Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN AKHIR

HIBAH PENELITIAN DOSEN

HUBUNGAN POLIMORFISME GEN RESEPTOR INSULIN


(INSR) EKSON 17 DENGAN KEJADIAN SINDROMA
OVARIUM POLIKISTIK (SOPK) PADA ETNIS MELAYU
DI SUMATERA SELATAN

dr. Syifa Alkaf, SpOG


dr. Fatimah Usman, SpOG
DR.dr. Legiran,M.Kes
dr.Ardesy Meilizah, M.Gizi

Dibiayai dari Anggaran DIPA Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya


No. 042.01.2.400953/2016 Tgl 7 Desember 2015
Sesuai dengan Surat Perjanjian Penugasan Pelaksanaan Kegiatan Pekerjaan Hibah
Penelitian Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
Nomor : 099/UN9.1.4/UPPM/PL/X/2016
Tanggal 13 Oktober 2016

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2018
HALAMAN PENGESAHAN

1. Judul Penelitian
Identifkasi Polimorfisme Gen Reseptor Insulin (INSR) Ekson 17 Pada Penderita
Sindroma Ovarium Polikistik Pada Etnis Melayu Di Sumatera Selatan
2. Ketua Peneliti
a. Nama Lengkap dr. Syifa Alkaf, SpOG
b. Jenis Kelamin Perempuan
c. NIP 198211012010122002
d. Jabatan Struktural III b/ Penata Muda Tk.1
e. Jabatan Fungsional Tenaga pengajar
f. Fakultas/Jurusan Kedokteran/ Pendidikan Dokter
g. Alamat Jl.dr.Muh Ali No.1 Palembang
h. Alamat Rumah Jl. Tanjung Sari 2 Lrg. Anggrek No.54E Bukit Sangkal
i. Telpon/Faks/E-mail 082176482220
3. Jangka Waktu Penelitian 4 (empat) bulan
4. Pembiayaan Rp 30.000.000

Palembang, Desember 2018

Ketua Program Studi Profesi Pendidikan Dokter Ketua Peneliti

dr. Radiyati Umi Partan, SpPD(KR), MKes dr. Syifa Alkaf, SpOG
NIP.197207172008012007 NIP 198211012010122002

Menyetujui
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya

dr.Syarif Husin, MS
NIP 196112091992031003
SISTEMATIKA USUL PENELITIAN

I. Identitas Penelitian
1. Judul : Identifikasi Polimorfisme Gen Reseptor Insulin (INSR)
Pada Penderita Sindroma Ovarium Polikistik (SOPK) Pada Etnis Melayu Di
Sumatera Selatan
2. Ketua Peneliti
a) Nama lengkap : dr. Syifa Alkaf, SpOG
b) Bidang keahlian : Ilmu Kebidanan dan Penyakit Kandungan
3. Anggota peneliti
No Curahan Waktu
Nama dan Gelar Keahlian Institusi
. (jam/minggu)
1 Dr.dr. Legiran, M.Kes Genetika FK-UNSRI

4. Tema Penelitian : Kedokteran dan Kesehatan


5. Isu Strategis :Peran faktor genetik terhadap risiko kejadian SOPK
6. Topik Penelitian : Kesehatan reproduksi
7. Objek penelitian :Sampel darah penderita kasus SOPK dan kontrol
8. Lokasi penelitian : Laboratorium Biomolekuler FK UNSRI
9. Institusi lain yang terlibat :-
10. Luaran : jurnal Nasional terakreditasi atau Jurnal Nasional tidak
terakreditasi tapi memiliki ISSN.
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pola hidup masyarakat sekarang ini mempunyai kecenderungan pola makan yang tidak
seimbang dengan jumlah asupan kalori melebihi yang dibutuhkan tubuh dan juga
kecenderungan menjalani kehidupan yang sedentary life style yaitu kehidupan yang sehari-
hari jarang bergerak dan jarang atau tidak melakukan olahraga. Kedua hal tersebut
menyebabkan obesitas. Obesitas akan memicu penurunan kerja sel tubuh kita terhadap
insulin (resistensi insulin). Pada wanita, tingginya kadar insulin dalam darah
(hiperinsulinemia) akan menghambat proses dan perkembangan folikel. Kondisi inilah yang
akan menyebabkan hambatan terhadap proses pengeluaran oosit (ovulasi) yang
mengakibatkan gangguan kesuburan (infertilitas) (Santoso, 2014).
Insulin menstimulasi produksi ovarium, sekresi androgen, memberikan respon
steroidogenik ovarium terhadap LH dan FSH, serta menghambat apoptosis pada folikel
ovarium, yang dapat menyebabkan pembentukan kista (Baillargeon and Nestler, 2006).
Kista pada ovarium yang diungkap lewat gambaran USG, terlihat seperti kalung mutiara
yang terdiri kista-kista pada permukaan ovarium. Gambaran ovarium polikistik merupakan
salah satu gejala dalam penegakkan diagnosa Sindroma Ovarium Polikistik (SOPK)
(Goodarzi et al., 2010).
Sindroma Ovarium Polikistik (SOPK) adalah gangguan endokrin reproduksi dan
metabolisme. Gambaran utama dari SOPK adalah hiperandrogenisme dan oligoovulasi atau
anovulasi. Tingkat testosteron yang bersikulasi tinggi bermanisfestasi secara klinis sebagai
hirsutisme, jerawat, disfungsi pada jalur gonadotropin serta ovarium polikistik. Gambaran
ovarium polikistik menampilkan banyak folikel antral yang belum matang dan dapat dilihat
dengan penggunaan USG (Goodarzi et al., 2010).
Resistensi Insulin ditemukan pada 50-90% perempuan dengan SOPK (Shaikh et al.,
2014). Penyebab terjadinya resistensi insulin pada SOPK sampai saat ini belum jelas dan
melibatkan lebih dari satu mekanisme termasuk faktor genetik dan lingkungan. Hipotesis
yang dikemukan adalah gagalnya fosforilasi tirosin pada gen INSR dan digantikan oleh
fosforilasi serin yang akan mengaktifkan jalur produksi androgen yang berlebihan pada sel
Teka ovarium (T. Mutib et al., 2014). SNP dalam ekson 17 dari gen INSR terdeteksi
hingga saat ini adalah C/T His 1058 (rs1799817) dalam domain tirosin kinase pada reseptor
insulin terbukti berhubungan dengan perkembangan SOPK.. Efek yang paling mungkin
dihasilkan adalah fosforilasi auto fungsi INSR pada beberapa perempuan dengan SOPK (T.
Mutib et al., 2014). Subtitusi dari C ke T pada posisi His 1058, menunjukan asosiasi dengan
resistensi insulin pada SOPK. Polimorfisme gen INSR ini juga banyak diteliti karena
bertanggungjawab mengkode sebagian dominan tirosin kinase dan mutasi pada gen ini
berkaitan dengan hiperandrogenemia (Kosova and Urbanek, 2013).

1.2 Tujuan Penelitian


Mengidentifikasi polimorfisme gen Reseptor Insulin (INSR) ekson 17 dengan kejadian
Sindroma Ovarium Polikistik (SOPK) pada etnis Melayu di Sumatera selatan

1.3 Urgensi Penelitian


Berdasarkan kriteria SOPK saat ini, sekitar 4-6% perempuan masa reproduksi menderita
SOPK dan pada populasi perempuan infertilitas dengan kausa anovulasi didapatkan 75%
disebabkan SOPK. Berdasarkan data US Census Bureau, International Data Base (2004)
prevalensi SOPK di Indonesia sebesar 2,5% dari 238.452.952 jumlah penduduk Indonesia
saat itu. Sedangkan menurut DeUqarte (2005) 64,4% dari seluruh penderita SOPK dengan
resistensi insulin, jika presentase ini digunakan untuk menghitung berapa perempuan
Indonesia yang menderita SOPK dengan resistensi insulin pada tahun 2014 dengan
perkiraan penduduk sebesar 252.164.800 (data BPS 2004) maka jumlah penderita SOPK
dengan resistensi insulin sebesar 4.034.635 perempuan. Jumlah ini luar biasa sangat
banyak, yang berpotensi mengalami infertilitas, abortus berulang, perdarahan uterus
abnormal. Resiko lain yang mungkin dihadapi dalam jangka panjang adalah kelompok
perempuan ini mengalami DM tipe 2 dan penyakit kardiovaskuler serta mengalami
keganasan endometrium dan 3 kali lebih tinggi mengalami keganasan payudara
dibandingkan dengan wanita tanpa SOPK (Santoso, 2014). Maka potensi polimorfisme gen
INSR ekson 17 untuk meningkatkan diagnosis dan pengobatan SOPK cukup menjanjikan,
meskipun ada banyak hal yang harus dilakukan di lapangan sebelum temuan hasil dapat
diterjemahkan ke klinik.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Sindrom Ovarium Polikistik (SOPK) adalah endokrinopati yang paling umum pada usia
reproduksi, (Azziz et al., 2016)dengan prevalensi hingga 10%. Kriteria umum yang sering
terjadi pada SOPK adalah hiperandrogenisme, oligoovulasi dan morfologi ovarium
polikistik (Goodarzi et al., 2010).
SOPK dapat didiagnosa pada wanita yang memiliki setidaknya 2 dari 3 fitur yaitu
hiperandrogenisme klinis atau biologis, anovulasi kronis , dan ovarium polikistik (Azziz et
al., 2016). Kriteria menurut Androgen Excess-PCOS society criteria, pasien di diagnosa
SOPK jika mereka memiliki semua kriteria : tanda klinis dan atau biokimia (hiperandrogen)
difungsi ovarium termasuk oligoovulasi, anovulasi dan ovarium polikistik (Azziz et al.,
2016).
2.2 Patofisiologi
Sindrom ovarium polikistik adalah suatu anovulasi kronik yang menyebabkan infertilitas
dan bersifat hiperandrogenik, di mana terjadi gangguan hubungan umpan balik antara pusat
(hipotalamushipofisis) dan ovarium sehingga kadar estrogen selalu tinggi yang
mengakibatkan tidak pernah terjadi kenaikan kadar FSH yang cukup adekuat (Hopkinson et
al., 1998)
Fisiologi ovulasi harus dimengerti lebih dahulu untuk dapat mengetahui mengapa
sindrom ovarium polikistik ini dapat menyebabkan infertilitas. Secara normal, kadar
estrogen mencapai titik terendah pada saat seorang wanita dalam keadaan menstruasi. Pada
waktu yang bersamaan, kadar LH dan FSH mulai meningkat dan merangsang pembentukan
folikel ovarium yang mengandung ovum. Folikel yang matang memproduksi hormone
androgen seperti testosteron dan androstenedion yang akan dilepaskan ke sirkulasi darah.
Beberapa dari hormon androgen tersebut akan berikatan dengan sex hormone binding
globulin(SHBG) di dalam darah. Androgen yang berikatan ini tidak aktif dan tidak
memberikan efek pada tubuh. Sedangkan androgen bebas menjadi aktif dan berubah menjadi
hormon estrogen di jaringan lunak tubuh. Perubahan ini menyebabkan kadar estrogen
meningkat, yang mengakibatkan kadar LH dan FSH menurun. Selain itu kadar estrogen
yang terus meningkat akhirnya menyebabkan lonjakan LH yang merangsang ovum lepas
dari folikel sehingga terjadi ovulasi. Setelah ovulasi terjadi luteinisasi sempurna dan
peningkatan tajam kadar progesteron yang diikuti penurunan kadar estrogen,LH dan FSH. P
rogesteron akan mencapai puncak pada hari ke tujuh sesudah ovulasi dan perlahan turun
sampai terjadi menstruasi berikutnya (Maharani and Wratsangka, 2002).
Pada sindrom ovarium polikistik siklus ini terganggu. Karena adanya peningkatan
aktivitas sitokrom p-450c17 (enzim yang diperlukan untuk pembentukan androgen ovarium)
dan terjadi juga peningkatan kadar LH yang tinggi akibat sekresi gonadotropine releasing
hormone(GnRH) yang meningkat. Hal ini sehingga menyebabkan sekresi androgen dari
ovarium bertambah karena ovarium pada penderita sindrom ini lebih sensitif terhadap
stimulasi gonadotropin. Peningkatan produksi androgen menyebabkan terganggunya
perkembangan folikel sehingga tidak dapat memproduksi folikel yang matang. Hal ini
mengakibatkan berkurangnya estrogen yang dihasilkan oleh ovarium dan tidak adanya
lonjakan LH yang memicu terjadinya ovulasi. Selain itu adanya resistensi insulin
menyebabkan keadaan hiperinsulinemia yang mengarah pada keadaan hiperandrogen,
karena insulin merangsang sekresi androgen dan menghambat sekresi SHBG hati sehingga
androgen bebas meningkat. Pada sebagian kasus diikuti dengan tanda klinis akantosis
nigrikans dan obesitas tipe android (Maharani and Wratsangka, 2002).

2.3 Resistensi Insulin Pada SOPK


Mekanisme berkurangnya sensitivitas insulin pada SOPK ini disebabkan oleh
abnormalitas setelah terjadinya ikatan insulin terhadap reseptornya pada saat transduksi
reseptor insulin. Wanita dengan SOPK, baik yang kurus maupun obesitas, dijumpai lebih
resisten terhadap insulin dibandingkan dengan kontrol wanita bukan penderita SOPK
(Dunaif, 1997).
Dalam fibroblast, otot, dan adiposit 50% pasien SOPK ada penurunan autofosforilasi
residu tirosin dari reseptor insulin dan peningkatan fosforilasi residu serin dari reseptor
insulin. Fosforilasi residu serin atau treonin dari reseptor insulin akan menurunkan
transduksi signal, dan ini menjadi mekanisme molekular dari resistensi insulin pada pasien
SOPK (Diamanti-Kandarakis and Christakou, 2009).
Resistensi insulin juga mengakibatkan peningkatan androgen pada pasien SOPK dimana
peningkatan androgen ini akan mengakibatkan perubahan profil lipid. Ada beberapa
mekanisme mengapa resistensi insulin menyebabkan androgenemia yaitu: hiperinsulinemia
kompensasi akibat resistensi insulin akan menurunkan sintesis hepatik SHBG sehingga
androgen bebas meningkat dalam darah; insulin yang berlebihan dapat berikatan dengan
reseptor IGF-1 dalam ovarium, menyebabkan peningkatan produksi androgen oleh sel-sel
teka; fosforilasi residu serin enzim P450c17 adrenal dan ovarium pada pasien SOPK
meningkatkan aktifitas enzim 17,20 lyase yang akan memproduksi hiperandrogenisme
(Sperroff L, 2011)

Gambar 1. Mekanisme Resistensi Insulin Pada SOPK (Speroff, 2011)

2.4. Reseptor Insulin


Insulin dalam memberikan efeknya harus berikatan dengan reseptor insulin.
Reseptor insulin memiliki struktur heterotetramer yang terdiri dari subunit glikoprotein 2 α
dan 2 β, yang dihubungkan dengan ikatan disulfide dan berlokasi di membrane sel.
Gen yang mengkode reseptor insulin terletak pada lengan pendek dari kromosom 19.
Insulin berikatan dengan subunit α ekstraseluler, yang mengakibatkan perubahan bentuk
sehingga mengakibatkan ikatan ATP pada komponen intraseluler dari subunit β. Ikatan
ATP akan memicu fosforilasi dari subunit β melalui enzim tirosin kinase (Wilcox, 2005)

2. 5 Polimorfisme Gen
Gen INSR terdiri dari 22 exon sebesar 120 kb pada kromosom 19. Exon 17 -21
adalah daerah yang mengkode domain tirosin kinase pada reseptor insulin, mutasi pada
exon tersebut akan menyebabkan resistensi insulin yang berat dan hiperinsulinemia.
Beberapa penelitian juga menemukan perubahan autofosforilasi akibat polimorfime INSR
yang paling banyak dipelajari adalah polimorfisme C/T His 1058 (rs1799817) yang
terletak pada exon 17. Ekson ini yang mengkode domain tirosin kinase secara parsial
pada INSR serta banyak diteliti korelasi dengan SOPK pada banyak populasi (Puspitasari et
al., 2017).
Polimorfisme C/T pada His 1058 dari gen INSR terdapat hubungan yang bermakna
dengan SOPK, dengan memperhatikan indeks resistensi insulin dan dislipinemia(T. Mutib
et al., 2014). Kehadiran Singel Nucleontide Polymophsym (SNP) exon 17 C/T His 1058
pada gen INSR dapat dikembangkan sebagai penanda untuk SOPK dengan resistensi insulin
dan komplikasi metabolik pada perempuan Indian (Gangopadhyay et al., 2016). Terdapat
hubungan bermakna antara SNP exon 17 C/T His 1058 INSR pada pathogenesis pada
pasien yang tidak obesitas pada populasi SOPK di Jepang (Kashima et al., 2013).
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian


Penelitian ini merupakan suatu penelitian observasional deskriptif dengan pendekatan desain
potong lintang.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian


Tempat pelaksanaan penelitian ………Pelaksanaan penelitian ini dilakukan di laboratorium
biomolekuler FK Unsri Palembang. ………………..

3.3 Populasi dan Sampel penelitian

Sample penelitian adalah seluruh pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan pada saat
penelitian dan tidak memenuhi kriteria eksklusi.

Kriteria Inklusi Penelitian


1) Kelompok Kasus
a. Pasien yang didiagnosis SOPK oleh SpOG (sesuai dengan kriteria
Rotterdam)
b. Perempuan usia 20 - 40 tahun
c. Bersedia mengikuti penelitian yang dinyatakan dengan menandatangani surat
persetujuan atas dasar kesadaran (informed consent)

2) Kelompok Kontrol
a. Pasien yang didiagnosis bukan menderita SOPK (tidak memenuhi kriteria
Rotterdam)
b. Perempuan usia 20- 40 tahun
c. Bersedia mengikuti penelitian yang dinyatakan dengan menandatangani
surat persetujuan atas dasar kesadaran (informed consent)

Kriteria Eksklusi
1) Mempunyai riwayat penyakit keganasan
2) Menderita penyakit diabetes melitus
3.4 Besar Sampel Penelitian
Perhitungan besar sampel ditentukan berdasarkan rumus untuk penelitian kasus kontrol
berpasangan sebagai berikut :
n= Z/2 + Zβ√PQ 2
P = R Q=1–P
(P-1/2 ) (1 + R)
Keterangan: n = Jumlah sampel
α = Tingkat kemaknaan (ditentukan peneliti)
β = Power (ditentukan peneliti)
R = Rasio odd yang dianggap bermakna
P = Proporsi

Berdasarkan beberapa penelitian sebelumnya mengenai polimorfisme gen INSR


didapatkan odd ratio (OR) antara 2 sampai 4. (Feng et al., 2015)
Pada penelitian ini peneliti mengambil OR 3 dengan pertimbangan visibilitas penelitian.
Z = 1.96 (α = 0,05); Zβ= 1,282 (β = 0,10); maka n = 38 Jumlah minimal kasus pada
penelitian ini adalah 38. Penelitian ini menetapkan jumlah subyek masing-masing kelompok
kasus dan kontrol adalah minimal 40 orang.

3.5 Variabel Penelitian


Variabel penelitian terdiri dari variabel bebas, variabel terikat dan variabel terkendali.
1. Variabel Bebas
Variabel bebas adalah faktor yang menyebabkan atau mendasari terjadinya SOPK
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah gen Reseptor Insulin (INSR)

2. Variabel Tergantung
Variabel tergantung adalah efek atau akibat yang ditimbulkan atau dipengaruhi oleh faktor
resiko atau oleh faktor protektif.
Variabel tergantung pada penelitian ini adalah Sindroma Ovarium Polikistik (SOPK)
3.6 Definisi Operasional
1. SOPK adalah Sindrom ovarium polikistik adalah sindrom penyakit yang memenuhi
kriteria Rotterdam 2003 meliputi oligo ovulasi,atau anovulasi, hiperandrogenisme
kronis/klinis dan ovarium polikistik.
2. Polimorfisme adalah perbedaan susunan DNA diantara individu, grup, atau populasi.
Suatu lokus gen dikatakan polimorfik jika alel yang paling sering ditemukan frekuensinya
tidak kurang dari 99% pada lokus yang bersangkutan dan menurut hukum Hardy-
Weinberg dan sekurangnya 2% dari populasi harus heterozigot
3. Polymerase Chain Reaction (PCR) adalah prosedur yang dilakukan untuk memproduksi
salinan segmen pendek DNA, melalui beberapa siklus yang berulang.
4. Restriction fragment length polymorphism (RFLP), merupakan suatu teknik untuk
mengidentifikasi beberapa perbedaan sekuen dengan menggunakan enzim restriksi yang
dapat memotong DNA menjadi beberapa fragmen
5. Genotip T/C (heterozigot) C/C dan T/T(homozigot)

3.7 Alat dan Bahan


3.7.1 Prosedur Pengambilan Sampel Darah
Sampel darah diambil melalui punksi vena antecubiti sebanyak 2 ml kemudian
dimasukkan ke dalam tabung yang mengandung antikoagulan ethylene diamine tetraacetic acid
(EDTA) untuk ekstraksi DNA dan PCR.

3.7.2 Ekstraksi DNA


Isolasi dilakukan dengan menggunakan metode ekstraksi DNA Chelex-100 dengan
menggunakan Phosphate Buffer Saline (PBS) pH 7,4; Safonin 0,5% dalam PBS; dan Chelex 20%
dalam dd H2O pH 10,5. Adapun cara kerjanya sebagai berikut :
1. Ambil 200 ul darah dimasukkan ke dalam tabung 1,5 ml steril
2. Cuci dengan PBS pH 7,4 sebanyak 1 ml kemudian disentrifuge dengan kecepatan 5.000 rpm
selama 5 menit diulang 3 kali
3. Supernatan dibuang lalu ditambahkan 500 μl 0,5% Safonin dalam PBS dicampur dengan baik
menggunakan vortex kemudian diinkubasi dalam es selama 5 menit. Selanjutnya dilakukan
sentrifuge dengan kecepatan 12.000 rpm selama 10 menit.
4. Supernatan dibuang, ditambahkan 50 ul Chelex 20% dalam dd H2O pH 10,5 dan ditambah
100 ul dd H2O
5. Diinkubasi dalam air mendidih selama 10 menit. Selanjutnya, disentrifuge dengan kecepatan
12.000 rpm selama 10 menit
6. DNA akan berada pada bagian supernatan (DNA containing water) lalu bagian ini
dipindahkan dalam tabung steril dan disimpan pada suhu -200C

3.8 Polymerase Chain Reaction (PCR)


Amplifikasi gen (INSR) ekson 17 untuk mengidentifikasi polimorfisme His 1058 dilakukan
mengikuti protocol dan profil yang sudah dilakukan pada studi terdahulu oleh Somner. DNA
sampel dari sebanyak 40 pasien dari masing-masing kelompok baik kasus maupun kontrol akan
diamplifikasi menggunakan campuran reaksi 200 ng DNA, 1.0 mm Magnesium klorida, 250 m
dNTPS, 0.5 μl dari masing-masing primer baik forward maupun reverse, dan 0.5 enzim Taq
DNA polymerase. Adapun primer yang digunakan adalah sebagai berikut: forward primer 5-
TCAGGAAAGCCAGCCCATGTC-3 dan reverse primer 5-CCAAGGATGCTGTGTAGATA
AG-3. Terdapat suatu mismatch (T bukan C) pada reverse primer untuk menciptakan restriction
site bagi enzim Pml1 pada proses PCR restriction fragment length polymorphism (RFLP).
Reaksi PCR sendiri akan dilakukan pada mesin Thermal Cycler T100 BioRad (Puspitasari et al.,
2017).
Proses sintesis ini berlangsung dalam tiga tahap reaksi yang berulang sebanyak 35 siklus
pada suhu berbeda, yaitu: reaksi denaturasi pada suhu 940C untuk memisahkan rantai ganda
menjadi dua rantai tunggal, reaksi annealing yaitu menyatunya kembali kedua rantai DNA
tersebut pada suhu 550C, dan ekstensi yaitu sintesis DNA melalui perpanjangan suatu primer
mengikuti urutan nukleotida DNA rantai tunggal pasangannya yang umumnya berlangsung pada
suhu 720C. Kondisi PCR selengkapnya dapat dilihat pada gambar 1 dan tabel 1

Tabel 2.
Kondisi PCR untuk masing-masing analisis
Tahap Denaturasi Awal 940C (2 menit)
Siklus PCR : 30 siklus
-Tahap Denaturasi 940C (60 detik)
-Tahap Annealing 550C (60 detik)
-Tahap Ekstensi 720C (60 detik)
Tahap ekstensi tambahan 720C (10 menit)
Denaturasi
Ekstensi
o
94 94o
72o 72o
02.00 00:60
00.60 10.00
55o
00.60
4o

Annealing ∞

Denaturasi awal Siklus 30 X Ekstensi tambahan

Gambar 2.Kondisi PCR

Deteksi Polimorfisme gen INSR ekson 17 dengan teknik RFLP


Produk PCR dari INSR His 1058 didigesti selama tiga jam menggunakan enzim Pml1 pada suhu
37C. Fragmen DNA yang telah terdigesti kemudian dilakukan elektroforesis dengan gel
agarose 2%. Bahan yang digunakan gel Agarose 2%, buffer TBE (tris Boric EDTA) dan
Molecular Weight Marker: 50 bp. Masak hingga homogen atau larutan berubah menjadi
jernih. Tuangkan ke dalam cetakan yang sudah disiapkan, setelah beku pindahkan ke dalam
tank gel elektroforesis yang dialiri dengan 100 Volt s e l a ma 1 j a m ke mudi a n di l i ha t
pa da Ge l Documentation. Pada subjek yang mempunyai alel C maka PmlI akan mengenali
site tersebut (CACGTG) dan akan melakukan restriksi pada tempat tersebut sehingga
terbentuk 2 fragmen berukuran 274 bp dan 43 bp. Jadi band tunggal 317 bp menunjukkan
homozygositas dari alel T. Dua fragmen 274bp dan 43 bp menunjukkan homozigositas alel
C dan apabila didapatkan 3 fragmen yaitu 317 bp, 274 bp dan 43 bp menunjukkan
heterozigositas untuk alle C atau allel T (Puspitasari et al., 2017).

Analisis Data
Semua data disajikan dan dianalisis secara univariat dimana hasil penelitian disajikan
dalam bentuk table dan narasi.
3.9 Alur Penelitian

Populasi

Memenuhi Memenuhi
Kriteria Inklusi Kriteria Inklusi

Kelompok Kelompok
Kasus Kontrol

Informed Consent

Sampel

- Pengisian Check List


- Pemeriksaan Fisik
- Pengambilan Darah

Pemeriksaan Laboratorium Lanjutan :

1. Ekstraksi DNA metode DNA Chelex 100


2. Analisa genotip dengan metode PCR-RFLP
3. Hasil divisualisasi dengan elektroforesis

Analisa Data dengan Program SPSS 16.00 for Windows


3.10 Rencana Pengolahan dan Penyajian Data
Seluruh data baik data memgenai karakteristik demografi maupun pemeriksaan PCR –
RFLP akan dianalisis secara univariat. Pada Analisis univariat data akan disajikan dalam bentuk
table dan narasi.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini dilakukan di laboratorium biomolekuler FK Unsri Palembang pada bulan


September 2018 sampai dengan bulan November 2018. Subjek diberikan penjelasan
mengenai tujuan penelitian (informatif dan mudah dipahami)setelah subjek mengerti dan
setuju, mereka diminta mengisi lembar persetujuan penelitian (informed consent). Data
karakteristik pasien dikumpulkan meliputi umur, riwayat medis dan obstetrik serta
siklus menstruasi (oligoovulasi/anovuasi atau tidak). Data obyektif didapat melalui
pemeriksaan fisik (indeks massa tubuh, Skor Ferriman Galwey), ultrasonografi transvaginal
(volume ovarium dan jumlah folikel antral). Jumlah sampel kasus yang digunakan dalam
studi ini sendiri adalah sebesar 40 sampel pasien kasus.
Dalam upaya mengidentifikasi faktor genetik pada pasien-pasien SOPK, studi ini
berusaha untuk mengidentifikasi polimorfisme gen INSR ekson 17 pada seluruh sampel
yang terlibat dalam studi ini. Genotip dari kelompok kasus dan kelompok kontrol
didapatkan Proporsi genotip TT pada kelompok kasus ( 56%) didapatkan lebih tinggi
dibandingkan pada kelompok kasus (25%) sedangkan proporsi genotip CT pada
kelompok kasus didapatkan sedikit lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol
kelompok kasus: 50% dan kelompok kontrol: 41,7%. Proporsi genotip CC pada
kelompok kont rol l ebi h rendah di bandi ngkan dengan kelompok kasus (kelompok
kasus: 25% dan kelompok kontrol: 8,3%). Apabila hasil penelitian dianalisis berdasarkan
distribusi alel T pada kedua kelompok maka didapatkan bahwa alel T pada kedua
kelompok berbeda bermakna (p=0,037) P a d a k e l o mp o k kasus didapatkan alel T
lebih tinggi daripada kelompok kontrol (kelompok kontrol: 50% dan kelompok kasus
70,8%) sedangkan distribusi alel C pada kelompok kasus lebih rendah daripada kelompok
kontrol (kelompok kasus: 29,2 % dan kelompok kontrol 50%).
Dalam menentukan diagnosis SOPK pada penelitian ini dipakai 3 parameter yaitu
oligoovulasi/anovuasi, hiperandrogenisme klinis (skor Ferriman Galwey >8) dan
gambaran ovarium polikistik pada pemeriksaan USG transvaginal pada hari ketiga
menstruasi pada pasien dengan haid teratur sedangkan pada pasien dengan anovulasi
USG dilakukan pada saat pasien datang untuk berkonsultasi. Pada kelompok kontrol
tidak didapatkan tiga karakteristik tersebut dan pada kelompok kasus ditemukan 83,3 %
mengalami oligo/anovulasi, hiperandogenisme pad kl i ni s di dapat kan pada 29, 2%
pasi en serta gambaran ovarium polikistik pada semua pasien SOPK
Hasil visualisasi dari beberapa sampel yang menunjukkan variasi genotip pada penderita
SOPK tampak pada gambar bawah ini.

Gambar 2 Hasil RFLP gen INSR. M; marker, Bl: basepair ladder (50 bp), kolom 1: CT, kolom 2:
TT, kolom 3: CC, kolom 4: CC, kolom 5: CT. Pada kolom CC didapatkan 2 fragmen dengan ukuran
274 bp dan 43 bp, pada kolom CT didapatkan 3 fragmen ukuran 317 bp, 274 bp dan 43 bp
serta kolom TT didapatkan 1 fragmen dengan ukuran 317 bp
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

V.1. KESIMPULAN

Terdapat hubungan yang bermakna antara polimorfisme gen INSR ekson 17 pada His
1058 C/T

V.2. SARAN

1. Pada penelitian selanjutnya dapat dilakukan penelitian hubungan antara polimorfisme


gen INSR ekson 17 terhadap pasien SOPK dengan kekhususan resistensi insulin
2. Perlu dilakukan pemeriksaan yang lebih baik untuk mengidentifikasi polimorfisme
lain pada gen INSR seperti DNA sequencing
DAFTAR PUSTAKA

AZZIZ, R., CARMINA, E., CHEN, Z., DUNAIF, A., LAVEN, J. S. E., LEGRO, R. S., LIZNEVA, D., NATTERSON-
HOROWTIZ, B., TEEDE, H. J. & YILDIZ, B. O. (2016) Polycystic ovary syndrome. Nature Reviews
Disease Primers, 2, 16057.
BAILLARGEON, J.-P. & NESTLER, J. E. (2006) Polycystic Ovary Syndrome: A Syndrome of Ovarian
Hypersensitivity to Insulin? The Journal of Clinical Endocrinology & Metabolism, 91, 22-24.
DIAMANTI-KANDARAKIS, E. & CHRISTAKOU, C. D. (2009) Insulin resistance in PCOS. Diagnosis and
Management of Polycystic Ovary Syndrome. Springer.
DUNAIF, A. (1997) Insulin Resistance and the Polycystic Ovary Syndrome: Mechanism and Implications
for Pathogenesis*. Endocrine Reviews, 18, 774-800.
FENG, C., LV, P.-P., YU, T.-T., JIN, M., SHEN, J.-M., WANG, X., ZHOU, F. & JIANG, S.-W. (2015) The
Association between Polymorphism of INSR and Polycystic Ovary Syndrome: A Meta-Analysis.
International Journal of Molecular Sciences, 16, 2403.
GANGOPADHYAY, S., AGRAWAL, N., BATRA, A., KABI, B. C. & GUPTA, A. (2016) Single-Nucleotide
Polymorphism on Exon 17 of Insulin Receptor Gene Influences Insulin Resistance in PCOS: A Pilot
Study on North Indian Women. Biochemical genetics, 54, 158-168.
GOODARZI, M. O., DUMESIC, D. A., CHAZENBALK, G. & AZZIZ, R. (2010) Polycystic ovary syndrome:
etiology, pathogenesis and diagnosis. Nature Reviews Endocrinology, 7, 219.
HOPKINSON, Z. E. C., SATTAR, N., FLEMING, R. & GREER, I. A. (1998) Polycystic ovarian syndrome: the
metabolic syndrome comes to gynaecology. British Medical Journal, 317, 329-333.
KASHIMA, K., YAHATA, T., FUJITA, K. & TANAKA, K. (2013) Polycystic ovary syndrome: association of a
C/T single nucleotide polymorphism at tyrosine kinase domain of insulin receptor gene with
pathogenesis among lean Japanese women. The Journal of reproductive medicine, 58, 491-496.
KOSOVA, G. L. M. & URBANEK, M. (2013) Genetics of the polycystic ovary syndrome. Molecular and
cellular endocrinology, 373, 29-38.
MAHARANI, L. & WRATSANGKA, R. (2002) Sindrom Ovarium Polisitik: Permasalahan dan
Penatalaksanaan nya. Jurnal Kedokteran Trisakti. Vol. 21 No, 3.
PUSPITASARI, D., SETYAWAN, A. & THAUFIK, S. (2017) SINGLE NUCLEOTIDE POLYMORPHISM (SNP) EXON
17 C/T HIS 1058 GEN INSR PADA PENDERITA SOPK DENGAN RESISTENSI INSULIN. Media Medika
Muda, 2.
SANTOSO, B. (2014) Sindroma Ovarium Polikistik Problem Reproduksi dan Tantangannya Terkait Dengan
Gaya Hidup Perempuan Indonesia Pidato guru Besar Universitas AirLangga 2014

SHAIKH, N., DADACHANJI, R. & MUKHERJEE, S. (2014) Genetic markers of polycystic ovary syndrome:
emphasis on insulin resistance. International Journal of Medical Genetics, 2014.
SPERROFF L, G. R., KASE NG (Ed.) (2011) Clinical gynecologic endocrinology and infertility.
T. MUTIB, M., B. HAMDAN, F. & R. AL-SALIHI, A. (2014) INSR gene variation is associated with decreased
insulin sensitivity in Iraqi women with PCOs. Iranian Journal of Reproductive Medicine, 12, 499-
506.
WILCOX, G. (2005) Insulin and insulin resistance. Clinical Biochemist Reviews, 26, 19.

Anda mungkin juga menyukai