Anda di halaman 1dari 19

Hari/Tanggal : Rabu/ 21 September 2022

Kelompok/Paralel : Kelompok 3/Paralel 2


Dosen : drh. Rr Soesatyoratih, MSi

LAPORAN AKHIR
(Operasi Kastrasi)

Disusun oleh :
Kelompok 3
Nur Hikmah (B04190064)
Oscar Daniel Kusumo Digyo (B04190066)
Rainaldy al-Aziz (B04190069)
Reza Mahdiah Reflianti (B04190071)
Shafa Rahma Dini (B04190079)
Shepti Laras (B04190080)
Christina Clarice Leksono (B04190091)
Magfirah Aliyya N. I. Tangahu (B04190094)

DEPARTEMEN KLINIK REPRODUKSI PATOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2022
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kucing sebagai hewan kesayangan merupakan salah satu hewan yang
tumbuh dan berkembang baik didomestikasi di rumah menjadi hewan kesayangan
ataupun liar di lingkungan dekat dengan masyarakat. Kucing menjadi hewan
peliharaan yang sangat umum ditemui, namun tidak semua individu kucing
menjadi hewan peliharaan. Hal ini bergantung pada keunikan dan kecenderungan
kesenangan pemilik terhadap ras tertentu atau motivasi memelihara. Keberadaan
kucing liar menjadi penyebab berbagai gangguan yang berkaitan dengan sanitasi
lingkungan, kegaduhan karena perkelahian dan perkawinan, dan penyebaran
zoonosis seperti toksoplasmosis yang dapat menyebabkan infeksi primer pada
wanita hamil seperti keguguran, lahir mati, kelahiran prematur dan lain-lain
(Larasati et al. 2019).
Sterilisasi adalah operasi pengangkatan organ reproduksi pada hewan agar
tidak dapat berkembang biak. Pada hewan jantan disebut dengan
kastrasi/orchiectomy, sedangkan pada hewan betina disebut ovariohysterectomy
(OH). Kastrasi atau orchiectomy adalah suatu tindakan pembedahan dibawah
anestesi umum untuk mengangkat (menghilangkan) testikel dan korda spermatika
dengan tujuan menghasilkan sterilitas. Manfaat lain kastrasi pada kucing jantan
diantaranya adalah mengurangi spraying dan marking; mengurangi dan mencegah
kejadian penyakit hormonal dan tumor testis, hernia, gangguan kelenjar prostat
serta mengurangi agresif di masa kawin dan keinginan berkeliaran di luar rumah
(Aryanti dan Romadhiyati 2021).
Keberhasilan kastrasi ditentukan oleh pengobatan dan perawatan pasca
operasi. Luka pasca operasi harus diobati supaya lekas kering dan hewan dapat
kembali sehat seperti semula. Manajemen perawatan luka yang tepat diperlukan
untuk mempercepat proses penyembuhan, mencegah kerusakan kulit dan jaringan
sekitarnya, mengurangi risiko infeksi, dan juga untuk meningkatkan kenyamanan
pasien.

1.2 Tujuan
Praktikum ini bertujuan mengetahui dan mempelajari teknik bedah aseptis
kastrasi beserta manajemen dari persiapan pra bedah hingga perawatan
pascabedah.

BAB II
DEFINISI KASUS

2.1 Anamnesa
Gambar 1 Kucing Hashi

Hashi adalah kucing berpemilik yaitu milik salah satu anggota kelompok
kami. Pertama kali ditemukan Hashi memiliki beberapa jamur dan bekasnya serta
rambut di badan hingga kepala dicukur hingga terlihat bagian kulit, namun Hashi
sangat kooperatif.

2.2 Sinyalemen
Nama : Hashi
Jenis Hewan/Spesies : Kucing
Ras/Breed : Persian Mix
Warna bulu atau kulit : Abu-abu
Jenis kelamin : Jantan
Umur : 1 tahun 1 bulan
Berat badan : 4.2 kg
Tanda khusus :-

2.3 Pemeriksaan Fisik

Gambar 2 Pemeriksaan Fisik Kucing Hashi

Tabel 1. Pemeriksaan fisik kucing Hashi


1. Status Present
1.1. Keadaan Umum

Perawatan : Baik

Habitus / tingkah laku : Tulang punggung lurus

Gizi : Baik

Pertumbuhan badan : Baik

Sikap berdiri : Kepala sejajar, tegak empat kaki

Suhu tubuh : 38,4oC

Frekuensi nadi : 120 / menit

Frekuensi nafas : 52 / menit


1. Status Present
1.2. Adaptasi Lingkungan : Dapat beradaptasi dengan baik

1.3. Kepala & Leher


Inspeksi

- Ekspresi wajah : Tenang

- Pertulangan kepala : Tegas

- Posisi tegak telinga : Tegak keduanya

- Posisi kepala : Tegak

Palpasi

Mata dan orbita kiri Mata dan orbita kanan

- Palpebrae : Membuka sempurna - Palpebrae : Membuka sempurna

- Cilia : Tumbuh ke arah - Cilia : Tumbuh ke arah luar -

- Konjunktiva luar : Rose, lembab Konjunktiva : Rose, lembab

- Membrana nictitans : Tersembunyi - Membrana


: Tersembunyi
nictitans

Bola mata kiri Bola mata kanan


- Sklera : Putih - Sklera : Putih

- Cornea : Bening - Cornea : Bening

- Iris : Coklat - Iris : Coklat

- Limbus : Permukaan rata - Limbus : Permukaan rata

- Pupil : Bulat - Pupil : Bulat

- Reflex pupil : Ada - Reflex pupil : Ada

- Vasa injectio : Tidak ada - Vasa injectio : Tidak ada

Hidung & sinus-sinus : Simetris, tidak ada penyumbatan

Mulut & rongga mulut Telinga Kanan dan Kiri

- Rusak / luka bibir : Tidak ada - Posisi : Simetris, berdiri tegak

- Mukosa : Rose, ada sedikit - Bau : Khas cerumen


lesion/sariawan

- Gigi geligi : Lengkap - Permukaan : Rata, halus

- Lidah : Rose, lembab - Krepitasi : Tidak ada

- Reflek panggilan : Ada

Leher

- Perototan : Otot teraba

- Trachea : Teraba, tidak ada


refleks batuk

- Esofagus : Teraba

1.4. Thorax : 1.4.1. Sistem Pernafasan

Inspeksi Perkusi

- Bentuk rongga : Simetris - Lapangan


:
paru-paru

: Costalis
thorax - Tipe

- Gema perkusi :

pernafasan

- Ritme : Teratur

- Intensitas : Dangkal Auskultasi

- Frekuensi : 52 kali / menit - Suara pernafasan :

- Suara ikutan :

Palpasi - Antara ins &


:
ekspirasi

- Penekanan : Tidak ada


rongga thorax refleks sakit

- Palpasi intercostal : Tidak ada


refleks sakit

1.4. Thorax: 1.4.2. Sistem Peredaran Darah

Inspeksi Auskultasi (lanjutan) :

- Ictus cordis : tidak ada - Frekuensi : 120 x / menit

- Intensitas : Kuat

Perkusi - Ritme : Ritmis/teratur

- Lapangan jantung : Tidak ada - Suara sistolik &


perluasan :
diastolik

- Ekstrasistolik :

- Lapangan jantung :

- Sinkron pulsus & jantung :

1.4. Thorax: 1.4.3. Uji-Uji Lain (Tidak ada pada kucing)


- Uji alu :-

- Uji gumba :-

1.5. Abdomen dan Organ Pencernaan yang Berkaitan

Inspeksi Palpasi ( profundal hewan kecil)

- Besarnya : Tidak ada - Epigastrikus :


perubahan

- Bentuknya : Simetris - Mesogastrikus :

- Legok lapar : rata - Hypogastrikus :

- Suara peristaltik : - Isi usus halus :


lambung

- Isi usus besar :

Palpasi ( profundal ruminansia kecil)

- Epigastrikus : Palpasi (hewan besar)

- Mesogastrikus : - Tegangan isi perut

- Hypogastrikus : - Sapi :

- Isi usus halus : - Kuda :

- Isi usus besar : - Frekuensi gerakan


: x / menit
rumen

- Frekuensi : x / menit (uji tinju)


gerakan rumen

Auskultasi Anus

Ruminansia - Sekitar anus : Bersih

- Rumen : - Refleks sphincter


: Ada
ani
- Peristaltik usus : - Glandula perianalis -
:-
anjing

- Pembesaran kolon -
: Tidak ada
kucing

Auskultasi - Kebersihan daerah


: Bersih
perineal
Hewan Kecil
- Hubungan dgn
:-
vulva-betina

- Peristaltik usus : Tidak ada


perubahan

Alat Perkemihan dan Kelamin (Urogenitalis)

Jantan Betina

- Perhatikan preputium : Bersih, tidak - Lakukan inspeksi &


ada luka palpasi

- Perhatikan penis : - Mukosa vagina :

- Keluarkan glans penis - Perhatikan kelenjar


mamae

- Besar : Tidak ada - Besar :


perubahan

- Bentuk : Tidak ada - Letak :


perubahan

- Sensitivitas : Tidak ada - Bentuk :


respon sakit

- Warna : Rose - Kesimetrisan :

- Kebersihan : Bersih - Konsistensi kelenjar :

- Scrotum : Simetris - Palpasi rektal :

- Urethra :-
1.6. Alat Gerak

Inspeksi Palpasi

- Perototan kaki depan : Simetris - Struktur pertulangan

- Perototan kaki : Simetris - Kaki kiri depan : Simetris


belakang

- Spasmus otot : Tidak ada - Kaki kanan depan : Simetris

- Tremor : Tidak ada - Kaki kiri belakang : Simetris

- Sudut persendian : Tidak ada - Kaki kanan


perubahan : Simetris
belakang

- Cara bergerak - : Koordinatif - Konsistensi


berjalan : Keras
pertulangan
- Cara bergerak - : Koordinatif
berlari - Reaksi saat palpasi : Tidak ada respon
sakit

- Letak reaksi sakit : -

- Panjang kaki depan


: Simetris sama
ka / ki
panjang

- Panjang kaki blk ka


: Simetris sama
/ ki
panjang

Palpasi - Palpasi kaki belakang pada posisi


menahan beban & tidak menahan beban,
- Limfoglandula bandingkan kemudahan mengangkat kaki
poplitea belakang terhadap kaki depan dan kaki
belakang berlawanan
- Ukuran : Tidak ada
perubahan * Catatan:

- Konsistensi : Kenyal 1. Kaki belakang harus lebih mudah


diangkat daripada kaki depan
- Lobulasi : Teraba jelas
2. Curigai sakit kerangka jika tungkai
- Perlekatan/pertautan : Ada pertautan terlalu mudah diangkat
- Panas : Tidak ada
perubahan

- Kesimetrisan ka / ki : Simetris

- Kestabilan pelvis

- Konformasi : Tegas

- Kesimetrisan : Simetris

* Catatan:

1. Palpasi anorektal dengan jari


- Kucing dan anjing
diperlukan pada anjing yang lebih besar
untuk menilai kestabilan pelvis
- Tuber ischii : Teraba
2. Penekanan jari pada columna
vertebralis harus meluas dari persendian
- Tuber coxae : Teraba, tidak ada thoracolumbar melalui segmen
krepitasi lumbosacral untuk
mendeteksi ketidakenakan atau
keterbatasan pergerakan

BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Pemeriksaan penunjang


Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk prosedur kastrasi
contohnya adalah pengujian hematologi. Pengujian darah cukup sederhana dan
tidak menghabiskan banyak biaya (Shoji et al. 2019), serta berguna untuk
diagnosis banyak penyakit organ dan sistemik selain dari kelainan pada sistem
peredaran darah (Roland et al. 2014). Parameter yang diuji mencakup kadar
eritrosit, leukosit, dan trombosit, nilai hematokrit, kadar hemoglobin, indeks
eritrosit (MCV, MCH, dan MCHC), MID, glukosa, dan laktat. Kasus kali ini tidak
menggunakan pemeriksaan darah karena terdapat keterbatasan situasi. Selain dari
hematologi, pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan contohnya adalah
analisis sitologi urin dan cairan prostat, menurut literatur dari Fossum (2013).
Perolehan sampel dapat dilakukan dengan masase, tetapi aspirasi jarum tipis akan
mendapatkan hasil yang lebih akurat dalam menggambarkan neutrofil, debris,
bakteri, dan bahkan sel neoplastik. Literatur tersebut juga menyatakan bahwa
imaging diagnostik seperti radiografi dan ultrasonografi dapat dilakukan apabila
terdapat indikasi masalah pada prostat.

3.2 Pre Operasi


Persiapan yang dilakukan sebelum operasi kastrasi meliputi persiapan alat,
bahan dan obat, persiapan ruang operasi, dan persiapan operator serta hewan.

a. Persiapan Alat, Bahan dan Obat


Kontaminasi bakteri pada peralatan medis merupakan salah satu
penyebab terjadinya infeksi nosokomial (Fauzi dan Thunru 2018). Alat
bedah perlu disiapkan secara aseptis dan steril merupakan prosedur yang
digunakan untuk membunuh mikroorganisme (Budiana dan Nggarang
2019). Alat bedah yang akan digunakan disterilisasi terlebih dahulu
dengan autoclave. Sterilisasi dilakukan pada suhu 121℃ dalam 30 menit
waktu paparan dan 15 hingga 30 menit untuk pengeringan (Fossum 2019).
Alat-alat operasi yang telah steril kemudian dipersiapkan dan diletakkan
secara urut dan rapi di atas meja peralatan oleh asisten kotor.
Persiapan obat meliputi persiapan premedikasi, agen induksi
anestesi, dan antibiotik. Premedikasi yang digunakan yaitu atropin sulfat.
Atropin merupakan premedikasi dari golongan antimuskarinik yang dapat
meningkatkan denyut jantung, mencegah hipersalivasi dan menurunkan
aktivitas gastrointestinal. Penggunaan atropin dapat mencegah bradikardia
dan hipersalivasi yang timbul akibat agen induksi anestesi (Apritya dan
Ardiani 2015). Injeksi atropine dilakukan 10 menit sebelum injeksi induksi
anestesi dan injeksi dilakukan secara subcutaneous (SC). Perhitungan
volume premedikasi atropine yang digunakan yaitu sebagai berikut:
𝑑𝑜𝑠𝑖𝑠 × 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑏𝑎𝑑𝑎𝑛
𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑎𝑡𝑟𝑜𝑝𝑖𝑛 = 𝑘𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖

0,025 𝑚𝑔/𝑘𝑔𝐵𝐵 × 4,2 𝑘𝑔


𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑎𝑡𝑟𝑜𝑝𝑖𝑛 = 0,25 𝑚𝑔/𝑚𝐿

𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑎𝑡𝑟𝑜𝑝𝑖𝑛 = 0, 42 𝑚𝐿

Agen induksi anestesi yang digunakan pada operasi ini yaitu


ketamine dan xylazine. Ketamine merupakan anestetik disosiatif dengan
waktu mula kerja yang cepat dan juga merupakan antagonis reseptor
NMDA sehingga memiliki efek analgesik yang kuat. Ketamine memiliki
efek samping berupa hipersalivasi yang dapat dicegah dengan premedikasi
atropin. Ketamine memiliki efek samping lain berupa menurunnya
frekuensi respirasi karena kejang otot. Depresi terhadap sistem
kardiovaskular dan respirasi yang muncul karena aktivitas ketamin bersifat
minimal (Fossum 2019).
Xylazine memiliki sifat analgetik, sedatif, muscle relaxant, dan
menurunkan tekanan darah sehingga dapat menekan efek samping dari
ketamine (Gonca et al. 2015). Efek sedatif yang ditimbulkan xylazine
disebabkan oleh depresi sistem saraf pusat dan pusat termoregulator
sehingga mereduksi frekuensi respirasi dan suhu rektal. Xylazine bekerja
pada reseptor presinaptik dan postsinaptik sistem saraf pusat, serta sebagai
agonis adrenergik pada sistem saraf perifer sehingga dapat menginhibisi
sistem saraf simpatis yang memberikan efek penurunan frekuensi respirasi
dan denyut jantung (Kurdi et al. 2014). Anestesi diberikan secara
intramuscular (IM) menggunakan campuran xylazine dan ketamine HCL.
Anestetik ketamine setengah dosis juga dipersiapkan untuk
memperpanjang efek anestesi bila dibutuhkan. Perhitungan volume
anestesi yang digunakan yaitu sebagai berikut:
10 𝑚𝑔/𝑘𝑔𝐵𝐵 × 4,2 𝑘𝑔
𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑘𝑒𝑡𝑎𝑚𝑖𝑛𝑒 = 100 𝑚𝑔/𝑚𝐿

𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑘𝑒𝑡𝑎𝑚𝑖𝑛𝑒 = 0, 42 𝑚𝐿
2 𝑚𝑔/𝑘𝑔𝐵𝐵 × 4,2 𝑘𝑔
𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑥𝑦𝑙𝑎𝑧𝑖𝑛𝑒 = 20 𝑚𝑔/𝑚𝐿

𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑥𝑦𝑙𝑎𝑧𝑖𝑛𝑒 = 0, 42 𝑚𝐿

b. Persiapan Operator
Persiapan operator yang dilakukan meliputi pemahaman terkait
prosedur operasi dan higiene personal. Operator perlu memahami anatomi
daerah operasi sebelum menjalankan pembedahan. Pemahaman terkait
anatomi daerah operasi dapat meminimalisir risiko perdarahan dan
komplikasi lain yang dapat terjadi selama prosedur operasi. Sebelum
operasi, operator juga harus melakukan pembersihan diri. Operator harus
dalam keadaan sehat dan bersih saat menjalankan operasi. Operator harus
mencuci tangan sebanyak 2 kali dengan menggunakan surgical scrub
(chlorhexidine gluconate) dan sikat. Setelah mencuci tangan dengan
bersih, operator dapat menggunakan perlengkapan operasi seperti hair cap,
masker, gown bedah, dan sarung tangan.
Gambar3 Persiapan Operator dan Asisten

c. Persiapan Hewan
Persiapan hewan diawali dengan memuasakan hewan selama 6-12
jam sebelum operasi untuk mencegah hewan muntah saat pembedahan.
Langkah selanjutnya yaitu melakukan pemeriksaan fisik untuk menilai
kondisi kesehatan pasien. Pemeriksaan fisik meliputi refleks pupil, cara
berdiri, cara berjalan, pemeriksaan suhu, denyut jantung, frekuensi napas,
capillary refill time (CRT), tekanan turgor kulit, warna mukosa, kebersihan
kulit dan bulu, serta konsistensi limfoglandula di berbagai titik. Hasil
pemeriksaan fisik menunjukkan bahwa kucing Hashi mengalami
dermatofitosis. Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik, diputuskan bahwa
kucing Hashi tetap dikastrasi karena berdasarkan parameter pemeriksaan
fisik lainnya menunjukkan bahwa kucing Hashi dalam keadaan sehat.

Gambar 4 Pemberian Premedikasi Atropine Sulfat


Setelah pemeriksaan fisik, hewan diberikan premedikasi atropine
dengan injeksi SC, lalu 15 menit kemudian dilanjutkan dengan injeksi
agen induksi ketamine dan xylazine secara IM. Pemberian ketamine dan
xylazine dilakukan secara bersamaan dari satu syringe. Setelah hewan
tidak sadar, rambut di daerah perineal dan testis dicukur. Area operasi
dicukur menggunakan clipper. Pencukuran dilakukan kembali dengan silet
untuk memastikan tidak ada rambut yang tersisa. Luas area cukur yang
dilakukan adalah 15-20 cm dari area insisi. Langkah terakhir adalah kulit
dicuci menggunakan sabun, dibilas menggunakan air, dikeringkan, dan
disemprot alkohol 70% serta povidone iodine.
Kucing diletakkan di meja operasi yang telah dialasi oleh
underpad. Kucing diposisikan dorsal recumbency. Keempat kaki diikat ke
ujung-ujung meja menggunakan simpul Tomfool. Final Draping kemudian
dilakukan menggunakan povidone iodine dengan arah melingkar dari
dalam ke luar. Area bedah kemudian ditutup dengan duk berlubang dan
difiksir dengan towel clamp. Setelah itu, operasi siap dilakukan.

3.3 Operasi
Prosedur operasi kastrasi diawali dengan operator dan asisten operator
membuka bungkusan alat-alat dan menyusunnya sesuai dengan urutan pakai.
Setelah itu, dipastikan posisi kucing dalam telentang (dorsal recumbency) dan
telah di-restrain dengan baik. Selanjutnya, dilakukan pengolesan antiseptik berupa
povidone iodin dengan kassa oleh operator atau asisten operator dengan arah
pengolesan melingkar dari arah dalam ke arah luar. Pengolesan perlu dilakukan
satu kali putaran saja dengan tujuan agar tetap aseptis. Selanjutnya, kain duk
dibentangkan di fokus wilayah operasi. Fiksasi kain duk dilakukan pada keempat
ujung sisi wilayah operasi dan harus tepat menjepit kulit. Fiksasi kain duk dibantu
dengan towel clamp dan dilakukan oleh asisten operator maupun operator.

a. Operasi kastrasi tertutup


Testis sebelah kanan dilakukan operasi kastrasi tertutup yaitu insisi
skrotum dan tunika dartos. Insisi dilakukan dari cranial ke caudal dengan
menggunakan scalpel dan bladenya pada bagian skrotum testis kiri.
Asisten membantu operator memasang scalpel blade no. 10 kepada handle
scalpel no. 3. Operator menentukan posisi sayatan dengan titik tentu di
scrotum kucing yang terlihat berwarna putih dan memanjang. Operator
menggunakan jari telunjuk dan ibu jari untuk memfiksir skrotum di sisi
cranial sehingga dapat memaksimalkan sayatan. Penentuan posisi sayatan
adalah tepat pada scrotum sepanjang 1 cm.
Teknik insisi yang dilakukan adalah dengan melebarkan posisi kulit
di atas sayatan agar membentuk bidang yang lebih datar menggunakan jari
tangan kiri kemudian tangan yang memegang scalpel mulai menginsisi
dari cranial ke caudal dengan sedikit tekanan agar dapat tersayat dalam 1
kali. Pada kasus kucing yang dilakukan tindakan, skrotum relatif tebal dan
perlu dilakukan penyayatan kembali. Teknik membuka tunika dartos
dilakukan hingga tunika vaginalis terlihat. Testis ditekan perlahan dengan
ibu jari dan jari telunjuk di bagian cranial hingga testis keluar. Tarik keluar
testis yang masih terbungkus tunika vaginalis agar lebih mudah diligasi.
Pengikatan dilakukan pada funiculus spermaticus. Ligamentum dan fascia
didorong masuk ke dalam insisi menggunakan gagang skalpel atau bisa
diseksi menggunakan straight sharp-sharp mayo scissor, dengan demikian
yang masih tertinggal adalah spermatic cord yang masih berada didalam
tunica vaginalis yang sekarang bebas terekspos. Ligasi menggunakan
jarum dan benang. Ligasi sebanyak dua kali bagian cranial dan buat ligasi
yang sama di bagian caudal seperti ligasi pertama. Kemudian jepit dengan
hemostat tisue forcep diantara dua ligasi. Setelah itu bisa dipotong
funiculus spermaticus menggunakan scalpel diantara dua ligasi. Pastikan
tidak ada pendarahan. Jika terjadi masih ada pendarahan bisa di tambahkan
ligasi untuk menghentikan pendarahan. Duktus deferens juga sudah dapat
dilepaskan dari clamp dan bersama funiculus spermaticus yang sudah
ligasi dimasukkan ke dalam skrotum kembali. Setelah selesai, area operasi
atau bagian dalam skrotum ditetesi penisilin sebanyak 1 mL. Operasi
selesai dan kulit skrotum tidak perlu dijahit.

b. Operasi kastrasi terbuka


Testis sebelah kiri dilakukan operasi kastrasi terbuka, yakni tunika
vaginalis communis ikut disayat, testis diikat kemudian dipotong dan
dilepaskan dari ligament penggantungnya (Komang dan Kusumawati
2011). Langkah pertama yang dilakukan yaitu kucing diberikan duk di
sekitar bagian skrotum dengan skrotum tidak tertutup duk. Kemudian
bagian tunika vaginalis communis testis sebelah kiri disayat sampai testis
menyembul keluar dengan menekan bagian testis. Setelah testis
menyembul keluar, testis ditarik sampai terlihat spermatic cord (duktus
deferens dan pembuluh darah). Kemudian dilakukan ligasi menggunakan
towel clamp pada masing-masing duktus deferens dan pembuluh darah
diligasi menggunakan catgut chromic 3.0 diantara towel clamp dan testis
sampai benar-benar terligasi secara kuat, hal tersebut agar tidak terjadi
perdarahan saat pemotongan testis. Pembuluh darah dan duktus deferens
diligasi menjadi satu menggunakan catgut chromic 3.0 agar benar-benar
terikat kuat. Sesudah dilakukan ligasi, testis dipotong menggunakan blade,
dilakukan diantara testis dan ligasi.

3.4 Monitoring Anestesi selama Operasi

Tabel 2 Monitoring Pembiusan Operasi Kastrasi Kucing Hashi


Menit ke- 15 30 45 60
HR (x/menit) 188 160 144 148

RR (x/menit) 20 20 16 20

Suhu (°C) 36.2 36.6 36.6 36.7

Prosedur monitoring dilakukan setiap 15 menit sekali. Aspek yang yang


diperiksa saat monitoring secara berkala yaitu heart rate (HR) atau frekuensi
jantung, respiration rate (RR) frekuensi nafas, suhu tubuh pasien, capillary refill
time (CRT), refleks pupil, refleks palpebrae, warna mukosa, dan respon sakit.
Monitoring operasi dilakukan untuk mengetahui kondisi fisiologis selama
teranestesi dan memantau efek dari sediaan anestesi pada pasien. Tujuan
monitoring saat operasi yaitu untuk melihat perkembangan efek anestesi pada
pasien sehingga dapat diperhitungkan waktu pemberian maintenance apabila
dibutuhkan saat prosedur operasi belum selesai (Kreuzer 2017). Monitoring
anestesi sangat penting dilakukan untuk mengetahui efek obat anestesi terhadap
organ sehingga dapat meminimalisir efek samping yang tidak diinginkan selama
prosedur operasi (Cordero 2021).
Nilai normal frekuensi jantung kucing berada pada rentang 140-220 kali
per menit, frekuensi pernapasan normal pada kucing berada pada rentang 24-42
kali per menit (Tilley dan Smith 2019). Monitoring pertama, dimulai pukul 09.55
WIB setelah kucing teranestesi kombinasi ketamine dan xylazine. Berdasarkan
data monitoring pembiusan pasien, parameter yang diperhatikan tidak konstan.
Pada saat monitoring, didapatkan jumlah frekuensi jantung kucing mengalami
penurunan, yaitu 188x/menit pada 15 menit pertama dan 144x/menit pada menit
ke 60. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Aprilianti et al. (2020), bahwa efek
pemberian anestesi ketamin+xylazine dapat menurunkan frekuensi jantung.
Frekuensi pernafasan pasien juga menurun karena pengaruh dari induksi sediaan
anestesi tersebut, yaitu dalam rentang 16-20x/menit.

Gambar 5 Maintenance Anestesi


Suhu tubuh pasien selama operasi cenderung konstan, yaitu berada dalam
rentang 36,2-36,7°C. Namun suhu tersebut tergolong rendah, karena di bawah
rentang suhu normal kucing pada umumnya yaitu 38,0 – 39,2°C (Tilley dan Smith
2019). Selama operasi berlangsung, pasien mengalami hipotermia sehingga
dilakukan tindakan berupa pemberian kompres air hangat yang ditempelkan di
ketiak dan kaki serta diberi cahaya infra merah untuk meningkatkan suhu
tubuhnya. Penurunan suhu tubuh kucing setelah induksi anestesi dapat terjadi
karena metabolisme tubuh menurun (Aprilianti et al. 2020).

2.5 Post operasi


Perawatan dan tindakan lanjut post operasi dilakukan untuk membantu
pemulihan pasien dari anestesi dan persembuhan luka operasi. Hal yang perlu
diperhatikan antara lain monitoring kondisi pasien (suhu tubuh, kecukupan perfusi
dan sirkulasi darah, tingkat kesadaran, rasa sakit dan ketidaknyamanan, kondisi
khusus seperti hipoglikemia dan hemoragi), nutrisi pasien agar tidak terjadi
malnutrisi post operasi dengan mengatur kebutuhan energi dan diet pasien post
operasi, aktivitas fisik dan perawatan lanjutan.

a. Monitoring kondisi pasien


Hal yang perlu diperhatikan post operasi adalah monitoring kondisi
pasien dengan memperhatikan suhu tubuh, parameter kardiovaskular,
fungsi pernapasan, tingkat kesadaran dan rasa sakit. Suhu tubuh perlu
diperiksa setiap 30-60 menit hingga mencapai suhu normal dibantu dengan
sumber panas. Kecukupan perfusi dan sirkulasi darah dinilai dari frekuensi
jantung, frekuensi nafas, warna selaput lendir, dan capillary refill time.
Tingkat oksigenasi dinilai melalui tekanan parsial oksigen arteri. Pasien
dimonitor terkait rasa sakit dan ketidaknyamanan untuk membantu
pemulihan pasien. Monitoring kondisi pasien perlu dilakukan untuk
mengetahui tingkat pemulihan pasien dan memastikan kondisi pasien
kembali normal setelah operasi.

b. Perawatan luka
Luka akibat pembedahan dibersihkan dengan rivanol dan povidon
iodine kemudian dioles antibiotik dalam hal ini digunakan antibiotik
gentamicin (Genoint) untuk menghindari terjadinya infeksi sekunder pada
scrotum. Perlunya meminimalisir kontaminasi pada luka agar terlindungi
dari trauma yang mungkin dapat terjadi. Luka operasi senantiasa diawasi
dengan baik agar tidak terjadi infeksi dan cepat kering. Komplikasi dari
kastrasi yang sering terjadi diantaranya adalah trauma, pembengkakan,
memar, hematoma scrotalis dan infeksi. Selama tujuh hari post operasi
kastrasi, luka pembedahan mulai mengering dan tidak ditemukannya
komplikasi seperti pembengkakan ataupun infeksi.

c. Pengaturan diet pasien, pemberian vitamin, dan pemberian obat


Pasien post operasi membutuhkan asupan nutrisi yang tinggi untuk
pemulihan. Hal ini diatur dalam pengaturan diet pasien agar tidak
overfeeding dengan pemberian makan minimal tiga kali sehari dan
senantiasa menyediakan air minum. Pasien yang mengalami muntah perlu
dikurangi jumlah makannya tetapi ditingkatkan frekuensinya. Apabila
tetap muntah, maka diberikan obat anti muntah atau antiemetik seperti
sucralfate, lansoprazole, atau ondansetron sebagai anti muntah. Selain itu,
pemberian vitamin seperti vitamin B kompleks atau vitamin K untuk
menjaga stabilitas tubuh pasien post operasi. Pemberian obat pasca operasi
seperti antibiotik dan analgesik juga perlu diberikan agar proses pemulihan
lebih cepat, dalam hal ini digunakan antibiotik Yusimox 4,2 ml 2x sehari
dalam 7 hari serta anti inflamasi dan analgesik meloxicam diberikan 1x
sehari dalam 3 hari.

d. Kontrol lanjutan

Pengecekan apakah terjadi infeksi sekunder, luka tidak kering,


ligasi lepas, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, radiografi, atau
tindakan lain sesuai dengan kebutuhan pasien untuk memastikan
kesembuhan dan pemulihan pasien.

BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN
4.1 Simpulan
Prosedur bedah harus dilakukan seaseptis mungkin, sama halnya dengan operator
dan peralatannya. Kucing yang hendak dioperasi perlu diperiksa secara fisik dan
hematologi. Tahap pre operasi kucing puasa makan 12 jam dan minum 4 jam,
pemberian premedikasi dan anestesi, dan preparasi areal bedah. Tahap operasi
dilakukan dengan dua cara berbeda yaitu kastrasi terbuka dan tertutup. Tahap
pasca operasi jahitan kucing di injeksi biodin, hematodin, serta meloxicam.
Monitoring pasien dilakukan 3 kali selama 7 hari dengan pemeriksaan fisik,
perawatan luka, serta pemberian obat amoxicillin sirup serta meloxicam per oral.

4.2 Saran
Kesiapan dan kesigapan operator beserta tim perlu ditingkatkan agar prosedur
bedah dilakukan lebih lancar. Penanganan luka operasi sebaiknya dilakukan
dengan lebih steril.

Daftar Pustaka
Aprilianti Y, Rahmiati DU, Setyowati EY, Dahlan A. 2020. Potensi anastesik
sediaan jadi kombinasi ketamin hidroklorida, atropin sulfat, dan xylazin
hidroklorida pada kucing jantan lokal. Indonesia Medicus Veterinus. 9(3):
475 - 487.
Apriyati D, Ardiani T. 2015. Perbandingan mula dan lama kerja anestesi umum
dengan premedikasi antara acepromazine dengan kombinasi
acepromazine-atropin sulfat pada kucing lokal (Felis domestica). VITEK.
5(7): 36-41.
Aryanti F dan Romadhiyati F. Penyembuhan luka pasca kastrasi pada kucing
jantan dengan menggunakan sediaan propolis cair. AgroSainta. 5(1): 1-8.
Budiana I, Nggarang KF. 2019. Penerapan teknik aseptik pada asuhan
keperawatan di ruang bedah RSUD Kabupaten Ende. Jurnal Keperawatan
Terpadu. 1(2): 56-64.
Cordero IS. 2021. Manual of Anaesthetic Monitoring in Small Animals. Howard
O, penerjemah. Zaragoza(ES): Grupo Asís Biomedia.
Fauzi A, Thunru M. 2018. Pola kuman pada alat sterilisasi dan alat medis pakai
ulang di instalasi sterilisasi Rumah Sakit Gigi dan Mulut Universitas
Hasanuddin. Makassar. Dent J. 7(3): 125- 127.
Fossum TW. 2019. Small Animal Surgery 5th Edition. Philadelphia (US):
Elsevier.
Fossum TW. 2013. Small Animal Surgery. 4th edition. Missouri (US): Elsevier.
Gonca E. 2015. Comparison of thiopental and ketamine-xylazine anesthesia in
ischemia /reperfusion induced arrhythmias in rats. Turkish Journal of
Medical Sciences. 45(6): 1413–1420.
Komang WS, Kusumawati D. 2011. Bedah Veteriner Cetakan Pertama. Surabaya
(ID): Airlangga University Press.
Kurdi M, Theerth K, Deva R. 2014. Ketamine: Current applications in anesthesia,
pain, and critical care. Anesthesia: Essays and Researches. 8(3): 283-290.
Kreuzer M. 2017. EEG based monitoring of general anesthesia: taking the next
steps. Frontiers in Computational Neuroscience. 11(56): 1-7.
Larasati PA, Sudarmaja IM, Swastika IK. Gambaran tingkat pengetahuan ibu
hamil tentang toksoplasmosis di Denpasar Utara tahun 2017. E-Jurnal
Medika. 8(3): 1-6.
Roland L, Drillich M, Iwersen M. 2014. Hematology as a diagnostic tool in
bovine medicine. Journal of Veterinary Diagnostic Investigation.
26(5):592-598.
Shoji F, Takeoka H, Kozuma Y, Toyokawa G, Yamazaki K, Ichiki M, Takeo S.
2019. Pretreatment prognostic nutritional index as a novel biomarker in
non-small cell lung cancer patients treated with immune checkpoint
inhibitors. Lung Cancer. 136:45-51.
Tilley LP, Smith FWK. 2019. Panduan Praktik Veteriner: Anjing & Kucing.
Jakarta (ID): ECG.

Anda mungkin juga menyukai