Anda di halaman 1dari 21

Clinical Science Session

DAKRIOSISTITIS

Oleh :

Dinda Puan Rizka Wiranti 1840312727


Miranda Mardhatillah Ridwan 1940312073
Muhammad Fadhlillah Ghivari 1840312407

Pakar :
Dr.dr. Hendriati, Sp.M (K)

BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

RSUP DR. M. DJAMIL PADANG


2020

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan pada Allah karena berkat rahmat dan hidayah-Nya
penulis dapat menyelesaikan Clinical Sciense Session (CSS) yang berjudul “Dakriosistitis”.
CSS ini disusun untuk menambah pengetahuan dan wawasan penulis dan pembaca, serta
menjadi salah satu dalam mengikuti kepaniteraan klinik di Bagian Ilmu Kesehatan Mata
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr.dr. Hendriati, Sp.M(K) selaku pakar yang telah
memberikan arahan dan petujuk dalam pembuatan makalah ini. Penulis juga berterima kasih
kepada semua pihak yag telah membantu dalam penulisan makalah ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah CSS ini masih memiliki banyak
kekurangan. Untuk itu kritik dan saran sangat penulis harapkan. Akhir kata, semoga makalah
ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Padang, 11 Mei 2020

Penulis

2
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dakriosistitis adalah peradangan pada sakus lakrimalis akibat adanya obstruksi


pada duktus nasolakrimalis. Dakriosistitis adalah merupakan penyakit sistem lakrimal
yang sering ditemukan.Obstruksi pada anak-anak biasanya akibat tidak terbukanya
membran nasolakrimal, sedangkan pada orang dewasa akibat adanya penekanan pada
salurannya, misal adanya polip hidung.1 Obstruksi duktus nasolakrimal dapat merupakan
inflamasi stenosis idiopatik (obstruksi duktus nasolakrimal primer didapat) ataupun
sekunder akibat trauma, infeksi, inflamasi, neoplasma, ataupun obstruksi mekanik
(obstruksi duktus nasolakrimal sekunder didapat). Obstruksi duktus nasolakrimal
menyebabkan hambatan aliran air mata pada sistem aliran lakrimal. 2
Dakriosistitis dapat dijumpai pada semua usia.3 Penyakit ini sering ditemukan pada
anak-anak atau orang dewasa di atas 40 tahun, terutama perempuan dengan puncak
insidensi pada usia 60 hingga 70 tahun. Dakriosistitis pada bayi yang baru lahir jarang
terjadi, hanya sekitar 1% dari jumlah kelahiran yang ada dan jumlahnya hampir sama antara
laki-laki dan perempuan. Jarang ditemukan pada orang dewasa usia pertengahan kecuali
bila didahului dengan infeksi jamur.1
Dakriosistitis pada orang dewasa biasanya disebabkan oleh Staphylococcus aureus
atau kadang-kadang Streptococcus β hemolyticus. Pada dakriosititis kronik, organisme
dominannya adalah Streptococcus pneumoniae atau jarang sekali Candida albicans. Pada
bayi, infeksi kronik menyertai obstruksi duktus nasolakrimalis, tetapi dakriosistitis akut
jarang terjadi. Dakriosistitis pada anak sering terjadi akibat Haemophilus influenzae.3
Manifestasi dakriosistitis dapat berupa infeksi akut maupun kronik. Dakriosistitis
akut ditandai oleh adanya lakrimasi, sekret, pembengkakan yang lunak, nyeri, dan
kemerahan di area sakus lakrimal di bagian bawah tepi atas tendon kantus medial.
Dakriosistitis kronik dapat menimbulkan gejala ataupun tidak, namun umumnya tidak
nyeri.4 Terdapat tiga fase pada sekret dakriosistitis, yaitu obstruksi pada sakus lakrimalis,
sehingga yang keluar hanyalah air mata yang berlebihan. Selanjutnya ketika terjadi
Infeksi, yang keluar adalah cairan yang bersifat mukus, mukopurulen, atau purulen
tergantung pada organisme penyebabnya. Fase selanjutnya terbentuk Sikatrik, pada tahap
ini sudah tidak ada regurgitasi air mata maupun pus. Hal ini dikarenakan sekret yang
terbentuk tertahan di dalam sakus sehingga membentuk suatu kista.5
3
Pengobatan dakriosistitis pada anak (neonatus) dapat dilakukan dengan masase
kantong air mata ke arah pangkal hidung dan pemberian antibiotik topikal. Pada orang
dewasa, dakriosistitis akut dapat diterapi dengan melakukan kompres hangat pada daerah
sakus yang terkena dan pemberian antibiotik sistemik. Bila terjadi abses dapat dilakukan
insisi dan drainase. Dakriosistitis kronis pada orang dewasa dapat diterapi dengan cara
melakukan irigasi dengan antibiotik. Penatalaksaan dakriosistitis dengan pembedahan
bertujuan untuk mengurangi angka rekurensi. Prosedur pembedahan yang sering dilakukan
pada dakriosistitis adalah dacryocystorhinostomy (DCR). Di mana pada DCR ini dibuat
suatu hubungan langsung antara sistem drainase lakrimal dengan cavum nasal dengan cara
melakukan bypass pada kantung air mata.6,7 Prognosis dakriosistitis adalah baik, namun
sering terjadi resistensi terhadap terhadap antibiotika sehingga masih berpotensi terjadi
kekambuhan jika obstruksi duktus nasolakrimalis tidak ditangani secara tepat, sehingga
prognosisnya bisa menjadi buruk.8

Agar dapat menghindari terjadinya dakriosistitis, maka pemahaman tentang penyakit


dan cara mencegah rekurensi dakriosistitis menjadi dasar yang sangat penting. Oleh karena
itu, penting untuk memberikan edukasi pada pasien sehingga dapat mencegah
terjadinya penyakit ini.

1.2 Batasan Masalah


Makalah ini membahas tentang definisi, etiologi, faktor resiko, patofisiologi, manifestasi
klinis, skrining dan diagnosis, tatalaksana, komplikasi dan prognosis dari Dakriosistitis.

1.3 Tujuan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami tentang definisi,
etiologi, faktor resiko, patofisiologi, manifestasi klinis, skrining dan diagnosis,
tatalaksana, komplikasi dan prognosis dari Dakriosistitis.

1.4 Manfaat Penulisan


Makalah inidiharapkan dapat bermanfaat dalam memberikan informasi dan pengetahuan
tentang dakriosistitis.

1.5 Metode Penulisan


Penulisan makalah ini menggunakan berbagai tinjauan pustaka sebagai sumber dalam
kepustakaan.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Sakus Lakrimalis

Permukaan mata merupakan bagian paling krusial karena kontak langsung


dengan lingkungan luar. Struktur mata yang normal menjaga fungsi homeostasis mata
serta fungsi proteksi terhadap lingkungan. Salah satu struktur tersebut adalah air mata
yang dihasilkan oleh aparatus lakrimalis. Aparatus lakrimalis terdiri dari dua bagian
yaitu sistem sekretori dan sistem ekskresi yang terdiri dari punctum lakrimalis, kanalis
lakrimalis, sakus lakrimalis, duktus nasolakrimalis, dan meatus inferior.1

Gambar 1. Sistem Lakrimalis

2.2 Fisiologi sakus Lakrimalis


Kelenjar lakrimalis terletak pada bagian lateral atas mata yang disebut dengan fossa
lakrimalis. Bagian utama kelenjar ini bentuk dan ukuranya mirip dengan biji almond, yang
terhubung dengan suatu penonjolan kecil yang meluas hingga ke bagian posterior dari palpebra
superior. Saluran yang bertugas menyekresi air mata terdiri dari glandula utama lakrimalis,
glandula lakrimalis aksesoris (kelenjar Krausse dan Wolfring), glandula sebasea palpebra
(kelenjar Meibom) dan sel goblet dari konjungtiva (musin). Dari kelenjar ini, air mata
diproduksi dan kemudian dialirkan melalui 8-12 duktus kecil yang mengarah ke bagian lateral
dari fornix konjungtiva superior dan di sini air mata akan disebar ke seluruh

5
permukaan bola mata oleh kedipan kelopak mata. Setelah air mata diproduksi maka akan
terjadi sistem drainase dan penguapan air mata. Dalam keadaan normal air mata akan
menguap sehingga hanya sedikit yang masuk ke dalam sistem drainase. 9

Selanjutnya, air mata akan dialirkan ke dua kanalis lakrimalis, superior dan inferior,
kemudian menuju ke punctum lakrimalis yang terlihat sebagai penonjolan kecil pada kantus
medial. Setelah itu, air mata akan mengalir ke dalam sakus lakrimalis yang terlihat sebagai
cekungan kecil pada permukaan orbita. Dari sini, air mata akan mengalir ke duktus
nasolakrimalis dan bermuara pada meatus nasal bagian inferior. Dalam keadaan normal, duktus
ini memiliki panjang sekitar 12 mm dan berada pada sebuah saluran pada dinding medial
orbita.9

Gambar 2. Sistem drainase air mata

2.3 Vaskularisasi Sakus Lakrimalis

Perdarahan kelenjar air mata berasal dari arteria lakrimalis. Vena dari kelenjar
bergabung dengan vena ophtamilca. Drainase limfe bersatu dengan pembuluh limfe
konjungtiva dan mengalir ke kelenjar getah bening preaurikuar.

Kelenjar air mata dipersarafi oleh:

1. Nervus lakrimalis (sensoris), suatu cabang dari divisi trigeminus;


2. Nervus petrosus superficialis magna (sekretoris), yang datang dari nucleus salivarius
superior;
3. Saraf simpatis yang menyertai arteria dan nervus lakrimalis.3

6
2.4 Dakriosistitis

2.4.1 Definisi Dakriosistitis

Dakriosistitis adalah infeksi sekunder sacus lakrimalis akibat sumbatan di duktus


nasolakrimalis. Sering terjadi unilateral, dan biasa terjadi pada bayi dan orang dewasa 50 -60
tahun. Pada kelompok dewasa lebih sering ditemukan pada wanita. Pada kasus dewasa
kebanyakan penyebab obstruksinya tidak diketahui. Dakriosistitis sangat jarang teradi pada
golongan usia pertengahan, kecuali sesudah trauma atau disebabkan oleh dakriolit. Biasanya
sembuh spontan jika dakriolit terlepas, tapi bisa kambuh lagi. Pada bayi, infeksi kronik
menyertai obstruksi duktus nasolakrimalis, tetapi dakriosistitis akut jarang terjadi. 3,10

2.4.2 Etiologi Dakriosistitis

Pada bayi baru lahir dapat terjadi gangguan penutupan katup Hasner di distal ductus
nasolakrimalis, sehinga terjadi sumbatan di ductus tersebut. Sumbatan dapat hilang atau
sembuh dengan sendirinya dalam waktu satu tahun. Jika terjadi infeksi, sumbatan dapat
berkembang menjadi dakriosistitis akut. Paling sering disebabkan oleh bakteri Haemophillus
influenzae.10

Dakriosistitis akut yang terjadi pada orang dewasa disebabkan oleh Staphylococcus
aureus atau kadang-kadang Streptococcus β-hemolyticus. Pada dakriosistitis kronik,
organisme dominannya adalah Streptococcuc pneumoniae, atau jarang sekali Candida
albicans. Penyebab infeksi ditemukan secara miksrokopis dengan pemulasan sediaan hapus
konjungtiva yang diambil setelah memeras sakus lakrimalis. 1 Dakriosistitis juga dapat terjadi
akibat komplikasi sinusitis, baik akibat sumbatan yang terbentuk ataupun perluasan infeksi
secara langsung.10

2.4.3 Klasifikasi
Dakriosistitis dapat diklasifikasikan berdasarkan perjalanan penyakitnya, hal tersebut
berupa11 :
1. Dakriosistitis Akut
Dakriosistitis tipe ini disebabkan karena terjadinya infeksi akut. Infeksi ini timbul
oleh adanya abses nasolakrimal, penyebaran infeksi karena selulitis orbital, trombosis
vena oftalmikus superior, dan sinus kavernosa.2 Organisme penyebab infeksi tersering
adalah golongan Staphylococcus, Streptococcus species, Haemophilus influenza, serta
Pseudomonas aeruginosa.

7
2. Dakriosistitis Kronik
Dakriosistitis tipe ini disebabkan karena adanya obstruksi kronis akibat penyakit
sistemik, konjungtivitis kronik, infeksi berulang dakriolit, dan partikel radang kronis pada
sistem nasolakrimal.
3. Dakriosistitis Kongenital
Dakriosistitis Kongenital terjadi karena adanya obstruksi membran pada katup
Hasner di saluran nasolakrimal distal. Pada saat di dalam kandungan, sistem nasolakrimal
diisi dengan cairan ketuban. Cairan ketuban tersebut di ekskresikan segera setelah lahir
melalui sistem lakrimal. Ketika cairan ketuban gagal di ekskresikan dari sistem
nasolakrimal, cairan menjadi purulen dalam beberapa hari setelah melahirkan dan
kemudian mengalami infeksi. Jika keadaan tersebut tidak ditangani secara adekuat, maka
dapat menimbulkan selulitis orbita, abses otak, meningitis, sepsis hingga kematian.

2.4.1 Patogenesis

Awal terjadinya peradangan pada sakus lakrimalis adalah adanya obstruksi pada
duktus nasolakrimalis. Obstruksi duktus nasolakrimalis pada anak-anak biasanya akibat
tidak terbukanya membran nasolakrimal, sedangkan pada orang dewasa akibat adanya
penekanan pada salurannya, misal adanya polip hidung. Obstruksi pada duktus
nasolakrimalis ini menyebabkan drainase terganggu sehingga dapat menimbulkan
penumpukan air mata, debris epitel, dan cairan mukus sakus lakrimalis yang merupakan
media pertumbuhan yang baik untuk pertumbuhan bakteri.
Ada 3 tahapan terbentuknya sekret pada dakriosistitis. Hal ini dapat diketahui
dengan melakukan pemijatan pada sakus lakrimalis. Tahapan-tahapan tersebut antara lain:
▪ Tahap obstruksi

Pada tahap ini, baru saja terjadi obstruksi pada sakus lakrimalis, sehingga yang keluar
hanyalah air mata yang berlebihan.

▪ Tahap Infeksi

Pada tahap ini, yang keluar adalah cairan yang bersifat mukus, mukopurulen, atau
purulent tergantung pada organisme penyebabnya.

▪ Tahap Sikatrik

Pada tahap ini sudah tidak ada regurgitasi air mata maupun pus lagi. Hal ini dikarenakan
8
sekret yang terbentuk tertahan di dalam sakus sehingga membentuk suatu kista.1

2.4.2 Manifestasi klinik

Gejala utama dakriosistitits adalah berair mata dan berkotoran. Pada stadium akut,
di daerah sakus lakrimalis terdapat gejala radang, sakit, bengkak, dan nyeri tekan. 12
Substansi purulen dapat dikeluarkan dari bagian sakus. Bagian yang meradang berada di
bagian medial, di atas sakus lakrimal. Pada anamnesis bisa didapatkan riwayat mata berair
akibat penyumbatan sistem lakrimal yang sudah terinfeksi.13
Manifestasi klinis dakriosistitis kronik mempunyai spektrum yang bervariasi dari
nyeri, eritema di area terlibat sampai terjadinya abses lakrimal. Pasien akan datang
dengan keluhan nyeri dan bengkak di bagian sakus lakrimal disertai suatu indurasi yang
nyeri di bawah tendon kantal medial, epifora dengan atau tanpa distensi sakus lakrimal
dan regurgitasi material purulen dari puncta. Dilaporkan juga manifestasi klinis yang lebih
parah seperti selulitis orbital dengan abses orbital, necrotizing fasciitis, trombosis vena
superior oftalmik, trombosis sinus kavernous, meningitis dan kehilangan penglihatan
total.14
Pada dakriosistitis kongenital biasanya ibu pasien akan mengeluh mata pasien
merah pada satu sisi, bengkak pada daerah pangkal hidung dan keluar air mata diikuti
dengan keluarnya nanah terus-menerus. Bila bagian yang bengkak tersebut ditekan
pasien akan merasa kesakitan (epifora).1

Dakriosistitits akut.15

9
Abses lakrimal dan selulitis preseptal.15

Fistula lakrimal.15

Mukokel lakrimal. 15

2.4.3 Diagnosis

a. Anamnesis

Anamnesis pada pasien yang dicurigai mengalami dakriosistitis berupa adanya


keluhan epifora, rasa nyeri pada sekitar kantung mata, demam, tanda-tanda infeksi

10
seperti merah dan bengkak pada daerah kantung mata. Pada anamnesis juga digali
riwayat penyakit mata terdahulu seperti infeksi virus, bakteri, jamur, trauma fasial,
pembedahan nasal atau sinus sebelumnya. Selain riwayat penyakit mata, riwayat
penyakit sistemik seperti limpoma, wegener granulomatosis, sarcoidosis, scleroderma,
sinus histiocytosis, riwayat pengobatan dengan radiasi ke kantus medial dengan
kemoterapi sistemik.16

b. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik oftalmologi dapat dilakukan untuk menentukan adanya tanda


dakriosistitis, hal tersebut berupa:
1. Pemeriksaan periorbital, palpebra dan sistem lakrimal

a. Inspeksi wajah (dahi, pipi, daerah kantus medial, palpebra)

• Pada periorbital asimetris, bengkak, ptosis, dan palpebra udem, hiperemis.

• Pada daerah kantus medial : fistul, inflamasi dan discharge.

b. Palpasi pada daerah kantus

• Dakriosistitis akut: Nyeri tekan pada sakus lakrimalis, kemudian ketika ditekan
yang keluar adalah sekret mukopurulen.

• Dakriosistitis kronik : Sakus lakrimalis ditekan kemudian keluar cairan mukoid


dengan nanah di daerah pungtum lakrimal, mata berair, dan kelopok melekat satu
dengan lainnya.

2. Pemeriksan punctum dan eksternal mata dengan slitlamp

Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengukur ketinggian vertical meniscus air


mata sebelum diberi tetes mata. Ketika memeriksa meniscus air mata, singkirkan
blepharitis, mata kering dan penyakit eksternal lain, sebagai penyebab hipersekresi dan
peninggian meniscus air mata.
3. Test Anel

Test anel dilakukan dengan tujuan untuk menentukan fungsi ekskresi sistem
lakrimal. Hasil yang didapatkan bila terlihat adanya reaksi menelan berarti garam
fisiologik masuk tenggorokan menunjukkan fungsi sistem ekskresi lakrimal normal
(hasil test positif). Apabila tidak ada refleks menelan dan terlihat garam fisiologik keluar
11
melalui pungtum lakrimal atas berarti fungsi apparatus lakrimal tidak ada atau duktus
nasolakrimal tertutup (hasil test negatif).

4. Dye dissapearance test (DDT)

Dye dissapearance test dilakukan dengan cara meneteskan zat warna fluorescein
2% pada kedua mata masing-masing 1 tetes, setelah itu permukaan kedua mata dilihat
dengan slit lamp. Jika ada obstruksi pada salah satu mata akan memperlihatkan
gambaran seperti di bawah ini.

Terdapat obstruksi pada duktus nasolakrimalis kiri


5. Fluorescein Dye Retention Test (FDRT)

Fluorescein Dye Retention Test (FDRT) ini dilakukan untuk melihat fungsi
saluran ekskresi sistem lakrimal. Pada saat normal air mata masuk hidung melalui
sistem ekskresi lakrimal. Tindakan ini dilakukan dengan cara meneteskan zat warna
fluoresin 2% pada satu mata yang sakit atau yang dicurigai mengalami obstruksi. Air
mata dengan fluoresin akan masuk ke dalam sistem lakrimalis. Kemudian penderita
diminta berkedip beberapa kali, setelah beberapa menit penderita diminta
mengeluarkan ingus atau meludah yang diseka dengan kertas tisu. Interpretasi dari
pemeriksaan ini didapatkan sistem lakrimal dan terlihat pada kertas tisu dengan warna
hijau, maka fungsi ekskresi sistem lakrimal baik.

6. Jones Test I dan II

Tes jones I dan II digunakan untuk menilai aliran fungsi sistem ekskresi lakrimalis.
a. Tes Jones I (Dye test primer), dilakukan dengan cara :

• Pasien duduk bersandar sehingga pemeriksa dapat melihat dasar hidung pasien.
• Pada konjungtiva pasien diteteskan 1-2 tetes flouresein. Lalu dimasukan kapas
aplikator yang telah diteteskan pantokain ke dalam meatus inferior hidung dan
ditunggu selama 2-3 menit.

12
• Setelah 2-3 menit, kemudian kapas dikeluarkan dari rongga hidung.

• Apabila kapas berwarna hijau maka tes ini positif yang artinya tidak ada
penyumbatan pada duktus nasolakrimal.

b. Tes Jones II ( Dye test sekunder) dilakukan apabila hasil tes Jones I negatif. Tes Jones
II membedakan ada atau tidak ada fluoresen di cairan irigasi salin yang didapatkan dari
hidung. Tes ini dapat membedakan terdapatnya suatu refluks selama irigasi. Irigasi
saluran dari sistem saluran lakrimal didapatkan cairan salin yang bersih dari bagian
dalam hidung.

7. Probing Tes

Probing tes merupakan pemeriksaan yang dilakukan untuk menentukan letak


penyumbatan saluran ekskresi air mata. Hambatan alat menunjukkan letak penutupan
atau panjang saluran yang terbuka. Pemerikaan ini menggunakan alat Probe atau
Bowman dengan anestesi lokal. Tindakan pemeriksaan ini dilakukan dengan cara :
• Mata yang akan dilakukan pemeriksaan diberi tetes anestetik lokal (pantokain 1% atau
tetrakain 1%).
• Sonde dimasukkan ke dalam kanalikuli sejauh mungkin sampai terasa adanya tahanan
sewaktu dimasukkan.

• Akhir sonde yang masih terlibat pada pungtum diberi tanda, untuk menentukan panjang
sonde yang masuk. Interpretasi pemeriksaan ini berupa bila panjang sonde yang masuk
dengan ukuran :
• Jika < 8 mm berarti dicurigai ada obstruksi pada kanalikuli

• 8 mm berarti kanalikuli lakrimal baik

• 10-12 mm berarti kanalikuli lakrimal sampai pada sakus lakrimal baik

• 16 mm berarti penyumbatan pada bagian atas duktus nasolakrimal

• 20 mm pada anak atau 35 mm pada orang dewasa berarti sonde sampai pada dasar
hidung.7

c. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk membantu mengkonfirmasi


diagnosis dakriosistitis, berupa:
13
1. CT scan dan Magnetic Resonance Imaging (MRI)
CT scan dan MRI merupakan pemeriksaan radiologi yang berguna untuk mencari tahu
penyebab obstruksi pada dakriosistitis terutama akibat adanya suatu massa atau keganasan.
Selain itu, pemeriksaan ini dapat digunakan pada pasien pada pasien yang memiliki riwayat
trauma cranio-facial, deformitas tulang wajah kongenital.
2. Dacryocystography (DCG) dan dacryoscintigraphy sangat berguna untuk mendeteksi
adanya kelainan anatomi pada sistem drainase lakrimal.16

4. Diagnosis Banding
a. Selulitis Orbita
Selulitis orbita merupakan peradangan supuratif jaringan ikat longgar intraorbita
di belakang septum orbita. Selulitis orbita akan memberikan gejala demam, mata merah,
kelopak sangat edema dan kemotik, mata proptosis, atau eksoftalmus diplopia, sakit
terutama bila digerakkan, dan tajam penglihatan menurun bila terjadi penyakit neuritis
retrobulbar. Pada retina terlihat tanda stasis pembuluh vena dengan edema papil.
b. Hordeolum
Hordeolum merupakan peradangan supuratif kelenjar kelopak mata. Dikenal
bentuk hordeolum internum dan eksternum. Horedeolum eksternum merupakan infeksi
pada kelenjar Zeiss atau Moll. Hordeolum internum merupakan infeksi kelenjar Meibom
yang terletak di dalam tarsus. Gejalanya berupa kelopak yang bengkak dengan rasa sakit
dan mengganjal, merah dan nyeri bila ditekan. Hordeolum eksternum atau radang kelenjar
Zeis atau Moll akan menunjukkan penonjolan terutama ke daerah kulit kelopak.

Pada dakriosistitis kongenital diagnosa bandingnya terdiri dari:


a) Gonococcal conjunctivitis -bilateral, sekresi purulen yang parah dan edema pada
kelopak mata. Manifestasi sistemik seperti rinitis, septikemia
b) Inclusion conjunctivitis. - hiperemis ringan dengan kotoran mukois,
pembengkakan kelopak mata, kemosis dan formasi pseudomembran.5

2.4.4 Terapi

Dakriosistitis akut biasanya berespon terhadap antibiotik sistemik yang memadai,


dan bentuk kroniknya sering dapat dipertahankan laten dengan tetesan antibiotik,
Meskipun begitu, menghilangkan obstruksi adalah penyembuhan satu-satunya.3

a. Terapi dakriosistisis infantil


14
Pada dakriosistisis infantil, lokasi stenosis biasanya di katup Hasner.
Kegagalan kanalisasi adalah kejadian yang umum ditemukan (4-7% dari neonatus),
tetapi duktus tersebut biasanya membuka spontan dalam bulan pertama. Saccus
lacrimalis yang ditekan kuat kadang- kadang dapat merobek membrane sehingga
saluran terbuka. Jika stenosis menetap lebih dari enam bulan, atau jika timbul
dakriosistisis, diindikasikan pelebaran duktus dengan probe. Satu kalinya tindakan ini
dilakukan efektif pada 75% kasus. Sisanya hampir selalu dapat disembuhkan dengan
pengulangan tindakan, dengan merusak concha inferior ke dalam, atau dengan bidai
lakrimal silikon temporer. Tindakan pelebaran jangan dilakukan bila ada infeksi akut.

15
Selain dilakukannya masase kantong air mata ke arah pangkal hidung pada
dakriosistitis yang diderita oleh anak-anak (neonatus). Dapat juga diberikan antibiotik
amoxicillin/clavulanate atau cefaclor 20-40 mg/kgBB/hari dibagi dalam tiga dosis dan
dapat pula diberikan antibiotik topikal dalam bentuk tetes (moxifloxacin 0,5% atau
azithromycin 1%) atau menggunakan sulfonamid 4-5 kali sehari.1,17

b. Terapi dakriosistisis dewasa

Pada orang dewasa, dakriosistitis akut dapat diterapi dengan melakukan


kompres hangat pada daerah sakus yang terkena dalam frekuensi yang cukup sering. 1,17
Amoxicillin dan chepalosporine (cephalexin 500mg p.o. tiap 6 jam) juga merupakan
pilihan antibiotik sistemik yang baik untuk orang dewasa.17 Untuk mengatasi nyeri dan
radang, dapat diberikan analgesik oral (acetaminofen atau ibuprofen), bila perlu
dilakukan perawatan di rumah sakit dengan pemberian antibiotik secara intravena,
seperti cefazoline tiap 8 jam.18 Bila terjadi abses dapat dilakukan insisi dan drainase.1
Dakriosistitis kronis pada orang dewasa dapat diterapi dengan cara melakukan irigasi
dengan antibiotik. Sumbatan duktus nasolakrimal dapat diperbaiki dengan cara
pembedahan jika sudah tidak radang lagi.

Penatalaksaan dakriosistitis dengan pembedahan bertujuan untuk mengurangi


angka rekurensi. Prosedur pembedahan yang sering dilakukan pada dakriosistitis
adalah dacryocystorhinostomy (DCR). Di mana pada DCR ini dibuat suatu hubungan
langsung antara sistem drainase lakrimal dengan cavum nasal dengan cara melakukan
bypass pada kantung air mata. Dulu, DCR merupakan prosedur bedah eksternal dengan
pendekatan melalui kulit di dekat pangkal hidung. Saat ini, banyak dokter telah
menggunakan teknik endonasal dengan menggunakan scalpel bergagang panjang atau
laser.17

16
Pendekatan eksternal, pembukaan saluran dicapai dengan melakukan insisi
pada crista lacrimalis anterior. Dibentuk saluran berdinding tulang di lateral hidung dan
mukosa hidung dijahitkan ke mukosa saccus lacrimalis. Pendekatan endoskopik
melalui hidung dengan memakai laser untuk membentuk anastomosis antara saccus l
acrimalis dan rongga hidung atau untuk menghindari insisi eksternal. Dilatasi sistem
nasolakrimal distal dengan balon transluminal mungkin juga berguna untuk pasien
yang tidak dapat dioperasi.3

Dakriosistorinostomi internal memiliki beberapa keuntungan jika


dibandingkan dengan dakriosistorinostomi eksternal. Adapun keuntungannya yaitu, (1)
trauma minimal dan tidak ada luka di daerah wajah karena operasi dilakukan tanpa
insisi kulit dan eksisi tulang, (2) lebih sedikit gangguan pada fungsi pompa lakrimal,
karena operasi merestorasi pasase air mata fisiologis tanpa membuat sistem drainase
bypass, dan (3) lebih sederhana, mudah, dan cepat (rata-rata hanya 12,5 menit).19

Kontraindikasi pelaksanaan DCR ada 2 macam, yaitu kontraindikasi absolut


dan kontraindikasi relatif.7 Kontraindikasi relatif dilakukannya DCR adalah usia yang
ekstrim (bayi atau orang tua di atas 70 tahun) dan adanya mucocele atau fistula
lakrimalis. Beberapa keadaan yang menjadi kontraindikasi absolut antara lain:

a. Kelainan pada kantong air mata :


- Keganasan pada kantong air mata.
- Dakriosistitis spesifik, seperti TB dan sifilis
b. Kelainan pada hidung :
- Keganasan pada hidung
- Rhinitis spesifik, seperti rhinoskleroma
- Rhinitis atopik
c. Kelainan pada tulang hidung, seperti periostitis

17
Gambar 5. Teknik Dakriosistorinostomi Internal4
2.4.5 Komplikasi

Dakriosistitis yang tidak diobati dapat menyebabkan pecahnya kantong air


mata sehingga membentuk fistel. Bisa juga terkadi abses kelopak mata, ulkus, bahkan
selulitis orbita.1
Komplikasi juga bisa muncul setelah dilakukannya DCR. Komplikasi tersebut
di antaranya adalah perdarahan pascaoperasi, nyeri transien pada segmen superior
os.maxilla, hematoma subkutaneus periorbita, infeksi dan sikatrik pascaoperasi yang
tampak jelas.19

2.4.6 Prognosis

Dakriosistitis sangat sensitif terhadap antibiotika namun masih berpotensi


terjadi kekambuhan jika obstruksi duktus nasolakrimalis tidak ditangani secara tepat,
sehingga prognosisnya adalah dubia ad malam. Akan tetapi, jika dilakukan
pembedahan baik itu dengan dakriosistorinostomi eksternal atau dakriosistorinostomi
internal, kekambuhan sangat jarang terjadi sehingga prognosisnya dubia ad bonam.20

18
BAB III

KESIMPULAN

Dakriosistitis adalah peradangan pada sakus lakrimalis yang biasanya


disebabkan oleh obstruksi pada duktus nasolakrimalis. Penyakit ini sering ditemukan
pada anak-anak atau orang dewasa berusia lebih dari 40 tahun, terutama perempuan.
Kuman penyebab dakriosistitis di anataranya adalah staphylococcus,
pneumococcus,streptococcus, Neisseria catarrkalis, dan pseudomonas. Dakriosistitis
pada anak biasanya akibat tidak terbukanya membran nasolakrimalis, sedangkan pada
orang dewasa biasanya akibat tertekannya duktus nasolakrimalis oleh polip hidung.

Perjalanan penyakit dapat berlangsung akut maupun kronik. Dakriosistitis


menahun dapat merupakan lanjutan dari dakriosistitis akut, dan bersifat rekuren. Selain
dakriosistitis akut dan kronis, ada juga dakriosistitis kongenital yang merupakan bentuk
khusus dari dakriosistitis. Patofisiologinya berhubungan erat dengan proses
embriogenesis dari sistem eksresi lakrimalis.2 Pada keadaan akut dapat ditemukan
epifora disertai demam. Kantung air mata (sakus lakrimalis) membengkak, memerah,
nyeri hebat, dan sekret mukopurulen akan memancar jika sakus lakrimalis ditekan.
Sedangkan pada keadaan kronik biasanya memperlihatkan tanda-tanda peradangan
ringan, namun sekret mukoid dan nanah dapat ditemukan, disertai dengan mata berair
dan kelopak mata yang melekat satu sama lain.1

Tatalaksana dakriosistitis yaitu dengan cara mengeluarkan nanah dari sakus


lakrimalis dengan cara memijat sakus ataupun insisi, dilanjutkan dengan pemberian
antibiotik lokal dan sistemik, dan juga pelebaran duktus nasolakrimalis, atau pada
kasus yang sulit dapat dilakukan pembedahan berupa dakriosistorinostomi.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas S. Ilmu penyakit mata. Edisi ke-4. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2012.
2. Bharathi MJ, R Ramakrishnan, V Maneksha, C Shivakumar, V Nithya, S Mittal.
Comparative bacteriology of acute and chronic dacryocystitis. J Eye. 2008;22(7):953–
60
3. Vaughan DG dan Asbury T. Oftalmologi umum. Edisi ke-17. Jakarta: EGC; 2006.
4. Shakya DK, Gandhi S, Adlakha N, Kujur R, Chauhan HRS, Ranjan KP. A
clinicobacteriological study of lacrimal regurgitate in cases of chronic dacryocystitis in
a referral hospital in Madya Pradesh. Int J Med Public Health. 2015;5(4):270-3.
5. Gilliland GD. Dacryocystitis [internet]. USA: Gilliland and Associates 2009. [diakses
tanggal 7 Maret 2020]. Tersedia dari : http://www.emedicine.com/.
6. Sowka, J.W., Gurwood, A.S., dan Kabat, A.G. 2010. Review of Optometry, The
Handbook of Occular Disease Management Twelfth Edition. [serial online].
http://www.revoptom.com/. – Diakses 8 Maret 2020
7. Ilyas, Sidharta. 2006. Dasar-Teknik Pemeriksaan Dalam Ilmu Penyakit Mata Edisi
Kedua. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
8. Pinar-Sueiro S, Sota M, Lerchundi TX, Gibelalde A, Berasategui B, Vilar B, et al.
Dacryocystitis: systematic approach to diagnosis and therapy. Curr Infect Dis Rep.
2012; 14(2):137-46.
9. Ellis, Harold. 2006. Clinical Anatomy, A Revision and Applied Anatomy for Clinical
Students Eleventh Edition. Massachusetts, USA : Blackwell Publishing, Inc .
10. Sitompul R. Dakriosititis. In: Sitorus RS, Sitompul R, Widyawati S, Banni AP Buku
Ajar Oftalmologi. Edisi ke-1. Jakarta: 2018.p.437.
11. Taylor RS, Ashurst JV. Dacryocystitis. [Updated 2019 Mar 14]. In: StatPearls
[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020 Jan.
12. Madhusudhan, Muslikan Y, Ismail N, Hussein A. Microbiological aetiology of acute
dacryocystitis in hospital Universiti Sains Malaysia, Kelantan Malaysia. Journal of
Acute Disease. 2012;1(1):31-34.
13. Khaw P.T, Shah. P et al. ABC of eyes. 4th ed. Chapter 4: Eyelid, orbital and lacrimal
disorders, Spain: BMJ Publishings; h 23.
14. Ali M, Joshi S, Naik M, Honavar S. Clinical Profile and Management Outcome of Acute
Dacryocystitis: Two Decades of Experience in a Tertiary Eye Care Center. Seminars
in Ophthalmology [Internet]. 2013 [cited 10 Mei 2020];30(2):118-123. Available from:
20
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/24171807
15. Kanski, JJ. Clinical Ophthalmology A Systematic Approach 8th Edition. Chapter 2.
Lacrimal System . Philadelphia : Elsevier; 2016. h. 73
16. American Academy of Opthalmology. 2014. Abnormalities of The Lacrimal Secretory
and Drainage Systems. Dalam: Orbit, Eyelids, and Lacrimal System. American
Academy of Ophthalmology Section 7. San Fransisco: Italia.

17. Sowka, J.W., Gurwood, A.S., dan Kabat, A.G. 2019. Review of Optometry, The
Handbook of Occular Disease Management Twelfth Edition. [serial online].
http://www.revoptom.com/. [Maret 2020]

18. Camara JG. 2008. Nasolacrimal duct obstruction: Differential diagnosis and work up.
Tersedia dari: www.medscape.com – Diakses pada Desember 2020.
19. Yuliani, Putri. 2009. Pendekatan Sederhana dan Evolusional Untuk Merekanalisasi
Obstruksi Duktus Nasolakrimalis.
20. O'Brien, Terrence P. 2009. Dacryocystitis. [serial online].
http://www.mdguidelines.com/dacryocystitis.htm. [Maret 2020]

21

Anda mungkin juga menyukai