Anda di halaman 1dari 7

LAPORAN PRAKTIKUM

MATA KULIAH: PENYAKIT BAKTERIAL DAN MIKAL


PENGUJIAN DERMATOFITOSIS

Dosen Penanggung Jawab:


Dr. drh. Agustin Indrawati, M.Biomed

KELOMPOK 4

Stephany N Bangka B04160163


Indah Ratna Yutami B04160164
Malcolm Lee B04168009

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT HEWAN DAN KESMAVET


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
IPB UNIVERSITY
2019
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kucing merupakan salah satu hewan kesayangan yang banyak diminati oleh
banyak masyarakat selain anjing. Kucing peliharaan membutuhkan perawatan yang
baik dengan cara menjaga kebersihan, pemberian makanan yang baik dan
pelaksanaan program vaksinasi. Hal ini bertujuan untuk menjaga kesehatan dan
menghindarkan dari berbagai macam penyakit. Ada beberapa penyakit yang dapat
menginfeksi kucing, salah satunya adalah dermatofitosis atau ringworm
(Setyadarma dan Masanto 2011). Dermatofitosis merupakan suatu penyakit pada
kulit yang disebabkan oleh kelompok kapang yaitu dermatofita. Dermatofitosis
menurut Sunartatie (2010), adalah penyakit zoonosis yang disebabkan oleh
kelompok kapang dermatofita, meliputi genus Mycrosporum, Trychophyton, dan
Epidermophyton. Kelompok kapang ini bersifat keratinofilik, menyerang lapisan
superfisial tubuh, seperti: kulit, rambut dan kuku.
Patogenesis dermatofitosis pada setiap individu memiliki pola yang berbeda-
beda. Hal tersebut bergantung pada berbagai macam factor. Factor yang
menentukan pathogenesis dari dermatofita yaitu faktor lingkungan, antara lain
iklim yang panas, higiene perseorangan, sumber penularan, penggunaan obatobatan
steroid, antibiotik dan sitostatika, imunogenitas dan kemampuan invasi organisme,
lokasi infeksi serta respon imun dari pasien.
Gejala klinis hewan penderita dermatofitosis juga bermacam-macam, terdiri
atas berbagai macam gejala yang menunjukkan gejala dari penyakit kulit pada
umumnya. Gejala umum dermatofitosis meliputi alopesia, eritema, papula, pustula,
bersisik dn berkerak. Peradangan pada pinggir lesi yang ditemukan di daerah wajah
dan badan merupakan lesi tipe klasik yang sering ditemukan (Indarjulianto et al.
2017). Gejala klinis tersebut, selain terjadi karena infeksi dermatofita juga dapat
terjadi akibat infeksi dari berbagai jenis khamir. Oleh karena itu metode diagnosa
yang tepat sangat penting untuk diketahui dan dipelajari lebih lanjut, sehingga
terapi yang diberikan dapat tepat sasaran dan efektif serta optimal dalam
menghilangkan kausa penyebab dermatofita maupun penyakit kulit lainnya.

Tujuan

Tujuan dari pengamatan ini adalah mengetahui cara untuk menguji,


mengisolasi, dan mengidentifikasi jenis kapang yang berasal dari sampel kerokan
kulit hewan yang menderita dermatofitosis.
MATERI DAN METODE KERJA

Materi dan Metode Umum Kerja

Pada praktikum ini sampel yang digunakan berupa krtokan kulit yang
berasal dari hewan yang diduga menderita dermatofitosis. Media pertumbuhan
kapang yang digunakan meliputi Sabouroud Dextrose Agar (SDA), Dermatofitosis
Agar (DSA) dan bahan lain yang digunakan meliputi NaCI fisiologis, alkohol 70%,
KOH 3%, dan Lactophenol Coton Blue (LPCB). Peralatan yang digunakan meliputi
tabung reaksi steril, kertas saring, sellotape, bunsen, kapas, rak, objek glass, cover
glass, inkubator, cawan petri, mikroskop, termos es, kulkas dan alat-alat lain yang
mendukung seperti pinset anatomis, handle scaple, scaple, osse dan needle. Hewan
sebelumnya diduga menderita dermatofitosis dengan gejala klinis berupa kebotakan
dengan batas yang jelas pada daerah leher. Sampel kulit dikerok dengan scalpel
yang steril dan dimasukkan ke dalam plastik bersih yang berpenutup dengan
penambahan larutan NaCl 0.9% dan di bawa ke laboratorium untuk pemeriksaan
lanjut. Sampel diuji dengan penambahan KOH 3% yang didiamkan selama 30
menit pada suhu ruang kemudian diamati dibawah mikroskop. Sampel yang telah
diuji tersebut dibiakkan pada DSA selama 14 hari dalam suhu 37o C atau suhu
kamar. Biakan yang telah tumbuh diamati dibawah mikroskop dengan penambahan
sedikit LPCB. Biakan yang telah diamati kemudian dibiakkan kembali pada SDA
menggunakan metode Slide Culture Riddel kemudian diinkubasi selama 7 hari
dalam suhu 37o C atau suhu kamar kemudian diamati. Biakan diamati pada
mikroskop dengan mengambil sampel biakan pada cover glass dan dasar object
glass serta dilakukan penambahan sedikit LPCB.

Uji KOH 3%

Uji KOH merupakan metode pemeriksaan cepat atau pemeriksaan langsung


dengan menempelkan sampel dari kerokan kulit pada gelas objek. Kemudian
sampel ditetesi larutan KOH 3% dan ditunggu sekitar 30 menit. Larutan KOH 3%
ini berfungsi sebagai agen pelisis untuk melisiskan jaringan sehingga dapat terlihat
hifa dan makrokonidia dari kapang yang akan diamati. Selanjutnya sampel diamati
di bawah mikroskop dengan pembesaran objektif 40x .

Identifikasi Mikal

Identifikasi dilakukan dengan memupuk sampel kerokan kulit yang telah


positif pada uji KOH 3% pada media biakan DSA, kemudian diinkubasikan pada
suhu kamar selama 14 hari. Hasil biakan tersebut kemudian diamati baik secara
makroskopis dengan mengamati bentuk dan sifat morfologi koloni serta secara
mikroskopis dengan mengamati morfologi mikroskopisnya. Pengamatan morfologi
mikroskopis dilakukan secara langsung dengan pembuatan preaparat natif, yaitu
dengan menggunakan selotape yang ditempelkan ke gelas objek kemudian selotape
tersebut ditetesi LPCB dan dipupuk pada media SDA pada slide culture dengan
teknik yang dikenalkan oleh Riddel. Penentuan jenis kapang dilakukan dengan
mengidentifikasi kapang berdasarkan morfologi hifa, konidia dan konidiosporanya.
Selain kapang, pada pengamatan kali ini dapat diperoleh khamir karena media
penumbuhan bersifat tidak selektif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Uji KOH 3%

Hasil Uji KOH 3%


Bentuk Sel Cendawan : Bulat menyebar
Uji KOH dilakukan untuk membedakan antara morfologi sel-sel kulit
dengan morfologi cendawan secara natif. KOH 3% berfungsi sebagai agen yang
dapat melisiskan sel-sel kulit sehingga morfologinya dapat dibedakan dengan sel-
sel cendawan yang diamati. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, hasil
pemeriksaan dengan KOH 3% tidak ditemukan hifa maupun spora pada sampel
yang diuji, namun didapatkan morfologi sel yang diduga sebagai sel khamir
berbentuk bulat melonjong dan menyebar dalam jumlah yang sangat banyak dan
padat. Pemeriksaan ini tidak memberikan hasil yang spesifik mengenai morfologi
yang didapatkan. Hal ini karena pemeriksaan ini memiliki spesifisitas yang rendah
seperti menurut penelitian yang dilakukan oleh Husni et al. (2018), Pemeriksaan
mikroskopik sediaan langsung KOH memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang
rendah sehingga sering didapatkan hasil negative palsu.

Identifikasi Cendawan

Hasil Pengamatan Pada Dermatofitosis Agar (DSA)

Penampakan Atas Penampakan Dasar


Keterangan :
Warna : cream
tekstur : matlike (Halus)
kecepatan pertumbuhan : 2 minggu
topografi : verrucose
Elevasi : cembung
Media : DSA

Pewarnaan LPCB (lactophenol cotton blue) pada hasil slide culture tehnik
Riddel

Pengamatan pada cover glass Pengamatan pada dasar object glass

4Keterangan :
Struktur : 1. Sel Khamir Malassezia sp.

Perbesaran : 40 x 100

Identifikasi isolat cendawan yang berasal dari sampel kerokan kulit hewan
yang diduga menderita dermatofitosis dilakukan melalui dua tahapan identifikasi.
Tahap pertama yaitu, pengamatan cendawan yang dilakukan secara makroskopis
yang meliputi pengamatan terhadap warna, bentuk, dan sifat morfologi koloni.
Tahap kedua yaitu, pengamatan dilakukan secara mikroskopis yang dilakukan
dengan membuat slide kutur dengan menggunakan tehnik yang dikenalkan oleh
Riddel, yang meliputi pengamatan terhadap bentuk hifa, bentuk, dan ukuran konidia.
Tahap pembuatan slide kultur dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Tahap pembuatan slide kultur : (A) Potongan agar yang diambil dari
medium PDA. (B) Cawan Petri berisi batang penahan dan gelas objek. (C) Inokulasi
fungi pada agar yang disimpan di atas gelas objek. (D) Agar yang telah diinokulasi
ditutup dengan kaca penutup. (Sumber : www.botany.utoronto.ca)

Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan pada koloni cendawan yang


dipupuk pada media DSA dan SDA, secara makroskopis isolat menunjukkan bentuk
koloni yang lebih menyerupai koloni khamir daripada koloni kapang. Hal ini
ditunjukkan dari bentuk koloni berupa matlike atau menyerupai lilin dengan adanya
elevasi yang tinggi, selain itu koloni pada pengamatan juga tidak menunjukkan
adanya tekstur seperti kapas yang mengandung hifa. Secara mikroskopis dengan
penambahan zat warna Lactophenol Cotton Blue (LPCB), tidak didapatkan
morfologi hifa dari kapang, namun didapatkan morfologi sel khamir berbentuk bulat
hingga oval-elips dengan spora monopolar pada salah satu ujung selnya. Hal ini
mengarahkan pendugaan terhadap khamir dalam genus Malassezia yang juga
mampu tumbuh pada kulit. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Ulfa et al.
(2016), Malassezia sp. memiliki ciri koloni berwarna krem atau coklat, elevasi
koloni agak cembung atau cembung, dan bertekstur halus atau kering pada media
SDA. Ciri mikroskopis Malassezia sp. menurut Prado et al. (2008), yaitu bentuk sel
oval-elips, bulat pada salah satu ujungnya, menghasilkan spora aseksual berupa
tunas monopolar.

SIMPULAN

Berdasarkan hasil identifikasi bakteri pada sampel kerokan kulit yang


berasal dari hewan yang diduga menderita dermatofitosis melalui beberapa tahap
dan jenis pengujian yaitu uji KOH 3%, pemupukan pada media DSA, pemupukan
pada slide culture SDA dengan tehnik Riddel, serta identifikasi morfologi
cendawan secara makroskopis dan mikroskopis, menunjukkan hewan tidak
mengalami dermatofitosis akibat kapang yang termasuk kedalam dermatofita.
Hewan mengalami dermatomikosis yang disebabkan oleh khamir bergenus
Malassezia.
DAFTAR PUSTAKA

Husni H, Asri E, Gustia R. 2018. Identifikasi dermatofita pada sisir tukang pangkas
di Kelurahan Jati Kota Padang. Jurnal Kesehatan Andalas. 7 (3): 331-335.
Indarjulianto S, Yanuarto, Widyarini S, Raharjo S, Purnamaningsih H, Nururrozi
A, Hariboeo N, Jainuddin HA. 2017. Infeksi Microsporum canis pada
kucing penderita dermatitis. Jurnal Veteriner. 18 (2): 207-210.
Prado MR, Brilhante RSN, Cordeiro RA, Monteiro AJ, Sidrim JJC, Rocha MFG.
2008. Frequency of yeasts and dermatophytes from healthy and diseased
dogs. J Vet Diagn Invest. 20: 197-203.
Setyadarma W, Masanto R. 2011. Merawat Kucing Kesayangan. Klaten (ID): PT
CitraAji Parama.
Sunartatie T. 2010. Trichophyton mentagrophytes sebagai agen penyebab
dermatofitosis pada kambing. J. Sain Vet. 28 (1): 48-52.
Ulfa Z, Elfidasari D, Sugoro I. 2016. Identifikasi khamir pathogen pada kulit dan
telinga anjing peliharaan. Jurnal Al-Azhar Indonesia Seri Sains dan
Teknologi. 3 (4): 213-220.

Anda mungkin juga menyukai