Anda di halaman 1dari 2

1.

F) patofisiologi kandidiasis kutis intertriginosa


Infeksi Candida dapat terjadi, apabila ada faktor predisposisi baik endogen maupun eksogen.[2]
1. Faktor endogen
a. Perubahan fisiologik:
- Kehamilan, karena perubahan pH dalam vagina
- Kegemukan, karena banyak keringat
- Debilitas
- Iatrogenik: radiasi, obat-obatan (glukokortikoid, antibiotic spectrum luas,
tranquilizer, colchicines, kontrasepsi oral)
- Endokrinopati: diabetes mellitus, cushing disease, hipoadrenalisme,
hipotiroidismehipoparatiroidisme.
- Penyakit kronik: tuberculosis, lupus eritematosus dengan keadaan umum yang
buruk, uremia.
b. Umur: orang tua dan bayi lebih mudah terkena karena status imunologiknya tidak
sempurna.
c. Imunologik: HIV/AIDS, penyakit genetik
d. Faktor nutrisi: avitaminosis, defisisensi besi, malnutrisi secara general
2. Faktor eksogen:
a. Iklim panas dan lembab menyebabkan perspirasi meningkat
b. Kebersihan kulit
c. Kebiasaan berendam kaki dalam air yang terlalu lama menyebabkan maserasi dan
memudahkan masuknya jamur.
d. Kontak dengan penderita.
1.
I) pemeriksaan penunjang kandidiasis kutis intertriginosa [1]
1. Pemeriksaan langsung
Kerokan kulit atau usapan mukokutan diperiksa dalam larutan KOH 10% atau dengan
pewarnaan Gram, terlihat sel ragi, blastospora atau hifa semu.
2. Pemeriksaan biakan
Bahan yang akan diperiksa ditanam dalam agar dekstrosa glukosa Sabouraud, dapat pula agar
ini dibubuhi antibiotik (kloramfenikol) untuk mencegah pertumbuhan bakteri. Perbenihan
disimpan dalam suhu kamar atau lemari suhu 37o , koloni tumbuh setelah 24-48 jam, berupa
yeast like colony. Koloni berwarna putih dan berbentuk mukoid. Identifikasi Candida albicans
dilakukan dengan membiakkannya pada corn meal agar.
Pada kandidiasis sistemik dengan lesi kulit, diagnosis biasanya dapat dibuat dengan
pemeriksaan histopatologi dan kultur biopsi kulit. Hasil kultur darah biasanya negatif.
3. Pathologi
Kandidiasis superfisial memiliki karakteristik pustul sub korneal. Organismenya kadang
terlihat di dalam pustul namun dapat dilihat di dalam stratum korneum dengan bantuan
pewarnaan Periodik Acid- Schiff (PAS). Pemeriksaan histologik dari granuloma kandida
memperlihatkan papilomatosis dan hiperkeratosis dan infiltrat dermal yang terdiri dari limfosit,
granulosit, sel plasma dan multinukleated giant cell.

2. I) pemeriksaan penunjang tinea cruris [3]


Pemeriksaan mikologik untuk membantu penegakan diagnosis terdiri atas pemeriksaan
langsung sediaan basah dan biakan. Pada pemeriksaan mikologik untuk mendapatkan
jamur diperlukan bahan klinis berupa kerokan kulit yang sebelumnya dibersihkan dengan
alkohol 70%
a. Pemeriksaan dengan sediaan basah
Kulit dibersihkan dengan alkohol 70% - kerok skuama dari bagian tepi lesi dengan
memakai scalpel atau pinggir gelas - taruh di obyek
glass - tetesi KOH 10-15 % 1-2 tetes - tunggu 10-15 menit untuk melarutkan jaringan -
lihat di mikroskop dengan pembesaran 10-40 kali, akan didapatkan hifa, sebagai dua garis
sejajar, terbagi oleh sekat, dan bercabang, maupun spora berderet (artrospora) pada
kelainan kulit yang lama atau sudah diobati, dan miselium
b. Pemeriksaan kultur dengan Sabouraud agar
Pemeriksaan ini dilakukan dengan menanamkan bahan klinis pada medium saboraud
dengan ditambahkan chloramphenicol dan cyclohexamide (mycobyotic-mycosel) untuk
menghindarkan kontaminasi bakterial maupun jamur kontaminan. Identifikasi
jamur biasanya antara 3-6 minggu
c. Punch biopsi
Dapat digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis namun sensitifitasnya dan
spesifisitasnya rendah. Pengecatan dengan Peridoc Acid-Schiff, jamur akan tampak merah
muda atau menggunakan pengecatan methenamin silver, jamur akan tampak coklat atau
hitam

3. K) prognosis tinea cruris


Prognosis tergantung penyebab, disiplin pengobatan, status imunologis dan sosial
budayanya, tetapi pada umumnya baik. Selain itu faktor kelembapan dan kebersihan kulit
juga berpengaruh pada prognosis[4]

Daftar pustaka:
1. Wirata G. Tinjauan Pustaka Kandidosis Kutis. Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
2017.
2. Kuswadji.: kandidosis, in: Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin, Ed 5, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia Jakarta, 2007, pp. 106-109.
3. Taurina D, dkk. Laporan Kasus Tinea Cruris (Eczema Marginatum). Fakultas Kedokteran
Universitas Brawijaya, 2013.
4. Sterry, W., Paus, R., dan Burgdorf, W., 2006. Thieme Clinical Companions: Dermatology.
Jerman: Georg Thieme Verlag KG, p. 375-377.

Anda mungkin juga menyukai