Anda di halaman 1dari 86

MORFOMETRI DAN HISTOLOGIS USUS HALUS AYAM KAMPUNG

JANTAN HASIL IN OVO FEEDING ASAM AMINO L-GLUTAMIN

SKRIPSI

Oleh:

ARISMAN
I111 13 503

FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017

i
MORFOMETRI DAN HISTOLOGIS USUS HALUS AYAM KAMPUNG
JANTAN HASIL IN OVO FEEDING ASAM AMINO L-GLUTAMIN

SKRIPSI

Oleh:

ARISMAN
I111 13 503

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Fakultas


Peternakan Universitas Hasanuddin

FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017

ii
PERNYATAAN KEASLIAN

iii
HALAMAN PENGESAHAN

iv
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh.

Segala puja dan puji bagi Allah ‫س ْب َحانَ ُهُ َوتَعَالَى‬


ُ atas Rahmat dan Hidayah-Nya

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam tercurahkan

kepada junjungan Nabi Muhammad ‫سلَّ َُم‬ ُٰ ‫صلَّى‬


َ ‫ّللاُ َعلَيْهُ َو‬ َ yang telah menjadi panutan

serta telah membawa ummat manusia dari lembah kehancuran menuju alam yang

terang benderang.

Terima kasih tak terhingga kepada bapak Prof. Dr. Ir. Djoni Prawira

Rahardja, M.Sc. selaku Pembimbing Utama dan kepada bapak Dr. Ir. Wempie

Pakiding, M.Sc. selaku Pembimbing Anggota atas didikan, bimbingan, serta waktu

yang telah diluangkan untuk memberikan petunjuk dan menyumbangkan

pikirannya dalam membimbing penulis mulai dari perencanaan penelitian sampai

selesainya skripsi ini.

Limpahan rasa hormat, kasih sayang, cinta dan terima kasih tiada tara

kepada Ayahanda (alm.) La Dollah dan Ibunda Ramasang yang telah melahirkan,

mendidik dan membesarkan dengan penuh cinta dan kasih sayang yang begitu tulus

kepada penulisُ sampaiُ saatُ iniُ danُ senantiasaُ memanjatkanُ do’aُ dalamُ

kehidupannya untuk keberhasilan penulis, begitupula dengan saudara-saudari

penulis Sunarya (almh.), Sumiati, Suarni dan Suryana yang selalu mendoakan,

menyemangati dan memotivasi. Semoga Allah ‫س ْب َحانَ ُهُ َوت َ َعالَى‬


ُ senantiasa

mengumpulkan kita dalam kebaikan dan ketaatan kepada-Nya.

Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis haturkan dengan segala

keikhlasan dan kerendahan hati kepada:

v
1. Ibu Rektor UNHAS, Bapak Dekan, Pembantu Dekan I,II dan III dan

seluruh Bapak Ibu Dosen yang telah melimpahkan ilmunya kepada

penulis, dan Bapak Ibu Staf Pegawai Fakultas Peternakan Universitas

Hasanuddin.

2. Ibu Prof. Dr. drh. Hj. Ratmawati Malaka, M.Sc selaku dosen penasehat

akademik yang telah banyak membantu dan membimbing selama

kuliah.

3. Ibu Drh. Hj. Farida Nur Yuliati, M.Si atas segala motivasi dan

kesediaannya untuk menjadi dosen penguji serta membantu dalam

pengadaan peralatan penelitian.

4. Bapak Prof. Dr. Ir. Ambo Ako, M.Sc, Ibu Prof. Rr. Sri Rachma A.B.,

M.Sc., P.hD dan Bapak Dr. Muhammad Ichsan A. Dagong, S.Pt., M.Si

selaku dosen penguji.

5. Kanda M. Rachman Hakim S.Pt., MP, Daryatmo, S.Pt., MP,

Muhammad Azhar S.Pt., M.Si., Urfiana Sara S.Pt., M.Si, yang telah

banyak membantu di Laboratorium Ilmu Ternak Unggas hingga

penelitian selesai.

6. Teman- teman satu tim penelitian Nur Astuti, Ikram Muing, Muhammad

Danial, S.Pt, Sulkifli, S.Pt, Muslimin, Makmur, Abdan Baso, Kurnia,

Nurul Mutmainnah, S.Pt dan Fitri Fadillah Handayani S.Pt.

7. Teman angkatan Larfa 013, teman Ant 014, Solandeven 011, Lion 010,

Flock Mentality 012 dan Rantai 015.

8. Lembaga tercinta Himaprotek-UH yang telah banyak memberi wadah

terhadap penulis untuk berproses dan belajar.

vi
9. Teman-teman Poultry Crew atas segala bantuan dan dukungannya.

Dengan sangat rendah hati, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh

dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik serta saran pembaca sangat diharapkan

demi perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan. Semoga makalah skripsi ini

dapat memberi manfaat bagi para pembaca terutama bagi penulis itu sendiri.

Aamiin Ya Robbal Aalamin.

Akhir Qalam Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh.

Makassar, September 2017

Penulis

vii
ABSTRAK

Arisman I111 13 503. Morfometri dan Histologis Usus Halus Ayam


Kampung Jantan Hasil In Ovo Feeding Asam Amino L-Glutamin.
Pembimbing : Djoni Prawira Rahardja dan Wempie Pakiding

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh in ovo feeding asam


amino L-Glutamin terhadap morfometri dan histologis usus halus ayam kampung
jantan. Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah 15 ekor ayam kampung
jantan. Asam amino yang digunakan adalah asam amino L-glutamin yang di injeksi
pada hari ke-7 inkubasi. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap
(RAL) dengan 5 perlakuan dan 3 ulangan menggunakan 3 ekor ayam setiap
perlakuan. Perlakuan ini terdiri dari, P0 tanpa injeksi (kontrol negatif); P1 injeksi
0,5 ml NaCl 0,9% (kontrol positif); P2 Injeksi 0,5 ml larutan 0,5 % glutamin dalam
NaCl 0,9%; P3 Injeksi 0,5 ml larutan 1 % glutamin dalam NaCl 0,9%; P4 Injeksi
0,5 ml larutan 1,5 % glutamin dalam NaCl 0,9%. Parameter yang diukur adalah
morfometri usus halus (berat dan panjang usus halus) dan histologis usus halus
(tinggi vili, lebar vili, kedalaman kripta dan luas permukaan vili). Hasil penelitian
in ovo feeding asam amino L-Glutamin menunjukkan bahwa berat usus halus tidak
menunjukkan perbedaan yang signifikan, panjang usus halus menunjukkan
perbedaan yang signifikan terutama pada persentase panjang duodenum terhadap
berat total usus halus, histologis (tinggi vili, lebar vili, luas permukaan vili dan
kedalaman kripta) menunjukkan perbedaan yang signifikan terutama pada
duodenum dan ileum

Kata Kunci : Ayam Kampung, In Ovo Feeding, L-Glutamin, Morfometri,


Histologis, Usus Halus

viii
ABSTRACT

Arisman I111 13 503. Morphometry and Histological Small Intestine Of


Kampung Roosters Result Of In Ovo Feeding L-Glutamine. Supervisor : Djoni
Prawira Rahardja dan Wempie Pakiding

The research was conducted to evaluate the effect of in ovo feeding L-


glutamine on morphometric and histologic small intestine of kampung roosters.
The material used in this study was 15 kampung roosters. Amino acid used was L-
glutamine which was injected on the 7th day of incubation. This research used a
complete randomized design (CRD) with 5 treatments and 3 replications with 3
chickens each treatments: P0 without injection (negative control); P1 was 0,5 ml
of NaCl 0,9% (positive control); P2 was 0,5 ml solution of 0,5% glutamine in NaCl
0,9%; P3 was 0,5 ml solution of 1% glutamine in NaCl 0,9%; P4 was 0,5 ml
solution of 1,5% glutamine in NaCl 0,9%. Parameters measured were morphometry
of small intestine (weight and length of small intestine) and histologic of small
intestine (villus height, villus width, crypt depth and villus surface area). The result
of in ovo feeding of L-glutamine showed that weight of small intestine had no
significant affect, length of small intestine had significant affect mainly on
duodenum, histologic (villus height, villus width, villus surface area and crypt
depth) had significant affect mainly on duodenum and ileum.

Key Words : Kampung Roosters, In Ovo Feeding, L-Glutamine, Morphometry,


Histological, Small Intestine

ix
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN SAMPUL .......................................................................... i

HALAMAN JUDUL ............................................................................. ii

PERNYATAAN KEASLIAN ............................................................... iii

HALAMAN PENGESAHAN ............................................................... iv

KATA PENGANTAR ........................................................................... v

ABSTRAK ............................................................................................. viii

ABSTRACT ........................................................................................... ix

DAFTAR ISI .......................................................................................... x

DAFTAR TABEL .................................................................................. xii

DAFTAR GAMBAR ............................................................................. xiii

DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................... xiv

PENDAHULUAN .................................................................................. 1

TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 4

Tinjauan Umum Ayam Kampung .................................................. 4


Perkembangan Embrio ................................................................... 7
Pemberian Nutrisi Tambahan pada Periode Inkubasi .................... 8
Metabolisme Asam Amino L-Glutamin......................................... 11
Saluran Pencernaan Ayam Kampung............................................. 15

METODE PENELITIAN ..................................................................... 18

Waktu dan Tempat ......................................................................... 18


Alat dan Bahan Penelitian .............................................................. 18
Rancangan Penelitian ..................................................................... 18
Prosedur Penelitian ........................................................................ 19
Parameter yang diukur ................................................................... 22
Analisa Data ................................................................................... 24

HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................. 25

Morfometri Usus Halus Ayam Kampung Jantan ........................... 25


a. Berat Usus Halus Ayam Kampung Jantan ....................... 25

x
b. Panjang Usus Halus .......................................................... 26
Histologis Usus Halus Ayam kampung Jantan .............................. 28
a. Tinggi Vili......................................................................... 28
b. Lebar Vili.......................................................................... 30
c. Luas Permukaan Vili ........................................................ 31
d. Kedalaman Kripta ............................................................. 32

KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................. 35

Kesimpulan .................................................................................... 35
Saran .............................................................................................. 35

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 36

LAMPIRAN ........................................................................................... 43

RIWAYAT HIDUP ............................................................................... 72

xi
DAFTAR TABEL

No. Teks Halaman

1. Performa Ayam Kampung ............................................................... 55

2. Berat Total Usus Halus dan Persentase Berat Duodenum, Jejenum


dan Ileum dari Berat Total Usus Halus ........................................... 25

3. Panjang Total Usus Halus dan Persentase Panjang Duodenum,


Jejenum dan Ileum dari Panjang Total Usus Halus ......................... 27

4. Histologis Usus Halus Ayam Kampung Jantan Hasil In Ovo


Feeding Asam Amino L-Glutamin .................................................. 28

xii
DAFTAR GAMBAR

No Teks Halaman
1. Metabolisme L-Glutamin................................................................. 5
12

2. Histologis Usus Halus Ayam ........................................................... 16

3. Pengukuran Tinggi Vili, Lebar Vili dan Kedalaman Kripta............ 23

xiii
DAFTAR LAMPIRAN

No Teks Halaman

1. Hasil Analisis Ragam Berat Usus Halus .........................................


43
2. Hasil Analisis Ragam Panjang Usus Halus .....................................
47
3. Hasil Analisis Ragam Tinggi Vili Usus Halus................................ 51
4. Hasil Analisis Ragam Lebar Vili .....................................................
55
5. Hasil Analisis Ragam Luas Permukaan Vili ................................... 59

6. Hasil Analisis Ragam Kedalaman Kripta ........................................ 62

7. Gambar Vili Usus Halus Tanpa Injeksi (Kontrol Negatif) .............. 66

8. Gambar Vili Usus Halus Hasil Injeksi Larutan NaCl Fisiologis


0,9% tanpa L-Glutamin (Kontrol Positif) ........................................ 67

9. Gambar Vili Usus Halus Hasil Injeksi 0,5 ml larutan 0,5% L-


Glutamin dalam NaCl fisiologis ...................................................... 68

10. Gambar Vili Usus Halus Hasil Injeksi 0,5 ml larutan 1% L-


Glutamin dalam NaCl fisiologis ...................................................... 69

11. Gambar Vili Usus Halus Hasil Injeksi 0,5 ml larutan 1.5% L-
Glutamin dalam NaCl fisiologis ...................................................... 70
12. Dokumentasi Kegiatan Penelitian.................................................... 71

xiv
PENDAHULUAN

Perkembangan industri perunggasan merupakan usaha yang berkontribusi

dalam pembangunan peternakan. Usaha peternakan ayam kampung merupakan

salah satu usaha yang berkontribusi dalam penyediaan daging dan telur. Peranan

ayam kampung dalam penyediaan daging dan telur cukup tinggi di kalangan

masyarakat pedesaan. Telur dan daging ayam kampung merupakan sumber protein

hewani yang mengandung asam amino esensial yang sangat dibutuhkan oleh tubuh

dan berperan dalam meningkatkan kesehatan masyarakat.

Ayam kampung memiliki daya adaptasi tinggi, mampu menyesuaikan diri

dengan kondisi lingkungan, perubahan iklim dan cuaca setempat. Selain itu, ayam

kampung juga memiliki tingkat daya tahan terhadap penyakit dan potensi ekonomi

yang tidak kalah dibandingkan dengan ayam ras komersil. Performa ayam rendah

dengan karakteristik pertumbuhan yang lambat dibandingkan strain ayam ras

komersil dilaporkan sebagai kekurangan ayam kampung.

Potensi ayam kampung dapat dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan

gizi dan peningkatan pendapatan ekonomi masyarakat. Dalam pengembangan

usaha peternakan ayam kampung kendala yang terjadi adalah rendahnya

produktifitas dikarenakan lambatnya pertumbuhan (Zakaria, 2004). Pertumbuhan

ayam dapat dipengaruhi oleh efisiensi pakan. Ayam yang memiliki pertumbuhan

cepat efisiensi pakannya akan lebih baik dari pada ternak yang pertumbuhannya

lambat (Nurjamsiah, 1994; Rahmanto, 2012). Hal ini dipengaruhi oleh proses

pencernaan pakan yang berkaitan dengan kondisi histologis dan kemungkinan

terdapat perbedaaan histologis pada organ pencernaan.

1
Salah satu hal yang dapat diperhatikan untuk meningkatkan produktifitas

ayam kampung yaitu pada saat penetasan atau memperhatikan ketika masih dalam

tahap pembentukan embrio di dalam telur. Pemberian nutrisi tambahan pada

periode inkubasi melalui teknik in ovo kedalam telur dilaporkan dapat

meningkatkan pertumbuhan embrio dan daya serap usus serta menigkatkan

performa ayam setelah menetas (Al-Shamery dan Al-Shuhaib, 2015). Teknik in ovo

juga berfungsi untuk mengatasi kendala pada pertumbuhan awal selama fase

embrio dan pertumbuhan setelah menetas pada unggas (Uni dan Ferket, 2003).

Protein dilaporkan sebagai nutrisi yang paling tepat untuk memaksimalkan

pertumbuhan ayam selama maupun setelah periode inkubasi dengan menggunakan

teknik In ovo (Grodzik dkk., 2013). Salah satu zat nutrisi yang dapat digunakan

untuk teknik in ovo adalah asam amino glutamin (Gln). Asam amino glutamin (Gln)

berperan sebagai sumber energi bagi pembelahan sel dan beberapa jalur

metabolisme, mengatur metabolisme nutrisi, ekspresi gen dan sintesis protein dan

merangsang respon imun (Shafey dkk., 2013). Glutamin juga berperan dalam

integritas dan fungsi usus (Liu dkk., 2002), membantu pencernaan dan penyerapan

nutrisi (Xiao-ying dkk., 2010).

Proses pembentukan organ pada fase embrional melalui dua tahap yaitu

hiperplasi dan hipertropi. Tahap awal hiperplasi dimulai dengan proliferase sel.

Jumlah sel yang terbentuk pada tahap tersebut akan menjadi salah satu faktor

penting dari seluruh aktifitas dan morfologi organ terutama untuk organ saluran

pencernaan.

Kemampuan usus dalam memanfaatkan nutrisi ditentukan oleh

perkembangan organ saluran pencernaan. Perkembangan organ saluran pencernaan

2
terutama usus berkorelasi dengan tingkat pertumbuhan tubuh. Peningkatan

pertumbuhan ayam menunjukkan perkembangan cepat dari organ pencernaan.

Berdasarkan uraian tersebut maka dilakukanlah penelitian mengenai morfometri dan

histologis usus halus ayam kampung hasil in ovo feeding asam amino L-Glutamin.

3
TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan Umum Ayam Kampung

Ayam kampung merupakan salah satu jenis ternak unggas yang telah

memasyarakat dan telah tersebar diseluruh pelosok nusantara. Sejarah ayam

kampung berasal dari ayam liar yang telah didomestikasi dan tinggal di lingkungan

masyarakat, dikenal dengan istilah ayam buras (singkatanُdariُ“ayamُbukanُras”).ُ

Keturunan ayam yang telah jinak kemudian dikawinkan oleh manusia untuk

menemukan potensi ayam kampung baik sebagai pedaging, petelur maupun sebagai

dwiguna (pedaging dan petelur) (Rahayu dkk., 2011).

Kemampuan biologi seekor induk ayam kampung untuk memproduksi telur

dan mengasuh anak selama satu tahun yang dipelihara dengan cara dibiarkan

berkeliaran memperlihatkan performa sebagai berikut: bertelur 10 – 15 butir perlu

waktu ± 20 hari, mengerami telur perlu waktu ± 21 hari, mengasuh anak perlu waktu

131 hari (± 4 bulan). Dengan demikian, 1 tahun 3 kali produksi. Lebih lanjut

dinyatakan produksi telur 15 butir, dieramkan dengan induk 10 butir, daya tetas

80% jadi menghasilkan anak 8 ekor, daya hidup sampai dengan disapih 50%

menghasilkan ayam 4 ekor. Jadi dalam satu tahun dihasilkan ayam 12 ekor.

(Biyatmoko, 2003).

Mahardika dkk. (2013) mengemukakan rendahnya produktivitas ayam

kampung disebabkan oleh pemeliharaan yang masih bersifat tradisional, jumlah

pakan yang diberikan tidak mencukupi dan pemberian pakan yang belum mengacu

kepada kaidah ilmu nutrisi yaitu belum memperhitungkan kebutuhan zat-zat

makanan untuk berbagai tingkat produksi. Zakaria (2004) untuk meningkatkan

4
populasi, produksi, produktifitas, dan efisiensi usaha ayam kampung, pemeliharaan

perlu ditingkatkan dari tradisional kearah agribisnis.

Ayam kampung dinilai memiliki beberapa keunggulan dibanding dengan

strain-strain ayam komersil (ayam ras petelur atau pedaging) antara lain: mampu

bertahan dan berkembang biak dengan kualitas pakan yang rendah, serta lebih tahan

terhadap penyakit dan perubahan cuaca (Abidin, 2002). Kelebihan ayam kampung

yang sering dilaporkan yaitu memiliki kemampuan adaptasi yang sangat baik

(Nataamijaya, 2009). Performa yang rendah merupakan masalah utama dari ayam

kampung. Aspek performa yang dilaporkan mengalami permasalahan oleh peneliti

terdahulu yaitu berat badan pertambahan, berat badan, konversi pakan (Kususiyah,

2011; Aryanti dkk., 2013). Gambaran umum dari performa ayam kampung dapat

dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Performa Ayam Kampung


Performa
Umur
KP (g/e) BB (g/e) PBB (g/e) FCR
DOC a 25,75
Minggu I b 34,81 52 23 0,67
Minggu II b 76,72 77 25 1,45
Minggu III b 123,64 144 67 1,64
b
Minggu IV 142,86 197 53 1,93
Minggu V b 195,35 248 51 2,53
b
Minggu VI 233,54 309 61 2,81
Minggu VII b 274,72 576 136 1,99
b
Minggu VIII 307,69 712 136 2,04
DOC-12 Minggu a 3392 728 702.25 4,63
Keterangan. KP : konsumsi pakan, BB : berat badan, PBB : pertambahan berat
badan, FCR : Feed Conversion Ratio (konversi pakan), a : Kususiyah (2011), b :
Aryanti dkk. (2013).

Pertumbuhan adalah perubahan dalam unit terkecil sel yang mengalami

pertambahan jumlah (hiperplasi) dan dengan pertumbuhan ukuran (hipertropi).

Pertumbuhan tubuh secara keseluruhan dinyatakan dengan pengukuran

pertambahan berat badan. Peningkatan berat badan dapat diketahui dengan cara

5
menimbang secara berulang-ulang dalam jangka waktu tertentu. Pertumbuhan

biasanya mulai perlahan-lahan kemudian berlangsung lebih cepat dan akhirnya

perlahan-lahan lagi atau berhenti sama sekali (Anggorodi, 1990).

Metode budidaya ayam ras komersil telah diterapkan pada ayam kampung.

Namun, hasil yang diperoleh belum memberikan perubahan performa secara

signifikan. Bale-Therik dkk. (2012) melakukan sistem pemeliharaan intensif.

Sedangkan Kususiyah (2011) memberikan pakan dengan level protein tinggi.

Genetik yang beragam dilaporkan sebagai penyebab performa ayam kampung yang

kurang baik (Tamzil dkk., 2015). Perkawinan silang merupakan metode

peningkatan mutu genetik ayam kampung yang telah dilaporkan. Namun, hasil

yang diperoleh masih bervariasi (Sudaryati dkk., 2013). Selain itu, persilangan juga

tidak direkomendasikan karena persilangan akan menyebabkan penurunan

kemampuan adaptasi dan daya tahan terhadap penyakit serta tidak

direkomendasikan terutama ditinjau dari segi konservasi keanekaragaman genetik

(Adebambo dkk., 2011). Salah satu hal yang dapat diperhatikan untuk mendapatkan

performa yang baik yaitu pada saat penetasan atau memperhatikan ketika masih

dalam tahap pembentukan embrio didalam telur.

Noy dan Sklan, (2001) melaporkan dalam penelitiannya bahwa masa

inkubasi yang lebih lama dari 21 hari pada proses penetasan menyebabkan

rendahnya kadar glikogen pada anak ayam. Pada masa ini banyak embrio yang

menggunakan glikogen sebagai energi untuk menetas. Oleh sebab itu, anak ayam

itu harus membentuk glikogen melalui proses gluconeogenesis dari protein tubuh

untuk mendukung termogulasi post-hatch dan daya tahan tubuh. Hal ini

berlangsung sampai anak ayam tersebut dapat asupan makanan dan memanfaatkan

6
nutrien dari makanan tersebut. Setelah ayam menetas, terjadi perubahan

penggunaan pemanfaatan energi dari tubuh menjadi pemanfaatan energi melalui

makanan yang tercerna pada saluran pencernaan.

Cadangan glikogen mulai disimpan kembali pada saat anak ayam yang baru

menetas mendapatkan makanan dan oksigen serta dapat menggunakan lemak yang

tersimpan dalam yolk sac secara maksimal (Rosebrough dkk., 1978). Kurangnya

jumlah glikogen dan albumin akan memaksa embrio untuk menggunakan protein

otot dalam jumlah besar. Hal ini akan menyebabkan terhambatnya pertumbuhan

embrio pada periode akhir inkubasi dan anak ayam yang baru menetas (Uni dkk.,

2005).

Uni dan Ferket (2003) melaporkan bahwa menyuntikkan nutrisi tambahan

pada periode inkubasi menyebabkan embrio tersebut secara alami mengkonsumsi

nutrien tersebut sebelum menetas. Penambahan nutrisi pada masa pertumbuhan

embrio dengan teknologi in ovo dapat meningkatkan status nutrisi pada saat

penetasan, sehingga dapat menghasilkan beberapa keuntungan. Keuntungan yang

dimaksud yaitu efisiensi yang tinggi dalam pemanfaatan nutrisi makanan,

menurunkan kematian pada periode post hatch, serta meningkatkan respon imun

pada saluran pencernaan dan meningkatkan pertumbuhan otot terutama otot daging

pada bagian dada.

Perkembangan Embrio

Berbeda dengan mamalia, embrio ayam bergantung pada nutrisi yang

disediakan oleh induknya dalam telur. Transfer nutrisi dari induk ke embrio selesai

sebelum diletakkan. Dengan demikian telur mengandung semua dari nutrisi yang

dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan embrio. Satu-satunya bahan

7
ditukar ke lingkungan adalah air (uap), oksigen dan karbon dioksida. Nutrisi yang

tersimpan dalam telur yaitu kuning (32% lemak, 17% protein, 1% karbohidrat dan

50% air) dan albumin ( 87% air dan 11% protein) (Foye, 2005).

Perkembangan embrional dimulai setelah terjadi pembuahan atau

pembentukan zigot. Sekitar lima jam setelah ovulasi dan telur berada dalam

isthmus, dan terjadi pembelahan sel pertama (cleavage). Pembelahan selanjutnya

terjadi sekitar 20 menit kemudian. Setelah itu, telur meninggalkan istmush satu jam

kemudian dan berlangsung perkembangan embrional dengan membentuk 16 sel.

Setelah sekitar 4 jam berada di uterus, telah terbentuk 256 sel sebagai blastoderm.

Proses penetasan tidak terlepas dari perkembangan embrio yang tumbuh di dalam

telur yang telah mengalami fertilisasi (Asmawati, 2014).

Embrio yang berkembang dibantu oleh kantung kuning telur, amnion, dan

alantois. Dinding kantung kuning telur dapat menghasilkan enzim yang berfungsi

mengubah isi kuning telur sehingga mudah diserap embrio. Amnion berfungsi

sebagai bantal, sedangkan alantois berfungsi sebagai pembawa oksigen ke embrio,

menyerap zat asam dari embrio, mengambil sisa-sisa pencernaan yang terdapat

dalam ginjal dan menyimpannya dalam alantois, serta membantu mencerna

albumin. Keempat membrane ini masing-masing merupakan satu lembaran sel

(Reece dan Mitchell, 2004).

Pemberian Nutrisi Tambahan pada Periode Inkubasi

Pemberian nutrisi tambahan pada periode inkubasi dengan teknik in ovo

merupakan suatu teknik yang bertujuan untuk memaksimalkan pertumbuhan dan

perkembangan embrio pada periode inkubasi. Berbagai jenis nutrisi seperti

karbohidrat, asam amino, asam lemak, dan vitamin telah banyak digunakan untuk

8
memaksimalkan potensi pertumbuhan terutama pada ayam ras pedaging, petelur

dan kalkun. Penambahan nutrisi tambahan pada periode inkubasi dilakukan untuk

memaksimalkan aktifitas organogenesis embrio (Salmanzadeh, 2012).

Nutrisi yang ditambahkan dengan teknik in ovo diyakini akan dimanfaatkan

oleh embrio. Menjelang tahap akhir penetasan, embrio yang sedang diinkubasi

mengunakan cadangan energinya untuk membantu proses penetasan (Christensen

dkk., 2001). Meskipun glukosa dapat disintesis dari lemak dan protein, glukosa juga

dihasilkan dari protein melalui proses glukoneogenesis atau glikolisis, cadangan

glikogen berkurang selama kuartal terakhir inkubasi karena oksigen terbatas (John

dkk., 1987). Oleh karena itu salah satu solusi untuk membantu embrio selama

proses inkubasi adalah memberikan nutrisi tambahan melalui in vo.

Kegiatan menyuntikkan nutrisi tambahan ke dalam telur dengan sasarannya

yaitu langsung ke embrio dapat meningkatkan kinerja pertumbuhan dengan

meningkatkan sirkulasi IGF dan glikogen cadangan serta meningkatkan penyerapan

nutrisi pada usus, meningkatkan aktivitas enzim usus, membantu dalam proses

penetasan serta meningkatkan pertumbuhan (Foye dkk., 2007). In ovo juga

berfungsi untuk mengatasi kendala pada pertumbuhan awal selama fase embrio dan

pertumbuhan setalah menetas pada unggas (Uni dan Ferket, 2003). Ohta dan Kidd,

(2001) melaporkan bahwa injeksi asam amino pada ayam broiler dapat

meningkatkan pertumbuhan embrio dan daya tetas.

Konsentrasi larutan yang diinjeksikan pada telur menjadi salah satu penentu

keberhasilan metode in ovo. Larutan tersebut, harus memiliki osmolaritas dan pH

yang sesuai dengan lingkungan embrio. Peneliti terdahulu umumnya menggunakan

penambahan saline 0,9% pada seyawa in ovo feeding tanpa menentukan osmolaritas

9
dan pH larutan (Shafey dkk., 2013). Konsentrasi terbaik yang dilaporkan peneliti

terdahulu sangatlah bervariasi. 0,7 g/100 ml saline 0,9% pada kalkun (Keralapurath

dkk., 2010), 1 g/100 ml saline 0,9% pada broiler (Shafey dkk., 2012),

Waktu injeksi dan target deposisi pada telur dengan teknik in ovo yang

dilaporkan sangat bervariasi. Al-Daraji dan Salih, (2012) melakukan injeksi hari

ke-0 inkubasi dengan target kantung udara. El-Azeem dkk. (2014) melakukan

injeksi hari ke-14 inkubasi dengan target amnion. Hasil penilitian Al-Shamery dan

Al-Shuhaib, (2015) menunjukkan bahwa penambahan nutrisi dengan teknik in ovo

yang dilakukan pada akhir periode inkubasi tidak dapat menstimulasi hiperplasi sel.

Pada periode tersebut, penambahan nutrisi dengan teknik in ovo hanya berfungsi

untuk meningkatkan ketersedian energi untuk aktifitas penetasan, pematangan sel,

dan cadangan energi setelah menetas.

Aktifitas hiperplasi tertinggi pada minggu ke-1 sampai ke-2 periode

inkubasi (Stockdale, 1992). Oleh karena itu, panambahan nutrisi melalui teknik in

ovo dengan tujuan menstimulasi aktifitas hiperplasi sel otot sebaiknya dilakukan

pada periode tersebut. Injeksi pada hari ke-7 merupakan periode inkubasi dengan

target albumin. Pada waktu tersebut, aktifitas absorsi substansi protein albumen

mulai meningkat (Baggott, 2001). Injeksi dengan target albumen lebih efektif

terhadap absorsi nutrisi dengan resiko kerusakan kantong embrio yang rendah

(Bhanja dan Mandal, 2005).

Foye dkk. (2006) juga melaporkan bahwa dengan melakukan penambahan

asam amino kedalam telur selama proses inkubasi dapat meningkatkan berat badan

ayam kalkun. Dalam penilitian Azhar (2016) melaporkan bahwa in ovo

mengunakan asam amino L-Arginine meningkatakan performa ayam kampung

10
pascatetas seperti peningkatan berat tetas, pertumbuhan berat badan, pertumbahan

dan penurunan konversi pakan.

Metabolisme Asam Amino L-Glutamin

Asam amino adalah unit dasar dari struktur protein. Semua asam amino

mempunyai sekurang-kurangnya satu gugusan amino (-NH2) pada posisi alfa dari

rantai karbon dan satu gugusan karboksil (-COOH). Fungsi asam amino sebagai

komponen struktur tubuh yang merupakan bagian dari enzim, sebagai prekursor

regulasi metabolit dan berperan dalam proses fisiologis. Asam amino diperlukan

untuk sintesis protein jaringan tubuh dan telur (Suprijatna dkk., 2005).

L-Glutamin merupakan asam amino alifatik bersifat polar tidak bermuatan,

merupakan amida dari asam glutamate, bersifat mudah larut dalam air karena

mempunyai gugus ekstra-NH2 yang bersifat polar. Glutamin diketahui menjadi

asam amino yang paling banyak keberadaannya pada cairan intraseluller. Glutamin

mempunyai dua grup ammonia, satu dari prekursornya yaitu glutamat dan yang

lainnya berasal dari ammonia bebas pada aliran darah (Antonio dkk., 1999).

Glutamin merupakan asam amino non essensial dimana dapat berubah fungsi

menjadi essensial pada kasus-kasus peradangan tertentu (Newsholme, 2001). Samli

dkk. (2007) melaporkan bahwa glutamin merupakan asam amino yang penting

dalam pemanfaatan sebagai sumber energi untuk perkembangan sistem pernapasan

gastrointestinal dan merangsang proliferasi sel usus, yang menuntun pada

peningkatan sumber penyerapan mukosa gastrointestinal dan menyebabkan akses

nutrisi.

11
L-Glutamin berperan penting sebagai prekursor untuk peptida dan sintesis

protein, sintesis asam amino, purin dan primidin, asam nukleat dan sintesis

nukleotida serta menyediakan sumber karbon untuk oksidasi dalam beberapa sel.

Namun, produk langsung dari metabolisme glutamin pada sebagian besar sel adalah

L-glutamat yang dihasilkan oleh aksi glutaminase (Gambar 1) (Newsholme dkk.,

2003).

Gambar 1. Metabolisme L-Glutamin (Newsholme dkk., 2003)

Marchini dkk. (1999) mengemukakan efek dari glutamin yaitu memberikan

efek nutrisi sederhana dengan cara menyediakan energi untuk mukosa saluran

pencernaan, meningkatkan sintesa DNA. Glutamin merupakan donor nitrogen

untuk sintesa purin dan pirimidin yang merupakan building blocks dari asam

nukleat yang diperlukan dalam jumlah besar selama proses replikasi sel,

meningkatkan sistem imunitas saluran pencernaan. Glutamin berperan sebagai

bahan bakar utama limfosit dan makrofag, meningkatkan aliran darah saluran

pencernaan.

Penelitian Bartell dan Batal (2007) diketahui bahwa pemberian glutamin

sebesar 1% dapat meningkatkan penggunaan dan absorbsi nutrien karena dapat

12
meningkatkan tinggi vili sehingga mempunyai area yang lebih banyak dalam

penggunaan nutrien. Ketika diberikan glutamin sebanyak 4% terjadi penurunan

performa yaitu menurunnya konsumsi pakan dan bobot badan, yang diketahui

sebagai indikasi dari efek toksik dari dosis glutamin yang diberikan tersebut.

L-Glutamin merupakan bahan bakar utama untuk perkembangan sel-sel

secara cepat seperti pada enterosit saluran pencernaan dan limfosit aktif

(Newsholme dan Calder, 2002). Pada penelitian Allee dkk. (2005), diketahui bahwa

pemberian suplementasi glutamin pada anak ayam sebanyak 1% pada pakan setelah

menetas dapat meningkatkan performa pertumbuhan, menurunkan angka kematian

dan mempunyai perkembangan intestinal yang lebih baik serta mempunyai respons

imun yang lebih tinggi.

L-Glutamin dapat mempercepat sintesis protein melalui deaminasi dan

transminasi yang dapat mencegah hewan kekurangan nutrisi (Boza dkk., 2001).

Selain dapat mensintesis protein, glutamin juga berperan dalam integritas dan

fungsi usus (Liu dkk., 2002), membantu pencernaan dan penyerapan nutrisi (Xiao-

ying dkk., 2010), sebagai sumber energi untuk pematangan sel mukosa (Maiorka

dkk., 2000), dan sebagai sistem kekebalan pada usus terhadap serangan bakteri

(Belmonte dkk., 2007). Hasil penelitian Samli dkk., (2007), yang melaporkan

glutamin adalah asam amino yang pemanfaatannya sebagai sumber energi untuk

perkembangan saluran pencernaan dan merangsang proliferasi sel usus, yang

menyebabkan peningkatan daya serap mukosa gastrointestinal dan penyaluran

nutrisi.

Produksi glukosa dari nutrien non-karbohidrat diketahui sebagai

glukoneogenesis. Glutamin adalah salah satu substrat non karbohidrat yang paling

13
efisien karena dapat digunakan sebagai energi. Pada beberapa sel sekitar 30% dari

degradasi glutamin dapat di konversikan menjadi laktat dan karbondioksida, dan

2% lagi dapat digunakan untuk makromolekul. Pemanfaatan glutamin dapat

meningkat ketika glukosa menurun, bahkan pada beberapa kondisi sel-sel dapat

bertahan dan tumbuh pada keadaan glukosa rendah dengan penambahan glutamin

yang cukup. Glutamin dapat di metabolisme pada siklus urea, jalur sintesis protein

dan siklus krebs untuk energi serta produksi dari sitrat, laktat dan glukosa (Antonio,

1999).

Glukosa yang berlebih akan disimpan dalam bentuk glikogen hati dan otot

sebagai cadangan energi dengan bantuan insulin (Bottje dkk., 2010; Chen dkk.,

2013). Hasil penelitian Dong dkk. (2013) menunjukkan bahwa peningkatan level

glikogen otot akhir periode inkubasi akan diikuti dengan peningkatan massa otot

setelah menetas.

Asam amino glutamin (Gln) berperan sebagai sumber energi bagi

pembelahan sel dan beberapa jalur metabolisme, mengatur metabolisme nutrisi,

ekspresi gen dan sintesis protein dan merangsang respon imun (Shafey dkk., 2013).

Kandungan asam amino glutamin didalam telur ayam ras yaitu sebesar 1,05%

(Heny, 2002). Glutamin memiliki banyak fungsi, maka dari itu penting untuk

memastikan jumlah glutamin dalam telur dapat mencukupi kebutuhan embrio pada

masa inkubasi dan setalah masa inkubasi untuk mengetahui perkembangan dan

kemampuan usus halus dalam menyerap zat nutrisi yang akan berdampak pada

performa ayam kampung.

14
Saluran Pencernaan Ayam Kampung

Kebutuhan nutrisi ayam yang digunakan setelah penetasan berasal dari yolk

sac. Setelah penetasan anak ayam mengkonsumsi yolk sac untuk daya tahan tubuh

dan perkembangan organ pencernaan. Sistem pencernaan merupakan sistem yang

terdiri dari saluran pencernaan dan organ-organ pelengkap yang berperan dalam

proses pencernaan bahan pakan yang dapat diserap oleh dinding saluran

pencernaan. Pada ternak unggas mempunyai saluran pencernaan yang sederhana,

yaitu terdiri dari rongga mulut, esophagus, tembolok, proventriculus, gizzard, usus

halus, caeca, usus besar, dan kloaka (Abun, 2007 ; Hamzah, 2013).

Rahmanto (2012) menyatakan histologis usus halus ayam broiler dan ayam

kampung memiliki perbedaan. Vili-vili pada usus halus ayam broiler memiliki

jumlah yang lebih banyak dan ukurannya lebih panjang dibandingkan vili-vili usus

halus pada ayam kampung. Tingkat efisiensi pakan ayam broiler lebih tinggi

daripada tingkat efisiensi pakan ayam kampung.

Denbow (2000) mengemukakan proses pencernaan kimiawi berlangsung

pada usus halus. Suprijatna dkk. (2008) Usus halus merupakan organ utama tempat

berlangsungnya pencernaan dan absorbsi produk pencernaan dan mempunyai

peranan penting dalam transfer nutrisi. Alfiansyah (2011) Usus halus merupakan

saluran berkelok-kelok yang memiliki banyak lipatan yang disebut vili atau jonjot-

jonjot usus. Rahayu dkk. (2011) mengemukakan bahwa pada ayam dewasa, panjang

usus halus sekitar 62 inci atau 1,5 meter.

Kemampuan pencernaan dan penyerapan zat-zat makanan dapat

dipengaruhi oleh luas permukaan epithel usus, jumlah lipatan-lipatannya, dan

banyaknya villi dan mikrovilli yang memperluas bidang penyerapan (Austic dan

15
Nesheim, 1990 ; Ibrahim 2008) dan dipengaruhi juga oleh tinggi dan luas

permukaan villi, duodenum, jejunum, dan ileum (Sugito, dkk., 2007 ; Ibrahim

2008). Usus halus broiler yang bertubuh berat adalah lebih panjang dan lebih luas

bidang absorpsinya dibanding dengan usus halus unggas yang bertubuh lebih ringan

(Yamauchi, dkk., 1991; Ibrahim, 2008).


Keterangan :

a = Tinggi vili
b = Lebar Apikal Vili
c = Lebar Basal Vili
d = Kedalaman Kripta

Gambar 2. Histologis Usus Halus Ayam (Sakiyo, 2007)

Vili ini berfungsi memperluas permukaan usus halus yang berpengaruh

terhadap proses penyerapan makanan (Alfiansyah, 2011). Perkembangan vili-vili

usus pada ayam broiler berkaitan dengan fungsi dari usus dan pertumbuhan dari

ayam tersebut (Sun, 2004). Vili merupakan tempat penyerapan zat zat gizi, semakin

lebar vili semakin banyak zat zat makanan yang akan diserap pada akhirnya dapat

berdampak pada pertumbuhan organ organ tubuh, karkas yang meningkat

(Asmawati, 2014). Peningkatan tinggi vili pada usus halus ayam pedaging berkaitan

erat dengan peningkatan fungsi pencernaan dan fungsi penyerapan karena

meluasnya area absorpsi serta merupakan suatu ekspresi lancarnya sistem

transportasi nutrisi keseluruh tubuh (Awad dkk., 2008). Salah satu parameter yang

16
dapat digunakan untuk mengukur kualitas pertumbuhan adalah struktur morfologis

usus. Tinggi vili dan kedalaman kripta pada semua bagian usus halus secara umum

meningkat seiring dengan bertambahnya umur ayam (Ningtias, 2013).

17
METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat

Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Januari 2017 sampai Mei 2017,

bertempat di :

a. Laboratorium Ilmu Produksi Ternak Unggas Fakultas Peternakan

Universitas Hasanuddin, Makassar.

b. Laboratorium Patologi Balai Besar Veteriner (BB-Vet) Maros.

c. Laboratorium Mikrobiologi dan Kesehatan Ternak Fakultas Peternakan

Universitas Hasanuddin, Makassar.

Alat dan Bahan Penelitian

Alat yang digunakan pada penelitian ini yaitu mesin tetas otomatis, gunting

bedah, teropong telur, timbangan analitik, timbangan gantung, termometer,

hidrometer, hand spray, stirrer, automatic syringe, gelas ukur, rak telur, mikroskop

zeiss primo star, kamera optiLab, program optiLab viewer 2.2, program axio vision

40 V 4.8.2.0, program SPSS 16.0, benang, pensil, tempat pakan, tempat air minum,

scalpel, pisau bedah dan botol plastik (stobles).

Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah telur ayam kampung fertil,

asam amino L-Glutamin, NaCl fisiologis 0,9%, alkohol 70%, formalin 10%, selotip

plastik, tissu dan kertas label, gloves, pakan komersil, vaksin, vitamin, antibiotik

dan sampel usus halus (duodenum, jejenum, ileum) ayam jantan yang dipreparasi

umur 77 hari masing-masing 3 ekor per perlakuan.

Rancangan Penelitian

Penelitian dilakukan dengan injeksi in ovo L-Glutamin yang diberikan pada

hari ke 7 masa inkubasi dengan 5 perlakuan yaitu :

18
Perlakuan:

P0 : Tanpa injeksi (kontrol negatif)

P1 : Injeksi 0,5 ml NaCl fisiologis

P2 : Injeksi 0,5 ml larutan 0,5 % glutamin dalam NaCl fisiologis

P3 : Injeksi 0,5 ml larutan 1 % glutamin dalam NaCl fisiologis

P4 : Injeksi 0,5 ml larutan 1,5 % glutamin dalam NaCl fisiologis

Hasil injeksi telur yang ditetaskan atau sampel (DOC) kemudian dilakukan

pemeliharaan yang ditempatkan secara eksperimen menggunakan Rancangan Acak

Lengkap (RAL) dengan 5 perlakuan (level injeksi L-Glutamin secara in ovo) dan 3

ulangan. Masing-masing diisi 1 ekor ayam tiap ulangan. Total ayam yang

digunakan sebanyak 15 ekor.

Prosedur Penelitian

1. Manajemen Pemeliharaan

Ayam yang digunakan dalam penilitian ini merupakan hasil penetasan yang

dilakukan di Laboratorium Produksi Ternak Unggas, Fakultas Peternakan,

Universitas Hasanuddin. Ayam kampung hasil injeksi in ovo asam amino glutamin,

ditempatkan secara acak pada 15 petak bambu (pen) dengan alas (litter) serbuk

gergaji yang berukuran panjang x lebar x tinggi (0,6 x 0,6 x 0,5 m). Pen disemprot

desinfektan menggunakan backpack sprayer. Setiap pen diisi 1 ekor ayam. Masing-

masing pen dilengkapi dengan tempat minum, tempat pakan, sebuah lampu pijar

(60 watt), waring dan kain penutup. Lampu berfungsi sebagai pemanas selama 14

hari pertama pemeliharaan, sedangkan dinding bambu berfungsi sebagai chick

guard yang dilapisi kertas untuk menghindari pelepasan panas didalam pen. Setelah

14 hari, lampu dimatikan pada siang hari kemudian diganti dengan pencahayaan di

19
dalam kandang dan kembali dinyalakan pada malam hari. Pemeliharaan

berlangsung selama 77 hari atau 11 minggu dengan memperhatikan manajemen

pemeliharaannya diantaranya pemberian air minum secara ad libitum, pemberian

pakan komersil, pemberian vitamin dan vaksin sesuai dengan kebutuhan.

Sumber air minum yang digunakan adalah air sumur yang telah diklorinasi

terlebih dahulu dan diberikan secara ad libitum dan dilakukan pergantian tiap pagi

dan sore hari. Pakan yang diberikan pada fase starter (umur 1 – 8 minggu) berupa

butiran kecil (crumble) dengan kandungan nutrisi sesuai dengan standar pakan

komersil yaitu protein 21- 23 % dan energi metabolisme (ME) 2600 Kcal,

sedangkan pakan untuk fase grower (9 – 18 minggu) berupa pakan campuran terdiri

dari jagung, konsentrat dan dedak (perbandingan 3:2:1) dengan kandungan protein

17 – 18 % dan energi metabolisme (ME) 2400 Kcal.

2. Preparasi Sampel Usus Halus

Preparasi sampel usus dilakukan pada hari ke-77 pemeliharaan. Sampel dipilih

setelah melakukan penimbangan berat badan. Ayam yang diambil setiap perlakuan

memiliki berat badan rata-rata antara berat badan ayam yang paling ringan dan yang

paling berat. Preparasi dimulai dengan memotong ayam pada bagian leher masing-

masing 1 ekor per pen pada penelitian. Sampel yang digunakan yaitu bagian-bagian

usus halus yang terdiri dari duodenum, jejenum dan ileum. Duodenum rentangannya

melipat membentuk putaran sejajar. Jejenum didefinisikan segmen usus halus bagian

tengah antara bagian akhir duodenum dan Meckel’s diverticulum. Ileum didefinisikan

segmen usus halus yang rentangannya adalah dari Meckel’s diverticulum sampai

dengan awal percabangan caeca. Sampel tersebut ditimbang dan diukur

panjangnya.

20
3. Preparasi Sampel Histologis

Pembuatan preparat histologis dengan pembuatan preparat Hematoxylin

Eosin (HE) dengan penginterpretasian data yang dilakukan, bekerjasama dengan

Balai Besar Veteriner (BB-Vet) Maros dengan prosedur pengujian histologis secara

sederhana sebagai berikut :

Penyiapan sampel usus halus yang untuk studi histologis adalah sampel usus

halus yang sudah diperoleh dibuat potongan sepanjang 2 cm untuk masing-masing

segmen usus halus yakni duodenum, jejunum dan ileum kemudian difiksasi dalam

10% buffer formalin, dibiarkan terendam 24 – 48 jam, dan untuk selanjutnya dibuat

preparat histologis. Cara penyiapan preparat haematoxylin – eosin, setiap potongan

sampel jaringan dihidrasi melalui satu seri alkohol yang konsentrasinya bertingkat

semakin meninggi. Sampel ditransfer satu demi satu kedalam setiap konsentrasi

alkohol dan dibiarkan untuk terendam dalam setiap konsentrasi alkohol tersebut

kira-kira 10 detik.

Untuk selanjutnya sampel tersebut dimasukkan dalam xytol dan akhirnya

dicelupkan dalam parafin. Menggunakan microtome, sampel disayat tipis untuk

seterusnya dilakukan pengecatan haematoxylin–eosin. Preparat histologis yang

sudah siap dalam objek glas diamati dan diukur menggunakan mikroskop dengan

bantuan komputer.

4. Pengukuran Tinggi Vili, Lebar Vili dan Kedalaman Kripta

Langkah untuk pengukuran tinggi vili, lebar vili dan kedalaman kripta.

Terlebih dahulu obyek ditentukan menggunakan mikroskop zeiss primo star yang

dilengkapi proyektor (kamera) optiLab diatur dengan perbesaran 40 kali. Gambaran

histologis muncul pada layar monitor optilab viewer 2.2. Setelah ditemukan

21
morfologi usus sesuai dengan yang diharapkan, dilakukan pemotretan seluruh

preparat yang akan diukur. Pengukuran minimum tiga kali per slide yang dibuat

untuk setiap parameter. Selanjutnya cara pengukuran tinggi villi, lebar villi dan

kedalaman kripta dilakukan menggunakan komputer layar datar dengan program

axio vision 40 V 4.8.2.0 pada perbesaran 40 kali. Mula-mula standar ukuran µm

ditentukan lebih dahulu dengan bantuan komputer yaitu berapa nilai perbesaran

yang dipakai atau diinginkan dikonversikan kedalam satuan panjang (µm). Angka

satuan µm yang diperoleh selanjutnya digunakan sebagai standar dalam mengukur

panjang atau lebar vili yang terpampang pada layar monitor.

Parameter yang diukur

1) Morfometri Usus Halus

a. Berat Usus Halus (Hamzah, 2013 dengan modifikasi)

Berat usus halus (g) utuh dan berat setiap segmennya (duodenum, jejunum,

ileum) dicuci menggunakan NaCl 0,9% kemudian ditimbang menggunakan

timbangan analitik. Kemudian berat duodenum, jejenum dan ileum disajikan

dalam bentuk persentase (%) terhadap berat total usus halus. Persentase berat

usus halus dapat diperoleh dengan cara sebagai berikut.

𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑒𝑔𝑚𝑒𝑛 𝑢𝑠𝑢𝑠 ℎ𝑎𝑙𝑢𝑠


Persentase berat segmen usus halus = × 100%
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑢𝑠𝑢𝑠 ℎ𝑎𝑙𝑢𝑠

b. Panjang Usus Halus

Panjang usus halus (cm) utuh dan panjang setiap bagiannya (duodenum,

jejunum, ileum). Panjang usus halus (cm) diukur mulai dari pangkal gizzard

hingga pertemuan saluran empedu (duodenum) lalu pertemuan saluran empedu

hingga meckel’s divertikulum (jejenum) dan dari meckel’s divertikulum hingga

percabangan caeca (ileum). Panjang usus halus diukur menggunakan pita ukur.

22
Panjang duodenum, panjang jejenum dan panjang ileum disajikan dalam bentuk

persentase (%) terhadap panjang total usus halus. Persentase panjang segmen

usus halus dapat diperoleh dengan cara sebagai berikut.

𝑝𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔 𝑠𝑒𝑔𝑚𝑒𝑛 𝑢𝑠𝑢𝑠 ℎ𝑎𝑙𝑢𝑠


Persentase panjang segmen usus halus = × 100%
𝑝𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑢𝑠𝑢𝑠 ℎ𝑎𝑙𝑢𝑠

2) Pengukuran Sampel Histologis (Iji dkk., 2001)

a) Pengukuran tinggi vili ((µm) : diukur jarak tertinggi dari vili

b) Pengukuran Lebar vili (µm) : diukur lebar apikal dan lebar basal vili kemudian

dirata-ratakan.

c) Kedalaman kripta (µm): diukur jarak terdalam kripta

Keterangan :

a = Tinggi vili
b = Kedalaman Kripta
c = Lebar Basal Vili
d = Lebar Apikal Vili

Gambar 3. Pengukuran Tinggi Vili, Lebar Vili dan Kedalaman Kripta (Iji dkk.,
2001)

d) Luas permukaan vili usus

Penghitungan luas permukaan vili usus (µm2) menggunakan metode Iji,

dkk. (2001) yang dimodifikasi dengan asumsi bahwa model vili adalah analog

bentuk trapezium sehingga jumlah rata-rata antara lebar apikal vili ditambah jumlah

rata-rata lebar basal vili dibagi dua kemudian dikali tinggi vili. Secara matematis

dirumuskan sebagai berikut.

23
𝑏+𝑐
Luas Permukaan Vili = x𝑎
2

Keterangan :

a : Tinggi vili usus

b : Lebar apikal usus

c : Lebar basal usus

Analisa Data

Data yang diperoleh dianalisis ragam berdasarkan Rancangan Acak

Lengkap (RAL) dengan model matematika sebagai berikut :

Yij = µ + ᴛi + ɛij

i = 1, 2, 3, 4, 5 (jumlah perlakuan)

j = 1, 2, 3 (jumlah ulangan)

Keterangan :

Yij = Hasil pengamatan perlakuan ke-i dan ulangan ke-j

µ = Rata-rata pengamatan

ᴛi = Pengaruh perlakuan ke-i

ɛij = Pengaruh galat percobaan dari perlakuan ke-i dan ulangan ke-j.

Apabila perlakuan memperlihatkan pengaruh yang nyata maka dilanjutkan

dengan uji Duncan (Gaspersz, 1991).

24
HASIL DAN PEMBAHASAN

Morfometri Usus Halus Ayam Kampung Jantan

a. Berat Usus Halus Ayam Kampung Jantan

Kemampuan usus dalam memanfaatkan nutrisi ditentukan oleh

perkembangan saluran percernaan secara morfologis dan fisiologis. Berat

merupakan salah satu tolak ukur untuk mengetahui perkembangan dan

pertumbuhan usus halus.

Berat usus halus ayam kampung jantan hasil in ovo feeding asam amino L-

Glutamin dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Berat Total Usus Halus dan Persentase Berat Duodenum, Jejenum dan
Ileum dari Berat Total Usus Halus
Berat Total Berat Berat Berat
Perlakuan Usus Halus Duodenum Jejenum Ileum
(g) (%) (%) (%)
P0 22,38 ± 3,00 27,28 ± 1,55 39,62 ± 2,48 33,09 ± 2,86
P1 24,64 ± 4,11 28,89 ± 3,81 38,92 ± 1,89 32,17 ± 1,92
P2 24,13 ± 1,14 29,47 ± 4,24 41,59 ± 3,01 28,93 ± 1,62
P3 23,68 ± 2,98 29,23 ± 1,55 38,67 ± 2,07 32,09 ± 0,53
P4 21,41 ± 0,97 26,47 ± 1,54 41,49 ± 0,70 32,04 ± 2,14
*P0 (Kontrol negatif, tanpa injeksi), P1 (Kontrol positif, injeksi dengan larutan NaCl fisiologis tanpa
L-Glutamin), P2 (Injeksi 0,5 ml larutan 0,5 % L-Glutamin dalam NaCl fisiologis), P3 (Injeksi 0,5
ml larutan 1 % L-Glutamin dalam NaCl fisiologis), P4 (Injeksi 0,5 ml larutan 1% L-Glutamin dalam
NaCl fisiologis).

In ovo feeding asam amino L-Glutamin tidak memberikan pengaruh yang

nyata (P>0,05) terhadap berat total usus halus, berat duodenum, berat jejenum dan

berat ileum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa L-Glutamin belum

mempengaruhi berat usus halus. Diduga selama proses perkembangan dan

pertumbuhan saat embrio hingga pemeliharaan sampai hari ke-77 dapat dipengaruhi

oleh peningkatan pertumbuhan semua organ seiring dengan bertambahnya umur

ayam. Selain itu, pada umur 77 hari proses hiperplasi telah menurun sehingga

25
nutrisi pakan hanya akan berpengaruh terhadap ukuran sel bukan pertambahan sel.

Proses hiperplasi tertinggi terjadi sejak pertumbuhan embrio pada saat proses

inkubasi dan selanjutnya proses hipertropi hingga minggu ke-2 pemeliharaan

setelah ayam menetas (Stockdale, 1992). Kondisi tersebut dapat menyebabkan

tingkat kecernaan pakan dan daya serap nutrisi relatif sama.

Amrullah (2004) menyatakan bahwa ukuran panjang tebal dan bobot

berbagai bagian saluran pencernaan bukan merupakan besaran yang statis.

Perubahan dapat terjadi selama proses perkembangan karena dapat dipengaruhi

oleh jenis dan jumlah ransum yang diberikan.

Menurut Cahyono dkk. (2012), persentase bobot usus halus yang sama

terhadap bobot hidup dipengaruhi oleh daya cerna nutrisi pakan yang relatif sama,

jika konsumsi pakan meningkat, maka permukaan dari usus akan mengalami

perluasan karena kinerja usus akan meningkat pada proses absorbsi nutrisi pada

pakan. Vili yang terdapat di dalam usus memiliki peran penting dalam proses

penyerapan nutrisi makanan. Penyerapan nutrisi yang maksimal akan berdampak

positif terhadap bobot hidup ayam.

b. Panjang Usus Halus Ayam Kampung Jantan

Ukuran panjang usus halus dapat mempengaruhi tingkat absorbsi zat-zat

nutrisi pakan. Usus halus yang panjang memiliki vili yang banyak dan permukaan

yang lebih luas, sehingga memungkinkan lebih optimal dalam menyerap zat-zat

nutrisi dibanding ukuran usus halus yang pendek.

Berbagai reaksi enzimatis terjadi di dalam usus halus yang berfungsi untuk

mempercepat dan mengefisiensikan pemecahan karbohidrat, protein, dan lemak

utuk mempermudah proses absorbsi. Jika konsumsi pakan meningkat maka panjang

26
dan luas permukaan usus akan meningkat karena kinerja usus akan mengalami

peningkatan pada proses absorbsi nutrisi pada pakan (Suprijatna dkk., 2008).

Panjang usus halus ayam kampung jantan hasil in ovo feeding asam amino

L-Glutamin dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Panjang Total Usus Halus dan Persentase Panjang Duodenum, Jejenum
dan Ileum dari Panjang Total Usus Halus
Panjang Total Panjang Panjang Panjang
Perlakuan Usus Halus Duodenum Jejenum Ileum
(cm) (%) (%) (%)
b
P0 77,26 ± 14,87 24,91 ± 0,19 38,00 ± 2,36 37,07 ± 2,23
b
P1 91,73 ± 17,51 23,58 ± 1,38 36,77 ± 5,42 39,64 ± 4,85
b
P2 77,83 ± 9,45 24,18 ± 0,95 37,99 ± 5,52 37,82 ± 5,15
b
P3 86,63 ± 12,82 24,76 ± 1,40 35,48 ± 1,98 39,75 ± 1,76
a
P4 86,56 ± 7,45 19,96 ± 3,28 37,31 ± 4,91 42,72 ± 1,83
*P0 (Kontrol negatif, tanpa injeksi), P1 (Kontrol positif, injeksi dengan larutan NaCl fisiologis tanpa
L-Glutamin), P2 (Injeksi 0,5 ml larutan 0,5 % L-Glutamin dalam NaCl fisiologis), P3 (Injeksi 0,5
ml larutan 1 % L-Glutamin dalam NaCl fisiologis), P4 (Injeksi 0,5 ml larutan 1% L-Glutamin dalam
NaCl fisiologis).
Ket: a,b Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menandakan perbedaan signifikan (P<0,05)

Hasil penelitian (Tabel 3) menunjukkan bahwa in ovo feeding asam amino

L-Glutamin memberikan pengaruh yang nyata (P<0,05) terhadap panjang

duodenum usus halus ayam kampung jantan. Namun, tidak memberikan pengaruh

yang nyata (P>0,05) terhadap panjang jejenum, panjang ileum dan panjang

keseluruhan usus halus ayam kampung jantan. Hal ini diduga karena laju

pertumbuhan usus halus hingga pemeliharaan 77 hari telah menurun. Hal ini sesuai

dengan pendapat Jull (1972) bahwa laju pertumbuhan saluran pencernaan tertinggi

pada unggas terjadi pada saat menetas hingga umur 6 minggu dan setelah itu

pertumbuhannya berangsur–angsur menurun dan bahkan pada suatu saat akan

terhenti. Ileum memiliki ukuran lebih panjang dari duodenum dan jejenum karena

ileum merupakan pusat absorbsi zat-zat nutrisi dengan asusmsi semakin panjang

ukuran usus halus, maka semakin luas permukaan area absorbsi.

27
Histologi Usus Halus Ayam kampung Jantan

Histologis usus halus ayam kampung hasil in ovo feeding asam amino L-

Glutamin dapat dilihat pada tabel 4.

Tabel 4. Histologis Usus Halus Ayam Kampung Jantan Hasil In Ovo Feeding Asam
Amino L-Glutamin
Tinggi Lebar Luas Permukaan Kedalaman
Vili Vili Vili Kripta
Perlakuan (µm) (µm) 104 (µm 2) (µm)

Duodenum
P0 1113,0±334,3a 173,9±66,0a 20,71±11,86a 350,6±1,71b
P1 1310,0±196,9ab 292,0±27,4b 38,56±8,77ab 269,9±8,45a
P2 1527,0±159,9ab 462,2±72,5c 70,50±12,22c 343,8±20,86b
P3 1551,0±120,0b 322,3±70,2b 49,58±8,03b 355,3±37,16b
P4 1723,0±94,5b 311,7±39,0b 53,89±9,66bc 348,2±13,68b
Jejenum
P0 1670,5±285,4 312,9±62,4 51,39±1,49b 326,2±20,7ab
P1 1504,1±118,0 250,8±57,5 37,90±9,88ab 361,2± 46,5b
P2 1650,9±191,0 263,8±37,3 43,79±10,11b 362,3± 3,1b
P3 1236,8±312,7 230,0±67,0 27,15±4,36a 378,4± 27,6b
P4 1660,3±6,7 136,8±30,3 22,73±5,13a 275,9± 15,1a
Ileum
P0 1174,3±87,2b 206,1±37,1a 24,15±4,45ab 221,0±12,7a
P1 784,4±182,2a 306,5±53,0cb 21,75±0,72ab 262,0±46,2a
P2 1217,2±232,1b 262,9±8,7abc 32,13±7,10b 212, 9±33,7a
P3 739,1±107,8a 228,7±1,2ab 14,89±5,92a 248,4±53,0a
P4 1034,1±21,9ab 321,7±44,2c 33,32±5,31b 331,4±28,7b
*P0 (Kontrol negatif, tanpa injeksi), P1 (Kontrol positif, injeksi dengan larutan NaCl fisiologis tanpa
L-Glutamin), P2 (Injeksi 0,5 ml larutan 0,5 % L-Glutamin dalam NaCl fisiologis), P3 (Injeksi 0,5
ml larutan 1 % L-Glutamin dalam NaCl fisiologis), P4 (Injeksi 0,5 ml larutan 1% L-Glutamin dalam
NaCl fisiologis),
Ket: a,b Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menandakan perbedaan signifikan (P<0, 05)

a. Tinggi Vili

Hasil penelitian (Tabel 4) menunjukkan bahwa in ovo feeding asam amino

L-Glutamin memberikan pengaruh yang nyata (P<0,05) terhadap tinggi vili

duodenum dan tinggi vili ileum. Namun, tidak memberi pengaruh yang nyata

(P>0,05) terhadap tinggi vili jejenum.

28
Tinggi vili duodenum injeksi asam amino L-Glutamin 1% (P3) dan injeksi

asam amino L-Glutamin 1,5% (P4) lebih tinggi dari tinggi vili duodenum P0 tanpa

injeksi. Tinggi vili jejenum tidak memiliki perbedaan per perlakuan. Pada tinggi

vili ileum injeksi asam amino L-Glutamin 1% (P3) lebih rendah dari tinggi vili P0

tanpa injeksi. Hal ini menunjukkan bahwa in ovo feeding asam amino L-Glutamin

1% dan 1,5% dapat memicu poliferasi sel-sel usus duodenum selama fase embrio

(Samli dkk., 2001) sehingga berdampak positif terhadap perkembangan sel hingga

ke fase selanjutnya. Marchini dkk. (1999) menyatakan bahwa efek dari glutamin

yaitu memberikan efek nutrisi sederhana dengan cara menyediakan energi untuk

mukosa saluran pencernaan. Asmawati (2014) melaporkan bahwa tingginya ukuran

vili diduga karena injeksi asam amino dapat meningkatkan terjadinya hiperplasi dan

hipertropi pada usus halus pada masa embrio. Mile dkk. (2006) menyatakan bahwa

peningkatan tinggi vili diasosiasikan dengan lebih luasnya permukaan vili untuk

absorbsi nutrien masuk ke dalam aliran darah.

Tinggi vili jejenum yang tidak berbeda diduga karena pengaruh asam amino

L-Glutamin pada masa embrio tidak semaksimal duodenum dan ileum. Dalam

pembentukan organ pada masa embrio, usus bagian depan (duodenum) dan bagian-

bagiannya yang pertama terbentuk baru kemudian usus bagian tengah (jejenum dan

ileum) dan usus bagian belakang (usus besar) (Salmah, 1984). Sedangkan vili

berkembang hingga hari ke 10 dan kripta berkembang hingga hari ke 12 (Asmawati,

2014). Asam amino L-Glutamin merupakan asam amino non esensial, namun dapat

berubah fungsi menjadi esensial pada kasus-kasus peradangan tertentu

(Newsholme, 2001). Diduga fungsi asam amino L-Glutamin pada usus halus ayam

kampung setelah menetas hingga pemeliharaan 77 hari lebih mengarah kepada

29
sintesis protein (Liu dkk., 2002), membantu pencernaan dan penyerapan nutrisi

(Xiao-ying dkk., 2010), sebagai sumber energi untuk pematangan sel mukosa

(Maiorka dkk., 2000) dan sebagai sistem kekebalan pada usus terhadap serangan

bakteri (Belmonte dkk., 2007). Sehingga tidak lagi berfungsi untuk penambahan

jumlah sel.

b. Lebar Vili

Hasil penelitian (Tabel 4) menunjukkan bahwa in ovo feeding asam amino

L-Glutamin memberikan pengaruh yang nyata (P<0.05) terhadap lebar vili

duodenum dan lebar vili ileum. Namun, tidak memberikan pengaruh yang nyata

(P>0,05) terhadap lebar vili jejenum. Lebar vili duodenum injeksi asam amino L-

Glutamin 0,5% (P2) lebih lebar dibanding semua perlakuan dan lebar vili

duodenum injeksi asam amino L-Glutamin 1% (P3) dan 1,5% (P4) lebih lebar

dibanding P0 tanpa injeksi. Lebar vili jejenum tidak menunjukkan perbedaan per

perlakuan. Lebar vili ileum injeksi asam amio L-Glutamin 1,5% (P4) lebih lebar

dari P0 tanpa injeksi dan injeksi asam amino L-Glutamin 1% (P3), begitupun

kontrol positif (injeksi NaCl 0,9% tanpa L-Glutamin) terhadap P0 tanpa injeksi.

Diduga injeksi asam amino L-Glutamin pada masa embrio lebih optimal

pemanfaatannya terhadap pertumbuhan dan perkembangan lebar vili usus bagian

duodenum dan ileum ayam kampung jantan, sehingga berdampak positif hingga

ayam menetas sampai umur 11 minggu (77 hari). Peningkatan lebar vili dan tinggi

vili dapat memperluas area absorbsi vili. Menurut Asmawati (2014), semakin lebar

vili semakin banyak zat-zat makanan yang akan diserap pada akhirnya dapat

berdampak pada pertumbuhan organ tubuh.

30
Lebar vili jejenum memiliki respon yang berbeda terhadap asam amino L-

Glutamin yang menunjukkan tidak ada perbedaan hasil. Kondisi ini, selain

dipengaruhi faktor dosis dan pemanfaatan asam amino L-Glutamin yang

diinjeksikan selama masa embrio kemungkinan juga dipengaruhi oleh perbedaan

fungsi setiap segmen usus dalam proses pencernaan dan penyerapan absorbsi zat-

zat nutrisi pakan. Menurut Foye dkk. (2007), kegiatan menyuntikkan nutrisi

tambahan ke dalam telur dengan sasarannya yaitu langsung ke embrio dapat

meningkatkan kinerja pertumbuhan dengan meningkatkan sirkulasi insulin growth

factor (IGF) dan glikogen cadangan serta meningkatkan penyerapan nutrisi pada

usus, meningkatkan aktivitas enzim usus, membantu dalam proses penetasan serta

meningkatkan pertumbuhan. Shafey dkk. (2013) menyatakan bahwa konsentrasi

larutan yang diinjeksikan pada telur menjadi salah satu penentu keberhasilan

metode in ovo. Larutan tersebut, harus memiliki osmolaritas dan pH yang sesuai

dengan lingkungan embrio.

c. Luas Permukaan Vili

Hasil penelitian (Tabel 4) menunjukkan bahwa in ovo feeding asam amino

L-Glutamin memberikan pengaruh yang nyata (P<0,05) terhadap luas permukaan

vili duodenum, jejenum dan ileum. Luas permukaan vili duodenum injeksi asam

amino L-Glutamin 0,5% (P2) lebih luas dibanding injeksi asam amino L-Glutamin

1% (P3), injeksi NaCl 0,9% tanpa glutamin (P1) dan tanpa injeksi (P0), namun tidak

berbeda dengan injeksi asam amino L-Glutamin 1,5% (P4). Luas permukaan vili

jejenum injeksi asam amino L-Glutamin 0,5% (P2) lebih luas dibanding injeksi

asam amino L-Glutamin 1% (P3), 1,5% (P4) namun tidak berbeda dengan injeksi

NaCl 0,9% tanpa glutamin (P1) dan tanpa injeksi (P0). Luas permukaan vili ileum

31
injeksi asam amino L-Glutamin 1% (P3) lebih sempit dibanding injeksi asam amino

L-Glutamin 0,5% (P2) 1,5% (P4) dan injeksi NaCl 0,9% tanpa glutamin (P1),

namun tidak berbeda dengan tanpa injeksi (P0).

Hal ini menunjukkan asam amino L-Glutamin dengan dosis perlakuan

tersebut memiliki pengaruh positif terhadap luas permukaan vili. Luas permukaan

vili pada usus berpengaruh terhadap tingkat absorbsi nutrisi. Menurut Guyton

(1997), semakin luas permukaan vili menunjukkan semakin efisien penyerapan

nutrien yang terjadi. Efisiensi penyerapan nutrien tidak terlepas dari kerja

hormonal, saraf dan kelenjar-kelenjar pencernaan yang berada di dalam saluran

pencernaan dan kelenjar asesorisnya.

Kemampuan pencernaan dan penyerapan zat-zat makanan dapat

dipengaruhi oleh luas permukaan epithel usus, jumlah lipatan-lipatannya, dan

banyaknya vili dan mikrovili yang memperluas bidang penyerapan (Austic dan

Nesheim, 1990 ; Ibrahim 2008) dan dipengaruhi juga oleh tinggi dan luas

permukaan vili duodenum, jejunum, dan ileum (Sugito, dkk., 2007 ; Ibrahim 2008).

d. Kedalaman Kripta

Hasil penelitian (Tabel 4) menunjukkan bahwa in ovo feeding asam amino

L-Glutamin memberikan pengaruh yang nyata (P<0,05) terhadap kedalaman kripta

duodenum, kedalaman kripta jejenum dan kedalaman kripta ileum. Kedalaman

kripta duodenum injeksi asam amino L-Glutamin 0,5% (P2), 1% (P3) dan 1,5%

(P4) lebih dalam dari P1 (injeksi NaCl 0,9% tanpa glutamin), namun tidak berbeda

dengan P0 tanpa injeksi. Kedalaman kripta jejenum injeksi asam amino L-Glutamin

1.5% (P4) lebih dangkal dari injeksi asam amino L-Glutamin 0,5% (P2), 1% (P3)

dan injeksi NaCl 0,9% tanpa glutamin (P1) namun tidak berbeda dengan P0 tanpa

32
injeksi. Kedalaman kripta ileum injeksi asam amino L-Glutamin 1,5% (P4) lebih

dalam dari semua perlakuan.

Hal ini diduga karena pertumbuhan kripta usus halus tidak lagi terjadi

hingga umur 11 minggu (77 hari). Selain itu, diduga karena tingkat dosis asam

amino L-Glutamin yang diinjeksikan tidak mempengaruhi perutmbuhan sel-sel

kripta sejak embrio. Jika sejak embrio kriptanya berkembang dengan baik maka

akan berdampak positif hingga ke fase selanjutnya begitupun sebaliknya. Dosis

tersebut (perlakuan) tidak memberikan dampak terhadap pertumbuhan kripta usus

halus duodenum dan jejenum, bahkan pada dosis injeksi 1,5 % (P4) kedalaman

kripta jejenum lebih dangkal dari dosis injeksi lainnya. Namun, berbeda dengan

kedalaman kripta ileum, dosis 1,5% (P4) menunjukkan pertumbuhan kripta yang

lebih baik dari dosis lainnnya. Hal ini menunjukkan tingkat dosis yang berbeda

memberikan respon yang berbeda pula terhadap pertumbuhan kripta usus halus.

Menurut Uni dkk. (2000) dan Geyra dkk. (2001), terjadi peningkatan kripta

dimulai 2 sampai 3 hari setelah penetasan. Peningkatan tersebut berhubungan

dengan peningkatan jumlah dan ukuran sel. Hal yang sama dilaporkan Uni dkk.

(1999) dan Sklan, (2001), perubahan secara morfologi kemampuan jaringan usus

untuk mencerna dan mengabsorbsi nutrien meningkat selama minggu pertama

setelah ayam menetas.

Meningkatnya ukuran kedalaman kripta disertai tinggi vili akan

berpengaruh pada peningkatan kemampuan pencernaan. Semakin tinggi ukuran

vili dan kedalaman kripta maka semakin luas bidang penyerapan nutrisi oleh

dinding usus halus sehingga akan memicu pada peningkatan pertumbuhan

(Rahmawati, 2016).

33
Kebutuhan nutrisi pada periode pertumbuhan atau perkembangan awal

setelah ayam menetas tergantung pada kemampuan adaptasi alat pencernaan

berdasarkan morfologi dan fungsi (Zhou dkk., 1990). Meningkatnya pertumbuhan

histologis usus halus dapat membantu anak ayam dalam mencerna pakan yang

diberikan lebih awal. Setelah menetas, anak ayam masih memiliki sisa yolk sac

yang terserap kedalam ususnya sebagai nutrisi pada awal penetasan sebelum

mendapatkan pakan dalam bentuk padat. Anak ayam yang memiliki pertumbuhan

organ saluran pencernaan yang cepat dapat dengan cepat menyesuaikan pakan yang

diberikan lebih awal. Perkembangan organ saluran pencernaan yang cepat dapat

memicu peningkatan pertumbuhan yang lebih cepat (Choct, 2009 ; Kidd, 2009).

34
KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian studi morfometri dan histologis usus halus

ayam kampung jantan hasil in ovo feeding asam amino L-Glutamin dapat

disimpulkan bahwa :

1. Berat usus halus tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan.

2. Panjang usus halus menunjukkan perbedaan yang signifikan terutama pada

persentase panjang duodenum terhadap berat total usus halus.

3. Tinggi vili, lebar vili, luas permukaan vili dan kedalaman kripta menunjukkan

perbedaan yang signifikan terutama pada duodenum dan ileum.

Saran

Diharap adanya penelitian lebih lanjut mengenai in ovo feeding asam amino

L-Glutamin dengan dosis yang lebih beragam dengan waktu injeksi yang sama atau

dosis yang sama namun waktu injeksi yang berbeda untuk mengetahui pemanfataan

optimal asam amino tersebut untuk digunakan dalam teknologi penetasan.

35
DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Z. 2002. Meningkatkan Produktivitas Ayam Kampung Pedaging.


AgroMedia Pustaka. Jakarta.

Abun. 2007. Pengukuran nilai kecernaan pakan yang mengandung limbah udang
windu produk fermentasi pada ayam broiler. Laporan Penelitian. Unpad.
Jatinangor.

Al-Daraji, H.J. and A.M. Salih. 2012. Effect of dietary L-arginine on


productive performance of broiler chicken. Pakistan Journal of
Nutrition 11 (3) : 252-257.

Alfiansyah, Muhammad. 2011. Anatomi dan Pencernaan Usus Halus. http://www.


sentra-edukasi.com/. Diakses tanggal 20 Februari 2017.

Allee, G.L, G.F. Yi, C.D. Knight and J.J. Dibner. 2005. Impact of Glutamin and
oasis supplement on growth performance, small Intestine morphology, and
Immune response of broiler vaccinated and challenge with Eimeria Maxima.
Poult Sci 84: 183-293.

Al-Shamery, N.J. and M.B.S. Al-Shuhaib. 2015. Effect of in ovo injection of


various nutrients on the hatchability, mortality ratio and weight of the broiler
chickens. IOSR Journal of Agriculture and Veterinar Science 8 (2): 30-33.

Anggorodi, R.1990. Ilmu Makanan Ternak Umum. Jakarta: Penerbit PT. Gramedia.

Antonio J, Street C. 1999. Glutamin: a potentially useful supplement for athletes.


Can J Appl Physiol 24(1): 1-14.

Aryanti, F., M.B. Aji, dan N. Budiono. 2013. Pengaruh pemberian air gula
merah terhadap performans ayam kampung pedaging. Jurnal Sain
Veteriner 31 (2) : 156-165.

Asmawati. 2014. The Effect of In Ovo Feeding on Hatching Weight and Small
Intestinal Tissue Development of Native Chicken. Disertasi. Program
Pascasarjana Universitas Hasanuddin, Makassar.

Austic, R. E. and Nesheim., 1990. Poultry Production, 13th ed. Lea and Febiger.
Philadelph. London. p.29-30.

Awad, W.A., K. Ghareeb, S. Nitclu S. Pasteiner, S.A. Raheem, and J. Bohm. 2008.
Efect of dietary inclusion of probiotic, prebiotic and symbiotic on intestinal
glucose absorb'tion of broiler chickens. Lrt. J. Poult. Sci. 7: 688-691.

36
Azhar, M. 2016. Performa ayam kampung pra- dan pasca-tetas hasil in ovo feeding
L-arginine. (Thesis belum publikasi). Fakultas Ilmu dan Teknologi
Peternakan Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin.

Baggott, G.K. 2001. Development of extra-embryonic membranes and fluid


compartments. In: Deeming, D.C. (ed.) Perspectives in Fertilisation and
Embryonic Development in Poultry. Lincolnshire, UK: Ratite Conference
Books, pp. 23-29.

Bale-Therik, J.F., C. Sabuna, and K. Jusoff. 2012. Influence of grit performance of


local chicken under intensive management system. Global Veterinaria 9 (2):
248-251.

Bartell, S. M. and A. B. Batal. 2007. The effect of supplemental Glutamin on


growth performance, development of gastrointestinal tract, and humoral
immune response of broiler. Poult Sci 86: 1940-1947.

Belmonte, L., M. Coëffier, F. Le Pessot, O. Miralles-Barrachina, M. Hiron, A.


Leplingard, J. F. Lemeland, B. Hecketsweiler, M. Daveau, P. Ducrotté dan
P. Déchelotte. 2007. Effects of Glutamin supplementation on gut barrier,
glutathione content and acute phase response in malnourished rats during
inflammatory shock. World. J. Gastr. 13:2833-2840.

Bhanja, S. K. and A. B. Mandal. 2005. Effect of in ovo injection of critical amino


acids on pre- and post-hatch growth, immunocompetence and development
of digestive organs in broiler chickens. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 18 (4) :
524-531.

Biyatmoko, D. 2003. Permodelan usaha pengembangan ayam kampung dan upaya


perbaikannya di pedesaan. Makalah disampaikan padaTemu Aplikasi Paket
Teknologiُ Pertanianُ Subsektorُ Peternakan.ُ Banjarbaru,ُ 8−9ُ Desemberُ
2003. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan,
Banjarbaru.hlm.ُ1−10.

Bottje, W., A. Wolfenden, L. Ding, R. Wolfenden, M. Morgan, N. Pumford,K.


Lassiter, G. Duncan, T. Smith, T. Slagle, and B. Hargis. 2010. Improved
hatchability and posthatch performance in turkey poults receiving a dextrin-
iodinated casein solution in ovo. Poultry Science 89 : 2646–2650.

Boza, J. J., T. Marco dan M. Denis. 2001. Effect of Glutamin supplementation of


the diet on tissue protein synthesis rate of glucocorticoid-treated rats.
Nutrition 17:35-40.

Chen, W., Y.T. Lv, H.X. Zhang, D. Ruan, S. Wang, and Y.C. Lin. 2013. Review:
Developmental specificity in skeletal muscle of late-term avian embryos
and its potential manipulation. Poultry Science 92 : 2754–2764.

Choct M. 2009. Managing gut health trough nutrition. Br. Poult. Sci. 50:19-15.

37
Christensen, V. L., M.J, Wineland, G. M. Fasenko, and W.E. Donaldson. 2001. Egg
storoge effects on plasma glucose and suplay and demand tissue glycogen
concentration of broiler embryos. Poult. Sci. 80:1729-1735.

Denbow D. M. 2000. Gastrointestinal anatomy and physiology.di dalam: whittow


jc, editor. sturkie’s avian physiology. ed ke-5. london: academic Pr. Hlm.
299-325.

Dong, D.Y., Y.J. Jiang, M.Q. Wang, Y.M. Wang, and X T. Zou. 2013. Effects
of in ovo feeding of carbohydrates on hatchability, body weight, and energy
status in domestic pigeons (Columba livia). Poult. Sci. 92 : 2118–2123.

El-Azeem, N.A.A., M. Sh. Abdo, M. Madkour, and I. El-Wardany. 2014.


Physiological and histological responses of broiler chicks to in ovo
injection with folic acid or l-carnitine during embryogenesis. Global
Veterinaria 13 (4) : 544-551.

Foye, O. T. 2005. Thebiochemical and molecular effectsof amnionic nutrient


administration, “in ovo feeding”ُonُintestinal development andfunction and
carbohydrate metabolism in turkey embryos and poults. (Disertasi).
Graduate Faculty of North Carolina State University in partial
fulfillment of the requirements for the Degree of Doctorate of
Philosophyin Nutrition.

, O. T., Z. Uni, J. P. McMurtry, and P. R. Ferket. 2006. The effects of


amnioticُ nutrientُ administration,ُ “in ovo feeding”ُ ofُ arginineُ and/orُ ßُ
hydroxy-ß methyl butyrate (hmb) on insulin-like growth factors, energy
metabolism and growth in turkey poults. International Journal of Poult. Sci.
5 (4): 309-317.

, O.T., Ferket, P. R. and Z. Uni. 2007. The effects of in ovo feeding arginine,
hydroxyl-methylbutyrate, and protein on jejunal digestive and absorptive
activity in embryonic and neonatal turkey poults. Poult. Sci. 86, 2343- 2349.

Gaspersz. 1991. Teknik analisis dalam penelitian percobaan. Tarsito: Bandung.

Geyra, A., Z. Uni, and D. Sklan. 2001. Enterocyte dynamics and mucosal
development in the posthatch chick. Poult. Sci.80, 776-782.

Grodzik, M., F. Sawosz, E. Sawosz, A. Hotowy, M. Wierzbicki, M. Kutwin, S.


Jaworski, and A. Chwalibog. 2013. Nano-nutrition of chicken
embryos. The effect of in ovo administration of diamond nanoparticles and
l-Glutaminon molecular responses in chicken embryo pectoral muscles. Int.
J. Mol. Sci. 14 : 23033-23044.

Guyton, A. C. 1997. Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Universitas Indonesia Press.


Jakarta. Hal. 1032-1039.

38
Hamzah. 2013. Respon usus dan karakteristik karkas pada ayam ras pedaging
dengan berat badan awal berbeda yang dipuasakan setelah menetas.
Fakultas Pentenakan Universitas Hasanuddin. Makassar.

Heny. 2002. Perbandingan Kadar Asam Amino dalam Telur Ayam Ras dan Telur
Bebek dengan High Speed Amino Acid Analyzer. Thesis. Fakultas Farmasi
UBAYA, Surabaya.

Ibrahim, S. 2008. Hubungan ukuran-ukuran usus halus dengan berat badan broiler.
Agripet : Vol (8) No. 2: 42-46.

Iji, P. A., R. J. Hughes, M. Choct and D. R. Tivey. 2001. Intestinal structure and
function of broiler chickens on wheat-based diets supplemented with
microbial enzyme. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 14(1):54-60.

John. T. M., J. C. George and E. T. Moran, Jr. 1987. Pre and postthatch
ultrastructural and metabolic changes in the hatching muscle of turkey
embryos from antibiotic and glucose treated eggs. Cytobios 49:197-210.

Jull, M. A. 1972. Poultry Husbandry. 3rd Ed. Tata McGraw-Hill Publishing


Company LTD, New Delhi.

Kidd MT. 2009. Advances in poultry nutrition. R Bras Zootec. 38:201-204 (supl.
especial).

Kususiyah. 2011. Performans pertumbuhan ayam peraskok sebagai ayam potong


belah empat serta nilai income over feed and chick cost. Jurnal Sain
Peternakan Indonesia 6 (2) : 83-87.

Liu, T., P. Jian, Y. Z. Xiong, S. Q. Zhou dan X. H. Cheng. 2002. Effects of dietary
Glutamin and glutamate supplementation on small intestinal structure,
active absorption and DNA, RNA concentration in skeletal muscle tissue of
weaned piglets during d 28 to 42 of age. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 15:238-
242.

Mahardika, I. G., G. A. M. K. Dewi, I. K Sumaidi, I. M. Suasta. 2013. Kebutuhan


energi dan protein untuk hidup pokok dan pertumbuhan pada ayam
kampung umur 10-20 minggu. Majalah ilmiah peternakan 16(1).

Maiorka, A. A., V. F. Silva, E. Santin, S. A. Borges, I. C. Boleli dan M. Macari.


2000. Influência da suplementacao de glutamina sobre o desempenho e o
desenvolvimento de vilos e criptas do intestino delgado de frangos. Arq.
Bras. Med. Vet. Zoo. 52:487-490.

Marchini, J. S., P. Nguyen, J-Y Deschamps, P. Maugere, M. Krempf,dan D.


Darmaun. 1999. Effect of intratvenous Glutamin on duodenal mucosa
protein synthesis in healthy growing dogs. Amer. J. Physiol. 276, E747–
E753.

39
Mile, R.D., Butcher, G.D., Henry, P.R. dan Littell, R.C. (2006). Effecf of antibiotic
growth promoters on broiler performance, intestinal growth parameters, and
quanti- tative morphology. J. of Poult. Sci. 85: 476-485.

Nataamijaya, A.G. 2009. The performance of nagrak and kampung chicken kept
intensively in Cibadak Sukabumi, West Java. JITV 14 (2) : 97-103.

Newsholme, P. 2001. Why is L-Glutamin metabolism important to cells of the


immune system in health, post-injury, surgery or infection?. J Nutr 131:
25155 - 25225.

., Calder C. P. 2002. Nutrition and Immune System. Wallingford: CABI


Pub.

, J. Procopio , M. M. R. Lima, T. C. Pithon-Curi dan R. Curi. 2003.


Glutamin and glutamate—their central role in cell metabolism and function.
Cell Biochem Funct. 21: 1–9.

Ningtias, A. S. 2013. Comparison of Growth Performance of Broilers, Kampong,


and Backcross3 (Gallus gallus domesticus Linnaeus, 1758) Based on
Morphometri and Histological Structure of Ileum and Breast Muscle.
(Skripsi) Fakultas Biologi Universitas Gajah Mada.

Noy, Y and D. Sklan. 2001. Yolk and exogenous feed utilization in the posthatch
chick. Poult Sci 80: 1490-1495.

Nursjamsiah. 1994. Efek campuran rumput gajah, dedak jagung dan konsentrat
komersial terhadap performa sapi PO. (Skripsi). Fakultas Peternakan
Universitas Padjajaran, Bandung.

Ohta, Y. and M. T. Kidd. 2001. Optimum site for in ovo amino acid injection in
broiler breeder eggs. Poult Sci 80: 1425 – 1429.

Rahayu, I., T. Sudaryani, dan H. Santosa. 2011. Panduan Lengkap Ayam. Penebar
Swadaya, Jakarta.

Rahmanto. 2012. Struktur histologik usus halus dan efesiensi pakan ayam kampung
dan ayam broiler. (Skripsi). Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam. Universitas Negeri Yogyakarta.

Rahmawati. 2016. Histologis saluran pencernaan ayam buras hasil in ovo feeding
asam amino l-arginine. (Skripsi). Fakultas Peternakan Universitas
Hasanuddin. Makassar.

Reece and Mitchell. 2004. Campbell jilid 3. Erlangga. Jakarta.

40
Rosebourgh RW, Geis E, Henderson K, Frobish LT. 1978. Glycogen metabolism
the turkey embryo and poultry. J.ُWorld’sُPoultُSciُ60: 121 – 134.

Sakiyo, L. D. 2007. Pemberian Glutamin, Dextrin dan Kombinasinya


Secara In Ovo terhadap Daya Tetas, Berat Tetas, Performa dan Pemanfaatan
Energi Ayam Broiler Jantan Umur 15 Hari. (Tesis). Ilmu Nutrisi dan
Teknologi Pakan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Salmanzadeh M, 2012. The effects of in-ovo injection ofglucose on hatchability,


hatching weight and subsequent performance of newly-hatched chicks.
Brazilian J. Poult Sci, 14:137-140.

Samli, H. E., N. Senkoylu, F. Koc, M. Kanter, dan A. Agma. 2007.: Effects of


Enterococcus faecium and dried whey on broiler performance,
guthistomorphology and microbiota, Arch. Anim. Nutr. 61: 42–49,

Shafey, T.M., M.A. Alodan, I.M. Al-Ruqaie, and M.A. Abouheif. 2012. in ovo
feeding of carbohydrates and incubated at a high incubation temperature on
hatchability and glycogen status of chicks. South African Journal of Animal
Science 42 (3) : 210-220.

, T. M., A. S. Sami, dan M. A. Abouheif. 2013. Effects of in ovo feeding L-


Glutamin on hatchability performance and hatching time of meat-type
breeder eggs. J. Animal and veterinary advances 12 (1): 135-139

Sklan, D. 2001. Development of the digestive tract of poultry. Worlds Poult. J. 57,
415-428.

Stockdale, F.E. 1992. Myogenic cell lineages. Dev Biol 154 : 284-298.

Sudaryati, S., J.H.P. Sidadolog, Wihandoyo, W.T. Artama, and D. Maharani. 2013.
The effect of insulin like growth factor binding protein2 geneon kampung
chicken growth rate. International Journal of Poultry Science 12 (8) : 495-
500.

Sugito MW, Astuti DA, Handharyani E, Chairul. 2007.Histopatologi hati dan ginjal
pada ayam broiler yangdipapar cekaman panas dan diberi ekstrak
kulitbatang Jaloh (Salix tetrasperma Roxb). JITV. 12:6873.

Sun, X. 2004. Broiler performance and intestinal alterations when fed drug-free
diets. Thesis. Animal and Poultry Science. Blacksburg. Virginia.

Suprijatna, E., U. Atmomarsono, dan R. Kartasudjana. 2005. Ilmu dasar Ternak


Unggas. Cetakan ke-2. Penebar Swadaya, Jakarta.

, E., U. Atmomarsono, R. Kartasudjana. 2008. Ilmu Dasar Ternak Unggas.


Penebar Swadaya, Jakarta.

41
Tamzil, M.H., M. Ichsan, N.S. Jaya, and M. Taqiuddin. 2015. Growth rate, carcass
weight and percentage weight of carcass parts of laying type cockerels,
kampong chicken and arabic chicken in different ages. Pakistan Journal of
Nutrition 14 (7) : 377-382.

Uni, Z. Y. Noy, and D. Sklan,. 1999 . Posthatch development of small intestinal


function in the poult. Poult.Sci. 78, 215-222.

, A. Geyra, H. Ben-Hur and D. Sklan. 2000. Small intestinal development in


the young chick; crypt formation and enterocyte proliferation and migration.
Br.Poult.Sci. 41,5444551.

, and P.R. Ferket. 2003. Enhancement of development of oviparous species


by in ovo feeding. US patent 6.592,878. North Carolina State University,
Raleigh, NC; and Yissum Research Development Company of the Hebrew
University of Jerusalem, Jerusalem (Palestina), assignees.

, Ferket PR, Tako E, Kedar O. 2005. In ovo feeding improves energy status
of late – term chicken embryos. Poult Sci 84: 764 – 770.

Xiao-Ying D., Y. Chu-Fen, T. Sheng-Qiu, J. Qing-Yan dan Z. Xiao-Ting. 2010.


Effect and mechanism of glutamin on productive performance and egg
quality of laying hens. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 23(8) : 1049 – 1056.

Yamauchi, K., Z. Zhou, E. Ibardoza, Y. Isshiki, Y. Nakahiro. 1991. Technical


Bulletin of Faculty of Agriculture Kagawa University. Kagawa Daigaku
Nogakubu Gakujutsu Hokoku. Poultry Production 11:74-75.

Zakaria, S 2004. Pengaruh luas kandang terhadap produksi dan kualitas telur ayam
kampung yang dipelihara dengan sistem litter. Bulletin Nutrisi dan Makanan
Ternak 5(1): 1-11.

42
LAMPIRAN

Lampiran 1. Hasil Analisis Ragam Berat Usus Halus

Descriptive Statistics

Dependent Variable:Berat Total Usus Halus

Perlakuan Mean Std. Deviation N

P0 22.3800 3.00326 3

P1 24.6400 4.11985 3

P2 24.1367 1.14553 3

P3 23.6800 2.98783 3

P4 21.4133 .97521 3

Total 23.2500 2.61133 15

Tests of Between-Subjects Effects


Dependent Variable:Berat Total Usus Halus

Type III Sum of


Source Squares Df Mean Square F Sig.

Corrected Model 21.100a 4 5.275 .709 .604

Intercept 8108.437 1 8108.437 1.090E3 .000

Perlakuan 21.100 4 5.275 .709 .604

Error 74.366 10 7.437

Total 8203.904 15

Corrected Total 95.467 14

a. R Squared = ,221 (Adjusted R Squared = -,091)

43
Descriptive Statistics

Dependent Variable:Persentase Berat Duodenum

Perlakuan Mean Std. Deviation N

P0 27.2800 1.55743 3

P1 28.8967 3.81340 3

P2 29.4767 4.24949 3

P3 29.2367 1.55275 3

P4 26.4700 1.54929 3

Total 28.2720 2.68174 15

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable:Persentase Berat Duodenum

Type III Sum of


Source Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 21.010a 4 5.252 .659 .634

Intercept 11989.590 1 11989.590 1.505E3 .000

Perlakuan 21.010 4 5.252 .659 .634

Error 79.674 10 7.967

Total 12090.274 15

Corrected Total 100.684 14

a. R Squared = ,209 (Adjusted R Squared = -,108)

44
Descriptive Statistics

Dependent Variable:Persentase Berat Jejenum

Perlakuan Mean Std. Deviation N

P0 39.6267 2.48484 3

P1 38.9267 1.89363 3

P2 41.5967 3.01757 3

P3 38.6733 2.07731 3

P4 41.4900 .70342 3

Total 40.0627 2.24811 15

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable:Persentase Berat Jejenum

Type III Sum of


Source Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 23.404a 4 5.851 1.236 .356

Intercept 24075.259 1 24075.259 5.084E3 .000

Perlakuan 23.404 4 5.851 1.236 .356

Error 47.352 10 4.735

Total 24146.015 15

Corrected Total 70.756 14

a. R Squared = ,331 (Adjusted R Squared = ,063)

45
Descriptive Statistics
Dependent Variable:Persentase Berat Ileum

Perlakuan Mean Std. Deviation N

P0 33.0900 2.86524 3

P1 32.1767 1.92420 3

P2 28.9300 1.62250 3

P3 32.0900 .53019 3

P4 32.0400 2.14888 3

Total 31.6653 2.22275 15

Tests of Between-Subjects Effects


Dependent Variable: Persentase Berat Ileum

Type III Sum of


Source Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 30.282a 4 7.570 1.947 .179

Intercept 15040.400 1 15040.400 3.868E3 .000

Perlakuan 30.282 4 7.570 1.947 .179

Error 38.887 10 3.889

Total 15109.569 15

Corrected Total 69.169 14

a. R Squared = ,438 (Adjusted R Squared = ,213)

46
Lampiran 2. Hasil Analisis Ragam Panjang Usus Halus

Descriptive Statistics

Dependent Variable:Panjang Total Usus Halus

Perlakuan Mean Std. Deviation N

P0 77.2667 14.87358 3

P1 91.7333 17.51923 3

P2 77.8333 9.45110 3

P3 86.6333 12.82199 3

P4 86.5667 7.45408 3

Total 84.0067 12.37783 15

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable:Panjang Total Usus Halus

Type III Sum of


Source Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 470.076a 4 117.519 .702 .608

Intercept 105856.801 1 105856.801 632.029 .000

Perlakuan 470.076 4 117.519 .702 .608

Error 1674.873 10 167.487

Total 108001.750 15

Corrected Total 2144.949 14

a. R Squared = ,219 (Adjusted R Squared = -,093)

47
Descriptive Statistics

Dependent Variable:Persentase Panjang Duodenum

Perlakuan Mean Std. Deviation N

P0 24.9167 .19553 3

P1 23.5833 1.38233 3

P2 24.1800 .95859 3

P3 24.7633 1.40119 3

P4 19.9667 3.28485 3

Total 23.4820 2.40399 15

Tests of Between-Subjects Effects


Dependent Variable:Persentase Panjang Duodenum

Type III Sum of


Source Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 49.665a 4 12.416 3.974 .035

Intercept 8271.065 1 8271.065 2.647E3 .000

Perlakuan 49.665 4 12.416 3.974 .035

Error 31.243 10 3.124

Total 8351.973 15

Corrected Total 80.908 14

a. R Squared = ,614 (Adjusted R Squared = ,459)

Hasil Uji Duncan Persentase Panjang Duodenum

Duncan

Subset

Perlakuan N 1 2

P4 3 19.9667

P1 3 23.5833

P2 3 24.1800

P3 3 24.7633

P0 3 24.9167

Sig. 1.000 .409


Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 3,124.

48
Descriptive Statistics

Dependent Variable:Persentase Panjang Jejenum

Perlakuan Mean Std. Deviation N

P0 38.0067 2.36990 3

P1 36.7733 5.42929 3

P2 37.9967 5.52595 3

P3 35.4800 1.98653 3

P4 37.3133 4.91839 3

Total 37.1140 3.78662 15

Tests of Between-Subjects Effects


Dependent Variable:Persentase Panjang Jejenum

Type III Sum of


Source Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 13.205a 4 3.301 .176 .946

Intercept 20661.735 1 20661.735 1.102E3 .000

Perlakuan 13.205 4 3.301 .176 .946

Error 187.533 10 18.753

Total 20862.473 15

Corrected Total 200.738 14

a. R Squared = ,066 (Adjusted R Squared = -,308)

49
Descriptive Statistics

Dependent Variable:Persentase Panjang Ileum

Perlakuan Mean Std. Deviation N

P0 37.0767 2.23733 3

P1 39.6467 4.85965 3

P2 37.8267 5.15094 3

P3 39.7567 1.76540 3

P4 42.7233 1.83118 3

Total 39.4060 3.59131 15

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable:Persentase Panjang Ileum

Type III Sum of


Source Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 57.317a 4 14.329 1.163 .383

Intercept 23292.493 1 23292.493 1.890E3 .000

Perlakuan 57.317 4 14.329 1.163 .383

Error 123.248 10 12.325

Total 23473.057 15

Corrected Total 180.565 14

a. R Squared = ,317 (Adjusted R Squared = ,044)

50
Lampiran 3. Hasil Analisis Ragam Tinggi Vili Usus Halus

Descriptive Statistics

Dependent Variable:Tinggi Vili Duodenum

Perlakuan Mean Std. Deviation N

P0 1.113E3 334.3101 3

P1 1.310E3 196.9692 3

P2 1.527E3 156.9705 3

P3 1.551E3 120.0306 3

P4 1.723E3 94.5190 2

Total 1.425E3 274.0529 14

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable:Tinggi Vili Duodenum

Type III Sum of


Source Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 588216.997a 4 147054.249 3.410 .058

Intercept 2.846E7 1 2.846E7 659.825 .000

Perlakuan 588216.997 4 147054.249 3.410 .058

Error 388148.246 9 43127.583

Total 2.939E7 14

Corrected Total 976365.244 13

a. R Squared = ,602 (Adjusted R Squared = ,426)

51
Hasil Uji Duncan Tinggi Vili Duodenum

Duncan

Subset

Perlakuan N 1 2

P0 3 1.113E3

P1 3 1.310E3 1.310E3

P2 3 1.527E3 1.527E3

P3 3 1.551E3

P4 2 1.723E3

Sig. .053 .058


Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 43127,583.

52
Descriptive Statistics

Dependent Variable:Tinggi Vili Jejenum

Perlakuan Mean Std. Deviation N

P0 1.6705E3 285.42365 2

P1 1.5041E3 118.08346 3

P2 1.6509E3 191.06616 3

P3 1.2368E3 312.77300 3

P4 1.6603E3 6.76701 2

Total 1.5259E3 250.84904 13

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable:Tinggi Vili Jejenum

Type III Sum of


Source Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 377036.556a 4 94259.139 1.995 .188

Intercept 2.982E7 1 2.982E7 630.997 .000

Perlakuan 377036.556 4 94259.139 1.995 .188

Error 378066.314 8 47258.289

Total 3.103E7 13

Corrected Total 755102.870 12

a. R Squared = ,499 (Adjusted R Squared = ,249)

53
Descriptive Statistics

Dependent Variable:Tinggi Vili Ileum

Perlakuan Mean Std. Deviation N

P0 1.1743E3 87.26127 3

P1 7.8443E2 182.29743 2

P2 1.2172E3 232.14064 3

P3 7.3919E2 107.87225 3

P4 1.0341E3 21.94859 2

Total 1.0023E3 243.58474 13

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: Tinggi Vili Ileum

Type III Sum of


Source Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 532007.756a 4 133001.939 5.911 .016

Intercept 1.225E7 1 1.225E7 544.366 .000

Perlakuan 532007.756 4 133001.939 5.911 .016

Error 179994.555 8 22499.319

Total 1.377E7 13

Corrected Total 712002.311 12

a. R Squared = ,747 (Adjusted R Squared = ,621)

Hasil Uji Duncan Tinggi Vili Ileum

Duncan

Subset

Perlakuan N 1 2

P3 3 7.3919E2

P1 2 7.8443E2

P4 2 1.0341E3 1.0341E3

P0 3 1.1743E3

P2 3 1.2172E3

Sig. .068 .227


Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 22499,319.

54
Lampiran 4. Hasil Analisis Ragam Lebar Vili

Descriptive Statistics

Dependent Variable:Lebar Vili Duodenum

Perlakuan Mean Std. Deviation N

P0 1.7399E2 66.08081 3

P1 2.9209E2 27.41466 3

P2 4.6221E2 72.58355 3

P3 3.2238E2 70.23910 3

P4 3.1176E2 39.00401 2

Total 3.1254E2 110.41952 14

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable:Lebar Vili Duodenum

Type III Sum of


Source Squares Df Mean Square F Sig.

Corrected Model 126340.509a 4 31585.127 8.839 .004

Intercept 1331545.458 1 1331545.458 372.616 .000

Perlakuan 126340.509 4 31585.127 8.839 .004

Error 32161.592 9 3573.510

Total 1526008.370 14

Corrected Total 158502.101 13

a. R Squared = ,797 (Adjusted R Squared = ,707)

55
Hasil Uji Duncan Lebar Vili Duodenum

Duncan

Subset

Perlakuan N 1 2 3

P0 3 1.7399E2

P1 3 2.9209E2

P4 2 3.1176E2

P3 3 3.2238E2

P2 3 4.6221E2

Sig. 1.000 .585 1.000


Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 3573,510.

56
Descriptive Statistics

Dependent Variable:Lebar Vili Jejenum

Perlakuan Mean Std. Deviation N

P0 3.1299E2 62.43753 2

P1 2.5089E2 57.53768 3

P2 2.6381E2 37.35379 3

P3 2.3003E2 67.08211 3

P4 1.3688E2 30.38261 2

Total 2.4107E2 69.22062 13

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable:Lebar Vili Jejenum

Type III Sum of


Source Squares Df Mean Square F Sig.

Corrected Model 34264.588a 4 8566.147 2.950 .090

Intercept 713530.100 1 713530.100 245.692 .000

Perlakuan 34264.588 4 8566.147 2.950 .090

Error 23233.349 8 2904.169

Total 812995.647 13

Corrected Total 57497.937 12

a. R Squared = ,596 (Adjusted R Squared = ,394)

57
Descriptive Statistics

Dependent Variable:Lebar Vili Ileum

Perlakuan Mean Std. Deviation N

P0 2.0618E2 37.14022 3

P1 3.0655E2 53.03371 3

P2 2.6295E2 8.79108 3

P3 2.2874E2 1.22329 2

P4 3.2176E2 44.56187 2

Total 2.6370E2 54.11953 13

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable:Lebar Vili Ileum

Type III Sum of


Source Squares Df Mean Square F Sig.

Corrected Model 24621.322a 4 6155.331 4.678 .031

Intercept 879387.748 1 879387.748 668.370 .000

Perlakuan 24621.322 4 6155.331 4.678 .031

Error 10525.763 8 1315.720

Total 939115.959 13

Corrected Total 35147.085 12

a. R Squared = ,701 (Adjusted R Squared = ,551)

Hasil Uji Duncan Lebar Vili Ileum

Duncan

Subset

Perlakuan N 1 2 3

P0 3 2.0618E2

P3 2 2.2874E2 2.2874E2

P2 3 2.6295E2 2.6295E2 2.6295E2

P1 3 3.0655E2 3.0655E2

P4 2 3.2176E2

Sig. .132 .050 .120


Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 1315,720.

58
Lampiran 5. Hasil Analisis Ragam Luas Permukaan Vili
Descriptive Statistics

Dependent Variable:Luas Permukaan Vili Duodenum

Perlakuan Mean Std. Deviation N

P0 2.0717E5 1.18681E5 3

P1 3.8569E5 87714.56961 3

P2 7.0500E5 1.22275E5 3

P3 4.9584E5 80360.24896 3

P4 5.3897E5 96667.04778 2

Total 4.6136E5 1.96199E5 14

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable:Luas Permukaan Vili Duodenum

Type III Sum


Source of Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 4.047E11a 4 1.012E11 9.513 .003

Intercept 2.968E12 1 2.968E12 279.064 .000

Perlakuan 4.047E11 4 1.012E11 9.513 .003

Error 9.572E10 9 1.064E10

Total 3.480E12 14

Corrected Total 5.004E11 13

a. R Squared = ,809 (Adjusted R Squared = ,724)

Hasil Uji Duncan Luas Permukaan Vili Duodenum

Duncan

Subset

Perlakuan N 1 2 3

P0 3 2.0717E5

P1 3 3.8569E5 3.8569E5

P3 3 4.9584E5

P4 2 5.3897E5 5.3897E5

P2 3 7.0500E5

Sig. .074 .131 .093


Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 10635601745,579.

59
Descriptive Statistics

Dependent Variable:Luas Permukaan Vili Jejenum

Perlakuan Mean Std. Deviation N

P0 5.1395E5 14968.70385 2

P1 3.7902E5 98843.02658 3

P2 4.3797E5 1.01175E5 3

P3 2.7158E5 43685.30215 3

P4 2.2736E5 51366.71895 2

Total 3.6526E5 1.19618E5 13

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable:Luas Permukaan Vili Jejenum

Type III Sum of


Source Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 1.250E11a 4 3.125E10 5.355 .021

Intercept 1.674E12 1 1.674E12 286.855 .000

Perlakuan 1.250E11 4 3.125E10 5.355 .021

Error 4.669E10 8 5.836E9

Total 1.906E12 13

Corrected Total 1.717E11 12

a. R Squared = ,728 (Adjusted R Squared = ,592)

Hasil Uji Duncan Luas Permukaan Vili Jejenum

Duncan

Subset

Perlakuan N 1 2

P4 2 2.2736E5

P3 3 2.7158E5

P1 3 3.7902E5 3.7902E5

P2 3 4.3797E5

P0 2 5.1395E5

Sig. .066 .095


Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 5836489560,563.

60
Descriptive Statistics

Dependent Variable:Luas Permukaan Vili Ileum

Perlakuan Mean Std. Deviation N

P0 2.4156E5 44502.12869 3

P1 2.1753E5 7268.80640 2

P2 3.2132E5 71069.41641 3

P3 1.4892E5 59205.65660 3

P4 3.3324E5 53142.99042 2

Total 2.4900E5 84668.71302 13

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable:Luas Permukaan Vili Ileum

Type III Sum of


Source Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 6.208E10a 4 1.552E10 5.184 .023

Intercept 7.970E11 1 7.970E11 266.234 .000

Perlakuan 6.208E10 4 1.552E10 5.184 .023

Error 2.395E10 8 2.994E9

Total 8.920E11 13

Corrected Total 8.603E10 12

a. R Squared = ,722 (Adjusted R Squared = ,582)

Hasil Uji Duncan Luas Permukaan Vili Ileum

Duncan

Subset

Perlakuan N 1 2

P3 3 1.4892E5

P1 2 2.1753E5 2.1753E5

P0 3 2.4156E5 2.4156E5

P2 3 3.2132E5

P4 2 3.3324E5

Sig. .107 .057


Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 2993779417,304.

61
Lampiran 6. Hasil Analisis Ragam Kedalaman Kripta

Descriptive Statistics

Dependent Variable:Kedalaman Kripta Duodenum

Perlakuan Mean Std. Deviation N

P0 3.5060E2 1.71827 2

P1 2.6997E2 8.45247 3

P2 3.4387E2 20.86683 3

P3 3.5539E2 37.16162 3

P4 3.4827E2 13.68959 2

Total 3.3119E2 39.56491 13

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable:Kedalaman Kripta Duodenum

Type III Sum of


Source Squares Df Mean Square F Sig.

Corrected Model 14818.522a 4 3704.631 7.473 .008

Intercept 1391281.585 1 1391281.585 2.806E3 .000

Perlakuan 14818.522 4 3704.631 7.473 .008

Error 3966.067 8 495.758

Total 1444693.327 13

Corrected Total 18784.589 12

a. R Squared = ,789 (Adjusted R Squared = ,683)

62
Hasil Uji Duncan Kedalaman Kripta Duodenum

Duncan

Subset

Perlakuan N 1 2

P1 3 2.6997E2

P2 3 3.4387E2

P4 2 3.4827E2

P0 2 3.5060E2

P3 3 3.5539E2

Sig. 1.000 .600


Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 495,758.

63
Descriptive Statistics

Dependent Variable:Kedalaman Kripta Jejenum

Perlakuan Mean Std. Deviation N

P0 3.2623E2 20.73417 3

P1 3.6124E2 46.58057 3

P2 3.6237E2 3.11481 2

P3 3.7840E2 27.67024 3

P4 2.7591E2 15.16933 2

Total 3.4417E2 43.11511 13

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable:Kedalaman Kripta Jejenum

Type III Sum of


Source Squares Df Mean Square F Sig.

Corrected Model 15336.542a 4 3834.136 4.400 .036

Intercept 1452062.759 1 1452062.759 1.667E3 .000

Perlakuan 15336.542 4 3834.136 4.400 .036

Error 6970.407 8 871.301

Total 1562165.289 13

Corrected Total 22306.949 12

a. R Squared = ,688 (Adjusted R Squared = ,531)

Hasil Uji Duncan Kedalaman Kripta Jejenum

Duncan

Subset

Perlakuan N 1 2

P4 2 2.7591E2

P0 3 3.2623E2 3.2623E2

P1 3 3.6124E2

P2 2 3.6237E2

P3 3 3.7840E2

Sig. .093 .101


Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 871,301.

64
Descriptive Statistics

Dependent Variable:Kedalaman Kripta Duodenum

Perlakuan Mean Std. Deviation N

P0 3.5060E2 1.71827 2

P1 2.6997E2 8.45247 3

P2 3.4387E2 20.86683 3

P3 3.5539E2 37.16162 3

P4 3.4827E2 13.68959 2

Total 3.3119E2 39.56491 13

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable:Kedalaman Kripta Ileum

Type III Sum of


Source Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 26542.641a 4 6635.660 4.688 .022

Intercept 976808.626 1 976808.626 690.030 .000

Perlakuan 26542.641 4 6635.660 4.688 .022

Error 14156.036 10 1415.604

Total 1017507.304 15

Corrected Total 40698.677 14

a. R Squared = ,652 (Adjusted R Squared = ,513)

Hasil Uji Duncan Kedalaman Kripta Ileum

Duncan

Subset

Perlakuan N 1 2

P2 3 2.1298E2

P0 3 2.2106E2

P3 3 2.4845E2

P1 3 2.6205E2

P4 3 3.3140E2

Sig. .167 1.000


Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 1415,604.

65
Lampiran 7. Gambar Vili Usus Halus Tanpa Injeksi (Kontrol Negatif)

Keterangan: A (Vili Duodenum), B (Vili Jejenum), C (Vili Ileum). Gambar dan


ukuran diambil menggunakan kamera OptiLab perbesaran lensa
objektif 4X

66
Lampiran 8. Gambar Vili Usus Halus Hasil Injeksi Larutan NaCl Fisiologis 0,9%
tanpa L-Glutamin (Kontrol Positif)

Keterangan: A (Vili Duodenum), B (Vili Jejenum), C (Vili Ileum). Gambar dan


ukuran diambil menggunakan kamera OptiLab perbesaran lensa
objektif 4X

67
Lampiran 9. Gambar Vili Usus Halus Hasil Injeksi 0,5 ml larutan 0,5 % L-Glutamin
dalam NaCl fisiologis

Keterangan: A (Vili Duodenum), B (Vili Jejenum), C (Vili Ileum). Gambar dan


ukuran diambil menggunakan kamera OptiLab perbesaran lensa
objektif 4X

68
Lampiran 10. Gambar Vili Usus Halus Hasil Injeksi 0,5 ml larutan 1% L-Glutamin
dalam NaCl fisiologis

Keterangan: A (Vili Duodenum), B (Vili Jejenum), C (Vili Ileum). Gambar dan


ukuran diambil menggunakan kamera OptiLab perbesaran lensa
objektif 4X

69
Lampiran 11. Gambar Vili Usus Halus Hasil Injeksi 0,5 ml larutan 1.5% L-
Glutamin dalam NaCl fisiologis

Keterangan: A (Vili Duodenum), B (Vili Jejenum), C (Vili Ileum). Gambar dan


ukuran diambil menggunakan kamera OptiLab perbesaran lensa
objektif 4X

70
Lampiran 12. Dokumentasi Kegiatan Penelitian

71
RIWAYAT HIDUP

Arisman lahir pada tanggal 12 September 1994 di Mario,


Kabupaten Sidenreng Rappang Provinsi Sulawesi Selatan.
Penulis merupakan anak keempat dari lima orang bersaudara,
dari pasangan Bapak La Dollah (alm.) dan Ibu Ramasang.
Pendidikan formal yang telah ditempuh oleh penulis yakni: SD
Negeri 3 Rijang Panua Tahun 2001 - 2007; SMP Negeri 2 Panca
Rijang Tahun 2007 - 2010; SMK-SPP Negeri Rappang 2010 - 2013 dan pada tahun
2013 - 2017 penulis melanjutkan pendidikannya di Fakultas Peternakan Program
Studi Ilmu Peternakan Universitas Hasanuddin (UNHAS) Makassar. Selama
menjadi mahasiswa penulis aktif sebagai pengurus organisasi Himpunan
Mahasiswa Produksi Ternak Universitas Hasanuddin (HIMAPROTEK-UH)
periode 2015-2016. Pengurus organisasi Ikatan Pelajar Mahasiswa Indonesia
(IPMI) Sidrap BKPT-Unhas periode 2015/2016. Penulis juga aktif sebagai asisten
pada mata kuliah Ternak Unggas (2015-2017), Mikrobiologi Hewan (2015-2017)
dan Kesehatan Ternak (2016-2017).

72

Anda mungkin juga menyukai