Anda di halaman 1dari 56

MAKALAH

IDENTIFIKASI NEONATUS RESIKO TINGGI PADA ASUHAN BAYI


BARU LAHIR DENGAN IBU KECANDUAN NAPZA, ASUHAN BAYI
BARU LAHIR DENGAN IBU PENDERITA PENYAKIT INFEKSI DAN
ASUHAN BAYI BARU LAHIR DENGAN OMPHALITIS

DOSEN : Sarkiah, SST.,M.KES

Disusu oleh : Kelompok 6

1. Nur Malinda Putri : 11194862111142


2. Rias Mustika : 11194862111147
3. Rida Ayu Rezeki : 11194862111148

PROGRAM STUDI ALIH JENJANG KEBIDANAN

FAKULTAS KESEHATAN

UNIVERSITAS SARI MULIA

BANJARMASIN

2022

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
atas rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan tugas makalah Ilmu
Kesehatan Anak dengan tepat waktu yang berjudul “Identifikasi Neonates Resiko
Tinggi”.

Harapan kami sebagaimana penyusun yaitu agar pembaca dapat memahami


tentang Identifikasi neonates resiko tinggi khususnya pada Asuhan Bayi Baru
Lahir dengan Ibu Kecanduan NAPZA, Asuhan Bayi Baru Lahir Dengan Ibu
Penderita Penyakit Infeksi Dan Asuhan Bayi Baru Lahir Dengan Omphalitis.
Kami ingin mengucapkan terimakasih pada dosen pengampu mata kuliah Ilmu
Kesehatan Anak yaitu ibu Sarkiah, SST.,M.Kes. kami juga menyadari sepenuhnya
dalam makalah ilmu kesehatan anak ini masih terdapat banyak kekurangan –
kekurangan dan jauh dari apa yang kami harapkan. Baik dalam sistematika
penulisan maupun penggunaan bahasa. Kami berharap semoga dengan adanya
makalah ini dapat menambah ilmu wawasan kita mengenai Ilmu Kesehatan Anak.
Akhir kata kami ucapkan terima kasih.

Banjarmasin, 30 Maret 2022

Penyusun

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI ii

DAFTAR TEBEL iii

DAFTAR GAMBAR iv

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang..............................................................................................1

B. Rumusan Masalah........................................................................................4

C. Tujuan...........................................................................................................4

D. Manfaat.........................................................................................................4

BAB II KAJIAN LITERATUR

A. Asuhan BBL dengan ibu kecanduan narkotika, psikotropika,

Dan zat adiktif...............................................................................................6

B. Asuhan BBL dengan ibu menderita penyakit infeksi.................................17

1. Demam Berdarah Dangue .....................................................................17

2. Malaria...................................................................................................27

C. Asuhan bayi baru lahir dengan omphalitis..................................................33

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan.................................................................................................45

B. Saran............................................................................................................46

DAFTAR PUSTAKA

ii
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Klasifikasi Penyakit Infeksi Virus Dengue........................................ 19


Tabel 2. Manisfestasikan malaria berat anak dan dewasa................................ 30
Tabel 3. Pengobatan malariafalsiparum pada ibu hamil................................... 32
Tabel 4. Pengobatan malaria vivaks pada ibu hamil........................................ 32

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Pathway Napza............................................................................... 17


Gambar 2. Pathway DBD................................................................................. 26
Gambar 3. Pathway Malaria............................................................................. 32
Gambar 4. Omphalitis....................................................................................... 33
Gambar 5. Infeksi Tali Pusat Berat atau Meluas.............................................. 37
Gambar 6. Komplikasi Omphalitis................................................................... 41
Gambar 7. Infeksi Tali Pusat............................................................................ 41

iv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penggunaan narkoba pada masa kehamilan sangat memiliki dampak yang
fatal bagi janin dan ibu. Badan Narkotika Nasional menyatakan penggunaan
narkoba akan menyebabkan kecacatan pada janin,kelahiran prematur,
retardasi mental, Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR), gangguan perkembangan
otak, saraf, jantung, paru bahkan dapat menyebabkan kematian janin di dalam
rahim. Hal ini dapat meningkatkan angka kematian dan kesakitan ibu dan
bayi. Berdasarkan Profil Kesehatan Sumatera Utara tahun 2016, persentase
cakupan neonatal risti (kejadian asfiksia, tetanus neonatorum, sepsis, trauma
lahir, BBLR (berat badan lahir <2.500 gr), sindroma gangguan pernafasan
dan kelainan neonatal) yang telah dirujuk dan ditangani tahun 2016 adalah
12.650 kasus dari 42.464 perkiraan kasus (29.79%). Penggunaan narkoba
pada masa kehamilan sangat memiliki dampak yang fatal bagi janin dan ibu.
Penyebab pemakaian narkoba pada ibu hamil antara lain karena kurangnya
pengetahuan, dukungan keluarga yang akan berdampak pada psikologis ibu,
faktor pendapat dan lemahnya keimanan seseorang dengan mudah melanggar
norma-norma agama seperti penyalahgunaan narkoba (Bidan et al., 2020).
Malaria merupakan masalah kesehatan masyarakat diseluruh dunia, baik
di daerah tropis maupun sub tropis, termasuk Negara berkembang seperti
Indonesia. Penyakit malaria disebabkan oleh parasite protozoa dari genus
plasmodium. Lima spesies yang ditemukan pada manusia adalah P.vivax, P.
ovale, P. malariae, P. Falciparum dan P. knowlesi. World Health
Organization (WHO) melaporkan diperkirakan 3,3 milyar orang-orang yang
berada di 97 negara berisiko terkena atau tersebar infeksi malaria dalam satu
tahun (Rehana et al., 2017). Malaria juga mendapat perhatian khusus karena
merupakan penyakit dan penyebab kematian di banyak Negara berkembang
terutama pada anak dan wanita hamil. Malaria selama kehamilan

1
berkonsekuensi menyebabkan kesakitan, kematian, aborsi, kelahiran dini,
berat badan lahir rendah (mengacu pada penghambatan pertumbuhan
intrauterine dan prematuritas) dan transmisi transplacental dari parasit
malaria. Infeksi malaria pada ibu hamil tidak hanya dapat meningkatkan
risiko anemia yang dapat meningkatkan risiko perdarahan saat persalinan,
namun juga meningkatkan risiko kematian bayi, prematuritas dan berat badan
lahir rendah. Resiko terkena malaria semakin meningkat terutama pada
kehamilan trimester dua, ibu hamil memiliki risiko tiga kali lebih besar untuk
menderita penyakit parah lainnya bila terinfeksi malaria dibandingkan
perempuan yang tidak sedang hamil. Indonesia merupakan salah satu negara
yang masih memiliki masalah malaria dengan API (Annual Parasite Indeks)
sebesar 0.85 per 1000 penduduk dan jumlah kasus 209.413.11 Kalimantan
Timur (Kaltim) merupakan salah satu provinsi endemis malaria di Indonesia
yang termasuk dalam peringkat 15 besar, dengan API sebesar 0,46 per 1.000
penduduk dan Case Fatality Rate Malaria 0,21% (Di et al., 2017). Selain itu
penyakit demam berdarah dengue juga masih menjadi masalah utama pada
Negara-negara tropis, termasuk Indonesia. Indonesia dimasukkan dalam
kategori A pada penyakit infeksi tersebut karena tingginya angka mortalitas.
Demam berdarah dengue pada kehamilan meningkatkan resiko perdarahan
pada ibu hingga menyebabkan terjadi nya syok akibat perembesan plasma
akibat kerusakan endotel yang luas. Transmisi vertikel pada neonatal dapat
terjadi apabila ibu mendapatkan penularan virus pada trimester meninggal
dunia. Pada tahun 2017 di Aceh terdapat total jumlah kasus 2.591 dengan
incidence rate/100.000 penduduk yaitu 49,93%, dengan jumlah kematian 12
kasus dengan case fatality rate 0,46%. Peningkatan kejadian persalinan
preterm, solusio plasenta, kematian janin dalam kandungan, abortus pada
kehamilan. Penatalaksanaan demam berdarah dengue pada kehamilan
memiliki pendekatan yang lebih spesifik. Waktu dan cara terminasi sangat
bergantung pada indikasi obstetric khususnya keadaan fetal dan maternal.
Tidak dianjurkan melakukan terminasi pada masa kritis (Kedokteran &
Kuala, 2020).

2
Perawatan tali pusat adalah tindakan perawatan yang bertujuan merawat
tali pusat pada bayi baru lahir agar tetap kering dan mencegah terjadinya
infeksi (Afriana, 2012). Perawatan tali pusat yang baik dan benar akan
menimbulkan dampak positif yaitu tali pusat akan pupu pada hari ke 5-7
tanpa ada komplikasi (Jusmiaty, 2012). Perawatan tali pusat secara umum
bertujuan untuk mencegah terjadinya infeksi dan mempercepat putusnya tali
pusat. Infeksi tali pusat pada dasarnya dapat dicegah dengan melakukan
perawatan tali pusat yang baik dan benar, yaitu dengan prinsip perawatan
kering dan bersih (Permanasari, 2011).
Perawatan tali pusat untuk bayi yang baru lahir yaitu tidak membungkus
puntum tali pusat atau perut bayi dan tidak mengoleskan cairan atau bahan
apapun ke tali pusat. Upaya untuk mencegah infeksi tali pusat sesungguhnya
merupakan tindakan serdahana, yang penting adalah tali pusast dan daerah
sekitarnya selalu bersih dan kering. Sudah banyak penelitian yang dilakukan
untuk meneliti bahan yang digunakan untuk merawat tali pusat. Perawatan
tali pusat dengan medis dengan mengunakan bahan antiseptik yang meliputi
alcohol 70% atau antimikrogial seperti popidon iodin 10% (betadin
klorheksidin, iodium tinstor dan lain – lain disebut sebagai cara modern.
Sedangkan perawatan tali pusat motode tradisonal menggunakan madu,
minyak ghhe atau kolostrum Asi (JNPK-KR, 2009).
Infeksi merupakan salah satu penyebab tingginya angka kesakitan dan
kematian bayi baru lahir di seluruh dunia. Omphalitis disebabkan oleh bakteri
yang memasuki tubuh melalui tali pusat pada bayi. Bakteri dapat masuk
ketubuh bayi melalui potongan tali pusat dengan instrument yang tidak steril,
kontak kulit kekulit, teknik cuci tangan yang tidak benar, perawatan tali pusat
yang buruk, dan infeksi silang oleh petugas kesehatan (Mullany, 2010).
Menurut Word Health Organization (WHO) Tahun 2020 Tanda infeksi tali
pusat pada neonatus dengan angka kejadian 65% (27,1%), perawatan tali
pusat yang direkomendasikan di antaranya 73% (30,4%) tidak membersihkan
tali pusat, sementara 95% (39,6%) membersihkan dengan penggunaan bahan
berbahaya, yang ditandai dengan ditemukannya cairan, kemerahan dan
pembengkakan pada tali pusat. Angka kejadian infeksi bayi baru lahir di

3
Indonesia berkisar 24% hingga 34%, dan hal ini merupakan penyebab
kematian yang kedua setelah Asfiksia neonatorum yang berkisar 49% hingga
60%(Tinggi et al., 2021).

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang diatas, maka didapatkan rumusan
masalah “Identifikasi Neonatus Resiko Tinggi pada Asuhan Bayi Baru
Lahir dengan Ibu Kecanduan NAPZA, Asuhan Bayi Baru Lahir Dengan
Ibu Penderita Penyakit Infeksi Dan Asuhan Bayi Baru Lahir Dengan
Omphalitis”

C. Tujuan
1. Tujuan umum
Mengetahui hubungan tentang Identifikasi neonatus resiko tinggi pada
Asuhan Bayi Baru Lahir dengan Ibu Kecanduan NAPZA, Asuhan Bayi
Baru Lahir Dengan Ibu Penderita Penyakit Infeksi Dan Asuhan Bayi
Baru Lahir Dengan Omphalitis
2. Tujuan Khusus
Mengidentifikasi neonatus resiko tinggi pada Asuhan Bayi Baru Lahir
dengan Ibu Kecanduan NAPZA, Asuhan Bayi Baru Lahir Dengan Ibu
Penderita Penyakit Infeksi Dan Asuhan Bayi Baru Lahir Dengan
Omphalitis

D. Manfaat
1. Bagi Penulis ini diharapkan dapat menjadi sarana untuk meningkatkan
pengetahuan dan wawasan serta sebagai penerapan ilmu yang
berhubungan dengan kesehatan mental pada remaja. Serta hasil ini
diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka
peningkatan program kesehatan, khususnya dalam peningkatan kesehatan
mental pada remaja.

4
2. Bagi Pembaca memberikan informasi kepada masyarakat hamil tentang
perawatan tali pusat sehingga dapat membantu menurunkan angka
kematian bayi akibat infeksi.
3. Bagi Petugas Kesehatan sebagai masukan atau informasi untuk
meningkatkan kemampuan dan kualitas khususnya identifikasi neonatus
resiko tinggi menurunkan angka kematian bayi (AKB) di Indonesia.
4. Bagi Akademik hasil laporan yang diperoleh diharapkan dapat menjadi
referensi bagi pengembangan pengetahuan dan dapat menjadi masukan
bagi peneliti lain untuk penelitian selanjutnya, khususnya bagi penelitian
yang berhubungan dengan kesehatan mental pada remaja. Serta hasil
penelitian ini dapat di manfaatkan oleh instansi kesehatan sebagai bahan
intervensi dan evaluasi terhadap kesehatan mental pada remaja.

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA)


1. Definsi
Menurut (Maudi, Amanda Prita, Humaidi Sahadi, 2017) narkoba
adalah zat yang jika dimasukkan dalam tubuh manusia, baik secara
diminum, dihirup, maupun disuntikkan yang dapat mengubah pikiran,
suasana hati, dan perilaku ketergantungan.
NAPZA adalah zat yang memengaruhi struktur atau fungsi beberapa
bagian tubuh orang yang mengkonsumsinya. Manfaat maupun risiko
penggunaan NAPZA bergantung pada seberapa banyak, seberapa sering,
cara menggunakannya, dan bersamaan dengan obat atau NAPZA lain yang
dikonsumsi (Kemenkes RI, 2010).
(Maudi, Amanda Prita, Humaidi Sahadi, 2017) juga menjelaskan
narkoba menurut pengaruh penggunaanya (effect) dan gejala pengaruhnya
(withdrawl syndrome) dibagi menjadi 2 kelompok yaitu :
a. Kelompok Narkotika
Kelompok narkotika mempunyai pengaruh seperti timbulnya
perasaan euphoria, rasa ngantuk berat, penciutan pupil mata dan sesak
napas. Kelebihan dosis akan menyebabkan kejang-kejang, koma, napas
lambat, dan pendek-pendek. Obat-obatan yang termasuk kedalam
kelompok narkotika adalah metadon, kodein, hidromorfin.
b. Kelompok Depresent
Kelompok depresent adalah jenis obat yang berfungsi mengurangi
aktivitas fungsional tubuh.
Menurut Undang-Undang Narkoba Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika menyebutkan bahwa narkotika dibagi menjadi 3 jenis yaitu
narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya. Berikut pengertian dari
3 jenis narkoba tersebut :

6
1) Narkotika
Narkotika menurut (Rosdiana, 2018) adalah zat atau obat yang
berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintesis maupun semi
sintesis. Zat tersebut menyebabkan penurunan atau perubahan
kesadaran, hingga menghilangkan rasa nyeri yang dapat
menimbulkan ketergantungan. Narkotika sendiri dibedakan menjadi
3 golongan yang pertama Narkotika golongan 1, dimana jenis
narkotika ini hanya digunakan dengan tujuan pengembangan ilmu
pengetahuan, dan tidak digunakan dalam terapi serta mempunyai
potensi sangat tinggi yang mengakibatkan ketergantungan, seperti
ganja, heroin, kokain dan opium. Kedua adalah narkotika golongan
II, pada narkotika golongan II dapat digunakan untuk pengobatan
sebagai pilihan terakhir dan bertujuan sebagai pengembangan ilmu
pengetahuan, yang menyebabkan ketergantungan seperti morfin,
pentanin, beserta turunannya. Terakhir adalah narkotika golongan III
juga dapat digunakan untuk pengobatan dan bertujuan untuk
pengembangan ilmu pengetahuan, seperti kodein, metadon, dan
naltrexone.
2) Psikotropika
Menurut (Rosdiana, 2018) psikotropika adalah zat atau obat baik
alami maupun sintesis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif
melalu pengaruh selektif pada susunan syaraf pusat yang
menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.
Psikotropika juga dibedakan menjadi 3 golongan yang pertama
adalah psikotropika golongan I yang hanya digunakan untuk tujuan
ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam pengobatan
dikarenakan mempunyai potensi ketergantungan yang sangat kuat,
contoh dari psikotropika golongan I seperti MDMA atau ekstasi,
LSD, dan STP. Selanjutnya adalah psikotropika golongan II, yang
dapat digunakan dalam terapi dan atau untuk tujuan ilmu

7
pengetahuan dan menyebabkan ketergantungan, contohnya seperti
lumibal, buprenosina, pentobarbital, flunita.

3) Zat adiktif lainnya


Zat adiktif lainnya adalah zat-zat selain narkotika dan
psikotropika yang dapat menimbulkan ketergantungan pada
pemakaiannya yang termasuk zat adiktif seperti rokok, kelompok
alcohol, thinner, lem kayu cat, dan lainnya yang apabila dihirup
dapat memabukkan.

2. Etiologi Kecanduan NAPZA


Menurut (Khoirina, 2020) terdapat beberapa faktor yang memicu
seseorang dapat mengalami kacanduan narkoba, diantaranya :
a. Faktor diri
Faktor diri meliputi keinginan mencoba karena penasaran,
keinginan untuk dapat diterima disuatu kelompok tertentu. Narkoba
juga dapat digunakan oleh seseorang untuk pelampiasan masalah, selain
itu biasanya penggunaan narkoba merasa dirinya tidak diperhatikan,
baik dari keluarga terutama orang tua ataupun seseorang yang dianggap
special bagi dirinya.
b. Faktor lingkungan
Faktor lingkungan meliputi keluarga yang bermasalah atau broken
home, keluarga nya menjadi pengguna narkoba atau pengedar narkoba,
lingkungan pergaulan atau komunitas, memiliki banyak waktu luang
yang sia-sia, lingkungan social yang penuh persaingan dan
ketidakpastian.
c. Faktor narkotika
Narkotika yang semakin mudah didapatkan menjadikan seseorang
mendapatkan obat-obatan terlarang tersebut bisa dengan cepat dan
mudah, narkoba memiliki banyak jenis, cara pemakaian dan bentuk
kemasan yang berbeda-beda, sulit terungkapnya kejahatan bisnis yang

8
menjanjikan karena keuntungan yang dihasilkan dari bisnis narkoba
sangat besar.
Penggunaan Narkoba pada masa kehamilan juga dapat dipengaruhi
oleh beberapa faktor yaitu pengetahuan, stress, pendapatan dan
religious. Pengetahuan merupakan sebuah aspek yang berpengaruh
dalam proses pengambilan keputusan untuk menerima suatu inovasi.
Menurut penelitian yang dilakukan Syaifullah bahwa penyalahgunaan
narkoba berkaitan erat dengan ketidaktahuan pengguna. Ketika masa
kehamilan dukungan keluarga juga sangat diperlukan, hal kecil yang
dilakukan keluarga sangat memiliki makna yang berarti dalam
meningkatkan kesehatan psikologis ibu dalam masa kehamilan
begitupun sebaliknya. Jika ibu tidak mendapatkan dukungan dari
keluarga, ibu dapat mengalami stress psikologis sehingga ibu mencari
alternative untuk ketenangan diri seperti narkoba. Faktor stress yang
lain adalah apabila suami adalah Bandar atau pengedar narkotika. Istri
akan dengan mudah dipengaruhi suami untuk terlibat dalam peredaran
narkotika tersebut. Tidak hanya ketidaktahuan dan faktor stress,
kemiskinan yang merajalela menjadi alasan klasik bagi para tersangka
tindak pidana narkotika bagi pria maupun wanita. Besarnya tingkat
pengangguran di Indonesia merupakan masalah bagi bangsa Indonesia,
tidak terkecuali kaum wanita terutama ibu untuk rumah tangga. Sulit
nya memperoleh pekerjaan bagi wanita terutama yang tidak memiliki
pendidikan tinggi akan mendorong wanita tersebut untuk mencari cara
lain dalam memperoleh uang dengan mudah, salah satu cara tersebut
yaiut terlibat dalam peredaran narkotika. Lemah nya keimanan
seseorang juga membuat ia dengan mudah melanggar norma-norma
agama, mereka lupa bahwa semua amal perbuatan manusia nantinya
akan di pertanggung jawabkan di hadapan Tuhan.

3. Patofisiologi

9
Narkotik menimbulkan efek yang bervariasi pada SPP, tergantung : jenis
obat, kepekaan individu, dosis obat. Paling sedikit ada 4 subtipe reseptor
yang dikenal yaitu : mu, kappa, delta dan sigma.

4. Klasifikasi Pecandu Narkoba


Menurut (Khoirina, 2020) penyalahgunaan narkoba dapat di
klasifikasikan menjadi lima bagian, berikut klasifikasinya :
a. Experiment user
Pada umumnya pengguna narkoba menggunakan narkoba tanpa
motivasi tertentu dan hanya didorong oleh rasa ingin tahu saja.
Pemakai narkoba hanya sesekali dan dosis yang digunakan kecil,
belum ada ketergantungan fisik atau psikologis. Kelompok pengguna
ini jumlahnya sangat banyak.
b. Rekreational user
Rekreational user adalah kelompok yang lebih sering
menggunakan narkoba, akan tetapi pemakaiananya masih terbatas dan
hanya pada waktu tertentu, seperti pada pesta atau rekreasi. Biasanya
pemakai memiliki keterikatan tinggi dengan kelompoknya dan pada
umumnya mereka belum mengarah pada pemakai yang berlebihan.
c. Situational user
Situational user adalah kelompok pemakai narkoba yang
menggunakan narkoba jika menghadapi situasi yang sulit, karena
mereka menganggap tidak sanggup menyelesaikan masalah tanpa
bantuan narkoba. Pengguna narkoba pada pada golongan ini
membentuk pola perilaku tertentu yang mendorong mendorongnya
lebih sering mengulangi perbuatan atau memakai narkoba sehingga
mereka memiliki risiko untuk menjadi pecandu lebih besar
dibandingkan pada kelompok diatas.
d. Intisified User
Intisified user adalah pengguna yang sudah menggunakannya
secara kronis, paling tidak sehari sekali. Kelompok ini sudah merasa
sebagai kebutuhannya atas narokoba sebagai bentuk kenikmatan dan

10
pelarian diri dari tekanan-tekanan psikologis atau masalah yang
sedang dihadapinya.

e. Compulsive dependence user


Dengan gejala yang khas yaitu berupa timbulnya toleransi gejala
putus zat dan pengguna akan selalu berusaha untuk memperoleh
narkoba dengan berbagai cara seperti berbohong, menipu dan
mencuri.

5. Identifikasi (tanda dan gejala serta pemeriksaan yang dilakukan)


Menurut (Andriani et al., 2019) Pemeriksaan penunjang yang
dilakukan pada bayi dengan ibu pengguna NAPZA yaitu dengan tes
jaringan tali pusat dan tes rambut janin (bias dilakukan pada janin gestasi
di atas 6 bulan).

6. Komplikasi
Menurut (Andriani et al., 2019) Bervariasi tergantung jenis narkotika,
efek lazim seperti ; IUGR, premature, kejang, kelainan kongenital
Gejala pada bayi yang cukup bulan :
a. Tremor
b. Menangis berlebihan
c. Kejang
d. Muntah
e. Diare
f. Dehidrasi
g. Demam

7. Pencegahan
Menurut (Khoirina, 2020) terdapat beberapa upaya yang dapat
digunakan untuk menaggulangi bencana narkoba yaitu:
a. Upaya Preventif

11
Upaya preventif adalah serangkaian kegiatan pencegahan terhadap
masalah penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba. Upaya ini
ditujukan kepada masyarakat sehat belum pernah memakai atau bahkan
yang sama sekali belum mengenal narkoba, dengan harapan masyarakat
mengenal seluk beluk narkotika sehingga masyarakat tidak tertarik dan
tidak mau menyentuh apalagi Upaya preventif adalah serangkaian
kegiatan pencegahan terhadap masalah penyalahgunaan dan peredaran
gelap narkoba. Upaya ini ditujukan kepada masyarakat sehat belum
pernah memakai atau bahkan yang sama sekali belum mengenal
narkoba, dengan harapan masyarakat mengenal seluk beluk narkotika
sehingga masyarakat tida tertarik dan tidak mau menyentuh apalagi
untuk memakainya, dengan upaya ini, masyarakat mempunyai daya
tangkal terhadap penyalahgunaan narkoba. Upaya ini dilakukan oleh
pemerintah melalui instansi terkait dan patisipatipasi aktif masyarakat.
b. Upaya Pre-Emtif (Pencegahan Dini)
Upaya yang dilakukan dengan cara tidak memberi peluang sekecil
apapun untuk narkoba bisa masuk menguasai hidup kita. Upaya
preventif dapat diilustrasikan sebagai berikut seperti mencium adalah
awal untuk mencicipi, memcicicipi adalah awal untuk menikmatinya,
menikmati adalah awal untuk kebiasaan. Upaya ini tidak memberikan
kesempatan terhadap Tindakan yang telah disebutkan, dan membangun
sebuah komitmen sebuah perilaku hidup sehat tanpa narkoba.
c. Upaya Promotif
Upaya promotif adalah serangkaian kegiatan yang lebih
mengutamakan kegiatan yang bersifat promotif dengan tujuan untuk
meningkatkan kemauan dan kemampuan masayarakan untuk
memelihara dan meningkatkan diri dalam berbagai aspek, termasuk
didalamnya terkait masalah penyalahgunaan dan peredaran
narkoba.
d. Upaya Kuratif dan Rehabilitatif
Upaya kuratif adalah suatu kegiatan pengobatan yang ditujukan
untuk penyembuhan penyakit, pengurangan penderitaan akibat

12
penyakit, pengendalian penyakit, atau pengendalian kecacatan agar
kualitas penderita dapat terjaga seoptimal mungkin. Upaya kuratif
dalam penyalahgunaan narkoba ditujukan kepada penyalahgunaan itu
sendiri dengan harapan pengguna dapat sembuh dari penyakit dan
berhenti memakai narkoba. Upaya kuratif ini dilakukan oleh tenaga ahli
seperti dokter, paramedis, psikolog. Sedangkan upaya rehabilitative
adalah kegiatan yang bertujuan untuk mengembalikan bekas penderita
ke masyarakat sehingga dapat berfungsi lagi sebagai anggota
masayarakat semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuan. Uapaya
rehabilitasi terhadap penyalahgunaan narkoba merupakan upaya
pemulihan Kesehatan jiwa dan raga yang ditujukan kepada korban
penyalahgunaan narkoba, baik yang sedang maupun yang sudah
menjalani program kuratif, agar korban tidak memakai narkoba lagi dan
terbebas dari penyakit sebagai akibat penggunaan narkoba, seperti
kerusakan fisik, otak, syaraf, kerusakan mental, dan lainnya.
Upaya kuratif dan rehabilitatif adalah dua upaya yang sama
pentingnya, upaya rehabilitasi yang didasarkan pada korban
penyalahgunaan yang memiliki masalah fisik, psikis, maupun masalah
social, yang perlu perhatian secara komprehensif, dan upaya kuratif
didasarkan pada bagaiaman korban seharusnya mendapatkan upaya
medis dan perawatannya.
e. Upaya Represif (Tindakan Hukum)
Upaya represif adalah sebuah kegiatan untuk menekan,
mengekang, menahan atau menindas atau bersifat menyembuhkan.
Pemberantasan narkoba memerlukan kegiatan yang bersifat represif
yaitu kepastian hukum atau dengan Tindakan hukum terhadap baik
yang memproduksi, menjadi perantara, mengedar maupun yang
mengetahui tetapi tidak melapor. Kegiatan ini dilakukan oleh penegak
hukum dan harus dibantu oleh masyarakat sendiri.
f. Religiusitas atau Agama
Menurut Psikiater Pof. Dr. Dadang Hawari yang dikutip dalam
buku advokasi Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba yang diterbitkan

13
oleh BNN (Badan Nasional Narkotika) dijelaskan bahwa ada hubungan
positif antara faktor agama dan proses penyembuhan terhadap pengguna
narkoba. Metode rehabilitasi kasus narkoba yang memasukkan konsep
agama sebagai tingkat kegagalan sekitar 12% sementara tingkat
keberhasilan kasus narkoba tanpa konsep agama sekitar 43% (BNN,
2007). Yang artinya seorang pecandu bisa pulih dari kecanduannya
apabila dalam menjalani kehidupannya didampingi dengan pengajaran
agama dimana ajaran agama bisa menuntun mereka kejalan yang
semestinya.

8. Penanganan Awal dan Penanganan Lanjutan


Menurut (Selatan, 2015) Layanan terapi dan rehabilitasi pada gangguan
penggunaan Napza berbasis rumah sakit adalah pelayanan keperawatan
yang befokus di rumah sakit dengan metode one stop center, yaitu metode
penanganan yang dikembangkan dari rehabilitasi medis sampai rehabilitasi
sosial. Layanan terapi dan rehabilitasi pada gangguan penggunaan Napza
berbasis rumah sakit yang dijelaskan dalam Pedoman Layanan Terapi dan
Rehabilitasi Komprehensif Pada Penggunaan Napza Berbasis Rumah Sakit
melalui Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
420/Menkes/SK/III/2010, sebagai berikut:
a. Gawat darurat Pada pengguna Napza
Instalasi Gawat darurat (IGD) adalah bagian penanganan awal atau
pertolongan pertama bagi pasien pengguna Napza, setelah anamnese
dan dokter menetapkan indikasi rawat inap atau rawat jalan. Jika
rawat inap maka akan dipindahkan ke ruang detoxifikasi.
b. Rawat Jalan/ Rumatan
Rawat jalan adalah pelayanan medis kepada seorang pasien untuk
tujuan pengamatan, diagnosis, pengobatan, rehabilitasi dan pelayanan
kesehatan lainnya, tanpa mengharuskan pasien tersebut dirawat inap.
c. Detoxifikasi
Umumnya detoxifikasi dilakukan di fasilitas rawat inap rumah sakit
jiwa dengan menggunakan medikasi simtomatik.

14
d. Rehabilitasi
1) Jangka pendek – short term (1-3 bulan)
Beberapa rumah sakit jiwa telah melaksanakan program ini
dengan fokus pada perubahan prilaku. Dilakukan skrining
masalah medis dan psikologis.
2) Jangka panjang – long term (6 bulan-lebih)
Beberapa rumah sakit jiwa dapat melaksanakan program
rehabilitasi untuk jangka waktu 6 bulan. Ada juga yang sudah
menjalankan program re-entry (hingga 9 bulan). Ada juga yang
sudah menjalankan Terapeutic Community (TC) secara penuh
yang dilanjutkan dengan after care.
Umumnya diperlukan waktu yang cukup lama agar program dapat
terwujud dengan dukungan keluarga. Pada awal program biasanya
keluarga hanya dilibatkan terkait masalah resident, selanjutnya
diharapkan keluarga terlibat dalam program dukungan keluarga
dan anak yang terlibat penggunaan Napza atau program dukungan
resident dengan HIV positif.
Terapi berbasis rumah sakit seperti yang dikutip dari
www.psychology.com, meliputi:
a) Psikofarmakologi
Penanganan dengan cara memberikan terapi obat-obatanyang
ditujukan pada gangguan fungsi neuro-transmitter sehingga
gejala-gejala klinis tadi dapat dihilangkan.
b) Psikoterapi
Psikoterapi yang diberikan ada empat macam yaitu pertama
psikoterapi suportif yang bertujuan untuk memebrikan
dorongan, semangat dan motivasi agar penyalahguna narkotika
tidak merasa putus asa, yang kedua psikoterapi Re-edukatif

15
yang bertujuan untuk memberikan pendidikan ulang untuk
perbaikan kepribadian seperti semula, yang ke tiga Psikolog
kognitif yang bertujuan untuk memulihkan kembali fungsi
kognitif (daya pikir dan daya ingat) sehingga mampu
membedakan nilai-nilai moral etika, yang ke empat yaitu
psikoterapi prilaku bertujuan untuk memulihkan prilaku yang
mampu menyesuaikan diri, ke enam psikoterapi keluarga
bertujuan untuk memulihkan penyalahguna dan keluarganya
(Maramis, 1990).
c) Terapi Psikososial
Terapi ini dilaksanakan untuk membantu penyalahguna
Narkotika agar mampu kembali beradaptasi dengan lingkungan
sosialnya dan mampu merawat diri, mampu mandiri tidak
tergantung pada orang lain sehingga tidak menjadi beban
keluarga. Selama mengikuti terapi ini hendaknya tetap
mengkonsumsi obat psikofarmaka (Hawari, 2007)
d) Terapi Psikoreligius
Terapi keagamaan ini berupa kegiatan ritual keagamaan seperti
sembahyang, berdoa, mengajarkan puji-pujian kepada Tuhan,
ceramah keagamaan, kajian kitab suci.
e) Rehabilitasi
Terbagi atas rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Rehabilitasi medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan
secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari
ketergantungan narkotika. Sedangkan ehabilitasi Sosial adalah
suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik,
mental maupun sosial, agar mantan pecandu narkotika dapat
kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan
bermasyarakat.

16
9. Pathway
Gambar 1.

B. Asuhan bayi baru lahir dengan ibu penderita penyakit infeksi


1. Definisi Demam Berdarah
Demam dengue/DF dan demam berdarah dengue/DBD (dengue
haemorrhagic fever/DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh
virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot atau nyeri sendi
yang disertai leukopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan ditesis
hemoragik. Pada DBD terjadi perembesan plasma yang ditandai dengan
hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan
dirongga tubuh. Sindrome renjatan dengue (dengue shock syndrome) adal
demam berdarah dengue yang ditandai oleh renjatan/syok (Nurarif &
Hardhi, 2015).

Dengue Hemmorhagic Fever adalah penyakit yang disebabkan oleh


virus dengue melalui gigitan nyamuk, penyakit ini telah dengan cepat
menyebar di seluruh wilayah WHO dalam beberapa tahun terakhir. Virus
dengue ditularkan oleh nyamuk betina terutama dari spesies Aedes aegypti
dan, pada tingkat lebih rendah, A. albopictus. Penyakit ini tersebar luas di
seluruh daerah tropis, dengan variasi lokal dalam risiko dipengaruhi oleh

17
curah hujan, suhu dan urbanisasi yang cepat tidak direncanakan (WHO,
2015).

2. Etiologi
Empat virus dengue yang berbeda diketahui menyebabkan demam
berdarah. Demam berdarah terjadi ketika seseorang digigit oleh nyamuk
yang terinfeksi virus. Nyamuk Aedes aegypti adalah spesies utama yang
menyebar penyakit ini. Ada lebih dari 100 juta kasus baru demam berdarah
setiap tahun di seluruh dunia. Sejumlah kecil ini berkembang menjadi
demam berdarah. Kebanyakan infeksi di Amerika Serikat yang dibawa
dari negara lain. Faktor risiko untuk demam berdarah termasuk memiliki
antibodi terhadap virus demam berdarah dari infeksi sebelumnya (Vyas, et
al, 2014).
Virus dengue termasuk genus Flavirus, keluarga flaviridae terdapat 4
serotipe virus dengan DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4, keempatnya
ditemukan di Indonesia dengan den-3 serotype terbanyak. Infeksi salah
satu serotipe akan menimbulkan antibodi terhadap serotipe yang
bersangkutan, sedangkan antibodi yang terbentuk terhadap serotipe lain
sangat kurang, sehingga tidak dapat memberikan perlindungan yang
memadai terhadap serotipe lain. Seseorang yang tinggal di daerah
epidermis dengue dapat terinfeksi oleh 3 atau 4 serotipe selama hidupnya.
Keempat serotipe virus dengue dapat ditemukan di berbagai daerah di
Indonesia (Nurarif & Hardhi, 2015).

3. Patofisiologi
Fenomena patologis menurut (Herdman , 2012), yang utama pada
penderita DHF adalah meningkatnya permeabilitas dinding kapiler yang
mengakibatkan terjadinya perembesan atau kebocoran plasma,
peningkatan permeabilitas dinding kapiler mengakibatkan berkurangnya
volume plasma yang secara otomatis jumlah trombosit berkurang,

18
terjadinya hipotensi (tekanan darah rendah) yang dikarenakan kekurangan
haemoglobin, terjadinya hemokonsentrasi (peningkatan hematocrit > 20%)
dan renjatan (syok). Hal pertama yang terjadi setelah virus masuk ke
dalam tubuh penderita adalah penderita mengalami demam, sakit kepala,
mual, nyeri otot, pegal-pegal di seluruh tubuh, ruam atau bitnik-bintik
merah pada kulit (petekie), sakit tenggorokan dan hal lain yang mungkin
terjadi seperti pembesaran limpa (splenomegali).
Hemokonsentrasi menunjukkan atau menggambarkan adanya
kebocoran atau perembesan plasma ke ruang ekstra seluler sehingga nilai
hematocrit menjadi penting untuk patokan pemberian cairan intravena.
Oleh karena itu, pada penderita DHF sangat dianjurkan untuk memantau
hematocrit darah berkala untuk mengetahuinya. Setelah pemberian cairan
intravena peningkatan jumlah trombosit menunjukkan kebocoran plasma
telah teratasi sehingga pemberian cairan intravena harus dikurangi
kecepatan dan jumlahnya untuk mencegah terjadinya edema paru dan
gagal jantung. Sebaliknya jika tidak mendapatkan cairan yang cukup,
penderita akan mengalami kekurangan cairan yang dapat mengakibatkan
kondisi yang buruk bahkan bisa mengalami renjatan dan apabila tidak
segera ditangani dengan baik maka akan mengakibatkan kematian.
Sebelumnya terjadinya kematian biasanya dilakukan pemberian transfusi
guna menambah semua komponen komponen di dalam darah yang telah
hilang.

4. Klasifikasi
Klasifikasi derajat penyakit infeksi virus dengue menurut (Nurarif
&Hardhi, 2015) yaitu :
Tabel 1.
Klasifikasi Penyakit Infeksi Virus Dengue

DD/DBD Derajat Derajat Labolatorium

DD Demam disertai 2 Leukopenia Serologi


atau lebih tanda : Trombositopenia, dengue
mialgia, sakit tidak ditemukan positif
kepala, nyeri bukti ada

19
retroorbital, kebocoran
artralgia plasma

DBD I Gejala diatas Trombositopenia (<100.000/ul)


ditambah uji bukti ada kebocoran plasma
bendung positif

DBD II Gejala diatas


ditambah
perdarahan spontan

DBD III Gejala diatas


ditambah
kegagalan sirkulasi
(kulit dingin dan
lembab serta
gelisah)

DBD IV Syok berat disertai


dengan tekanan
darah dan nadi
tidak teratur

5. Identifikasi
Tanda dan gejala penyakit demam berdarah
Diagnosa penyakit DBD dapat dilihat berdasarkan kriteria diagnosa
klinis dan labolatorium yaitu:
a. Diagnosa Klinis
1) Demam tinggi mendadak 2 sampai 7 hari (38-40°C).
2) Manifestasi perdarahan dengan bentuk: uji Tourniquet positif,
Patekie (bintik merah pada kulit), Ekimosis, Perdarahan konjungtiva
(perdarahan pada mata), Epistaksis (perdarahan hidung), perdarahan
gusi, Hematemesis (muntah darah), Melena (BAB darah) dan
Hematuri (adanya darah dalam urin).
3) Perdarahan pada hidung dan gusi.
4) Rasa sakit pada otot dan persendian, timbul bintik-bintik merh pada
kulit akibat pecahnya pembuluh darah.
5) Pembesaran hati (hepatomegali).
6) Renjatan (syok), tekanan nadi menurun menjadi 20 kali per menit
atau kurang, tekanan sistolik sampai 80 mmHg atau lebih rendah.

20
7) Gejala klinik lainnya yng sering disertai yaitu anoreksia (hilangnya
selera makan), lemah, mual, muntah, sakit perut, diare dan sakit
kepala (Hadinegoro dan Satari, 2002).
b. Diagnosa labolatosis
1) Trombositopeni pada hari ke-3 samppai ke-7 ditemukan penurunan
trombosit hingga 100.000/mmHg.
2) Hemokonsentrasi, meningktnya hematroksis sebanyak 20% atau
lebih (Depkes RI, 2005).
Pemeriksaan demam berdarah
Menurut (Centers for Disease Control and Prevention, 2009),
Pada setiap penderita dilakukan pemeriksaan darah lengkap. Pada
penderita yang disangka menderita DHF dilakukan pemeriksaan
hemoglobin, hematocrit, dan trombosit setiap 2-4 jam pada hari
pertama perawatan. Selanjutnya setiap 6-12 jam sesuai dengan
pengawasan selama perjalanan penyakit. Misalnya dengan dilakukan
uji tourniquet.
a) Uji tourniquet
Perocobaan ini bermaksud menguji ketahanan kapiler darah
dengan cara mengenakan pembendungan kepada vena sehingga
darah menekan kepada dinding kapiler. Dinding kapiler yang oleh
suatu penyebab kurang kuat akan rusak oleh pembendungan itu,
darah dari dalam kapiler itu keluar dari kapiler dan merembes ke
dalam jaringan sekitarnya sehingga nampak sebagai bercak kecil
pada permukaan kulit.
Pandangan mengenai apa yang boleh dianggap normal sering
berbeda-beda. Jika ada lebih dari 10 petechia dalam
lingkungan itu maka test biasanya baru dianggap abnormal,
dikatakan juga tes itu positif. Seandainya dalam lingkungan itu
tidak ada petechial, tetapi lebih jauh distal ada, percobaan ini
(yang sering dinamakan Rumpel-Leede).
b) Hemoglobin

21
Kadar hemoglobin darah dapat ditentukan dengan bermacam
macam cara yaitu dengan cara sahli dan sianmethemoglobin.
Dalam
laboratorium cara sianmethemoglobin (foto elektrik) banyak
dipakai karena dilihat dari hasilnya lebih akurat disbanding sahli,
dan lebih cepat. Nilai normal untuk pria 13-15 gr/dl dan wanita
12-14 gr.dl. Kadar hemoglobin pada hari-hari pertama biasanya
normal atau sedikit menurun. Tetapi kemudian kadarnya akan
naik mengikuti peningkatan hemokonsentrasi dan merupakan
kelainan hematologi paling awal yang dapat ditemukan pada
penderita demam berdarah atau yang biasa disebut dengan
Demam Berdarah Dengue (DBD) atau DHF.
c) Hematokrit
Nilai hematokrit ialah volume semua eritrosit dalam 100 ml
darah dan disebut dengan persen dan dari volume darah itu.
Biasanya nilai itu ditentukan dengan darah vena atau darah
kapiler. Nilai normal untuk pria 40-48 vol% dan wanita 37-43 vol
%. penetapan hematocrit dapat dilakukan sangat teliti, kesalahan
metodik rata-rata kurang lebih 2%.
Hasil itu kadang-kadang sangat penting untuk menentukan
keadaan klinis yang menjurus kepada tindakan darurat. Nilai
hematokrit biasanya mulai meningkat pada hari ketiga dari
perjalanan penyakit dan makin meningkat sesuai dengan
proses perjalanan penyakit demam berdarah. Seperti telah
disebutkan bahwa peningkatan nilai hematocrit merupakan
manifestasi hemokonsentrasi yang terjadi akibat kebocoran
plasma. Akibat kebocoran ini volume plasma menjadi berkurang
yang dapat mengakibatkan terjadinya syok hipovolemik dan
kegagalan sirkulasi. Pada kasus-kasus berat yang telah disertai
perdarahan, umumnya nilai hematocrit tidak meningkat bahkan
menurun.

22
Telah ditentukan bahwa pemeriksaan Ht secara berkala pada
penderita DHF mempunyai beberapa tujuan, yaitu:
(1) Pada saat pertama kali seorang anak dicurigai menderita
DHF, pemeriksaan ini turut menentukan perlu atau tidaknya
anak itu dirawat.
(2) Pada penderita DHF tanpa rejatan pemeriksaan hematocrit
berkala ikut menentukan perlu atau tidaknya anak itu
diberikan cairan intravena.
(3) Pada penderita DHF pemeriksaan Ht berkala menentukan
perlu atau tidaknya kecepatan tetesan dikurangi, menentukan
saat yang tepat untuk menghentikan cairan intravena dan
menentukan saat yang tepat untuk memberikan darah.

d) Trombosit
Trombosit sukar dihitung karena mudah sekali pecah dan
sukar dibedakan deari kotoran kecil. Lagi pula sel-sel itu
cenderung melekat pada permukaan asing (bukan endotel utuh)
dan menggumpal-gumpal. Jumlah trombosit dalam keadaan
normal sangat dipengaruhi oleh cara menghitungnya, sering
dipastikan nilai normal itu antara 150.000–400.000/µl darah.
Karena sukarnya dihitung, penelitian semukuantitatif tentang
jumlah trombosit dalam sediaan apus darah sangat besar artinya
sebagai pemeriksaan penyaring. Cara langsung menghitung
trombosit dengan menggunakan electronic particle counter
mempunyai keuntungan tidak melelahkan petugas laboratorium
(Sofiyatun, 2008).
Diagnosis tegas dari infeksi dengue membutuhkan konfirmasi
laboratorium, baik dengan mengisolasi virus atau mendeteksi
antibodi dengue spesifik. untuk virus isolasi atau deteksi DENV
RNA dalam serum spesimen oleh serotipe tertentu, real-time
terbalik transcriptase polymerase chain reaction (RT-PCR), an-
fase akut spesimen serum harus dikumpulkan dalam waktu 5 hari

23
dari onset gejala. Jika virus tidak dapat diisolasi atau dideteksi
dari sampel ini, spesimen serum fase sembuh diperlukan
setidaknya 6 hari setelah timbulnya gejala untuk membuat
diagnosis serologi dengan tes antibodi IgM untuk dengue dengan
IgM antibodi-capture enzyme-linked immunosorbent assay
(MAC-ELISA) (Centers for Disease Control and Prevention,
2009).
Pemeriksaan diagnosis dari infeksi dengue dapat dibuat
hanya dengan pemeriksaan laboratorium berdasarkan pada isolasi
virus, terdeteksinya antigen virus atau RNA di dalam serum atau
jaringan, atau terdeteksinya antibody yang spesifik pada serum
pasien.
Pada fase akut sample darah diambil sesegera mungkin
setelah serangan atau dugaan penyakit demam berdarah dan pada
fase sembuh idealnya sample diambil 2-3 minggu kemudian.
Karena terkadang sulit untuk mendapatkan sampel pada fase
sembuh, bagaimanapun, sampel darah kedua harus selalu diambil
dari pasien yang dirawat pada saat akan keluar dari rumah sakit.

6. Komplikasi
Adapun komplikasi dari DHF (Hadinegoro, 2008) adalah:
a) Perdarahan Disebabkan oleh perubahan vaskuler, penurunan jumlah
trombosit dan koagulopati, dan trombositopeni dihubungkan
meningkatnya megakoriosit muda dalam sel-sel tulang danpendeknya
masa hidup trombosit. Tendensi perdarahan dapat dilihat pada uji
torniquet positif, ptekie, ekimosis, dan perdarahan saluran cerna,
hematemesis, dan melena.
b) Kegagalan sirkulasi DSS (Dengue Syock Syndrom) terjadi pada hari ke
2-7 yang disebabkan oleh peningkatan permeabilitas vaskuler sehingga
terjadi kebocoran plasma, efusi cairan serosa ke ronnga pleura dan
peritoneum, hiponatremia, hemokonsentrasi, dan hipovolemi yang
mngekaibatkan berkurangnya alran balik vena, penurunan volume

24
sekuncup dan curah jantung sehingga terjadi 13 disfungsi atau
penurunan perfusi organ. DSS juga disertai kegagalan hemeostasis yang
mengakibatkan aktivitas dan integritas sistem kardiovaskular, perfusi
miokard dan curah jantung menurun, sirkulasi darah terganggu dan
terjadi iskemi jaringan dan kerusakan fungsi sel secara progresif dan
irreversible, terjadi kerusakan sel dan organ sehingga pasien akan
meninggal dalam wakti 12-24 jam.
c) Hepatomegali Hati umumnya membesar dengan perlemakan yang
dihubungkan dengan nekrosis karena perdarahan yang terjadi pada
lobulus hati dan sel-sel kapiler. Terkadang tampak sel metrofil dan
limphosit yang lebih besar dan lebih banyak dikarenakan adanya reaksi
atau komplek virus antibody.
d) Efusi Pleura Terjadi karena kebocoran plasma yang mngekibatkan
ekstrasi cairan intravaskuler sel, hal tersebut dibuktikan dengan adanya
cairan dalam rongga pleura dan adanya dipsnea.

7. Pencegahan
Upaya pencegahan penyakit DBD dengan memberikan penyuluhan,
informasikan kepada masyarakat untuk membersihkan tempat perindukan
nyamuk dan perlindungan diri dari gigitan nyamuk dengan memasang
kawat kasa, perlindungan dengan pakaian dan menggunakan obat anti
nyamuk (Warsidi, E., 2009).

8. Penanganan awal dan penanganan lanjutan


a. Penangann awal
Jika terdapat orang terdekat mengalami gejala DBD, berikut beberapa
hal yang bisa dilakukan sebagai pertolongan pertama yaitu:
1) Tirah baring (bedrest)
2) Perbanyak minum air minimal 2 liter per hari
3) Kompres hangat
4) Berikan obat pereda demam jika demam tinggi

25
5) Jika dalam 2-3 hari gejala semakin memburuk seperti tampak
lemas, muntah-muntah, mimisan, perdarahan gusi, dan sebagainya
segeralah di bawa ke rumah sakit atau fasilitas pelayanan kesehatan
terdekat untuk di tangani lebih lajut.
b. Penanganan lanjutan
Penanganan demam berdarah di bagi 2 yaitu:
1) Penanganan Simtomatis: mengatasi keadaan sesuai keluhan dan
gejala klinis pasien. Pada fase demam pasien dianjurkan untuk: tirah
baring selama masih demam, minum obat antipiretika (penurun
demam) atau kompres hangat apabila diperlukan, diberikan cairan
dan elektrolit per oral, jus buah, sirup, susu, disamping air putih,
dianjurkan paling sedikit diberikan selama 2 hari.
2) Pengobatan suportif: mengatasi kehilangan cairan plasma dan
kekurangan cairan. Pada saat turun suhu bisa saja merupakan tanda
penyembuhan, namun semua pasien harus di observasi terhadap
komplikasi yang dapat terjadi selama 2 hari, setelah suhu turun.
Karena pada kasus DBD bisa jadi hal ini merupakan tanda awal
kegagalan sirkulasi (syok), sehingga tetap perlu di monitor suhu
badan, jumlah trombosit dan kadar hematokrit, selama perawatan.
Penggantian volume plasma yang hilang, harus diberikan dengan
bijaksana, apabila terus muntah, demam tinggi, kondisi dehidrasi dan
curiga terjadi syok (presyok). Jumlah cairan yang diberikan
tergantung dari derajat dehidrasi dan kehilangan elektrolit,
dianjurkan cairan glukosa 5% di dalam larutan NaCL 0,45%. Jenis
cairan sesuai rekomendasi WHO, yakni: larutan Riger Laktat (RL),
ringer asetat (RA), garam faali (GF), (golongan Kristaloid), dekstran
40, plasma, albumin (golongan koloid).

9. Pathway
Gambar 2.

26
C. Malaria
1. Definisi Malaria
Malaria merupakan peyakit yang disebabkan oleh beberapa jenis
parasit Plasmodium dan disebabkan melalui perantara nyamuk Anopheles
betina yang disebut jug vektor malaria. Pada tahun 2015, hampir setengah
dari populasi penduduk di dunia beresiko terkena penyakit malaria. Kasus
dan kematian akibat paling banyak terjadi di Afrika tetapi di Asia
Tenggara, Amerika Latin, dan Timur Tengah juga beresiko (WHO, 2017).

2. Etiologi Malaria
Malaria disebabkan oleh protozoa darah yang termasuk ke dalam
genus plasmodium. Plasmodium ini merupakan protozoa obligat
intraseluler. Pada manusia terdapat 4 spesies yaitu plasmodium falciparum,
plasmodium vivax, plasmodium malarie dan plasmodium ovale. Penularan
pada manusia dilakukan oleh nyamuk betina Anopheles ataupun yang
ditularkan langsung melalui tranfusi darah atau jarum suntik yang tercemar
serta dari ibu hamil ke janinnya (HarijntoP.N.2014).
Malaria vivax disebabkan oleh P. vivax yang disebut juga sebagai
malaria tertiana, P.malariae merupakan penyebab malaria malariae atau
malaria kuartana P.ovale merupakan penyebab malaria ovale, sedangkan
P.falciparum menyebabkan malaria falsiparum atau malaria tropika.
Spesies terakhir ini paling berbahaya, karena malaria yang ditimbulkannya
dapat menjadi berat sebab dalam waktu singkat dapat menyerang eritrosit

27
dalam jumlah besar, sehingga menimbulkan berbagai komplikasi di dalam
organ-organ tubuh (Harijanto P.N, 2014).

3. Patofisiologi Malaria
Patofisiologi malaria sangat kompleks dan mungkin berhubungan dengan
hal-hal sebagai berikut :
a. Penghancuran eritrosit yang terjadi oleh karena :
1) Pencegahan eritrosit yang mengandung parasite

2) Fagositosis eritrosit yang mengandung dan tidak mengandung


parasite akibatnya terjadi anemia dan anoksia jaringan dan hemolisis
intravaskuler.
b. Pelepasan mediator Endotoksin-makrofag
Pada preoses skizoni yang melepas endotoksin, makrofag melepaskan
berbagai mediator endotoksin.
c. Pelepasan TNF
Merupakan suatu monokin yang dilepas oleh adanya parasite malaria
TNF ini bertanggung jawab terhadap demam, hipoglikemia, ARDS.
d. Sekuetrasi eritrosit
Eritrosit yang terinfeksi dapat membentuk knob di permukaannya.
Knob ini mengandung antigen malaria yang kemudian akan bereaksi
dengan antibody. Eritrosit yang terinfeksi akan menempel pada endotel
kapiler alat dalam bentuk gumpalan sehingga terjadi bendungan.

4. Klasifikasi
Menurut WHO malaria dpat di klasifikasikan menjadi 5 yaitu
plasmodium knowlesi.
a. Plasmodium falciparum
Plasmodium falciparum merupakan jenis yang paling berbahaya karena
siklus perkembangan yang cepat merusak sel darah merah dan dapat
menyumbat aliran darah sehingga dapat mengakibatkan anemia dan
cerebral berat. Malaria ini dapat berkembang dengan baik di daerah

28
tropis dan sub tropis dn mendominasi di beberapa negara seperti Afrika
dan Indonesia.
b. Plasmodium vivax
Plsmodium ini tersebar di daerah tropis dan sub tropis seluruh dunia.
Hidup pada sel darah merah, siklus seksual terjadi pada 48 jam.
Menyebabkan penyakit tertanian yang ringan dimana demam terjadi
setiap tiga hari. Parasit ini bisa dorman di hati manusia “hipnozoid” dan
dapat kambuh setelah beberapa bulan bahkan tahun.

c. Plasmodium ovale
Plasmodium ovale banyak di temukan di Afrika terutama Afrika Barat
dan pulau-pulau di Pasifik Barat, morfologi mirip plasmodium vivax.
Menyebabkan malaria ovale atau malaria tertiana begigna ovale, dapat
dorman di hati manusia.
d. Plasmodium malariae
Menyebabkan malariae atau malaria kuartana. Siklus di sel darah merah
terjadi selama 72 jam dan menimbulkan demam selama 4 hari.
e. Plasmodium knowlesi
Parasit ini merupakan kasus baru yang hanya ditemukan di Asia
Tenggara, penularannya melalui monyet (monyet berekor panjang,
monyet berekor coil) dan babi terinfeksi. Siklus perkembangannya
sangat cepat bereplikasi 24 jam dan dapat menjadi sangat parah. P.
Knowlesi dapat menyerupai baik Plasmodium falciparum atau
plsmodium malariae.
Seorang penderita dapat dihinggapi lebih dari satu jenis
plasmodium, infeksi demikian disebut infeksi campuran (mixed
infection). Infeksi cmpuran plasmodium falciparum dengan vivax atau
malariae merupakan infeksi yang paling sering terjadi.

5. Identifikasi
Gejala malaria

29
Gejala demam tergantung jenis malaria. Sifat demam akut
(paroksimal) yang didahului stadium dingin (meggigil) diikuti demam
tinggi kenudian berkeringat banyak. Gejala klasik ini biasanya ditemukan
pada kasus non imun (berasal dari daerah non endemis). Selain gejala
klasik di atas, dapat ditemukan gejala lain seperti nyeri kepala, mual,
muntah, diare, pegal-pegal, dan nyeri otot. Gejala tersebut biasanya
terdapat pada orang-orang yang tinggal di daerah endemis (imun).
Pemeriksaan labolatorium
a. Pemeriksaan mikroskopis
Pemeriksaan sediaan darah (SD) tebal dan tipis untuk menentukan:
1) Ada tidaknya parasit malaria (positif atau negatif)
2) Spesies dan stadium plasmodium
3) Kepadatan parasit
b. Pemeriksaan dengan uji diagnostik cepat (Rapid Diagnostic Test/RDT)
Pemeriksaan dengan RDT tidak untuk evaluasi pengobatan.

6. Komplikasi
Malaria berat juga dapat menimbulkan komplikasi seperti edema paru,
perdarahan spontan, hipereksia (suhu tubuh di atas 41°C) dan sepsis
(reaksi inflamasi yang mengenai suatu tubuh).
Tabel 2.
Manisfetasi malaria berat anak dan dewasa: (Putra, 2011)

Manifestasi pada anak Manifestasi pada dewasa


 Koma (malaria selebral)
 Koma (malaria selebral)  Gagal ginjal akut
 Distres pernafasan  Edem paru, termasuk ARDS
 Hipoglikemi (sebelum terapi  Hipoglikemi (umumnya
kina) sesudah terapi kina)
 Anemia berat  Anemia berat (5%)
 Kejang umum yang berulang  Kejang umum yag berulang
 Asiodis metabolik  Asidosis metabolik
 Kolaps sirkulasi, syok  Kolaps sirkulasi, syok
hipovelemia, hipotensi
(tek.sistolik 41°C)
 Gangguan kesadaran selain
koma

30
 Kelemahan (severe prostration)  Hipovolemia, hipotensi
 Hiperparasitemia  Perdarahan spontan
 Iktrus  Gangguan kesadaran selain
 Hiperpreksia (suhu>41°C) koma
 Hemoglobinuria(blackwaterfeve  Hemoglobinuria
r) (blackwaterfever)
 Perdarahan spontan  Hiperparasitemia (>5%)
 Gagal ginjal  Ikterus (bilirubin total >3mg
%)
 Hiperpireksia (suhu >4°C)

Komplikasi terbanyak Komplikasi yang lebih sering

 Hipoglikemi  Gagal ginjal akut


 Anemia  Edem paru
 Malaria selebral
 Ikterus

7. Pencegahan
Pencegahan sederhana dapat dilakukan oleh masyarakat, antara lain:
a. Menghindari atau mengurangi gigitan nyamuk malaria, dengan cara
tidur memakai klambu, tidak berada di luar di mala m hari, mengolesi
badan dengan lotion anti nyamuk, memasang kawat kasa pada jendela.
b. Membersihkan tempat sarang nyamuk, dengan cara membersihkan
semak-semak disekitar rumah dan melipat kain-kain yang
bergantungan, mengusahakan di dalam rumah tidak gelap, mengalirkan
genangan air serta menimbunnya.
c. Membunuh nyamuk dewasa (penyemprotan dengan insektisida).
d. Membunuh larva dengan menyebarkan ikan pemakan larva.
e. Memebunuh larva dengan menyemprot larvasida.

8. Penanganan awal dan penanganan lanjutan


a. Penangann awal
Upaya pengendalian awal yaitu:
1) Pemakaian kelambu
2) Pengendalian vektor
3) Diagnosis dan pengobatan

31
b. Penanganan lanjutan pada ibu hamil
Pada prinsipnya pengobatan pada ibu hamil sama dengan pengobatan
pada orang dewasa umumnya, perbedaannya adalah pada pemberian
obat malaria berdasarkan umur kehamilan. Pad ibu hamil tidak
diberikan primakuin.

Tabel 3.
Pengobatan malaria falsiparum pada ibu hamil:
Dosis klindamisin 10 mg/kgBB diberikan 2x sehari

UMUR KEHAMILAN PENGOBATAN

Trimester I (0-3 bulan) Kina 3x2 tablet+Klindamisin


2x300 mg selama 7 hari

Trimester II (4-6 bulan) ACT tablet selama 3 hari

Trimester III (7-9 bulan) ACT tablet selama 3 hari

Tabel 4.
Pengobatan malaria vivaks pada ibu hamil:

UMUR KEHAMILAN PENGOBATAN

Trimester I (0-3 bulan) Kina 3x2 tablet selama 7 hari

Trimester II (4-6 bulan) ACT tablet selama 3 hari

Trimester III (7-9 bulan) ACT tablet selama 3 hari

Semua obat anti malaria tidak boleh diberikan dalam keadaan perut
kosong karena bersifat iritasi lambung. Oleh sebab itu harus makan
terlebih dahulu setiap akan minum obat anti malaria.
9. Pathway
Gambar 3.

32
D. Asuhan Bayi Baru Dengan Omphalitis
1. Definisi
Omphalitis adalah infeksi umbilikus, khususnya tali pusat, pada bayi
baru lahir. Hal ini terutama mempengrauhi neonatus, diantaranya
kombinasi dari tunggal tali pusat dan penurunan kekebalan yang
ditemukan saat infeksi hal ini dilaporkan diluar masa neonatus. Pariasi
pada keadaan kongital merupakan faktor predipoisisi terjadi infeksi pada
tali pusat.
Ompilitis dapat menyebar ke vena porta dan menyebabkan berbagai
macam komplikasi akut yang memerlukan intervensi medis serta bedah.
Meskipun jarang terjadi dinegara maju, maka tetap menjadi penyebab
morbiditas dan mortalitas yang signifikan di Afrika dan bagian lain di
dunia, dimana perawatan kesehatan kurang tersedia. Infeksi tali pusat
memberikan kontribusi yang signifikan terhadp infeksi bayi baru lahir dan
kematian neonatus di Afrika, terutama bagi bayi yang dilahirkan dirumah
tanpa bidan yang trampil dan berada pada kondisi yang tidak higienis.

33
Gambar 4. Omphalitis
Tali pusat biasanya puput dalam kurang lebih 1 minggu setelah lahir dan
luka sembuh dalam 15 hari. Sebelum luka sembuh merupakan jalan masuk
untuk kuman dan infeksi yang dapat menyebabkan sepsis. Pengenalan
secara dini infeksi tali pusat sangat penting untuk mencegah sepsis
Tali pusat biasanya puput dalam satu minggu setelah lahir dan luka
sembuh dalam 15 hrai. Sebelum luka sembuh merupakan jalan masuk
kuman dan infeksi yang dapat menyebabkan sepsis. Pengenalan secara dini
infeksi tali pusat sangat penting untuk mencegah sepsis.
Tali pusat merupakan bagian yang penting untuk diperhatikan pada
bayi yang baru lahir. Bayi yang baru lahir kurang lebih dua menit akan
segera dipotong tali pusatnya kira-kira 2 sampai 3 cm yang hanya tinggal
pada pangkal tali pusat (umbilicus), dan sisa potongan inilah yang sering
terinfeksi staphylococcus aereus. Pada ujung tali pusat akan mengeluarkan
nanah dan pada sekitar pangkal tali pusat akan menanah dan disertai
edema (Musbikin, 2010).
Pada keadaan infeksi berat, infeksi dapat menjalar hingga ke hati
(hepar) melalui legamentum (falsiforme) dan menyebabkan abses yang
berlipat ganda.
Pada keadaan menahun dapat terjadi granuloma pada umbilicus
(Prawirohardjo, 2010).

2. Faktor Resiko
Faktor resiko yang dapat menyebabkan omphilis yakni :

a. Faktor tradisi

34
Sebagian masyarakat misalnya dengan memberikan berbagai ramuan-
ramuan atau serbuk-serbuk yang dipercaya bisa membantu
mempercepat kering dan lepasnya potongan tali pusat. (Mieke,2011)
b. Infeksi sukunder
1) Ketuban pecah dini
2) Ibu dengan infeksi
3) Proses selama persalinan : Persalinan yang tidak sehat atau di bantu
oleh tenaga non medis, terjadi pada saat memotong tali pusat
menggunakan alat yang tidak steril dan tidak diberikan obat
antiseptic. Untuk perawatan tali pusat juga tidak lepas dari masig
adanya tradisi yang berlaku dimasyarakat (Asrining, 2011).
4) Premature : Umumnya imunisasi bayi kurang bulan lebih rendah
pada bayi cukup bulan. Transport imuniglobulin melalui plasenta
terutama terjadi pada paruh trakhir trimester ketiga. Setelah lahir,
konsentrasi imuniglobulin serum terus menurun, menyebabkan
hipogamaglobulinemia berat. Imaturitas kulit juga melemah
pertahanan kulit. Karentanan neonatus terhadap infeksi dipengaruhi
oleh beberapa faktor, antara laih kulit dan selaput lendir yang tipis
dan mudah rusak, kemampuan fagositosis dan leukosut immunitas
masih rendah.
5) Bayi berat lahir rendah
c. Faktor Resiko Lain
1) Neonatus dengan sistem kekebalan tubuh yang lemah atau
imunidefisiensi atau yang dirawat dirumah sakit dan mengalami
prosedur invasive neonatus. Bisa mengalami kekurangan IgG
spesifik, khususnya terhadap streptokokus atau Haemophilus
Influenza. IgG dan IgA tidak melewati plasenta dan hamper tidak
terdeteksi dalam darah tali pusat. Dengan adanya hal tersebut,
aktifitas lintasan komplemen terlambat, dan C3 serta faktor B tidak
diproduksi sebagai respon terhadap lipopolosakarida. Kombinasi
antara defisiensi imun dan penurunan antibody total dan speifik,

35
bersama dengan penurunan fibronektin, menyebabkan sebagian
besar penurunan aktivitas opsonisasi.
2) Sindrom kekuranga leukocyte adhesion (LAD) dan mobilitas
neutrophil.

3. Etiologi
Organisme yang dapat menyebabkan omphilitis yaitu:

a. Bakteri aerob :
1) Staphylococcus aureus ( penyebab tersaring )
Staphylococcus aureus ada dimana – mana dan didapat pada
masa awal kehidupan hampir semua bayi, saat lahir, atau sebelum
masa perawaran. Biasanya staphylococcus aureus sering dijumpai
pad akulit, seluran penafasan, dan seluruh cerna terkolonisasi. Untuk
pencegah terjadinya infeksi tali pusat sebaiknya tali pusat tetap
dijaga kebersihannya, upaya tali pusat agar tetap kering dan bersih,
saat memandikan diminggu oertama sebaiknya jangan direndam bayi
langsung kedalam air mandinya karena dapat menyebakan basahnya
tali pusat dan memperlambat proses pengeringan tali pusat
2) Streptokokus grup A
3) Escherichia coli
4) Klebsiella
5) Proteus
b. Bakteri anaerob ( penyebab sepertiga kasus omphilitis ) :
1) Bacteroides fragilis
2) Peptostreptococcus
3) Clastridium perfringens

4. Patofisiologi
Tali pusat menyajikan supstrat yang unik untuk kolonisasi bakteri,
tanpa penghalang normal pertahanan kulit, dan mengalami iskemia dan
dektrasi sehingga tali pusat mongering dan melepas, biasanya daerah tali
pusat menjadi tempat kolonisasi bakteri patogen intrapartum atau segera
setelah kelahiran. Bakteri memiliki potensi untuk menyerang tali pusat,

36
yang menyebabkan terjadinya omphlitis. Spectrum bakteri oligis dalam
omphalitis sedang mengalami perubahan, dimana terjadi perubahan dalam
perawatan tali pusat, penguna antibiotic, resistensi bakteri, dan partikel –
partikel lokal lainnya. (Musbikin, 2010).

5. Klasifikasi
Klasifikasi infeksi tali pusat :

c. Infeksi tali pusat lokal atau terbatas


Jika tali pusat bengkak, mengeluarkan nanah, atau berbau busuk,
dan sekitar tali pusat berwarna kemerahan dan pembengkakan terbatas
pada daerah kurang dari 1 cm disekitar pangkal tali pusat local atau
terbatas.
d. Infeksi tali pusat berat atau meluas
Jika kemerahan atau membengkak pada tali pusat meluas melebihi
area 1 cm atau kulit disekitar tali pusat mengeras dan memerah serta
bayi mengalami pembengkakan perut, disebut sebgai infeksi tali pusat
berat atau meluas.

Gambar 5. Infeksi Tali Pusat Berat atau Meluas

6. Identifikasi
a. Gejala klinik yang dapat ditemukan pada omphalitis yaitu :

37
1) Gejala local
a) Discharge yang purulent dan berbau busuk dari umbilikus atau
tali pusat
b) Eritema, edema, dan nyeri tekan didaerah priumbilikal
2) Gejala sistemik
a) Takikardi ( denyut jantung lebih dari 180 kali permenit )
b) Hipotensi dan capillary refill menurun
c) Takipneu ( nafas lebih dari 60 kali permenit )
d) Tanda – tanda gagal nafas atau apneu
e) Distensi abdomen dengan penurunan bising usus
f) Keterlibatan sistem saraf pusat
(1) Iritabilitas
(2) Letargi
(3) Penurunan reflex menghisap
(4) Hipotonus atau hipertonus
b. Diagnosis banding
2) Granuloma umbilicus (granuloma yang dapat dilihat pada umbilicus)
3) Patent vitello-intesinal duct
4) Patent urachus (pembukaan fistel dengan discharge urin)
5) Necrotizing enterocolitis (distensi abdomen, muntah, BAB berdarah)
6) Sepsis general
7) Jarang, anomaly appendiculo-omphalic
c. Pemeriksaan penunjang
Usapkan mikrobiologi dari umbilikus harus dikirim untuk kletur
aerob dan anaerob. Klutur daerah harus disertakan pada saat yang tepat.
Pada pemeriksaan laboratorium darah, dapat ditemukan neoterofilia
(kadang – kadnag neoteropenia).
Diagnostic dapat ditegakan melalui pemeriksaan penunjang berupa :
1) Romtgen abdomen sangat diperlukan jika dicurigai terjadi necrotzing
enterokolitis. Dapat dijumpai gas di intraperitoneal dimana terjadi
peritonitis ( disebabkan oleh bakteri pengahsil gas ). Multipele fluid

38
levels dapat mengarah ke ibstruksi adhesi tapi dapat dijumpai pada
ilenus.
2) USG abdomen berguana untuk memberikan gambaran mengenai
dinding abdomen jika dicurigai terjadi kista sangat berguna untuk
mendiagnosis abses intraperioneal, abses retroperioneal, dan abses
hapar.
3) USG Doppler dilakukan jika ducurigau terjadi thrombosis vena
portal.
4) Fistulogram diidentifiikasi jika terjadi distula ke umbilikus.
5) MRI atau CT-Scen dapat digunakan untuk menilai fistula kongenital.
d. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang dapat diberikan pada omphalitis yaitu :
1) Farmakologi
a) Antibiotic, ampiclox, cloxacillin, flucloxacillin, methicillin yang
dikombinasikan dengan gentanycin.
b) Untuk bakteri anaerob, dapat diberikan antibiotic metronidazole.
c) Terapi diberikan selama 10 – 14 hari.
d) Untuk omphalitis sederhana yang tidak terjadi komplikasi dapat
diberikan terapi antibiotic jangka pendek selama 7 hari
2) Nonfarmakologi
Penatalaksanaan omphalitis berdasarkan klafiikasi :
a) Infeksi tali pusat lokal atau terbatas

(1) Cara penanganannya :


(a) Biasakan untuk selalu mencuci tangan sebelum
memegang atau membersihkan tali pusat untuk
mencegah perpindahnya kuman dari tangan
(b) Bersihkan tali pusat mengunakan larutan antiseptic
( misalnya klorhiksidin atau iodium povidon 2,5%
dengan kain kasa yang bersih.
(c) Olesi tali pusat pada daerah sekitarnya dengan larutan
antiseptic ( misalnya gentianviolet 0,5% atau iodium

39
povidon 2,5% ) delapan kali sehari sampai tidak ada
nanah lagi pada tali pusat.
(d) Anjurkan ibu melakukan ini kapan saja bila
memungkinkan jika kemerahan atau membengkak pada
tali pusat meluas melebihi area 1 cm, obati seperti infeksi
pada tali pusat berat atau meluas.
b) Infeksi tali pusat berat atau meluas
(1) Cara penangannya :
(a) Rujuk bayi ke dokter dan tetap lakukan perawatan seperti
infeksi tali pusat local atau terbatas. Oleh dokter akan
dilakukan pemeriksaan tanda-tanda sepsis pada bayi.
(b) Lakukan pemeriksaan laboratorium untuk pemeriksaan
kultur dan sensitivitas. Dapay diberikan pemberian
antibiotic sesuai indikasi seperti kloksasilin oral selama
lima hari jika terdapat pustule/lepuh kulit dan selaput
lendir.
(c) Cari tanda-tanda sepsis. Lakukan perawatan umum
seperti dijelaskan untuk infeksi tali pusat lokal atau
terbatas.
7. Komplikasi
a. Komplikasi
Patofisologi komplikasi omphalitis erat kaitannya dengan anatomi
umbilikus. Infeksi dapat menyebar sepanjang arteri umbilikalis, vena
umbilikalis, sistem limfatik dinding abdomen, dan dengan penyebaran
langsung kedaerah perbatasan.
Komplikasi yang dapat terjadi pada omphalitis berupa :
a. Necrotizing fasciistis
Necrotizing fasciitis adalah salah satu komplikasi serius yang
paling sering dilaporkan dari omphalitis, 1,8 – 12 terjadinya dalam
26% dan pasien. Telah tercatat terjadi pada 13,5 % neontus dengan
omphalitis. Kondisi ini dimulai dengan selulitis periumbilikalis, yang

40
tampa pengobatan, dengan cepat menjadi nekrosis kulit dan jaringan
subkutan, dan dalam beberapa kasus, mionekrosis.
Skrotum adalah yang paling sering terpengaruh oleh necrotizing,
pascilitis, tetapi dinding perut juga mungkin terlibat. Jika diobati
dini, selulitis periumbilikalis dapat dikontrol dengan mengunakan
antibiotik perenteal spectrum luas. Razim antibiotic harus selalu
menyertakan sebuah antianaerob seperti metronidazole.
Necrotizing faciitis harus ditangani dengan debridement yang
cepat, menghapus semua jaringan yang mati, diikuti dengan
perawatan luka harian. Jika bayi terlalu sakit untuk dianatesi umu,
debridement dapat dilakukan dengan mengunakan parasetamol
parentral atau parrektal untuk analgesia. Luka yang dihasiljan
nantinya akan memerlukan penutupan sekunder ( atau pencengkokan
kulit jika cacat besar ). Namun, luka skrotum dapat sembuh dengan
baik tanoa penutupan sekunder atau pencengkokan kulit.

Gambar 6. Komplikasi Omphalitis

b. Evisceration
Evisceration intestinal merupakan komplikasi serius yang sering
dilaporkan. Yang biasanya mengalami eviscarasi adalah usus halus,

41
tetapi usus besar mungkin terlibat. Secara jaranng, presentasi klinik
dapat timbul lama, dan dapat menjadi gengren.
Eviserasi intestinal ini harus ditutupi oleh kain kasa lembab
yang bersih, dan ditempatkan dalam kantong usus (atau dapat juga
pada kantong plastic transparan). Perawatan dilakukan untuk
memastikan bahwa usus tidak terplintir.
Dibawa anetesi umum, usus dibersikan dan dikembalikan ke
rongga peritoneal dan umbilikus diberpbaiki. Jika terdapat gangrence
prtitonitis atau usus, sebuag laprotomi perlu dilakukan untuk
mengeringkan dan membersihkan setiab abses rongga peritoneal.
Gambar 7. Infeksi Tali Pusat

c. Peritonitis
Peritonitis dapat terjadi dengan atau tanpa abses intaperitoneal.
Jika tidak terdapat abses, infeksi bisa diterapi dengan pengunaan
antibiotic intervenaspectum luas, dan operasi biasanya tidak
diperlukan. Jika abses intraperitoneal dikonfirmasi oleh USG atau
jika tidak ada fasilitas untuk USG, maka laportomi diperlukan.
Abses apapun dikeringkan dan rongga peritoneal dibersihkan.
d. Abses
Abses dapat terjadi diberbagai tempat, namun sering
intraabdominal. Abes intraperitoneal dilakukan drainase dengan
laporotomii. Abses retroperitoneal dilakukan drainase dengan
pendekatan ekstraperitoneal, tetapi jika terletak anterior di
retroperitonral tersebut, pendekatan intra peritoneal mungkin
diperlukan.
Abses hati harus benar-benar diketahui laokasinya dengan
ultrasonografi atau CT-Scan. Abses disedot oleh jarum dengan

42
lubang yang lebar dibawah bimbingan pencitraan, dan rongga abses
tersebut diairi dengan normal saline. Hal ini dapat diulangi sekali
lagi jika masih terdapat abses. Dalam kasus-kasus sulit, atau
kekambuhan setelah aspirasi jarum, drainase terbuka mungkin
diperlukan. Jika abses multipke, antibiotic parenteral saja mungkin
cukup, dan aspirasi / drainase disediakan untuk yang persisten.
Abses dapat terletak di dinding perut anterior dilokasi lainnya.
Keadaan ini akan membutuhkan drainase.
Komplikasi lanjut yang dapat terjadi yakn :
1) Thrombosis vena porta
Portal vein thrombosis (PVT) adalah komplikasi dengan
konsekuensi serius. Meskipun komplikasi awal, konsekuensi utama
dihasilkan dalam jangka panjang. Thrombosis dapat dihasilkan
carvernoma, yang dapat menyebabkan obstruksi empedu. Sebuah
shunt partosystematic mungkin diperlukan jika hipertensi portal
meningkat.

2) Hernia umbilikalis
Hernia umbilikalis adalah suatu masalah umum dan beebapa
adalah hasil dari melemahnya sikatriks umbilikus dari omphalitis
neonatus.
3) Adhesi peritoneal
Adhesi peritoneal adalah hasil dari subklinis sebelumnya.
Adhesi dapat menyebabkan nobstruksi usus, yang biasanya tidak
bisa menerima tindakkan nonopreatif. Laparotomy dan lisis / eksisi
adhesi biasnaya diperlukan setiap segmen usus iskemik perlu
diresesksi.
b. Prognosis
Omphalitis uncomplicated yang diterapi dengan baik biasanya
sembuh tanpa morbilitas serius. Morbilitas dan mortalitas yang serius

43
dapat terjadi akibat komplikasi seperti necrotizing fasciitis, peritonitis,
dan eviserasi. Thrombosis vena portal dapat berakibat fatal.
Selain itu, faktor-faktor resiko tertentu seperti prematuritas, kecil
masa kehamilan, jenis kelamin (laki-laki), dan proses kelahiran yang
sepsis, terkait dengan prognosis yang buruk.

8. Pencegahan dan penanganan

a. Pencegahan
Saat ini, sudah tidak digunakan pencucian tali pusat dengan bahan
medis, tetapi hanya mengunakan perawatan kering teli pusat sampai tali
pusat tersebut kering dan lepas dengan sendirinya. Merawat tali pusat
dengan prinsip bersih dan kering. Jadi, saat memandikan bayi, tali pusat
juga digosok dengan air dan sabun, lalu dikeringkan dengan handuk
bersih terutama daerah tali pusat yang masih berwarna putih dibagian
pangkalnya ( tali pusat yang bermuara ke perut bayi. Bagian pangkal ini
bisa dibersihkan dengan catton budpovidone yodine ). Dan biakan
terbuka sehingga cepat mengering, atau dibungkus dengan kasa kering
yang steril.
Hindari kontak langusng tali pusat dengan air kencing bayi karena
air kencing tersebut adalah salah satu penyebab timbulnya infeksi pada
tali pusat bayi. Mengunakan popok sekali pakai sebaiknya dibawah
pusar.
b. Penanganan

Infeksi pada bayi dapat merupakan penyakit yang berat dan sangat
sulit diobati. Jika tali pusat bayi terinfeksi oleh staphylococcus areus,
sebagai pengobatan local dapatdiberikan salep yang mengandung
neomisin dan basitrasin. Selain itu juga dapat diberikan salap
gestamisin. Jika terdapat granuloma dapat pula dioleskan dengan
larutan nitras argenti 3% (Prawirohardjo, 2010).

9. Pathway

44
45
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Penanganan narkoba pada masa kehamilan sangat memiliki dampak
yang fatal bagi janin dan ibu. Badan Narkoba Nasional menyatakan
penggunaan narkoba akan menyebabkan kecacatan pada janin, kelahiran
premature, retardasi mental, Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR), gangguan
perkembangan otak, saraf, jantung, paru bahkan dapat menyebabkan
kematian janin di dalam rahim. Hal ini dapat dapat meningkatkan angka
kematian dan kesakitan ibu dan bayi. Maka dari itu terdapat beberapa upaya
yang dapat digunakan untuk menanggulangi bencana narkoba yaitu dengan
upaya preventif, pre-emtif, promotif, kuratif, dan rehabilitative, represif dan
religiusitas.
Penyebab utama demam berdarah adalah virus arbo (Arthropoda virus)
melalui gigitan nyamuk (nyamuk albopictus dan nyamuk aegepthy). Faktor
utamanya adalah nyamuk aegepti dan nyamuk albopictus. Adanya faktor
tersebut berhubungan dengan:
a. Biasanya masyarakat menampung air bersih untuk keperluan sehari-hari.
b. Sanitasi lingkungan yang kurang baik.
c. Penyediaan air bersih yang langka
Dampak malaria terhadap ibu hamil dapat menyebabkan anemia,
malaria selebral, edema pulmonal, infeksi plasenta, hipoglikemia bahkan
kematian. Sedangkan dampak malaria pad bayi yang dilahirkan dari ibu
yang terinfeksi malaria dapat menyebabkan persalinan prematur, berat
badan bayi rendah, abortus dan kematian. Pencegahannya yaitu dengan
tidak mengunjungi daerah endemik malaria dan pemberian kemoprofilaksis
kepada setiap wanita hamil yang tinggal di daerah endemis atau yang
mengunjungi daerah endemis, memutuskan rantai penularan host, agen
ataupun lingkungan dengan menghindari kontak/gigitan nyamuk anoples,

46
membunuh jentik dan nyamuk dewasa, meningkatkan daya tahan tubuh
melalui vaksinasi.
Omphalitis atau infeksi tali pusat disebabkan oleh bakteri yang
memasuki tubuh melalui tali pusat pada bayi. Deteksi dan penanganan
terlambat menyebabkan komplikasi hingga kematian. Untuk pencegahan
terjadinya infeksi diupayakan tali pusat agar tetap kering.

B. Saran
Puji Syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas terselesaikannya
laporan ini. Kami selaku penulis sadar bahwa dalam laporan ini masih banyak
kesalahan dan kekurangan, baik dari segi penulisan, bahasa, atau data yang
kurang lengkap. Oleh karena itu saran dan kritik dari para pembaca yang
bersifat membangun sangat kami harapkan untuk kami jadikan koreksi dan
perbaikan dalam pembuatan laporan yang selanjutnya. Semoga laporan ini
dapat bermanfaat bagi para pembaca.

47
DAFTAR PUSTAKA

Andriani, F., Bd, S. K., Keb, M., Balita, B. D. A. N., Kebidanan, A., Neonatus, P.,

& Balita, B. D. A. N. (2019). ASUHAN KEBIDANAN.

Bidan, D. P., Farmasi, F., Kesehatan, D., & Helvetia, I. K. (2020). Pregnancy

anxiety in drug users 1 1. 3(2).

Di, K., Wahau, M., & Timur, P. K. (2017). Malaria dalam kehamilan: kualitatif

model kepercayaan kesehatan di muara wahau provinsi kalimantan timur.

Kedokteran, J., & Kuala, S. (2020). Kata kunci: Demam berdarah dengue,

kehamilan, penatalaksanaan. 20(3), 199–205.

Khoirina, Z. A. (2020). Faktor-faktor penyebab kecanduan narkoba pada anak di

lembaga pembinaan khusus anak klas II yogyakarta.

Rehana, I., Mutiara, H., Kedokteran, F., & Lampung, U. (2017). Penatalaksanaan

Malaria dalam Kehamilan. 7, 41–45.

Rini Poespoprodjo Jeanne. (2011). Epidemiologi Malaria Di Indonesia

Santoso Djoko, 2015. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Surabaya. 327–328 (2).

Selatan, P. K. (2015). Implementasi kebijakan layanan terapi dan rehabilitasi

komprehensif pada gangguan penggunaan napza berbasis rumah sakit di

rumah sakit jiwa daerah sambang lihum. 1502–1522.

Subuh. (2014). Pedoman Managemen Malaria.

Tinggi, S., Kesehatan, I., Elisabeth, S., Bunga, J., No, T., & Selayang, M. (2021).

48
KRISTINA PERUMNAS KALSIM KOTA SIDIKALANG TAHUN 2021. 7(2).

Yefri R, Myetti, Machmud R. 2010. Kolonisasi Kuman dan Kejadian Omfalitis

pada Tiga Regimen Perawatan Tali Pusat pada Bayi Baru Lahir. Sari

Pediatri. 341-347.

49
EVALUASI soal dalam bentuk kasus disertai pilihan ganda dengan jawaban a – e

sebanyak 5 soal disertai kunci jawaban

1. Ny. B usia 22 tahun datang ke Praktik Bidan Mandiri, ia mengatakan baru


melahirkan 3 hari yang lalu di RS dan mengeluh bayi nya menangis
berlebihan dengan nada tinggi, badan gemetaran, sulit menyusu dan demam.
Hasil Pemeriksaan BB Bayi lahir dan sekarang masih : 2.100 gr, PB : 48 cm.
Berdasarkan kasus diatas, bayi mengalami gejala….
a. Omphalitis
b. Demam berdarah
c. Hipoksia
d. Neonatal abstinence syndrome
e. Gumoh
2. Ny. C usia 22 tahun datang ke Praktik Bidan Mandiri melakukan pemeriksaan
kehamilan. Ia mengatakan usia kehamilannya 24 minggu dan mengeluh
bahwa ia sering mengalami kesulitan tidur karena sedang ada permasalahan
dengan suaminya, sehingga Ny. C mengkonsumsi obat-obatan yang
mengandung narkotika. Sebelum hamil, Ny.C juga pernah mengkonsumsi
obat-obatan terlarang tersebut untuk melampiaskan rasa kekesalannya.
Berdasarkan kasus diatas, peran bidan yaitu….
a. Memberikan rujukan kepada pasien untuk melakukan pemeriksaan
penunjang seperti tes jaringan tali pusat dan tes rambut janin di rumah
sakit
b. Melakukan Komunikasi, Informasi dan Edukasi mengenai bahaya NAPZA
c. Memberikan saran bahwa ibu harus segera berhenti mengkonsumsi
NAPZA
d. Melakukan pemeriksaan lebih lanjut kepada si pasien
e. Membiarkan kondisi pasien.
3. Ny. A datang ke PMB mengatakan baru saja melahirkan secara normal 1 mgg
yang lalu di tolong oleh bidan. BB : 3000 gram, PB : 51 Cm, JK : Laki – laki
dan tali pusat sudah terlepas. Ibu mengeluh sejak 2 hari ini bayinya rewel dan

50
kemerahan atau membengkak pada daerah pusar meluas melebihi area 1 cm.
disebut infeksi apa yang terjadi pada bayi tersebut.
a. Omphalitis
b. Infeksi tali pusat berat atau meluas
c. Infeksi tali pusat lokal atau terbatas
d. Abses
e. A dan B benar
4. Ny. P datang ke PMB mengatakan baru saja melahirkan anak pertama secara
normal 5 hari yang lalu di tolong oleh bidan. BB : 2700 gram, PB : 49 Cm,
JK : Laki – laki. Ibu mengeluh sejak 2 hari ini bayinya rewel dan pada tali
pusat bengkak terbatas serta ada berbau busuk pada tali pusat. disebut infeksi
apa yang terjadi pada bayi tersebut.
a. Omphalitis
b. Infeksi tali pusat berat atau meluas
c. Infeksi tali pusat lokal atau terbatas
d. Abses
e. A dan B benar
5. Ny. X usia 27 tahun datang ke Praktik Bidan Mandiri, ia mengatakan baru
melahirkan P3A0 3 hari yang lalu di tolong oleh bidan dan mengeluh bayi
demam tinggi, terdapat bintik-bintik merah pada kulit, diare dan disertai
muntah. Hasil Pemeriksaan BB Bayi lahir dan sekarang masih : 2.900 gr, PB :
49 cm, Tempratur 38,9°C, JK: Perampuan.
Berdasarkan kasus diatas, bayi mengalami gejala….
a. Omphalitis
b. Demam berdarah Dangue
c. Hipoksia
d. Neonatal abstinence syndrome
e. Gumoh

51

Anda mungkin juga menyukai