TESIS
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2014
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2014
Lembar Pengesahan
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Mengetahui
Ketua Program Studi Ilmu Biomedik
Program Pascasarjana
Universitas Udayana,
Direktur
Program Pascasarjana
Universitas Udayana,
NIP. 194612131971071001
NIP. 195902151985102001
Ketua
Sekretaris
Anggota
sebagai hiburan disaat lelah. Kedua orang tua dan mertua yang telah dengan
penuh kasih sayang dan penuh cinta membesarkan, mendidik, dan
mendukung sepenuhnya sehingga usulan penelitian ini dapat terselesaikan.
Tak lupa juga terima kasih untuk kakakku dan adikku tersayang, Putu Yuli
Mardini dan Komang Agus Suadi beserta keluarga kecilnya yang senantiasa
menemani dan berbagi suka duka selama pendidikan ini.
14. Kepada semua pihak, keluarga, sahabat, rekan paramedis dan non paramedis
yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu di sini, atas seluruh dukungan
dan bantuan yang telah diberikan selama penulis menjalani pendidikan PPDS
I IKA.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini jauh dari sempurna. Dengan
segala kerendahan hati, penulis mohon maaf apabila ada kesalahan dalam penulisan
tesis ini. Sekiranya, penulis tetap mohon petunjuk untuk perbaikan supaya hasil yang
tertuang dalam tesis ini dapat bermanfaat bagi ilmu kedokteran dan pelayanan
kesehatan.
ABSTRAK
KADAR SENG SERUM RENDAH SEBAGAI FAKTOR RISIKO
PERAWAKAN PENDEK PADA ANAK
Perawakan pendek/stunting sering dijumpai di negara berkembang dan
digunakan sebagai indikator kesehatan pada suatu negara. Perawakan pendek
mengakibatkan meningkatnya risiko penyakit
metabolik, mengganggu
perkembangan kognitif, prevalensi infeksi meningkat akibat imunitas yang menurun,
mengalami defisit fisik dan fungsional dan menyebabkan kematian. Faktor nutrisi
yang paling penting menyebabkan stunting adalah kurangnya asupan energi, protein
dan mikronutrien seperti besi, vitamin A dan seng.
Penelitian ini dilakukan di UPT Puskesmas Klungkung I, Kabupaten
Klungkung, mulai bulan Agustus 2013 sampai September 2013, secara observasional
analitik dengan kasus kontrol. Faktor risiko yang diteliti ditelusuri secara retrospektif
pada kedua kelompok yang dianalisis. Kadar seng serum yang rendah yaitu <65
g/dl sebagai faktor risiko perawakan pendek dianalisis dengan uji Chi-square.
Besarnya risiko dinyatakan dalam rasio odds (RO).
Prevalensi kadar seng serum rendah pada penelitian ini sebesar 88,5%.
Terdapat perbedaan bermakna antara kadar seng serum rendah pada kelompok
dengan perawakan pendek dibandingkan normal (adjusted RO 16,1; IK95% 3,184,0; p=0,001) dan pada asupan kalori yang rendah (adjusted RO 29,4; IK95% 2,76314,7; p=0,001). Kadar seng serum rendah, asupan kalori yang rendah sebagai faktor
risiko perawakan pendek. Perlu pemberian informasi ibu balita mengenai nutrisi
termasuk zat energi dan seng sehingga dapat mencegah malnutrisi terutama
perawakan pendek.
Kata kunci :seng, perawakan pendek, anak
10
ABSTRACT
ZINC DEFICIENCY AS A RISK FACTOR OF SHORT STATURE ON
CHILDREN
11
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM ............................................................................. i
PRASYARAT GELAR................................................................................. ii
LEMBAR PENGESAHAN ......................................................................... iii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI ..................................... ....... iv
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN. v
UCAPAN TERIMA KASIH ........................................................................ vi
ABSTRAK ....................................................................................... ix
ABSTRACT .................................................................................................. x
DAFTAR ISI.... xi
DAFTAR GAMBAR... xiv
DAFTAR TABEL.... xv
DAFTAR SINGKATAN ............................................................................. xvi
DAFTAR LAMPIRAN..
xvii
BAB I PENDAHULUAN..
12
25
13
4.3.2.1.Kriteria Eligibilitas.30
4.3.2.2 Perhitungan Besar Sampel 31
4.4 Variabel Penelitian 32
4.4.1 Identifikasi Operasional Variabel..... 32
4.4.2 Definisi Operasional Variabel 32
4.5 Instrumen Penelitian
36
14
DAFTAR GAMBAR
15
26
28
42
15
DAFTAR TABEL
2.1 Kategori perawakan pendek berdasarkan Z-score standar
WHO 2005 ......................................................
16
22
46
47
16
DAFTAR SINGKATAN
GH
= growth hormon
= mili liter
km2
= kilometer persegi
17
DAFTAR LAMPIRAN
68
71
18
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perawakan pendek/stunting sering dijumpai di negara berkembang dan
digunakan sebagai indikator kesehatan pada suatu negara. Penyebab perawakan
pendek salah satunya adalah malnutrisi kronis. Malnutrisi kronis banyak disebabkan
oleh defisiensi seng.
Terdapat sekitar 178 miliar anak usia dibawah lima tahun di dunia mengalami
perawakan pendek, 167 miliar terdapat di negara berkembang. Pada tahun 2020
sekitar 28% anak dibawah 5 tahun akan mengalami perawakan pendek di Asia
(Onis dkk., 2011). Di Indonesia, hasil survey yang dilakukan di 7 provinsi
menunjukkan jumlah anak perawakan
antaranya mengalami perawakan pendek berat (Best dkk., 2008). Di Bali, hasil
penelitian di Desa Sangkan Gunung menunjukkan prevalensi anak usia di bawah 5
tahun dengan perawakan pendek sebesar 36,4% (Mardewi dan Sidhiartha, 2012).
Perawakan pendek mengakibatkan meningkatnya risiko penyakit metabolik
seperti diabetes tipe II pada usia remaja (Kimani-Murage dkk., 2010). Kondisi ini
juga mengganggu perkembangan kognitif, rendahnya tingkat pendidikan yang
diperoleh serta rendahnya pendapatan (Cheung dan Ashorn, 2009). Prevalensi infeksi
menjadi meningkat akibat imunitas yang menurun, mengalami defisit fisik dan
fungsional. Perawakan pendek pada masa anak anak akan menetap pada masa
dewasa sehingga dapat menurunkan kapasitas kerja dan kualitas kerja (Senbanjo
dkk., 2011). Perawakan pendek dan malnutrisi bersama dengan kegagalan tumbuh
19
intrauterin menyebabkan kematian sebanyak 2,1 juta anak di seluruh dunia yang
berusia kurang dari 5 tahun (Black dkk., 2008).
Faktor yang mempengaruhi kurang gizi pada balita adalah genetik/hormonal,
sosial ekonomi rendah, kurangnya pendidikan dan pengetahuan orang tua, jumlah
keluarga yang banyak (Senbanjo dkk., 2011; Musthaq dkk., 2011; Imdad dkk.,
2011). Jenis kelamin laki laki lebih berisiko mengalami perawakan
pendek
(Wamani dkk., 2007), penyakit infeksi dan penyakit kronis juga mempengaruhi
(Casapia dkk, 2006). Orang tua yang merokok di dalam rumah diketahui sebagai
faktor risiko terjadinya perawakan pendek (Musthaq dkk., 2011; Best dkk., 2011;
Kyu dkk., 2009). Faktor nutrisi yang paling penting menyebabkan stunting adalah
kurangnya asupan energi, protein dan mikronutrien seperti besi, vitamin A dan seng
(Umeta dkk., 2003; Gibson dkk., 2007).
Seng merupakan mikronutrien yang paling berpengaruh terhadap pertumbuhan
anak di negara berkembang. Defisiensi seng sebagai penyebab perawakan pendek
dengan mekanisme menyebabkan anoreksia sehingga asupan energi rendah dan
pertumbuhan terganggu. Seng berperan dalam sintesis DNA dan RNA yang penting
dalam replikasi dan differensiasi kondrosit dan osteoblast, transkripsi dan sintesis
somatomedin, osteokalsin dan kolagen serta metabolisme karbohidrat, protein dan
lemak. Seng mempengaruhi sintesis dan sekresi growth hormon (GH) dan aktivasi
insulin-like growth factor 1 (IGF-1) atau somatomedin di hati dan tulang. Defisiensi
seng juga menurunkan sistem imun sehingga meningkatkan frekuensi sakit atau
morbiditas, kebutuhan energi dan seng menjadi meningkat yang akhirnya
menghambat pertumbuhan linier (Salgueiro dkk., 2002).
20
Penelitian Gibson dkk. (2007) pada anak usia 6-12 tahun, terdapat perbedaan
yang bermakna antara kadar seng serum pada anak laki laki dengan perawakan
pendek yaitu 9.19 mol/L (95% CI 8,53-9,84) dibandingkan anak dengan
perawakan normal yaitu 9,70 mol/L (95% CI 8,53-9,29), namun pada perempuan
tidak ada perbedaan. Penelitian metaanalisis oleh Brown dkk. (2002), pemberian
suplementasi seng pada anak usia dibawah 12 tahun menunjukkan efek positif
terhadap peningkatan tinggi badan sebesar 0,35 cm (95% CI 0,189-0,511) namun
sebaliknya pada 8 group studi (24,2%). Pada penelitian tersebut, 14 studi
menunjukkan perbedaan yang bermakna terhadap konsentrasi seng serum yaitu
peningkatan sebesar 0,820 mol/L (95% CI 0,499-1,14) dan 1 studi menunjukkan
tidak bermakna.
Penelitian
lain
oleh
Mozaffari-Koshravi
dkk.
(2008)
menunjukkan
suplementasi seng hanya berdampak pada anak laki laki usia 2-5 tahun, namun
tidak dilakukan pemeriksaan kadar seng serum sebelum dan setelah suplementasi
seng. Walker dan Black (2007) melaporkan 28 penelitian dari usia lahir sampai 17
tahun, hasilnya 7 penelitian tidak menimbulkan efek suplementasi seng terhadap
tinggi maupun berat badan, efek terhadap seng serum positif hanya pada 1 penelitian
yaitu pada anak dengan kadar seng serum yang rendah sebelum diberikan
suplementasi. Data tersebut mengindikasikan suplementasi seng pada populasi
berisiko termasuk perawakan pendek dan aplikasinya memerlukan penilaian terhadap
kondisi setempat. Kadar seng serum dapat digunakan sebagai indikator keberhasilan
pemberian dan tingkat absorpsi seng (Brown dkk., 2002).
21
22
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Perawakan Pendek
23
Ambang Batas
+2SD
TB/U
2.1.2
Status Gizi
Jangkung
-2 SD s/d + 2 SD
Normal
-3 SD s/d < -2 SD
Pendek (stunting)
<-3 SD
Stunting berat
24
2.1.2.1.1
Tinggi badan orang tua maupun pola pertumbuhan orang tua merupakan kunci
untuk mengetahui pola pertumbuhan anak. Faktor genetik tidak tampak saat lahir
namun akan bermanifestasi setelah usia 2-3 tahun. Korelasi antara tinggi anak dan
midparental high (MPH) 0,5 saat usia 2 tahun dan menjadi 0,7 saat usia remaja
(cuttler Leona, 1996). Perawakan pendek familial ditandai oleh pertumbuhan yang
selalu berada di bawah persentil 3, kecepatan pertumbuhan normal, usia tulang
normal, tinggi badan orang tua atau salah satu orang tua pendek dan tinggi akhir di
bawah persentil 3 (Batubara, 2010).
2.1.2.1.2
25
Penyakit infeksi
Penyakit infeksi akut akibat infeksi sistemik seperti penumonia, diare persisten,
disentri dan penyakit kronis seperti kecacingan mempengaruhi pertumbuhan linear.
Infeksi akan menyebabkan asupan makanan menurun, gangguan absorpsi nutrien,
kehilangan mikronutrien secara langsung, metabolisme meningkat, kehilangan
nutrien akibat katabolisme yang meningkat, gangguan transportasi nutrien ke
jaringan. Pada kondisi akut, produksi proinflamatori seperti cytokin berdampak
langsung pada remodeling tulang yang akan menghambat pertumbuhan tulang
(Stephensen, 1999). Penelitian oleh Casapia (2006) menunjukkan infeksi parasit
merupakan faktor risiko sebagai penyebab perawakan pendek.
2.1.2.2.2
Penyakit endokrin
26
pertumbuhan,
mempengaruhi
kondrosit
secara
langsung
dengan
meningkatkan sekresi IGF-1 serta memacu maturasi kondrosit (Salgueiro dkk., 2002;
Batubara, 2010).
Hormon glukokortikod diperlukan dalam meningkatkan glukoneogenesis,
meningkatkan sintesis glikogen, meningkatkan konsentrasi gula darah dan balance
nitrogen negatif. Pada gastrointestinal memiliki efek meningkatkan produksi pepsin
dilambung, meningkatkan produksi asam lambung, menghambat vitamin D sebagai
mediator untuk mengabsorpsi kalsium. Glukokortikoid pada jaringan berdampak
menurunkan kandungan kolagen pada kulit dan tulang, menurunkan kolagen pada
dinding pembuluh darah serta menghambat formasi granuloma. Efek glukokortikoid
lainnya diperlukan dalam pertumbuhan normal, kelemahan otot, menghambat
pertumbuhan skeletal dan menghambat pengeluaran hormon tiroid (Kappy, 2010).
27
Penyakit genetik dan sindrom merupakan etiologi yang belum jelas diketahui
penyebabnya berhubungan dengan perawakan pendek. Beberapa gangguan
kromosom, displasia tulang dan suatu sindrom tertentu ditandai dengan perawakan
pendek. Sindrom tersebut diantaranya sindrom Turner, sindrom Prader-Willi,
sindrom
Down
dan
displasia
tulang
seperti
osteochondrodystrophies,
Malnutrisi
28
nitrogen,
sulfur,
phospor, klorin dan air. Malnutrisi tipe 1 dikenal dengan functional nutrisi sedangkan
tipe 2, membentuk jaringan dan energi untuk menjalankan fungsi tubuh. Malnutrisi
tipe 1 disebabkan asupan yang kurang sehingga konsentrasi di jaringan berkurang,
menimbulkan gejala dan tanda klinis yang khas, konsentrasi dalam jaringan
bervariasi, mekanisme metabolik yang spesifik sehingga mudah dilakukan
pemeriksaan laboratorium, tidak menyebabkan kehilangan berat badan atau gagal
tumbuh, disimpan di dalam tubuh, menunjukkan efek sebagai pengganti nutrisi in
vitro maupun in vivo dan konsentrasi bervariasi pada air susu ibu (ASI). Malnutrisi
tipe 2 sulit untuk didiagnosis karena tanda dan gejala tidak khas seperti tipe 1. Nutrisi
tipe 2 berfungsi membangun jaringan sehingga jaringan tidak akan terbentuk bila
terjadi defisiensi nutrisi tersebut bahkan akan terjadi katabolisme jaringan dan
seluruh komponen jaringan akan diekskresikan. Apabila jaringan akan dibangun
kembali maka seluruh komponen harus diberikan dengan seimbang dan saling
ketergantungan. Tidak disimpan di dalam tubuh sehingga tergantung dari asupan
setiap hari. Beberapa nutrisi seperti phospor, seng dan magnesium sangat kecil
jumlahnya di dalam makanan sehingga konsentrasi yang tinggi diperlukan dengan
cara fortifikasi pada beberapa makanan untuk proses penyembuhan (Golden, 2005).
Pertumbuhan tinggi badan merupakan interaksi antara faktor genetik,
makronutrien maupun mikronutrien selama periode pertumbuhan. Nutrisi memegang
peranan penting terhadap kontrol mekanisme pertumbuhan linier. Penelitian pada
binatang menunjukkan restriksi pemberian energi dan protein menyebabkan
penurunan konsentrasi IGF-1 dalam darah dan akan kembali normal setelah
29
diberikan energi yang sesuai. Hubungan antara status nutrisi dan IGF-1 pada manusia
tampak penurunan kadar IGF-1 pada anak dengan malnutrisi seperti kwarsiorkor atau
marasmus (Estivariz, 1997 dalam Rivera, 2003). Kebutuhan protein didefinisikan
sebagai sejumlah protein atau asam amino untuk kebutuhan biologi yang sebenarnya,
yaitu asupan terendah untuk pemeliharaan kebutuhan fungsional individu. Asupan
protein yang adekuat diperlukan untuk pertumbuhan, perkembangan dan fungsi
tubuh. Anak merupakan kelompok dinamis mulai masa neonatal sampai dewasa.
Setiap kelompok mempunyai perbedan dalam hal kenaikan berat badan, kecepatan
pertumbuhan, lingkungan hormonal, aktivitas dan faktor lain yang berpengaruh
terhadap status nutrisi dan metabolik. Enzim merupakan protein dengan fungsi kimia
yang spesifik dan merupakan perantara pada hampir semua proses fisiologik
kehidupan. Sejumlah kecil protein berperan sebagai hormon. Protein otot terbuat dari
beberapa polipeptida yang berperan untuk kontraksi dan relaksasi otot (Hidajat dkk.,
2011). Jumlah kalori per gram makronutrien adalah karbohidrat dan protein 4,1
kkal/gram, sedangkan lemak 9,3 kkal/gram. Kebutuhan karbohidrat pada anak sesuai
RDA untuk usia 1-18 tahun adalah 130 gram/hari. Rekomendasi asupan protein
untuk anak usia 1-3 tahun 13 gram/hari dan usia 4-8 tahun 19 gram/hari. Kecukupan
asam linoleat pada anak usia 1-3 tahun 7 gram/hari, usia 4-8 tahun 10 gram/hari
sedangkan kebutuhan -asam linolenat untuk usia 1-3 tahun 0,7 gram/hari (1%
energi), usia 4-8 tahun 0,9 gram/hari (Hidajat, 2011).
Mikronutrien juga berdampak pada sistem IGF-1 seperti defisiensi seng yang
dapat menyebabkan retardasi pertumbuhan akibat penurunan kadar IGF-1 dalam
plasma dan penurunan kadar growth hormon dan akan kembali normal setelah
30
pemberian seng (Dorup, 1991 dalam Rivera, 2003). Defisiensi mikronutrien seperti
besi, magnesium, seng menyebabkan anoreksia yang secara tidak langsung
menyebabkan berkurangnya asupan energi dan protein yang penting untuk
pertumbuhan (Lawless, 1994 dalam Rivera, 2003).
Vitamin D dibutuhkan untuk absorpsi kalsium. Kalsitriol bentuk aktif dari
vitamin D mengontrol sintesis kalsium dengan cara meningkatkan absorpsi kalsium
di duodenum kemudian diserap pada sel mukosa dan masuk kedalam darah,
meningkatkan reabsorpsi kalsium di ginjal dan meningkatkan mobilisasi kalsium di
tulang. Kekurangan vitamin D menimbulkan manifestasi klinis berupa deformitas
tulang panjang dan tanda tanda hipokalsemia seperti kejang, tetani (Sidhiartha,
2011).
Vitamin A atau asam retinoik berpengaruh pada hormon yang mengontrol
pertumbuhan jaringan skeletal dengan mekanisme mempengaruhi percepatan
pelepasan adenosin monophospate (AMP) siklik dan sekresi dari hormon
pertumbuhan. (Sommer, 2004). Vitamin A memiliki peranan penting dalam menjaga
integritas sel epitel seperti epitel di mata, saluran napas dan saluran kemih, imunitas
seluler dan humoral sehingga kekurangan vitamin A menyebabkan anak cenderung
mudah sakit. Suatu metaanalisis menunjukkan pemberian vitamin A pada anak usia
6 bulan hingga 5 tahun mengurangi kejadian campak dan diare (Imdad, 2010 dalam
Devaera, 2011). Pemberian suplementasi vitamin A pada neonatus juga menurunkan
angka kematian karena diare hingga 30% (Imdad, 2011).
Zat besi dalam tubuh berfungsi membawa oksigen dari paru-paru ke jaringan
dalam bentuk hemoglobin, sebagai fasilitator dalam penggunaan serta cadangan
31
oksigen di otot dalam bentuk mioglobin, sebagai media elektron di dalam bentuk
sitokrom serta bagian integral dari berbagai enzim dalam jaringan. Defisiensi zat besi
menyebabkan gangguan pertumbuhan organ tubuh yang diduga akibat anoreksia,
gangguan DNA sel, gangguan sintesis RNA dan gangguan absorpsi makanan dan
diduga berperan dalam proses mitosis sel (Hidajat dan Lestari, 2011). Penelitian
metaanalisis oleh Ramakristnan (2004) menunjukkan pemberian vitamin A saja atau
zat besi tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan, namun akan berdampak terhadap
pertumbuhan apabila disertai dengan pemberian mikronutrien seperti seng. Penelitian
oleh Dijkhuizen (2001) menunjukkan suplementasi zat besi ataupun seng
menurunkan prevalensi anemia namun tidak memiliki efek terhadap pertumbuhan
baik tinggi badan.
2.1.3
Kriteria awal pemeriksaan anak dengan perawakan pendek adalah tinggi badan
berada di bawah persenti 3 atau -2SD, kecepatan tumbuh dibawah persentil 25,
perkiraan tinggi badan dewasa di bawah midparentah heigh (MPH). Algoritme
pendekatan diagnostik anak dengan perawakan pendek dapat dilihat sebagai berikut
(Batubara, 2010):
32
Perawakan pendek
Perawakan pendek
Kecepatan Pertumbuhan
Normal
Tidak normal
Variasi Normal
Patologis
Perawakan pendek
Familial
Constitutional
delay of growth
and puberty
Proporsional
Rasio BB/TB
meningkat
Tidak
Proporsional
Dismorfik
Rasio BB/TB
menurun
Defisiensi GH
Hipotiroid
Kelebihan
Kortisol
Malnutrisi
Infeksi Kronis
Penyakit
kronis
IUGR
Displasia
skeletal
Penyakit
metabolik
Kelainan Spinal
Kelaian
kromosom
Sindrom
8,5
2
Proporsi tubuh dihitung dengan cara membandingkan tinggi duduk terhadap
tinggi badan, subischial leg lenght dan menghitung segmen atas terhadap segmen
bawah tubuh. Proporsi tubuh bagian bawah (segmen bawah) diperoleh dengan
mengukur jarak bagian atas simfisis pubis sampai telapak kaki. Bagian atas diambil
dengan mengurangi tinggi badan dengan bagian bawah tubuh. Rasio segmen atas dan
33
bawah ini dibandingkan dengan nilai standar untuk umur dan jenis kelamin yang
dapat dilihat dalam tabel 2.1 (Nicol, 2010).
Tabel 2.2
Rasio Segmen Atas/Segmen Bawah
Usia (tahun)
Birth
1
1
2
2
3
3
4
4
5
6
2.2
Perempuan
1,7
1,62
1,54
1,50
1,42
1,37
1,35
1,30
1,24
1,22
1,19
1,12
1,7
1,6
1,52
1,46
1,41
1,34
1,30
1,27
1,22
1,19
1,15
1,10
SENG (Zn)
Seng merupakan trace element penting untuk hampir semua sistem biologi, yang
34
dan 2-makroglobulin. Absorpsi seng tergantung pada jumlah dan kelarutan dalam
lumen usus. Asam fitat mengurangi kelarutan dan mengganggu absorpsi seng di usus
(Hidayati, 2011). Kadar seng dalam jaringan tergantung pada asupan seng dalam
makanan. Apabila asupan meningkat, terjadi penurunan absorpsi dan peningkatan
ekskresi melalui usus sedangkan ekskresi melalui urin menetap dan ekskresi endogen
melalui feses juga meningkat. Bila asupan seng sangat rendah, absorpsi akan
meningkat 59-84% dan ekskresi melalui feses dan urin menurun. Ketika mekanisme
homeostasis tidak mampu untuk mengatasi asupan seng yang berlebihan maka
kelebihan seng tersebut akan diekskresi melalui rambut.
Tubuh manusia mengandung 2-4 gram seng, kadar dalam plasma hanya 12-16
mol/L, terikat dengan albumin 60% dari total seng serum, transferin (10%) dan 2makroglobulin (30%) dengan afinitas yang lebih tinggi (Hidayati, 2011). Absorpsi
seng diatur oleh metalotionein yang disintesis di dalam sel mukosa saluran cerna dan
berperan mengatur kadar seng cairan intraseluler. Bila konsumsi seng sangat tinggi,
seng akan disimpan sebagai metalotionein dan akan dibuang bersama deskuamasi sel
epitel mukosa usus sehingga absorpsi berkurang. Kelebihan seng juga disimpan di
dalam hati, lainnya dibawa ke pankreas sebagai enzim pencernaan yang pada waktu
makan dikeluarkan ke dalam saluran cerna dan dibawa jaringan tubuh lain. Distribusi
seng dipengaruhi oleh hormonal, stress, sedangkan hati mempunyai peranan penting
dalam proses distribusi.
Faktor faktor yang mempengaruhi absorpsi seng adalah jumlah dan bentuk
seng yang dikonsumsi, diet yang meningkatkan absorpsi (ASI, protein hewani) dan
yang menghambat absorpsi (fitat, zat besi, kalsium sebagai suplemen) dan kondisi
35
fisologis seperti menyusui, kehamilan, bayi akan meningkatkan absorpsi seng. Efek
inhibisi antara besi dan seng hanya terjadi pada konsentrasi molar tinggi (Fe:seng,
25:1) ((Hidayati, 2011). Faktor utama yang menyebabkan kekurangan seng adalah
diet yang mengandung seng tidak adekuat, penyakit yang menyebabkan kehilangan
seng dan gangguan utilisasi dan kondisi fisiologis yang menyebabkan kebutuhan
meningkat (Gibson, 2006). Pola konsumsi di negara berkembang dominan berasal
dari nabati dan protein hewani sangat sedikit akibat kemampuan ekonomi rendah dan
faktor budaya atau agama sehingga kadar seng yang dikonsumsi rendah. Tingginya
kejadian infeksi seperti diare di negara berkembang menyebabkan kehilangan seng
menjadi tinggi sehingga terjadi gangguan absorpsi baik infeksi oleh virus, bakteri
atau protozoa dan perubahan flora mikroba usus (Gibson, 2006; Stephensen, 1999).
Sindrom malabsorpsi seperti penyakit sprue, crohns disease dan imflamatory bowel
disease. Kebutuhan seng secara fisiologis meningkat pada periode pertumbuhan
cepat akibat terjadinya proses replikasi DNA, transkripsi DNA dan fungsi endokrin
(Gibson, 2006; Hidayati, 2011). Bayi dan anak anak berisiko mengalami defisiensi
seng karena kadar metalotionein di hati rendah saat lahir, berat badan lahir rendah
atau ibu dengan defisiensi seng sedangkan kebutuhan seng untuk tumbuh kejar
sangat tinggi. Laki-laki memerlukan lebih tinggi dari perempuan karena laju
pertumbuhannya lebih cepat, proporsi otot perkilogram berat badan lebih besar dan
kadar seng pada otot lebih besar dari pada lemak (Gibson, 2006).
Ekskresi seng terutama melalui feses, urin dan jaringan tubuh yang dibuang
seperti epitel kulit dan mukosa usus. Sekitar 10 g/kg berat badan/hari seng
36
diekskresi melalui urin, keringat dan total ekskresi seng endogen 60 g/kgbb/hari
(Hidayati, 2011).
2.2.2
Fungsi seng
Seng sangat diperlukan dalam aktivitas lebih dari 100 enzim yang penting dalam
metabolisme sehingga berfungsi dalam biokimia, imunologi dan fungsi klinik
(Gibson, 2006).
2.2.2.1 Peranan seng pada sistem imun
Seng berperan penting pada sistem imun termasuk perkembangan, diferensiasi
dan fungsi sel baik dari imunitas alami maupun imunitas adaptif. Pada monosit,
semua fungsi terganggu, sedang pada sel natural killer (NK) sitotoksisitasnya
menurun dan pada granulosit neutrofil fagositosisnya berkurang. Fungsi sel T
mengalami penurunan sedang sel B mengalami apoptosis. Fungsi imun akan
membaik setelah suplementasi seng memadai. Peran seng, baik pada sistem humoral
maupun selular, berfokus pada penurunan aktivitas timus dan produksi antibodi.
Defisiensi seng menyebabkan atropi timus, sedangkan timus berfungsi
memproduksi limfosit T, sehingga terjadi penurunan jumlah dan fungsi sel T,
termasuk pergeseran keseimbangan sel Th ke arah dominasi sel Th-2, juga
menyebabkan penurunan antibodi terutama dalam menanggapi neoantigen sebab sel
B naif lebih dipengaruhi oleh defisiensi seng dibanding sel B memori dan juga
menyebabkan penurunan killing activity dari sel NK (Hidayati, 2011).
37
protein.
Seng
juga
mengatur
ekspresi
metalotionein
limfosit
dan
38
2.2.3
Kadar seng dalam plasma dan serum saat ini paling sering digunakan sebagai
indikator status seng pada manusia. Kondisi seng plasma dipengaruhi oleh beberapa
kondisi seperti hipoalbumin, hemokonsentrasi dan respon fase akut.
International Zinc Consultative Group (IZiNCG) telah menganalisis kembali
data seng serum dari national health and nutrition examination survey II (NHANES
II), yang juga menggunakan umur, jenis kelamin, status puasa (>8 jam setelah makan
terakhir) dan waktu pada saat sampel dikumpulkan (Gibson, 2005). Cutoff kadar
seng serum pada anak <10 tahun adalah 9,9 mol/L (untuk pengambilan sampel pada
pagi hari) dan 8,7 mol/L untuk pengambilan sampel darah pada waktu lebih dari
jam 12 siang (Hotz dan Brown, 2004). Defisiensi seng apabila kadar seng serum < 65
g/dl (Ibeanu dkk., 2012). Batasan dan interpretasi pemeriksaan kadar seng dalam
plasma berdasarkan analisis laboratorium GAKY Semarang adalah 70-150 g/dl
dikatakan normal (Tresna, 2008), sedangkan berdasarkan analisis laboratorium
klinik. Prodia memberikan nilai normal untuk usia 2-4 tahun adalah 26-116 g/dl
dan 48-119 g/dl untuk usia 4-6 tahun.
Prevalensi rendahnya kadar seng dalam serum >20% maka risiko defisiensi
seng tinggi. Prevalensi antara 10-20% mengindikasikan sebagian populasi berisiko
tinggi mengalami defisiensi seng dan prevalensi <10% menunjukkan bahwa
defisiensi seng tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat (Gibson, 2005).
39
2.2.4
Angka kecukupan gizi (AKG) yang dianjurkan untuk bayi usia 0-6 bulan adalah
2 mg/hari, usia 7-36 bulan 3 mg/hari, usia 4-8 tahun 5 mg/hari dan usia 9-13 tahun 8
mg/hari. Belum diketahui dosis untuk mempertahankan keseimbangan seng pada
bayi di daerah prevalensi defisiensi seng yang tinggi. Sebagian besar penelitian
menunjukkan dosis 10 mg untuk bayi dan 20 mg untuk usia dibawah 5 tahun seng
elemental perhari, aman pada anak anak. Dosis 70 mg 2 kali seminggu tidak
menimbulkan efek toksik (Hidayati, 2011).
Kandungan seng pada beberapa bahan makanan tampak pada tabel 2.2 (Nriagu,
2007). Jumlah kandungan seng lebih tinggi pada daging yang berwarna merah dari
pada daging yang berwarna putih. Sereal dan kacang-kacangan kurang mengandung
seng. Proses pemasakan sedikit mengurangi kandungan seng dalam makanan.
Tabel 2.3
Kandungan Seng pada Sumber Bahan Makanaan
Kandungan
seng (mg/dl)
<1
1-2
2-4
4-10
>10
40
2.3
dapat menyebabkan
retardasi pertumbuhan akibat penurunan kadar IGF-1 dalam plasma dan penurunan
kadar growth hormon dan akan kembali normal setelah pemberian seng (Dorup,
1991 dalam Rivera, 2003), juga menyebabkan anoreksia yang secara tidak langsung
menyebabkan berkurangnya asupan energi dan protein yang penting untuk
pertumbuhan (Salgueiro dkk., 2002).
Suplementasi seng memiliki efek positif terhadap pertumbuhan tinggi badan
sehingga dipertimbangkan menjadi strategi nasional untuk menurunkan prevalensi
perawakan pendek pada anak dibawah lima tahun di negara berkembang. Penelitian
41
metaanalisis oleh Brown dkk., pemberian suplementasi seng pada anak usia dibawah
12 tahun menunjukkan efek positif terhadap peningkatan tinggi badan dengan effect
size 0.35 (95% CI 0,189-0,511).
42
BAB III
KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
43
langsung dapat menyebabkan perawakan pendek. Asupan protein yang adekuat juga
diperlukan untuk pertumbuhan, perkembangan dan fungsi tubuh.
Seng juga berperan dalam sistem imun sehingga bila terjadi defisiensi seng
menyebabkan mudah terjadi infeksi atau imflamasi. Kondisi infeksi tersebut
sebaliknya dapat meningkatkan kehilangan kadar seng dalam darah dan kebutuhan
seng juga meningkat. Hal ini akan mempengaruhi pertumbuhan linier pada anak
terutama pada anak dengan perawakan pendek. Infeksi secara langsung
menyebabkan perawakan pendek akibat kebutuhan kalori yang meningkat.
Kebutuhan seng maupun pertumbuhan linier berbeda sesuai usia dan jenis kelamin.
Kelainan endokrin/kromosom dan faktor genetik juga mempengaruhi perawakan
pendek.
3.2 Kerangka Konsep
Seng serum
Defisiensi
growth
hormon
Pertumbuhan Linier
(TB/U)
Perawakan pendek
Asupan nutrisi
(Energi), protein
Kelainan
endokrin/kromosom,
usia, jenis kelamin,
penyakit/morbiditas
Genetik/mid parental
high
Constitutional delay of
growth and puberty
Gambar 3.1 Bagan Kerangka Konsep
44
Keterangan:
: Variabel tergantung
: Variabel yang diteliti
: variabel yang di adjusted by design
: variabel antara
3.2 Hipotesis Penelitian
Hipotesis dalam penelitian ini adalah:
1. Kadar seng serum yang rendah merupakan faktor risiko perawakan
pendek pada anak.
45
BAB IV
METODE PENELITIAN
Kasus (perawakan
pendek)
Kadar seng
serum
Kadar seng
serum
Kontrol (perawakan
normal)
46
prevalensi kadar seng rendah pada kelompok kasus dan kontrol. Pada saat pemilihan
kontrol dilakukan matching terhadap jenis kelamin.
47
48
(1)
Ditetapkan besarnya kesalahan tipe I ()=5% (=0,05), maka nilai Z adalah
1,96. Besarnya kesalahan tipe II () adalah 20% (=0,2) power penelitian 80%,
Z=0,842. Perkiraan proporsi paparan pada kasus (P2) sebesar 50% (Dehghani dkk.,
2011). Selisih minimal proporsi antara kelompok kasus dan kontrol (P1-P2) yang
diharapkan sebesar 0,35, maka nilai P2 adalah 0,85. Nilai P= (P1+P2), maka P
sebesar 0,67. Perhitungan sampel dapat dilihat sebagai berikut:
N1=N2= (1,962x0,67x0,33 + 0,8420,85x0,15+0,5x0,5)2
(0,35) 2
Dengan demikian, besar sampel masing masing kelompok 26 anak.
49
Variabel tergantung
: perawakan pendek
Variabel perancu
50
dinyatakan dalam bulan. Dalam penelitian ini ditentukan umur anak antara
umur 24-60 bulan.
2. Jenis kelamin anak adalah jenis kelamin anak yang berusia 24-60 bulan yang
dibedakan menjadi 2 kategori yaitu laki laki dan perempuan dan diperoleh
melalui wawancara dengan kuesioner.
3. Pertumbuhan linier (TB/U) adalah keadaan gizi anak
yang diukur
berdasarkan tinggi badan menurut umur dan jenis kelamin dengan standar
WHO 2005 dengan metode Z-score dan dihitung menggunakan sofware
WHO Anthro 2005. Metode pengukuran tinggi badan dengan menggunakan
alat microtoise. Kategori:
1. Pendek (stunted): Z score < -2
2. Normal : Z score -2 sampai +2
4. Asupan energi (kalori) adalah gambaran konsumsi makan anak yang meliputi
jenis bahan makanan yang dikonsumsi, frekuensi makan dan jumlah bahan
makanan yang mengandung energi (karbohidrat, protein, lemak) yang
dilakukan dengan metode wawancara menggunakan formulir SQ-FFQ (Semi
Quantitative Food Frequency Questionaire). Gambaran jumlah rata rata
konsumsi semua jenis makanan yang diukur dengan record 3x24 jam sejak
dijadikan sampel yang dihitung dengan menggunakan daftar konsumsi bahan
makanan (DKBM), kemudian dibandingkan dengan angka kecukupan gizi
(AKG) tahun 2012. Dibedakan menjadi 2 kategori:
1. Baik: 80% AKG
2. Kurang: <80 % AKG
51
5. Asupan protein adalah gambaran konsumsi makan anak yang meliputi jenis
bahan makanan yang dikonsumsi, frekuensi makan dan jumlah bahan
makanan yang mengandung protein yang dilakukan dengan metode
wawancara menggunakan formulir SQ-FFQ (Semi Quantitative Food
Frequency Questionaire). Gambaran jumlah rata rata konsumsi protein
diukur dengan record 3x24 jam sejak dijadikan sampel yang dihitung dengan
menggunakan daftar konsumsi bahan makanan (DKBM), kemudian
dibandingkan dengan angka kecukupan gizi (AKG) tahun 2012. Dibedakan
menjadi 2 kategori:
1. Baik: 80% AKG
2. Kurang : <80% AKG
6. Penyakit kronis adalah kondisi penyakit infeksi atau imflamasi atau
neoplastik seperti HIV/AIDS, gagal ginjal, penyakit jantung, kencing manis,
kecacingan, keganasan yang menetap lebih dari 2 bulan yang didiagnosis oleh
dokter. Diketahui berdasarkan informasi dari orang tua atau wawancara.
7. Kelainan endokrin adalah kondisi anak yang dicurigai mengalami kelainan
endokrin yaitu sindrom cushing yang didiagnosis atau menunjukkan gejala
yang dicurigai mengarah pada kelainan tersebut oleh dokter dan berdasarkan
informasi dari orang tua atau wawancara bahwa anaknya menderita sindrom
cushing berdasarkan pemeriksaan dokter dan laboratorium. Sindrom cushing
ditandai dengan wajah bulat dan dagu ganda serta sifat pletorik yang khas,
bufallo hump, perawakan pendek, obesitas.
52
8,5
53
11. Kadar seng serum adalah kadar seng dalam darah anak pada saat diadakan
penelitian. Pemeriksaan dilakukan dengan metode ICP-MS di laboratorium
Prodia pusat rujukan nasional Jakarta, dinyatakan dalam g/dl. Kadar seng
rendah apabila kadar seng serum <65 g/dl (Ibeanu dkk., 2012). Dibedakan
menjadi 2 kategori:
1. Ya : kadar seng serum < 65 g/dl
2. Tidak : kadar seng serum 65 g/dl
4.5 Instrumen Penelitian
1. Form SQ-FFQ digunakan untuk mengetahui jenis bahan makanan, frekuensi
makan serta jumlah bahan makanan yang dikonsumsi.
2. Food model untuk memudahkan responden dalam mengingat bahan makanan
dan mengkonversi berat makanan dari ukuran rumah tangga ke dalam berat
(gram) dan untuk menterjemahkan konsumsi makanan ke dalam bentuk
asupan kalori (karbohidrat, protein dan lemak) dengan angka kecukupan gizi
yang dianjurkan.
3. Daftar komposisi bahan makanan.
4. Daftar angka kecukupan gizi (AKG).
5. Mikrotoise adalah alat ukur tinggi badan dalam satuan ukuran cm dengan
ketelitian 0,1 cm.
6. WHO child growth standards 2005 dihitung menggunakan sofware WHO
Anthro 2005 untuk mengetahui tinggi badan anak berdasarkan umur dan jenis
kelamin (z score) termasuk status gizi pendek atau normal dan
midparentalheight.
54
7. Nilai standar rasio segmen atas dan bawah untuk umur dan jenis kelamin.
8. Alat untuk mengukur kadar seng serum dengan metode ICP-MS di
laboratorium Prodia pusat rujukan nasional Jakarta beserta alat pengambilan
darah seperti wing needle, spuit 3 cc, torniquet, kapas alkohol, tabung reaksi,
alat sentrifuge.
9. Kuesioner, adalah daftar pertanyaan yang digunakan untuk mengetahui
karakteristik anak meliputi umur, jenis kelamin serta frekuensi sakit,
menderita penyakit kronis, tinggi badan ayah dan ibu.
10. Formulir yang berisi tentang identitas orang tua/wali dan subyek penelitian
dan pernyataan setuju ikut dalam penelitian (sebagai PSP yang ditandatangani
oleh orang tua/wali subyek penelitian sebelum diikutsertakan dalam
penelitian).
4.6
Prosedur Penelitian
55
56
Untuk data mengenai umur, orang tua diminta menunjukkan surat kelahiran, jika
tidak ada maka catatan kelahiran anak didasarkan pada daya ingat orang tua atau
berdasarkan kejadian atau peristiwa penting misalnya Galungan, Tahun Baru dan lain
lain. Dengan demikian kelemahan metode antropometri berdasarkan tinggi badan
menurut umur antara lain pengukuran relatif sulit dilakukan karena anak harus tegak
lurus sehingga membutuhkan 2 orang untuk melakukan pengukuran dan ketepatan
umur sulit didapatkan.
Tinggi badan ayah dan ibu diketahui dengan melakukan pengukuran tinggi
badan dengan cara yang sama dengan pengukuran tinggi badan anak atau didasarkan
pada informasi dari orang tua. Dihitung MPH dan kemudian diplot pada kurva WHO
anthro 2005 saat anak berusia 20 tahun dan dapat diketahui potensi genetik tinggi
badan anak sehingga dibedakan termasuk perawakan pendek familial atau tidak.
Hasil pengukuran tinggi badan kemudian dihitung menggunakan sofware WHO
Anthro 2005 diplot pada kurva WHO 2005 berdasarkan umur dan jenis kelamin (Z
skor), ditentukan termasuk perawakan pendek dan memenuhi kriteria ekslusi serta
orang tua/wali telah menyetujui dan menandatangani inform consent, anaknya akan
dijadikan sampel kasus.
Anak dengan perawakan normal memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi serta
orang tua/wali telah menyetujui dan menandatangani inform consent, anaknya akan
dijadikan sampel kontrol. Sampel dipilih dengan cara sistematik random sampling
pada masingmasing kelompok dan dilakukan matching jenis kelamin. Setelah
sampel terpilih, dilakukan pengisian kuesioner berupa pengisian identitas lengkap
57
bapak dan ibu dan karakteristik keluarga, data konsumsi dan pemeriksaan kadar seng
serum.
2. Data konsumsi
Jenis dan frekuensi makan pada bahan makanan tertentu digunakan dengan
menggunakan form SQ-FFQ, yaitu suatu daftar pertanyaan yang mengenai frekuensi
penggunaan bahan pokok, lauk pauk hewani dan nabati, sayuran dan buah-buahan
serta selingan yang terperinci menurut tiap macam bahan atau menurut golongan
tertentu. Untuk mengetahui jumlah bahan makanan yang dikonsumsi, digunakan cara
taksiran atau estimation. Makanan yang telah dikonsumsi ditaksir berat atau isinya.
Caranya dengan dalam 3x24 jam sejak dijadikan sampel akan dikumpulkan kembali
4 hari kemudian dengan menanyakan pada ibu/pengasuh anak mengenai makanan
yang telah dikonsumsi.
Food model digunakan untuk memudahkan mengkonversikan bahan makanan
yang dikonsumsi dari ukuran rumah tangga (URT) kedalam berat (gram), serta
menggunakan alat alat rumah tangga seperti gelas, mangkuk, sendok makan,
sendok teh, piring dan lainlain. Untuk menterjemahkan konsumsi makanan ke
dalam bentuk konsumsi gizi (karbohidrat, protein dan lemak), digunakan DKBM.
Hasil perhitungan tersebut selanjutnya dibandingkan dengan AKG tahun 2012.
58
torniquet, kapas alkohol 70% dan plester. Diambil 5 ml darah dari vena cubitus
(lipatan lengan) secara aseptis dengan tabung trace elemen serum clotactivator.
Biarkan selama 30 menit, sentrifuge 1500g/10 menit. Aliquoting serum ke dalam 2
tabung polisterin berlabel, masing masing 0,75-1 ml serum. Sampel dikirim ke
pusat rujukan nasional Prodia Jakarta dengan stabilisasi sampel 14 hari pada suhu 280C. Kadar seng serum diperiksa dengan metode ICP-MS. Pengambilan sampel
darah dalam penelitian ini tidak melihat status puasa ataupun variasi diurnal oleh
karena tergantung dari petugas laboratorium.
59
4.6.2
Alur penelitian
Populasi anak usia 24-60 bulan
Mengukur TB, BB, tanggal lahir
Kriteria inklusi dan ekslusi
Kelompok kasus
n=26
Sistematik
random
sampling
Kelompok kontrol
n=26
Analisis data
60
a. Uji statistik t-test independent tidak berpasangan untuk data skala numerik
yaitu kadar seng serum dan usia, oleh karena sebaran data normal. Uji
statistik chi-square untuk data skala nominal atau ordinal yaitu asupan
kalori, asupan protein dan kadar seng serum yang rendah. Presisi Rasio
Odds (RO) dinyatakan dengan interval kepercayaan 95% dan tingkat
kemaknaan P<0,05.
b. Terdapat perbedaan pada prevalensi kadar seng serum yang rendah pada
kelompok anak dengan perawakan pendek dan perawakan normal, maka
dilakukan analisis multivariat terhadap variabel pengganggu yaitu asupan
kalori dan protein yang rendah dengan analisis bivariat mempunyai nilai
p<0,25. Analisis multivariat yang digunakan adalah regresi logistik.
4.8 Etika Penelitian
Penelitian ini telah mendapat izin dan kelaikan etik (ethical clearance) dari
Unit Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana/RSUP Sanglah No: 795/UN.14.2/Litbang/2013, dan surat izin Bupati
Klungkung No: 070/86.i/BKBPPM.
61
BAB V
HASIL PENELITIAN
62
Klungkung I. Sebanyak 174 anak usia 24-60 bulan yang dilakukan pemeriksaan
tinggi badan, didapatkan 33 (19%) anak dengan perawakan pendek. Pemilihan
sampel penelitian dilakukan dengan sistematik random sampling, dengan
menggunakan tabel angka random. Besar sampel yang didapatkan dari perhitungan
sebesar 52 orang subyek yang terdiri dari 26 orang kasus dan 26 orang kontrol. Pada
penelitian ini dilakukan matching terhadap jenis kelamin sehingga didapatkan
masing-masing 2 pasang subyek dengan jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Uji
normalitas dilakukan terlebih dahulu sebelum melakukan analisis terhadap data
penelitian, terutama pada data dengan skala rasio. Uji normalitasnya menggunakan
uji Kolmogorov-Smirnov atau Shapiro-Wilk. Berdasarkan uji normalitas, diperoleh
p>0,05 yang berarti data mempunyai distribusi normal. Karakteristik subyek, baik
kasus maupun kontrol, ditampilkan pada tabel 5.1.
Tabel 5.1. Karakteristik subyek penelitian
Kasus
n = 26
14(53,8)
38,42(10,93)
Kontrol
n = 26
14(53,8)
42,15(10,28)
25(96,1)
1(3,9)
11(42,2)
15(57,8)
12(46,2)
14(53,8)
23(88,5)
3(11,5)
23(88,5)
14(53,8)
Tabel 5.1. Rerata usia pada kelompok kasus 38,42 bulan sedangkan pada
kelompok kontrol 42,15 bulan. Asupan kalori pada kelompok kasus 96,1% dengan
asupan < 80% sedangkan pada kelompok kontrol 57,8% dengan asupan 80%. Pada
63
Usia, rerata(SB)
Asupan kalori
- < 80%
- 80%
Asupan protein, n (%)
< 80%
80%
Kadar seng serum rendah
- Ya
- Tidak
Kasus
(n = 26)
38,42
(10,93)
Kontrol P
(n = 26)
42,15
0,96
(10,28)
RO
IK 95%
25
1
11
15
0,001
34,09
3,99-291,16
12
14
3
23
0,006
6,57
1,57-27,43
23
3
14
12
0,006
6,57
1,57-27,43
64
dan kontrol dengan nilai p = 0,001, dan pada asupan protein yang rendah dengan
nilai p = 0,006. Kadar seng serum rendah juga menunjukan perbedaan bermakna (p =
0,006).
Berdasarkan analisis bivariat pada tabel 5.2, variabel-variabel yang dianalisis
multivariat adalah variabel dengan nilai p<0,25 yaitu asupan kalori, asupan protein
dan kadar seng serum rendah untuk menyingkirkan bias terhadap hasil penelitian ini.
Analisis multivariat variabel yang berhubungan dengan perawakan pendek disajikan
dalam tabel 5.3.
Tabel 5.3. Hasil analisis multivariat pengaruh defisiensi seng serum terhadap
kejadian perawakan pendek*
Variabel
B
Asupan kalori
3,58
Asupan protein
1,21
Defisiensi seng
1,89
Konstanta
-4,10
*Uji regresi logistik
P
0,005
0,227
0,001
0,001
RO
29,499
3,3
16,166
0,016
IK 95%
2,765-314,713
0,472-23,879
3,11-84,043
65
BAB VI
PEMBAHASAN
Pada penelitian ini dari 52 subyek penelitian, telah dilakukan match terhadap
jenis kelamin yang bertujuan menghilangkan pengaruh jenis kelamin terhadap risiko
perawakan pendek. Penelitian oleh Musthaq, dkk. (2012) menunjukan prevalensi
perawakan pendek lebih banyak pada lakilaki dibanding perempuan (p = 0,001).
Hasil penelitian yang serupa ditunjukan oleh Kimani-Murage dkk. (2010), Senbanjo
dkk. (2011) dan Wamani, dkk. (2007). Penelitian Depghani dkk. (2010) menunjukan
tidak ada pengaruh antara kadar seng serum dengan jenis kelamin namun defisiensi
seng sedikit lebih tinggi pada lakilaki (8,1%) dibandingkan perempuan (7,8%),
namun berbeda dengan Ibeanu, dkk. (2012) yang menyatakan kadar seng serum
normal lebih banyak pada lakilaki (63,3%) dibandingkan perempuan (36,4%).
Penelitian pada anak perawakan pendek usia dibawah 5 tahun oleh Mozaffari dkk.
(2009) dengan memberikan suplementasi seng selama 6 bulan memberikan hasil
bermakna pada peningkatan tinggi badan hanya pada anak lakilaki. Laki-laki
memerlukan seng lebih tinggi dari perempuan karena laju pertumbuhannya lebih
cepat, proporsi otot perkilogram berat badan lebih besar dan kadar seng pada otot
lebih besar dari pada lemak (Gibson, 2006).
Dilihat dari distribusi menurut umur, penelitian kami melibatkan anak usia
24-60 bulan, baik pada kelompok perawakan pendek maupun normal. Tidak
ditemukan perbedaan bermakna antara usia kelompok perawakan pendek (38,42
bulan) dan kelompok perawakan normal (42,15 bulan) dengan p = 0,96. Penelitian
66
67
0,001 (p < 0,05). Kemungkinan asupan kalori yang rendah menyebabkan gangguan
pertumbuhan pada kelompok anak balita pendek. Hal yang sama juga ditemukan
pada penelitian yang dilakukan oleh Ruminingsih (2010), yang menyebutkan bahwa
pada anak balita pendek rata rata tingkat konsumsi energi lebih rendah
dibandingkan pada anak balita dengan perawakan normal.
Protein merupakan makronutrien yang sangat dibutuhkan oleh tubuh untuk
pertumbuhan, perkembangan dan fungsi tubuh. Enzim merupakan protein dengan
fungsi kimia yang spesifik dan merupakan perantara pada hampir semua proses
fisiologik kehidupan. Sejumlah kecil protein berperan sebagai hormon. Pada
penelitian ini, asupan protein yang rendah lebih banyak pada kelompok anak
perawakan pendek serta menunjukan perbedaan bermakna dengan nilai p = 0,006,
namun setelah dilakukan analisis multivariat tidak menunjukan perbedaan bermakna
secara statistik. Hasil penelitian yang sama ditunjukan oleh penelitian Ruminingsih
(2010) dan Tresna (2008).
Penyebab perawakan pendek yang paling umum di seluruh dunia adalah
malnutrisi. Nutrisi memegang peranan penting terhadap kontrol mekanisme
pertumbuhan linier. Penelitian pada binatang menunjukkan restriksi pemberian
energi dan protein menyebabkan penurunan konsentrasi IGF-1 dalam darah dan akan
kembali normal setelah diberikan energi yang sesuai. Hubungan antara status nutrisi
dan IGF-1 pada manusia dapat dilihat dari penurunan kadar IGF-1 pada anak dengan
malnutrisi seperti kwarsiorkor atau marasmus (Estivariz, 1997 dalam Rivera, 2003).
Salah satu faktor yang mempengaruhi rendahnya asupan kalori pada anak karena
pengetahuan gizi yang rendah pada orang tua terutama ibu. Penelitian oleh Imdad
68
dkk. (2011), menggambarkan terjadi peningkatan terhadap berat dan tinggi badan
anak usia dibawah 5 tahun setelah diberikan makanan tambahan beserta konseling
kepada ibu mengenai nutrisi yang baik untuk anak. Penelitian yang dilakukan di
Indonesia oleh Best dkk. (2011), pada orang tua yang merokok meningkatkan risiko
gizi kurang pada anak karena kemampuan untuk membeli makanan yang bergizi
menjadi berkurang dibandingkan dengan orang tua yang tidak merokok. Faktor sosial
ekonomi yang rendah, jumlah keluarga yang banyak juga berkontribusi terhadap
terjadinya perawakan pendek (Senbajo dkk., 2011; Mushtaq dkk., 2011).
Seng merupakan mikronutrien yang paling berpengaruh terhadap proses
percepatan pertumbuhan anak. Pada penelitian ini, terdapat perbedaan rerata kadar
seng serum pada anak dengan perawakan pendek. Kadar seng serum pada anak
perawakan pendek lebih rendah secara signifikan dibandingkan anak perawakan
normal (p = 0,001). Hasil penelitian yang sama tampak pada penelitian Gibson dkk.
(2007), terdapat perbedaan yang bermakna antara kadar seng serum pada anak laki
laki dengan perawakan pendek yaitu 9.19 mol/L (95% CI 8,53-9,84) dibandingkan
anak dengan perawakan normal yaitu 9,70 mol/L (95% CI 8,53-9,29), namun pada
perempuan tidak ada perbedaan. Penelitian oleh Dehghani dkk. (2011) menunjukan
hasil berbeda yaitu kadar seng serum secara signifikan tidak berhubungan dengan
tinggi badan maupun berat badan, namun defisiensi seng (seng <70 g/dl) lebih
banyak didapatkan pada anak dengan perawakan pendek ringan (47,8%) dan
perawakan pendek sedang (1,5%) dibandingkan dengan perawakan normal dengan
nilai p = 0,029. Kadar seng yang rendah pada penelitian ini, lebih banyak pada anak
dengan perawakan pendek (88,5%) dibandingkan anak perawakan normal dan secara
69
70
perawakan pendek telah dilakukan. Penelitian metaanalisis oleh Brown dkk. (2002)
menunjukkan pemberian suplementasi seng pada anak usia di bawah 12 tahun
memberikan efek positif terhadap peningkatan tinggi badan sebesar 0,35 cm (95% CI
0,189-0,511). Pada penelitian tersebut, 14 studi menunjukkan perbedaan yang
bermakna terhadap konsentrasi seng serum yaitu peningkatan sebesar 0,820 mol/L
(95% CI 0,499-1,14) setelah suplementasi seng, sedangkan 1 studi menunjukkan
hasil tidak bermakna. Penelitian lain oleh Mozaffari-Koshravi dkk. (2008)
menunjukkan suplementasi seng hanya berdampak pada anak laki laki usia 2-5
tahun. Walker dan Black (2007) melaporkan 28 penelitian dari usia lahir sampai 17
tahun, hasilnya 7 penelitian menunjukkan suplementasi seng tidak memberikan efek
terhadap tinggi maupun berat badan, hanya 1 penelitian yang menunjukkan efek
positif, yaitu pada anak dengan kadar seng serum yang rendah sebelum diberikan
suplementasi.
Berdasarkan WHO, jika prevalensi defisiensi seng lebih besar dari 20% maka
direkomendasikan intervensi suplementasi seng. Apabila prevalensi asupan kalori
yang tidak adekuat lebih dari 25% maka akan meningkatkan risiko defisiensi seng
(De Benois, 2007).
71
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di wilayah kerja UPT Puskesmas
Klungkung I, dapat disimpulkan kadar seng yang rendah merupakan faktor risiko
perawakan pendek pada anak. Risiko untuk terjadinya perawakan pendek pada anak
dengan defisiensi seng sebesar 16,1 kali. Asupan energi (kalori) yang rendah
merupakan faktor risiko perawakan pendek pada anak. Risiko untuk terjadinya
perawakan pendek pada anak dengan asupan energi yang rendah sebesar 29,4 kali.
7.2 Saran
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut yaitu penelitian kohort (prospektif)
untuk mengetahui pengaruh defisiensi seng terhadap perawakan pendek dan
penelitian
randomized
conntrol
trial
untuk
mengetahui
pengaruh
72
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2010. Buku Pedoman Penulisan Usulan Penelitian, Tesis dan Disertasi.
Denpasar: Program Pascasarjana UNUD.
Batubara, J.R.L., Patria, S.Y., Marzuki, A.N.S. 2010. Pertumbuhan dan Gangguan
Pertumbuhan. Dalam: Batubara, J.R.L., Tridjaja, B., Pulungan, A.B., editor.
Endokrinologi Anak. Edisi I. Jakarta: IDAI. h. 19-42.
Best, C.M., Sun, K., Pee, S., Sari, M., Bloem, M.W., Semba, R.D. 2008. Paternal
Smoking and Increase Risk of Child Malnutrition among Families in Rural
Indonesia. Tobacco Control. 17: 38-45.
Black, R.E., Allen, L.H., Bhutta, Z.A., Caulfield, L.E., De Onis, M., Ezzati, M. 2008.
Maternal and Child Undernutrition: Global and regional exposure and
Health Consequence. Lancet 371: 243-260.
Brown, K.H., Peerson, J.M., Rivera, J., Allen, L.H. 2002. Effect of Supplemental
Zinc on the Growth and Serum Zinc Concentration of Pubertal Children: a
Meta-anlysis of Randomized Controlled Trials. Am J Clin Nutr. 75: 10621071.
Casapia, M., Joseph, S.A., Nunez, C., Rahme, E., Gyorkos, T.W. 2006. Parasite Risk
Factors for Stunting in Grade 5 Students in a comunity of Extreme Poverty
in Peru. International Journal for Parasitology 36: 741-747.
Cuttler, L. 1996. Short Stature. Dalam: Kliegman, R.M., Nieder, M., Super, D.M.,
editor. Practical Strategies in Pediatric Diagnosis and Therapy. United
State of America: W.B. Saunder Company. h. 1020-1037.
Davaera, Y. 2011. Defisiensi Mikronutrien Khusus Defisiensi Vitamin A. Dalam:
Sjarif, D.R., Lestari, E.D., Mexitalia, M., Nasar, S.S., editor. Buku Ajar
Nutrisi Pediatrik dan Penyakit Metabolik. Jilid I. Jakarta: IDAI. h. 182-189.
De Benois, B., Damton-Hill, I., Davidson, L., Fontaino, O., Hotz, C. 2007.
Conclusion of the Join WHO/UNICEF/IAEA/IZiNCG Interagency Meeting
on Zinc Status Indicators. Food Nutr Bull. 28: 480-484.
73
Dehghani, S.M., Katibeh, P., Haghighat, M., Morajev, H., Asadi, S. 2011. Prevalence
of Zinc Deficiency in 3-18 Years Old Children in Shiraz-Iran. Iran Red
Cresent Med J. 13(1):4-8.
Dijkhuizen, M.A., Wieringa, F.T., West, C.E., Martuti, S., Muhilal. 2001. Effects of
Iron and Zinc Supplementation in Indonesian Infants on Micronutrien Status
and Growth. J. Nutr. 131: 2860-2865.
Gibson, R.S. 2005. Principles of Nutritional Assesment. Edisi 2. NewYork: Oxford
University Press. h. 256-257, 478-485, 711-720.
Gibson, R.S. 2006. Zinc: The Missing Link in Combating Micronutrien Malnutrition
in Developing Countries. Proceedings of The Nutrion Society 65: 51-60.
Gibson, R.S., Manger, M.S., Krittaphol, W., Gowachirapant, T.P.S., Bailey, K.B.,
Winichagoon, P. 2007. Does Zinc Deficiency Play Role in Stunting among
Primary School Children in NE Thailand? British journal of Nutrition 97:
167-175.
Golden, M.H.N. 2005. Malnutrition. Dalam: Guandalini, S., editor. Textbook of
Pediatric Gastroenterology and Nutrition. Edisi I. UK: Taylor and Francis.
h. 489-523.
Hidajat, B., Lestari, E.D. 2011. Defisiensi Zat Besi. Dalam: Sjarif, D.R., Lestari,
E.D., Mexitalia, M., Nasar, S.S., editor. Buku Ajar Nutrisi Pediatrik dan
Penyakit Metabolik. Jilid I. Jakarta: IDAI. h. 182-189.
Hidajat, B., Nasar S.S., Sjarif D.R. Tinjauan Mutakhir tentang Makronutrien. Dalam:
Sjarif, D.R., Lestari, E.D., Mexitalia, M., Nasar, S.S., editor. Buku Ajar
Nutrisi Pediatrik dan Penyakit Metabolik. Jilid I. Jakarta: IDAI. h. 7-22.
Hidayati, S.N. 2011. Defisiensi Seng (Zn). Dalam:
Mexitalia, M., Nasar, S.S., editor. Buku Ajar Nutrisi Pediatrik dan Penyakit
Metabolik. Jilid I. Jakarta: IDAI. h. 182-189.
Hotz, C., Brown, K. 2004. Assesment of the Risk Zinc Deficiency in Populations and
Options for its Control. Food Nutr Bull. 25: S99-S199.
Ibeanu, V., Okeke, E., Onyechi, U., Ejiofor, U. 2012. Assessment of Anthropometric
Indices, Iron and Zinc Status of Preschoolers in a peri-urban Community in
South East Nigeria. IJBAS-IJENS. 12:31-37.
74
Imdad, A., Yakoob, M.Y., Bhutta, Z.A. 2011. Impact maternal Education About
Complementary Feeding and Provision of Complementary Foods on Child
Growth in Developing Country. BMC Public Health 11(Suppl 3):1-14.
Imdad, A.,Yakoob, M.Y., Sudfeld, C., Haider, B.A., Black, R.E., Bhutta, Z.A. 2011.
Impact of Suplementation on Infant and Childhood Mortality. BMC Public
Health 11 (Suppl 3): S20.
Kappy, MS. 2010. Adrenal Disorder. Dalam: Kappy, M.S., Allen, D.B., Gether,
M.E., editor. Pediatric Practise Endocrinology. New York: Mc Graw Hill
Medical. h. 175-183.
Kimani-Murage, E.W., Kahn, K., Pettifor, J.M., Tolman, D.B., Gomez-Olive, X.F.,
Norris, S.A. 2010. The Prevalence of Stunting, Overweight and Obesity,
and Metabolic Disease Risk in Rural South African Children. BMC Public
Health 10: 1-13.
Kyu, H.H., Georgiades, K., Boyle, M.H. 2009. Maternal Smoking, Biofuel Smoke
Exposure and Child Heigh-for Age in Seven Developing Countries.
International Journal of Epidemiology 38: 1342-1350.
Madiyono, B., Moeslihan, S., Sastroasmoro, S., Budiman, I., Purwanto, H.S. 2010.
Perkiraan Besar Sampel. Dalam: Sastroasmoro, S., editor. Dasar-Dasar
Metodologi Penelitian Klinis. Edisi 3. Jakarta: Sagung Seto. h. 302-331.
Mahmud, K., Mien. 2005. Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM). Jakarta:
PERSAGI.
Mardewi, K.W., Sidiartha, L. 2012. Breastfeeding Duration and Age at First
Complementary Feeding in Children Age 6 months to 5 years. Pediatrica
Indonesiana 52(Suppl.5): 252.
Mexitalia, M. 2010. ASI Sebagai Pencegah Malnutrisi pada Bayi. Dalam: Suradi, R.,
Hegar, B., Pratiwi, I.G.A.N., Marzuki, A.N.S. Ananta, Y., editor. Indonesia
Menyusui. Edisi I. Jakarta: IDAI. h. 219-231.
Musthtaq, M.U., Gull, S., Khurshid, U., Shahid, U. Shad, M.A., Siddiqui, A.M.
2011. Prevalence and Socio-demographic Correlates of Stunting and
Thinness among Pakistan Primary School Children. BMC Public Health
790:1-11.
75
Nicol, L.E., Allen, D.B., Czernichow, G., Zeither, P. 2010. Normal Growth and
Growth Disorder. Dalam: Kappy, M.S., Allen, D.B., Gether, M.E., editor.
Pediatric Practise Endocrinology. New York: Mc Graw Hill Medical. h. 2376.
Nriagu, J. 2007. Zinc Deficiency in Human Health. Elsevier. h. 1-8.
Onis, M., Blossner, M., Borghi, E. 2011. Prevalence and Trends of Stunting among
Pre-school Children, 1990-2020. Public Health Nutrition 1: 1-7.
Ramakrishnan, U., Aburto, N., McCabe, G., Martorell, R. 2004. Multimicronutrien
Interventions but Not Vitamin A or Iron Interventions Alone Improve Child
Growth: Result of 3 Meta-Analyses. J. Nutr. 134: 2592-2602.
Rivera, J.A., Hotz, C., Gonzalez-Cossio, T., Neufeld, L., Garcia-Guerra, A. 2003.
The Effect of Micronutrien Deficiencies on Child Growth: A review of
Result from Comunity-Based Supplementation Trials. J. Nutr. 133: 4010S4020S.
Ruminingsih. 2010. Perbedaan Pola Konsumsi (Rnergi, Protein, Seng dan Vitamin
A) dan Frekuensi Sakit pada Anak Balita dengan Status Gizi Pendek dan
Normal di Wilayah Kerja UPT Puskesmas Klungkung I Kabupaten
Klungkung. Denpasar: Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat FK
Universitas Udayana.
Salgueiro, M.J., Zubilaga, M.B., Lysionex, E., Caro, R.A., Weill, R., Boccio, R.
2002. The Role of Zinc in the Growth and Development of Children.
Nutrition 18: 510-519.
Schwarz, N.G., Grobusch, M.P., Decker, M-L., Goesch, J., Poetschke, M.,
Oyakhirome, S., Kombila D., Fortin J., Lell B. 2008. WHO 2006 Child
Growth Standards: Implication for the Prevalence of Stunting and
Underweight-for-Age in a Birth Cohort of Gabonese Children in
Comparison to the Center for Disease Control and Prevention 2000 Growth
Charts and the National Center for Health Statistic 1978 Growth Reference.
Public Health Nutrition 11(suppl. 7): 714-719.
76
Senbanjo, I.O., Oshikoya, K.A., Odusanya, O.O., Njokanma, O.F. 2011. Prevalence
of and Risk Faktor for Stunting Among School Children and Adolescents in
Abeokuta, Southwest Nigeria. J Health Popul Nutr. 29(4): 364-370.
Sidiartha, IG.L. 2011. Defisiensi Vitamin D dan Kalsium. Dalam: Sjarif, D.R.,
Lestari, E.D., Mexitalia, M., Nasar, S.S., editor. Buku Ajar Nutrisi Pediatrik
dan Penyakit Metabolik. Jilid I. Jakarta: IDAI. h. 182-189.
Somer, Alfred. 2004. Defisiensi Vitamin A dan Akibatnya: Panduan Lapangan untuk
Deteksi dan Pengawasan. Alih bahasa: Vivi Sadikin. Edisi 3. Jakarta: ECG.
h. 8-19.
Stephensen, C.B. 1999. Burden Infection of Growth Failure. J. Nutr. 129: 534S538S.
Thurlow, R.A., Winichagoon, P., Gowachirapant, S., Boonpraderm, A., Manger,
M.S., Bailey, K.B., Wasanwisut, E., Gibson, R.S. 2006. Risk of Zinc, Iodine
and Other Micronutrien Deficiencies Among School Children in North East
Thailand. Uropean Journal of Clinical Nutrition 60: 623-632.
Tresna, A.K. 2008. Perbedaan Pertumbuhan Linier (TB/U), Kadar Seng dan Kadar
C-Reactive Protein (CRP) pada Anak Balita dengan Kadar Serum Retinol
Normal dan Tidak Normal. Surabaya: Tesis Program Magister Ilmu
Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga.
Umeta, M., West, C.E., Verhoef, H., Haidar, J., Hautvast, J.G.A.J. 2003. Factor
Associated with Stunting in Infants Age 5-11 months in the Dodota-Sire
Distric, Rural ethiopia. J. Nutr. 133: 1064-1069.
Walker, C.L.F, Black, R.E. 2007. Functional Indicator for Assesing Zinc Deficiency.
Food and Nutrition Buletin 28(suppl. 3): 454-479.
Wamani, H., Astrom, A.N., Peterson, S., Tumwine, J.K., Tylleskar, T. 2007. Boys
are More Stunting than Girls in Sub-Sahara Africa: a Meta-anlysis of 16
Demographic and Health Surveys. BMC Pediatric 7(suppl.17):1-10.
Wang, X., Hojer, B., Guo, S., Luo, S., Zhou, W., Whang, Y. 2009. Stunting and
Overweight in the WHO Child Growth Standards Malnutrition Among
Children in a Poor Area of China. Public Health Nutrition 12 (suppl. 11):
1991-1998.
77
WHO. 2006. WHO Child Growth Standards: Length/Height-for-Age, Weight-forAge, Weight-for-Lenght, Weight-for-Height and Body Mass Index-for-Age:
Methods and Development. Geneva: WHO Press.
Widya Karya Pangan dan Gizi. 2004. Prosiding Ketahanan Pangan dan Gizi di Era
Otonomi Daerah dan Globalisasi. Jakarta: WKNPG VIII. h. 183-196.
Yakoob, M.Y., Theodoratou, E., Imdad, A., Eisele, T., Ferguson, J., Jhass, A., Igor
R., Campbell H., Black R.E., Bhutta Z.A. 2011. Preventive Zinc
Supplementation in Developing Countries: Impact on Mortality and
Morbidity due to Diarrhea, Pneumonia and Malaria. BMC Public Health 11
(suppl.3): 1-10.
78
Lampiran 1
SURAT PERSETUJUAN
JUDUL PENELITIAN
79
HP :
Orang tua,
.
80
Lampiran 2
KUESIONER PENELITIAN
Perbedaan Kadar Seng Serum pada Anak Perawakan Pendek dan Normal
Nama KK
Alamat
I.
Karakteristik Anak
1. Nama Anak
2. Jenis Kelamin : L / P
3. Tanggal Lahir : ../../20Umur : bulan
II.
Identitas Responden
1. Nama Responden/Ibu :
III.
2. Umur
3. Pekerjaan
81
2. Penyakit kronis adalah kondisi penyakit infeksi atau imflamasi atau neoplastik
seperti HIV/AIDS, gagal ginjal, penyakit jantung, kencing manis, keganasan yang
menetap lebih dari 2 bulan
a. Ya
Jenis penyakit :
b. Tidak
3. Kelainan endokrin yaitu sindrom cushing atau hipotiroid kongenital
a.
Ya
Jenis penyakit :
b. Tidak
4. Status gizi anak saat ini
Tinggi badan
cm
Berat badan
gram
Segmen atas
cm
Segmen bawah
cm
BB/TB
: ...............
:
:
7. Asupan nutrisi
IV.
Z-score:
mg/hari
:
kalori/hari.
POTENSI GENETIK
Tinggi badan ayah
82
Lampiran 3
83
Lampiran 4
84
Lampiran 5
85
86
87
Lampiran 6
88
89
90
91
92
93