DAKRIOSISTITIS
Oleh :
Pakar :
Dr.dr. Hendriati, Sp.M (K)
1
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan pada Allah karena berkat rahmat dan hidayah-Nya
penulis dapat menyelesaikan Clinical Sciense Session (CSS) yang berjudul “Dakriosistitis”.
CSS ini disusun untuk menambah pengetahuan dan wawasan penulis dan pembaca, serta
menjadi salah satu dalam mengikuti kepaniteraan klinik di Bagian Ilmu Kesehatan Mata
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr.dr. Hendriati, Sp.M(K) selaku pakar yang telah
memberikan arahan dan petujuk dalam pembuatan makalah ini. Penulis juga berterima kasih
kepada semua pihak yag telah membantu dalam penulisan makalah ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah CSS ini masih memiliki banyak
kekurangan. Untuk itu kritik dan saran sangat penulis harapkan. Akhir kata, semoga makalah
ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Penulis
2
BAB 1
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami tentang definisi,
etiologi, faktor resiko, patofisiologi, manifestasi klinis, skrining dan diagnosis,
tatalaksana, komplikasi dan prognosis dari Dakriosistitis.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
5
permukaan bola mata oleh kedipan kelopak mata. Setelah air mata diproduksi maka akan
terjadi sistem drainase dan penguapan air mata. Dalam keadaan normal air mata akan
menguap sehingga hanya sedikit yang masuk ke dalam sistem drainase. 9
Selanjutnya, air mata akan dialirkan ke dua kanalis lakrimalis, superior dan inferior,
kemudian menuju ke punctum lakrimalis yang terlihat sebagai penonjolan kecil pada kantus
medial. Setelah itu, air mata akan mengalir ke dalam sakus lakrimalis yang terlihat sebagai
cekungan kecil pada permukaan orbita. Dari sini, air mata akan mengalir ke duktus
nasolakrimalis dan bermuara pada meatus nasal bagian inferior. Dalam keadaan normal, duktus
ini memiliki panjang sekitar 12 mm dan berada pada sebuah saluran pada dinding medial
orbita.9
Perdarahan kelenjar air mata berasal dari arteria lakrimalis. Vena dari kelenjar
bergabung dengan vena ophtamilca. Drainase limfe bersatu dengan pembuluh limfe
konjungtiva dan mengalir ke kelenjar getah bening preaurikuar.
6
2.4 Dakriosistitis
Pada bayi baru lahir dapat terjadi gangguan penutupan katup Hasner di distal ductus
nasolakrimalis, sehinga terjadi sumbatan di ductus tersebut. Sumbatan dapat hilang atau
sembuh dengan sendirinya dalam waktu satu tahun. Jika terjadi infeksi, sumbatan dapat
berkembang menjadi dakriosistitis akut. Paling sering disebabkan oleh bakteri Haemophillus
influenzae.10
Dakriosistitis akut yang terjadi pada orang dewasa disebabkan oleh Staphylococcus
aureus atau kadang-kadang Streptococcus β-hemolyticus. Pada dakriosistitis kronik,
organisme dominannya adalah Streptococcuc pneumoniae, atau jarang sekali Candida
albicans. Penyebab infeksi ditemukan secara miksrokopis dengan pemulasan sediaan hapus
konjungtiva yang diambil setelah memeras sakus lakrimalis. 1 Dakriosistitis juga dapat terjadi
akibat komplikasi sinusitis, baik akibat sumbatan yang terbentuk ataupun perluasan infeksi
secara langsung.10
2.4.3 Klasifikasi
Dakriosistitis dapat diklasifikasikan berdasarkan perjalanan penyakitnya, hal tersebut
berupa11 :
1. Dakriosistitis Akut
Dakriosistitis tipe ini disebabkan karena terjadinya infeksi akut. Infeksi ini timbul
oleh adanya abses nasolakrimal, penyebaran infeksi karena selulitis orbital, trombosis
vena oftalmikus superior, dan sinus kavernosa.2 Organisme penyebab infeksi tersering
adalah golongan Staphylococcus, Streptococcus species, Haemophilus influenza, serta
Pseudomonas aeruginosa.
7
2. Dakriosistitis Kronik
Dakriosistitis tipe ini disebabkan karena adanya obstruksi kronis akibat penyakit
sistemik, konjungtivitis kronik, infeksi berulang dakriolit, dan partikel radang kronis pada
sistem nasolakrimal.
3. Dakriosistitis Kongenital
Dakriosistitis Kongenital terjadi karena adanya obstruksi membran pada katup
Hasner di saluran nasolakrimal distal. Pada saat di dalam kandungan, sistem nasolakrimal
diisi dengan cairan ketuban. Cairan ketuban tersebut di ekskresikan segera setelah lahir
melalui sistem lakrimal. Ketika cairan ketuban gagal di ekskresikan dari sistem
nasolakrimal, cairan menjadi purulen dalam beberapa hari setelah melahirkan dan
kemudian mengalami infeksi. Jika keadaan tersebut tidak ditangani secara adekuat, maka
dapat menimbulkan selulitis orbita, abses otak, meningitis, sepsis hingga kematian.
2.4.1 Patogenesis
Awal terjadinya peradangan pada sakus lakrimalis adalah adanya obstruksi pada
duktus nasolakrimalis. Obstruksi duktus nasolakrimalis pada anak-anak biasanya akibat
tidak terbukanya membran nasolakrimal, sedangkan pada orang dewasa akibat adanya
penekanan pada salurannya, misal adanya polip hidung. Obstruksi pada duktus
nasolakrimalis ini menyebabkan drainase terganggu sehingga dapat menimbulkan
penumpukan air mata, debris epitel, dan cairan mukus sakus lakrimalis yang merupakan
media pertumbuhan yang baik untuk pertumbuhan bakteri.
Ada 3 tahapan terbentuknya sekret pada dakriosistitis. Hal ini dapat diketahui
dengan melakukan pemijatan pada sakus lakrimalis. Tahapan-tahapan tersebut antara lain:
▪ Tahap obstruksi
Pada tahap ini, baru saja terjadi obstruksi pada sakus lakrimalis, sehingga yang keluar
hanyalah air mata yang berlebihan.
▪ Tahap Infeksi
Pada tahap ini, yang keluar adalah cairan yang bersifat mukus, mukopurulen, atau
purulent tergantung pada organisme penyebabnya.
▪ Tahap Sikatrik
Pada tahap ini sudah tidak ada regurgitasi air mata maupun pus lagi. Hal ini dikarenakan
8
sekret yang terbentuk tertahan di dalam sakus sehingga membentuk suatu kista.1
Gejala utama dakriosistitits adalah berair mata dan berkotoran. Pada stadium akut,
di daerah sakus lakrimalis terdapat gejala radang, sakit, bengkak, dan nyeri tekan. 12
Substansi purulen dapat dikeluarkan dari bagian sakus. Bagian yang meradang berada di
bagian medial, di atas sakus lakrimal. Pada anamnesis bisa didapatkan riwayat mata berair
akibat penyumbatan sistem lakrimal yang sudah terinfeksi.13
Manifestasi klinis dakriosistitis kronik mempunyai spektrum yang bervariasi dari
nyeri, eritema di area terlibat sampai terjadinya abses lakrimal. Pasien akan datang
dengan keluhan nyeri dan bengkak di bagian sakus lakrimal disertai suatu indurasi yang
nyeri di bawah tendon kantal medial, epifora dengan atau tanpa distensi sakus lakrimal
dan regurgitasi material purulen dari puncta. Dilaporkan juga manifestasi klinis yang lebih
parah seperti selulitis orbital dengan abses orbital, necrotizing fasciitis, trombosis vena
superior oftalmik, trombosis sinus kavernous, meningitis dan kehilangan penglihatan
total.14
Pada dakriosistitis kongenital biasanya ibu pasien akan mengeluh mata pasien
merah pada satu sisi, bengkak pada daerah pangkal hidung dan keluar air mata diikuti
dengan keluarnya nanah terus-menerus. Bila bagian yang bengkak tersebut ditekan
pasien akan merasa kesakitan (epifora).1
Dakriosistitits akut.15
9
Abses lakrimal dan selulitis preseptal.15
Fistula lakrimal.15
Mukokel lakrimal. 15
2.4.3 Diagnosis
a. Anamnesis
10
seperti merah dan bengkak pada daerah kantung mata. Pada anamnesis juga digali
riwayat penyakit mata terdahulu seperti infeksi virus, bakteri, jamur, trauma fasial,
pembedahan nasal atau sinus sebelumnya. Selain riwayat penyakit mata, riwayat
penyakit sistemik seperti limpoma, wegener granulomatosis, sarcoidosis, scleroderma,
sinus histiocytosis, riwayat pengobatan dengan radiasi ke kantus medial dengan
kemoterapi sistemik.16
b. Pemeriksaan Fisik
• Dakriosistitis akut: Nyeri tekan pada sakus lakrimalis, kemudian ketika ditekan
yang keluar adalah sekret mukopurulen.
Test anel dilakukan dengan tujuan untuk menentukan fungsi ekskresi sistem
lakrimal. Hasil yang didapatkan bila terlihat adanya reaksi menelan berarti garam
fisiologik masuk tenggorokan menunjukkan fungsi sistem ekskresi lakrimal normal
(hasil test positif). Apabila tidak ada refleks menelan dan terlihat garam fisiologik keluar
11
melalui pungtum lakrimal atas berarti fungsi apparatus lakrimal tidak ada atau duktus
nasolakrimal tertutup (hasil test negatif).
Dye dissapearance test dilakukan dengan cara meneteskan zat warna fluorescein
2% pada kedua mata masing-masing 1 tetes, setelah itu permukaan kedua mata dilihat
dengan slit lamp. Jika ada obstruksi pada salah satu mata akan memperlihatkan
gambaran seperti di bawah ini.
Fluorescein Dye Retention Test (FDRT) ini dilakukan untuk melihat fungsi
saluran ekskresi sistem lakrimal. Pada saat normal air mata masuk hidung melalui
sistem ekskresi lakrimal. Tindakan ini dilakukan dengan cara meneteskan zat warna
fluoresin 2% pada satu mata yang sakit atau yang dicurigai mengalami obstruksi. Air
mata dengan fluoresin akan masuk ke dalam sistem lakrimalis. Kemudian penderita
diminta berkedip beberapa kali, setelah beberapa menit penderita diminta
mengeluarkan ingus atau meludah yang diseka dengan kertas tisu. Interpretasi dari
pemeriksaan ini didapatkan sistem lakrimal dan terlihat pada kertas tisu dengan warna
hijau, maka fungsi ekskresi sistem lakrimal baik.
Tes jones I dan II digunakan untuk menilai aliran fungsi sistem ekskresi lakrimalis.
a. Tes Jones I (Dye test primer), dilakukan dengan cara :
• Pasien duduk bersandar sehingga pemeriksa dapat melihat dasar hidung pasien.
• Pada konjungtiva pasien diteteskan 1-2 tetes flouresein. Lalu dimasukan kapas
aplikator yang telah diteteskan pantokain ke dalam meatus inferior hidung dan
ditunggu selama 2-3 menit.
12
• Setelah 2-3 menit, kemudian kapas dikeluarkan dari rongga hidung.
• Apabila kapas berwarna hijau maka tes ini positif yang artinya tidak ada
penyumbatan pada duktus nasolakrimal.
b. Tes Jones II ( Dye test sekunder) dilakukan apabila hasil tes Jones I negatif. Tes Jones
II membedakan ada atau tidak ada fluoresen di cairan irigasi salin yang didapatkan dari
hidung. Tes ini dapat membedakan terdapatnya suatu refluks selama irigasi. Irigasi
saluran dari sistem saluran lakrimal didapatkan cairan salin yang bersih dari bagian
dalam hidung.
7. Probing Tes
• Akhir sonde yang masih terlibat pada pungtum diberi tanda, untuk menentukan panjang
sonde yang masuk. Interpretasi pemeriksaan ini berupa bila panjang sonde yang masuk
dengan ukuran :
• Jika < 8 mm berarti dicurigai ada obstruksi pada kanalikuli
• 20 mm pada anak atau 35 mm pada orang dewasa berarti sonde sampai pada dasar
hidung.7
c. Pemeriksaan Penunjang
4. Diagnosis Banding
a. Selulitis Orbita
Selulitis orbita merupakan peradangan supuratif jaringan ikat longgar intraorbita
di belakang septum orbita. Selulitis orbita akan memberikan gejala demam, mata merah,
kelopak sangat edema dan kemotik, mata proptosis, atau eksoftalmus diplopia, sakit
terutama bila digerakkan, dan tajam penglihatan menurun bila terjadi penyakit neuritis
retrobulbar. Pada retina terlihat tanda stasis pembuluh vena dengan edema papil.
b. Hordeolum
Hordeolum merupakan peradangan supuratif kelenjar kelopak mata. Dikenal
bentuk hordeolum internum dan eksternum. Horedeolum eksternum merupakan infeksi
pada kelenjar Zeiss atau Moll. Hordeolum internum merupakan infeksi kelenjar Meibom
yang terletak di dalam tarsus. Gejalanya berupa kelopak yang bengkak dengan rasa sakit
dan mengganjal, merah dan nyeri bila ditekan. Hordeolum eksternum atau radang kelenjar
Zeis atau Moll akan menunjukkan penonjolan terutama ke daerah kulit kelopak.
2.4.4 Terapi
15
Selain dilakukannya masase kantong air mata ke arah pangkal hidung pada
dakriosistitis yang diderita oleh anak-anak (neonatus). Dapat juga diberikan antibiotik
amoxicillin/clavulanate atau cefaclor 20-40 mg/kgBB/hari dibagi dalam tiga dosis dan
dapat pula diberikan antibiotik topikal dalam bentuk tetes (moxifloxacin 0,5% atau
azithromycin 1%) atau menggunakan sulfonamid 4-5 kali sehari.1,17
16
Pendekatan eksternal, pembukaan saluran dicapai dengan melakukan insisi
pada crista lacrimalis anterior. Dibentuk saluran berdinding tulang di lateral hidung dan
mukosa hidung dijahitkan ke mukosa saccus lacrimalis. Pendekatan endoskopik
melalui hidung dengan memakai laser untuk membentuk anastomosis antara saccus l
acrimalis dan rongga hidung atau untuk menghindari insisi eksternal. Dilatasi sistem
nasolakrimal distal dengan balon transluminal mungkin juga berguna untuk pasien
yang tidak dapat dioperasi.3
17
Gambar 5. Teknik Dakriosistorinostomi Internal4
2.4.5 Komplikasi
2.4.6 Prognosis
18
BAB III
KESIMPULAN
19
DAFTAR PUSTAKA
1. Ilyas S. Ilmu penyakit mata. Edisi ke-4. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2012.
2. Bharathi MJ, R Ramakrishnan, V Maneksha, C Shivakumar, V Nithya, S Mittal.
Comparative bacteriology of acute and chronic dacryocystitis. J Eye. 2008;22(7):953–
60
3. Vaughan DG dan Asbury T. Oftalmologi umum. Edisi ke-17. Jakarta: EGC; 2006.
4. Shakya DK, Gandhi S, Adlakha N, Kujur R, Chauhan HRS, Ranjan KP. A
clinicobacteriological study of lacrimal regurgitate in cases of chronic dacryocystitis in
a referral hospital in Madya Pradesh. Int J Med Public Health. 2015;5(4):270-3.
5. Gilliland GD. Dacryocystitis [internet]. USA: Gilliland and Associates 2009. [diakses
tanggal 7 Maret 2020]. Tersedia dari : http://www.emedicine.com/.
6. Sowka, J.W., Gurwood, A.S., dan Kabat, A.G. 2010. Review of Optometry, The
Handbook of Occular Disease Management Twelfth Edition. [serial online].
http://www.revoptom.com/. – Diakses 8 Maret 2020
7. Ilyas, Sidharta. 2006. Dasar-Teknik Pemeriksaan Dalam Ilmu Penyakit Mata Edisi
Kedua. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
8. Pinar-Sueiro S, Sota M, Lerchundi TX, Gibelalde A, Berasategui B, Vilar B, et al.
Dacryocystitis: systematic approach to diagnosis and therapy. Curr Infect Dis Rep.
2012; 14(2):137-46.
9. Ellis, Harold. 2006. Clinical Anatomy, A Revision and Applied Anatomy for Clinical
Students Eleventh Edition. Massachusetts, USA : Blackwell Publishing, Inc .
10. Sitompul R. Dakriosititis. In: Sitorus RS, Sitompul R, Widyawati S, Banni AP Buku
Ajar Oftalmologi. Edisi ke-1. Jakarta: 2018.p.437.
11. Taylor RS, Ashurst JV. Dacryocystitis. [Updated 2019 Mar 14]. In: StatPearls
[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020 Jan.
12. Madhusudhan, Muslikan Y, Ismail N, Hussein A. Microbiological aetiology of acute
dacryocystitis in hospital Universiti Sains Malaysia, Kelantan Malaysia. Journal of
Acute Disease. 2012;1(1):31-34.
13. Khaw P.T, Shah. P et al. ABC of eyes. 4th ed. Chapter 4: Eyelid, orbital and lacrimal
disorders, Spain: BMJ Publishings; h 23.
14. Ali M, Joshi S, Naik M, Honavar S. Clinical Profile and Management Outcome of Acute
Dacryocystitis: Two Decades of Experience in a Tertiary Eye Care Center. Seminars
in Ophthalmology [Internet]. 2013 [cited 10 Mei 2020];30(2):118-123. Available from:
20
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/24171807
15. Kanski, JJ. Clinical Ophthalmology A Systematic Approach 8th Edition. Chapter 2.
Lacrimal System . Philadelphia : Elsevier; 2016. h. 73
16. American Academy of Opthalmology. 2014. Abnormalities of The Lacrimal Secretory
and Drainage Systems. Dalam: Orbit, Eyelids, and Lacrimal System. American
Academy of Ophthalmology Section 7. San Fransisco: Italia.
17. Sowka, J.W., Gurwood, A.S., dan Kabat, A.G. 2019. Review of Optometry, The
Handbook of Occular Disease Management Twelfth Edition. [serial online].
http://www.revoptom.com/. [Maret 2020]
18. Camara JG. 2008. Nasolacrimal duct obstruction: Differential diagnosis and work up.
Tersedia dari: www.medscape.com – Diakses pada Desember 2020.
19. Yuliani, Putri. 2009. Pendekatan Sederhana dan Evolusional Untuk Merekanalisasi
Obstruksi Duktus Nasolakrimalis.
20. O'Brien, Terrence P. 2009. Dacryocystitis. [serial online].
http://www.mdguidelines.com/dacryocystitis.htm. [Maret 2020]
21