Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH PRAKTIKUM

MK. PENYAKIT BAKTERIAL DAN MIKAL

IDENTIFIKASI DERMATOFITA
Dosen : drh. Novericko Ginger Budiono S.K.H., M.Si.

Disusun Oleh :

Adnan Rizal Suhendi B04190093

Magfirah Aliyya N. I. Tangahu B04190094

Erin Decole Himawan B04190095

Kelompok / Paralel : 7 / P4

DIVISI PENYAKIT BAKTERI & MIKAL


DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT HEWAN DAN KESMAVET
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2022
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
Infeksi jamur, terutama dari mikosis kulit (dermatofita) dapat
menyebabkan kerusakan kronis dan luas pada kulit, rambut, dan kuku.
Dermatofita dapat diklasifikasikan menjadi tiga genus diantaranya, Trichophyton,
Microsporum dan Epidermophyton berdasarkan formasi dan morfologi dari
konidia (Kitisin & Luplertlop 2015). Infeksi oleh dermatofita biasanya terbatas
pada epidermis superfisial, jamur ini dapat bersifat invasif dan menyebabkan
infeksi yang sangat parah pada pasien dengan defisiensi imun, yang mengarah
pada perkembangan granuloma dermatofitik. Peningkatan dalam kejadian
dermatofitosis seiring dengan peningkatan jumlah kasus yang sulit diobati
menunjukkan bahwa infeksi jamur superfisial masih menjadi tantangan kesehatan
masyarakat.
II. Tujuan
Makalah ini bertujuan mengetahui metode-metode dalam
mengidentifikasi dermatofita yang diambil dari lapang, secara makro dan
mikroskopis.
METODE
I. Alat dan Bahan
a. Pemeriksaan Langsung Mikroskopis
Alat yang digunakan dalam pemeriksaan langsung secara
mikroskopis yaitu mikroskop, objek glass, cover glass, ose, serta
bunsen. Bahan yang digunakan yaitu KOH 10-20% dan sampel
kerokan.

b. Pembiakan Kultur
Alat yang digunakan dalam pembiakan kultur yaitu ose jarum atau
bulat serta bunsen. Bahan yang digunakan yaitu media agar
(SDA/DSA) dan sampel kerokan.

c. Pemeriksaan mikroskopis dari kultur dengan selotip


Alat yang digunakan dalam pemeriksaan kultur dengan selotip
serta objek glass. Bahan yang digunakan yaitu Lactophenol Cotton
Blue (LPCB) dan sampel kerokan.

d. Pembuatan slide culture menurut Riddle


Alat yang digunakan dalam pembuatan slide culture menurut
Riddle adalah ose jarum atau bulat, cawan petri, batang penahan,
scalpel, cover slip, dan mikroskop. Bahan yang digunakan yaitu
media agar, kertas saring steril bundar, akuades steril, dan sampel
kultur.

II. Langkah Kerja


a. Pemeriksaan Langsung Mikroskopis (Ramadhani et al. 2020)
Mengumpulkan kerokan serta rambut pada objek glass.
Selanjutnya meneteskan larutkan KOH 20% pada kerokan di
objek glass. Kerokan tersebut ditutup menggunakan cover glass.
Selanjutnya preparat diletakkan dalam cawan petri yang tertutup
dan didiamkan selama 30-50 menit untuk menjernihkannya.
Selanjutnya preparat dapat diperiksa menggunakan mikroskop.

b. Pembiakan Kultur (Aini dan Rahayu 2015)


Sampel kerokan diinokulasikan menggunakan ose steril ke dalam
media agar seperti Dermasel Agar (DSA) atau Sabouraud
Dextrose Agar (SDA). Selanjutnya jamur diinkubasi dengan
jangka waktu dua minggu.

c. Pemeriksaan mikroskopis dari kultur dengan selotip


Objek glass ditetesi LPCB. Selotip diletakkan pada bagian yang
terdapat jamur. Selanjutnya selotip ditempelkan pada objek glass
yang sudah ditetesi LPCB. Pengamatan menggunakan
menggunakan mikroskop dapat dilakukan.

d. Pembuatan slide culture menurut Riddle (Hamdiyati 2015)


Disiapkan sebuah cawan Petri steril yang di dalamnya diberi
kertas saring steril yang dipotong bundar dan telah dilembabkan
dengan menggunakan akuades steril untuk menjaga kelembaban
kultur dalam cawan Petri. Pada cawan Petri tersebut disimpan
batang penahan berbentuk segitiga, dan di atas batang penahan
tersebut diletakkan sebuah objek gelas steril beserta penutupnya.
Blok agar steril kira-kira berukuran satu sentimeter kuadrat
dipotong dari medium PDA dalam cawan Petri steril lain. dan
diletakkan di atas gela objek dengan menggunakan pisau atau alat
pemotong steril. Kemudian, fungi diinkubasi pada keempat blok
agar dan ditutup oleh gelas penutup steril. Setelah beberapa hari
diinkubasi dalam suhu kamar, slide dapat diamati dengan bantuan
LPCB, dan diamati dengan mikroskop pada perbesaran rendah
sampai tinggi, lalu diidentifikasi.
HASIL DAN PEMBAHASAN

I. Sampel
Sampel merupakan hasil pengambilan dari area ujung telinga dari
kucing yang diduga terinfeksi dermatofita karena menunjukkan gejala
berupa alopesia.

II. Metode Pengambilan Sampel


Pengambilan sampel dilakukan dengan mengerok area yang
diduga terinfeksi dengan menggunakan blade. Pengerokan dimulai pada
area yang tidak terinfeksi hingga ke area yang terinfeksi. Hasil
pengerokan dimasukkan ke dalam plastik dengan zipper lock.

III. Pemeriksaan langsung secara mikroskopis


Pemeriksaan langsung secara mikroskopis dilakukan dengan
menggunakan KOH 10% pada preparat hasil pengerokan. Hasil
pemeriksaan secara mikroskopis memperlihatkan adanya ektoparasit pada
preparat. Preparat menunjukkan adanya ektoparasit yaitu Sarcoptes
scabiei beserta telurnya.
Siklus hidup Sarcoptes scabiei yang diawali oleh masuknya
tungau dewasa ke dalam kulit manusia dan membuat terowongan di
stratum korneum sampai akhirnya tungau betina bertelur. Sarcoptes
scabiei tidak dapat menembus lebih dalam dari lapisan stratum korneum
(Ronny et al. 2010). Penyakit skabies dapat ditularkan melalui kontak
langsung dengan hewan lain yang terkena skabies atau dengan adanya
sumber tungau skabies di wilayah tempat tinggal kucing (Susanto et al.
2020).

Gambar 1 Sarcoptes scabiei dan telurnya pada preparat yang diduga


dermatofita.
IV. Pembiakan kultur
Pembiakan kultur dilakukan pada media Dermasel Agar.
Dermasel Agar mengandung suplemen 400 mg/L cycloheximide dan 50
mg/L chloramphenicol (Sunartatie 2010). Chloramphenicol dan
Cycloheximide membuat media selektif untuk dermatofita yang
menghambat banyak jamur saprofit, ragi dan bakteri flora kulit.
Hasil pembiakan kultur pada Dermasel Agar yang diberi nama
“slamet telinga” berwarna putih pada bagian atas dengan tekstur halus
dan kering dan inti hitam kehijauan. Sementara pada bagian bawah
berwarna krem dengan bagian tengah berwarna kecoklatan.

Gambar 2 Hasil pembiakan pada Dermasel agar

Gambar 3. Kultur Penicillium marneffei (depan)(Campbell et al.2013)

Berdasarkan hasil pengamatan makroskopis, dapat diamati ada


beberapa persamaan pada jamur yang ditumbuhkan dari sampel dengan
gambaran makroskopis P. marneffei dalam literatur Campbell et al.
(2013). Tekstur velvety dengan warna putih kehijauan. Akan tetapi yang
membedakan adalah pada literatur Campbell et al. (2013), terdapat
warna merah muda yang mengelilingi pinggir koloni, dan bagian bawah
P. marneffei berwarna merah, tidak coklat.
V. Pemeriksaan mikroskopis dari kultur dengan metode selotip
Pemeriksaan mikroskopis kultur dengan selotip digunakan dengan
memakai LPCB (Lactophenol Cotton Blue). Fenol bertindak sebagai
desinfektan, asam laktat menjaga morfologi jamur, gliserol bertindak
sebagai agen higroskopis yang mencegah pengeringan dan noda biru
kapas pada dinding luar jamur (Basava et al. 2016). Hasil pemeriksaan
mikroskopis terdapat massa batang tipis berliku-liku yang dikenal sebagai
hifa. Ujung dari hifa membentuk spora yang saling bersusun. Tidak
ditemukan adanya makrokonidia pada lapang pandang.

Gambar 3. Hasil pengamatan mikroskopis jamur sampel


menggunakan metode selotip

VI. Pembuatan slide culture menurut Riddel


Slide culture konvensional sebagai suatu identifikasi morfologi
dikenal sebagai metode yang paling umum untuk identifikasi jamur
kapang patogen. Metode ini relatif lebih tahan lama untuk menyimpan
gambaran morfologi dibandingkan dengan menggunakan metode selotip
(Rosana et al. 2014). Teknik ini dilakukan untuk melihat berbagai tingkat
stadium pembentukan konidia dan untuk mengidentifikasi sporulasi jamur
dengan tepat (Tiwari 2015).

Gambar 4. Skema kultur teknik Riddell (PD- Petri Dish, FP- Filter paper,
GR-Glassrod, S- Slide, B- Block, CS- Cover slip, I- Inoculated fungal
culture) (Tiwari 2015)
Metode pembuatan slide culture menggunakan metode Riddell
membutuhkan blok media agar yang ditransfer pada object glass dan
diletakkan dalam ruang lembab. Literatur Tiwari (2015) memaparkan
metode teknik kultur Riddell. Bagian dasar (PD) dilapisi dengan FP,
kemudian GR segitiga diletakkan di dalam PD, dan S diletakkan di atas
GR segitiga. Selanjutnya, FP dibasahai dengan 5% gliserin atau dengan
akuades steril. Setelahnya, B dipotong dari sediaan medium yang telah
mengeras, dengan ukuran sebesar 0.7-1 cm menggunakan scalpel. Satu
blok agar, diinokulasi dengan I dan diinkubasi pada suhu yang
memungkinkan jamur untuk bersporulasi. Setelah didapatkan
pertumbuhan jamur, CS diangkat dari B dan diamati gambaran
mikroskopis nya dengan bantuan pewarnaan LPCB.

Gambar 5. Hasil kultur jamur pada slide Riddel

VII. Hasil identifikasi mikroskopis slide kultur Riddell

Gambar 6. Hasil pengamatan Mikroskopis kultur Riddell


Pemeriksaan mikroskopis kultur dengan cover slip dari hasil
kultur Riddell dan digunakan LPCB. Hasil pemeriksaan mikroskopis
menunjukkan bentukan massa batang tipis berliku-liku yang, yaitu hifa.
Ujung dari hifa membentuk konidiofora yang memanjang, dan tidak
ditemukan adanya makrokonidia. Hasil pengamatan mikroskopis pada
slide kultur Riddell memiliki kesamaan dengan pengamatan mikroskopis
yang telah dilakukan sebelumnya, yaitu menggunakan selotip. .

Gambar 7. Bentuk Konidiofora dari Penicillium sp. (Campbell et


al. 2013)
Berdasarkan literatur Campbell et al. (2013), bentuk dari
pengamatan mikroskopis memiliki ciri yang menyerupai gambaran
konidiofor Penicillium sp. dimana konidiofor jamur yang teridentifikasi
memiliki bentuk memanjang, dan konidia membulat dengan tiap konidia
memiliki bentuk yang jelas.

Hasil percobaan identifikasi sampel lapang untuk menentukan


dermatofit menunjukkan hasil berupa jamur bukan penyebab dermatofita,
yait Penicillium sp. Kesalahan dapat terjadi karena kurang cermatnya
praktikan saat melakukan pengambilan sampel, sehingga sampel yang
terambil bukanlah dermatofita, melainkan jamur non dermatofit.
SIMPULAN
Sampel yang didapatkan dari hasil pengujian jamur penyebab dermatofita
tidak menunjukkan hasil jamur dermatofit, melainkan Penicillium sp. Adanya
ketidaktelitian dari praktikan dapat mempengaruhi hasil dari uji identifikasi
dermatofita.

DAFTAR PUSTAKA

Aini N, Rahayu T. 2015. Media alternatif untuk pertumbuhan jamur


menggunakan sumber karbohidrat yang berbeda. Seminar Nasional
XII Pendidikan Biologi FKIP UNS. 12: 861-866.

Basava SR, Ambati S, Jithendra K, Premanadhan N, Reddy PS, Mannepuli CM.


2016. Efficacy of iodine-glycerol versus lactophenol cotton blue for
identification. of fungal elements in the clinical laboratory.

Campbell CK, Johnson EM, Warnock DW. 2013. Identification of Pathogenic


Fungi, Second Edition. Bristol (UK): Blackwell Publishing Ltd.

Hamdiyati. 2015. Petunjuk Praktikum Mikrobiologi. Bandung (ID): Universitas


Pendidikan Indonesia.

Kitisin T, Luplertlop N. 2015. Induction by Epidermophyton floccosum of human


fibroblast matrix metalloproteinase-9 secretion in vitro. Southeast
Asian J Trop Med Public Health. 46(2): 268-275.

Ramadhani FU, Ratnasari DT, Masfufatun. 2020. Sensitivitas dan spesifisitas


metode KOH 20% + tinta Parker blue black dibanding dengan KOH
20% pada dermatomikosis superfisialis. Jurnal Ilmiah Kedokteran
Wijaya Kusuma. 9(2): 218-228.

Ronny PH, Adhi D, Mochtar H, Siti A. 2010. Skabies dalam: Ilmu Penyakit Kulit
dan Kelamin Edisi Keenam. Jakarta (ID): Balai Penerbit FKUI.

Rosana Y, Matsuzawa T, Gonoi T, Karuniawati A. 2014. Modified Slide culture


method for faster and easier identification of Dermatophytes.
Microbiol Indones. 8(3): 135-139. DOI: 10.5454/mi.8.3.7.

Sunartatie T. 2010. Trichophyton mentagrophytes sebagai agen penyebab


dermatofitosis pada kambing. J. Sain Vet. 28(1): 48-54.
Susanto H. 2020. Kasus scabies (Sarcoptes scabiei) pada kucing di klinik
intimedipet Surabaya. Jurnal Biosains Pascasarjana. 22(1): 37–45.
https://doi.org/10.20473/jbp.v22i1.2020.37-45.

Tiwari K. The future products: Endophytic fungal metabolites. J Biodivers


Biopros. 2(1): 1-7. doi:10.4172/2376-0214.1000145.

Anda mungkin juga menyukai