Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN KASUS INDIVIDU

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


ENTERITIS PARASITICA SUSPECT TOXOCARA CATI PADA KUCING

Disusun oleh:
Galih Satria Kusumanto, SKH / B94184220

Dibimbing oleh:
Dr. Drh. RP. Agus Lelana, SpMP, MSi.

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2019
1

DATA
Pemeriksaan Fisik
Anamnesa
Tanggal 9 april 2019 anak kucing berumur 2,5 bulan ras persia mengalami
diare, lemas serta feses bentuknya pasta dan bau menyengat. Menurut keterangan
owner, pakan Adik baru diganti beberapa waktu lalu. Adik yang biasanya sangat
aktif bermain seketika jadi lemas dan seperti tidak bersemangat. Adik tidak pernah
diberikan obat cacing sebelumnya karena Adik masih menyusu dengan ibunya
serta belum pernah divaksinasi sebelumnya.
Signalment Hewan
Nama hewan : Adik
Jenis/spesies hewan : Kucing
Ras/breed : Persia
Warna bulu dan kulit : Putih dan hitam
Jenis kelamin : Betina
Umur : 2.5 bulan
Berat badan : 0.58 kg
Tanda khusus : -

Status present
Keadaan Umum

Perawatan : Cukup
Habitus : Tulang punggung lurus
Gizi / BCS : Cukup / 2.5
Pertumbuhan badan : Baik
Sikap berdiri : Tegak pada keempat kaki
Suhu tubuh : 38.3°C
Frekuensi Nadi : 223 kali/menit
Frekuensi nafas : 41 kali/menit
Tingkah laku : Lemas
Adaptasi lingkungan : Baik

Adaptasi Lingkungan
Kepala dan Leher
Inspeksi
- Ekspresi wajah : Cemas
- Pertulangan kepala : Tegas, simetris, konformasi jelas, tidak ada
penonjolan
- Posisi tegak telinga : Tegak keduanya
- Posisi kepala : Lebih tinggi dari tulang punggung
2

Palpasi
- Turgor kulit : > 3 detik (Buruk)
- Kondisi kulit : Tidak ada kelainan, terdapat pinjal

Mata dan Orbita Kiri


- Palpebrae : Membuka dan menutup sempurna
- Cilia : Keluar sempurna
- Konjungtiva : Licin, lembab, warna merah muda
- Membrana nictitans : Tersembunyi

Mata dan Orbita Kanan


- Palpebrae : Menutup dan membuka sempurna
- Cilia : Keluar sempurna
- Konjungtiva : Licin, lembab, warna merah muda
- Membrana nictitans : Tersembunyi

Bola mata kiri


- Sclera : Putih
- Cornea : Terang tembus
- Iris : Tidak ada perlekatan
- Limbus : Datar
- Pupil : Tidak ada kelainan
- Refleks pupil : Ada
- Vaso injectio : Tidak ada

Bola mata kanan


- Sclera : Putih
- Cornea : Terang tembus
- Iris : Tidak ada perlekatan
- Limbus : Datar
- Pupil : Tidak ada kelainan
- Refleks pupil : Ada
- Vaso injectio : Tidak ada

Hidung dan sinus-sinus : Tidak terdapat perlukaan dan discharge. Sinus


nyaring

Mulut dan rongga mulut


- Rusak/luka bibir : Tidak ada rusak/luka bibir
- Mukosa : Licin, tidak ada perlukaan, warna merah muda,
lembab
- Gigi geligi : Tidak ada karang gigi, ada kemerahan pada gusi
- Lidah : Tidak ada perlukaan, basah
3

Telinga
- Posisi : Tegak keduanya
- Bau : Bau khas cerumen
- Permukaan daun telinga : Halus dan tidak terdapat perlukaan
- Krepitasi : Tidak ada
- Refleks panggilan : Ada

Leher
- Perototan : Simetris kiri dan kanan, tidak ada
kebengkakan
- Trakea : Tidak ada refleks batuk, cincin trakea tidak
ada kelainan
- Esofagus : Tidak teraba, tidak ada isi
- Ln. Retropharyngealis/Ln. : Tidak ada perlekatan, lobulasi jelas, suhu
Mandibularis sama dengan daerah sekitarnya, tidak ada
pembengkakan, konsistensi kenyal

Thoraks : Sistem pernafasan


Inspeksi
- Bentuk rongga thoraks : Simetris
- Tipe pernafasan : Costalis
- Ritme : Teratur
- Intensitas : Dalam
- Frekuensi : 41 kali/menit

Palpasi
- Penekanan rongga : Tidak ada rasa sakit
thoraks
- Palpasi intercostal : Tidak ada rasa sakit

Perkusi
- Lapangan paru-paru : Tidak ada perluasan/pembesaran
- Gema perkusi : Nyaring

Auskultasi
- Suara pernapasan : Suara inspirasi dan ekspirasi jelas dan sama
- Suara ikutan : Tidak ada
- antara in- dan ekspirasi : Tidak ada

Thoraks : Sistem Kardiovaskular


Inspeksi
- Ictus cordis : Tidak terlihat

Perkusi
- Lapangan jantung : Tidak ada perluasan/pembesaran/kelainan
4

Auskultasi
- Frekuensi : 223 kali/menit
- Intensitas : Kuat
- Ritme : Teratur
- Suara sistolik dan : Jelas
diastolik
- Ekstrasistolik : Tidak ada
- Lapangan jantung : Tidak ada pembesaran
- Sinkron pulsus dan : Sinkron
jantung

Abdomen dan Organ Pencernaan yang Berkaitan


Palpasi
- Epigastrikus : Tidak ada kelainan, tidak ada rasa sakit
- Mesogastrikus : Tidak ada kelainan, tidak ada rasa sakit
- Hipogastrikus : Tidak ada kelainan, tidak ada rasa sakit
- Isi usus halus : Kosong
- Isi usus besar : Kosong

Auskultasi
- Peristaltik usus : Terdengar

Anus
- Sekitar anus : Kotor sebagai indikasi diare
- Reflek Spinchter ani : Ada
- Pembesaran kolon : Tidak ada pembesaran
- Kebersihan daerah : Kotor
perineal

Perkemihan dan kelamin (urogenitalis)


- Mukosa vulva : Tidak ada pembengkakan, tidak ada perlukaan,
tidak ada discharge
Kelenjar mamae
- Besar : Tidak ada pembesaran
- Letak : Sesuai dengan tempatnya
- Bentuk : Tidak ada pembesaran
- Kesimetrisan : Simetris kiri dan kanan
- Konsistensi kelenjar : -

Alat gerak
- Perototan kaki depan : Tidak ada rasa sakit, simetris kiri dan kanan
- Perototan kaki belakang : Tidak ada rasa sakit, simetris kiri dan kanan
- Spasmus otot : Tidak ada
- Tremor : Tidak ada
- Sudut persendian : Tidak ada kelainan
5

- Cara bergerak – berjalan : Koordinatif


- Cara bergerak – berlari : Koordinatif

Palpasi
Struktur pertulangan
- Kaki kiri depan : Konformasi tegas, tidak ada kelainan
- Kaki kanan depan : Konformasi tegas, tidak ada kelainan
- Kaki kiri belakang : Konformasi tegas, tidak ada kelainan
- Kaki kanan belakang : Konformasi tegas, tidak ada kelainan
- Konsistensi pertulangan : Tegas, keras
- Reaksi saat palpasi : Tidak ada rasa sakit
- Letak reaksi sakit : Tidak ada rasa sakit
- Panjang kaki depan ka/ki : Sama panjang kaki depan kanan dan kiri
- Panjang kaki belakang : Sama panjang kaki belakang kanan dan kiri
ka/ki

Lymphonodus popliteus
- Ukuran : Tidak ada pembesaran
- Konsistensi : Kenyal
- Lobulasi : Jelas
- Perlekatan/pertautan : Tidak ada perlekatan
- Suhu : Sama dengan suhu daerah sekitar
Kestabilan pelvis
- Konformasi : Tegas
- Kesimterisan : Simetris
- Tuber ischii : Teraba
- Tuber coxae : Teraba
- Identifikasi kondisi : Tidak ada perlukaan, namun terdapat pinjal
dermatologi ekstrimitas
bawah

Pemeriksaan feses

Tabel 1 Hasil pengamatan dan perhitungan telur cacing


No Identitas Tipe telur (n) TTGT(/gram tinja)
Strongyloides Trichurid Ascarid
1 Adik 12 - 10 1200 (Strongyloides)

1000 (Ascarid)
6

Pemeriksaan Darah

Tabel 2 Hasil Hematologi


Parameter Normal Hasil Satuan
Hemoglobin 8 – 15 12.2 %
Trombosit 300 – 800 240* x 103/mm3
Leukosit 5500 – 19500 9700 /mm3
Hematokrit 24 – 45 37 %
Eritrosit 5 – 10 4.0* x 106/mm3
Basofil 0–1 0 %
Eosinofil 0 – 10 2 %
Netrofil Batang - 3 %
Netrofil Segmen 35 – 80 61 %
Limfosit 20 – 55 39 %
Monosit 1–3 4* %

 PEMERIKSAAN : Pemeriksaan Sampel Feses : (+)


LANJUTAN Cacing Toxocara cati
Pemeriksaan darah : Anemia,
Trombositopenia, Monosit
meningkat
 DIAGNOSA : Enteritis Parasitica Suspect
Toxocara cati
 DIFERENSIAL DIAGNOSA : Alergi pakan, infeksi protozoa
 PROGNOSA : Fausta
 TERAPI : Terapi cairan Ringer-Laktat,
Carniverm, antimikrobial, Imboost
dan pengobatan diare

TANGGAL : 9 April 2019


7

HASIL PEMBAHASAN

Pemeriksaan Umum
Adik dibawa ke Rumah Sakit Hewan Pendidikan FKH IPB (RSHP FKH
IPB) dengan kondisi lemas namun adik memiliki adaptasi lingkungan yang baik.
Anamnesa dari owner menjelaskan bahwa Adik mengalami diare yang sudah
berlangsung selama 1 hari. Untuk melihat adanya diare dan dampaknya, dilakukan
pemeriksaan fisik sebagai berikut:
Turgor kulit buruk menunjukkan bahwa hewan sedang dalam kondisi
dehidrasi (>3 detik) diakibatkan oleh diare sebagaimana dijelaskan dalam
anamnesis. Menurut Suartha (2010) status hidrasi pada kucing dapat ditentukan
dengan melihat turgor kulit karena pada saat dehidrasi, kulit kehilangan daya
elastisitasnya.
Suhu tubuh hewan 38.3 °C. Kondisi ini menunjukkan normal sesuai
pernyataan Redondo et al (2012) yang menyatakan bahwa rentang suhu normal
pada kucing berkisar pada 38.0°C – 39.5°C. Kondisi perawatannya dapat
dikatakan cukup dan gizinya pun cukup karena kondisi badan hewan tidak terlalu
gemuk juga tidak terlalu kurus.
Frekuensi napas si Adik adalah 41x/menit dengan ritme yang teratur serta
intensitas yang dalam. Frekuensi napas si Putih termasuk normal yaitu 20-
60x/menit (Ford dan Mezzaferro 2012). Frekuensi jantung kucing ini adalah
223x/menit yang berarti takikardi karena berada diatas rentang normal yaitu 90-
200x/menit (Shenck 2010). Hal ini diakibatkan oleh kondisi cemas dan stress
yang dialami Adik saat di jalan dan saat sampai di RSHP ataupun kondisi takut
saat pemeriksaan dilakukan.
Infestasi cacing pada saluran cerna menyebabkan adanya gangguan pada
penyerapan makanan pada usus yang menurun (Murniati, Sudarnika dan Ridwan
2016). Menurut Nelson dan Cuoto (2003) diare terjadi bila terdapat gangguan
transpor terhadap air dan elektrolit pada saluran cerna. Peristaltik usus yang
terdengar diakibatkan oleh banyaknya cairan dalam usus yang menyebabkan suara
peristaltik usus terdengar karena terganggunya transpor air dan penyerapan air
dalam usus halus sehingga air di dalam lumen usus menjadi lebih banyak dari
8

biasanya dan ini dibuktikan dengan pemeriksaan fisik dimana suara peristaltik
usus jadi terdengar. Pemeriksaan daerah sekitar anus ditemukan banyak kotoran
atau bekas feses yang menempel pada rambut sekitar anus. Hal ini diakibatkan
oleh keadaan diare yang dialami Adik sehingga feses yang cair dapat dengan
mudah menempel di rambut sekitar anus dan mengering disana. Feses yang keluar
saat defekasi berbentuk pasta dan berwarna kekuningan. Saat diperiksa
menggunakan preparat natif feses dibawah mikroskop ditemukan telur cacing.
Beberapa saat kemudian saat Adik kembali defekasi, pada fesesnya juga
ditemukan cacing yang masih hidup. Sehingga kuat dugaan Adik mengalami
kecacingan hal ini diperkuat dengan anamnesa dari pemilik bahwa adik belum
pernah diberikan obat cacing sebelumnya, namun hal ini perlu diperiksa lebih
lanjut dengan peneguhan diagnosa berupa pemeriksaan feses Adik.
A

Pemeriksaan Feses
A. Pemeriksaan makroskopis
Feses Adik memiliki konsistensi cair dengan bentuk pasta. Baunya sedikit
menyengat dengan bau amis yang kuat. Warna feses Adik kuning pucat. Pada
feses Adik juga ditemukan cacing yang memperkuat dugaan kecacingan.
B

Gambar 1 Feses hewan

B. Pemeriksaan mikroskopis
Pemeriksaan mikroskopis diawali dengan perhitungan telur cacing
dilakukan dengan metode McMaster menggunakan sampel feses Adik sejumlah 4
gram. Setelah dilakukan perhitungan dan identifikasi telur cacing, dilakukan juga
uji floating untuk dilakukan pemeriksaan apakah ada protozoa atau tidak. Hasil
dari pemeriksaan dengan uji floating menunjukkan bahwa tidak ada infeksi
9

protozoa pada feses Adik. Identifikasi jenis cacing yang dilakukan pada temuan
cacing yang berasal dari feses Adik merupakan cacing Ascaris.

Gambar 2 Telur Ascarid Gambar 3 Telur strongiloides

Gambar 4 Cacing Toxocara cati dari feses


C. Daur hidup cacing Toxocara cati pada Kucing
Cacing dewasa akan bertelur didalam usus lalu telur cacing akan keluar
melalui feses dan berkembang serta dimakan oleh intermediet host yang nantinya
akan bisa dikonsumsi oleh kucing melalui intermediet host. Selain melalui
intermediet host, telur cacing juga dapat diingesti langsung oleh kucing dan
berkembang di dalam tubuh kucing (Levine 1994). Cacing ini memiliki fase
infektif berupa telur. Jalur infektif dari cacing ini memiliki 3 jalur penularan, yang
pertama adalah ingesti langsung (infeksi langsung), yang kedua adalah melalui
10

intermediet host (hospes paratenik) dan yang ketiga adalah melalui air susu dari
induk kepada anaknya (Subronto 2006). Kasus Adik yang terinfeksi cacing ini
kemungkinan tertular melalui 1 dari 3 jalur tersebut mengingat Adik masih dalam
masa menyusu kepada induknya.

Pemeriksaan Darah
Pemeriksaan darah yang dilakukan adalah hematologi, ini dilakukan untuk
mengetahui profil sel darah merah maupun putih serta benda-benda darah lainnya
yang bisa digunakan untuk acuan pengobatan.
Menurut hasil pemeriksaan hematologi, ditemukan bahwa terjadi
penurunan eritrosit dan trombosit serta peningkatan kadar monosit. Menurut
Colville & Bassert (2008), monosit memiliki tiga fungsi. Pertama, membersihkan
sel debris yang dihasilkan oleh proses peradangan atau infeksi. Kedua, memproses
beberapa antigen yang menempel pada membran sel limfosit menjadi lebih
antigenik sehingga dapat mudah dicerna oleh monosit dan makrofag. Ketiga,
monosit memiliki kemampuan yang sama dengan neutrofil, yaitu untuk
menghancurkan zat asing yang masuk ke dalam tubuh. Dalam kasus Adik,
peningkatan kadar monosit dapat dihubungkan dengan adanya infestasi cacing
serta telur cacing pada tubuh Adik yang dalam hal ini akan dianggap sebagai
benda asing sehingga meningkatkan kadar monosit.
Kadar eritrosit dalam tes hematologi yang mengalami penurunan bisa
diakibatkan umur ataupun kondisi nutrisi yang kurang baik. Defisiensi vitamin
B12 dan asam folat dapat menyebabkan kegagalan 18 pematangan dalam proses
eritropoiesis, hal tersebut mengakibatkan jumlah eritrosit dalam darah rendah
(Guyton and Hall 1997). Perbedaan umur kucing juga merupakan salah satu faktor
yang mempengaruhi jumlah eritrosit dalam darah. Secara umum pada saat fetus,
jumlah RBC, hemoglobin dan hematokrit meningkat secara progresif dan paling
tinggi pada saat kelahiran, tetapi menurun secara cepat pada waktu berikutnya.
MCV dan MCH menurun secara bertahap. Namun jumlah eritrosit tersebut
mengalami peningkatan seiring pertambahan umur dan relatif stabil pada umur
satu tahun ( Jain 1993). Penurunan jumlah eritrosit pada eritrosit pada kasus Adik
diakibatkan oleh adanya parasit berupa cacing dan kutu yang menyerap nutrisi
dari Adik sehingga kadar eritrosit Adik menurun.
11

Kadar trombosit yang mengalami penurunan pada Adik diakibatkan oleh


adanya perlukaan akibat infestasi cacing yang. Hal ini mengakibatkan adanya
mobilisasi trombosit kepada daerah tersebut ssehingga kadar tombosit pada
keseluruhan darah menurun. Hal ini sesuai dengan pendapat Harrison (2005) yang
menyatakan penurunan jumlah trombosit dapat disebabkan oleh adanya gangguan
pada pembentukan trombosit dan juga dikarenakan adanya distribusi trombosit
yang abnormal. Trombositopenia adalah gangguan jumlah ataupun fungsi
trombosit dapat menyebabkan terganggunya waktu perdarahan dan kelainan
refraksi bekuan (Guyton 2006). Selain karena adanya mobilisasi abnormal pada
trombosit, trombositopenia juga dapat terjadi karena adanya pembentukkan imun
kompleks. Hal ini diakibatkan oleh permberian obat yang menyebabkan terjadinya
kompleks imun ini salah satunya adalah pemberian kuinin dan kuinidin.
Pemberian digitoksin dan heparin juga dapat menyebabkan trombositopenia.
Umumnya, antibodi diarahkan kepada trombosit namun apabila trombosit
menyerap obat dari plasama, antibodi akan merusak trombosit saat melekat pada
obat. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya trombositopenia (Fawcet, Bloom
dan Don 2002). Pada kasus Adik, trombositopenia yang terjadi tidak bisa
dikaitkan dengan adanya imun kompleks karena secara sejarah pengobatan Adik,
Adik belum pernah diberikan pengobatan menggunakan obat-obatan yang dapat
menyebabkan adanya imun kompleks.

Terapi
Terapi yang diberikan selama dirawat di ruang rawat inap, Adik diberikan
infus Ringer laktat dengan laju tetes sebanyak 1/35 detik sebagai terapi cairan
memperbaiki status hidrasinya. Pengobatan penyakit kecacingan pada adik
dilakukan dengan pemberian Carniverm sejumlah 1/10 tablet dengan dosis ganda
pada pemberian pertama lalu dilanjutkan dengan pemberian dosis normal pada
hari kedua dan dilanjutkan pemberian dosis normal 2 minggu setelah pemberian
terakhir.
Untuk terapi pengobatan pada kasus diarenya maka diberikan juga obat
racikan dalam bentuk kapsul yang berisikan Metronidazole sebagai antibiotik,
Pronicy sebagai antihistamin serta peningkat nafsu makan, entrostop sebagai
12

antispasmus, dexamethasone sebagai antiinflamasi serta vitamin b12 dan b-


kompleks. Pada terapi pengobatan Adik juga ditambahkan suplemen berupa
Imboost sediaan sirup untuk meningkatkan imun tubuh.
Pada hari pertama datang (9/4), Adik masih dalam kondisi lemas serta
untuk makan pun Adik masih harus diberikan secara Cekok. Untuk berkatifitas
Adik juga sedikit merasa takut sehingga lebih banyak menghabiskan waktu
didalam litter box. Suhu Adik yang sempat turun juga menyebabkan kandang
Adik harus diberikan heating pad serta lampu penghangat. Pada hari kedua (10/4)
adik sudah mulai beraktifitas namun masih dalam keadaan lemas. Nafsu makan
mulai meningkat dan untuk membantu sistem pencernaannya pulih maka
diberikan pakan Gastrointestinal dari Royal Canin. Status hidrasi Adik pun juga
sudah membaik namun Adik belum mau menyentuh minum yang disediakan
dikandang dan minum sendiri. Feses adik berbentuk pasta dan berwarna kuning
pucat. Pengobatan obat cacing juga dimulai pada hari ini. Hari ketiga (11/4) Adik
sudah sangat aktif dan nafsu makan tinggi. Feses Adik juga sudah mulai berubah
warna namun pada hari ini feses adik menjadi lebih cair dan tidak pasta seperti
hari kedua. Suhu tubuh sudah stabil pada kisaran 37.8-38.0. Hari keempat (12/4)
feses Adik sudah mulai berbentuk dan baunya sudah tidak amis lagi dibandingkan
feses Adik pada hari pertama sampai ketiga. Nafsu makan semakin meningkat
sehingga jam makan Adik yang tadinya 2 kali sehari menjadi 4 kali sehari. Suhu
tubuh semakin stabil di angka 38.0-38.5 dan sudah sangat lincah dalam
beraktifitas serta sudah aktif unuk mengeksplor wilayah rawat inap.
Pada malam harinya, feses hewan sudah berwarna seperti feses kucing
pada umumnya dan berbau seperti feses kucing umumnya serta tidak lagi
ditemukan cacing pada fesesnya. Pada hari kelima (13/4) Adik dinyatakan sehat
dan diperbolehkan pulang karena kondisinya yang sudah stabil. Terapi obat tetap
harus dijalankan hingga obat habis karena berisikan antibiotik. Untuk obat cacing
harus diberikan lagi pada tanggal 25 atau 26 April 2019.
13

Gambar 5 Feses Adik hari pertama Gambar 6 Feses Adik hari ketiga
Gambar 7 Feses Adik hari ketiga Gambar 8 Feses Adik hari keempa

Gambar 9 Feses Adik hari keempat (malam)

Gambar 10 Adik saat pulang


14

SIMPULAN
Pemeriksaan umum dan diagnosa lanjutan yang dilakukan pada Adik
menunjukkan bahwa Adik mengalami kecacingan. Konsentrasi cacing begitu
banyak hal ini ditandai dengan telur cacing per gram tinja yang mencapai 2200
yang terdiri atas 1200 strongiloides dan 1000 ascarid. Pengobatan dilakukan
menggunakan obat cacing Carniverm untuk mengatasi kecacingan, kombinasi
metronidazole, pronicy, entrostop, vitamin b12 dan vitamin b-kompleks untuk
mengatasi diare dan multivitamin imboost untuk meningkatkan imun.

DAFTAR PUSTAKA

Colville T, Bassert JM. 2008. Clinical Anatomy & Physiology for


VeterinaryTechnician. Missouri (US): Elsevier.
Fawcett, Bloom William, Don W. 2002. Buku ajar histologi. Edisi 12.
Terjemahan Jan Tambayong. Jakarta: EGC
Catalona William J. 2005. Prostate Cancer. Orlando:
Ford RB, Mazzaferro EM. 2012. Kirk & Bistner’s Handbook of Veterinary
Procedures and Emergency Treatment. Missouri (US): Saunders Elsevier.
Guyton AC. 2006. Textbook of Medical Physiology. Philadelphia: Elsevier
Guyton AC, Hall. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed ke-9. Jakarta (ID):
EGC
Harrison. 2005. Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Ed ke-2. Jakarta (ID):
EGC.
Jain NC. 1993. Essential of Veterinary Hematology. Philadelphia (US): Lea &
Febiger.
Levine ND. 1994. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner. Yogyakarta (ID) :
Gadjah MadaUniversity Press.

Murniati, Sudarnika E, Ridwan Y. 2016. Prevalensi dan Faktor Risiko Infeksi


Toxocara cati pada Kucing Peliharaan di Bogor. Jurnal Kedokteran
Hewan. 10(2): 139-142.

Nelson RW, Cuoto CG. 2003. Small Animal Internal Medicine Ed ke-3. Missouri
(US): Mosby Inc.
Redondo JI, Suesta P, Gil L, Soler G, Serra I, Soler C. 2012. Retrospective study
of the prevalence of post anaesthetic hypothermia in cats. Veterinary
Record. 170: 206.
15

Schenck PA. 2010. Saunders Comprehensive Review of the NAVLE. Missouri


(US): Saunders Elsevier.
Suartha, N. 2010. Terapi Cairan pada Anjing dan Kucing. Buletin Veteriner
Udayana. Vol.2 No.2.:Hal.69-83. ISSN : 2085-2395.
Subronto, 2006. Penyakit Infeksi Parasit dan Mikroba pada Anjing dan Kucing.
Yogyakarta (ID) : Gadjah Mada University Press.

Anda mungkin juga menyukai