan
kadar testosteron selama 3 bulan pertama kehidupan merupakan aktivitas kedua dari aksis
hypothalamus-hipofise dengan hilangnya feeback negatif dari pengaruh lingkungan
hormon ibunya (Kaefer, 2004; Suomi 2006).
Suomi dkk tahun 2006 melakukan penelitian prospektif pada bayi laki-laki yang
lahir dengan kriptorkismus diikuti selama 3 bulan, kemudian pada usia tiga bulan
31
32
33
34
aaagactcgt
gaaaggctct
ctgtcccttc
cttggccccg
gctgggccct
gttgtgcggc
caccgaagcc
gctctgggaa
tgggcaggtt
tgcccagtgc
ggcactaacc
tccaaggccc
gcgccaccca
gccctggtgt
caccacttcg
aggaggcctg
gccgaggtgg
tgcatgcatg
tccctctggg
ccacccttga
ccagctggga
ccaccatgga
tcgcgttggg
tacgcgcgct
cgaccggagg
ggcaggtgca
tgcccagggc
agaagtacat
cctttttcct
cggcccaggc
cccccgtctg
ccccgcgccc
agtgcgcgtg
cgaccgtgag
cgtaggcgca
tcacctgccg
ccaaggccct
gggcggtcct
gcctataaag
cccgcctggg
accccagaga
tgcgggggcc
tggggacggg
gatgcacacg
gctgcgtgca
ggccctggga
gaagaatgtt
ggggtccccg
cgctggtgct
tgcgtgagaa
cccgctggtc
cagggacagc
tgcagggagg
cagatcgtgg
Gambar 2.11 Bentuk normal exon 1 gen insl3, dipetik dari NCBI gen bank insl3, 2010
35
tcagtgggat
tccgttccag
acatctgctc
cctgccccag
ctactgctgc
cctccttggg
tgaggccaca
gtgtgtggat
ctgagtttca
catgggctgg
acctctcacc
ctcagtggct
tgcagcctca
cagcaccata
tcgtgcacat
ctctgtcccc
tggccgacag
atcaccgcca
gtacccaaca
gagtggcctg
aagtctcgca
gcagcatggg
aggtgagttg
taatctcacg
ccaccgtgca
agacctgctg
aggcccagag
tctacaggcc
gtagcatgtc
ctacagtggc
ctgggacctg
gctgccacca
accctctgtc
ggtctggtct
tttgattacc
ctctgtcgtt
tggagagacg
gcctgcagcc
accctgcacg
cctactgatt
ggtgagctcc
tcctgggatg
ggtgctcact
aaatcacacc
gccaaatgtc
cttcttgctg
atctacccca
ctagccctgg
ctcactccag
tctcttagta
gaccaatgcc
cttggaggat
gggagcccca
aataaacgac
acctgcagcc
ccccgctttc
gacgctccgc
ccaaagcagc
tgtggagtca
acagatgctg
tccctgcatg
ttcctgcatt
actgcagaat
gacactgaca
tgtaacaccc
ttctctagaa
Gambar 2.12 Bentuk normal exon 2 gen insl3, dipetik dari NCBI gen bank insl3, 2010
2.5.3.1 Polimorfisme gen Insl3
Dipastikan bagian yang pendek gen Insl3 hanya 500-700 basefare dan
mempunyai intron yang cukup untuk menentukan ekspresi gen insl3 bila diperlukan
tumor sel leydig. Kekacauan genetik dari gen insl3 pada tikus percobaan menyebabkan
tingginya kriptorkismus intraabdominal. Analisis mutasi gen insl3 pada allel dengan
single nucleotide polymorphisme (SNPs) pada pasien kriptorkismus hanya ditemukan
beberapa mutan, jadi dasar genetik dari kriptorkismus pada manusia masih tidak jelas
(The Endocine society, 2005).
36
37
Gambar 2.13 Bentuk normal exon 8 gen lgr8, diperik dari NCBI gen bank Lgr8, 2010
Berikut ini diuraikan gambar bentuk normal exon 12 gen lgr8 yang terdiri dari 72
pasang basa ( 51842.. 51913) dan dibagi menjadi 24 kodon, sedangkan exon 13 terdiri dari 72
pasang basa (52025..52096 ) dan dibagi menjadi 24 kodon . Exon 12 dan exon 13 gen Lgr8
berdekatan sehingga diamplifikasi dengan primer: Forward
5!GGATGATGATAATTGTGAGG3! dan Reverse 5!CTGAAATGCATGCTCCTGTG3!
sedangkan daerah yang diamplifikasikan dari exon 12 dan exon 13 gen lgr8 sebesar: 439 pasang
basa. Selanjutnya dapat dilihat bentuk normal exon 12 dan exon 13 gen lgr8 sebagai berikut:
38
Forward
51721 gttggttaaa ttggattcat attttctgtt acatcaaatg ggatgatgat aattgtgagg
51781 agtaataagt ctgtcattta cttccaaagt aattgctttg ggttttcatt gtcgtcaaca
EXON
12
13
Reverse
Gambar 2.14 Bentuk normal exon 12,exon 13 gen lgr8,dipetik dari NCBI gen bank lgr8, 2010
kriptorkismus dan 80
(Ferline dkk., 2003). Menurut Vinci dkk ( 2004) diketahui gen lgr8 pada manusia
berhubungan dengan penurunan testis, namun kriptorkismus jarang yang disebabkan oleh
mutasi gen lgr8. Pada penelitian Nuti dkk (2007) menemukan mutasi T222P gen lgr8 dan
polimorfisme gen lgr8 yang dicurigai sebagai faktor risiko kriptorkismus. Kejadian
mutasi gen lgr8 adalah 2,9% (28 dari 979 kasus) dan paling banyak pada T222P, namun
fenotip dari mutasi ini berfariasi dari kriptorkismus bilateral, unilateral dan lokasi testis
pada mutasi gen lgr8 juga bervariasi abdominal atau inguinal ( Foresta dkk., 2008)
39
2.5.5
40
dkk.,2005). Keanekaragaman urutan basa (polimorfisme) pada DNA bukan pengkode adalah
sangat sering terdapat pada seluruh genom. Apabila polimorfisme tadi mengenai sisi
pemutus enzim restriksi, maka akan diperoleh fragmen DNA dengan ukuran yang berbedabeda setelah digesti DNA oleh endonuklease restriksi. Alel yang berbeda-beda yang
dihasilkan disebut polimorfisme panjang fragmen restriksi ( restriktion fragment length
polymorphism) (RLFP).
Polimorfisme gen DNA dikatagorikan menjadi 4 klas berbeda yaitu: single nucleotide
polymorphism, mikrosatelit, minisalelit, Indel.
2.6.1
41
42
sempurna atau cacat pada individu dengan kelainan genetik dan sebagian diantaranya
diwariskan pada keluarga yang lain sebagai karier. Dengan analisis DNA individu yang
palsu dan yang ada hubungannya dengan keluarga bisa dipisahkan mana allel yang
normal dan mana yang mutasi (Hickey dkk., 2007). Selanjutnya diuraikan 3 bentuk
gambar SNPs sebagai berikut:
43
SNPs
- - Cys - - - Asn - - - Arg - - ___ A -
T G T -
A A T -
A G A -___
___ A -
T G T -
G A T -
A G A -___
Mikrosatelit
Mikrosatelit merupakan pengulangan nukleotida dan pengulangan segmen yang
dideteksi dengan cara sequensing, biasanya sederhana, berisi dua, tiga atau empat
nukleotida yang diulang, nukleotida ini bisa diulang 10-100 kali. kejadian mikrosatelit
sering ditemukan pada manusia dan genom lainnya, biasanya kejadiannya setiap seribu
pasang basa, ada allel yang bervariasi dalam genom (microsatellite Wikipedia, 2010).
Unit pada genom dari manusia atau organisme yang komplek lainnya, berada
pada lokus yang didapat dengan cara skuenzing yang berulang. Mikrosatelit disebut juga
SSRs ( simple sekuensing repeate ). Mikrosatelit meningkat secara spontan dari
44
pemeriksaan random pada awal produksi dengan empat dari lima pengulangan.
Mikrosatelit merupakan polimorfisme dengan banyaknya allel yang berbeda pada locus
mikrosatelit. Allel yang baru timbul pada lokus mikrosatelit rata-rata 10-3 per lokus
gamet. Frekwensi dari peningkatan variasi rata-rata 10-9 dan menghasilkan variasi besar
pada populasi. Pada saat yang sama rata-rata mutasi mikrosatelit adalah rendah (Hartwell
dkk., 2008). Selanjutnya diuraikan gambar mikrosatelit sebagai berikut:
Minisatelit
Merupakan katagori penting yang ke dua dari pengulangan DNA yang merupakan
bentuk yang lebih besar. Pengulangan unit tersebut antara 20 100 base-pare dan unit
trersebut diulang sampai seribu perlokus. Disini diberikan lokus minisatelit jumlah
panjang lokus 0,5-20 kb. Baik mikrosatelit maupun minisatelit meningkat dari kejadian
random beberapa ribu genom pada semua vertebrata. Minisatelit lokus kejadian
polimorfisme tinggi sekali disebabkan kromosom yang homogen dengan bagian dari
banyaknya pengulangan yang pendek sampai yang panjang. Secara genetik banyaknya
lokus minisatelit yang melakukan penyilangan hybrid 5-10 lokus yang menjadi distribusi
genom. Dengan menggunakan beberapa minisatelit yang sekuensingnya di hibridisasi
45
dapat ditunjukan pada genom. Prekwensi multi lokus adalah 1 : 100.000 base-pare dari
30.000 genum pada manusia (Hartwell
Dilesi, duplikasi dan insersi pada lokus yang tidak diulang ( Indel)
Perubahan DNA pada katagori yang luas menghasilkan kejadian mutasi yang
luas atau tidak berulangnya lokus DNA oleh delesi, duplikasi atau insersi satu atau lebih
base-pair. Mutasi ini umumnya disebut indels, besarnya berkisar antara satu atau lebih
base-pair sampai multipel megabase-pair. Dilesi yang kecil dan duplikasi dari sebagian
kecil base-pair sampai kilo base-pair yang sangat panjang sering meningkat dari
ketidaksamaan penyilangan antara tempat non homolog selama rekombinasi miotik.
Bahan dilesi yang hilang dari satu homolog akan ditambahkan dengan duplikasi yang
lainnya. Insersi yang kecil besarnya berkisar dari ratusan sampai ribuan base-pair dapat
46
juga disebabkan oleh pemindahan elemen yang terintegrasi secara random ke dalam
genom.
SNPs, mikrosatelit, minisatelit dan indels yang tidak berulang pada penyiapan
47
2.6.5
primer
tambahan untuk sequenzing pada salah satu pinggiran dari polimorfisme sebenarnya
diperjelas dengan PCR pada lokus dari DNA secara individual. Kemudian produksi PCR
dilakukan ekektroporesis gel untuk memisahkan fragmen DNA menurut besarnya.
Setelah deberikan ethidium bromide allel menunjukan gerombolan yang spesifik. Semua
kemungkinan genotip yang homozygote dan heterozygote dapat dikenal dengan jalan ini.
Peneliti tunggal dapat menggunakan protokol ini untuk ratusan genotip dari sampel pada
satu hari, tanpa peralatan khusus. Protokol ini juga dapat dipertanggungjawabkan
menggunakan fluresensi primer tagged dan elektroporesis pada peralatan yang sama yang
digunakan untuk sekuensing DNA secara otomatis. Sekarang fokus perhatian pada
katagori khusus dari mikrosatelit dan minisatelit yang mana keduanya ditentukan sebagai
polmorfisme yang berbeda pada jumlah dan pengulangan elemen (Hartwell dkk., 2008).
48
2.7. Kriptorkismus
2.7.1 Definisi kriptorkismus:
Kriptorkismus
merupakan
kelainan
saluran
genitourinaria
berupa
tidak
sempurnanya penurunan testis ke dalam skrotum yang sering ditemukan pada anak kecil.
Testis yang tidak turun ke skrotum dapat berada pada saluran yang normal di antara ginjal
dan bagian dalam skrotum (Kaefer, 2004), atau testis terletak pada salah satu tempat
sepanjang jalur desensus yang normal, tetapi tidak mencapai tempat kedudukannya yang
normal di dalam skrotum (Styne, 2002). Kriptorkismus merupakan kondisi patologi berupa
kegagalan testis turun ke dalam skrotum, kadang-kadang karena kriptorkismus terjadi
atropi tubulus semineferus dan lokasi testis pada kriptorkismus dapat berada di canalis
inguinalis, daerah preskrotal atau daerah abdomen (Moretti dkk., 2007; Hutson, 2007).
Istilah kriptorkismus berasal dari kata Yunani cryptos yang berarti tersembunyi, dan
orchis yang dalam bahasa latin disebut sebagai testis. Kriptorkismus murni sering
ditemukan pada bayi prematur, namun testis masih dapat turun selama satu tahun pertama
kehidupannya (Wales dkk., 2003). Pada pemeriksaan
penulis yang meragukan kemampuan ultrasonografi untuk menditeksi testis intraabdominal oleh karena masih ada musuh utama bagi transduser USG ialah bayangan usus
dan udara di dalam abdomen yang dapat memberikan artefak dan menghalangi identasi
struktur organ disekitarnya.
49
(Virtanen & Toppari., 2008), dilain pihak kriptorkismus ditemukan 1-4% pada bayi lakilaki yang lahir (McGlynn dkk., 2005).
50
Hipotalamus
menghasilkan
GnRH,
Hipofise
anterior
menghasilkan FSH, dan LH, sedangkan testis terdiri dari sel sertoli yang menghasilkan
AMH, dan sel leydig yang menghasilkan hormon testosteron dan hormon INSL3. Desensus
testis tidak terjadi pada mamalia yang hipofisenya telah diangkat, ini menandakan bahwa
kekurangan FSH dan LH menyebabkan terjadinya kriptorkismus. Pemberian hormon
gonadotropin pada pengobatan kriptorkismus ternyata efektif, maka itu dikemukan
anggapan bahwa kriptorkismus disebabkan oleh defisiensi sekresi gonadotropin.
Kekurangan hormon INSL3 akan mengakibatkan kriptorkismus karena
hormon INSL3
51
congenital dan sindrom-sindrom. Pada aplasia hipofise ditemukan bayi lahir dengan cukup
bulan mengalami mikropenis dan bilateral kriptorkismus, 2 jam setelah dilahirkan
diperiksa kadar gula darahnya rendah, hormon testosteronnya rendah, defisiensi
dehidrotestosteron, GH defisiensi sehingga diagnosisnya panhipopituitarisme. Di samping
itu dapat diperkirakan penyebab mikropenis : 30% oleh karena hipopituitarisme, 25% oleh
karena hipogonad primer dan 45% idiopatik. Mikropenis dengan hypoglikemia
menjelaskan congenital hipopituitarism (Cervantes dkk.,
menyebabkan terjadinya hipogonad (Gillam dkk., 2006). Adapun beberapa faktor risiko
kriptorkismus adalah bayi berat lahir rendah, kelainan malformasi (hipospadia, kelainan
epididimis dan hernia inguinalis) (Thonneau dkk, 2003).
2.7.4. Klasifikasi kriptorkismus
Undescended testis (UDT) diklasifikasikan menjadi: testis teraba dan testis tidak
teraba, testis teraba terdiri dari testis retraktil, testis ektopik dan murni UDT sedangkan
testis tidak teraba diklasifikasikan menjadi testis intraabdominal dan canaliculer ( di dalam
canalis inguinalis) . UDT umumnya kebanyakan inguinal (63%) diikuti preskrotal (24%),
ektopik (12%) dan intraabdominal (8%). Perlu dibedakan antara murni kriptorkismus,
testis retraktil dan testis ektopik untuk penanganan dan implikasi prognosis (Bajpai &
Menon., 2008).
Testis ektopik merupakan penyimpangan turunnya testis dari saluran yang normal,
tidak melalui cincin inguinalis ekterna dan tidak berhubungan dengan kerusakan testis atau
transformasi keganasan. Umumnya yang menjadi tempat dari testis ektopik adalah: bagian
52
luar dari kantong inguinal, pada perineum, kanalis femoralis, daerah suprapubik dan
kontralateral dari skrotum. Testis ektopik bisa dibedakan dengan kriptorkismus oleh
adanya pertumbuhan skrotum yang normal dan tidak adanya hernia inguinalis. Testis
retraktil merupakan bentuk lain dari penurunan testis ke dalam skrotum dimana aktipnya
reflek otot kremaster menyebabkan testis tertarik ke pangkal paha. Testis retraktil biasanya
bilateral dan sering ditemukan pada anak usia 2-6 tahun, kejadiannya 20% dari anak lakilaki yang normal dimana testis masih dapat dimanipulasi samapi ke bagian bawah skrotum.
Dengan membesarnya volume testis pada pase pubertas kejadian ini akan menjadi normal.
Kejadian ini perlu dibedakan dengan kriptorkismus karena pertumbuhan skrotum normal
dan tesis bisa turun ke skrotum (Bajpai & Menon., 2008).
Maksimum 20% kriptorkismus testisnya tidak teraba pada pemeriksaan klinis, testis
kebanyakan berada disebelah kiri. Dari testis yang tidak teraba 50%-60% kasus testisnya
masih utuh dan berada pada posisi intraabdominal atau inguinal dan yang sungguhsungguh tidak ada sekitar 20% dari kasus. Testis yang naik atau kriptorkismus yang
didapat sering ditemukan pada anak yang sebelumnya testis sudah turun di skrotum. Pada
anak laki-laki yang testisnya sudah turun saat dilahirkan, tetapi selama masa anak-anak
sering antara usia 4-10 tahun testis tidak masih ada di skrotum ( Bajpai & Menon., 2008).
Menurut Kaufer (2004) kriptorkismus dapat diklasifikasikan berdasarkan etiopatogenesis,
lokasi testisnya atau gambaran histopatologik. Dalam klinik yang sering digunakan
berdasarkan lokasinya :
53
: 20%
3. Intraabdominal (abdominal )
: 10%
4. Terobstruksi
: 30%
54
Tabel 2.2
Perbandingan Undescended testis, testis ektopik dan testis retraktil, dipetik dari ( Bajpai &
Menon, 2008)
Gambaran
Uudescended testis
Testis ektopik
Testis retraktil
Abnormalitas
Reflek kremaster
meningkat
Histologi testis
Testis disgenesis
Testis normal
Testis normal
Skrotum
Perkembangan kurang
baik
Spermatic cord
Panjang
Panjang
Normal
Hernia
Sering
Jarang
Tidak ada
Komplikasi
Jarang
55
Menurut Bajpai & Menon (2008) secara histology sel germinal sudah mengalami
kerusakan pada UDT mulai anak usia 6-12 bulan bila testis tidak masuk ke dalam
skrotum. Kerusakan yang terjadi berupa lambatnya maturasi sel germinal, menurunnya
jumlah sel germinal, tubulus seminiferus mengalami hialinisasi dan menurunnya jamlah
sel leydig yang khusus.
2.7.5.2 Keganasan
Pada Negara industri dalam 10 tahun terakhir terjadi peningkatan insiden ca testis
yang bersamaan dengan peningkatan insiden kriptorkismus (Thonneau dkk., 2003).
Individu yang lahir dengan UDT mempunyai insiden keganasan maksimum 40 kali
dibandingkan dengan yang lahir testisnya ada diskrotum (Kaefer, 2004), sedangkan
Bajpai & Menon (2008) mengatakan risiko keganasan pada UDT adalah 4-10 kali lebih
tinggi dibandingkan pada populasi normal dan maksimum 1 dari 80 UDT unilateral dan 1
dari 40 UDT bilateral. Sedangkan usia terjadinya keganasan adalah 15-40 tahun.
Maksimum 10% dari testis yang berkembang menjadi tumor testis mempunyai
riwayat UDT. Insiden keganasan testis meningkat dengan tingginya lokasi UDT testis
dan tumor testis enam kali lebih banyak pada testis abdominal dibandingkan dengan testis
inguinal. Kira-kira dari 14% testis intraabdominal, berkembang 50% nya menjadi tumor
testis . Pada pengamatan 10-20% tumor testis yang ditemukan pada pasien kriptorkismus
yang mengalami penurunan normal ditemukan mempunyai kelainan intrinsic (Kaefer,
2004). Keganasan yang sering terjadi pada testis kriptorkid ialah tumor sel germinal dan
yang terbanyak ialah seminoma (43%).
56
57
58
59
60
UDT
Perabaan testis
Testis teraba
Perkembangan
skrotum
Normal
Testis retraktil
atau ektopik
Tidak ada
UDT
Coba dg hCG
Tidak diobati
Testis turun
diawasi
Positip
UDT
Negatip
Anorchia
Laparoscopy
Tidak ada respon
Orkhidopeksi
Operasi
Gambar 2.19 Diagnosis dan terapi pada UDT, dipetik dari Bajpai & Menon, 2008
2.8.2
61
dilacak dengan
penambahan antibodi yang kedua yang sudah dilabel dengan enzim, kemudian
ditambahkan substrat dan antibodi yang kedua jadi berikatan dengan estradiol. Bila
hormon estradiol banyak maka antibodi kedua yang diikat banyak, enzim yang diikat
banyak dan substrat yang diikat juga banyak sehingga warnanya makin pekat. Antibodi
pertama biasanya monoclonal hanya satu
6,75 . kepekatan
warna dibaca dengan spiktrofotometer, angka diset dai 0 sampai 3, konsentrasinya 0,1
sampai 3,0. Caranya standar dibuat di kertas grafik untuk menilai konsentrasi. Misalnya:
konsentrasi 100% dengan OD 2,5, konsentrasi 50 % dengan OD 2,0, konsentrasi 25%,
dengan OD 1,7, selanjutnya OD 0,2 . Supaya antibodi tidak lengket perlu ditambahkan
blocking buffer (susu atau albumin), jadi sampel tidak berikatan dengan dinding
mikroplate tapi berikatan dengan antibodi ( Astawa, 2010 ).
62
paling tinggi OD 3. Antara teknik kepcher Laesa dan Kompetitif Laesa yang
63
dengan kitnya atau dengan antigen yang ada di sampel dideteksi. Dipakai avidin ( bidsa
dari putih telor atau dari streptokokus) , disini digunakan avidin dari streptokokus
disebut streptosidin dan label dengan enzim Horse Radice Peroxidase (HRP) ( Astawa,
2010; Anonim, 2010).
2.9 Polymerase Chain Reaction (PCR)
Komponen yang diperlukan pada pemeriksaan PCR adalah: DNA templet, Premer,
dNTP, dan tag polimerase. Premer digunakan untuk membatasi daerah pada DNA yang mau
diamplifikasi, kemudian DNA yang double strain di denaturasi (dilonggarkan) pada suhu
950C, kemudian dilakukan annealing (menempelkan premer ke templet DNA) pada suhu 55650C atau tergantung melting tempratur premer dimana suhu annealing sedikit di bawah
suhu melting tempratur premer, setelah nempel dilakukan polimerasi dengan menambahkan
dNTP dan diektensi ( dipanjangkan ) pada suhu 720C sehingga didapatkan 2 double strain
pada satu siklus PCR . PCR diulang 30 silkus . adapun total amplifikasi DNA adalah 2n .
Pada saat PCR kita melihat DNA bening selanjutnya dicampur dengan loading dye untuk
pemurnian, fungsinya memberatkan DNA dan sejauh mana dia sudah bergerak dalam gel.
DNA bermuatan (-) pada saat ranning dijalankan dipakai etidium bromide yang berikatan
dengan DNA supaya DNA dapat dilihat berwarna putih di bawah sinar ultraviolet kemudian
di foto (Setianingsih, 2010).
64
Dari landasan teori di atas dapat dibuat kerangka berpikir sebagai berikut :
Gen :
sry
sf1
wt1
sox9
gata4
hoxa10
insl3
Hormon:
GnRH
FSH
LH
hCG
T.Intra abdominal
CSL
GFN &
CGRP
Testis di
Abdominal
AMH
Sel Sertoli
Sel Leydig
Hormon :
INSL3
Testosteron
Gambar 3.1
Gubernakulum
Gen lgr8
Testis di
Inguinal
Reseptor LGR8
Testis di
Skrotum
Kerangka berpikir
64
65
3.2
Konsep Penelitian
Berdasarkan kajian pustaka dan permasalahan yang dihadapi, maka disusun
suatu kerangka konsep penelitian seperti gambar di bawah ini: polimorfisme gen lnsl3,
polimorfisme gen lgr8, kadar hormon INSL3 plasma yang rendah dan kadar hormon
estradiol plasma yang tinggi merupakan faktor risiko terjadinya kriptorkismus. Variabel
yang pengaruhnya dianggap sama pada kelompok kontrol dan kasus adalah: Kadar
hormon
testosteron,
AMH
dan
tekanan
intraabdominal.
Hormon
testosteron
menyebabkan regresi gubernakulum, kadarnya dianggap normal dan sama antara kasus
dan kontrol karena kelainan penis ( hipospadia, kordae, mikropenis) di ekslusi.
Usia
Pertumbuhan
gubernakulum
Regresi
gubernakulum
T.intra abd
AMH
Kriptorkismus
Reseptor LGR8
Hormon INSL3
Hormon estradiol
Hormon testosteron,
GFN & CGRP
66
3.3
Hipotesis Penelitian
1. Adanya frekuensi polimorfisme ( exon 1, exon 2 ) gen insl3, frekuensi
polimorfisme ( exon 8, exon 12, exon 13 ) gen lgr8 pada anak laki-laki yang
kriptorkismus.
2. Polimorfisme ( exon 1, exon 2 ) gen insl3 merupakan faktor risiko kejadian
kriptorkismus pada anak laki-laki.
3. Polimorfisme ( exon 8, exon 12, exon 13 ) gen lgr8 merupakan faktor risiko
kejadian kriptorkismus pada anak laki-laki.
4. Kadar hormon INSL3 plasma yang rendah merupakan faktor risiko kejadian
kriptorkismus pada anak laki-laki.
5. Kadar hormon estradiol plasma yang tinggi merupakan faktor risiko kejadian
kriptorkismus pada anak laki-laki.
67
Retrospektif
Kasus
Populasi
FR +
FR FR +
FR -
Kontrol
Gambar 4.1 Bagan rancangan penelitian observasional dengan case control study
Catatan :
Populasi: anak laki-laki usia 0-18 tahun.
Kasus : anak laki-laki dengan Kriptorkismus positip (testis tidak ada di skrotum).
Kontrol : anak laki-laki dengan Kriptorkismus negatip ( testis ada di skrotum ).
FR + : polimorfisme (exon 1, exon 2) gen insl3, polimorfisme (exon 8, exon 12, exon 13)
gen lgr8, hormon INSL3 plasma rendah, hormon estradiol plasma tinggi.
FR - : gen insl3 normal, gen lgr8 normal, hormon INSL3 plasma normal,
hormon estradiol plasma normal.
67
68
69
2(Z + Z ) P ( 1 P )
= -------------------------------(P0 Pt)
Keterangan :
n
Z = 1,96 ( = 0,05 )
Z = 1,28 ( = 0,1 kekuatan = 90% )
P0 = 0,024 ( Proporsi efek possitif pada kelompok kontrol )
Pt = 0,03 ( Proporsi efek positif pada kelompok kasus )
R0 = 1,25
P = ( Po + P1 ) /2
P = Prevalensi kriptorkismus
(1-p) = Prevalensi non kriptorkismus
Dari perhitungan rumus di atas didapatkan besar sampel masing-masing kelompok adalah
28,37
dibulatkan menjadi
29.
58
laki dengan kriptorkismus dan 29 anak laki-laki sehat. Drop out biasanya kecil karena
Case Control Study tapi tetap diperhitungkan 5-10%, jadi kasus setelah diperhitungkan drop
out jadinya 31 anak laki-laki kriptorkismus dan 31 anak laki-laki sehat.
4.3.6 Cara pemilihan sampel
Dari populasi terjangkau penelitian ini diambil sampel kasus secara consecutive
sampling dari catatan rekam medis anak laki-laki usia 0-18 tahun yang menderita
kriptorkismus, kemudian diperiksa ulang oleh dokter spesialis anak konsultan endokrin
70
sesuai kriteria inklusi dan ekslusi setelah menandatangani informed consent jadilah kasus
(sebanyak 31 kasus), kemudian masing-masing kasus dicarikan kontrol pada anak sehat
yang tidak menderita kriptorkismus setelah diperiksa oleh dokter spesialis anak konsultan
endokrin di Poliklinik anak RSUD Wangaya, RSUP Sanglah, RB Permata Hati yang di
matching pada usia anak dalam tahun dan usia kehamilan (lahir kurang bulan atau cukup
bulan), kontrol diambil sebanyak 31 orang. Pada kasus dan kontrol diambil masing-masing
contoh darah vena sebanyak 6 ml.
4.4
Variabel Penelitian
b. Variabel antara
71
72
7. Kordae: ialah lipatan kulit yang terbentang antara ventral penis dengan skrotum
(Hughes, 2009).
8. Mikropenis: ialah panjang penis (dari pangkal ke ujung gland) dengan ditarik lebih
besar dari 2,5 standar deviasi (SD) di bawah panjang rata-rata sesuai usia atau 1,9 cm
ke bawah pada neonatus sampai bayi usia 5 bulan atau panjang penis maksimal 2,5
cm dengan ditarik (Hughes, 2009)
9. Kadar hormon estradiol plasma yang tinggi: ialah kadar hormon estradiol serum
diukur secara ELISA dengan satuan ng/ml, lebih besar dari nilai optimum kurva ROC
10.Kadar hormon INSL3 plasma yang rendah: ialah kadar hormon INSL3 serum yang
diukur secara ELISA dengan satuan ng/ml lebih kecil dari nilai optimum kurva ROC.
11. Polymerase chain reaction (PCR) : ialah merupakan teknik amplifikasi DNA
spesifik secara invitro yang terdiri dari 3 tahap: denaturasi, anneling, polimerasi.
12. Sequenzing: ialah proses pemisahan template DNA menggunakan DNA polymerase
primer, dNTP, dan ddNTP untuk menemukan mutasi atau polimorfisme gen.
13. Polimorfisme: merupakan variasi genetik dari lokus (lokasi gen pada kromosom)
baik dalam ukuran besar maupun dalam jumlah allel yang dipunyai atau variasi
dalam urutan basa pada DNA dan berulang lebih dari 1% pada populasi. Variasi
ini bisa dalam bentuk SNPs, mikrosatelit, minisatelit maupun delesi, duplikasi dan
insersi pada lokus yang tidak diulang (Kingston, 1997; Jorde dkk, 2006; Hartwell
dkk, 2008).
73
74
4. ELISA: ialah metode yang digunakan untuk mengukur kadar hormon estradiol dan kadar
hormon INSL3 dalam serum.
5. Primer: ialah susunan nukleotida yang dipakai untuk membatasi bagian yang mau di
amplifikasikan atau mau dibaca.
75
bias
dilakukan kriteria inklusi dan kriteria eksklusi, kemudian diberikan informed concent
didapatlah kasus anak yang kriptorkismus, kumudian dicarikan kontrol anak sehat yang
diambilkan dari rumah sakit yang menjadi sampel (lihat bagan alur penelitian), untuk
mengurangi selection bias atau confounding bias antara kasus dan kontrol dilakukan
matching pada dua variabel yaitu usia anak dalam tahun dan usia kehamilan ( lahir
kurang bulan dan lahir cukup bulan) antara kasus dan kontrol perbandingannya 1:1.
Untuk lebih jelasnya bisa dilihat pada bagan alur penelitian sebagai berikut:
76
Populasi target
Populasi terjangkau
*RB.Permata Hati
K.Inklusi
*Kriptorkismus
*Berpartisipasi
K.Eksklusi
*Hipospadia
*Kordae
*Mikropenis
Intended sample
Informed consent
Matching
*Usia anak laki-laki
*Usia kehamilan
Kasus
Anak laki-laki
kriptorkismus
Kontrol
Anak laki-laki sehat
Laporan
77
selanjutnya
diambil darah vena sebanyak 6 ml oleh petugas Laboratorium Prodia yang sudah terlatih
dan kemudian sampel darah diperlakukan sama seperti sampel darah kasus. Proses ini
dilakukan sama pada semua kasus dan kontrol sampai jumlahnya cukup.
78
79
sampel dianggap cukup sampel DNA diamplifikasi untuk memperbanyak dengan PCR
yang sudah ditambahkan primer untuk exon masing-masing, setelah itu masing-masing
exon 1, exon 2 gen insl3 dipurifikasi, begitu juga exon 8, exon 12 dan exon 13 gen lgr8
dipurifikasi, kemudian hasil purifikasi baru dikirim.
4.7.6 Cara pengiriman sampel
Sampel exon 1, exon 2 gen insl3 dan sampel exon 8, exon 12, exon 13 gen lgr8
yang sudah dipurifikasi di Laboratorium Biomolekuler FK UNUD bila jumlahnya sudah
cukup dimasukkan ke dalam box plastik kemudian dikirim ( dibawa langsung oleh petugas
laboratorium yang ditunjuk) ke Lembaga Eijkman Jakarta pada suhu 40C untuk dilakukan
pemeriksaan sequenzing . Sedangkan sampel serum yang sudah disimpan pada suhu -800C
dan dibagi-bagi ke dalam tube, yang dimasukkan dalam plastik setelah jumlah sampel
cukup dikirim ke Laboratorium Kedokteran Hewan UNUD untuk pemeriksaan hormon
INSL3 dan hormon estradiol secara ELISA.
DNA
simpan
kirim ke Eijkman
sequenzing
-800C
6 ml darah vena
3 ml
sentrifuge 40C
serum
simpan
-800C
(tanpa antikoagulan)
estradiol
simpan
-80 0C
periksa
hormon INSL3
periksa
hormon estradiol
80
akan
berwarna
biru
pekat.
Tingkat
kepekatan
warna
dibaca
dengan
spectrophotometer. dipakai EIA Kit (Enzym immune antibody) dan memakai enzim kinetik
Y merupakan kemampuan enzim untuk mengubah senyawa tertentu dalam kurun waktu
tertentu. Enzim ditambah substrat dibaca dengan spectrophotometer setiap 30 detik selama
5 menit OD awal dan akhir ditentukan 1 sampai 0,4 seperti SGOT,SGPT disebut metode
kinetic. EIA Kit yang dipakai 405 sedangkan untuk enzim pakai 340(Astawa, 2010;
Phoenix Pharmaceuticals, 2010).
81
logistic,
kalau
pakai
linier
logistic
yang
sering
dipakai
82
masing-masing secara bergantian untuk exon 1 gen insl3, exon 2 gen insl3, exon 8 gen lgr8,
exon 12,13 gen lgr8 + dNTP + tag polymerase, kemudian DNA yang double strain di
denaturasi (dilonggarkan) pada suhu 950C, kemudian dilakukan annealing (menempelkan
primer ke template DNA) pada suhu 55-650C atau tergantung melting tempratur primer,
setelah menempel dilakukan polimerasi dengan menambahkan dNTP dan diektensi
(dipanjangkan ) pada suhu 720C sehingga didapatkan 2 double strain pada satu siklus PCR .
PCR diulang 30 silkus .
dilakukan running dan ditambahkan etidium bromide yang berikatan dengan DNA dan DNA
digerakkan pada gel algarose di bawah sinar ultraviolet kemudian di foto, DNA kelihatan
83
seperti bayangan putih, kemudian hasil PCR dipurifikasi (dimurnikan) kemudian baru
dikirim ke Lembaga Eijkman Jakarta untuk dilakukan sequenzing.
4.7.10.2.Skuenzing exon 1 gen insl3, exon 2 gen insl3, exon 8 gen lgr8, exon 12,13 gen lgr8
Secara bergantian kedalam mesin skuenzing masing-masing sampel dari purifikasi
hasil PCR xon 1 gen insl3, exon 2 gen insl3, exon 8 gen lgr8, exon 12,13 gen lgr8 pada
masing-masing kasus dan kontrol + DNA polymerase + primer untuk exon 1 gen insl3,
exon 2 gen insl3, exon 8 gen lgr8, exon 12,13 gen lgr8 secara bergantian + dNTP + ddNTP
kemudian keluar berupa grafik susunan nukletida selanjutnya dibandingkan dengan susunan
nukleotida bentuk normal dari exon 1 gen insl3, exon 2 gen insl3, exon 8 gen lgr8, exon 12
dan exon 13 gen lgr8, kemudian dianalisis adanya polimorfisme atau adanya mutasi.
84
H0 : 1
2 ,
Ha : 1
>
1 = Polimorfisme (exon 1, exon 2) gen insl3, polimorfisme (exon 8, exon 12, exon 13)
gen lgr8, hormon INSL3 plasma rendah, hormon estradiol plasma tinggi.
85
2 = gen insl3 normal, gen lgr8 normal, hormon INSL3 plasma normal,
hormon estradiol plasma rendah
86
sebagai kontrol, setiap kasus dan kontrol dimatching berdasarkan usianya dalam tahun.
Tabel 5.1
Karakteristik Subyek Penelitian Kelompok Kasus dan Kelompok Kontrol
Karakteristik
Usia (tahun)
Berat badan lahir (gram)
Panjang badan lahir (cm)
Umur kehamilan cukup umur
Cara persalinan:
- Spontan
- Secsio sercario
- Vakum ekstraksi
Panjang penis (cm)
Volume testis kanan (ml)
Volume testis kiri (ml)
Kelompok kasus
( n = 31 )
RerataSB/Frekuensi
43
3142,90 619,90
49,52 2,20
31
Kelompok kontrol
( n = 31 )
Rerata SB/Frekuensi
43
3206,45 331,60
50,13 1,28
31
15
15
1
4,23 0,56
2,08 0,67
1,80 0,49
19
12
0
4,65 0,76
2,35 0,61
2,37 0,61
Nilai-p
0,92
0,62
0,19
0,02
0,12
0,001
Tabel 5.2
Jenis dan Lokasi Kriptorkismus pada Kelompok Kasus
Jenis Kriptorkismus
Bilateral
Kanan
Lokasi kriptorkismus
Intraabdominal
Inguinal
Preskrotal
Total
3
1
1
5 (16,13%)
4
4
2
10 (32,26%)
86
Kiri
Total
6
8
2
16 (51,61%)
13 (41,94%)
13 (41,94%)
5 (16,12%)
31 (100%)
87
Semua sampel yang digunakan baik pada kasus maupun pada kontrol tidak menderita
sindrom dan tidak mengalami mikropenis, bentuk penis normal tidak ada kordae dan hipospadia
dan pada penelitian ini anak kriptorkismus yang dipakai kasus usianya 6 bulan ke atas.
Tabel 5.3
Frekuensi Polimorfisme Gen insl3, Gen lgr8 pada Kelompok Kasus dan Kontrol
Gen
Exon
Polimorfisme
Kasus (%)
(n=31)
Kontrol (%)
(n=31)
insl3
Exon 1
M1M
A9A
L42L
L42P
V43M
T60T
T60A
1(3,23%)
6(19,36%)
1(3,23%)
1(3,23%)
1(3,23%)
16(51,61%)
8(25,81%)
0(0%)
2(6,45%)
0(0%)
0(0%)
0(0%)
5(16,13%)
15(48,39%)
Exon 2
R73R
C115W
C116C
Kdn stp140kdn stp
G144G
E146E
Q157Q
A166D
1(3,23%)
1(3,23%)
1(3,23%)
1(3,23%)
1(3,23%)
3(9,68%)
1(3,23%)
1(3,23%)
0(0%)
0(0%)
0(0%)
0(0%)
0(0%)
0(0%)
0(0%)
0(0%)
Exon 8
Kdn stp223M
1(3,23%)
0(0%)
Exon 12
N315N
E319E
L331L
2(6,45%)
31(100%)
15(48,39%)
0(0%)
23(74,19%)
6(19,36%)
Exon 13
S337A
P340P
L344L
H345P
K346K
Q348Q
Q354K
Q356P
S357S
S357C
17(54,84%)
13(41,94%)
1(3,23%)
19(61,29%)
28(90,32%)
1(3,23%)
5(16,13%)
9(29,03%)
15(48,39%)
1(3,23%)
0(0%)
8(25,81%)
0(0%)
9(29,03%)
21(67,74%)
0(0%)
0(0%)
0(0%)
0(0%)
0(0%)
lgr8
88
451 bp
89
Wild type
280
Wild type
290
300
AGGAGGCCTGCGACCGGAGGCGAC
Polimorfime T60T A G G A G G C C T G C G N C C G G A G G C G A C
Polimorfisme ACCNCC
Gambar 5.2 Sequenzing exon 1 gen insl3 wild type dan polimorfisme T60T (ACCNCC)
Dari hasil sequencing ditemukan polimorfisme exon 1 pada: ATGNTG (M1M) pada
kasus no 14, GCGGCN/GCA (A9A) pada kasus no: 2, 3, 7, 8, 9, 20, dan juga ditemukan pada
kontrol no: 2, 17, CTACTN (L42L) pada kasus no: 19, CTACNN (L42P) pada kasus no: 29,
GTGNNG (V43M) pada kasus no: 29. Polimorfisme ACCNCC (T60T) pada kasus no: 3, 4,
5, 6, 9, 13, 15, 16, 19, 20, 21, 22, 23, 25, 28, 30 dan juga ditemukan pada kontrol no: 20, 21, 23,
25, 28. Polimorfisme ACCGCC (T60A) pada kasus no: 2, 7, 8, 10, 11, 12, 17, 24, dan juga
ditemukan pada kontrol no: 1, 2, 4, 7, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 24, 26, 27. Hubungan
polimorfisme exon 1 dengan kriptorkismus dapat dilihat pada tabel 5.4, gambar 5.3.
90
Tabel 5.4
Hubungan antara Frekuensi Polimorfisme Exon 1 Gen insl3 dan Kejadian Kriptorkismus
pada Anak Laki-laki
Polim Exon 1
Kasus
(n=31)
Positip
ATGNTG
(M1M)
Kontrol
GCGGCN/GCA
(A9A)
Kontrol
CTACTN
(L42L)
Kontrol
CTACNN
(L42P)
Kontrol
GTGNNG
(V43M)
Kontrol
ACCNCC
(T60T)
Kontrol
ACCGCC
(T60A)
Kontrol
(n=31)
Total
(n=31)
Total
(n=31)
Total
(n=31)
Total
(n=31)
Total
(n=31)
Total
(n=31)
Total
Total
Statistik
Negatip
Positip
Negatip
0(0%)
1(3,23%)
1(3,23%)
0(0%)
0(0%)
0
0(0%)
1
1
Tidak dianalisis
Positip
Negatip
1(3,23%)
5(16,13%)
6(19,36%)
1(3,23%)
0(0%)
1
2(6,45%)
5
7
Nilai-p: 0,22
Odds ratio: 5,0
95%CI: 0,56 - 236,45
Positip
Negatip
0(0%)
1(3,23%)
1(3,23%)
0(0%)
0(0%)
0
0(0%)
1
1
Tidak dianalisis
Positip
Negatip
0(0%)
1(3,23%)
1(3,23%)
0(0%)
0(0%)
0
0(0%)
1
1
Tidak dianalisis
Positip
Negatip
0(0%)
1(3,23%)
1(3,23%)
0(0%)
0(0%)
0
0(0%)
1
1
Tidak dianalisis
Positip
Negatip
5(16,13%)
11(35,48%)
16(51,61%)
0(0%)
0(0%0
0
5(16,13%)
11
16
Nilai-p: 0,001
Odds ratio: infinity
95%CI: 2,51 - infinity
Positip
Negatip
5(16,13%0
3(9,68%)
8(25,81%)
10(32,26%)
0
10
15(48,39%)
3
18
Nilai-p: 0,09
Odds ratio: 0,30
95%CI: 0,05 - 1,17
Dari tabel 5.4. polimorfisme M1M, L42L, L42P, V43M pada exon 1 tidak bisa dianalisis
secara statistik karena jumlahnya sangat sedikit tetapi polimorfisme ini hanya ditemukan pada
kasus. Frekuensi polimorfisme A9A (GCGGCN/GCA) exon 1 gen insl3 ditemukan lebih
banyak pada kelompok kasus dibandingkan kontrol (19,36% vs 6,45%) tetapi tidak berbeda
bermakna dengan nilai-p =0,22 (p>0,05) dan asam aminonya tidak berubah. Polimorfisme T60A
(ACCGCC) exon 1 ditemukan frekuensinya lebih banyak pada kelompok anak sehat (25,81%
vs 48,39%) tetapi tidak berbeda secara bermakna dengan nilai-p=0,09 (p > 0,05) dan asam amino
91
no 60 berubah dari treonin menjadi alanin. Frekuensi polimorfisme T60T (ACCNCC) exon 1
gen insl3 lebih banyak ditemukan pada kasus dibanding kontrol (51,61% vs 16,13% ) dan
berbeda bermakna (nilai-p= 0,001(p< 0,05) , Odds ratio= tak terhingga,
95% Convident
92
sebanyak 30 siklus dan terakhir final ekstensi dengan suhu 720C selama 7 menit dan 1 siklus.
Adapun campuran yang digunakan adalah master mix PCR 15l, H2O 9,6l, primer exon 2F
1,8l, primer exon 2R 1,8l, DNA template 1,8l dan jumlah keseluruhan 30l. Sedangkan
untuk proses sequencing menggunakan primer forward (2F): tgcatgcatgagtgtttggtggg, karena
exon 2 gen insl3 panjang ada beberapa hasil sequencing yang kurang baik dan diulang dengan
menggunakan primer reverse (2R): gtgagcacccatcccaggaggtaatc.
455bp
340
Wild type
GGCCCAGAGGGTCTGGTC
Polimorfisme E146E
GGCCCANAGGGTCTGGTC
Polimorfisme GAGNAG
Gambar 5.5 Sequenzing exon 2 gen insl3 wild type dan polimorfisme E146E(GAGNAG)
93
Dari hasil sequencing ditemukan polimorfisme exon 2 pada: CGACNA (R73R) pada
kasus no: 13, TGCTGG (C115W) dan TGCTNGC (C116C) pada kasus no: 16,
AGAANA (kodon stop140kodon stop), GGCNGC (G144G) pada kasus no: 31,
GAGNAG (E146E) pada kasus no: 26, 29, 31, CAGCAN(Q157Q) kasus no: 29 dan
GCCGCA (A166D) pada kasus no: 14.
Tabel 5.5
Hubungan antara Frekuensi Polimorfisme Exon 2 Gen insl3 dan Kejadian Kriptorkismus
pada Anak Laki-laki
Polimorfisme exon 2
Kasus (n=31)
Kontrol (n=31)
Statistik
CGACNA(R73R)
1 (3,23%)
Tidak dianalisis
TGCTGG(C115W)
1 (3,23%)
Tidak dianalisis
TGCTNGC(C116C)
1 (3,23%)
Tidak dianalisis
AGAANA(kdstp140kdstp)
1 (3,23%)
Tidak dianalisis
GGCNGC(G144G)
1 (3,23%)
Tidak dianalisis
GAGNAG(E146E)
3 (9,68%)
Tidak dianalisis
CAGCAN(Q157Q)
1 (3,23%)
Tidak dianalisis
GCCGAC(A166D)
1 (3,23%)
Tidak dianalisis
Dari tabel 5.5 polimorfisme R73R, C115W, C116C, kodon stop140kodon stop, G144G,
E146E, Q157Q, A166D dari exon 2 gen insl3 tidak bisa dianalisis secara statistik karena
jumlahnya sangat sedikit, tetapi polimorfisme ini hanya ditemukan pada kasus sedangkan pada
kontrol tidak ditemukan polimorfisme. Dari polimorfisme ini ada 2 perubahan asam amino
C115W ( sistein no 115 menjadi triptopan) dan A166D (alanin no 166 menjadi aspartat).
94
229bp
95
Wild type
70
80
90
Wild type
AATCCAATAACCAGAATTTCACAG
Polimorfisme
AATCCAATAACCANAATTTCACAG
kdstp223M
Polimorfisme AGAANA
Gambar 5.7Sequenzing exon 8 gen lgr8 wild type dan polimorfisme kdstp223M(AGAANA)
96
sequencing yang exon 13 rusak atau tidak bisa untuk dibaca sequencing diulang dengan
menggunakan primer reverse (12-13R): ctgaaatgcatgctcctgtg.
439bp
Wild type
70
80
Wild type
TAACGGAACTATCA
Polimorfisme E319E
TAACGGAGCTATCA
Polimorfisme GAAGAG
Wild type
100
Wild type
110
AAGCTTCTACAAAA
Polimorfisme L331L
AAGCTTCTGCAAAA
Polimorfisme CTACTG
Gambar 5.9 Sequenzing exon 12 gen lgr8 wild type dan polimorfisme
E319E(GAAGAG); L331L(CTACTG)
97
ATTANT
(N315N)
GAAGAN/
GAG (E319E)
CTACTN/
CTG (L331L)
Kasus
(n=31)
Kontrol
(n=31)
Total
Kontrol
(n=31)
Total
Kontrol
(n=31)
Total
Total
Statistik
Positip
Negatip
Positip
Negatip
0(0%)
2(6,45%)
2(6,45%)
0(0%)
0(0%)
0
0(0%)
2
2
Nilai-p: 0,50
Odds ratio: infinity
95%CI: 0,19-infinity
Positip
Negatip
23(74,19%)
8(25,81%)
31(100%)
0(0%)
0(0%)
0
23(74,19%)
8
31
Nilai-p: 0,008
Odds ratio: infinity
95%CI: 1,71-infinity
Positip
Negatip
5(16,13%)
10(32,26%)
15(48,39%)
1(3,23%)
0(0%0
1
6(19,36%)
10
16
Nilai-p: 0,012
Odds ratio: 10,0
95%CI: 1,43-433,98
Dari tabel 5.6 polimorfisme N315N (ATTANT) hanya ditemukan pada kasus tetapi
tidak berbeda bermakna nilai-p=0,50 (p>0,05) karena sangat sedikit.
Polimorfisme E319E
(GAAGAN/GAG) frekuensinya lebih banyak pada kasus (100% vs 74,19%) dengan nilai-p=
0,008 (p<0,05), Odds ratio= tak terhingga,
98
99
polimorfisme exon 12 dibaca bagian exon 12 dan untuk melihat polimorfisme exon 13 dibaca
bagian exon 13.
Dari hasil sequencing ditemukan polimorfisme exon 13 pada: TCAGCA (S337A)
ditemukan pada kasus no: 2, 3, 4, 5, 6, 8, 9, 10, 13, 16, 18, 20, 21, 22, 24, 25, 29, dan pada
kontrol tidak ditemukan. Polimorfisme CCTCCN/CCC (P340P) ditemukan pada kasus no: 3,
4, 7, 8, 9, 10, 14, 16, 18, 19, 26, 29, 31 dan juga ditemukan pada kontrol no: 1, 4, 6, 17, 18, 19,
23, 31 . Polimorfisme CTTCTN (L344L) ditemukan pada kasus no: 1. Polimorfisme
CACCCC (H345P) ditemukan pada kasus no: 2, 3, 4, 5, 6, 8, 9, 10, 13, 14, 16, 18, 20, 21, 22,
24, 25, 29, 31 dan juga ditemukan pada kontrol no: 1, 2, 3, 8, 9, 12, 20, 27, 30. Polimorfisme
AAGAAN/AAA (K346K) ditemukan pada kasus no: 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 13, 14, 15, 16,
17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 28, 29, 30, 31 dan juga ditemukan pada kontrol no: 1, 2, 3,
4, 6, 7, 8, 9, 10, 12, 13, 17, 18, 19, 20, 22, 23, 27, 28, 30, 31. Polimorfisme CAGCAN
(Q348Q) hanya ditemukan pada kasus
7, 14, 19, 26, 31. Polimorfisme CAGCCG (Q356P) ditemukan pada kasus no: 4, 10, 13, 16,
18, 20, 22, 24, 25. Sedangkan polimorfisme TCTTCC (S357S) ditemukan pada kasus no: 2, 3,
4,6, 8, 9, 10, 13, 18, 20, 21, 22, 24, 25, 29 dan polimorfisme TCTTNT (S357C) ditemukan
pada kasus no: 11 .Hubungan polimorfisme exon 13 dengan kriptorkismus dapat dilihat pada
tabel 5.7 dan gambar 5.11
Dari tabel 5.7
(TCTTNT) exon 13 gen Lgr8 tidak bisa dilakukan analisis statistik karena jumlahnya sangat
sedikit, tetapi polimorfisme ini hanya ditemukan pada kelompok kasus dan tidak ditemukan pada
kontrol. Polimorfisme S357C terjadi perubahan asam amino no 357 dari serin menjadi sistein.
Polimorfisme P340P(CCTCCN/CCC)
100
dengan kontrol tetapi tidak berbeda secara bermakna dengan nilai-p =0,27 (p > 0,05) dan asam
amino no 340 tetap prolin. Polimorfisme S337A (TCAGCA),
polimorfisme Q354K
dengan nilai-p: 0,004(p<0,05), Odds ratio= tidak terhingga, 95% Convident interval= 1,97- tidak
terhingga. Polimorfisme S357S (TCTTCC) tidak terjadi perubahan asam amino no 357 asam
aminonya tetap serin hanya susunan kodon dari asam amino serin yang berubah dari
TCTTCC, tetapi polimorfisme ini berbeda secara bermakna antara kasus dan kontrol dengan
nilai-p= <0,001(p<0,05), Odds ratio= tidak terhingga, 95% Convident interval= 3,59- tidak
terhingga.
Pada tabel 5.7 frekuensi polimorfisme H345P (CACCCC) exon 13 gen lgr8 lebih
banyak ditemukan pada kasus dibandingkan kontrol (61,29% vs 29,03%) dengan nilai-p=
0,03(p<0,05), Odds ratio= 3,5 dan 95% Convident interval= 1,10 14,60. Frekuensi
polimorfisme K346K (AAGAAN/AAA) lebih banyak ditemukan pada kasus dibandingkan
dengan kontrol (90,32% vs 67,74%) dengan nilai-p = 0,07(p>0,05) dan polimorfisme ini asam
aminonya tetap lisin hanya berubah susunan kodon dari asam amino lisin (AAGAAN/AAA).
Wild type
230
Wild type
240
GAACCTGTCATCCAA
101
Polimorfisme S337A
GAACCTGGCATCCAA
Polimorfisme TCAGCA
Wild type
250
260
Wild type
TATGTATCTTCACAA
Polimorfisme H345P
TATGTATCTTCCCAA
Polimorfisme CACCCC
Gambar 5.11 Sequenzing exon 13 gen lgr8 wild type dan polimorfisme
S337A(TCAGCA); H345P(CACCCC)
Wild type
290
300
Wild type
ACTTCAGTCTCTGTA
ACTTCCGTCCCTGTA
Polimorfisme CAGCCG
Polimorfisme TCTTCC
Gambar 5.12 Sequenzing exon 13 gen lgr8 wild type dan polimorfisme
Q356P(CAGCCG); S357S(TCTTCC)
102
Tabel 5.7
Hubungan antara Frekuensi Polimorfisme Exon 13 Gen lgr8 dan Kejadian Kriptorkismus
pada Anak Laki-laki
Polim Exon 13
Kasus (n=31)
TCAGCA
(S337A)
Kontrol
CCTCCN/
CCC (P340P)
Kontrol
CTTCTN
(L344L)
CACCCC
(H345P)
(n=31)
Total
(n=31)
Total
Kontrol
(n=31)
Total
Kontrol
(n=31)
Total
AAGAAN/ Kontrol
AAA (K346K) (n=31)
CAAAAA
(Q354K)
CAGCCG
(Q356P)
TCTTCC
(S357S)
TCTTNT
(S357C)
Kontrol
(n=31)
Total
Kontrol
(n=31)
Total
Kontrol
(n=31)
Total
Kontrol
(n=31)
Total
Kontrol
(n=31)
Total
Statistik
Positip
Negatip
Positip
Negatip
0(0%)
17(54,84%)
17(54,84%)
0(0%)
0(0%)
0
0(0%)
17
17
Nilai-p: <0,001
Odds ratio: infinity
95%CI: 4,13-infinity
Positip
Negatip
4(12,90%)
9(29,03%)
13(41,94%)
4(12,90%)
0(0%)
4
8(25,81%)
9
17
Nilai-p: 0,27
Odds ratio: 2,25
95%CI: 0,63-10,0
Positip
Negatip
0(0%)
1(3,23%)
1(3,23%)
0(0%)
0(0%)
0
0(0%)
1
1
Tidak dianalisis
Positip
Negatip
5(16,13%)
14(45,16%)
19(61,29%)
4(12,90%)
0(0%)
4
9(29,03%)
14
23
Nilai-p: 0,03
Odds ratio: 3,5
95%CI: 1,10-14,60
Positip
Negatip
19(61,29%)
9(29,03%)
28(90,32%0
2(6,45%)
0(0%)
2
21(67,74%0
9
30
Nilai-p: 0,07
Odds ratio: 4,5
95%CI: 0,93-42,80
Positip
Negatip
0(0%)
1(3,23%)
1(3,23%)
0(0%)
0(0%)
0
0(0%)
1
1
Tidak dianalisis
Positip
Negatip
0(0%)
5(16,13%)
5(16,13%)
0(0%)
0(0%)
0
0(0%)
5
5
Nilai-p: 0,06
Odds ratio: infinity
95%CI: 0,92-infinity
Positip
Negatip
0(0%)
9(29,03%)
9(29,03%)
0(0%)
0(0%)
0
0(0%)
9
9
Nilai-P: 0,004
Odds ratio: infinity
95%CI: 1,97-infinity
Positip
Negatip
0(0%)
15(48,39%
15(48,39%)
0(o%)
0(0%)
0
0(0%)
15
15
Positip
Negatip
0(0%)
1(3,23%)
1(3,23%)
0(0%)
0(0%)
0
0(0%)
1
1
Tidak dianalisis
Total
CAGCAN
(Q348Q)
Total
103
Gambar 5.13 Frekuensi Polimorfisme Exon 13 Gen lgr8 (S337A, H345P, Q356P, S357S)
S337A: Nilai-p=< 0,001; Odds ratio= tidak terhingga; 95% Convident interval=4,13 - tidak terhingga
H345P: Nilai-p=0,03; Odds ratio= 3,5; 95% Convident interval= 1,10 14,6
Q356P: Nilai-p= 0,004; Odds ratio= tidak terhingga; 95% Convident interval= 1,97 tidak terhingga
S357S: Nilai-p= <0,001; Odds ratio= tidak terhingga; 95% Convident interval: 3,59 tidak terhingga
Jadi polimorfisme exon 13 gen lgr8 yang diwakili oleh polimorfisme S337A, H345P,
Q356P berbeda secara bermakna dan terjadi perubahan asam amino. Polimorfisme S357S tidak
terjadi perubahan asam amino hanya perubahan basa dalam kodon asam amino serin.
104
Kasus
(n=31)
Kontrol
(n=31)
Nilai-p
0,40 0,24
0,91 0,46
< 0,001
Dari tabel 5.8.1 ditemukan rerata kadar hormon INSL3 plasma pada kasus 0,40 0,24
ng/ml dan pada kontrol 0,91 0,46 ng/ml. Jadi rerata kadar hormon INSL3 plasma lebih rendah
bermakna pada kasus dibandingkan dengan kontrol (Nilai-p = <0,001 ( p < 0,05); 95%
Convident interval= -0,72 - 0.31).
Tabel 5.8.2
Beda Frekuensi Kadar Hormon INSL3 Plasma yang Rendah antara Kasus dan Kontrol pada Anak
Laki-laki
Sampel
Nilai-p
Kasus(%)
(n=31)
Kontrol(%)
(n=31)
Rendah
18(58,06%)
3(9,68%)
Normal
13(41,94%)
28(90,32%)
Odds
95%CI
ratio
<0,001
12,92
3,23 51,78
Nilai batas optimum untuk diagnosis kriptorkismus (< 0,42 ng/ml, kurva ROC ) kadar
hormon INSL3 plasma yang rendah lebih banyak ditemukan pada kasus dibandingkan dengan
kontrol (58,06% vs 9,68%) dengan nilai-p= <0,001. Kadar hormon INSL3 plasma yang rendah
berisiko 12,92
105
ROC Curve
1.0
Sensitivity
0.8
0.6
0.4
0.2
0.0
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
1 - Specificity
Diagonal segments are produced by ties.
Kasus
(n=31)
Kontrol
(n=31)
Nilai-p
17,08
16,05
9,55
4,92
0,02
Dari tabel 5.9.1 rerata kadar hormon estradiol plasma pada kasus 17,08 16,05 ng/ml
dan rerata kadar hormon estradiol plasma pada kontrol 9,55 4,92 ng/ml. Jadi rerata kadar
hormon estradiol plasma pada kasus lebih tinggi bermakna dibandingkan dengan kontrol (Nilai-p
= 0,02 ( p < 0,05); 95% Convident interval= 1,16 13,90).
106
Tabel 5.9.2
Beda Frekuensi Kadar Hormon Estradiol Plasma yang Tinggi antara Kasus dan Kontrol pada
Anak Laki-laki
Sampel
Nilai-p
Kasus(%)
(n=31)
Kontrol(%)
(n=31)
Tinggi
25(80,64%)
9(29,03%)
Normal
6(19,36%)
22(70,97%)
Odds
95%CI
Ratio
<0,001
10,19
3,13 33,19
Nilai batas optimum untuk diagnosis kriptorkismus ( > 10,22 ng/ml, Kurva ROC ) kadar
hormon estradiol plasma yang tinggi lebih banyak ditemukan pada kasus dibandingkan kontrol
(80,64% vs 29,03%) dengan nilai-p= <0,001.
ROC Curve
1.0
Sensitivity
0.8
0.6
0.4
0.2
0.0
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
1 - Specificity
Diagonal segments are produced by ties.
107
BAB VI PEMBAHASAN
Kriptorkismus merupakan kondisi patologi berupa kegagalan testis turun ke dalam
skrotum, kadang-kadang karena kriptorkismus terjadi atropi tubulus semineferus dan lokasi testis
pada kriptorkismus dapat berada di canalis inguinalis, daerah preskrotal atau daerah abdomen
(Moretti dkk., 2007; Hutson, 2007). Menurunnya testis terjadi selama kehidupan fetus, maka
insiden dari kriptorkismus tergantung dari usia kehamilan dari bayi tersebut, bayi laki-laki yang
prematur yang mempunyai testis yang tidak turun dapat mencapai 30% dan insiden ini menurun
menjadi 3 sampai 5% pada bayi yang lahir cukup bulan. Penurunan testis akan terus berlangsung
pada beberapa pasien selama satu tahun kehidupannya, yang mana pada usia satu tahun insiden
kriptorkismus adalah 0,8%. Penurunan testis pada bayi setelah lahir kebanyakan terjadi karena
pengaruh hormon testosteron neonatus dalam usia 3 bulan pertama. Walaupun sebelumnya testis
dapat turun sampai usia satu tahun setelah lahir, kebanyakan testis akan turun secara spontan
dalam 3 bulan pertama kelahiran (Kaefer, 2004). Sampai usia satu tahun, secara histologi testis
yang belum turun ke skrotum masih normal, termasuk masih normalnya populasi sel interstitial
dan sel germinal. Pada usia 18 bulan kedua sel tadi dengan mikroskop elektron mengalami
perubahan histologi berupa kerusakan populasi sel germinal. Keadaan yang sama juga terjadi
pada usia 2 tahun pada testis kontralateral yang tidak turun. Secara klinis pada kriptorkismus
terjadi penurunan fertilitas, setelah orkidopeksi penurunan fertilitas terjadi 50 sampai 70 % pada
kriptorkismus unilateral dan 75% pada kriptorkismus bilateral (Kaefer, 2004). Menurut Bajpai &
Menon (2008) secara histologi sel germinal sudah mengalami kerusakan pada kriptorkismus
mulai anak usia 6-12 bulan bila testis tidak masuk ke dalam skrotum. Kerusakan yang terjadi
berupa lambatnya maturasi sel germinal, menurunnya jumlah sel germinal, tubulus seminiferus
mengalami hialinisasi dan menurunnya jamlah sel Leydig yang khusus. Main dkk (2006-b)
107
108
mengatakan pada kasus kriptorkismus volume testis akan mengecil, kadar semen dan inhibin B
yang rendah. Hormon testosteron dihasilkan oleh sel leydig testis mulai usia 9 minggu kehamilan
dan gangguan pada produksi maupun aktivitas hormon testosteron baik pada bayi dalam
kandungan setelah trimester pertama maupun pada masa bayi dan anak akan menyebabkan
ukuran penis kecil (Hughes, 2009). Penelitian ini
kelompok kriptorkismus lebih pendek dibandingkan kelompok anak yang sehat (4,23 0,56 cm
vs 4,65 0,76 cm) dan berbeda secara bermakna dengan nilai-p= 0,02 (p< 0,05). Rerata volume
testis kiri juga lebih kecil secara bermakna pada kelompok anak dengan kriptorkismus
dibandingkan dengan anak yang sehat (1,80 0,49 ml vs 2,37 0,61 ml ) dengan nilai-p= 0,001
(p<0,050). Hal ini mungkin disebabkan pada anak yang mengalami kriptorkismus sudah ada
sedikit kerusakan sehingga produksi hormon testosteron lebih rendah. Volume testis kiri lebih
kecil bermakna pada kriptorkismus kemungkinan karena 51,61% kriptorkismus kiri sedangkan
kriptorkismus kanan hanya 32,26%, karena yang kanan mungkin banyak turun spontan.
Pada penelitan ini prosentase kriptorkismus intraabdominal dan kriptorkismus inguinal
sama yaitu masing-masing 41,94%, prosentase kriptorkismus kanan lebih kecil dari
kriptorkismus kiri (32,26% vs 51,61%) dan kriptorkismus bilateral hanya 16,13%. Hasil ini
berbeda dengan yang ditemukan Kaefer (2004) bahwa kriptorkismus unilateral dua kali lebih
banyak dari kriptorkismus bilateral dan kriptorkismus kanan dua kali lebih banyak dari
kriptorkismus kiri. Bajpai & Menon (2008) menemukan bahwa 20% testis tidak teraba dan
kebanyakan letaknya di kiri. Pada penelitian ini anak kriptorkismus yang dipakai kasus berusia 6
bulan ke atas sedangkan 2/3 anak kriptorkismus bijinya akan turun spontan sebelum usia 6 bulan,
karena itu kemungkinan kriptorkismus inguinal kiri yang tinggi
sebelumnya adalah
intraabdominal kiri dan kriptorkismus inguinal kanan saat lahir setelah usia 6 bulan kebanyakan
109
sudah turun sehingga prosentase kriptorkismus intraabdominal dan inguinal sama yaitu 41,94%,
dan inguinal kiri lebih besar dari inguinal kanan. Terjadinya kriptorkismus intraabdominal
disebabkan karena adanya gangguan pada produksi maupun sifat dari hormon INSL3, diketahui
pada fase penurunan testis transabdominal terjadi pertumbuhan gubernakulum yang dipengaruhi
oleh hormon INSL3 dan terjadi juga regresi CSL yang dipengaruhi oleh hormon testosteron.
Pada kekurangan hormon INSL3 yang komplit menyebabkan gubernakulum tidak tumbuh dan
testis tetap berada di dalam perut, terjadilah kriptorkismus intraabdominal. Fase kedua dari
turunnya testis, testis turun dari cincin inguinalis interna dan langsung masuk ke skrotum.
Penurunan testis transinguinal ini disebabkan karena terjadinya regresi dari gubernakulum yang
sebelumnya gubernakulum sudah tumbuh sampai di dasar skrotum, regresi gubernakulum pada
fase ini dipengaruhi oleh hormon testosteron dan gerakan ritmik gubernakulum dari cincin
inguinalis interna ke dasar skrotum dipengaruhi oleh GFN dan CGRP. Selain hal diatas
penurunan testis juga dipengaruhi oleh adanya tekanan intraabdominal dan
hormon AMH
kriptorkismus presktrotal terjadi karena rendahnya kadar hormon INSL3 bersifat parsial sehingga
gubernakulum tumbuh tetapi pertumbuhan gubernakulum tidak optimal atau petumbuhan
gubernakulum tidak mencapai dasar skrotum atau rendahnya kadar hormon testosteron plasma
sehingga meskipun gubernakulum sudah tumbuh sampai dasar skrotum tapi regresi dan gerakan
ritmik testis tidak optimal sehingga testis berada dalam inguinal atau maksimal bisa mencapai
preskrotal tapi tetap tidak mencapai dasar skrotum.
110
T60T= 51,61%;
T60A= 25,81%).
Polimorfisme A9A dan polimorfisme T60T tidak terjadi perubahan asam amino, hanya terjadi
perubahan susunan basa, sedangkan polimorfisme T60A terjadi perubahan asam amino no 60
dari treonin menjadi alanin dan ditemukan lebih banyak pada anak yang sehat namun tidak
berbeda bermakna.
111
kriptorkismus ( E146E= 9,68%) polimorfisme ini tidak mengubah asam amino. Frekuensi
polimorfisme exon 8 gen lgr8 pada anak laki-laki yang kriptorkismus ( kodon stop223M=
3,23%), polimorfisme ini meskipun ditemukan hanya 3,23% tapi hanya ditemukan pada anak
kriptorkismus sedangkan pada anak sehat tidak ditemukan dan terjadi perubahan asam amino no
223 dari kodon stop menjadi metionin atau kodon start. Dalam proses replikasi DNA peranan
kodon start dan kodon stop sangat penting yang mana kodon start tugasnya memulai suatu
replikasi DNA dan kodon stop memberhentikan proses replikasi DNA. Perubahan kodon stop
menjadi kodon start asam amino no 223 pada exon 8 gen lgr8 akan mempengaruhi sifat reseptor
RGR8 terhadap hormon INSL3 dan selanjutnya berpengaruh pada pertumbuhan gubernakulum,
dan kita ketahui pertumbuhan gubernakulum yang normal dan optimal sangat diperlukan untuk
penurunan testis.
kriptorkismus ( E319E= 100%; L331L= 48,39%), kedua polimorfisme ini juga ditemukan pada
anak yang sehat tapi jumlahnya pada anak kriptorkismus lebih banyak secara bermakna,
polimorfisme E319E dan L331L asam aminonya no 319 tetap glutamate dan asam amino no 331
tetap leusin hanya terjadi perubahan susunan basa pada kodon asam amino glutamat dari
GAAGAN/GAG, begitu juga dengan susunan basa asam amino lisin berubah darai
CTACTN/CTG. Frekuensi polimorfisme exon 13 gen lgr8 pada anak laki-laki yang
kriptorkismus ( S337A= 54,84%; P340P= 41,94%;
Q354K= 16,13%; Q356P= 29,03%; S357S= 48,39%), polimorfisme S357S asam amino no 357
tetap serine hanya terjadi perubahan susunan basa pada asam amino serine no 357 dari
TCTTCC, polimorfisme P340P asam amino no 340 tetap prolin hanya susunan basa asam
amino prolin saja yang berubah dari CCTCCN/CCC, polimorfisme K346K asam amino no
346 tetap lisin hanya susunan basa dari asam amino lisin berubah dari AAGAAN/AAA.
112
Polimorfisme S337A terjadi perubahan asam amino no 337 dari serin menjadi alanin,
polimorfisme H345P terjadi perubahan asam amino no 345 dari histidin menjadi prolin,
polimorfisme Q354K terjadi perubahan asam amino no 354 dari glutamin menjadi lisin,
polimorfisme Q356P terjadi perubahan asam amino no 356 dari glutamat menjadi prolin.
Semua polimorfisme yang ditemukan berbentuk polimorfisme SNPs, hanya polimorfisme C116C
(TGCTNGC) pada exon 2 berbentuk substitusi atau indel.
6.2. Polimorfisme Exon 1, Exon 2 Gen insl3 dan Kriptorkismus
Gubernakulum perannya sangat menentukan pada mekanisme yang komplek dari
turunnya testis dan tertutupnya hernia inguinalis (Hutson dkk., 2004), perubahan pada gen Insl3
menyebabkan kegagalan testis secara normal masuk ke skrotum selama perkembangan
embriyo (Ferline dkk.,2003). Kekacauan genetik dari gen insl3 pada tikus percobaan
menyebabkan tingginya kriptorkismus intraabdominal. Analisis mutasi gen insl3 dengan SNPs
pada pasien kriptorkismus belum jelas (The Endocine society, 2005).
Penelitian ini menemukan adanya polimorfisme exon 1 dan exon 2 gen insl3,
polimorfisme exon 1 ditemukan berupa M1M (ATGNTG) asam amino no 1 tetap metionin,
A9A (GCGGCN/GCA) asam aminonya tetap alanin, L42L (CTACTN) asam amino tetap
leusin, L42P (CTACNN) asam amino berubah dari leusin menjadi prolin, V43M
(GTGNNG) asam amino valin menjadi metionin, T60T (ACCNCC) asam amino tetap
treonin, T60A (ACCGCC) asam amino berubah dari treonin menjadi alanin. Sedangkan
peneliti lain yang menemukan polimorfisme exon 1 gen insl3 adalah Lim dkk (2001)
menemukan polimorfisme pada exon 1 berupa A41A (GCGGCA) asam aminonya tetap
alanin, polimorfisme ini tidak ditemukan pada penelitian ini. Ferlin dkk (2003) menemukan
113
polimorfisme exon 1 berupa A9A (GCGGCA) asam aminonya tetap alanin, L42L
(CTACTG) asam aminonya tetap leusin, T60A (ACCGCC) asam amino berubah dari
treonin menjadi alanin, polimorfisme ini ditemukan juga pada penelitian ini. Foresta dkk (2008)
menemukan polimorfisme berupa V18M (GTGATG) asam amino berubah dari valin menjadi
metionin, P49S (CCCTCC) asam amino berubah dari prolin menjadi serin, polimorfisme ini
tidak ditemukan pada penelitian ini. Polimorfisme T60A ditemukan lebih banyak pada anak yang
sehat dibandingkan anak dengan kriptorkismus meskipun tidak berbeda secara bermakna
kemungkinan polimorfisme T60A merupakan faktor protektip untuk terjadinya kriptorkismus
pada anak. Polimorfisme T60A dan polimorfisme T60T ditemukan dalam jumlah yang banyak
baik pada anak dengan kriptorkismus maupun pada anak yang sehat hal ini kemungkinan exon 1
gen insl3 perannya kecil terhadap produksi hormon INSL3 oleh sel Leydig.
Pada penelitian ini polimorfisme exon 2 ditemukan berupa R73R (CGACNA) asam
aminonya tetap arginin, C115W (TGCTGG) asam amino berubah dari sistein menjadi
triptopan, C116C (TGCTNGC) asam amino tetap sistein, kodon stop140kodon stop
(AGAANA), G144G (GGCNGC) asam amino tetap glisin, E146E (GAGNAG) asam
amino tetap glutamate, Q157Q (CAGCAN) asam amino tetap glutamin, A166D
(GCCGAC) asam amino berubah dari alanin menjadi aspartat. Pada exon 2 meskipun
jumlahnya kecil polimorfisme hanya ditemukan pada kelompok anak dengan kriptorkismus dan
ada beberapa polimorfisme yang asam aminonya berubah. Polimorfisme exon 2 gen insl3 yang
ditemukan hanya pada anak dengan kriptorkismus dan tidak ditemukan pada anak yang sehat
menandakan exon 2 gen insl3 sangat berperan dalam memproduksi hormon INSL3 dan
pertumbuhan gubernakulum.
insl3 adalah Lim dkk (2001) berupa L85L (CTCCTG) asam aminonya tetap leusin, V141L
114
(GTGCTG) asam aminonya berubah dari valin menjadi leusin, (140A, 140G, 160T berupa
dilesi atau polimorfisme indel), A152V (GCTGTT) asam aminonya berubah dari alanin
menjadi valin, polimorfirme ini tidak ditemukan pada penelitian ini. Canto dkk (2003)
menemukan polimorfisme berupa N86K (AACAAG) asam aminonya berubah dari asparagin
menjadi lisin, polimorfisme ini tidak ditemukan pada penelitian ini. Ferlin dkk (2003)
menemukan polimorfisme berupa P93L (CCCCTC) asam aminonya berubah dari prolin
menjadi leusin, R102H (CGCCAC) asam aminonya berubah dari arginin menjadi histidin,
R102C (CGCTGC) asam aminonya berubah dari arginin menjadi sistein, polimorfisme ini
tidak ditemukan pada penelitian ini. Pada penelitian ini polimorfisme exon 1 M1M, L42L,
L42P, V43M jumlahnya masing-masing 1 dan hanya ditemukan pada anak dengan
kriptorkismus. Polimorfisme A9A, T60T, T60A ditemukan pada anak dengan kriptorkismus dan
anak sehat. Frekuensi polimorfisme T60T ditemukan lebih banyak secara bermakna pada
kelompok anak dengan kriptorkismus dibandingkan anak normal (51,61% vs 16,13%) ,
polimorfisme T60T berisiko tidak terhingga menyebabkan kejadian kriptorkismus dibandingkan
dengan yang wild type, tetapi polimorfisme ini tidak merubah asam amino no 60 hanya merubah
susunan basa dari kodon asam amino treonin ( ACCNCC). Pada polimorfisme T60A ada
perubahan asam amino no 60 dari treonin menjadi alanin dan bersifat protektip untuk terjadinya
kasus kriptorkismus pada anak karena frekuensinya lebih banyak pada anak yang sehat ( 25,81%
vs 48,39%) tetapi tidak berbeda bermakna secara statistik. Dari hasil penelitian ini ditemukan
polimorfisme exon 1 yang diwakili polimorfisme T60T berkaitan dengan marker baru
kriptorkismus pada anak laki-laki karena lebih banyak secara bermakna pada kasus tetapi secara
biologi asam aminonya tetap treonin (hanya susunan basa saja pada asam amino treonin yang
berubah).
115
6.3. Polimorfisme Exon 8, Exon 12, Exon 13 Gen lgr8 dan Kriptorkismus
Reseptor LGR8 merupakan reseptor dari hormon INSL3 (Ferlin dkk., 2003; Nuti dkk.,
2007). Hormon INSL3 dan reseptor LGR8 memainkan peran penting pada penurunan testis fase
transabdominal (Kumagai dkk., 2002a,b). Reseptor LGR8 tersebar di testis, ligament
gubernakulum dan pada epididymis (Anand-Ivell dkk., 2006). Gen lgr8 terdiri dari 18 exon dan
terletak pada kromosom 13 yaitu 13q13.1 yang mempunyai panjang 63.330 pasang basa (dari 5001
68331. Analisis mutasi gen lgr8 dideteksi dengan SNPs, pada tikus percobaan perubahan
susunan basa gen lgr8 menyebabkan tingginya kasus kriptorkismus intraabdominal (Ferlin dkk.,
2003).
Penelitian ini juga menemukan polimorfisme exon 8 gen Lgr8 berupa (kodon stop223M)
asam amino berubah dari kodon stop menjadi metionin, sedangkan peneliti lain menemukan
polimorfisme exon 8 gen lgr8 berupa T222P (ACCCCC) asam amino berubah dari treonin
menjadi prolin oleh (Garlov dkk 2002, Ferlin dkk 2003, Vinci dkk 2004, Nuti dkk 2007).
Polimorfisme exon 8 pada penelitian ini hanya ditemukan pada anak dengan kriptorkismus
(kodon stop223M) dan peneliti lain juga menemukan pada anak dengan kriptorkismus ( T222P )
meskipun jumlahnya tidak banyak kemungkinan exon 8 gen lgr8 banyak mempengaruhi fungsi
reseptor LGR8. Polimorfisme exon 12 gen lgr8 berupa (N315N, E319E, L331L) asam aminonya
tetap asparagin, glutamat, leusin. Polimorfisme E319E dan L331L juga ditemukan oleh peneliti
lain Ferlin dkk (2003) dan Nuti dkk (2007). Pada penelitian ini polimorfisme E319E dan
polimorfisme L331L berbeda bermakna antara kelompok anak dengan kriptorkismus dan anak
sehat. Polimorfisme E319E dan L331L merupakan polimorfisme yang umum ditemukan oleh
peneliti lain namun pada penelitian ini ditemukan perbedaan bermakna, perbedaan frekuensi ini
kemungkinan disebabkan oleh faktor ras dan kemungkinan exon 12 gen lgr8 perannya terhadap
116
fungsi reseptor LGR8 tidak banyak. Polimorfisme exon 13 gen lgr8 berupa (S337A asam
aminonya berubah dari serin menjadi alanin, P340P asam aminonya tetap prolin, L344L asam
aminonya tetap leusin, H345P asam aminonya berubah dari histidin menjadi prolin, K346K asam
aminonya tetap lisin, Q348Q asam aminonya tetap glutamin, Q354K asam aminonya berubah
dari glutamin menjadi lisin, Q356P asam aminonya berubah dari glutamin menjadi prolin, S357S
asam aminonya tetap serin, S357C asam aminonya berubah dari serin menjadi sistein), peneliti
lain belum menemukan polimorfisme pada exon 13 gen lgr8, sehingga polimorfisme pada exon
13 gen lgr8 ini merupakan temuan baru dari penelitian ini. Polimorfisme pada exon 13 gen lgr8
banyak ditemukan adanya perubahan asam amino dan banyak ditemukan juga polimorfisme
hanya pada anak dengan kriptorkismus hal ini kemungkinan peran exon 13 dalam mempengaruhi
fungsi reseptor lgr8 sangatlah besar. Polimorfisme (kodon stop223M) exon 8, (N315N) exon 12,
(S337A, L344L, Q348Q, Q354K, Q356P, S357S, S357C) exon 13 hanya ditemukan pada
kelompok anak dengan kriptorkismus. Polimorfisme E319E dan L331L exon 12 ditemukan pada
kelompok anak dengan kriptorkismus dan anak sehat, namun jumlahnya lebih banyak pada
kelompok anak dengan kriptorkismus dan berbeda secara bermakna. Polimorfisme E319E dan
L331L exon 12 gen lgr8 berisiko tidak terhingga untuk E319E dan 10,0 kali lebih besar untuk
L331L menimbulkan kejadian kriptorkismus dibandingkan dengan yang wild type. Polimorfisme
exon 12 yang diwakili polimorfisme
kriptorkismus pada anak laki-laki karena berbeda secara bermakna, tetapi asam amino tetap
hanya terjadi perubahan susunan basa dari asam amino glutamat dan asam amino lisin.
Polimorfisme exon 13 yang diwakili oleh S337A, H345P, Q356P berkaitan dengan
meningkatnya risiko kejadian kriptorkismus pada anak laki-laki karena berbeda secara bermakna
dan secara biologi terjadi perubahan asam amino, sedangkan polimorfisme S357S berkaitan
117
dengan marker baru kejadian kriptorkismus pada anak laki-laki karena yang berubah hanya
susunan basa dari asam amino serin.
6.4. Kadar Hormon INSL3, Hormon Estradiol dan kriptorkismus
Gubernakulum tumbuh dengan cepat pada fetus laki-laki, namun pada fetus perempuan
pertumbuhan gubernakulum tidak sempurna, faktor yang berperan pada pertumbuhan
gubernakulum adalah hormon INSL3, tidak sempurnanya pertumbuhan gubernakulum
berhubungan dengan aktivitas mitosis dari bulbus gubernakulum dari fetus laki-laki dan fetus
perempuan (Emmen dkk., 2000). Gubernakulum perannya sangat menentukan pada mekanisme
yang komplek dari turunnya testis dan tertutupnya hernia inguinalis (Hutson dkk., 2004). Pada
laki-laki yang normal dan pada tikus percobaan yang organ seksualnya sudah matur hormon
INSL3 konsentrasinya di sirkulasi dapat terdeteksi maksimum 1 ng/ml, sedangkan konsentrasi
hormon INSL3 dalam vena spermatika alalah > 14 ng/ml, karena hormon Insl3 merupakan
hormon autokrin-parakrin ( Anand-Ivell dkk., 2006 ). Hormon INSL3 merupakan marker penting
untuk mengetahui fungsi sel leydig dan status difrensiasinya, ekpresi hormon INSL3 meningkat
pada masa fetus, menurun setelah bayi lahir dan kemudian ekspresi INSL3 meningkat lagi saat
remaja. Kekurangan hormon INSL3 sangat penting sebagai tanda dari adanya hipogonad
(Foresta dkk., 2008 ). Penelitian ini menemukan rerata kadar hormon INSL3 plasma pada
kelompok anak dengan kriptorkismus adalah 0,40 0,24 ng/ml, pada kelompok anak yang sehat
adalah 0,91 0,46 ng/ml, pada anak dengan kriptorkismus rerata kadar hormon INSL3 plasma
lebih rendah secara bermakna.
Nilai batas optimum kadar hormon INSL3 plasma untuk diagnosis kriptorkismus (< 0,42
ng/ml, kurva ROC), frekuensi kadar hormon INSL3 plasma yang rendah lebih banyak secara
118
bermakna pada anak kriptorkismus dibandingkan anak yang normal (58,06 % vs 9,68 % ) dan
kadar hormon INSL3 plasma yang rendah berisiko 12,92 kali lebih besar untuk terjadinya
kriptorkismus dibandingkan dengan anak yang normal.
rendah dengan nilai batas optimum <0,42 ng/ml berkaitan dengan meningkatnya risiko
kriptorkismus pada anak laki-laki.
Penelitian ini menemukan dari 31 anak laki-laki kriptorkismus 13 orang ( 41,94 % )
mengalami kriptorkismus intraabdominal, 13 orang ( 41,94 % ) mengalami kriptorkismus
inguinal dan 5 orang ( 16, 12 % ) mengalami kriptorkismus preskrotal. Setelah dibandingkan
kadar hormon INSL3 plasma yang rendah dengan nilai optimum < 0,42 ng/ml kurva ROC antara
anak laki-laki dengan kriptorkismus intraabdominal dan kriptorkismus inguinal tidak ditemukan
perbedaan ( 53,85% vs 53,85% ). Sementara diketahui hormon INSL3 plasma berperan dalam
pertumbuhan gubernakulum dan pada penurunan testis transabdominal, sehingga diharapkan
kadar hormon INSL3 plasma yang rendah ditemukan frekuensinya lebih banyak pada anak lakilaki dengan kriptorkismus intraabdominal namun pada penelitian ini frekuensi kadar hormon
INSL3 yang rendah antara kriptorkismus intraabdominal dengan kriptorkismus preskrotal tidak
ada perbedaan. Sedangkan kadar hormon INSL3 plasma yang rendah ditemukan lebih banyak
pada anak kriptorkismus dibandingkan anak yang normal ( 58,06 % vs 9,68 % ). Kadar hormon
INSL3 plasma pada anak yang kriptorkismus dipengaruhi oleh testis lainnya yang masih normal
dan dipengaruhi juga oleh berat ringannya kerusakan testis anak yang kriptorkismus. Adanya
resistensi pada reseptor LGR8 yang diakibatkan oleh banyaknya polimorfisme pada gen lgr8
mempengaruhi kadar hormon INSL3 karena bila ada resistensi pada reseptor dari hormon akan
memacu pengeluaran hormon sebagai kompensasi.
119
120
tinggi dalam plasma akan menekan produksi hormon INSL3 dan produksi hormon testosteron
sehingga terjadi kriptorkismus.
6.5. Hubungan Polimorfisme Gen insl3, Kadar Hormon Estradiol Plasma yang Tinggi,
Kadar Hormon INSL3 Plasma yang Rendah dan Adanya Polimorfisme Gen lgr8
dengan Kejadian Kriptorkismus
Gubernakulum berhubungan dengan ujung bawah testis-epididimis terletak pada bagian
kranial kanalis inguinalis di diperlukan untuk perkembangan normal prosesus vaginalis.
Mekanisme terputusnya bagian distal gubernakulum merupakan hasil dari berkurangnya
perkembangan prosesus vaginalis. Regresi ligamen suspensory kranial dan penebalan
gubernakulum menghasilkan migrasi testis transabdominal, keadaan ini membawa testis ke
cincin inguinalis interna pada usia tiga bulan kehamilan, selama bulan ke empat sampai ke lima
kehamilan, kantong luar peritoneum berkembang sepanjang bagian kaudal dari gubernakulum
meluas lewat kanalis inguinalis ke dalam skrotum (Kaefer, 2004., Achermann, 2005).
Gubernakulum sangat berperan pada fase turunnya testis dari intraabdominal ke dasar sekrotum,
pada fase pertama akan terjadi pertumbuahan gubernakulum sampai di dasar sekrotum, hal ini
akan menyebabkan turunnya testsis dari intraabdominal dan masuk cincin inguinalis interna
(penurunan testis transabdominal). Hormon yang mempengaruhi pertumbuhan gubernakulum
adalah hormon INSL3, bila terjadi gangguan dalam produksi atau sifat dari hormon INSL3 atau
resistensi akibat gangguan reseptor hormon INSL3 (gangguan reseptor LGR8) di gubernakulum,
menyebabkan gangguan pertumbuhan gubernakulum atau gubernakulum tidak tumbuh (testis
tetap di intraabdominal atau kriptorkismus intraabdominal) atau gubernakulum masih tumbuh
tapi tidak optimal sampai di dasar sekrotum menyebabkan testis tidak bisa turun optimal sampai
di dasar skrotum (kriptorkismus inguinal atau kriptorkismus presekrotal) hal ini karena pada saat
121
regresi gubernakulum pada fase penurunan testis traninguinal yang dipengaruhi hormon
testosteron tetap tidak bisa menyebabkan penurunan testis sampai dasar sekrotum karena
gubernakulum belum pernah turun sampai kantong sekrotum. Kita ketahui setelah bayi lahir
sampai usia 1 tahun 2/3nya akan terjadi penurunan testis spontan karena terjadi peningkatan
produksi hormon testosteron asal pertumbuhan gubernakulum sebelumnya sudah optimal sampai
di dasar sekrotum.
Pada penelitian ini ditemukan rerata kadar hormon INSL3 plasma pada anak yang
kriptorkismus lebih rendah secara bermakna dibadingkan dengan rerata kadar hormon INSL3
plasma pada anak yang normal, dengan asumsi peneliti kadar hormon INSL3 juga rendah pada
saat bayi dalam kandungan saat terjadi pertumbuhan gubernakulum dan gubernakulum tidak
tumbuh pada anak dengan kriptorkismus intraabdominal atau pertumbuhan gubernakulum tidak
optimal pada kriptorkismus inguinal dan kriptorkismus presekrotal. Rendahnya kadar hormon
INSL3 dipengaruhi oleh faktor genetik berupa adanya polimorfisme pada exon 1 dan exon 2 gen
insl3 yang ditemukan pada anak kriptorkismus dan dipengaruhi oleh faktor lingkungan berupa
tingginya kadar hormon estradiol yang menekan produksi hormon INSL3 dan produksi hormon
testosteron. Pada penelitian ini polimorfisme T60T ditemukan lebih banyak secara bermakna
pada anak kriptorkismus dibandingkan anak yang normal, meskipun polimorfisme T60T tidak
merubah asam amino treonin no 60 pada exon 1 gen insl3 tapi merubah basa dalam kodon asam
amino treonin maka polimorfisme T60T bisa merupakan marker baru kriptorkismus. Pada
penelitian ini rerata kadar hormon estradiol lebih tinggi secara bermakna pada anak
kriptorkismus dibandingkan dengan anak yang normal, hormon estradiol yang tinggi merupakan
faktor lingkungan yang menekan produksi hormon INSL3. Jadi adanya polimorfisme T60T yang
merupakan marker baru kriptorkismus dikombinasikan dengan kadar hormon estradiol plasma
122
yang tinggi akan menyebabkan produksi hormon INSL3 berkurang dan kadar hormon INSL3
plasma menjadi rendah. Kadar hormon INSL3 yang rendah mempengaruhi pertumbuhan
gubernakulum dan pertumbuhan gubernakulum tidak optimal sehingga testis tidak turun atau
turun tidak optimal. Pada penelitian ini ditemukan polimorfisme exon 12 gen lgr8 (E319E,
L331L) meskipun tidak merubah asam amino karena jumlahnya pada anak kriptorkismus lebih
banyak secara bermakna sehingga merupakan marker kriptorkismus. Pada penelitian ini juga
ditemukan polimorfisme exon 13 gen lgr8 (S337A, H345P, Q356P, S357S) ditemukan lebih
banyak secara bermakna pada anak kriptorkismus dibandingkan anak yang normal, polimorfisme
S357S merupakan marker kriptorkismus karena tidak merubah asam amino, tetapi polimorfisme
S337A, H345P, Q356P merupakan faktor risiko kriptorkismus karena asam aminonya berubah.
Polimorfisme exon 12 (E319E, L331L) exon 13 (S337A, H345P, Q356P,S357S) gen lgr8
mempengaruhi kepekaan atau terjadinya resistensi reseptor LGR8 terhadap hormon INSL3,
sehingga peran hormon INSL3 dalam merangsang pertumbuhan gubernakulum berkurang dan
testis tidak turun optimal. Produksi hormon INSL3 yang rendah diperberat lagi oleh adanya
resistensi hormon INSL3 akibat gangguan pada reseptor LGR8 (reseptor dari hormon INSL3) di
gubernakulum karena adanya polimorfisme
kriptorkismus. Sehingga kadar hormon INSL3 yang rendah disertai kemampuan yang kurang
dalam merangsang pertumbuhan gubernakulum menyebabkan gubernakulum tumbuh tidak
optimal dan terjadilah kriptorkismus dengan lokasi yang bervariasi ( intraabdominal, inguinal,
presekrotal).
Reseptor LGR8 merupakan reseptor dari hormon INSL3, reseptor LGR8 melekat pada
permukaan gubernakulum, hubungan antara hormon INSL3 dengan reseptor LGR8
menyebabkan terjadinya pertumbuhan gubernakulum dan adanya gangguan pada kadar hormon
123
INSL3 atau gangguan pada reseptor LGR8 menyebabkan pertumbuhan gubernakulum terganggu
atau pertumbuhan gubernakulum tidak optimal. Reseptor LGR8 dipengaruhi oleh gen lgr8,
adanya polimorfisme pada gen lgr8 akan mempengaruhi fungsi reseptor LGR8. Pada penelitian
ini dari 18 exon gen lgr8 diperiksa 3 exon yang predominan menimbulkan kelainan yaitu exon
8, exon 12 dan exon 13, exon 12 dan exon 13 karena berdekatan primer forward dan primer
reversenya sama yaitu primer forward (12-13F): ggatgatgataattgtgagg dan primer reverse (1213R) : ctgaaatgcatgctcctgtg dan ukuran basa yang teramplifikasi dari proses PCR adalah 439
pasang basa. Exon 13 gen lgr8 banyak ditemukan polimorfisme, dan polimorfisme yang terjadi
pada exon 13 merupakan faktor risiko atau marker kriptorkismus Polimorfisme pada exon 13
gen lgr8 menyebabkan resistensi reseptor LGR8 terhadap hormon INSL3, kalau produksi
hormon INSL3 normal reseistensi reseptor LGR8 akan mengakibatkan produksi hormon INSL3
meningkat karena ada rangsangan untuk memproduksi hormon INSL3 yang lebih banyak.
Adanya polimorfisme pada exon 13 gen lgr8 menyebabkan ikatan hormon INSL3 dengan
reseptor LGR8 terganggu dan pertumbuhan gubernakulum juga terganggu sehingga terjadi
hambatan dalam penurunan gubernakulum dan terjadilah kriptorkismus.
Pada penelitian ini polimorfisme paling banyak ditemukan pada exon 13 gen lgr8 dan ada
yang merubah susunan asam amino (S337A, Q356P) merubah susunan asam amino dari serin
menjadi alanin dan dari glutamin menjadi prolin merupakan faktor risiko baru kejadian
kriptorkismus pada anak laki-laki (hanya ditemukan pada anak yang kriptorkismus).
Polimorfisme exon 13 gen lgr8 (H345P) merubah susunan asam amino dari histidin menjadi
prolin tapi ditemukan juga pada anak yang sehat meskipun jumlahnya lebih sedikit secara
bermakna sehingga merupakan faktor risiko atau marker baru kejadian kriptorkismus pada anak
laki-laki. Polimorfisme exon 13 gen lgr8 (S357S) asam aminonya tetap tapi hanya ditemukan
pada anak laki-laki yang kriptorkismus merupakan marker baru kejadian kriptorkismus pada
anak laki-laki. Susunan asam amino yang disandi oleh exon 13 gen lgr8 adalah: Asn(335)Leu(336)-Ser(337)-Ser(338)-Asn(339)-Pro(340)-Leu(341)-Met(342)-Tyr(343)-Leu(344)-
124
Asp(311)-Leu(312)-Ser(313)-Ser(314)-Asn(315)-Thr(316)-Met(317)-Thr(318)-
Met(1)-Asp(2)-Pro(3)Arg(4)-Leu(5)-Pro(6)-Ala(7)-Trp(8)-Ala(9)-
Leu(10)- Val(11)-Leu(12)-Leu(13)-Gly(14)-Pro(15)-Ala(16)-Leu(17)-Val(18)-Phe(19)-Ala(20)Leu(21)-Glt(22)-pro(23)-Ala(24)-Pro(25)-
Thr(26)-Pro(27)-Glu(28)-Met(29)-Arg(30)-Glu(31)-
125
126
6.7.Keterbatasan Penelitian
Keterbatasan penelitian ini adalah tidak semua exon gen lgr8 diperiksa, dari 18 exon
hanya exon yang predominan memiliki kelainan saja yang diperiksa yaitu exon 8, exon 12 dan
exon 13. Tidak diperiksanya kadar hormon testosteron plasma untuk mengurangi kelemahan ini
dilakukan kriteria eksklusi pada kelainan klinis karena rendahnya hormon testosteron
(mikropenis, hipospadia, adanya kordae). Dari beberapa gen yang mempengaruhi kriptorkismus
yang diperiksa hanya gen yang berhubungan dengan pertumbuhan gubernakulum yaitu gen insl3
dan gen lgr8. Adanya keterbatasan dengan studi kasus kontrol berupa tidak dapat memberikan
angka insiden, tidak dapat dipakai menentukan lebih dari satu variabel tergantung.
127
(E146E=
exon 13 (S337A,
127
128
7.2. Saran
Dari hasil-hasil penelitian ini dapat diajukan beberapa saran, sebagai berikut:
1. Pada anak laki-laki yang mengalami kriptorkismus bisa ditentukan langkah terapi dan
prognosis selanjutnya (bila kadar hormon INSL3 normal dan tidak ada polimorfisme
gen Insl3 dan gen Lgr8 untuk menurunkan testis bisa terapi dengan hormon hCG dan
bila ada polimorfisme pada gen insl3 dan gen lgr8 bisa langsung terapi pembedahan
berupa orkidektomi, prognosis kurang baik bila kadar hormon INSL3 rendah (< 0,42
ng/ml). Untuk mendapatkan pemeriksaan yang lebih efisien bisa dengan melakukan
PCR
pada salah satu: S337A, H345P, Q356P exon 13 gen lgr8 dengan enzim
restriksi.
2. Perlu penelitian lebih lanjut kemungkinan penggunaan hormon Insl3 sintetik dan obat
yang mempengaruhi kepekaan reseptor LGR8 terhadap hormon INSL3 pada anak
kriptorkismus.
129
DAFTAR PUSTAKA
Acerini,C.L., Miles,H.L., Dunger,D.B., Ong,K.K., Hughes,I.A. 2009. Abstract: The descriptipe
epidemiology of congenital and acquired cryptorchidism in a UK infant cohort. Arch Dis
Child, jun 18. (Epub ahead of print) PubMed PMID: 19542061.
Achermann,J.C. 2005. Development of the reproductive systems. in: Brook,C.G.D.,
Clayton,P.E., Brown,R.S., editors. Clinical Pediatric Endocrinology. 5th . Ed. London:
Blackwell. p. 153-170.
Amann,R.P., Veeramachaneni,D.N.R. 2007. Review: Cryptorchidism in common eutherian
mammals. Society for Reproduction and Fertility, 133: 541-561.
Amory,J.K., Page,S.T., Anawalt,B.D., Coviello,A.D., Matsumoto,A.M., Bremner,W.J. 2007.
Elevated End-of-treatment serum INSL3 is associated with failure to completely suppress
spermatogenesis in men receiving male hormonal contraception. Journal of Andrology,
28(4): 548-554.
Anand-Ivell,R.J.K., Relan, V., Balvers,M., Coiffec-Dorval, I., Fritsch, M., Bathgate, R.A.D.,
Ivell, R. 2006. Expression of the Insulin-Like Peptide 3 ( INSL3) Hormone-Receptor
(LGR8 ) system in the Testis. Biology of Reproduction, 74: 945 953.
Anonim. 2008. Immulite 1000 estradiol. Pilke 2-14.
Anonim. 2010. Teknik ELISA untuk Asai hormon. Denpasar: Prodia.
Arya. 2007. Kuliah Biomolekuler. Denpasar: S3 Ilmu Kedokteran FK UNUD.
Astawa, N.M. 2010. Kuliah mata kuliah penunjang disertasi ( MKPD ), pemeriksaan hormon
dengan teknik Elisa dan praktek. Denpasar: S3 Ilmu Kedokteran FK UNUD.
Bajpai,A., Menon,P.S.N. 2008. Undescended Testis. in: Desai,M.P., Menon,P.s.N., Bhatia,V.,
editors. Pediatric Endocrine Disorders. 2nd. Ed. India: Orient Longman Private, p.432-441.
Bogatcheva,N.V., Truong,A., Feng,S., Engel,W., Adham,I.M & Agoulnik, A.I. 2003. Great /
LGR8 is the only Receptor Insulin-like peptide. Molecular Endocrinoilogy,17(12): 26392646
Bott,R.C., BVSc,E.K.G. 2006. Descent of scrotal testis and temperature regulation. BS 640 Fall.
Canto,P., Escudero,I., Soderlund,D., Nishimura,E., Carranza,S., Lira., Gutierrez,J., Nova, A.,
Mendez, J. P. 2003. Original article: A novel mutation of the insulin-like 3 gene in patients
with cryptorchidism. J Hum Genet, 48:86-90
129
130
131
132
133
134
135
ANALISIS STATISTIK
Valid
N
Percent
62
100,0%
62
100,0%
62
100,0%
Cases
Mi ssing
Percent
0
,0%
0
,0%
0
,0%
Total
N
62
62
62
Percent
100,0%
100,0%
100,0%
Ex on-1
A9A
A9A
Normal
Total
Sampel
Kasus
Kontrol
6
2
25
29
31
31
Total
8
54
62
Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square
Continuity Correction a
Likelihood Ratio
Fis her's Exact Test
Linear-by-Linear
As soci ation
N of Valid Cases
Value
2,296 b
1,292
2,390
1
1
1
As ymp. Sig.
(2-sided)
,130
,256
,122
,133
df
Exact Sig.
(2-sided)
Exact Sig.
(1-sided)
,255
2,259
62
Risk Estimate
Value
Odds Ratio for Exon-1
A9A (A9A / Norm al)
For cohort Sam pel =
Kasus
For cohort Sam pel =
Kontrol
N of Valid Cases
95% Confidence
Interval
Lower
Upper
3,480
,644
18,810
1,620
,990
2,651
,466
,137
1,586
62
Ex on-1
T60T
Total
T60T
Normal
Sampel
Kontrol
Kasus
16
5
15
26
31
31
Total
21
41
62
,128
Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square
Continuity Correction a
Likelihood Ratio
Fis her's Exact Test
Linear-by-Linear
As soci ation
N of Valid Cases
Value
8,713b
7,201
9,047
1
1
1
As ymp. Sig.
(2-sided)
,003
,007
,003
,003
df
Exact Sig.
(1-sided)
Exact Sig.
(2-sided)
,007
8,573
62
Risk Estimate
95% Confidence
Interval
Lower
Upper
Value
Odds Ratio for Exon-1
T60T (T60T / Normal)
For cohort Sam pel =
Kasus
For cohort Sam pel =
Kontrol
N of Valid Cases
5,547
1,690
18,203
2,083
1,303
3,327
,375
,169
,835
62
Ex on-1
T60A
T60A
Normal
Total
Sampel
Kasus
Kontrol
8
15
23
16
31
31
Total
23
39
62
Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square
Continuity Correction a
Likelihood Ratio
Fis her's Exact Test
Linear-by-Linear
As sociation
N of Valid Cases
Value
3,387b
2,488
3,428
df
1
1
1
3,332
As ymp. Sig.
(2-sided)
,066
,115
,064
Exact Sig.
(2-sided)
Exact Sig.
(1-sided)
,114
,057
,068
62
Risk Estimate
Value
Odds Ratio for Exon-1
T60A (T60A / Normal)
For cohort Sam pel =
Kasus
For cohort Sam pel =
Kontrol
N of Valid Cases
95% Confidence
Interval
Lower
Upper
,371
,127
1,081
,590
,318
1,094
1,590
,983
2,570
62
,003
E12_N315N * S ampel
E12_E 319E * S ampel
E12_L331L * S ampel
Cases
Missing
Percent
N
0
,0%
0
,0%
0
,0%
Valid
N
Percent
62
100,0%
62
100,0%
62
100,0%
Total
N
62
62
62
Percent
100,0%
100,0%
100,0%
E12_N315N * Sampel
Crosstab
Count
E12_
N315N
N315N
Normal
Total
Sampel
Kontrol
Kasus
0
2
31
29
31
31
Total
2
60
62
Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square
Continuity Correction a
Likelihood Ratio
Fis her's Exact Test
Linear-by-Linear
As sociation
N of Valid Cases
1
1
1
As ymp. Sig.
(2-sided)
,151
,472
,092
,154
df
Value
2,067b
,517
2,839
2,033
Exact Sig.
(2-sided)
Exact Sig.
(1-sided)
,492
,246
62
Value
For cohort
Sampel = Kas us
N of V alid Cas es
95% Confidenc e
Int erval
Lower
Upper
2,069
1,593
2,688
62
E12_E319E * Sampel
Crosstab
Count
E12_
E319E
Total
E319E
Normal
Sampel
Kasus
Kontrol
31
23
0
8
31
31
Total
54
8
62
Chi-Square Tests
Value
9,185b
7,032
12,280
Pearson Chi-Square
Continuity Correction a
Likelihood Ratio
Fis her's Exact Test
Linear-by-Linear
As sociation
N of Valid Cases
df
1
1
1
9,037
As ymp. Sig.
(2-sided)
,002
,008
,000
Exact Sig.
(2-sided)
Exact Sig.
(1-sided)
,005
,002
,003
62
Ri sk Estim ate
95% Confidenc e
Int erval
Lower
Upper
Value
For cohort
Sampel = Kontrol
N of Valid Cas es
,426
,313
,581
62
E12_L331L * Sampel
Crosstab
Count
E12_
L331L
L331L
Normal
Total
Sampel
Kasus
Kontrol
15
6
16
25
31
31
Total
21
41
62
Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square
Continuity Correction a
Likelihood Ratio
Fis her's Exact Test
Linear-by-Linear
As sociation
N of Valid Cases
Value
5,833b
4,609
5,977
5,739
1
1
1
As ymp. Sig.
(2-sided)
,016
,032
,014
,017
df
Exact Sig.
(2-sided)
Exact Sig.
(1-sided)
,031
,015
62
Risk Estimate
Value
Odds Ratio for E12_
L331L (L331L / Normal)
For cohort Sampel =
Kasus
For cohort Sampel =
Kontrol
N of Valid Cases
95% Confidence
Interval
Lower
Upper
3,906
1,255
12,163
1,830
1,146
2,924
,469
,228
,962
62
Ex on-13
Ex on-13
Ex on-13
Ex on-13
Ex on-13
Ex on-13
Ex on-13
S 337A
P 340P
H345P
K 346K
Q354K
Q356P
S 357S
Cases
Missing
Percent
N
0
,0%
,0%
0
,0%
0
,0%
0
0
,0%
,0%
0
,0%
0
Valid
Percent
N
100,0%
62
100,0%
62
100,0%
62
100,0%
62
100,0%
62
100,0%
62
100,0%
62
* S ampel
* S ampel
* S ampel
* S ampel
* S ampel
* S ampel
* S ampel
Total
N
62
62
62
62
62
62
62
Ex on-13
S337A
S337A
Normal
Total
Sampel
Kasus
Kontrol
17
0
14
31
31
31
Total
17
45
62
Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square
Continuity Correction a
Likelihood Ratio
Fis her's Exact Test
Linear-by-Linear
As sociation
N of Valid Cases
df
Value
23,422 b
20,748
30,151
1
1
1
23,044
As ymp. Sig.
(2-sided)
,000
,000
,000
Exact Sig.
(2-sided)
Exact Sig.
(1-sided)
,000
,000
,000
62
Ri sk Estim ate
Value
For cohort
Sampel = Kas us
N of V alid Cas es
3,214
95% Confidenc e
Int erval
Lower
Upper
2,081
4,965
62
Ex on-13
P340P
Total
P340P
Normal
Sampel
Kasus
Kontrol
13
8
18
23
31
31
Total
21
41
62
Percent
100,0%
100,0%
100,0%
100,0%
100,0%
100,0%
100,0%
Chi-Square Tests
Value
1,800b
1,152
1,813
Pearson Chi-Square
Continuity Correction a
Likelihood Ratio
Fis her's Exact Test
Linear-by-Linear
As sociation
N of Valid Cases
As ymp. Sig.
(2-sided)
,180
,283
,178
df
1
1
1
1,771
Exact Sig.
(2-sided)
Exact Sig.
(1-sided)
,283
,142
,183
62
Value
Odds Ratio for Exon-13
P340P (P340P / Normal)
For cohort Sampel =
Kasus
For cohort Sampel =
Kontrol
N of Valid Cases
2,076
,709
6,085
1,410
,871
2,283
,679
,369
1,248
62
Ex on-13
H345P
Sampel
Kasus
Kontrol
19
9
12
22
31
31
H345P
Normal
Total
Total
28
34
62
Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square
Continuity Correction a
Likelihood Ratio
Fis her's Exact Test
Linear-by-Linear
As sociation
N of Valid Cases
Value
6,513b
5,275
6,637
df
1
1
1
6,408
As ymp. Sig.
(2-sided)
,011
,022
,010
Exact Sig.
(2-sided)
Exact Sig.
(1-sided)
,021
,010
,011
62
Risk Estimate
Value
Odds Ratio for Exon-13
H345P (H345P / Normal)
For cohort Sampel =
Kasus
For cohort Sampel =
Kontrol
N of Valid Cases
95% Confidence
Interval
Lower
Upper
3,870
1,341
11,172
1,923
1,141
3,239
,497
,275
,899
62
Ex on-13
K346K
Sampel
Kasus
Kontrol
28
21
3
10
31
31
K346K
Normal
Total
Total
49
13
62
Chi-Square Tests
Value
4,769b
3,504
4,980
Pearson Chi-Square
Continuity Correction a
Likelihood Ratio
Fis her's Exact Test
Linear-by-Linear
As soci ation
N of Valid Cases
1
1
1
As ymp. Sig.
(2-sided)
,029
,061
,026
,030
df
4,692
Exact Sig.
(2-sided)
Exact Sig.
(1-sided)
,059
,029
62
Value
Odds Ratio for Exon-13
K346K (K346K / Normal)
For cohort Sampel =
Kasus
For cohort Sampel =
Kontrol
N of Valid Cases
4,444
1,086
18,183
2,476
,891
6,878
,557
,359
,865
62
Ex on-13
Q354K
Sampel
Kasus
Kontrol
5
0
26
31
31
31
Q354K
Normal
Total
Total
5
57
62
Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square
Continuity Correction a
Likelihood Ratio
Fis her's Exact Test
Linear-by-Linear
As sociation
N of Valid Cases
Value
5,439b
3,481
7,371
1
1
1
As ymp. Sig.
(2-sided)
,020
,062
,007
,021
df
5,351
Exact Sig.
(2-sided)
Exact Sig.
(1-sided)
,053
,026
62
Ri sk Estim ate
Value
For cohort
Sampel = Kas us
N of V alid Cas es
2,192
62
95% Confidenc e
Int erval
Lower
Upper
1,651
2,911
Ex on-13
Q356P
Sampel
Kasus
Kontrol
9
0
22
31
31
31
Q356P
Normal
Total
Total
9
53
62
Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square
Continuity Correction a
Likelihood Ratio
Fis her's Exact Test
Linear-by-Linear
As soci ation
N of Valid Cases
1
1
1
As ymp. Sig.
(2-sided)
,001
,004
,000
,001
df
Value
10,528 b
8,319
14,012
Exact Sig.
(2-sided)
Exact Sig.
(1-sided)
,002
10,358
,001
62
Ri sk Estim ate
95% Confidenc e
Int erval
Lower
Upper
Value
For cohort
Sampel = Kas us
N of V alid Cas es
2,409
1,750
3,316
62
Exon-13
S357S
S357S
Normal
Total
Sampel
Kasus
Kontrol
15
0
16
31
31
31
Total
15
47
62
Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square
Continuity Correction a
Likelihood Ratio
Fis her's Exact Test
Linear-by-Linear
As sociation
N of Valid Cases
Value
19,787 b
17,237
25,666
1
1
1
As ymp. Sig.
(2-sided)
,000
,000
,000
,000
df
19,468
Exact Sig.
(2-sided)
Exact Sig.
(1-sided)
,000
,000
62
Ri sk Estim ate
Value
For cohort
Sampel = Kas us
N of Valid Cas es
2,938
62
95% Confidenc e
Int erval
Lower
Upper
1,973
4,373
T-Test
Paired Samples Statistics
Mean
.3964
.9120
h_insl3_kasus
h_insl3_kontrol
Pair
1
Std. Deviation
.24379
.45683
31
31
Std. Error
Mean
.04379
.08205
Mean
Pair
1
h_insl3_kasus h_insl3_kontrol
-.51564
Std. Deviation
Std. Error
Mean
.56908
.10221
95% Confidence
Interval of the
Difference
Lower
Upper
-.72439
-.30690
df
-5.045
Sig. (2-tailed)
30
.000
T-Test
Paired Samples Statistics
Pair
1
h_estradiol_kas us
h_estradiol_kontrol
Mean
17.0788
9.5456
N
31
31
Std. Deviation
16.05380
4.91833
Std. Error
Mean
2.88335
.88336
Mean
Pair
1
h_estradiol_kas us h_estradiol_kontrol
7.53325
Std. Deviation
Std. Error
Mean
17.36546
3.11893
95% Confidence
Interval of the
Difference
Lower
Upper
1.16355
2.415
13.90296
df
Sig. (2-tailed)
30
.022
Sampel
Positivea
Negative
ROC Curve
1.0
Sensitivity
0.8
0.6
0.4
0.2
0.0
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
1 - Specificity
Diagonal segments are produced by ties.
Area
,138
Std. Error
,046
Asymptotic
b
Sig.
,000
The test result variable(s): Kadar Hormon INSL3 Plasma has at least
one tie between the positive actual state group and the negative actual
state group. Statistics may be biased.
a. Under the nonparametric assumption
b. Null hypothesis: true area = 0.5
Sensiti vity
1,000
,968
,935
,903
,871
,806
,774
,742
,710
,677
,645
,613
,581
,548
,516
,484
,484
,452
,419
,387
,355
,355
,323
,290
,258
,194
,161
,129
,097
,065
,065
,065
,032
,032
,032
,032
,032
,032
,032
,032
,032
,000
,000
,000
,000
,000
1 - Specificity
1,000
1,000
1,000
1,000
1,000
1,000
1,000
1,000
1,000
1,000
,968
,968
,968
,968
,968
,968
,935
,935
,903
,903
,871
,839
,806
,806
,774
,742
,710
,677
,613
,581
,548
,516
,484
,452
,419
,387
,323
,290
,226
,194
,161
,129
,097
,065
,032
,000
Valid N
(lis twis e)
31
31
ROC Curve
1.0
Sensitivity
0.8
0.6
0.4
0.2
0.0
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
1 - Specificity
Diagonal segments are produced by ties.
Area
,765
St d. E rror
,061
As ymptotic
b
Sig.
,000
The tes t result variable(s): K adar Hormon Es tradiol P lasma has at least
one tie bet ween the pos itive act ual s tate group and the negat ive actual
state group. St atist ics may be biased.
a. Under the nonparametric as sumption
b. Null hy pothesis : true area = 0.5
Se nsiti vity
1,0 00
1,0 00
1,0 00
1,0 00
1,0 00
1,0 00
1,0 00
1,0 00
1,0 00
1,0 00
1,0 00
1,0 00
1,0 00
,96 8
,90 3
,87 1
,87 1
,87 1
,83 9
,83 9
,83 9
,83 9
,83 9
,83 9
,83 9
,80 6
,80 6
,80 6
,77 4
,74 2
,74 2
,71 0
,67 7
,64 5
,64 5
,61 3
,58 1
,54 8
,48 4
,45 2
,41 9
,38 7
,35 5
,35 5
,32 3
,32 3
,29 0
,25 8
,25 8
,25 8
,22 6
,19 4
,19 4
,16 1
,12 9
,12 9
,09 7
,06 5
,03 2
,00 0
1 - Spe cificity
1,0 00
,96 8
,93 5
,90 3
,87 1
,83 9
,80 6
,77 4
,74 2
,71 0
,67 7
,64 5
,61 3
,61 3
,61 3
,61 3
,58 1
,54 8
,54 8
,51 6
,48 4
,45 2
,41 9
,38 7
,35 5
,35 5
,32 3
,29 0
,29 0
,29 0
,25 8
,25 8
,25 8
,25 8
,22 6
,22 6
,22 6
,22 6
,22 6
,22 6
,19 4
,19 4
,19 4
,16 1
,16 1
,12 9
,12 9
,12 9
,09 7
,06 5
,06 5
,06 5
,03 2
,03 2
,03 2
,00 0
,00 0
,00 0
,00 0
,00 0
KADAR HORMON INSL3 PLASMA RENDAH < 0,42 ng/ml KURVA ROC, SENSITIVITAS: 41,9% dan
SPESIFITAS: 9,75
Crosstabs
Case Processing Summary
Cases
Mis sing
N
Percent
Valid
N
Kadar hormon INSL3
plasma * Sampel
Percent
62
100,0%
Total
Percent
,0%
62
Kadar hormon
INSL3 plas ma
Sampel
Kasus
Kontrol
18
3
13
28
31
31
Rendah
Normal
Total
Total
21
41
62
Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square
Continuity Correction a
Likelihood Ratio
Fis her's Exact Test
Linear-by-Linear
As sociation
N of Valid Cases
Value
16,202 b
14,114
17,505
1
1
1
As ymp. Sig.
(2-sided)
,000
,000
,000
,000
df
15,941
Exact Sig.
(2-sided)
Exact Sig.
(1-sided)
,000
,000
62
Risk Estimate
Value
Odds Ratio for Kadar
hormon INSL3 plas ma
(Rendah / Normal)
For cohort Sampel =
Kasus
For cohort Sampel =
Kontrol
N of Valid Cases
95% Confidence
Interval
Lower
Upper
12,923
3,225
51,781
2,703
1,669
4,377
,209
,072
,609
62
100,0%
KADAR HORMON ESTRADIOL PLASMA TINGGI >1 0,22 ng/ml KURVA ROC, SENSITIVITAS: 80,6% dan
SPESIFITAS: 71%
Crosstabs
Case Processing Summary
Cases
Mis sing
N
Percent
Valid
N
Kadar hormon Estradiol
plasma * Sampel
Percent
62
100,0%
Total
N
,0%
Percent
62
100,0%
Sampel
Kasus
Kontrol
25
9
6
22
31
31
Tinggi
Normal
Total
Total
34
28
62
Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square
Continuity Correction a
Likelihood Ratio
Fis her's Exact Test
Linear-by-Linear
As sociation
N of Valid Cases
1
1
1
As ymp. Sig.
(2-sided)
,000
,000
,000
,000
df
Value
16,672 b
14,653
17,555
16,403
Exact Sig.
(2-sided)
Exact Sig.
(1-sided)
,000
,000
62
Risk Estimate
Value
Odds Ratio for Kadar
hormon Es tradiol plasma
(Tinggi / Normal)
For cohort Sampel =
Kasus
For cohort Sampel =
Kontrol
N of Valid Cases
95% Confidence
Interval
Lower
Upper
10,185
3,126
33,188
3,431
1,641
7,173
,337
,186
,609
62
Model
1
Variables
Entered
Polimorfis
me ex on
13 gen
lgr8, K adar
hormon
es tradiol
plasm a,
Kadar
hormon
Ins l3
a
Pl asm a
Variables
Removed
Method
Enter
R
,740a
R Square
,548
Adjust ed
R Square
,524
St d. E rror of
the Es timate
,348
ANOVA b
Model
1
Regression
Residual
Total
Sum of
Squares
8,490
7,010
15,500
df
3
58
61
Mean Square
2,830
,121
F
23,415
Sig.
,000a
Coefficients a
Model
1
(Constant)
Kadar hormon
Insl3 Plasma
Kadar hormon
estradiol plasma
Polimorfisme
exon 13 gen lgr8
Unstandardized
Coefficients
B
Std. Error
-,346
,230
Standardized
Coefficients
Beta
t
-1,506
Sig.
,138
,462
,094
,437
4,901
,000
,465
,089
,463
5,216
,000
,260
,089
,259
2,918
,005
one-tailed P
two-tailed P
Fisher's P:
0.109
0.219
Mid-P:
0.063
0.125
McNemar test:
0.051
0.102
with cont.corr.
0.110
0.221
0.033
0.065
one-tailed P
two-tailed P
Fisher's P:
0.000 [ 4.9E-0004 ]
0.001 [ 9.8E-0004 ]
Mid-P:
0.000 [ 2.4E-0004 ]
0.000 [ 4.9E-0004 ]
McNemar test:
0.003 [ 2.6E-0003 ]
one-tailed P
Fisher's P:
Mid-P:
0.046
two-tailed P
0.092
0.029
0.057
McNemar test:
0.026
0.052
with cont.corr.
0.048
0.096
0.037
one-tailed P
Fisher's P:
0.250
0.500
Mid-P:
0.125
0.250
McNemar test:
0.079
0.157
with cont.corr.
0.240
0.480
0.079
two-tailed P
0.157
one-tailed P
two-tailed P
Fisher's P:
0.004 [ 3.9E-0003 ]
0.008 [ 7.8E-0003 ]
Mid-P:
0.002 [ 2.0E-0003 ]
0.004 [ 3.9E-0003 ]
McNemar test:
0.002 [ 2.3E-0003 ]
0.005 [ 4.7E-0003 ]
with cont.corr.
0.007 [ 6.7E-0003 ]
0.013
0.002 [ 2.4E-0003 ]
one-tailed P
two-tailed P
Fisher's P:
0.006 [ 5.9E-0003 ]
0.012
Mid-P:
0.003 [ 3.2E-0003 ]
0.006 [ 6.3E-0003 ]
0.003 [ 3.3E-0003 ]
0.007 [ 6.7E-0003 ]
McNemar test:
with cont.corr.
0.008 [ 7.9E-0003 ]
0.016
0.000 [ 3.2E-0004 ]
0.001 [ 6.3E-0004 ]
one-tailed P
two-tailed P
Fisher's P:
0.000 [ 7.6E-0006 ]
0.000 [ 1.5E-0005 ]
Mid-P:
0.000 [ 3.8E-0006 ]
0.000 [ 7.6E-0006 ]
McNemar test:
0.000 [ 1.9E-0005 ]
0.000 [ 3.7E-0005 ]
with cont.corr.
0.000 [ 5.2E-0005 ]
0.000 [ 1.0E-0004 ]
0.000 [ 1.7E-0008 ]
0.000 [ 3.5E-0008 ]
one-tailed P
two-tailed P
Fisher's P:
0.133
0.267
Mid-P:
0.090
0.180
McNemar test:
0.083
0.166
with cont.corr.
0.134
0.267
0.079
0.158
one-tailed P
two-tailed P
Fisher's P:
0.015
0.031
Mid-P:
0.010 [ 9.6E-0003 ]
0.019
McNemar test:
0.009 [ 9.2E-0003 ]
0.018
with cont.corr.
0.017
0.034
0.004 [ 4.5E-0003 ]
0.009 [ 9.0E-0003 ]
one-tailed P
two-tailed P
Fisher's P:
0.033
0.065
Mid-P:
0.019
0.039
McNemar test:
0.017
0.035
with cont.corr.
0.035
0.070
0.015
0.030
one-tailed P
two-tailed P
Fisher's P:
0.031
0.063
Mid-P:
0.016
0.031
McNemar test:
0.013
0.025
with cont.corr.
0.037
0.074
0.004 [ 3.8E-0003 ]
0.008 [ 7.5E-0003 ]
one-tailed P
two-tailed P
Fisher's P:
0.002 [ 2.0E-0003 ]
0.004 [ 3.9E-0003 ]
Mid-P:
0.001 [ 9.8E-0004 ]
0.002 [ 2.0E-0003 ]
McNemar test:
0.001 [ 1.3E-0003 ]
0.003 [ 2.7E-0003 ]
with cont.corr.
0.004 [ 3.8E-0003 ]
0.008 [ 7.7E-0003 ]
0.000 [ 6.2E-0005 ]
0.000 [ 1.2E-0004 ]
one-tailed P
Fisher's P:
0.000 [ 3.1E-0005 ]
0.000 [ 6.1E-0005 ]
Mid-P:
0.000 [ 1.5E-0005 ]
0.000 [ 3.1E-0005 ]
McNemar test:
0.000 [ 5.4E-0005 ]
0.000 [ 1.0E-0004 ]
with cont.corr.
0.000 [ 1.5E-0004 ]
0.000 [ 3.0E-0004 ]
0.000 [ 1.3E-0007 ]
0.000 [ 2.7E-0007 ]
two-tailed P
Group Statistics
Panjang Badan
Lahir (cm)
Sampel
Kasus
Kontrol
Mean
49,52
50,13
31
31
Std. Error
Mean
,396
,231
Std. Deviation
2,204
1,284
F
Panjang Badan
Lahir (cm)
Equal variances
as sumed
Equal variances
not ass umed
Sig.
5,148
,027
df
Sig. (2-tailed)
Mean
Difference
Std. Error
Difference
95% Confidence
Interval of the
Difference
Lower
Upper
-1,338
60
,186
-,613
,458
-1,529
,304
-1,338
48,266
,187
-,613
,458
-1,534
,308
Mean
3142,90
3206,45
Sampel
Kasus
Kontrol
31
31
Std. Deviation
619,904
331,598
Std. Error
Mean
111,338
59,557
F
Berat Badan Lahir (gram)
Equal variances
assumed
Equal variances
not assumed
9,498
Sig.
,003
df
Sig. (2-tailed)
Mean
Difference
Std. Error
Difference
95% Confidence
Interval of the
Difference
Lower
Upper
-,503
60
,617
-63,548
126,266
-316,119
189,022
-,503
45,869
,617
-63,548
126,266
-317,729
190,632
PANJANG PENIS
Group Statistics
31
31
Std. Error
Mean
,09993
,13590
Std. Deviation
,55641
,75668
Mean
4,2323
4,6452
Sampel
kasus
Kontrol
F
Panjang Penis (cm)
Equal variances
as sumed
Equal variances
not ass umed
Sig.
,005
,945
df
Sig. (2-tailed)
Mean
Difference
Std. Error
Difference
95% Confidence
Interval of the
Difference
Lower
Upper
-2,448
60
,017
-,41290
,16869
-,75033
-,07547
-2,448
55,103
,018
-,41290
,16869
-,75095
-,07485
VOLUME TESTIS
Group Sta tisti cs
N
Sampel
Volume Testis Kanan
Kasus
(ml)
Kontrol
Volume Testis Kiri (ml) Kasus
Kontrol
Mean
2,075
2,348
1,796
2,365
24
31
23
31
St d. Deviat ion
,6726
,6131
,4922
,6102
St d. E rror
Mean
,1373
,1101
,1026
,1096
F
Volume Tes tis Kanan
(ml)
Equal variances
as sumed
Equal variances
not ass umed
Equal variances
as sumed
Equal variances
not ass umed
1,079
,028
Sig.
,304
,868
df
Sig. (2-tailed)
Mean
Difference
Std. Error
Difference
95% Confidence
Interval of the
Difference
Lower
Upper
-1,572
53
,122
-,2734
,1739
-,6222
,0754
-1,553
47,151
,127
-,2734
,1760
-,6274
,0806
-3,670
52
,001
-,5689
,1550
-,8799
-,2578
-3,789
51,589
,000
-,5689
,1501
-,8702
-,2675
USIA
Group Statistics
Us ia ( tahun )
Sampel
Kasus
Kontrol
N
31
31
Mean
3,67077
3,59168
Std. Deviati on
3,024875
2,888453
Std. Error
Mean
,543284
,518781
F
Us ia ( tahun )
Equal variances
as sumed
Equal variances
not ass umed
Sig.
,029
,864
df
Sig. (2-tailed)
Mean
Difference
Std. Error
Difference
95% Confidence
Interval of the
Difference
Lower
Upper
,105
60
,916
,079097
,751193
-1,423513
1,581707
,105
59,873
,916
,079097
,751193
-1,423579
1,581773
KRIPTORKISMUS
Case Processing Summary
Valid
N
Lokasi Kriptorkismus
* Jenis Kriptorkismus
Percent
31
96,9%
Cases
Missing
N
Percent
1
Total
N
3,1%
Percent
32
Lokasi
Kriptorkismus
Total
Int rabadominal
Inguinal
Preskrotal
Total
13
13
5
31
100,0%
Chi-Square Te sts
Value
1,574a
1,656
,077
4
4
As ymp. Sig.
(2-sided)
,813
,799
,781
df
31
UMUR
DX
vol Ka
vol Ki
P penis
BBL
UK
PBL
1a
1b
1 th, 5 bln
1 th, 7 bln
K Inguinal ki
Sehat
2
2
2
2
52
51
2a
2b
1 th, 8 bln
1 th, 8 bln
K Inguinal ki
Sehat
1.5
1.5
1.5
1.5
48
49
3a
3b
1 th, 9 bln
1 th, 11 bln
K Intraabdominal ki
Sehat
2
2
49
53
4a
4b
1 th, 2 bln
10 bln
K Preskrotal ki
Sehat
1.5
2
1.5
2
4 2450 Aterm
4 3100 Aterm
45
50
5a
5b
7 th, 2 bln, 23 hr
6 th, 8 bln
K Inguinal Bilateral
Sehat
2
2.5
1
2.5
51
52
6a
6b
1 th, 5 bln, 16 hr
1 th, 5 bln, 3 hr
K Inguinal ki
Sehat
2.5
2
2
2
4 3300 Aterm
4.3 2850 Aterm
52
49
7a
7b
1 th,
7 hr
1 th, 2 bln, 21 hr
K Inguinal ka
Sehat
1.5
2.5
1.5
2.5
4 3030 Aterm
4.7 2900 Aterm
49
51
8a
8b
3 th, 1 bln, 3 hr
3 th, 1 bln, 10 hr
K Inguinal ki
Sehat
2.5
3
1
3
5 3800 Aterm
4.8 3500 Aterm
52
51
9a
9b
1 th, 3 bln, 14 hr
1 th, 4 bln, 25 hr
K Preskrotal ka
Sehat
1.5
2.5
2
2.5
51
52
53
2.5
2.5
5 3350 Aterm
49
2
2
50
48
50
50
4 4090 Aterm
50
10a
10b hr
9 bln, 2 hr
10 bln, 1
K Inguinal ki
Sehat
11a 1 th,
13 hr
11b 1 th, 1 bln, 23 hr
K Inguinal ka
Sehat
2
2
K Intraabdominal ki
Sehat
3
2
13a
K Intraabdominal
11 bln
Bilateral
13b hr
7 bln, 25
15a hr
15b
11 bln, 10
8 bln
Sehat
52
K Inguinal ki
Sehat
1
2
1
2
50
50
K Intraabdominal ki
Sehat
2
3
49
51
47
49
K Intraabdominal
Bilateral
Sehat
17a
17b
K Preskrotal ki
Sehat
3
1.8
2
1.8
52
51
K Bilateral
Sehat
2.5
2
2.5
50
51
K Intraabdominal ka
Sehat
2
2.5
5 1900 Aterm
5 2900 Aterm
43
50
K Inguinal ki
Sehat
3
2.5
1.8
2.5
4 3550 Aterm
5 3200 Aterm
51
50
K Preskrotal ka
Sehat
2.5
2.5
2
2.5
5 3250 Aterm
5 3200 Aterm
50
48
K Intraabdominal ka
Sehat
2.5
2
2.5
4 2900 Aterm
4.2 3500 Aterm
48
48
K Preskrotal Bilateral
Sehat
3
5
2.5
5
5 3000 Aterm
8 3200 Aterm
50
50
4 th, 11 bln, 14
24a hr
24b 4 th, 6 bln, 29 hr
K Inguinal ka
Sehat
2
2
2
2
5 3050 Aterm
4.5 3500 Aterm
48
50
K Inguinal ki
Sehat
1.8
2.5
1
2.5
5 3800 Aterm
5 3100 Aterm
52
50
6 bln, 6 hr
9 bln, 27 hr
26a
6 th, 8 bln, 30 hr
5 th, 10 bln, 21
26b hr
K Inguinal ka
2.5
50
Sehat
5 3000 Aterm
51
K Intraabdominal ki
Sehat
0.5
2
46
48
8 th, 11 bln, 26
28a hr
28b 8 th, 8 bln, 28 hr
K Intraabdominal ki
Sehat
3
3
51
50
K Intraabdominal ka
Sehat
2.5
2
2.5
48
51
K Intraabdominal ki
Sehat
1.5
2.5
2.5
4 2700 Aterm
5 3000 Aterm
49
50
K Intraabdominal ka
Sehat
1.5
2
49
49
Exon 1 gen
Insl3
Exon8 gen
Lgr8
1a
normal
normal
normal
gaa-->gag*(E319E)
1b
acc->gcc*(T60A)
normal
normal
gaa-->gag*(E319E)
normal
gaa->gan*(E319E)
2a
2b
3a
gcg-->gca (A9A)
acc->gcc*(T60A)
normal
gcg-->gca (A9A)
acc->gcc*(T60A)
normal
gcg-->gcn (A9A)
acc->ncc*(T60T)
cta-->ctn (L 331L)
normal
normal
cta-->ctn (L 331L)
normal
gaa-->gag*(E319E)
3b
normal
normal
normal
gaa->gan*(E319E)
4a
acc--
normal
normal
gaa-->gag*(E319E)
Exon 13 gen
Lgr8
ctt-->ctn (L 344 L)
aag->aaa*(K346K)
cag-->can(Q 348
Q)
cct-->ccc (P 340
P)
cac-->ccc (H 345
P)
aag->aaa*(K346K)
tca-->gca (S 337
A)
cac-->ccc (H 345
P)
aag->aaa*(K346K)
tct-->tcc (S 357
S)
cac-->ccc (H 345
P)
aag->aaa*(K346K)
tca-->gca (S 337
A)
cct-->ccc (P 340
P)
cac-->ccc (H 345
P)
aag->aaa*(K346K)
tct-->tcc (S 357
S)
cac-->ccc (H 345
P)
aag->aaa*(K346K)
tca-->gca (S 337
>ncc*(T60T)
4b
acc->gcc*(T60A)
normal
normal
gaa-->gag*(E319E)
5a
acc->ncc*(T60T)
normal
normal
gaa-->gag*(E319E)
5b
normal
normal
normal
gaa-->gag*(E319E)
cta-->ctg (L331L)
6a
acc->ncc*(T60T)
normal
normal
gaa-->gag*(E319E)
cta-->ctg (L331L)
6b
normal
normal
normal
normal
7a
gcg-->gcn (A9A)
acc->gcc*(T60A)
normal
normal
gaa-->gag*(E319E)
7b
acc->gcc*(T60A)
cta-->ctg (L331L)
normal
normal
gaa-->gag*(E319E)
A)
cct-->ccc (P 340
P)
cac-->ccc (H 345
P)
aag->aaa*(K346K)
cag-->ccg (Q 356
P)
tct-->tcc (S 357 S
)
cct-->ccc (P 340
P)
aag->aaa*(K346K)
tca-->gca (S 337
A)
cac-->ccc (H 345
P)
aag->aaa*(K346K)
normal
tca-->gca (S 337
A)
cac-->ccc (H 345
P)
aag->aaa*(K346K)
tct-->tcc (S 357
S)
cct-->ccc (P 340
P)
aag->aaa*(K346K)
cct-->ccc (P 340
P)
aag->aaa*(K346K)
caa-->aaa (Q
354K)
aag->aaa*(K346K)
8a
gcg-->gcn (A9A )
acc->gcc*(T60A)
normal
normal
gaa-->gag*(E319E)
8b
normal
normal
normal
gaa-->gag*(E319E)
9a
gcg-->gcn (A9A )
acc->ncc*(T60T)
normal
normal
gaa-->gag*(E319E)
9b
normal
normal
normal
gaa-->gag*(E319E)
10a
acc->gcc*(T60A)
normal
normal
aat-->ant (N315N)
11a
acc->gcc*(T60A)
normal
normal
normal
normal
tca-->gca (S 337
A)
cct-->ccc (P 340
P)
cac-->ccc (H 345
P)
aag->aaa*(K346K)
tct-->tcc (S 357
S)
cac-->ccc (H 345
P)
aag->aaa*(K346K)
gaa->gan*(E319E)
tca-->gca (S 337
A)
cct-->ccc (P 340
P)
cac-->ccc (H 345
P)
aag->aaa*(K346K)
cag-->ccg(Q 356
P)
tct-->tcc (S 357 S)
aag->aaa*(K346K)
gaa-->gag*(E319E)
tct-->tnt (S 357
C)
gaa-->gag*(E319E)
10b normal
tca-->gca (S 337
A)
cct-->ccc (P 340
P)
cac-->ccc (H 345
P)
aag->aaa*(K346K)
tct-->tcc (S 357 S)
cac-->ccc (H 345
P)
aag->aaa*(K346K)
11b normal
acc->gcc*(T60A)
acc-12b >gcc*(T60A)
12a
13a
acc->ncc*(T60T)
normal
normal
cta-->ctg (L331L)
normal
normal
normal
gaa-->gag*(E319E)
normal
normal
gaa-->gag*(E319E)
cga-->cna(R73R)
aga-->ana
aat-->ant (N315N)
(n 223 g-->t )
gaa-->gag*(E319E)
aga=kdn stp
ata=Met
acc-13b >gcc*(T60A)
14a
atg-->ntg
(M1M)
normal
normal
gaa-->gag*(E319E)
gcc->gac(A166D)
normal
gaa-->gag*(E319E)
cta-->ctg (L331L)
acc-14b >gcc*(T60A)
acc->ncc*(T60T)
acc-15b >gcc*(T60A)
15a
16a
acc->ncc*(T60T)
normal
normal
cac-->ccc (H 345
P)
aag->aaa*(K346K)
tca-->gca (S 337
A)
cac-->ccc (H 345
P)
aag->aaa*(K346K)
cag-->ccg (Q 356
P)
tct-->tcc (S 357 S)
aag->aaa*(K346K)
cct-->ccc (P 340
P)
cac-->ccc (H 345
P)
aag->aaa*(K346K)
caa-->aaa(Q 354
K)
normal
normal
normal
normal
normal
normal
gaa--gag*(E319E)
aag->aaa*(K346K)
normal
normal
gaa--gag*(E319E)
normal
normal
gaa-->gag*(E319E)
tgc->tgg(C115W)
tgc->tngc(C116C)
cta-->ctg (L331L)
tca-->ncc (S 337
A)
cct-->ccn (P 340
P)
cac-->ccc (H 345
P)
aag--
>aan*(K346K)
cag-->cng(Q 356
P)
acc-16b >gcc*(T60A)
normal
normal
normal
acc->gcc*(T60A)
normal
normal
gaa-->gag*(E319E)
normal
normal
gaa-->gag*(E319E)
18a
normal
normal
normal
gaa-->gag*(E319E)
acc-18b >gcc*(T60A)
normal
normal
gaa-->gag*(E319E)
17a
19a
cta-->ctn (L42L)
acc->ncc*(T60T)
acc-19b >ncc*(T60A)
normal
normal
gaa-->gag*(E319E)
cta-->ctn (L331L)
normal
normal
gaa-->gag*(E319E)
cta-->ctn (L331L)
20a
gcg-->gcn (A9A)
acc->ncc*(T60T)
normal
normal
gaa->gan*(E319E)
cta-->ctn (L331L)
normal
aag->aaa*(K346K)
cct-->ccc (P 340
P)
aag->aaa*(K346K)
tca-->gcc (S 337
A)
cct-->ccn (P 340
P)
cac-->ccc (H 345
P)
aag->aaa*(K346K)
cag-->ccg (Q 356
P)
tct-->tcc (S 357 S)
cct-->ccc (P 340
P)
aag->aaa*(K346K)
cct-->ccc (P 340
P)
aag->aaa*(K346K)
caa-->aaa(Q 354
K)
cct-->ccc (P 340
P)
aag->aaa*(K346K)
tca-->gca (S 337
A)
cac-->ccc (H 345
P)
acc-20b >ncc*(T60T)
21a
acc->ncc*(T60T)
normal
normal
normal
normal
gaa-->gag*(E319E)
gaa-->gag*(E319E)
cta-->ctn (L331L)
acc-21b >ncc*(T60T)
22a
acc->ncc*(T60T)
normal
normal
gaa-->gag*(E319E)
cta-->ctg (L331L)
normal
normal
gaa-->gag*(E319E)
normal
normal
gaa-->gag*(E319E)
acc->ncc*(T60T)
normal
normal
acc-23b >ncc*(T60T)
gaa-->gag*(E319E)
cta-->ctg (L331L)
normal
normal
gaa-->gag*(E319E)
22b normal
23a
cta-->ctn (L331L)
24a
acc->gcc*(T60A)
normal
normal
gaa->gan*(E319E)
cta-->ctn (L331L)
aag->aaa*(K346K)
cag-->ccg (Q 356
P)
tct-->tcn (S 357
S)
cac-->ccc (H 345
P)
aag->aaa*(K346K)
tca-->gca (S 337
A)
cac-->ccc (H 345
P)
aag->aaa*(K346K)
tct-->tcc (S 357 S)
normal
tca-->gca (S 337
A)
cac-->ccc (H 345
P)
aag->aaa*(K346K)
cag-->ccg(Q 356
P)
tct-->tcc (S 357 S)
aag->aan*(K346K)
aag->aan*(K346K)
cct-->ccc (P 340
P)
aag->aaa*(K346K)
tca-->gca (S 337
A)
cac-->ccc (H 345
P)
acc-24b >gcc*(T60A)
25a
acc->ncc*(T60T)
aag-->aaa
(K346K)
cag-->ccg(Q 356
P)
tct-->tcc (S 357 S)
normal
normal
normal
normal
normal
normal
gaa->gan*(E319E)
tca-->gca (S 337
A)
cac-->ccc (H 345
P)
aag->aaa*(K346K)
cag-->ccg (Q 356
P)
tct-->tcc (S 357
S)
cta-->ctn (L331L)
acc-25b >ncc*(T60T)
normal
26a
gag->nag(E146E)
normal
normal
normal
gaa-->gag*(E319)
gaa-->gag*(E319E)
cta-->ctn (L331L)
acc-26b >ncc*(T60A)
normal
normal
normal
normal
normal
normal
normal
acc-27b >gcc*(T60A)
normal
normal
gaa-->gag*(E319E)
acc->ncc*(T60T)
normal
normal
gaa-->gag*(E319E)
cta-->ctg (L331L)
28a
cct-->ccc (P 340
P)
aag->aaa*(K346K)
caa-->aaa
(Q354K)
normal
gaa->gan*(E319E)
27a
normal
cac-->ccc (H 345
P)
aag->aaa*(K346K)
aag->aan*(K346K)
acc-28b >ncc*(T60T)
normal
normal
gaa-->gag*(E319E)
aag->aan*(K346K)
29a
gag--
normal
gaa-->gag*(E319)
tca-->gca (S 337
cta-->cnn (L
42P)
gtg->nnG(V43M)
29b normal
30a
acc->ncc*(T60T)
30b normal
31a
normal
31b normal
>nag(E146E)
cag->can(Q157Q)
normal
normal
normal
normal
normal
gaa-->gag*(E319E)
normal
normal
gaa-->gag*(E319E)
normal
gaa-->gag*(E319E)
aga>ana(st140st)
ggc->ngc(G144G)
gag->nag(E146E)
normal
cta-->ctn (L331L)
normal
gaa-->gag*(E319E)
cta-->ctn (L331L)
A)
cct-->ccn (P 340
P)
cac-->ccc (H 345
P)
aag->aaa*(K346K)
tct-->tcc (S 357 S)
normal
aag->aan*(K346K)
cac-->ccc (H 345
P)
aag->aaa*(k346K)
cct-->ccc (P 340
P)
cac-->ccc (H 345
P)
aag->aaa*(K346K)
caa-->aaa(Q 354
K)
cct-->ccc (P 340
P)
aag->aaa*(K346K)
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
H. INSL3
KASUS
(ng/ml)
0.1904058
0.5362109
0.4012646
0.3292573
0.281722
0.5975522
0.1442106
0.1608039
0.1042727
0.4198922
0.3738507
0.2731723
0.4226324
0.5220163
0.6268736
1.2724178
0.1608039
0.5116504
0.1892888
0.5508458
0.6183321
0.5362109
0.7671773
0.2834679
0.1009004
0.1171015
0.2130963
0.2585082
0.3092348
0.5255245
0.4883599
H.INSL3
KONTROL
(ng/ml)
1.4169475
0.9043142
0.40112646
0.6355499
1.086353
0.5975522
2.114116
1.086353
0.6183321
0.4198922
0.5015177
0.2731723
1.7529988
1.0545779
0.6268736
1.2724178
0.710113
0.5116504
1.1707339
0.5508458
0.6183321
0.5362109
0.7671773
1.1795801
1.2065847
1.1795801
1.8697823
0.9797102
1.2157443
0.5255245
0.4883599
H.ESTRADIOL
KASUS
(ng/ml)
34.978942
11.11795
13.213316
8.5317286
8.1462224
12.821716
16.96918
8.376805
14.176422
9.7364492
8.1462224
13.270072
10.837781
11.276767
16.113158
24.070137
12.739086
14.664286
10.29775
11.552298
10.27479
13.673145
14.976343
20.707599
7.8850561
12.684248
37.181571
95.244748
12.821716
13.185015
19.772678
H.ESTRADIOL
KONTROL
(ng/ml)
0.0001224
7.7934803
7.2623041
10.047539
10.670974
18.759325
9.4120959
13.760847
9.3271397
7.0920412
14.633385
11.35136
8.9936714
8.4534403
10.160634
15.007855
0.0001125
9.031805
7.8483195
8.4925096
7.1258275
15.94642
23.371875
7.8300044
0.0001495
7.2795144
8.5710979
7.2279844
9.3805
7.86667
13.213316
Th 2009
Seminar
praproposal
26
Nopember
Ujian
Kwalifikasi
Kuliah
MKPD
Mengurus
ethical
clearance
Seminar
kelayakan
proposal
Ujian
proposal
Pelaksanaan
penelitian
Seminar
kelayakan
naskah
Disertasi
Th
2010
Th
Th
Th
Th
Th
Th
2010 2010 2010 2010 2010 2010
Th
2011
Th
2011
12
Maret
6
April
- 18
juni
25
Mei
-9
Juni
7
Juli
2
Sep
Sep
Des
Maret
18
Mei
Ujian
tertutup
16
Juni
Ujian
terbuka
4
Agus
KUISIONER PENELITIAN
Identitas sampel:
Nama sampel :
Tanggal lahir
Umur
No CM
Cara persalinan :
Berat badan lahir :
Umur kehamilan :
Panjang badan lahir :
Tempat penelitian :
Penyakit yang pernah diderita oleh sampel :
Nama ayah
Alamat
No. Telpon :
ml ,
2, kiri =
ml
Gen Insl3
Gen LGR-8
ml.
Judul Penelitian :
Polimorfisme gen Insl3 dan LGR8, Kadar hormon INSL3 dan estradiol
sebagai faktor risiko kriptorkismus pada anak.
Umur
Jenis Kelamin
Bersedia dengan sukarela anak saya diikutkan menjadi subjek penelitian dengan judul :
Polimorfisme gen Insl3 dan LGR8, Kadar hormon Insl3 dan estradiol sebagai faktor risiko
kriptorkismus pada anak, setelah mendengar penjelasan mengenai latar belakang, manfaat,
risiko dan cara kerja dalam penelitian ini.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya tanpa ada tekanan dari pihak manapun.
Denpasar,
Peneliti
(.)
Tanda tangan, nama terang
1. Kasus anak kriptorkismus yang diambil secara consecutive sampling dari rekam medis
dianamnesis dan diperiksa ulang oleh peneliti atau oleh dokter spesialis anak konsultan
endokrin, kemudian dicarikan kontrol di poliklinik anak RSUD wangaya, RSUP Sanglah,
RB permata hati yang di matching pada usia dalam tahun dan usia kehamilan.
2. Sampel yang sudah memenuhi syarat sebagai kasus maupun kontrol diberikan penjelasan
oleh peneliti mengenai prosedur ,tujuan, manfaat dan efek samping penelitian ini, setelah
orang tua sampel bersedia sebagai sampel disarankan untuk menandatangai informed
concent.
3. Kasus maupun kontrol yang sudah menandatangai informed concent disiapkan untuk
diambil contoh darahnya.
4. Disiapkan alat-alat untuk mengambil contoh darah ( wing needle no 25, spuit 10ml,
alkohol swab untuk desinfeksi, betadin 60 ml, plester, hanchun, botol steril yang berisi
EDTA dan yang tidak berisi EDTA, termos es untuk menyimpan sampel, karet untuk
membendung aliran vena)
5. Pengambilan sampel darah dilakukan oleh petugas Laboratorium Prodia yang terlatih dan
ditunjuk membantu penelitian ini. Sebelum mengambil contoh darah petugas
menggunakan hanchun, kemudian dilakukan pembenungan pada lengan atas dengan karet
dan melakukan desinfeksi pada daerah cubiti dengan betadin dan alkohol swab 70%.
6. Setelah dilakukan desinfeksi petugas mengambil darah vena pada bagian volar articulus
cubiti dengan menggunakan wing needle no 25 yang disambung dengan spuit 10 ml,
selanjutnya darah vena diambil sebanyak 6 ml, setelah dapat darah sebanyak 6 ml,
kemudian 3 ml dimasukkan ke dalam botol yang sudah berisi EDTA dan 3 ml
dimasukkan ke dalam botol yang tidak berisi EDTA.
7. Botol dengan darah EDTA dan tanpa EDTA diberikan etiket identitas sampel kemudian
dimasukkan ke dalam termos es.
8. Bila sampel yang mau diambil darahnya sudah habis petugas laboratorium prodia yang
membantu penelitian ini membawa sampel darah ke Laboratorium Biomolekuler FK
UNUD yang selanjutnya diserahkan kepada petugas laboratorium biomolekuler yang
ditunjuk membantu penelitian ini (pengambilan sampel darah dilakukan pada hari senin
sampai hari jumat).
1. Urutan pemeriksaan DNA: Extraks DNA yang sudah disimpan pada suhu -200C diambil
untuk dilakukan PCR, selanjutnya hasil PCR di purifikasi, hasil purifikasi atau hasil PCR
dikirim ke Lembaga Eijkman Jakarta, untuk dilakukan cycle Sequencing, kemudian
dilakuan presipitasi,
kemudian hasil presipitasi yang berupa pure dried DNA
ditambahkan Hidi Formamide dan masukkan kedalam mesin sequencer untuk melakukan
sequencing electrophoresis, hasilnya berupa electro pherogram yang kemudian dianalisis
menggunakan Bioedit Soft Ware.
2. PCR: menggunakan mesin PCR biasa 9700 atau 9600, bahannya adalah: dNTP, tag
polimerase, MgCl (buffer), Primer Forward, Primer Reverse, d H2O yang steril, DNA
hasil extraksi.
3. Cycle Sequencing : menggunakan mesin PCR biasa 9700 atau 9600, bahannya adalah:
dNTP, ddNTP, tag polimerase, buffer, menggunakan salah satu primer Forward atau
primer Reverse, DNA hasil purifikasi, dH2O steril ( free RNAse),
4. Presipitasi : menggunakan mesin Thermo Scientific Centrifuge, bahannya adalah: EDTA,
sodium asetat, etanol absorbent, etanol 70 %, DNA hasil cycle sequencing, hasilnya
berupa: pure dried DNA
5. Sequencing electrophoresis: menggunakan mesin Applied Biosystem (ABI) Genetic
Analyzer 3130 atau 3130XL, bahannya pure dried DNA dan Hidi Formamide, hasilnya
berupa electro pherogram.
DAFTAR PENELITIAN
NO
1
METODOLOGI
HASIL PENELITIAN
KESIMPULAN
maskulinisasi
berhubungan dg penotif
Canto P dkk
nukleotida 2560
Ferlin A dkk
5!-(CCCAAGCTT)C-CACCATGGACCCCCGT-3! Dan
Bogatcheva NV dkk
5!-(CCCAGATCT)GTAGG-GACAGAGGGCAGCA-3!
pertumbuhan gubernakulum.
fisme
10
gubernakulum
gubernakulum
11
Nuti F dkk
12
orchidopeksi
dan fertilitas.
sus testis.
14
15
5! Nuclease assay.
endokrin (EEDs)
18
Clinical Endocrinology&Metabolism
menyebabkan kriptorkismus .
20
kontrasepsi laki-laki.