Anda di halaman 1dari 8

Tanggal Praktikum : Senin, 09 November 2020

Dosen Pembimbing : Dr. drh. Agustin Indrawati, MBiomed


Paralel : 2 (Dua)

Makalah Penyakit Bakteriologi dan Mikologi


Dermatofitosis

Anggota Kelompok

1. Giovanni Christie (B04170028)


2. Muhammad Davitra (B04170044)
3. Fadhilah Nur Annisa (B04170046)

DIVISI BAKTERIOLOGI DAN MIKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2020
Pendahuluan
Dermatofitosis merupakan penyakit kulit yang disebabkan oleh kapang yang
tergolong dalam kelompok dermatofita, dan pada hewan lebih dikenal dengan penyakit
ringworm. Dalam tubuh inang, kapang ini biasanya ditemukan terbatas pada bagian luar dari
tubuh, misalnya pada bagian keratin dari stratum korneum kulit, kuku, dan rambut. Kapang
ini bersifat tidak ganas, tidak dapat tumbuh dalam jaringan hidup maupun pada bagian tubuh
yang mengalami peradangan secara intens (Carter dan Cole 1990).
Pada hewan kesayangan, dermatofitosis dapat menginfeksi kulit, rambut, atau kuku.
Pada anjing, sekitar 70% penderita ringworm disebabkan kapang Microsporum canis, 20%
oleh M. gypseum, dan 10% oleh Trichophyton mentagrophytes (Vermout et al. 2008).
Penyakit ini hampir ditemukan pada semua jenis hewan peliharaan. Anjing semua umur dapat
terinfeksi kapang dermatofita. Namun, kejadian lebih banyak ditemukan pada anak anjing.
Selain umur, faktor lainnya termasuk status nutrisi yang jelek dan menejemen pemeliharaan
yang buruk serta tidak diisolasinya hewan penderita, akan meningkatkan kejadian penyakit.
Mortalitas penyakit rendah, namun demikian kerugian ekonomis dapat terjadi karena
kerusakan kulit dan rambut atau bobot badan turun karena hewan menjadi tidak tenang serta
adanya risiko zoonosis yang ditimbulkan oleh M. canis (Kotnik 2007).
Dalam pengamatan klinis, dermatofitosis dicurigai pada hewan dengan lesi yang
terdiri dari kombinasi alopecia, erythema, papula, serta scaly dan crusty. Lesi klasik pada
anjing dan kucing umumnya memiliki batasan dengan radang aktif di pinggiran lesi, biasanya
ditemukan pada bagian wajah atau anggota badan. Ukuran dan lama terjadinya lesi, mungkin
dapat mengakibatkan pengerasan kulit atau penyembuhan yang terpusat. Lesi pada planum
nasale, telapak kaki, dan kuku kemungkinan dapat ditemukan, tetapi jarang dilaporkan.
Diagnosis dermatofitosis baik dengan metode konvensional dan molekuler perlu ditinjau
terutama yang khusus berkaitan dalam praktek dokter hewan. Tujuan utama dalam
mendiagnosis dermatofitosis adalah untuk membuktikan adanya invasi oleh kapang
dermatofita pada lapisan epidermis atau batang rambut. Metode diagnostik utama yang sering
digunakan adalah pemeriksaan dengan lampu Wood, pemeriksaan dengan mikroskop secara
langsung dan kultur. Ketiga jenis metode diagnosis harus dilakukan secara rutin dan
dipertimbangkan untuk saling melengkapi dalam penentuan diagnosis (Bond 2010).

Kasus : Ada beberapa ekor anjing mengalami sakit. Gejala klinis yang ditunjukkan berupa :
adanya gatal-gatal pada kulit, ada kerontokan bulu/rambut di sekitar wajah yang berbentuk
bulat serta dari hasil pemeriksaan menggunakan lampu wood, bulu/rambut pada daerah yang
rontok menunjukkan adanya fluoresensi berwarna kuning kehijauan. Dari gejala klinis yang
terlihat diduga penyebabnya adalah Microsporum canis. Bagaimana Anda meneguhkan
diagnosa secaca laboratorium untuk kasus tersebut ?

A) Jenis sampel yang harus diambil adalah sampel kerokan kulit hewan yang mengalami
gejala klinis berupa alopesia, eritema, papula, pustula dan bersisik (Indarjulianto et al.
2017).

B) Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan teknik superficial skin scraping dan
trichogram.
- Langkah awal pada teknik pengambilan sampel adalah membersihkan lesi kulit
menggunakan kapas yang telah dibasahi alkohol 70%.
- Kemudian sampel kerokan kulit diambil menggunakan teknik superficial skin
scraping dengan cara dilakukan pengerokan kulit pada bagian pinggir lesi dengan
menggunakan pisau bedah (blade). Pengerokan dibuat tidak terlalu dalam hanya
sebatas lapisan epidermis.
- Sampel rambut diambil menggunakan teknik trichogram (hair pluck) dengan cara
beberapa helai rambut di daerah pinggir lesi dicabut menggunakan pinset atau
needle holder. Daerah lesi tempat sampel diambil ditetesi betadine untuk
mencegah masuknya infeksi oleh agen penyakit lain (Putriningsih 2018).
Cara membawa sampel ke laboratorium adalah dengan cara melakukan
penyimpanan sampel kerokan kulit dan rambut dalam plastik sampel (Putriningsih
2018).

C) Pemeriksaan langsung secara mikroskopis:


 Prosedur pembuatan preparat
Sampel diletakkan pada gelas objek kemudian ditetesi KOH 10%. Ditutup dengan
gelas penutup, dan didiamkan selama 10-15 menit dalam suhu ruang. Pemeriksaan
sampel menggunakan mikroskop cahaya dengan perbesaran 100 dan 400 kali untuk
melihat adanya elemen fungi seperti arthrospora atau hifa (Ellis 2015).
 Zat warna atau bahan lain yang diperlukan adalah Lactophenol Cotton
Blue (Khan dan Line 2007).
Gambaran yang dapat diamati.
Pada pewarnaan Lactophenol Cotton Blue (LPCB), fungi M. canis memiliki
makrokonidia yang besar dan bulat serta hifa yang bersepta ganda dan panjang serta
memiliki sel lebih dari enam (Soedarmanto et al. 2014).

a. Makrokonidia
b. Mikrokonidia
c. Hifa berseptat
(Indarjulianto et al. 2017)

D) Pembiakan kultur
- Media digunakan
Pembiakan kultur menggunakan sampel kerokan kulit dari anjing yang diduga
menderita dermatofitosis. Pengamatan lesi klinis ditujukan pada anjing yang
memperlihatkan gejala dermatitis yang terdiri dari kombinasi dari alopecia, erythema,
papule, pustule, scaly dan crusty (Ates et al. 2008). Media yang biasa digunakan
dalam pembiakan kultur adalah Sabouraud’s Dextrose Agar (65g/L) ditambah,
cycloheximide (Actidione) (0,5g/L), chloramphenicol (250mg/L), gentamycin 40
mg/mL (0,65 g/L); yeast extract (5g/ L).

- Cara membiakkan
Sampel kerokan kulit yang dipupuk pada media SDA dan hasil
pertumbuhannya diamati secara makroskopis dan mikroskopis. Identifikasi kapang
secara makroskopis terhadap koloni M. canis pada media SDA menurut Al-Doory
(1980) dan Olivares (2003), memperlihatkan topografi koloni datar/flat dengan sedikit
melipat yang tampak putih seperti kapas, seperti rambut yang lebat atau seperti wool
dan akhirnya seperti bubuk dengan warna coklat muda pada bagian sentral koloni
dengan tepi berwarna kuning sampai tidak berwarna. Pada permukaan bawah koloni,
tampak warna kuning terang–oranye dan tidak berwarna pada bagian tepinya.

Gambar 1. Gambaran makroskopis Microsporum canis

- Waktu dan suhu inkubasi


Sampel diinkubasi pada suhu 25–30°C sampai 21 hari dan diamati setiap hari.
Identifikasi terhadap pertumbuhan kapang dermatofita dilakukan secara makroskopis
dan mikroskopis. Pengamatan secara makroskopis dilakukan terhadap lama waktu
terjadinya pertumbuhan, morfologi koloni dan warna, bentuk, ukuran dan bagian
belakang dari koloni. Pemeriksaan secara mikroskopis dilakukan terhadap kultur
kapang yang teramati positif dengan menggunakan pewarnaan lactophenol cotton
blue (LPCB). Selain itu, pembuatan slide culture dengan metode Riddle dilakukan
untuk mengamati struktur mikroskopis kapang secara utuh. Data hasil penelitian yang
diperoleh dianalisis secara deskriptif.

- gambaran koloni tumbuh


Pertumbuhan koloni cepat, permukaan halus sampai bergranul. Warna depan coklat
muda, sedangkan dasar koloni merah cokat. Gambaran secara mikroskopis,
makrokonidia banyak dijumpai. Ukurannya besar, ujung runcing, dinding tebal serta
kasar dan ada tonjolan-tonjolan kecil. Karakteristik dijumpai danya klamidospora,
bisa juga dijumpai racquet hifa, pectine bodies, dan nodular bodies (Perdoski 2001).
Gambar 2. Struktur mikroskopik isolat yang diduga Microsporum canis dengan metode
slide culture pada perbesaran 10x40. (a) makrokonidia, (b) mikrokonidia, (c)
hifa berseptat yang panjang, dan (d) klamidokonidia.

E) Pemeriksaan mikroskopis dari kultur secara natif


Pemeriksaan natif dengan LCB
Pemeriksaan mikroskopis dilakukan di bawah mikroskop untuk melihat
morfologi kapang dermatofita yang tumbuh pada media SDA. Pembuatan preparat
dermatofita tersebut diawali dengan meneteskan zat warna LPCB di atas object
glass sebanyak satu tetes. Selanjutnya, dengan menggunakan selotipe transparan
biakan kapang pada media SDA diambil secukupnya dan ditempelkan bersama
selotipe tepat pada tetesan zat warna LPCB. Setelah preparat dermatofita siap,
kemudian preparat diamati bentuk morfologi dan bentuk konidianya dibawah
mikroskop dengan pembesaran 4x10 kemudian berlanjut. Preparat kedua dibuat
tanpa menggunakan selotipe. Gelas objek yang baru ditetesi LPCB satu tetes,
kemudian sampel pada SDA diambil menggunakan ose yang telah dipanaskan dan
diletakkan di atas gelas objek kemudian ditutup. Preparat kemudian diamati
menggunakan mikroskop.

F) Pembuatan slide Metode Riddle


Pemeriksaan dermatofita berikutnya dilakukan dengan metode Slide Culture
menurut Riddle. Di dalam cawan petri, media biakan disusun dengan metode Riddle,
berurutan mulai dari kertas saring yang dibasahi air, pipa U, object glass, dan slide
agar SDA berbentuk persegi. Setelah itu, biakan dari koloni kapang pada media SDA
diambil menggunakan ose dan diinokulasikan pada setiap sisi slide agar kemudian
slide agar tersebut ditutup dengan cover glass serta penutup cawan petri. Biakan
didiamkan hingga koloni kapang pada slide culture terlihat dengan jelas atau kurang
lebih selama seminggu. Seminggu kemudian, dilakukan pemeriksaan morfologi
kapang yang dibiakkan pada slide culture. Untuk mengamati morfologinya, terlebih
dahulu disiapkan object glass yang telah ditetesi zat warna LPCB sebanyak satu tetes.
Selanjutnya cover glass penutup slide agar diangkat dan diletakkan (dipindahkan)
tepat pada tetesan zat warna LPCB. Setelah itu, dibawah mikroskop dengan
perbesaran 10x dan 40x dilakukan pengamatan morfologi dan konidia kapang pada
preparat.Selain itu dapat digunakan pula object glass yang digunakan untuk menanam
agar pada metode riddle di tetesi oleh zat warna LPCB lalu ditutup cover glass dan
diamati dibawah mikroskop.
G) Hasil Identifikasi
Identifikasi isolat fungi dilakukan melalui dua tahap. Tahap pertama yaitu,
pengamatan fungi secara makroskopis yang meliputi pengamatan terhadap warna dan
bentuk koloni. Tahap kedua yaitu, pengamatan secara mikroskopis yang dilakukan
dengan membuatslide kutur yang meliputi pengamatan terhadap bentuk hifa, bentuk,
dan ukuran konidia
Hasil Referensi

www.mycology.adelaide.edu.au

www.mycology.adelaide.edu.au
Pada praktikum ini digunakan sampel yang diambil dari anjing dan diduga
menderita dermatofitosis. Pertama dilakukan kerokan kulit di daerah kepala dan
dilakukan pengamatan makrokonidia pada sampel yang telah diambil dengan
pewarnaan lactophenol cotton blue. Setelah makrokonidia ditemukan terdapat
pengujian lanjut yaitu melakukan pembiakkan sampel kerokan kulit pada media
Sabouraud’s Dextrose Agar (SDA). Pada pengamatan makroskopis minggu kedua,
dapat ditemukan adanya topografi koloni datar, dengan sedikit melipat berwarna putih
seperti kapas, dan tepi berawarna kuning sampai tidak berwarna. Dilanjutkan dengan
pengamatan mikroskopis dengan pewarnaan lactophenol cotton blue. Untuk
mengetahui jenis kapang yang menyebabkan dermatofitosis pada anjing tersebut, maka
dilakukan uji lanjut yaitu Riddle test.
Pengamatan hasil dari kultur Riddle test yaitu secara mikroskopis. Dapat
ditemukan beberapa mikrokonidia, sejumlah dinding tebal dan makrokonidia
bergerigi dengan knob pada ujungnya. Pada literatur pertumbuhan koloni pada media
yaitu datar, kasar dan berambut, dengan celah radial yang rapat serta miselium yang
berbentuk cotton atau wool yang berwarna kuning pucat sampai putih pada bagian
tengah dengan tepi berwarna kuning sampai tidak berwarna.. M.canis memperlihatkan
hifa berseptat yang panjang dalam jumlah banyak serta makrokonidia besar berbentuk
batang bulat yang biasanya memiliki septum ganda dan mengandung lebih dari enam
sel. Beberapa mikrokonidia kecil yang berbentuk seperti alat pemukul gendang dan
berdinding halus juga dapat ditemukan, serta klamidokonidia yang berbentuk bulat
(Olivares 2003). Berdasarkan pengamatan dan literatur maka jenis kapang yang
menyebabkan dermatofitosis pada kerokan kulit kucing adalah Microsporum canis.
Hal ini dapat dilihat dari pertumbuhan koloni yang telah dibiakkan pada media SDA,
makrokonidia dan mikrokonidianya
Simpulan
Berdasarkan hasil pengamatan secara makroskopis dan mikroskopis dari biakan
sampel kerokan kulit pada anjing penyebab dermatofitosis berupa kapang Microsporum
canis.

Daftar Pustaka

Ates A, Ilkit M, Ozdemir R, Ozcan K. 2008. Dermatphytes isolated from asyptomatic dogs in
Adana, Turkey: A Preminary Study. Journal de Mycologie Medicale. 18: 154– 157.
Bond R. 2010. Superficial veterinary mycoses. Clinics in Dermatology. (28): 226–236.
Carter GR, Cole JR. 1990. Diagnostis Prcedure in Veterinary Bakteriology and Mycology.
Fifth Edition. California(US): Academic Press.
Ellis D. 2015. Dermatophytosis [diunduh 2020 Nov 18]. https://mycology.adelaide.edu.au/.
Indarjulianto S, Yanuartono, Widyarini S, Raharjo S, Purnamaningsih H, Nururrozi A,
Haribowo N, Jainudin HA. 2017. Infeksi Microsporum canis pada kucing penderita
dermatitis. J Vet [diunduh 2020 Nov 18]; 18(2):207-210.
DOI:10.19087/jveteriner.2017.18.2.207.
Khan CM, Line S. 2007. The Merck/Merial Manual For Pet Health. Home Edition. USA:
Merck & Co Inc.
Kotnik T. 2007. Dermatophytoses in domestic animals and their zoonotic potential. Slovenian
Veterinary Research. 44 (3): 63- 73.
Olivares RAC. 2003. Ringworm Infection in Dogs and Cats in Recent Advances in
CanineInfectious Diseases. www.ivis.org. [diakses pada 2 Desember 2018]
Perdoski. 2001. Dermatofitosis Superfisialis. Jakarta(ID): UI Press.
Putriningsih PAS, Arjentinia IPGY. 2018. Identifikasi spesies fungi Microsporum gypseum
dan M. nanum penyebab ringworm pada Sapi Bali. J Vet [diunduh 2020 Nov 18];
19(2):177-182. DOI:10.19087/jveteriner.2018.19.2.177.
Soedarmanto I, Purnamaningsih H, Raharjo S, Yanuartono, Ikliptikawati DK, Sakan GY.
2014. Isolasi dan identifikasi Microsporum canis pada anjing penderita dermatofitosis
di Yogyakarta. J Vet. 15(20):212-216.
Vermout S, Tabart J, Baldo A, Mathy A, Losson B, Mignon B. 2008. Pathogenesis of
dermatophytosis. Mycopathologia. 166: 267-275.

Anda mungkin juga menyukai