Anda di halaman 1dari 10

Gambaran Kejadian Balita BGM di Wilayah Kerja Puskesmas Wonokusumo Surabaya

Nurshe Aliviolla Azmi


Departemen Promosi Kesehatan dan Ilmu Peilaku
Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga, Surabaya.
Email: nurshe.aliviolla.azmi-2017@fkm.unair.ac.id

ABSTRAK
Balita dengan BGM (Bawah Garis Merah) adalah balita dengan berat badan menurut umur (BB / U) berada
di bawah garis merah pada KMS sehingga menunjukkan status gizi buruk. Balita BGM dapat di jadikan salah satu
indikator awal bahwa balita tersebut mengalami masalah gizi yang perlu segera ditangani. Indonesia merupakan salah
satu negara yang masih memiliki beberapa masalah gizi seperti gizi buruk, gizi kurang, pendek dan gizi lebih. Secara
nasional Balita usia 12-59 bulan di Surabaya masih banyak yang mengalami gizi buruk meskipun telah mendapatkan
pelayanan kesehatan dari pihak puskesmas setempat. Hal tersebut dikarenakan beberapa faktor yang mempengaruhi
peran ibu terhadap pengasuhan anaknya .Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh balita dengan usia 12-24 Bulan
sejumlah 691 balita dan 31 balita BGM di Wilayah Kerja Puskesmas Wonokusumo Surabaya.Pengambilan sampel
dalam penelitian ini adalah Simple Random Sampling.Hal yang mempengaruhi kejadian BGM adalah Umur Ibu,
tingkat pendidikan, pekerjaan, dan pengetahuan terhadap status gizi. Intervensi telah berjalan untuk pencegahan dan
mengatasi masalah status gizi terutama gizi buruk. Tidak maksimalnya program dikarenakan kurang pemahaman dan
partisipasi aktif masyarakat.

Kata Kunci : BGM, Faktor, Intervensi Nutrisi

PENDAHULUAN kematian anak balita yaitu sebesar 54% kematian anak


balita di dunia. Berat badan balita Bawah Garis Merah
Bawah Garis Merah (BGM) adalah keadaan adalah keadaan kurang gizi tingkat berat yang
anak balita yang mengalami gangguan pertumbuhan disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan
akibat kekurangan gizi sehingga pada saat ditimbang protein dari makanan sehari-hari dan terjadi dalam
berat badan anak balita di bawah garis merah pada
waktu yang cukup lama (Novitasari, 2016).
KMS atau status gizi buruk (BB/U <-3 SD) atau
Keadaan gizi masyarakat akan
adanya tanda-tanda klinis, sedangkan menurut
Departemen Kesehatan RI (2005), anak balita BGM mempengaruhi tingkat kesehatan dan umur harapan
adalah anak balita yang saat ditimbang berat badannya hidup yang merupakan salah satu unsur utama dalam
di bawah garis merah pada Kartu Menuju Sehat penentuan keberhasilan pembangunan negara yang
(KMS). KMS adalah kartu yang memuat kurva dikenal dengan istilah Human Development Index
pertumbuhan anak balita berdasarkan indeks (HDI). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa gizi
antropometri Berat Badan menurut Umur (BB/U) yang kurang pada balita membawa dampak negatif terhadap
berfungsi sebagai alat bantu untuk memantau pertumbuhan fisik maupun mental, yang selanjutnya
kesehatan dan pertumbuhan anak balita. Catatan pada akan menghambat prestasi belajar. Akibat lainnya
KMS dapat menunjukkan status gizi balita. Balita adalah penurunan daya tahan, sehingga kejadian
dengan pemenuhan gizi yang cukup memiliki berat infeksi dapat meningkat. Kekurangan gizi akan
badan yang berada pada daerah berwarna hijau, menyebabkan hilangnya masa hidup sehat balita.
sedangkan warna kuning menujukkan status gizi
Dampak yang lebih serius adalah timbulnya
kurang, dan jika berada di Bawah Garis Merah (BGM)
kecacatan, tingginya angka kesakitan dan percepatan
menunjukkan status gizi buruk (Kemenkes RI, 2010).
Derajat kesehatan masyarakat dapat dilihat kematian (Kurnia, 2014).
dari berbagai faktor salah satunya adalah status gizi Pembangunan kesehatan dalam Undang-
anak balita, sebab anak balita sebagai generasi penerus Undang Kesehatan Nomor 36 tahun 2009 yang
yang memiliki kemampuan untuk dapat bertujuan meningkatkan kesadaran, kemauan dan
dikembangkan dalam meneruskan pembangunan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar
bangsa. Masalah gizi pada anak balita yang dihadapi terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-
Indonesia saat ini adalah masalah pertumbuhan anak tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan
balita yakni dengan Berat Badan (BB) Bawah Garis sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan
Merah (BGM). BGM merupakan penyebab pertama ekonomis. Derajat kesehatan masyarakat dapat dilihat
dari berbagai faktor salah satunya adalah status gizi secara teratur, memberikan ASI saja kepada bayi sejak
anak balita, sebab anak balita sebagai generasi penerus lahir sampai umur 6 bulan, makan beraneka ragam,
yang memiliki kemampuan untuk dapat menggunakan garam beryodium, dan pemberian
dikembangkan dalam meneruskan pembangunan suplemen gizi sesuai anjuran petugas kesehatan.
bangsa. Masalah gizi pada anak balita yang dihadapi Suplemen gizi yang diberikan menurut Peraturan
Indonesia saat ini adalah masalah pertumbuhan anak Menteri Kesehatan Nomor 51 tahun 2016 tentang
balita yakni dengan Berat Badan (BB) di Bawah Garis Standar Produk Suplementasi Gizi, meliputi kapsul
Merah (BGM). Berat badan di Bawah Garis Merah vitamin A, tablet tambah darah (TTD), makanan
adalah keadaan kurang gizi tingkat berat yang tambahan untuk ibu hamil, anak balita, dan anak usia
disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan sekolah, makanan pendamping ASI, dan bubuk multi
protein dari makanan sehari-hari dan terjadi dalam vitamin dan mineral. (Kemenkes RI, 2018)
waktu yang cukup lama (Novitasari, 2016). Hal tersebut juga salah satu tujuan
Status gizi balita dapat diukur berdasarkan pembangunan kesehatan atau Sustainable
tiga indeks yaitu berat badan menurut umur (BB/U), Development Goals (SDGs) yaitu menjamin
tinggi badan menurut umur (TB/U), dan berat badan kehidupan yang sehat dan mendorong kesejahteraan
menurut tinggi badan (BB/TB). Standar pengukuran bagi semua orang di segala usia, dengan memperkuat
status gizi berdasarkan Standar World Health kapasitas seluruh negara, khususnya negara-negara
Organization (WHO 2005) yang telah ditetapkan pada berkembang dalam hal peringatan dini, penurunan
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor resiko kesehatan nasional dan global. Salah satu
1995/Menkes/SK/XII/2010 tentang Standar masalah kesehatan di negara berkembang yang
Antropometri Penilaian Status Gizi Anak. Gizi kurang menyebabkan gangguan pertumbuhan dan
dan gizi buruk merupakan status gizi yang didasarkan perkembangan adalah malnutrisi
pada indeks berat badan menurut umur (BB/U). Keberhasilan pembangunan suatu bangsa
Pemantauan Status Gizi (PSG) tahun 2017 yang dipengaruhi oleh kualitas sumber daya manusia dan
diselenggarakan oleh Kementerian Kesehatan ditentukan oleh status gizi. Indonesia masih
menyatakan bahwa persentase gizi buruk pada balita dihadapkan dengan empat masalah gizi utama yaitu
usia 0-59 bulan di Indonesia adalah 3,8%, Hal tersebut meliputi kekurangan energi dan protein, kekuranga
tidak berbeda jauh dengan hasil PSG tahun 2016 yaitu vitamin A, anemia gizi besi dan kekursngan yodium
persentase gizi buruk pada balita usia 0-59 bulan (Ismail, 2016). Menurut hasil penelitian Kumar 2019
sebesar 3,4%. (Kemenkes RI, 2018). di India prevalensi gizi buruk masih sangat tinggi
Jumlah sasaran kesehatan balita pada tahun dikarenakan adanya penyakit infeksi .anak dengan
2018 di Indonesia sangat besar yaitu sekitar usia <24 bulan lebih rentan terkena gizi buruk daripada
19.270.715 atau 7,5% jiwa dari seluruh populasi anak berusia 24-59 bulan. Dan Ibu adalah predictor
penduduk Indonesia (Kemenkes RI, 2018). Maka utama terhambatnya pertumbuhan anak dan masalah
kualitas tumbuh kembang balita di Indonesia perlu berat badan anak-anak, sehingga pentingnya peran ibu
mendapat perhatian serius, yaitu mendapat gizi yang untuk mengatur gizi seimbang anaknya (Kumar Sinha,
baik, stimulasi yang memadai serta terjangkau oleh 2018). Sehingga gizi buruk bisa karena kekurangan
pelayanan kesehatan berkualitas termasuk deteksi dan gizi dan terkena penyakit infeksi anak.
intervensi dini penyimpangan tumbuh kembang. Masa Banyak faktor yang dapat menyebabkan
balita merupakan masa kritis dan tidak bisa diulang, terjadinya kasus malnutrisi. WHO membatasinya
masa emas bagi kelangsungan tumbuh kembang anak, menjadi dua faktor penyebab langsung terjadinya
bila terjadi penyimpangan pertumbuhan dan kasus gizi buruk yaitu kurangnya asupan gizi bisa
perkembangan yang terlambat terdeksi, maka disebabkan karena terbatasnya jumlah makanan yang
penanganannya pun juga terlambat sehingga sukar dikonsumsi atau makanannya tidak memenuhi unsur
untuk diperbaiki (Larasati, 2019). gizi yang dibutuhkan (Khan, 2017).
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Indonesia merupakan salah satu negara yang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Upaya Perbaikan Gizi, masih memiliki beberapa masalah gizi seperti gizi
dalam menerapkan gizi seimbang setiap keluarga buruk, gizi kurang, pendek dan gizi lebih. Secara
harus mampu mengenal, mencgah, dan mengatasi nasional, berdasarkan Riskesdas tahun 2018
masalah gizi setiap anggota keluarganya. Upaya yang prevalensi masalah status gizi buruk dan gizi kurang
dilakukan untuk mengenal, mencegah dan mengatasi pada balita usia 0 – 59 bulan menurut indeks BB/U
pada tahun 2013 adalah 19,6%, pada tahun 2018
masalah gizi adalah dengan menimbang berat badan
mengalami penurunan dengan 17,7%, masih melebihi Lokasi yang diambil dalam studi ini adalah di wilayah
target RPJMN tahun 2019 sebesar 17% (Riskesdas, kerja Puskesmas Wonokusumo kota Surabaya dan
2018). waktu penelitian yaitu bulan Agustus 2019 sampai
Hasil pemantauan data Riskesdas Provinsi Oktober 2019. Teknik pengumpulan data
Jawa Timur 2013 menyatakan prevalensi balita usia 0 menggunakan data primer yang diperoleh melalui
– 59 bulan mengalami gizi buruk sebesar 4,9%, dan wawancara langsung dengan menggunakan alat bantu
prevalensi balita gizi buruk pada tahun 2018 sebesar kuisioner. Data sekunder diperoleh dari data
3,35% (Kemenkes, 2018). Puskesmas Wonokusumo dan KMS balita di posyandu
Pada tahun 2015 persentase balita BGM balita kelurahan Wonokusumo kecamatan Semampir.
sebesar 0,7% (Dinkes Kota Surabaya, 2015). Pada Analisa data menggunakan analisis deskriptif
tahun 2016, prevalensi balita BGM di Kota Surabaya dengan teknik persentase dan distribusi frekuensi.
sebesar 0,76% (Dinkes Kota Surabaya, 2016). Pada
tahun 2017, prevalensi balita BGM di kota Surabaya HASIL DAN PEMBAHASAN
sebesar 0,64% (Dinkes Kota Surabaya, 2017). Kelurahan Wonokusumo mempunyai posyandu balita
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Surabaya sebanyak 51 posyandu. Karakteristik responden umur,
status BGM balita di Posyandu se-Kota Surabaya pekerjaan, dan pendidikan terakhir.
tahun 2017 ditemukan bahwa prevalensi BGM sebesar
0,66% dengan total sebanyak 1.193 balita dari jumlah UMUR IBU
total 179.662 balita. Jumlah balita Bawah Garis Merah Tabel 1. Distribusi Responden Menurut Umur di
(BGM) diwilayah Puskesmas Wonokusumo tahun Wilayah Wonokusumo Kota Surabaya
2017 sebanyak 2,07%. Masih tingginya angka balita Umur Frekuensi Persentase
yang dibawah garis merah di Surabaya khususnya di 21-30 tahun 37 69,8
Wilayah Kerja Puskesmas Wonokusmo dengan 31-40 tahun 15 28,3
melewati target prevalensi gizi buruk <1% (Renstra, >40 tahun 1 1,9
2016-2021). Hal tersebut terjadi karena beberapa Jumlah 53 100
faktor,. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa umur termuda
Dinas Kesehatan Kota Surabaya telah responden 21 tahun dan tertua 42 tahun. Umur rata-
membuat beberapa program penanganan gizi buruk rata responden 28,51 dengan standart deviasi 5,124
seperti PMT, penyuluhan dan kunjungan rumah tahun.
(Dinkes Kota Surabaya, 2017). Program-program
signifikan terhadap penurunan balita kurang gizi di PEKERJAAN RESPONDEN
Surabaya. Hampir seluruh puskesmas di Surabaya Tabel 2. Distribusi Responden Menurut Status
telah mendapatkan pelayanan kesehatan pada balita Pekerjaan di Wilayah Wonokusumo Kota Surabaya
Bawah Garis Merah. Tetapi masih ditemukannya Status Frekuensi Persentase
Balita usia 12-59 bulan di Surabaya masih banyak Pekerjaan
yang mengalami gizi buruk meskipun telah Bekerja 10 18,9
mendapatkan pelayanan kesehatan dari pihak Tidak 43 81,1
Puskesmas setempat, terutama di wilayah Puskesmas Bekerja
Wonokusumo Surabaya didapatkan sebanyak 4.364 Jumlah 53 100
balita dan mendapat pelayanan kesehatan 2.102 Tingkat partisipasi kerja ibu di Wilayah Wonokusumo
(48,17%), tetapi masih adanya balita BGM sebanyak adalah 18,9% Ibu bekerja sebagai karyawan swasta.
80 balita (1,93%) yang masih melebihi target Renstra Ibu yang bekerja mempunyai penghasilan yang dapat
<1%. digunakan untuk membantu memenuhi kebutuhan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keluarga termasuk dalam membeli kebutuhan keluarga
gambaran kejadian Balita Bawah Garis Merah (BGM) termasuk dalam membeli kebutuhan pangan sehingga
di Wilayah Kerja Puskesmas Wonokusumo ibu dapat menyediakan makanan bergizi bagi
Kecamatan Semampir, Surabaya. keluarganya. Kelemahannya, ibu yang bekerja akan
mengurangi waktu untuk mengurus keluarga.
METODE PENELITIAN Termasuk dalam hal menyiapkan makanan untuk
Penelitian ini termasuk penelitian deskriptif keluarga dan mengasuh anak.
dengan menggunakan kuantitatif . Populasi dalam
penelitian ini adalah seluruh balita dengan usia 12-24 PENDIDIKAN RESPONDEN
Bulan sejumlah 691 balita dan 31 balita BGM, dan Tabel 3. Distribusi Responden Menurut Pendidikan di
teknik sampel yang akan diambil dalam penelitian ini Wilayah Wonokusumo Kota Surabaya
ada Simple Random Sampling sehingga didapatkan
sampel sejumlah 53 balita berusia 12-24 Bulan.
Pendidikan Frekuensi Persentase misalnya pengetahuan ibu karena dalam penelitian ini
Tidak 1 1,9 usia ibu masih tergolong muda (< 35 tahun) sehingga
Sekolah 26 49,1 ibu balita yang masih muda belum memiliki
SD 12 22,6 pengetahuan tentang gizi yang cukup pada saat hamil
SMP 12 22,6 maupun pasca melahirkan (Puspasari & Andriani,
SMA 3 3,8 2017).
Perguruan Menurut hasil penelitian Rahmatillah
Tinggi (2018), didapatkan karakteristik usia responden berada
Jumlah 53 100 pada rentan usia 15-20 tahun yaitu sebanyak 32 orang
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendidikan dimana pengetahuan dipengaruhi oleh faktor umur,
responden sebagian besar adalah pendidikan sekolah pengalaman serta pendidikan. Semakin dewasa usia
dasar (SD) seseorang dan kematangan seseorang akan lebih
PENGETAHUAN GIZI RESPONDEN matang dalam berfikir (Rahmatillah, 2018).
Tabel 4. Tingkat Pengetahuan Gizi Responden di Usia Ibu merupakan salah satu faktor yang tidak
Wilayah Wonokusumo Kota Surabaya langsung, dan usia tergolong muda masih kurang
memiliki pengetahuan tentang gizi yang baik untuk
Pengetahuan Frekuensi Persentase
anaknya, sehingga anak menjadi rentan terkena gizi
Gizi
buruk.
Baik (76- 22 41,5
100%) 28 52,8
GAMBARAN PEKERJAAN IBU TERHADAP
Cukup (56- 3 5,7
KEJADIAN BGM
75%)
Hasil karakteristik berdasarkan pekerjaan ibu
Kurang <56%
didapatkan sebanyak 43 (81,1) Ibu Rumah Tangga dan
Jumlah 53 100
10 (18,9%) Ibu bekerja sebagai karyawan. Dari data
Tabel 4 menunjukkan bahwa ibu balita di Wilayah yang diperoleh masih adanya ibu yang bekerja hal ini
Wonokusumo Kota Surabaya masih responden berpengaruh terhadap kurangnya pola asuh dan
mempunyai tingkat pengetahuan gizi cukup dan pengawasan yang diberikan ibu kepada anaknya dan
kurang menurut hasil wawancara salah satu responden yang
sedang bekerja, jarang ibu bekerja melakukan
PEMBAHASAN kunjungan posyandu secara rutin dan kurang
GAMBARAN UMUR IBU TERHADAP mendapatkan informasi terkait BGM dan pola asuh
yang baik untuk anaknya.
KEJADIAN BGM
Menurut hasil penelitian Puspasari (2017)
Hasil karakteristik berdasarkan umur Ibu
mengenai pekerjaan ibu, didapatkan status pekerjaan
dengan kategori umur 21-30 Tahun didapatkan
ibu dalam penelitian ini diklasifikasikan menjadi 5
sebanyak 37 (69,8%), 15 (28,3%) dengan kategori
yaitu tidak bekerja, bekerja sebagai pegawai,
umur ibu 31-40 Tahun, dan 1 (1,9%) dengan kategori
wiraswasta, petani/nelayan/buruh, dan lainnya.
umur >40 Tahun. Dari data yang diperoleh masih
Berdasarkan pekerjaan ibu, 82,9% ibu balita yang
banyak umur ibu yang tergolong muda hal ini juga
tidak bekerja sedangkan ibu yang bekerja sebesar
berpengaruh dengan pengetahuan yang masih cukup
17,1%. Jika dikelompokkan sesuai dengan status gizi
diperoleh. Hal ini didukung oleh penelitian Puspasari
balita usia 12-24 bulan, ibu yang tidak bekerja lebih
(2017).
banyak memiliki balita dengan status gizi normal
Menurut hasil penelitian Puspasari (2017),
(55,3%) jika dibandingkan dengan ibu yang memiliki
didapatkan Karakteristik ibu balita usia 12-24 bulan balita dengan status gizi tidak normal (27,6%).
terdiri dari usia, pendidikan, pekerjaan dan pendapatan Menunjukkan bahwa tidak ada hubungan signifikan
keluarga yang dikelompokkan pada kelompok status antara status pekerjaan ibu dengan status gizi balita,
gizi normal dan tidak normal. Berdasarkan usia, 48,9% pekerjaan ibu tidak berhubungan dengan status gizi
ibu balita berusia 26-35 tahun. Jika dikelompokkan balita (BB/U) karena sebagian besar ibu tidak bekerja.
sesuai dengan status gizi balita usia 12-24 bulan, ibu Pekerjaan ibu dapat dipengaruhi tingkat
yang berusia kurang dari 35 tahun lebih banyak pendidikannya. Semakin tinggi tingkat pendidikan
memiliki balita dengan status gizi normal (80,8%) jika maka kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan juga
dibandingkan dengan ibu yang berusia diatas 35 tahun semakin besar (Puspasari, 2017).
(19,2%). Usia ibu merupakan salah satu faktor secara Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian
tidak langsung yang dapat mempengaruhi status gizi oleh Rozali (2016) didapatkan 62 responden, ibu yang
bekerja sebanyak 28 ibu (45%) sedangkan ibu yang
pada balita. Hal ini dapat terjadi karena faktor lain,
tidak bekerja yaitu 34 ibu (55%), menunjukkan tidak makanan dengan gizi seimbang dan memperhatikan
ada peranan antara pekerjaan ibu dengan status gizi kebutuhan gizi anak (Puspasari, 2017)
balita, Pada ibu yang bekerja akan kehilangan waktu Hasil penelitian oleh Novitasari (2016) juga
untuk memperhatikan asupan makanan bagi balitanya didapatkan ibu yang tidak rutin ke posyandu dapat
sehingga akan mempengaruhi status gizi balitanya. Ibu dipengaruhi oleh rendahnya tingkat pendidikan ibu.
yang memiliki balita kemudian bekerja lebih banyak Berdasarkan hasil penelitian juga bahwa ibu yang
memiliki status gizi balita kurang dibandingkan pendidikannya rendah yaitu sebesar 67,9%.
dengan ibu yang tidak bekerja (Rozali, 2016). Rendahnya pendidikan ibu akan menyebabkan ibu
Salah satu dampak negatif yang timbul sulit menerima dan memahami informasi yang
akibat dari ibu-ibu yang bekerja atau memilki diterima serta kurangnya pemahaman betapa
kegiatan rutin di luar rumah adalah keterlantaran pentingnya memantau pertumbuhan anak balitanya ke
anak terutama anak balita. Masa depan anak posyandu. Tingkat pendidikan ibu yang rendah selain
dipengaruhi oleh pengasuhan dan keadaan gizi sejak akan mempengaruhi partisipasi ibu ke posyandu. Hal
usia bayi sampai anak berusia 5 tahun sebab usia ini juga akan berdampak pada pengetahuan ibu
tersebut merupakan usia penting bagi tumbuh mengenai pertumbuhan anak balita karena posyandu
kembang seseorang. Pada umur tersebut. anak belum selain tempat memantau pertumbuhan anak balita,
dapat melayani kebutuhan sendiri dan bergantung posyandu juga sebagai sumber informasi atau sebagai
pada ibu atau pengasuhnya (Nurul, 2016). tempat penambah pengetahuan bagi ibu balita
Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil (Novitasari, 2016).
penelitian Gaur (2014) di India menunjukkan bahwa Penelitian juga sejalan dengan hasil
meskipun kekurangan gizi anak-anak lebih banyak penelitian Rozali (2016). Dalam penelitian ini
mempunyai ibu yang bekerja daripada ibu yang tidak penyebab ada hubungan antara tingkat pendidikan ibu
bekerja (15% v / s 12,17%) namun dalam proporsi gizi dengan status gizi balita adalah karena tingkat
anak pada ibu status bekerja ditemukan tidak pendidikan ibu akan mempengaruhi sikap dan pola
signifikan (Notoatmodjo, 2010). Sehingga Ibu bekerja pikir ibu dalam memperhatikan asupan makanan balita
mempengaruhi status gizi anaknya, karena balita usia mulai dari mencari, memperoleh dan menerima
dibawah 5 tahun merupakan periode emas yang berbagai informasi mengenai pengetahuan tentang
mempengaruhi pertumbuhannya serta periode tersebut asupan makanan gizi balita sehingga akan
adalah masa kritis dan tak bisa diulang, dan peran ibu mempengaruhi pemilihan makanan yang akan
sangat penting untuk pola asuh yang berpengaruh menentukan status gizi balitanya (Rozali, 2016).
dalam pertumbuhan dan perkembangan anaknya. Penelitian Boma di Nigeria (2014)
mengemukakan bahwa Pendidikan ibu memainkan
GAMBARAN PENDIDIKAN IBU TERHADAP peran utama dalam menentukan status gizi anak-anak
KEJADIAN BGM dengan kebanyakan studi pendidikan ibu rendah
Hasil karakteristik berdasarkan pendidikan adalah faktor penentu utama dari malnutrition (Boma
terakhir ibu didapatkan 1 (1,9%) ibu tidak sekolah, 26 et al., 2014). Sehingga tingginya tingkat pendidikan
(49,1%) berpendidikan SD, 12 (22,6%) berpendidikan ibu berpengaruh terhadap status gizi anak, terkait
Sekolah Menengah Pertama, 12 (22,6%) menerima informasi terkait status gizi anak, memilah
berpendidikan SMA, dan 2 (3,8%) berpendidikan makanan sesuai gizi seimbang anaknya, tetapi tingkat
terakhir perguruan tinggi. Dari data yang diperoleh pendidikan tinggi akan dapat berkurang pengetahuan
pendidikan berpengaruh dengan cara seseorang terkait status gizi apabila tidak rutin hadir ke
memperoleh informasi terkait pengetahuan. posyandu, sehingga kurangnya mendapat informasi
Menurut hasil penelitian Puspasari (2017), terbaru terkait status gizi untuk anaknya.
Pendidikan ibu merupakan pendidikan terakhir yang
telah ditempuh ibu balita. Berdasarkan pendidikan ibu, GAMBARAN PENGETAHUAN IBU
42,5% ibu balita yang memiliki tingkat pendidikan TERHADAP KEJADIAN BGM
terakhir SD/MI. Jika dikelompokkan sesuai dengan Hasil pengetahuan Ibu mengenai status gizi
status gizi balita usia 12-24 bulan, ibu yang memiliki dan Balita Bawah Garis Merah didapatkan sebanyak
tingkat pendidikan terakhir SD/MI dengan status gizi 22 (41,5%) Ibu memiliki pengetahuan baik mengenai
balita normal (25,5%) lebih banyak jika dibandingkan BGM, sebanyak 28 (52,8%) Ibu mempunyai
dengan ibu yang memiliki tingkat pendidikan terakhir pengetahuan yang cukup mengenai BGM dan
SD/MI dengan status gizi balita tidak normal (17,0%). sebanyak 3 (5,7) Ibu mempunyai pengetahuan kurang
Tingkat pendidikan seseorang memegang peran yang mengenai BGM. Pengetahuan ibu tentang
penting dalam kesehatan masyarakat. Orangtua yang pertumbuhan anak merupakan salah satu faktor yang
memiliki pendidikan tinggi cenderung memilih dapat mempengaruhi status gizi anak balita. Ibu yang
cukup pengetahuannya mengenai pertumbuhan anak
balita akan dapat memantau pertumbuhan anaknya pengetahuan kurang tentang gizi dapat mengakibatkan
apakah normal atau mengalami gangguan sehingga berkurangnya kemampuan untuk menerapkan
dapat segera diketahui dan dapat diberikan pengobatan informasi dalam kehidupan sehari-hari yang
dan pencegahan agar tidak berdampak buruk. merupakan salah satu penyebab terjadinya gangguan
Pengetahuan gizi ibu dapat dipengaruhi oleh usia, gizi (Notoatmodjo, 2010). Sehingga pentingnya ibu
pendidikan, pengetahuan, pekerjaan dan pendapatan. mendapat informasi-informasi untuk menambah
Adanya hubungan antara pengetahuan ibu pengetahuan terkait status gizi yang baik untuk
dengan status gizi anak balita yaitu karena ibu yang anaknya, dan dapat mencegah berat badan anaknya
mempunyai pengetahuan yang baik mengenai berada di garis merah maupun bawah garis merah
pertumbuhan anaknya maka akan dengan mudah sehingga tidak rentan mengalami gizi buruk.
memantau pertumbuhan anaknya dan apabila
ditemukan gangguan maka dapat segera dicegah atau INTERVENSI BALITA BAWAH GARIS
diobati, seperti yang diperoleh dari hasil wawancara MERAH
oleh Novitasari (2016) pada variabel pengetahuan ibu Indonesia mengalami permasalahan gizi
bahwa ibu akan melakukan pencegahan agar berat balita. Untuk mengatasi masalah ini, dilakukan
badan anak balitanya tidak di bawah garis merah Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi dalam
dengan memperhatikan pemberian makan yang rangkan Seribu Hari Pertama Kehidupan (1000 HPK)
bergizi seimbang pada anak balitanya. Hal ini sejalan (Rosha, Sari, Yunita, & Amaliah, 2016).
dengan hasil penelitian bahwa ibu yang Penyebab dari Balita Bawah Garis Merah
pengetahuannya baik cenderung memiliki anak balita tersebut dikarenakan banyak balita mengalami gizi
yang tidak BGM sebesar 86,7% dibandingkan dengan kurang dan kemudian menjadi gizi buruk karena
anak balita yang BGM yaitu sebesar 13,3%. Baik atau terlambatnya penanganan. Peran ibu adalah peran
tidak baiknya pengetahuan ibu juga dipengaruhi oleh utama untuk masalah gizi pada anak. Sehingga faktor
partisipasi ibu ke posyandu karena ibu yang rutin ke umur ibu yang terbilang muda, pendidikan ibu, ibu
posyandu akan memperoleh informasi yang yang bekerja dan pengetahuan ibu terhadap status gizi
disampaikan oleh kader dan petugas kesehatan melalui sangat berpengaruh dalam pola asuh untuk anaknya.
meja penyuluhan di posyandu. Di Indonesia dalam melakukan pencegahan maupun
Penelitian ini juga sejalan dengan hasil mengatasi kejadian gizi buruk yaitu adanya
penelitian Puspasari (2017), ibu yang memiliki pemantauan pertumbuhan. Pemantauan pertumbuhan
pengetahuan tentang gizi dengan status gizi balita ini kegiatan guna menanggulangi masalah gizi dengan
normal (57,5%) lebih banyak jika dibandingkan kegiatan-kegiatan penimbangan secara berkala pada
dengan ibu yang memiliki pengetahuan tentang gizi anak-anak usia lima tahun di Posyandu, akan tetapi
dengan status gizi balita tidak normal (2,1%). penanggulangan masalah gizi tergantung pada
Pengetahuan ibu tentang gizi memiliki hubungan partisipasi aktif dari masyarakat dan dukungan dari
dengan status gizi balita (BB/U). Tingkat pengetahuan petugas kesehatan untuk pentingnya partisipasi
ibu tentang gizi yang tinggi dapat mempengaruhi pola menghadiri posyandu secara rutin.
makan balita dan akhirnya akan mempengaruhi status Ibu yang tidak aktif berkunjung ke posyandu
gizi balita. mengakibatkan ibu kurang mendapatkan informasi
Penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian mengenai pentingnya status gizi balita, tidak
Dessy (2018) bahwa tingkat pengetahuan responden mendapat dukungan dan dorongan dari petugas
tidak berpengaruh dengan kejadian anak balita bawah kesehatan apabila ibu mempunyai permasalahan
garis merah (BGM). Hal ini dikarenakan ibu balita kesehatan pada balitanya, serta pemantauan
rutin membawa anaknya ke posyandu untuk pertumbuhan dan perkembangan balita yang tidak
mendapatkan vaksin secara rutin sehingga tingkat dapat terpantau secara optimal, karena pemantauan
kekebalan tubuh balita menjadi lebih baik dan tidak pertumbuhan balita dapat dipantau melalui KMS
mudah terserang penyakit serta melakukan (Fitriani, 2018).
penimbangan secara rutin untuk melihat Intervensi selanjutnya yaitu Kegiatan
perkembangan berat badan balita agar menghindari Pemberian Makanan Tambahan (PMT). Program ini
terjadinya berat badan di bawah garis merah (BGM) merupakan program suplementasi makanan untuk
dan sering mengikuti penyuluhan-penyuluhan meningkatkan status gizi anak yang kurang gizi. PMT
kesehatan. serta sudah mendapat makanan bergizi diberikan untuk anak usia 6-11 bulan dalam bentuk
berupa pemberian makan tambahan (PMT). MP-ASI atau blended food. Bagi anak usia 12-59
Pengetahuan ibu yang baik tentang gizi akan bulan diberikan biscuit sebanyak 75gram/hari dan susu
mempermudah ibu dalam mengasuh anak terutama bubuk sebanyak 80 gram/hari. Pemberian PMT harus
memperhatikan asupan makanan anak sehingga status
gizi anaknya baik. Sedangkan ibu yang mempunyai
diberhatikan dengan mempertimbangkan masa Indonesia merupakan negara dengan urutan
pertumbuhan kritis anak (Inayah, 2016). ke-17 dari 117 negara yang memiliki masalah gizi
Program Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi) juga kompleks stunting, wasting dan overwight. Untuk
program mengatasu masalah gizi dengan bantuan mengatasi permasalahan gizi ini pada tahun 2010 PBB
peran dari keluarga balita itu sendiri mempraktekkan telah melucurkan program Scalling Up Nutrition
perilaku gizi yang baik, seperti menimbang berat (SUN) yaitu sebuah upaya bersama pemerintah dan
badan secara teratur, memberikan Air Susu Ibu (ASI) masyarakat untuk mewujudkan visi bebas rawan
saja kepada bayi sejak lahir sampai umur 6 bulan, pangan dan kurang gizi (zero hunger and malnutrition)
Program tersebut juga dikenal dengan 1000 Hari
makan beraneka ragam, menggunakan garam
Pertama Kehidupan (1000 HPK). Gerakan yang
beryodium dan minuman suplemen gizi sesuai anjuran
dilakukan oleh 61 negara di dunia dengan tujuan
(Rachmayanti, 2017).
menghilangkan berbagai jenis malnutrisi. SUN
Menurut hasil penelitian Rachmayanti, 2017.
Kelurahan Wonokusumo Surabaya mengenai merupakan upaya global dalam memperkuat
pelaksanaan program KADARZI belum maksimal komitmen dan rencana aksi percepatan perbaikan gizi
dikarenakan banyaknya keluarga yang belum tahu dan dan juga mendukung Tujuan Pembangunan
belum memahami keberadaan program. Sehingga Berkelanjutan (SDGs) dengan melindungi hak anak-
perlunya peran petugas kesehatan untuk melakukan anak agar memperoleh gizi yang memadai (Rosha et
kunjungan rumah terhadap balita bawah garis merah al., 2016).
maupun memiliki status gizi buruk untuk menjelaskan Seperti halnya di India terdapat program
informasi terkait KADARZI. ICDS (Integrated Child Development Services
Berbagai program penanggulangan gizi Scheme), yang berdiri pada Tahun 1975 dikarenakan
buruk yang dilakukan Pemerintah, kerapkali tingkat kurang gizi pada anak balita peringkat kelima
mengalami ketidakberhasilan ataupun program akan tertinggi di dunia dibandingkan dengan Afrika,
berhenti dengan terhentinya aliran dana yang ada. Hal Hampir semua setengah dari kematian balita di India
ini terjadi karena proses perencanaan dan pengambilan disebabkan oleh kurang gizi (UNICEF, 2017).
keputusan dalam program pembangunan kerapkali Program ini memberikan konseling pada ibu
dilakukan dari atas ke bawah (top-down). Rencana mengenai kesadaran adanya risiko kesehatan terutama
program pengembangan masyarakat biasanya dibuat pada status gizi anak. Menekankan juga dalam
di tingkat pusat (atas) dan dilaksanakan oleh instansi pemberian suplementasi nutrisi, peningkatan
propinsi dan kabupaten. Masyarakat seringkali kebersihan lingkungan dan praktik pemberian makan
diikutkantanpa diberikan pilihan dan kesempatan anak Pada balita BGM dapat dilakukan upaya
untuk memberi masukan. Dalam visi ini masyarakat penanganan secara farmakologis dan
ditempatkan pada posisi yang membutuhkan bantuan nonfarmakologis. Farmakologis seperti pemberian
dari luar. suplemen makanan dan nonfarmakologis misalnya
Dalam mengatasi kejadian BGM pemerintah perbaikan pola nutrisi seperti pemberian makanan
menjalankan program-program yaitu program tambahan balita yang BGM, sehingga perlu dilakukan
pemantauan pertumbuhan, pemberian makanan identifikasi pola konsumsi atau pola makan yang
tambahan dan KADARZI masih belum maksimal meliputi jenis makan, jumlah makan, dan frekuensi
dikarenakan kurangnya sosialisasi petugas kesehatan makan, karena balita yang mengalami BGM salah
dan peran aktif masyarakat. Pelayanan balita Bawah satunya disebabkan oleh pola asuh orang tua yang
Garis Merah (BGM) seharusnya diberikan secara salah yang kurang memperhatikan asupan nutrisi
terintegrasi dan komprehensid agar dapat mencegah (Safitri & Darmaning, 2016). Intervensi tersebut telah
terjadinya gizi kurang/ buruk berulang maupun berjalan untuk mencegah terjadinya gizi buruk
penyakit infeksi pada anak. Seperti Pelayanan maupun saat terjadinya gizi buruk, tetapi kurangnya
promotif berupa edukasi makanan dan kesehatan anak. partisipasi masyarakat terhadap program sehingga
Pelayanan preventif berupa pemberitahuan berat program tersebut kurang berjalan dengan baik.
badan anak kurang, edukasi pola makanan,
penimbangan, rujukan ke petugas kesehatan dan KESIMPULAN
pemberian makanan tambahan. Dan peningkatan Kesehatan tidak dapat dipisahkan
pelayanan kuratif (Laurentia, 2017). Pelayanan balita hubungannya dengan kondisi sosial ekonomi,
Bawah Garis Merah tidak hanya peran ibu dan bidan lingkungan fisik, perilaku dan gaya-hidup individu.
saja, tetapi perlunya dukungan dokter, dokter spesialis Hubungan tersebut memberikan pemahaman yang
untuk edukasi kesehatan, kemudian kader dan holistik dan sistemik tentang kesehatan. Menurut hasil
kabupaten. penelitian dari beberapa artikel usia ibu, pekerjaan,
pendidikan dan pengetahuan ibu mempengaruhi pola
asuh terhadap status gizi anaknya dan kejadian Balita DAFTAR PUSTAKA
Bawah Garis Merah (BGM) diantaranya pengetahuan
ibu mempengaruhi status gizi balita terutama dalam (Kemenkes RI, 2018)2015, D. K. (n.d.).
tindakan pencegahan Balita Bawah Garis Merah, 3578_Jatim_Kota_Surabaya_2015.
selain itu partisipasi ibu ke posyandu juga dapat
mempengaruhi pengetahuan ibu, ibu akan Bell, U. (2018). Scaling up nutrition around the
memperoleh informasi yang disampaikan oleh kader world in 2017-2018, (November).
dan petugas kesehatan melalui meja penyuluhan di
posyandu. Sosial Ekonomi juga mempengaruhi Balita Boma, G. O., Anthony, I. P., George, M. D.,
Bawah Garis Merah (BGM) yaitu pada pendapatan Andrew, F., Daniel, M. D., Rugina, T., &
keluarga, tinggi rendahnya pendapatan sangat
Mefubara, K. (2014). Nutritional Status of
mempengaruhi daya beli keluarga terhadap bahan
pangan yang akhirnya berpengaruh pada status gizi Children in Rural setting . Nutritional Status
anak. Faktor selanjutnya yaitu Tingkat pendidikan of Children in Rural setting . IOSR Journal of
yaitu orang tua yang memiliki pendidikan tinggi Dental and Medical Sciences, 13(1), 41–47.
cenderung memilih makanan dengan gizi seimbang https://doi.org/10.9790/0853-13164147
dan memperhatikan kebutuhan gizi anak, dan
rendahnya pendidikan ibu akan menyebabkan ibu sulit Devi, P., & Kaur, S. (2019). the prevalence and
menerima dan memahami informasi yang diterima risk factors children residing in selected
serta kurangnya pemahaman betapa pentingnya rural areas of district Sirmaur , Himachal
memantau pertumbuhan anak balitanya ke posyandu.
Pradesh. Journal of Health Sciences, 7–10.
Usia ibu merupakan salah satu faktor secara tidak
langsung yang dapat mempengaruhi status gizi pada https://doi.org/10.4103/bjhs.bjhs
balita. Pekerjaan tidak berpengaruh terhadap status
gizi balita apabila ibu yang tidak bekerja maupun
Dinkes Kota Surabaya. (2016). Profil kesehatan
bekerja dapat mengatur waktu untuk memberikan pola Dinkes Kota Surabaya, 194. Retrieved from
asuh pada anaknya. http://www.depkes.go.id/resources/down
Prevalensi gizi buruk yang tinggi juga dikarenakan load/profil/PROFIL_KAB_KOTA_2016/3578
beberapa faktor seperti kurangnya melakukan _Jatim_Kota_Surabaya_2016.pdf
kunjungan antenatal, dan kurang pemahaman terhadap
program yang ada. Sehingga intervensi belum berjalan Dixit, P., Gupta, A., & Dwivedi, L. K. (2018).
dengan baik. Impact Evaluation of Integrated Child
Development Services in Rural India :
SARAN
Diharapkan kepada setiap orang tua khususnya ibu Propensity Score Matching Analysis, 1–7.
balita untuk lebih memperhatikan status gizi. Dan https://doi.org/10.1177/21582440187857
perlunya pemberian informasi dan pendidikan 13
kesehatan secara berkala dengan kunjungan rumah
oleh petugas kesehatan. Fitriani, N. (2018). Hubungan Kunjungan Ibu ke
Realisasi visi dan misi indonesia sehat dalam hal ini Posyandu dengan Jumlah Balita Bawah
jelas tidak mungkin hanya di bebankan pada sektor Garis Merah ( BGM ) di Desa Tente
kesehatan karena masalah kesehatan adalah muara Kecamatan Woha Kabupaten Bima
semua sektor pembangunan. Oleh karena itu masalah
Correlation between Mother ’ s Activeness
kesehatan adalah tanggung jawab bersama individu,
masyarakat, pemerintah dan swasta. Namun dalam Integrated With Health Service Number
kenyataan dalam untuk mengimplementasikan Reduction of Toddler Below The Red Line (
kebijakan dan Program intervensi ini harus bersama- BGM ) I. Jurnal Studi Keislaman Dan Ilmu
sama dengan sektor lain, baik pemerintah maupun Pendidikan, 6(1), 70–80.
swasta. Hal Ini berarti sektor kesehatan seharusnya
menjalin kerjasama kemitraan dengan instansi Ilham. (2017). Hubungan Dukungan Keluarga
kesehatan mulai tingkat kabupaten sampai ketingkat dengan Kepatuhan Ibu Melaksanakan
kecamatan. Perlunya pemahaman informasi terkait Imunisasi Dasar Lengkap pada Bayi di
program terhadap masyarakat
Wilayah Kerja Puskesmas Pemangkat
Kabupaten Sambas. Physics in Medicine
and Biology.
https://doi.org/10.1088/0031- Laurentia, L. M., Setiawati, E. P., Somasetia, D.
9155/22/2/004 H., & Hilmanto, D. (2016). Gambaran
Pelayanan Terintegrasi dan Komprehensif
Inayah, M., & Hartono, M. (2016). PENGARUH pada Balita Bawah Garis Merah di
PEMBERIAN MAKANAN TAMBAHAN DAN Puskesmas Soreang Illustration of
STIMULASI TERHADAP PERTUMBUHAN Integrated and Comprehensive Health
DAN PERKEMBANGAN BALITA BGM USIA 1- Services for Under, 2, 192–199.
2 TAHUN, 02(01), 61–70.
Lisang, A. G. (2017). IMPLEMENTASI PROGRAM
Ismail, Z., Irene Kartasurya, M., & Mawarni, A. PENANGGULANGAN GIZI BURUK PADA
(2016). Analisis Implementasi Program ANAK BAWAH LIMA TAHUN PADA DINAS
Penanggulangan Gizi Buruk Di Puskesmas KESEHATAN. E Jurnal Katalogis, 5(2), 14–
Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kota Sorong 25.
Provinsi Papua Barat Analysis on the
Implementation of Malnutrition Alleviation Notoatmodjo, S. (2010). Promosi Kesehatan
Program at Primary. Jurnal Manajemen Teori dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka
Kesehatan IIndonesIa, 04(01). Cipta (Vol. 200).
Kemenkes RI. (2010). Profil Kesehatan Republik Novitasari, Destriatania, S., & Febry, F. (2016). Di
Indonesia Tahun 2009. Retrieved from Puskesmas Awal Terusan Determinants
file:///C:/Users/user/Desktop/Yay/Depkes, Occurrence of Toddlers Below the Red Line
RI 2009.pdf in Health Center of Awal Terusan. Jurnal
Ilmu Kesehatan Masyarakat, 7(1), 48–63.
Kemenkes RI, 2018. (2018). Profile Kesehatan
Indonesia Tahun 2017. Ministry of Health Penanaman, D., Dan, M., Penanaman, D., Dan,
Indonesia. https://doi.org/10.1002/qj M., Terpadu, P., Pintu, S., … Surabaya, P. K.
(2016). PEMERINTAH KOTA SURABAYA
Kementrian Kesehatan RI. (2014). Profil RENCANA STRATEGIS ( RENSTRA ) TAHUN
Kesehatan Indonesia. Kementerian 2016-2021.
Kesehatan Republik Indonesia, 1–382.
https://doi.org/10.1017/CBO97811074153 Purnama Sari, D., Laenggeng, A. H., & Tasya, Z.
24.004 (2016). HUBUNGAN TINGKAT
PENGETAHUAN IBU DAN STATUS EKONOMI
Khan, A., Khan, S., Zia-ul-islam, S., Tauqeer, A. KELUARGA DENGAN KEJADIAN ANAK
M., & Khan, M. (2017). Causes , sign and BALITA BAWAH GARIS MERAH (BGM) DI
symptoms of malnutrition among the WILAYAH KERJA PUSKESMAS NOKILALAKI.
children ., 1(1), 24–27.
Puspasari, N., & Andriani, M. (2017). Hubungan
Kumar Sinha, R. (2018). Indian Journal of Pengetahuan Ibu tentang Gizi dan Asupan
Community Medicine : Official Publication Makan Balita dengan Status Gizi Balita ( BB
of Indian Association of Preventive & Social / U ) Usia 12-24 Bulan Association Mother ’
Medicine. Indian Journal of Community s Nutrition Knowledge and Toddler ’ s
Medicine, 43 (4), 279–283. Nutrition Intake with Toddler ’ s Nutritional
Kurnia, F. (2014). FAKTOR RISIKO UNDERWEIGHT Status ( WAZ ) at the Age 12 -24 M. Amerta
BALITA UMUR 7-59 BULAN, 9(02), 115–121. Nutr, 3(2), 369–378.
https://doi.org/10.20473/amnt.v1.i4.2017.
Larasati, M. D. (2019). STATUS GIZI BALITA BGM 369-378
BERDASARKAN KARAKTERISTIK IBU DI
WILAYAH KERJA KECAMATAN SAWAH Rachmayanti, R. D. (2017). Pengenalan Program
BESAR TAHUN 2018. Jurnal JKTF, 4(1). Kadarzi Di Kelurahan, (2018), 176–182.
https://doi.org/10.20473/mgi.v13i2.176
Rahmatillah. (2018). 7848-24678-2-PB.pdf.
RISKESDAS. (2018). Laporan Nasional Riset
Kesehatan Dasar 2018.
Rosha, B., Sari, K., Yunita, I., & Amaliah, N.
(2016). Peran Intervensi Gizi Spesifik dan
Sensitif dalam Perbaikan Masalah Gizi
Balita di Kota Bogor, 1(12), 127–138.
Rozali, N. A., Subagyo, B., & Widhiyastuti, E.
(2016). Abstrak Peranan Pendidikan,
Pekerjaan Ibu Dan Pendapatan Keluarga
Terhadap Status Gizi Balita Di Posyandu Rw
24 Dan 08 Wilayah Kerja Puskesmas
Nusukan Kota Surakarta. Retrieved from
http://eprints.ums.ac.id/41781/1/Naskah
Publikasi Nur Azikin Rozali.pdf
Safitri, Y., & Darmaning, I. (2016). POLA MAKAN
BATITA “Z” DENGAN STATUS GIZI BGM
(BAWAH GARIS MERAH) DI PUSKESMAS
KETAWANG KABUPATEN MALANG. Jurnal
Hesti Wira Sakti, 4(1), 94–100.
Susanti, E., Handayani, O., & Raharjo, B. (2017).
IMPLEMENTASI PENATALAKSANAAN
KASUS GIZI BURUK DI WILAYAH KERJA
PUSKESMAS CILACAP UTARA I. Unnes
Journal of Public Health, 6(1).
Ulfa Khoiriyah, N., & Wahyuningsih, S. (2016).
STUDI IMPLEMENTASI PROGRAM
PENANGGULANGAN GIZI BURUK DI
WILAYAH KERJA PUSKEMAS TAHUNAN
KABUPATEN JEPARA. Jurnal Kesehatan
Masyarakat, 4(1).

Anda mungkin juga menyukai