Anda di halaman 1dari 54

SKRIPSI

PENGARUH TRANSPLANTASI OVARIUM PADA


KELINCI LOKAL BUNTING SEMU TERHADAP
PENINGKATAN HORMON KORTISOL

Angghian Siti Safur


NPM. 1802101010098

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
DARUSSALAM-BANDA ACEH
2022
SKRIPSI

PENGARUH TRANSPLANTASI OVARIUM PADA KELINCI


LOKAL BUNTING SEMU TERHADAP PENINGKATAN
HORMON KORTISOL

Disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar


Sarjana Kedokteran Hewan (S.K.H.)
pada
Program Studi Pendidikan Dokter Hewan (PS PDH)

Oleh:

Angghian Siti Safur


NPM. 1802101010098

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
DARUSSALAM-BANDA ACEH
2022
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama Mahasiswa : Angghian Siti Safur


NPM : 1802101010098
Program Studi : Pendidikan Dokter Hewan
Fakultas : Kedokteran Hewan
No. HP : 085261426405
Alamat : Jl. Cot Sibati Blok B.22, Komplek Unsyiah
Blangkrueng.
Judul Skripsi : Pengaruh Transplantasi Ovarium Pada Kelinci
Lokal Bunting Semu Terhadap Peningkatan
Hormon Kortisol

Menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi yang saya tulis ini adalah
ASLI hasil karya sendiri bersama dosen pembimbing dan BEBAS PLAGIASI.
Sebagai bukti bebas plagiasi, ikut saya lampirkan hasil pemeriksaan indeks
kemiripannya (similiarity index).
Jika dikemudian hari terbukti merupakan plagiasi dari karya orang lain, maka saya
bersedia menerima SANKSI yang berlaku di Universitas Syiah Kuala.

Banda Aceh, 26 April 2022


Yang menyatakan

Angghian Siti Safur


NPM. 1802101010098
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah

SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis, sehingga

penulis bisa menyelesaikan penulisan skripsi ini. Shalawat dan juga salam

senantiasa tercurah kepada junjungan kita semua Nabi Muhammad SAW yang

telah mengantarkan manusia dari kegelapan ke zaman yang terang benderang.

Penyusunan skripsi dengan judul “Pengaruh Transplantasi Ovarium Pada

Kelinci Lokal Bunting Semu Terhadap Peningkatan Hormon Kortisol” ini

bertujuan untuk memenuhi syarat-syarat untuk bisa mencapai gelar Sarjana

Kedokteran Hewan di Universitas Syiah Kuala.

Penulis menyadari mengenai penulisan ini tidak bisa terselesaikan tanpa

pihak-pihak yang mendukung baik secara moril dan juga materil. Oleh karena itu

dengan segala kerendahan hati dan penghargaan yang sebesar-besarnya penulis

sampaikan terimakasih kepada kedua orang tua penulis, Ayahanda Sudarmansyah

dan Ibunda Juli Melia yang senantiasa selalu memberikan dukungan fisik maupun

mental kepada penulis dan memotivasi penulis untuk tidak menyerah dalam tiap

tahapan tersusunnya skripsi ini. Ucapan terimakasih kepada bapak Prof. Dr. drh.

Tongku Nizwan Siregar, MP selaku pembimbing utama penulis yang telah

memberikan bimbingan dan arahan selama penulisan skripsi ini dan bapak Dr.

Gholib, S.Pt., M.Si selaku pembimbing pendamping penulis yang telah

memberikan bimbingan selama penulisan skripsi ini.

Rasa terima kasih yang sangat dalam juga penulis sampaikan kepada ibu

Prof. Dr. drh. Ummu Balqis, M.Si selaku dosen wali penulis dan penguji III

iv
penulis yang telah membantu penulis sejak masa perkuliahan hingga penulis dapat

menyusun skripsi ini. Kepada bapak Dr. drh. Hafizuddin, M.Si selaku penguji I

penulis yang telah meluangkan waktunya saat berjalannya proses pengerjaan

skripsi ini. Kepada bapak drh. Syafruddin, MP selaku penguji II yang telah

menanggung dan memfasilitasi segala kebutuhan untuk penelitian payung yang

penulis ikuti.

Kepada sahabat-sahabat penulis, Fachri Afriandi Siregar, Andi Hijrah Pita

Baru, Eva Ayudya Maharani, Maulianda Putri, Salinda, Elya Adelvina Nasution,

Chintya Octaviana, Wanda Ferdiansyah, A. Rivai, Abellisa, Cici Sriningsih,

Danis Destriawati, Zhafirah Hibatul Haqqi, Muhammad Mufid Novreri, Ranto

Bayu Damanik, dan Mitha Singgara. Terimakasi senantiasa telah menjadi

pendengar yang baik, memberikan bantuan, doa, dukungan, semangat, dan waktu

untuk menghibur di kala proses pembuatan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa

skripsi yang penulis buat ini masih jauh dari sempurna hal ini karena terbatasnya

pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki penulis. Oleh sebab itu, penulis

mengharapkan adanya saran dan masukan bahkan kritik membangun dari berbagai

pihak. Semoga skripsi ini bisa bermanfaat bagi para pembaca.

Banda Aceh, 26 April 2022

Penulis

v
DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR iv

DAFTAR ISI vi

DAFTAR TABEL viii

DAFTAR LAMPIRAN ix

ABSTRAK x

ABSTRACT xi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1
Rumusan Masalah 4
Tujuan Penelitian 4
Manfaat Penelitian 5

TINJAUAN KEPUSTAKAAN 6

Karakteristik Resproduksi Kelinci 6


Super Ovulasi 6
Koleksi Oosit 7
Bunting Semu 7
Transplantasi 8
Kortisol 8
Stres dan Kelenjar Adrenal 9
Allostasis dan Beban Allostasis 11
Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) 12

MATERI DAN METODE PENELITIAN 14

Tempat dan Waktu Penelitian 14


Alat dan Bahan Penelitian 14
Metode Penelitian 15
Induksi Bunting Semu 15
Prosedur Pembedahan 16

vi
Ekstraksi Sampel Feses 18
Analisis Hormon Kortisol 18
Analisis Data 19

HASIL DAN PEMBAHASAN 20

Kortisol Sebelum Transplantasi 21


Kortisol Setelah Transplantasi 22

PENUTUP 24

Kesimpulan 24
Saran 24

DAFTAR PUSTAKA 25

LAMPIRAN 29

BIODATA 39

vii
DAFTAR TABEL

Halaman

1. Konsentrasi Kortisol Kelinci Lokal Bunting Semu 21


3 Hari Sebelum Transplantasi Ovarium Sapi Aceh

2. Konsentrasi Hormon Kortisol Antar Kelompok


Kelinci Lokal Bunting Semu Sebelum dan 22
Setelah Transplantasi Ovarium Sapi Aceh

viii
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Skema prosedur penelitian 29

2. Dokumentasi kegiatan penelitian 30

3. Data deskriptif kelompok kontrol 33

4. Analisis statistik antar kelompok perlakuan 34

5. Surat etik penelitian 38

6. Hasil Turnitin 39

ix
PENGARUH TRANSPLANTASI OVARIUM PADA KELINCI LOKAL
BUNTING SEMU TERHADAP PENINGKATAN
HORMON KORTISOL

ABSTRAK

Implantasi atau proses memindahkan organ tubuh dari satu makhluk hidup ke makhluk
hidup yang lain dapat menginisiasi terjadinya stres. Penelitian ini bertujuan mengetahui
peningkatan konsentrasi hormon kortisol pada kelinci lokal bunting semu yang mendapat
transplantasi ovarium sapi aceh dengan durasi yang berbeda. Dalam penelitian ini digunakan
sembilan ekor kelinci betina lokal berumur 2-3 tahun, bobot badan 1,5-2,9 kg yang dibagi dalam
tiga kelompok perlakuan (n=3) yakni kelompok transplantasi ovarium sapi di dalam uterus kelinci
lokal bunting selama 3 hari (K1), 5 hari (K2), dan 7 hari (K3). Sampel feses untuk pemeriksaan
konsentrasi kortisol diambil pada waktu sebelum dan setelah transplantasi. Konsentrasi metabolit
hormon kortisol diukur dari sampel feses menggunakan teknik enzyme-linked immunosorbent
assay (ELISA). Hasil penelitian menunjukkan rataan konsentrasi hormon kortisol pada kelinci H-3
sebelum transplantasi ovarium sapi aceh adalah 125,12±74,68 ng/g. Konsentrasi kortisol sesudah
transplantasi pada kelompok K1; K2; dan K3 masing-masing adalah 433,94±207,44;
176,74±83,00; 343,28±178,42 ng/g (P>0,05). Dapat disimpulkan transplantasi ovarium sapi aceh
pada kelinci lokal bunting semu cenderung meningkatkan hormon kortisol namun durasi ovarium
di dalam uterus tidak memengaruhi konsentrasi kortisol.

Kata kunci : bunting semu, kortisol, transplantasi, kelinci lokal

x
EFFECT OF OVARIAN TRANSPLANTATION IN LOCAL
PSEUDOPREGNANT RABBIT ON THE ENHANCEMENT OF
CORTISOL CONCENTRATION

ABSTRACT

Implantation or the process of moving organs from one living thing to another can
initiate stress. This study aims to determine the increase in the concentration of the hormone
cortisol in pseudopregnant local rabbits who received an ovary transplant from Aceh cattle with
different durations. In this study, nine local female rabbits aged 2-3 years old, 1,5-2,9 kg body
weight were used which were divided into three treatment groups (n=3), namely the cow ovary
transplant group in the uterus of pseudopregnant local rabbits for 3 days. (K1), 5 days (K2), and 7
days (K3). Samples for examination of cortisol concentrations were taken before and after
transplantation. The concentration of cortisol hormone metabolites was measured from samples
using an enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) technique. The results showed that the
average cortisol concentration in H-3 rabbits before ovarian transplantation in Aceh cattle was
125,12±74,68 ng/g. Cortisol concentrations after transplantation in the K1 group; K2; and K3 were
433,94±207,44; 176,74±83,00; 343,28±178,42 ng/g (P>0,05). It can be concluded that the ovary
transplantation of Aceh cattle in pseudo pregnant local rabbits tends to increase the hormone
cortisol but the duration of the ovaries in the uterus does not affect the cortisol concentration.

Keyword: pseudopregnancy, cortisol, transplant, local rabbits.

xi
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sapi aceh termasuk dalam salah satu rumpun sapi lokal asli (plasma

nutfah) yang dilindungi di Indonesia dan telah ditetapkan oleh Kementrian

Pertanian, dengan nomor ketetapan 2907/Kpts/OT.140/06/2011 serta telah

ditetapkan Standar Nasional Indonesia (SNI) oleh Badan Standar Nasional

No.7651.3 tahun 2013. Sapi aceh merupakan kekayaan sumberdaya genetik yang

saat ini mulai mengalami ancaman baik dari aspek jumlah maupun kemurniannya.

Hal ini disebabkan masuknya breed sapi luar yang tidak terkontrol (Ikhsanuddin

et al., 2018).

Beberapa upaya peningkatan populasi dan produktivitas sapi aceh telah

dilakukan melalui penerapan beberapa teknologi reproduksi, antara lain teknologi

sinkronisasi estrus dengan prostaglandin F2 alpha (Hafizuddin et al., 2012; Melia

et al., 2013; Siregar et al., 2015), sinkronisasi estrus dengan presynch-ovsynch

(Adam et al., 2017), aplikasi inseminasi buatan (IB) sapi aceh menggunakan bibit

sapi unggul (Tarmizi, 2018), superovulasi dengan PMSG dan hCG (Siregar et al.,

2012; Amiruddin et al, 2013), dan transfer embrio (Siregar et al., 2012).

Pelaksanaan transfer embrio (TE) diawali dengan upaya memperoleh

embrio dengan kualitas baik sehingga layak untuk ditransfer pada resipien.

Embrio berasal dari ovum yang telah mengalami fertilisasi sebagai hasil dari

1
proses perkawinan baik secara alami ataupun IB. Namun, saat koleksi embrio

umumnya mengalami kendala dalam perolehan kualitas embrio yang baik.

Menurut Feng et al. (2015) dan Mohammed (2012), salah satu upaya untuk

mengatasi kendala tersebut adalah menghasilkan embrio dengan menggunakan

teknologi in vitro fertilization (IVF).

Folikel dalam teknologi IVF dapat berasal dari limbah ovarium yang

dipotong di Rumah Potong Hewan (RPH). Banyaknya ovarium yang diperoleh

dari RPH dapat dijadikan sumber folikel yang siap untuk dibuahi. Namun

demikian, ovarium tidak dapat bertahan lama jika disimpan walaupun dalam suhu

dingin sehingga diperlukan teknologi pengawetan ovarium yang dapat menjaga

kualitas folikel di dalamnya. Beberapa peneliti telah melaporkan bahwa salah satu

teknologi populer untuk pengawetan ovarium adalah implantasi intra/interspesies

dengan atau tanpa vitrifikasi korteks ovarium atau keseluruhan ovarium

(Cushman et al., 2002).

Transplantasi ovarium dapat dilakukan pada hewan coba, salah satunya

adalah kelinci. Kelinci bunting semu adalah hewan model yang biasa digunakan

untuk mempelajari endokrinologi reproduksi (Dugre et al., 1989), untuk

pengobatan endometriosis (Yuan et al., 2010), dan untuk transplantasi ovarium

sebagai sumber oosit (Sumarmin, 2010). Hal ini dimungkinkan karena kelenjar

yang terdapat pada endometrium kelinci secara aktif menghasilkan sekret sejak

awal kehamilan dan disekresikan ke dalam lumen uterus sebagai cadangan nutrisi

untuk embrio pra-implantasi (Colby, 1986). Sumber energi ini dapat dimanfaatkan

untuk memperlambat proses autolisis organ yang ditransplantasikan.

2
Tranplantasi merupakan proses memindahkan organ tubuh dari satu

makhluk hidup ke makhluk hidup lain dengan tujuan tertentu melalui tindakan

operasi. Salah satu efek dari transplantasi maupun operasi lainnya adalah inisiasi

stres (Peric et al., 2018) yang kemungkinan dapat menyebabkan sistem kekebalan

host menolak organ yang ditransplantasikan. Hal ini dapat memengaruhi tingkat

keberhasilan transplantasi yang akan dilakukan (Diehl et al., 2017). Kelemahan

penggunaan kelinci untuk transplantasi organ adalah stres yang dihasilkan akibat

perlakuan. Meskipun kelinci sering dipakai untuk hewan model, namun kelinci

termasuk hewan yang sangat sensitif terhadap stress (Mapara et al., 2012). Jang et

al. (2017) melaporkan peningkatan kortisol setelah pembedahan pada kelinci yang

mengalami gangguan gastrointestinal.

Stres akibat transplantasi akan merangsang sekresi corticotropin-releasing

hormone (CRH) sehingga menggertak hipofisa mengeluarkan adrenocorticotropic

hormone (ACTH) dan selanjutnya terjadi peningkatan hormon kortisol. Kortisol

bekerja langsung pada organ targetnya yaitu ovarium dengan cara menghambat

produksi hormon steroid yang menyebabkan terjadinya apoptosis (Whirledge dan

Cidlowski, 2010). Yuan et al. (2016) melaporkan bahwa pemberian kortisol

menyebabkan cedera oosit dan apoptosis sel mukosa granulosa. Sampai saat ini

laporan mengenai kadar hormon stres pasca transplantasi ovarium sapi aceh pada

kelinci bunting semu belum pernah dilaporkan.

3
Rumusan Masalah

1. Apakah transplantasi ovarium pada kelinci lokal bunting semu dapat

memengaruhi peningkatan konsentrasi kortisol?

2. Apakah peningkatan durasi transplantasi ovarium sapi aceh pada uterus

kelinci lokal bunting semu dapat meningkatkan konsentrasi hormon

kortisol?

Tujuan Penelitian

1. Mengetahui peningkatan konsentrasi hormon kortisol pada kelinci lokal

bunting semu yang mendapat transplantasi ovarium sapi aceh.

2. Mengetahui pengaruh peningkatan durasi transplantasi ovarium sapi aceh

pada uterus kelinci lokal bunting semu terhadap peningkatan konsentrasi

hormon kortisol.

Hipotesis

1. Transplantasi ovarium sapi aceh pada uterus kelinci lokal bunting semu

dapat meningkatkan konsentrasi kortisol.

2. Peningkatan durasi transplantasi ovarium sapi aceh pada uterus kelinci

lokal bunting semu akan meningkatkan konsentrasi hormon kortisol.

4
Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi terkait

peningkatan konsentrasi kortisol kelinci lokal bunting semu pasca

ditransplantasikan ovarium sapi aceh yang dapat dijadikan acuan untuk

pengembangan kelinci sebagai hewan coba guna dalam penelitian selanjutnya

yang terkait dengan reproduksi kelinci.

5
TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Karakteristrik Reproduksi Kelinci

Kelinci tergolong herbivora non-ruminansia yang tidak membutuhkan

tanah yang luas untuk pembiakan berskala besar. Bobot lokal kelinci adalah 2-4

kg, panjang badan 40-50 cm, dan ekor sekitar 5-8 cm. Kelinci memiliki fertilitas

yang tinggi dimana dapat berkembang biak 5-6 kali dalam setahun dan dapat

melahirkan 4-6 ekor anak per kelahiran (Purnama, 2003).

Birahi dalam kelinci ditandai menggunakan vagina yg membengkak dan

berwarna kemerahan, sedangkan berdasarkan segi konduite bila diusap dalam

bagian punggung akan mengangkat bagian belakang tubuhnya (Purnama, 2003).

Ovulasi dalam kelinci akan terjadi bila dirangsang berdasarkan luar. Stimulasi

bisa berupa perkawinan melalui kopulasi, penyuntikan hormon, stimulasi elektrik

dan stimulasi manual menggunakan tangan (Hafez, 1980).

Super Ovulasi

Sistem reproduksi wanita meliputi sistem reproduksi primer, ovarium, dan

sistem reproduksi sekunder, saluran telur, rahim, leher rahim, vagina dan vulva

(Toelihere, 1987). Ovulasi dapat diartikan sebagai pelepasan oosit dari folikel de

Graf (Toelihere, 1987; Knobil dan Jimmy, 1988). Overovulasi adalah upaya untuk

merangsang dan menumbuhkan folikel dengan menginjeksikan gonadotropin

yang dikombinasikan dengan hormon perangsang ovulasi dan agen penghambat

6
ovulasi untuk tumbuh menjadi folikel de Graf yang siap untuk ovulasi di luar

ovulasi normal. Overovulasi yang berhasil ditentukan oleh sejumlah faktor,

termasuk kondisi hewan, usia, kondisi ovarium, spesies hewan, usia hormonal,

dan efek overovulasi berulang (Mapletoft et al., 2002).

Superovulasi yang diinduksi gonadotropin dilakukan untuk meningkatkan

pembentukan folikel dan kadar estrogen. PMSG memiliki efek yang sama seperti

FSH dan hCG memiliki efek yang sama seperti LH (Hogan et al., 1986). Hormon

PMSG adalah subunit glikoprotein dan merupakan preparat gonadotropin yang

menunjukkan aktivitas seperti FSH (memiliki aktivitas hormon perangsang

folikel) dan aktivitas LH yang rendah (memiliki aktivitas hormon luteinisasi)

(Hunter, 1995). PMSG memiliki fungsi yang sama dengan FSH. Artinya,

merangsang folikulogenesis, spermatogenesis, dan sekresi estradiol (Hafez, 1993).

Koleksi Oosit

Oosit untuk IVF umumnya diperoleh dari oviduk langsung setelah ovulasi,

yang diperoleh dari folikel pada permukaan ovarium. Sumber oosit untuk IVF

dapat berasal dari ovarium hewan yang sudah dipotong, yang biasanya dikoleksi

dari Rumah Potong Hewan, tetapi dapat juga berasal dari hewan hidup

(Ikhsanuddin et al., 2018).

Bunting Semu

Menurut Abd-Elkareem (2017) bunting semu adalah suatu sindrom yang

ditandai dengan gejala klinis yang menyerupai gejala akhir kehamilan atau awal

postpartum, dan hewan mengalami keadaan klinis kebuntingan, tetapi pada dasar-

7
nya tidak bunting. Gejalanya meliputi kembung atau pembengkakan glandula

mamae, dengan atau tanpa produksi ASI. Pada tahap ini, perilaku hewan berubah

seolah-olah sedang bunting. Kebuntingan semu pada kelinci biasanya berlangsung

16-18 hari, setelah itu ia mensekresikan hormon progesteron. Di bawah pengaruh

hormon-hormon ini, rahim dan glandula mamae mulai tumbuh sebagai persiapan

untuk kebuntingan. Bunting semu pada kelinci sering menunjukkan perilaku

keibuan, terkadang dengan keinginan untuk menghilangkan bulu dan sarang

(Schlegel et al., 1988; Sumarmin, 2010).

Transplantasi

Transplantasi ovarium adalah cara yang mungkin untuk mempertahankan

kesuburan pada pasien prapubertas yang kekurangan aktivasi sumbu hipotalamus-

hipofisis-ovarium. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa transplantasi ovarium

dapat mengembalikan fungsi reproduksi dan endokrin (Feng et al., 2015).

Kortisol

Kortisol adalah zat yang disintesis dari kolesterol. Kortisol adalah

glukokortikoid utama di daerah fasikulasi korteks adrenal. Sekresinya sebagai

respons terhadap stres biokimia berkontribusi pada penekanan karakteristik dari

aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal (HPA) pada peristiwa kesehatan dan kognisi.

Sebagian besar aksi kortisol bergantung pada pengikatannya pada reseptor sitosol,

dan hanya sebagian kecil kortisol bebas dan tidak terikat yang diekspresikan

sebagai aktif secara biologis (Lee et al., 2015).

8
Kortisol meninggalkan mitokondria dan bergerak dari sel ke ruang

ekstraseluler dan masuk ke aliran darah. Kortisol yang tidak terikat, karena berat

molekulnya yang rendah dan lipofilisitasnya, dapat memasuki sel melalui difusi

pasif, sehingga kita dapat mengukur kortisol bebas dalam banyak cairan tubuh.

Waktu pengambilan sampel sangat penting karena kadar kortisol darah umumnya

naik di pagi hari (puncak pada jam 8 pagi) dan sedikit turun pada malam hari dan

fase awal tidur (Lee et al., 2015).

Stress dan Kelenjar Adrenal

Lee et al. (2015) menjelaskan bahwa stres secara umum didefinisikan

sebagai suatu keadaan gangguan homeostatis akibat suatu stimulus (stressor). Ada

banyak jenis dan variasi stresor, termasuk lingkungan ekstrem, trauma, respons

imun, perubahan metabolisme, dan stres psikologis. Stres mengganggu reproduksi

wanita dan dapat menyebabkan ovulasi dan penekanan perilaku seksual. Kortisol

adalah glukokortikoid utama yang disintesis pada spesies mamalia (Yaribeygi et

al., 2017).

Kedua kelenjar adrenal terletak di atas ginjal dan menghasilkan hormon

sebagai respons terhadap stres. Setiap kelenjar adrenal terdiri dari area sentral

yang disebut medula dan area luar korteks (Lee et al., 2015; Yaribeygi et al.,

2017). Hipotalamus mengirimkan sinyal langsung melalui sistem saraf simpatik

ke kelenjar adrenal dan menyebabkan mereka melepaskan katekolamin dan

epinefrin (sama seperti adrenalin) ketika situasi mengancam. Kondisi ini

mengarah pada kondisi yang mendesak dengan merangsang pernapasan dan detak

jantung yang lebih cepat (Yaribeygi et al., 2017).

9
Medula adrenal juga mengeluarkan katekolamin lain, seperti norepinefrin,

yang bertindak seperti epinefrin untuk merangsang sel-sel hati melepaskan

glukosa agar membuat lebih banyak bahan bakar yang tersedia untuk respirasi sel.

Hormon ini memiliki efek jangka pendek karena impuls saraf dikirim melalui

hipotalamus. Manajemen yang hati-hati harus diterapkan untuk mendapatkan

sampel darah yang konsisten dengan pengalaman perendaman stres karena waktu

paruh katekolamin darah yang pendek (Lee et al., 2015).

Neary dan Nieman (2010) menyatakan bahwa hipotalamus mengeluarkan

hormon pelepas yang membuat hipofisa anterior mengeluarkan hormon

perangsang adrenal, hormon adrenokortikotropik (ACTH) yang memberi sinyal

pada sel di korteks adrenal agar menghasilkan dan mengeluarkan kortikosteroid.

Mineralokortikoid seperti aldosteron dapat mengatur penyerapan kembali air dan

natrium di ginjal (Neary dan Nieman, 2010; Lee et al., 2015).

Aldosteron juga mengatur sekresi aktif kalium dalam sel-sel utama dari

tubulus pengumpul kortikal dan proton melalui proton ATPase di membran

luminal sel dari tubulus pengumpul yang meningkatkan tekanan darah dan

volume. Glukokortikoid meningkatkan pemecahan lemak dan protein dan sintesis

glukosa. Kortisol adalah glukokortikoid utama dan mengatur atau mendukung

sejumlah fungsi kardiovaskular, metabolisme, imunologi, dan homeostatik yang

penting (Lee et al., 2015).

10
Allostasis dan Beban Allostasis

Lee et al. (2015) menjelaskan bahwa istilah stres pada awalnya diadopsi

dari teknik (ukuran kekuatan internal yang disebabkan oleh deformasi tubuh),

tetapi sekarang disebut sebagai "ancaman atau ancaman yang diharapkan terhadap

tubuh". organisme”. Peristiwa stres dapat dipahami sebagai setiap stimulus yang

menyebabkan perubahan homeostasis untuk adaptasi lingkungan (Neary dan

Nieman, 2010). Perubahan homeostasis ini disebut "alostasis" dan dapat

dijelaskan dengan terjadinya peningkatan denyut jantung atau tekanan darah dan

peningkatan metabolisme sistemik. (Lee et al., 2015).

Secara umum, allostasis dapat bersifat adaptif atau maladaptatif,

tergantung daripada derajat atau hubungan kontekstualnya. Mediator respons

alostatik seperti hormon metabolik dapat berkontribusi pada adaptasi dan

patofisiologi yang sehat (Neary dan Nieman, 2010; Lee et al., 2015). Konsep

'beban alostatik' menunjukkan perubahan, 'titik setel baru' dari homeostasis, yang

dihasilkan dari efek kumulatif dari respon alostatik yang kronis, berlebihan, atau

diatur dengan buruk. Misalnya, peningkatan kadar glukosa serum bertanggung

jawab atas satu peristiwa stres akut, yang dapat disebut sebagai 'respons allostatis'.

Selain itu, diabetes (resistensi insulin) akibat stres kronis berulang dapat dipahami

sebagai 'kelebihan allostatis', di mana kadar glukosa puasa awal telah ditetapkan

ke tingkat yang lebih tinggi dari sebelumnya (Lee et al., 2015).

Stres adalah rangsangan apa pun yang memicu allostasis adaptif atau

maladaptif (perubahan homeostasis) dari mediator stres, yang merupakan sistem

saraf otonom (tekanan darah, katekolamin), hormon metabolik (kortisol, insulin),

dan sitokin pro dan antiinflamasi. Jika rangsangan stres berlebihan dan berulang,

pemulihan ke tingkat homeostatis awal mungkin tidak lengkap (Lee et al., 2015).

11
Mediator allostasis adalah sistem saraf otonom (katekolamin), hormon

metabolik dan berbagai sitokin. Kortisol telah menerima banyak perhatian

berdasarkan konsep "hipotesis kaskade glukokortikoid". Hipotesis ini menjelaskan

bagaimana dan mengapa aksi kortisol dapat dikaitkan dengan patofisiologi stres

yang berlebihan. Stres psikologis dan fisik meningkatkan kadar kortisol yang

bersirkulasi (Lee et al., 2015; Yaribeygi et al., 2017).

Peningkatan kortisol pada kondisi akut menginduksi respon adaptif

melalui peningkatan proses katabolik untuk memasok lebih banyak energi ke

tubuh (Neary dan Nieman, 2010). Kortisol yang bersirkulasi dipertahankan pada

tingkat yang lebih tinggi untuk waktu yang lama ketika rangsangan stres berulang

secara kronis (Neary dan Nieman, 2010; Lee et al., 2015; Yaribeygi et al., 2017).

Kadar kortisol yang meningkat secara kronis menyebabkan kerusakan pada

neuron hipokampus dan kortikal yang merupakan daerah utama di mana

penghambatan umpan balik dimulai. Akibatnya, kadar kortisol dapat

dipertahankan pada tingkat yang lebih tinggi di luar kisaran normal fisiologis

bahkan ketika rangsangan stres hilang yang disebabkan oleh mekanisme umpan

balik yang sudah rusak (Lee et al., 2015).

Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA)

Enzyme immunoassay (ELISA) adalah teknik biokimia untuk mendeteksi

keberadaan antigen dalam sampel. Penggunaan ELISA melibatkan setidaknya

satu antibodi yang spesifik untuk antigen tertentu. Ada tiga jenis ELISA yaitu

ELISA langsung, ELISA tidak langsung dan ELISA roti (Nugroho dan Dwi,

2016).

12
Prinsip dasar ELISA adalah menggunakan antibodi berlabel enzim atau

antigen pengikat untuk menganalisis interaksi yang terjadi antara antibodi dan

antigen yang teradsorpsi secara pasif pada permukaan fase padat. Enzim bereaksi

dengan substrat untuk menghasilkan warna. Warna yang dihasilkan dapat

ditentukan secara kualitatif dengan pengamatan visual atau secara kuantitatif

dengan membaca nilai absorbansi dengan ELISA reader. Tampilan kurva kalibrasi

diambil, plot antara nilai absorbansi dan konsentrasi standar digunakan untuk

menghitung konsentrasi dalam sampel (Walker dan Ralph., 2008).

Metode ELISA mempunyai beberapa keuntungan antara lain yaitu

mempunyai sensitivitas yg sangat tinggi sebagai akibatnya bisa mendeteksi

hormon dalam konsentrasi yg rendah (1-10 ng/mL), bisa menguji sampel pada

jumlah poly secara cepat, memakai antiserum sedikit, memperoleh data secara

kualitatif dan kuantitatif, dan tahapan penngujian yg mudah (Anggraini dan

Hidayat, 2014).

13
MATERIAL DAN METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di UPT. Hewan Coba, Laboratorium Klinik,

dan Laboratorium Fisiologi Fakultas Kedokteran Hewan Universita Syiah Kuala,

Banda Aceh. Penelitian dilakukan pada bulan November 2021 sampai dengan

Maret 2022.

Alat dan Bahan Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kandang kelinci

individual, timbangan untuk mengukur berat badan, disposable insulin syringe 1

ml, satu set alat bedah mayor, kain duk steril, tissue, mortar, spatula, saringan,

sentrifus, tabung sentrifus, timbangan digital, oven, tabung film, cool box,

microtube, micropipette, micropipette tips, freezer, microplate ELISA, ELISA

washer, ELISA reader, vortex mixer, kit ELISA kortisol komersial, dan kit

ELISA 3α, 11β-dihydroxy-CM.


TM
Bahan yang digunakan adalah hormon PMSG (PG 600, Folligon ,

Intervet, Boxmmer, dan Holland), hormon hCG (Chorulon, Intervet, Boxmeer,

dan Holland), zoletil R50 sebagai anastesi umum, benang vicril 3-0, benang silk 3-

0, NaCl fisiologis, alkohol 70%, gentamicin sulfate 0,1%, aquabidestillata steril

serta penicilin streptomycin untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder. Bahan-

bahan yang digunakan dalam pemeriksaan elisa berupa sampel feses, methanol

14
80%, assay buffer, Goat-anti-rabbit IgG, streptavidin-peroxidase, H2O2,

tetramethylbenzidine, natrium asetat dan H2SO4.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan sembilan ekor kelinci betina lokal bunting

semu, berumur 2-3 tahun dan bobot badan 1,5-2,9 kg. Sebelum diberikan

perlakuan, semua kelinci diadaptasikan selama 30 hari. Semua kelinci dipelihara

pada kandang individu berukuran 60x43x48 cm sebelum diberikan perlakuan

untuk mengondisikan semua hewan dalam status sehat secara klinis. Pakan

diberikan dalam bentuk pelet dua kali sehari dan air minum diberikan secara ad

libitum.

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan menggunakan

analisis varian satu arah yang terdiri atas 3 kelompok perlakuan yaitu K1 =

ovarium berada di uterus kelinci selama 3 hari, K2 = ovarium berada di uterus

kelinci selama 5 hari dan K3 = ovarium berada di uterus kelinci selama 7 hari.

Masing-masing perlakuan terdiri dari 3 ulangan. Sampel feses dikoleksi mulai 3

hari sebelum transplantasi (H-3) sampai ovarium diangkat dari uterus (Gambar 1).

Induksi Bunting Semu

Induksi bunting semu dilakukan dengan menggunakan PMSG dan hCG.

Pilihan ini didasarkan atas laporan Syafruddin et al. (2021) bahwa metode induksi

dengan PMSG dan hCG lebih baik dibandingkan dengan metode pemberian hCG,

GnRH, atau kopulasi tiruan. Kelinci diinjeksi dengan 100 IU PMSG secara

intramuskulus dan diikuti tiga hari kemudian dengan injeksi 75 IU hCG secara

15
intravena (K3) sesuai petunjuk Schlegel et al. (1988). Transplantasi ovarium

dilakukan pada hari ke- 8 (hari ke- 0 adalah hari ketika injeksi hCG).

Prosedur Pembedahan

Kelinci betina resipien yang diinduksi bunting dilakukan anestesi umum

dengan menginjeksikan 0,1 ml zoletil/kg bobot badan diberikan secara

intramuskulus. Setelah teranestesi, kelinci diletakkan di atas meja bedah dengan

posisi dorsal recumbency dan dicukur rambut di sekitar daerah linea alba serta

bagian yang akan dibedah diusap dengan alkohol 70% dan iodin tinkture 3%

secara sirkuler (Techakumphu et al., 1987; Forcada dan Lopez, 2000 yang disitasi

oleh Sumarmin et al., 2008 ).

Gambar. 1. Bagan Alir Penelitian

16
Pembedahan dilakukan pada daerah linea alba dengan posisi dorsal

recumbency diawali dengan incisi sekitar 3-4 cm (kulit, musculus transversus

abdominis, dan peritoneum). Selanjutnya corpus uteri dikeluarkan dari rongga

abdomen kemudian corpus uteri di incisi sepanjang 1 cm. Melalui celah insisi,

dimasukkan korteks ovarium (potongan ovarium) dan didorong sampai 1/3 bagian

akhir dari kornua uteri. Transplantasi korteks ovarium dilakukan dua kali yaitu

untuk setiap kornua uteri kelinci. Setelah selesai ditransplantasikan, incisi pada

tunika mukosa (endometrium) yang melapisi uterus bagian dalam dijahit dengan

pola continuous simple suture, tunika serosa (perimetrium) yang merupakan

lapisan uterus bagian luar dijahit menggunakan jahitan lambert continuous suture

setelah itu uterus dibilas dengan NaCl fisiologis dan dimasukkan kembali kedalam

rongga abdomen. Selanjutnya dilakukan juga penjahitan terhadap peritoneum dan

dan musculus transversus abdominis secara bersamaan dengan pola jahitan

continuous simple suture, kemudian diikuti dengan kulit menggunakan pola

jahitan simple interupted suture untuk menutup luka. Pemilihan benang yang

digunakan berupa jenis benang absorbable untuk menjahit uterus, peritoneum dan

musculus transversus abdominis. Sedangkan jenis benang non-absorbable

digunakan untuk menjahit area kulit. Sesudah penutupan luka selesai, di atas

jahitan dioleskan betadine dan kelinci kembali dipindahkan ke kandang hingga

siuman. Kelinci resipien dirawat secara intensif dan agar tidak terjadi infeksi

dioleskan gentamicin setiap pagi dan sore hari (Sumarmin, 2010). Lama ovarium

berada di dalam uterus kelinci adalah 3 hari (K1), 5 hari (K2), dan 7 hari (K3).

17
Ekstraksi Sampel Feses

Sampel feses diekstraksi dengan metode described seperti yang dijelaskan

Gholib et al. (2020). Pertama sampel dithawing pada suhu 50° C sekitar 1-2 jam.

Kemudian sampel dihomogenkan dan sebanyak 0,5-0,6 g sampel feses segar

dimasukkan ke dalam tube yang berisi 4,5 ml methanol 80%. Selanjutnya sampel

feses diekstraksi menggunakan multivortexer dengan kecepatan 1000 rpm selama

10 menit. Setelah itu, sampel disentrifus dengan kecepatan 3000 rpm selama 10

menit. Terakhir, supernatan diambil dan dimasukkan ke dalam microtube dan

disimpan didalam freezer -20° C sebelum dilakukan pengukuran konsentrasi

metabolit kortisol.

Analisis Hormon Kortisol

Pengukuran konsentasi metabolit kortisol dilakukan dengan menggunakan

“in house assa yaitu Cortisol Metabolit ELISA kit” yang dikembangkan oleh

Laboratorium Fisiologi, Fakultas Kedokteran Hewan Unsyiah kerjasama dengan

University of Zurich. Kit ini secara spesifik mampu mengukur konsentrasi

hormon kortisol pada sampel feses dan urin. Metode yang digunakan ialah field

friendly extraction seperti yang dijelaskan oleh Nugraha et al. (2017) dan Gholib

et al. (2018). Adapun prosedur pengukuran konsentrasi metabolit kortisol

dilakukan seperti yang dijelaskan oleh Gholib et al. (2017) dan Gholib et at.

(2018). Mula-mula ekstrak feses diencerkan dengan larutan buffer assay.

Sebanyak 50 µl ekstrak yang telah diencerkan dimasukkan ke dalam plat

(microplate) yang telah dilapisi (coating) dengan goat-anti-rabbit IgG.

Selanjutnya ditambahkan 50 µl antibodi dan 50 µl enzim ke dalam tiap sumur plat

18
dan diinkubasi selama satu malam (±18 jam) pada suhu 4-8° C. Selanjutnya plat

dicuci dan ditambahkan streptavidin-peroxidase dan diinkubasi kembali selama 30

menit pada kamar gelap dan suhu ruang 18-25° C. Plat dicuci kembali, dan

kemudian ditambahkan larutan substrat yang terdiri atas 1.2 mM H2O2, 0,4 mM

3,3’,5.5’- tetramethylbenzidine di dalam 10 mM natrium asetat pH 5,5 dan

diinkubasi selama 45 menit pada kamar gelap dan suhu ruang. Kemudian reaksi

enzimatis dihentikan dengan menambahkan 4 M H2SO4 sebanyak 50 µl ke setiap

sumur plat, sehingga terjadi perubahan warna. Intesitas warna/absorban dibaca

menggunakan ELISA Reader dan program MPM 6 pada 450 nm.

Analisis Data

Data yang diperoleh dari hasil penelitian dianalisis dengan uji ragam (one

way ANOVA) menggunakan program SPSS 21.

19
HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian terhadap rataan konsentrasi hormon kortisol pada kelinci

lokal bunting semu 3 hari (H-3) sebelum transplantasi ovarium sapi aceh adalah

125,12±74,68 ng/g, dengan kadar terendah adalah 1,81 ng/g dan tertinggi 263,97

ng/g (Tabel.1). Besarnya rentang perbedaan antara kadar terendah dan tertinggi

dari hormon kortisol kelinci lokal bunting semu sebelum transplantasi,

mengindikasikan bahwa 88,89% kelinci lokal bunting semu mengalami stres. Hal

ini mungkin disebabkan oleh masa aklimatisasi yang kurang lama maupun stres

yang didapat dari lingkungan.

Hasil analisis statistik menggunakan one way anova antar kelompok

perlakuan dari kelinci lokal bunting semu setelah transplantasi menunjukkan tidak

ada perbedaan yang nyata dari konsentrasi hormon kortisol (P>0,05). Kadar

kortisol sebelum transplantasi pada kelompok K1; K2; dan K3 masing-masing

adalah 146,23±14,37 ng/g; 103,54±81,17 ng/g; dan 125,59±13,62 ng/g. sesudah

transplantasi pada kelompok K1; K2; dan K3 berturut-turut adalah

433,94±207,44 ng/g; 176,74±83,00 ng/g; dan 343,28±178,42 ng/g. Data disajikan

pada Tabel 2. Meskipun secara statistik tidak menunjukan perbedaan yang nyata

antar kelompok perlakuan, namun secara deskriptif memperlihatkan K2

(176,74±83,00 ng/g) memiliki rataan kortisol yang lebih rendah dibandingkan K1

(433,94±207,44 ng/g) dan K3 (343,28±178,42 ng/g). Hal ini mengindikasikan

20
bahwa keberadaan ovarium sapi aceh selama 5 hari yang ditransplantasikan dalam

uterus kelinci lokal bunting semu memiliki tingkat stres yang lebih rendah

dibandingkan pada kelompok perlakuan yang lain (Tabel 2).

Tabel 1. Konsentrasi kortisol kelinci lokal bunting semu 3 hari sebelum


transplantasi ovarium sapi aceh.
Kelinci bunting semu
Kortisol (ng/g)
(n=9)
1 174,64
2 135,83
3 128,23
4 1,81
5 44,83
6 263,97
7 124,10
8 102,79
9 149,89
Rataan 125,12
SD 74,68

Kortisol merupakan hormon esensial yang penting dan memiliki beberapa

efek pada jaringan tubuh yang berbeda. Efek glukoneogenik dari hormon kortisol

terlibat dalam proses pemulihan stres. Sebagian besar hormon kortisol bersirkulasi

dalam protein dan plasma, dan sejumlah kecil bersirkulasi dalam bentuk bebas

dan aktif secara biologis (Perry dan Medback, 2013). Dalam keadaan normal,

hormon stres dilepaskan dalam jumlah kecil, tetapi dalam menghadapi stres, kadar

hormon ini meningkat secara dramatis (Anthony dan Frank, 2018).

21
Tabel 2. Konsentrasi hormon kortisol antar kelompok kelinci bunting semu
sebelum dan setelah transplantasi ovarium sapi aceh.
Kortisol (ng/g) Ulangan
Rataan SE
Perlakuan 1 2 3
K1 174,64 135,83 128,23 146,23 14,37
Sebelum K2 1,81 44,83 263,97 103,54 81,17
K3 124,10 102,79 149,89 125,59 13,62
K1 798,37 80,00 423,45 433,94 207,44
Setelah K2 23,47 198,20 308,56 176,74 83,00
K3 150,47 179,65 699,72 343,28 178,42
Keterangan : tidak ada perbedaan yang nyata antar kelompok kelinci bunting
semu sebelum dan setelah transplantasi (P>0,05).

Segala sesuatu yang dapat menyebabkan stres disebut stresor. Segala

macam stresor baik fisik maupun mental dapat meningkatkan sekresi

adrenocorticotropic hormone (ACTH) yang merangsang sekresi kortisol dapat

menekan sistem imun terutama sistem imun adaptif berupa limfosit (Guyton,

2007). Selanjutnya Von-Borrel (2001) menambahkan bahwa ACTH akan

berpengaruh pada stereokimia dan akan meningkatkan pembuangan kolesterol dan

modifikasi enzimatik hormon glukokortikoid dalam bentuk kortisol dan

kortikosteron.

Secara umum, kortisol membantu menjaga homeostasis dalam tubuh dan

mendukung metabolisme energi, reproduksi, respon imun, proses inflamasi,

pertumbuhan, dan kadar glukokortikoid yang mempengaruhi kesuburan atau

respon imun (Nedic et al., 2017). Stress reproduksi dipengaruhi oleh pakan,

manajemen pemeliharaan, kesehatan, hormon dan lingkungan (Raynardia et al.,

2021). Guyton (2007) menyatakan bahwa beberapa jenis stres yang dapat

meningkatkan pelepasan kortisol diantaranya seperti; hampir semua jenis trauma,

infeksi, kepanasan atau kedinginan yang hebat, penyuntikan norepinefrin dan

22
obat-obatan, pembedahan, serta penyuntikan bahan yang bersifat nekrolisis di

bawah kulit.

Terapi imunosupresi rutin diterapkan untuk mencegah kerusakan atau

penolakan transplantasi. Wennberg et al. (2001) menyampaikan bahwa protokol

imunosupresi adalah elemen kunci dalam suatu percobaan transplantasi. Menurut

Diehl et al. (2017), diperlukan imunosupresi yang tepat untuk berhasil melakukan

transplantasi eksperimental pada hewan. Prinsipnya, kelangsungan hidup jangka

panjang setelah transplantasi dapat dipastikan dengan dua cara berbeda yaitu

dengan manajemen pengobatan imunosupresif atau dengan induksi toleransi

imunologis terhadap jaringan donor. Pengobatan imunosupresif dilakukan dengan

pendekatan gabungan menggunakan konvensional agen seperti Cyclosporine

(CsA), Mikofenolat mofetil (MMF) dan prenidsolon dianjurkan, terutama untuk

imunosupresi jangka panjang.

23
PENUTUP

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa transplantasi

ovarium sapi aceh pada kelinci lokal bunting semu cenderung meningkatkan

hormon kortisol. Namun durasi ovarium di dalam uterus tidak memengaruhi

konsentrasi kortisol.

Saran

Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk menekan kadar stres yang terjadi

pada kelinci lokal bunting semu pasca transplantasi ovarium sapi aceh.

24
DAFTAR PUSTAKA

Abd-Elkareem (2017). Morphological, histological and immunohistochemical


study of the rabbit uterus during pseudopregnancy. Cytol Histol. 8(1): 1-7.
Adam M., Siregar T. N., Wahyuni S., Gholib, Ramadhana C. E., Ananda R. dan
Afifuddin. (2017). Steroid level and pregnancy rate of aceh cows in
response to ovulation induction using presynch-ovsynch method. Jurnal
Kedokteran Hewan, 11(4): 138-141.
Amiruddin, Siregar T. N., Armansyah T., Hamdan, Arismunandar dan Rifki, M.
(2013). Steroi level of aceh’s cattle induced by pregnant mare’s serum
gonadotropin (pmsg) and follicle stimulating hormone (FSH). Jurnal
Kedokteran Hewan, 7(2): 12-124
Anggraini, S. dan Hidayat, S. H. (2014). Sensitivitas metode serologi dan
polymerase chain reaction untuk mendeteksi Bean common mosaic
potyvirus pada kacang panjang. Jurnal Fitopatologi Indonesia, 10(1): 17-
22.
Anthony, C. H. dan Frank B. S. (2018). Glucocorticoids. Doping, Performance-
Enhancing Drugs, and Hormones in Sport : Mechanisms of Action and
Methods of Detection. Elsevier Ltd
Colby, E. D., The Rabbit Dalam : Morrow, D. A. (1986). Current Theraphy in
Theriogenology 2. W. B. Saunders Company, Philadelphia.
Cushman, R. A., Wahl, C.M. dan Fortune, J. E. (2002). Bovine ovarian cortical
pieces grafted to chick embryonic membranes : a model for studies on the
activation of primordia follicles. Human Reproduction, 17(1): 48-54.
Diehl, R., Ferrara, F., Müller, C., Dreyer, A. Y., McLeod, D. D., Fricke, S. dan
Boltze, J. (2017). Immunosuppression for in vivo research: state-of-the-art
protocols and experimental approaches. Cellular and Molecular
Immunology, 14(2): 146-179.
Dugre, F. J., Lambert, R. D., Belanger, A., Fortier, M. A. dan Caron, S. (1989).
Local effect of the rabbit embryo-foetus on uterine progesterone and
pregnenolone levels. Molecular and Cellular Endocrinology, 64(2): 251-
255.
Feng R., Sang Q., Zhu, Y., Fu, W., Liu, M. dan Xu, Y. (2015). Mirna-320 in the
human follicular fluid is associated with embryo quality in vivo and affects
mouse embryonic development in vitro. Scientific Reports, 5: 86-89.
Gholib, G., Agil, M., Supriatna, I., Purwantara, B., Heistermann, M. dan
Engelhardt, A. (2017). Repeated freeze-thaw cycles but not short-term
storage of fecal extracts at ambient temperature influence the stability of
steroid metabolite levels in crested macaques. Jurnal Kedokteran
Hewan, 11(2): 78-85.
Gholib, G., Heistermann, M., Agil, M., Supriatna, I., Purwantara, B., Nugraha, T.
P. dan Engelhardt, A. (2018). Comparison of fecal preservation and

25
extraction methods for steroid hormone metabolite analysis in wild crested
macaques. Primates, 59(3): 281-292.
Gholib, G., Pampang, F. H., Lubis, T. M., Adam, M., Jalaluddin, M., Razali, R.
dan Karmil, T. F. (2020). Non-Invasive Measurement of Cortisol
Metabolite in Feces of Toraya Buffalo by Using Enzyme Immunoassay
Technique. In E3S Web of Conferences, (Vol. 151, p. 01061). EDP
Sciences.
Guyton, A.C. dan Hall, J.E. (2007). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. EGC,
Jakarta.
Hafez E.S.E. (1993). Reproduction in Farm Animals: Semen Evaluation. Lea and
Febiger, Philadelphia. Hal. 405-423.
Hafizuddin, H., Siregar, T. N., Akmal, M., Melia, J. dan Armansyah, T. (2012).
Perbandingan intensitas berahi sapi aceh yang disinkronisasi dengan
prostaglandin F2 alfa dan berahi alami. Jurnal Kedokteran Hewan-
Indonesian, 6(2): 81-83.
Hogan, B., Contantini, F. dan Lacy, E. (1986). Manipulating the mouse embryo: a
laboratory manual. Cold Spring Harbor Laboratory, New York.
Hunter, R. H. F. (1995). Fisiologi dan Teknologi Reproduksi Hewan Betina
Domestik. ITB, Bandung.
Ikhsanuddin, V. M., Nurgiartiningsih, A., Kuswati dan Mukhtar. (2018).
Penampilan produksi sapi aceh umur satu hari, umur sapih, dan umur satu
tahun. Jurnal Ilmu Teknologi Peternakan Tropis. 5(3): 67-72.
Jang, J., Hur, H. G., Sadowsky, M. J., Byappanahalli, M. N., Yan, T. dan Ishii, S.
(2017). Environmental Escherichia coli: ecology and public health
implications-a review. Journal of Applied Microbiology, 123(3): 570-581.
Knobil, E. dan Jimmy, D. N. (1988) The Physiology of Reproduction. Raven
Press, New York.
Lee, D. Y., Kim, E. dan Choi, M. H. (2015). Technical and Clinical Aspects of
Cortisol as a Biochemical Marker of Chronic Stress. Biochemistry and
Molecular Biology Reports, 48(4) : 209-216.
Mapara, M., Thomas B. S. dan Bhat K. M. (2012). Rabbit as an animal model for
experimental research. Dental Research Journal (Isfahan). 9(1):111-118.
Mapletoft, R. J., Steward, K. B. dan Adams, G, P. (2002). Recent advances in the
superovulation in cattle. Reproduction Nutrition Development, 42: 601-
611.
Melia, J., Lefiana, D. dan Siregar, T. N. (2013). Proses regresi corpus luteum sapi
aceh yang disinkronisasi estrus menggunakan prostaglandin f2 alfa (pgf
2α). Jurnal Medika Veterinaria, 7(1): 57-60.
Mohammed, A. A. (2012). Anesthesia induction and reproductive performance in
relation to diazepam and xylazine injection in mice. Egypt. Journal Basic
Applied Physiology, 11: 1-11.
Neary, N., dan Nieman, L. (2010). Adrenal insufficiency-etiology, diagnosis and
treatment. Current opinion in endocrinology, diabetes, and obesity, 17(3):
217.
Nedic, S., Pantelic, M., Vranješ-ðuric, S., Nedic, D., Jovanovic, I., Cebulj-kadunc,
N., Kobal, S., Snoj, T. dan Kirovski, D. (2017). Cortisol concentrations in

26
hair, blood and milk of Holstein and Busha cattle. Slovenian Veterinary
Research, 54(4): 163-72.
Nugraha, T. P., Heistermann, M., Agil, M., Purwantara, B., Supriatna, I., Gholib,
G., dan Weingrill, T. (2017). Validation of a field-friendly extraction and
storage method to monitor fecal steroid metabolites in wild
orangutans. Primates, 58(2): 285-294.
Nugroho, E. D. dan Dwi, A. R. (2016). Penuntun Praktikum Bioteknologi.
Deepublish, Yogyakarta.
Peric, Z., Botti, S., Stringer, J., Krawczyk, J., van der Werf, S., van Biezen, A. dan
Basak, G. W. (2018). Variability of nutritional practices in peritransplant
period after allogeneic hematopoietic stem cell transplantation: a survey by
the Complications and Quality of Life Working Party of the EBMT. Bone
Marrow Transplantation, 53(8): 1030-1037.
Perry, L. dan Medback, S. (2013). The Immunoassay Handbook : theory and
applications of ligand binding, elisa and related techniques 4 th edition
chapter 93: 695. Elsevier Ltd.
Purnama, D. (2003). Teknologi kawin suntik (inseminasi buatan) pada ternak
kelinci. Prosiding Temu Teknis Fungsional Non Peneliti, Hal 46-52.
Raynardia, Y. L., Adyatama, A., A'yun, Z. Q., Rosita, G. dan Prawesti, L. N.
(2021). Peran kortisol dalam kasus kawin berulang pada sapi perah
peranakan friesian holstein (PFH). Jurnal Peternakan Sriwijaya, 10(2): 39-
49.
Schlegel, W., Kruger, S., Daniels, D., Fischer, B., Schneider, H. P. G. dan Beier,
H. M. (1988). Studies on prostaglandin metabolism in corpora lutea of
rabbits during pregnancy and pseudopregnancy. Journal of Reproduction
and Fertility, 83: 365-370.
Siregar, T. N., Eldora, M. K., Melia, J., Panjaitan, B., Yusmadi dan Barus, R. A.
(2012). The presence of a dominant follicle in initiation of superovulation
decrease superovulatory response in aceh cattle. Jurnal Kedokteran
Hewan, 6(2): 67-71.
Siregar, T. N., Hamdan, H., Riady, G., Panjaitan, B., Aliza, D., Pratiwi, E. F.,
Darianto, T. dan Husnurrizal. (2015). Efficacy of two synchronization
methods in indonesian aceh cattle. Int Journal of Veterinary Science, 4:
87-91.
Sumarmin, R. (2010). Transplantasi ovarium domba intrauterin pada kelinci lokal.
Jurnal Saintek, 2(1): 40-45.
Sumarmin, R., Winarto, A., Yusuf, T. L. dan Boediono, A. (2008). Viabilitas oosit
domba pascatransplantasi ovarium domba dalam uterus kelinci
pseudopregnant. Majalah Ilmiah Peternakan, 11(1): 25-30.
Syafruddin, S., Wahyuni, S., Gholib, G. dan Siregar, T. N. (2022). Comparison of
four methods of inducing pseudopregnancy in rabbits. Medycyna
Weterynaryjna-Veterinary Medicine-Science and Practice, 78(2): 85-90.
Tarmizi, N. B. (2018). Keberhasilan Inseminasi Buatan (IB) pada sapi aceh
menggunakan semen beku sapi bali, simental, dan limosin di kecamatan
mesjid raya kabupaten aceh besar. Jurnal Ilmiah Mahasiswa
Veteriner, 2(3): 318-328.

27
Toelihere, M. R. (1987). Present Status and Prospect for Embryo Transfer in
Animal Production in Indonesia. Di dalam : Technical Meeting on Embryo
Transfer and Animal Production, National Academy Press, Washington
DC.
Von-Borrel, E. H. (2001). The biology of stress and its application to livestock
housing and transportation assesment. Journal Animal Science. 79: E260-
E267.
Walker, J. M dan Ralph, R. (2008). Handbook of Molecular Biomethods. Second
edition. Humana Press, Hal: 657-677.
Wennberg, L., Czech, K. A., Larsson, L. C., Mirza, B., Bennet, W., Song, Z. dan
Widner, H. (2001). Effects of immunosuppressive treatment on host
responses against intracerebral porcine neural tissue xenografts in
rats. Transplantation, 71(12): 1797-1806.
Whirledge, S. dan Cidlowski, J. A. (2010). Glucocorticoids, stress, and
fertility. Minerva Endocrinologica, 35(2): 109.
Yaribeygi, H., Panahi, Y., Sahraei, H., Johnston, T. P. dan Sahebkar, A. (2017).
The impact of stress on body function: A review. EXCLI Journal.
Yuan, H. J., Han, X., He, N., Wang, G. L., Gong, S., Lin, J. dan Tan, J. H. (2016).
Glucocorticoids impair oocyte developmental potential by triggering
apoptosis of ovarian cells via activating the Fas system. Scientific
Reports, 6(1): 1-12.
Yuan, P., Huang, Y., Cheng, B., Zhang, J. dan Xin, X. (2010). Induction of a local
pseudopregnancy in for the treatment of endometriosis. Medical
Hypotheses, 7(4): 56-58.

28
LAMPIRAN

Lampiran 1. Skema prosedur penelitian

29
Lampiran 2. Dokumentasi kegiatan penelitian

Persiapan hewan coba

Proses induksi bunting semu menggunakan agen PMSG dan HCG

30
Proses pembedahan (transplantasi ovarium sapi aceh) pada uterus kelinci lokal
bunting semu

Proses ektraksi sampel feses kelinci lokal bunting semu yang mendapat
transplantasi ovarium sapi aceh

31
Proses pengenceran ekstrak sampel feses

Proses analisis hormon dengan teknik ELISA

Pembacaan hasil analisis menggunakan ELISA Reader

32
Lampiran 3. Data deskriptif kelompok kontrol

Kelinci bunting semu


Kortisol (ng/g)
(n=9)

1 174,64

2 135,83

3 128,23

4 1,81

5 44,83

6 263,97

7 124,10

8 102,79

9 149,89

Rataan 125,12

SD 74,68

33
Lampiran 4. Analisis statistik antar kelompok perlakuan sebelum dan sesudah
transplantasi ovarium sapi aceh.

Kortisol (ng/g)

Ulangan K1 K2 K3

1 174,64 1,81 124,10

Sebelum 2 135,83 44,83 102,79

3 128,23 263,97 149,89

Rataan 146,23 103,54 125,59

SE 14,37 81,17 13,62

1 798,37 23,47 150,47

Setelah 2 80,00 198,20 179,65

3 423,45 308,56 699,72

Rataan 433,94 176,74 343,28

SE 207,44 83,00 178,42

34
35
36
Lampiran 5. Surat etik penelitian

37
Lampiran 6. Hasil Turnitin

38
BIODATA

I. DATA MAHASISWA
1. Nama : Angghian Siti Safur
2. Alamat : Jl. Cot Sibati Blok B.22 Komplek Unsyiah,
Blangkrueng.
3. Nomor Telepon/HP 085261426405
4. Email : anggisafur08@gmail.com
5. Jenis Kelamin : Perempuan
6. Tempat/Tanggal Lahir : Banda Aceh/ 08 Oktober 2000
7. Agama : Islam
8. Nama Ayah : Sudarmansyah
9. Nama Ibu : Juli Melia
10. Alamat Tetap Orang Tua : Jl. Cot Sibati Blok B.22 Komplek Unsyiah,
Blangkrueng.
II. RIWAYAT PENDIDIKAN
Tahun Tahun
No. Tingkatan Nama Sekolah
Masuk Lulus
SD Negeri 50 Banda
1. SD/MI 2006 2012
Aceh

2. SMP/MTs SMP Negeri 1 Dramaga, 2012 2015


Bogor
3. SMA/Aliyah SMA Negeri 3 Banda 2015 2018
Aceh

39
III. SEMINAR DAN PELATIHAN YANG PERNAH DIIKUTI
SELAMA PENDIDIKAN

Tahun dan Lama


No. Nama Kegiatan Tempat Pelaksanaan
Waktu Kegiatan
Seminar Nasional Ada
Apa Dengan Kuda
1. FKH USK 2018 (1hari)
(AADK) 3 oleh UKM
Himpharsia FKH USK
Fieldtrip Ada Apa Dengan
Kuda (AADK) 3 oleh Stable Kuda,
2. 2018 (1hari)
UKM Himpharsia FKH Kutamalaka
USK
Seminar Nasional
“Aktualisasi Peran
3. Pemuda Dalam Upaya FKIP USK 2018 (1hari)
Penyelamatan Gajah
Sumatera”
Seminar Muslimah
Dengan Tema “Generasi
Milenial Pecinta Al
4. FKH USK 2018 (1hari)
Qur’an” Dalam Rangka
Acara Islamic Veterinary
Fair 5 oleh LDF An-Nahl
Seminar “Membangun
Ekonomi Indonesia
Melalui Sistem Perbankan Gedung AAC Dayan
5. 2018 (1hari)
dan Menggali Ekonomi Dawood USK
Berbasis Syariah” oleh
LPS
Kuliah Umum “Studying
The Genetic,
Reproductive Biology
6. FKH USK 2019 (1hari)
And Stress In Wild
Indonesia Macaques : A
Non-Invasive Approach”
Kuliah Umum oleh
Komisaris Jenderal Polisi
Drs. Suhardi Alius, M.H.
Kepala Badan Nasional
Penanggulangan
Gedung Aac Dayan
7. Terorisme (BNPT) 2019 (1hari)
Dawood USK
Dengan Tema “Resonansi
Kebangsaan dan Bahaya
Serta Pencegahan Paham
Radikalisme dan
Terorisme”
Musyawarah Nasional
8. FKH USK 2020 (1hari)
IMAKAHI XXII dengan

40
tema “Peran Donter
Hewan dalam Upaya
Konservasi Satwa Liar di
Indonesia”
Seminar Internasional 3rd
9. Banda Aceh 2021 (2hari)
ICVAES 2021

IV. PENGALAMAN ORGANISASI/PANITIA/ACARA


Tahun dan
Posisi Dalam
No. Nama Organisasi Lama Waktu
Organisasi
Keterlibatan
BEM Fakultas Kedokteran Anggota (Divisi
1. 2018-2019
Hewan USK Pubdok)
2019-
2. UKM SOV FKH USK Anggota (Divisi Seni) November
2021

V. RIWAYAT PENULISAN KARYA ILMIAH DAN PUBLIKASI


(BUKAN JUDUL SKRIPSI)

No. Judul Artikel Media Publikasi Tahun

1.

VI. PENGHARGAAN YANG DIPEROLEH SELAMA


MENGIKUTI PENDIDIKAN DI FKH UNSYIAH

No. Nama Penghargaan Instansi Pemberi Tempat dan Tahun

Asisten Laboratorium Banda Aceh, Februari 2021-


1. FKH USK
Kliniki FKH USK sekarang

41
Semua data yang saya isikan dan tercantum dalam biodata ini adalah
benar dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Demikian biodata ini
saya buat dengan sebenarnya sebagai kelengkapan penulisan skripsi saya.

Banda Aceh, 26 April 2022

Angghian Siti Safur


NPM. 1802101010098

42

Anda mungkin juga menyukai