Anda di halaman 1dari 36

TUGAS KAJIAN MASALAH

KEBUTUHAN GIZI PADA BAYI BARU LAHIR

O
L
E
H

KELOMPOK 6
NAMA MAHASISWA:

1. Norhaliza : NIM 11194862111147


2. Rizqina Amalia Fatimah : NIM 11194862111157
3. Salma Mariesa : NIM 11194862111158

PROGRAM STUDI SARJANA KEBIDANAN


FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS SARI MULIA
TAHUN 2022

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
karena atas rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan tugas makalah
dengan tepat waktu yang berjudul “Kebutuhan Gizi pada Bayi Baru Lahir”.

Harapan kami sebagaimana penyusun yaitu agar pembaca dapat memahami


tentang kebutuhan gizi pada bayi baru lahir. Kami ingin mengucapkan pada
dosen pengampu mata kuliah Gizi dalam Kesehatan Reproduksi yaitu ibu
Laurensia Yunita., SST., M.Kes dan tim. Kami juga menyadari sepenuhnya
dalam penyusunan makalah “Kebutuhan Gizi pada Bayi Baru Lahir” ini masih
terdapat banyak kekurangan-kekurangan dan jauh dari apa yang kami harapkan.
Baik dalam sistematika penulisan maupun penggunaan bahasa. Kami berharap
semoga dengan adanya makalah ini dapat menambah ilmu wawasan kita
mengenai kebutuhan gizi pada bayi baru lahir. Akhir kata kami ucapkan terima
kasih.

Banjarmasin, 7 Februari 2022

Penyusun

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................1
A. Latar Belakang..........................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.....................................................................................................2
C. Tujuan.......................................................................................................................2
1. Tujuan Umum........................................................................................................2
2. Tujuan Khusus.......................................................................................................2
BAB II KAJIAN TEORITIS.............................................................................................3
A. Kajian Teoritis..........................................................................................................3
1. Masalah Gizi pada Bayi Baru Lahir.......................................................................3
2. Penentuan Status Gizi pada Bayi Baru Lahir.........................................................9
3. Kebutuhan Gizi pada Bayi Baru Lahir.................................................................13
4. Peran Zat Gizi pada Bayi Baru Lahir...................................................................17
5. Faktor Yang Mempengaruhi Gizi pada Bayi Baru Lahir.....................................19
6. Penanganan Bidan dalam Masalah Gizi pada Bayi Baru Lahir...........................19
7. Program Pemerintah Saat Ini tentang Penanganan Gizi pada Bayi Baru Lahir...21
B. Gagasan Ilmiah........................................................................................................22
1. Kasus I..................................................................................................................22
2. Kasus II................................................................................................................25
BAB III PENUTUP.........................................................................................................28
A. Kesimpulan.............................................................................................................28
B. Saran........................................................................................................................28
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................29

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bayi (usia 0-11 bulan) merupakan periode emas sekaligus periode kritis
karena pada masa ini terjadi pertumbuhan dan perkembangan yang pesat yang
mencapai puncaknya pada usia 24 bulan. Tujuan pemberian gizi yang baik
adalah tumbuh kembang anak yang adekuat (Misrawatie, 2013).
Angka kematian bayi (AKB) merupakan salah satu indikator yang
digunakan untuk menggambarkan status kesehatan masyarakat secara umum.
Angka kematian bayi menurut WHO (world health organization) tahun 2015 di
negara ASEAN adalah 3 per 100 kelahiran hidup, Malaysia 5,5 per 1000
kelahiran hidup, Thailand 17 per 1000 kelahiran hidup, Vietnam 18 per 1000
kelahiran hidup, dan Indonesia 27 per 1000 kelahiran hidup. Angka kematian
bayi Indonesia masih tinggi bila dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya
dan jika dibandingkan dengan target MSDGs (Milleium Development Goals)
tahun 2015 yaitu 23 per 1000 kelahiran hidup (KEMENKES, 2015).
Dari hasil penelitian yang ada, angka kematian bayi tidak berdiri sendiri,
melainkan terkait dengan faktor-faktor lain, terutama gizi. Angka kematian bayi
dan balita akibat gizi buruk masih menjadi perhatian dunia. Faktor penyebab
kurang gizi, pertama adalah ketersediaan makanan dan penyakit infeksi yang
mungkin diderita anak, kedua ketahanan pangan di keluarga, pola pengasuhan
anak, pelayanan kesehatan, dan kesehatan lingkungan. Ketiga faktor tingkat
pendidikan, pengetahuan, dan keterampilan. Selain faktor yang mempengaruhi
secara langsung, status gizi bayi juga dipengaruhi oleh status gizi ibu saat hamil.
Riwayat status gizi ibu hamil menjadi faktor penting terhadap pertumbuhan dan
perkembangan janin. Jika kekurangan status gizi pada awal masa kehidupan
maka akan berdampak terhadap kehidupan selanjutnya seperti pertumbuhan
janin terhambat (PJT), berat badan lahir rendah (BBLR), kecil, pendek, kurus,

1
2

daya tahan tubuh rendah dan berisiko meninggal dunia. (Juniar, Devy Aulia;
Rahayuning, Dina; Rahfiludin, 2019).

B. Rumusan Masalah
1. Apa masalah gizi pada bayi baru lahir?
2. Apa penentuan status gizi pada bayi baru lahir?
3. Apa saja kebutuhan gizi pada bayi baru lahir?
4. Apa peran zat gizi pada bayi baru lahir?
5. Apa saja faktor yang mempengaruhi gizi pada bayi baru lahir?
6. Bagaimana penanganan bidan dalam masalah gizi pada bayi baru lahir?
7. Apa program pemerintah saat ini tentang penanganan gizi pada bayi baru
lahir?

C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui dan memahami kebutuhan gizi pada bayi baru lahir.

2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui dan memahami masalah gizi pada bayi baru lahir.
b. Untuk mengetahui dan memahami penentuan status gizi pada bayi baru
lahir.
c. Untuk mengetahui dan memahami kebutuhan gizi pada bayi baru lahir.
d. Untuk mengetahui dan memahami peran zat gizi pada bayi baru lahir.
e. Untuk mengetahui dan memahami faktor yang mempengaruhi gizi pada
bayi baru lahir.
f. Untuk mengetahui dan memahami penanganan bidan dalam masalah
gizi pada bayi baru lahir.
g. Untuk mengetahui dan memahami program pemerintah saat ini tentang
penanganan gizi pada bayi baru lahir.
BAB II
KAJIAN TEORITIS

A. Kajian Teoritis
1. Masalah Gizi pada Bayi Baru Lahir
Gizi berasal dari kata Gizawa (bahasa arab), yang berarti pemberian
zat-zat makanan kepada sel-sel dan jaringan tubuh, sehingga memungkinkan
pertumbuhan yang normal dan sehat. Gizi adalah suatu proses orgnisme
menggunakan makanan yang dikonsumsi secara normal melalui proses
digesti, transportasi, penyimpanan, metabolisme dan pengeluaran zat-zat
yang tidak digunakan untuk mempertahankan kehidupan, pertumbuhan dan
fungsi normal dari organ-organ, serta menghasilkan energi (Setiyani et al.,
2016).
Kekurangan gizi pada bayi, bahkan sejak ia masih dalam kandungan,
dapat menyebabkan sejumlah masalah gizi. Jika gizi dimasa bayi dan anak
tidak terpenuhi dan tidak diatasi secara dini. Gangguan ini dapat berlanjut
hingga dewasa. Pada wanita hamil dengan gizi buruk perlu mendapat
asupan gizi yang adekuat karena apabila ibu hamil kekurangan gizi
cenderung melahirkan bayi premature, BBLR, dan asfiksia (Setiyani et al.,
2016).

a) Prematur
Persalinan prematur adalah persalinan yang dimulai setiap saat
setelah awal minggu gestasi ke-20 sampai akhir minggu gestasi ke-3.
Persalinan prematur merupakan persalinan yang terjadi pada kehamilan
kurang dari 37 minggu (antara 20-37 minggu) atau dengan berat janin
kurang dari 2500 gram. Masalah utama dalam persalinan prematur
adalah perawatan bayinya, semakin muda usia kehamilannya semakin
besar morbiditas dan mortalitasnya (Rohsiswatmo & Amandito, 2020).
Bayi prematur memiliki banyak keterbatasan dalam mencapai
pertumbuhan dan perkembangan yang optimal. Di Indonesia, pada

3
4

tahun 2010 terdapat 15,5% bayi yang lahir prematur, atau sekitar
675.700 bayi, dan sekitar 6,2% lahir dengan berat badan lahir rendah
pada tahun 2018. Bayi premature memiliki keterbatasan dalam
penyimpanan nutrisi saat lahir dan memiliki risiko tinggi menderita
defisit nutrisi yang berat. Akibat sistem gastrointestinalnya yang imatur,
bayi prematur juga memerlukan waktu yang lama untuk memulai
pemberian nutrisi enteral. Pemberian nutrisi enteral dapat dimulai lebih
awal yaitu di 24 jam pertama. Produk yang diberikan sebaiknya ASI
dalam jumlah 10-15mg/kg/hari dan dibagi menjadi 8-12 kali per hari.
Di hari selanjutnya, volume minum dinaikkan perlahan 20-30ml/kg/hari
dengan tetap dilanjutkannya nutrisi parenteral (Rohsiswatmo &
Amandito, 2020).
Cara pemberian nutrisi pada bayi prematur memperhatikan
kematangan fungsi oral yaitu kemampuan mengisap serta koordinasi
mengisap, menelan, dan bernapas
Tabel 1. Rute pemberian nutrisi pada bayi premature
Usia kehamilan Kematangan fungsi orang Rute pemberian
nutrisi
<28 minggu - Refleks menghisap belum ada Parenteral
- Gerak dorong usus belum ada
28-31 minggu - Refleks menghisap payudara mulai Orogastric tube atau
ada nasogastric tube
Sesekali dengan
- Belum ada koordinasi antara
nipples
menghisap, menelan dan bernafas
32-34 minggu - Refleks menghisap hamper matang Dengan nipples
- Koordinasi antara mengisap, menelan
dan bernafas mulai ada
>34 minggu - Refleks menghisap telah matang Menyusu
- Koordinasi menghisap, menelan dan
bernafas telah terbentuk sempurna
Sumber : (Hendarto et al., 2016)
Prinsip menyusui bayi prematur sama dengan neonatus pada
umumnya. Sebaiknya ibu menyusui dari satu payudara sampai habis
sebelum menawarkan payudara lainnya agar produksi susu lebih baik.
Ibu harus dikonseling mengenai tanda bayi lapar, perlekatan puting
yang benar, cara memposisikan bayi pada payudara, dan frekuensi
menyusu yang baik. Bayi prematur yang diberikan nutrisi per oral lebih
5

baik diberikan berdasarkan tanda lapar bayi dibandingkan diberikan


terjadwal, kecuali jika bayi tertidur lebih dari 3 jam setelah minum
terakhir. Cara pemberian ini memperpendek masa rawat bayi (Hendarto
et al., 2016)
Saat bayi premature diberikan perawatan diruang rawat inap
semua kebutuhan akan dipantau. Khususnya pemenuhan kebutuhan
nutrisi. Kebutuhan metabolisme dan fisiologi mengalami perubahan
yang sangat besar dari nutrisi transplasenta pada kehidupan intrauterin
ke ekstrauterin. Bila bayi tidak menerima nutrisi parenteral atau enteral
dini, bayi akan mengalami katabolisme dengan kehilangan nitrogen.
Glukosa merupakan sumber energi utama proses metabolisme dalam
tubuh, terutama untuk otak dan jantung bayi prematur, sebelum oksidasi
lipid berkembang dalam beberapa hari sampai beberapa minggu
kemudian. Rata-rata pemakaian glukosa pada bayi prematur dua kali
lebih tinggi dari bayi cukup bulan. Selain itu, akibat hemostasis glukosa
yang masih imatur maka bayi prematur tidak mampu menjamin
ketersediaan glukosa di hari-hari pertama kelahiran dan dapat terjadi
abnormalitas hemostasis glukosa (Hendarto et al., 2016).
Pemberian glukosa pada bayi prematur harus dimulai dalam 24
jam pertama pascalahir dengan kecepatan infus glukosa (glucose
infusion rate, GIR) 6-8 mg/kgBB/menit, kemudian ditingkatkan
bertahap 1-2 mg/kgBB/ menit sampai mencapai kecukupan maksimal
dukungan NPT dengan GIR 12-13 mg/kgBB/menit. Dalam pemberian
glukosa ini perlu pemantauan terhadap risiko terjadinya hiperglikemi.
Kadar gula darah dipertahankan 50- 120 mg/dL.6 Pemberian glukosa
dimulai dalam 24 jam pertama pascalahir sesuai dengan kecukupan
intrauterin, dimulai dengan dosis GIR 6-8 mg/kgBB/ menit,
ditingkatkan bertahap 1-2 mg/kgBB/menit sampai mencapai kecukupan
maksimal dukungan NPT dengan GIR 12-13 mg/kgBB/ menit.
Pertahankan kadar gula darah 50-120 mg/dL (A) (Hendarto et al.,
2016).
6

Penelitian merekomendasikan pemberian protein 1,5 g/kgBB/hari


pada 24 jam pertama pascalahir, ditingkatkan 0,5-1 g/kgBB/hari. Dosis
maksimal protein pada minggu pertama untuk bayi dengan berat lahir
≥1000 gram dapat mencapai 3,5-4 g/kgBB/hari. Pemberian dosis 1,5
kgBB/hari pada hari pertama pascalahir ditoleransi dengan baik karena
dapat memenuhi kecukupan protein, mencegah katabolisme protein,
menjaga keseimbangan nitrogen sehingga tercapai peningkatan tumbuh
kembang (Hendarto et al., 2016).

b) BBLR
Menurut (Mahayana et al., 2015) BBLR (Berat Badan Lahir
Rendah) diartikan sebagai bayi yan lahir dengan berat badan kurang
dari 2500 gram. BBLR disebabkan oleh usia kehamilan yang pendek
(prematuritas), IUGR (Intra Uterine Growth Restriction) yang dalam
bahasa Indonesia disebut Pertumbuhan Janin Terhambat (PJT) atau
keduanya. Kedua penyebab ini dipengaruhi oleh faktor risiko, seperti
faktor ibu, plasenta, janin dan lingkungan. Faktor risiko tersebut
menyebabkan kurangnya pemenuhan nutrisi pada janin selama masa
kehamilan
Bayi dengan berat badan lahir rendah umumnya mengalami
proses hidup jangka panjang yang kurang baik. Apabila tidak
meninggal pada awal kelahiran, bayi BBLR memiliki risiko tumbuh
dan berkembang lebih lambat dibandingkan dengan bayi yang lahir
dengan berat badan normal. Selain gangguan tumbuh kembang,
individu dengan riwayat BBLR mempunyai faktor risiko tinggi untuk
terjadinya hipertensi, penyakit jantung dan diabetes setelah mencapai
usia 40 tahun.2,8. Pada masa sekarang ini, sudah dikembangkan
tatalaksana awal terhadap bayi BBLR dengan menjaga suhu optimal
bayi, memberi nutrisi adekuat dan melakukan pencegahan infeksi.
Meskipun demikian, masih didapatkan 50% bayi BBLR yang
meninggal pada masa neonatus atau bertahan hidup dengan malnutrisi,
infeksi berulang dan kecacatan perkembangan neurologis. Oleh karena
7

itu, pencegahan insiden BBLR lebih diutamakan dalam usaha menekan


Angka Kematian Bayi (Mahayana et al., 2015).
Nutrisi bayi yang berusia 0-6 bulan cukup terpenuhi dari ASI
saja (ASI Eksklusif). Bayi prematur 28 minggu, target volume per hari
180 ml/kg/hari. Untuk bayi prematur usia >32 - < 37 minggu atau 1500-
2500 gram atau risiko rendah, nutrisi enteral dimulai segera setelah
lahir dan terdapat produksi ASI. Nutrisi enteral diberikan 30-60
ml/kg/hari dan dibagi menjadi 8 kali per hari. Sebelum tercapai full
feed, nutrisi parenteral biasa juga diberikan (Rohsiswatmo & Amandito,
2020).

Tabel 2. Metaanalisis kandungan ASI tiap 100 ml sesuai usia pasca


kelahiran
Energi Protein (g) Lemak (g) Kalsium Fosfor
(kkal) (mg) (mg)
Minggu Premature 60(45-75) 2,2(0,3-4,1) 2,6(0,5-4,7) 26(9-43) 11(1-22)
ke- 1 Cukup 60(44-77) 1,8(0,4-3,2) 2,2(0,7-3,7) 26(16-36) 12(6-18)
bulan
Minggu Premature 71(49-94) 1,5(0,8-2,3) 3,5(1,2-5,7) 25(11-39) 15(8-21)
ke- 2 Cukup 67(47-86) 1,3(0,8-2,3) 3,0(1,2-4,8) 28(14-42) 17(8-27)
bulan
Minggu Premature 77(61-92) 1,4(0,6-2,2) 3,5(1,6-5,1) 25(13-36) 14(8-20)
ke- 3 Cukup 66(48-85) 1,2(0,8-1,6) 3,3(1,6-5,1) 27(18-36) 16(10-22)
bulan
Minggu Premature 66(39-94) 1,0(0,6-1,4) 3,7(0,8-6,5) 29(19-38) 12(8-15)
ke- 4 Cukup 65(50-86) 0,9(0,6-1,2) 3,4(1,6-5,2) 26914-38) 16(9-22)
bulan
Sumber : (Hendarto et al., 2016)
Menurut (Setiyani et al., 2016) hal-hal perlu diperhatikan dalam
pemenuhan kebutuhan nutrisi bayi adalah sebagai berikut :
1) Berikan ASI yang pertama keluar dan berwarna kekuningan
(kolostrum)
2) Jangan beri makanan/minuman selain ASI
3) Susui bayi sesering mungkin
4) Susui setiap bayi menginginkan, paling sedikit 8 kali sehari
5) Jika bayi tidur lebih dari 3 jam, bangunkan lalu susui.
6) Susui dengan payudara kanan dan kiri secara bergantian
8

7) Susui sampai payudara terasa kosong, lalu pindah ke payudara sisi


lainnya
8) Susui anak dalam kondisi menyenangkan, nyaman dan penuh
perhatian
9) Dukungan suami dan keluarga penting dalam keberhasilan ASI
Eksklusif.

c) Asfiksia
Asfiksia neonatorum adalah kegagalan untuk memulai dan
melanjutkan pernafasan secara spontan dan teratur pada saat bayi baru
lahir atau beberapa saat sesudah lahir. Asfiksia berarti hipoksia yang
progresif, penimbunan CO2 dan asidosis. Bila proses ini berlangsung
terlalu jauh dapat mengakibatkan kerusakan otak atau kematian pada
bayi. Dampak terjadinya asfiksia dapat menyebabkan risiko kematian
BBL, sehingga diperlukan penanganan yang cepat dan tepat dalam
mengatasi permasalahan tersebut (Aminah, 2019).
Kejadian asfiksia juga disebabkan karena bayi dengan BBLR,
karena tidak sempurnanya pertumbuhan bayi sehingga mempengaruhi
dari kondisi fisik bayi. Asfeksia juga bias disebabkan kurangnya
kebutuhan nutrisi dari tubuh ibu untuk keperluan janin sehingga ibu
mengalami anemia terutama dengan ibu hamil kembar (Aminah, 2019).

2. Penentuan Status Gizi pada Bayi Baru Lahir


Status gizi merupakan keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi
makanan dan penggunaan zat gizi, dimana zat gizi sangat dibutuhkan oleh
tubuh sebagai sumber energi, pertumbuhan dan pemeliharaan jaringan
tubuh, serta pengatur proses tubuh. Penilaian status gizi dapat diukur
berdasarkan pengukuran antropometri yang terdiri dari variabel umur, berat
badan (BB) dan tinggi badan (TB). Umur sangat memegang peranan dalam
penentuan status gizi, kesalahan penentuan akan menyebabkan interpretasi
status gizi yang salah. Hasil penimbangan berat badan maupun tinggi badan
yang akurat, menjadi tidak berarti bila tidak disertai dengan penentuan umur
9

yang tepat. Ketentuan yang digunakan dalam perhitungan umur adalah 1


tahun adalah 12 bulan, 1 bulan adalah 30 hari sehingga perhitungan umur
adalah dalam bulan penuh yang artinya sisa umur dalam hari tidak
diperhitungkan (Septikasari, 2018).
Berat badan merupakan salah satu ukuran yang memberikan gambaran
massa jaringan, termasuk cairan tubuh. Berat badan sangat peka terhadap
perubahan yang mendadak baik karena penyakit infeksi maupun konsumsi
makanan yang menurun. Sedangkan tinggi badan memberikan gambaran
fungsi pertumbuhan yang dilihat dari keadaan kurus kering dan kecil
pendek. Tinggi badan sangat baik untuk melihat keadaan gizi masa lalu
terutama yang berkaitan dengan keadaan berat badan lahir rendah dan
kurang gizi pada masa balita (Septikasari, 2018).
Status gizi diukur berdasarkan umur, berat badan (BB) dan tinggi
badan (TB). Untuk memperoleh data berat badan dapat digunakan
timbangan dacin atau timbangan injak yang memiliki presisi 0,1 kg.
Timbangan dacin atau timbangan anak digunakan untuk menimbang anak
sampai umur 2 tahun atau selama anak masih bisa dibaringkan/duduk
tenang. Panjang badan diukur dengan length-board dengan presisi 0,1 cm
dan tinggi badan diukur dengan menggunakan microtoise dengan presisi 0,1
cm. Variabel BBdan TB anak ini dapat disajikan dalam bentuk tiga
indikator antropometri, yaitu: berat badan menurut umur (BB/U), tinggi
badan menurut umur (TB/U), dan berat badan menurut tinggi badan
(BB/TB).
Dalam menilai status gizi anak, angka berat badan dan tinggi badan
setiap anak dikonversikan ke dalam bentuk nilai terstandar (Z-score) dengan
menggunakan baku antropometri WHO 2005. Selanjutnya berdasarkan nilai
Z-Score masing-masing indikator tersebut ditentukan status gizi balita
dengan batasan sebagai berikut:

a) Berdasarkan indikator BB/U


Berat badan merupakan parameter yang memberikan gambaran massa
tubuh. Massa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan perubahan yang
10

mendadak, seperti adanya penyakit infeksi, menurunnya nafsu makan


atau menurunnya jumlah makanan yang dikonsumsi. Berat badan
adalah parameter antropometri yang sangatlabil. Dalam keadaan
normal, dimana keadaan kesehatan baik dan keseimbangan antara
konsumsi dan kebutuhan zat gizi terjamin, maka berat badan
berkembang mengikuti pertambahan umur. Sebaliknya dalam keadaan
yang abnormal, terdapat 2 kemungkinan perkembangan berat badan,
yaitu dapat berkembang cepat atau lebih lambat badan menurut umur
digunakan sebagai salah satu cara pengukuran status gizi. Mengingat
karakteristik berat badan yang labil, maka indeks BB/Ulebih
menggambarkan status gizi seseorang saat ini. Berikut ini merupakan
klasifikasi status gizi berdasarkan indikator BB/U:
- Gizi buruk : Z-score< -3,0
- Gizi kurang : Z-score ≥ -3,0 s/d Z-score< -2,0
- Gizi baik : Z-score ≥ -2,0 s/d Z-score ≤ 2,0
- Gizi lebih: Z-score> 2,0

Pemantauan pertumbuhan normal anak berdasarkan indeks


antropometri berat badan menurut umur dapat dilakukan dengan
menggunakan kurva pertumbuhan pada kartu menuju sehat (KMS).
Dengan KMS gangguan pertumbuhan atau risiko kekurangan dan
kelebihan gizi dapat diketahui lebih dini, sehingga dapat dilakukan
tindakan pencegahan secara lebih cepat sebelum masalah lebih besar.
Status pertumbuhan anak dapat diketahui dengan dua cara yaitu dengan
menilai garis pertumbuhannya, atau dengan menghitung kenaikan berat
badan anak dibandingkan dengan kenaikan berat badan minimum.
Kesimpulan dari penentuan status pertumbuhan dikatakan naik jika
grafik BB mengikuti garis pertumbuhan atau kenaikan BB sama dengan
KBM (kenaikan BB minimal) atau lebih. Tidak naik jika grafik BB
mendatar atau menurun memotong garis pertumbuhan di bawahnya
atau kenaikan BB kurang dari KBM. Berat badan balita di bawah garis
11

merah menunjukan adanya gangguan pertumbuhan pada balita yang


membutuhkan konfirmasi status gizi lebih lanjut (Septikasari, 2018).

b) Berdasarkan indikator TB/U


Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan
pertumbuhan skeletal. Dalam keadaan normal, pertumbuhan tinggi
badan sejalan dengan pertambahan umur. Tidak seperti berat badan,
pertumbuhan tinggi badan relatif kurang sensitif terhadap masalah
kekurangan gizi dalam waktu yang pendek. Sehingga pengaruh
defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan akan nampak dalam waktu
yang relatif lama. Dengan demikian maka indikator TB/Ulebih
tepatuntuk menggambarkan pemenuhan gizi pada masa lampau.
indikator TB/U sangat baik untuk melihat keadaan gizi masa lalu
terutama yang berkaitan dengan keadaan berat badan lahir rendah dan
kurang gizi pada masa balita. Selain itu indikator TB/U juga
berhubungan erat dengan status sosial ekonomi dimana indikator
tersebut dapat memberikan gambaran keadaan lingkungan yang tidak
baik, kemiskinan serta akibat perilaku tidak sehat yang bersifat
menahun. Berikut ini merupakan klasifikasi status gizi berdasarkan
indikator TB/U:
- Sangat pendek : Z-score< -3,0
- Pendek : -score ≥ -3,0 s/d Z-score< -2,0
- Normal : 0 Z-score ≥ -2,0
- Tinggi : Z-score > 2,0
(Septikasari, 2018)

c) Berdasarkan indikator BB/TB


BB/TB merupakan indikator pengukuran antropometri yang paling
baik, karena dapat menggambarkan status gizi saat ini dengan lebih
sensitif dan spesifik. Berat badan berkorelasi linier dengan tinggi badan,
artinya perkembangan berat badan akan diikuti oleh pertambahan tinggi
badan. Oleh karena itu, berat badan yang normal akan proporsional
12

dengan tinggi badannya. Berikut ini merupakan klasifikasi status gizi


berdasarkan indikator BB/TB :
- Sangat kurus : Z-score< -3,0
- Kurus : Z-score ≥ -3,0 s/d Z-score< -2
- Normal : Z-score ≥ -3,0 s/d Z-score< -2
- Gemuk : Z-score > 2,0

Berdasarakan indikator-indikator tersebut, terdapat beberapa istilah


terkait status gizi balita yang sering digunakan (Kemenkes RI, 2011). 1.
Gizi kurang dan gizi buruk adalah status gizi yang didasarkan pada
indeks berat badan menurut umur (BB/U) yang merupakan padanan
istilah underweight (gizi kurang) dan severely underweight (gizi buruk).
2. Pendek dan sangat pendek adalah status gizi yang didasarkan pada
indeks panjang badan menurut umur (PB/U) atau tinggi badan menurut
umur (TB/U) yang merupakan padanan istilah stunted (pendek) dan
severely stunted (sangat pendek). 3. Kurus dan sangat kurus adalah
status gizi yang didasarkan pada indeks berat badan menurut panjang
badan (BB/PB) atau berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) yang
merupakan padanan istilah wasted (kurus) dan severely wasted (sangat
kurus) (Septikasari, 2018).

3. Kebutuhan Gizi pada Bayi Baru Lahir


Bayi (usia 0-11 bulan) merupakan masa pertumbuhan dan
perkembangan yang pesat yang mencapai puncaknya pada usia 24 bulan,
sehingga kerap diistilahkan sebagai periode emas sekaligus periode kritis.
Periode emas dapat diwujudkan apabila pada masa ini bayi memperoleh
asupan gizi yang sesuai untuk tumbuh kembang optimal. Sebaliknya apabila
bayi pada masa ini tidak memperoleh makanan sesuai kebutuhan gizinya,
maka periode emas akan berubah menjadi periode kritis yang akan
mengganggu tumbuh kembang bayi dan anak, baik pada saat ini maupun
masa selanjutnya. Untuk mencapai tumbuh kembang optimal, di dalam
Global Strategy for Infant and Young Child Feeding, WHO/UNICEF
13

merekomendasikan empat hal penting yang harus dilakukan yaitu; pertama


memberikan air susu ibu kepada bayi segera dalam waktu 30 menit setelah
bayi lahir, kedua memberikan hanya air susu ibu (ASI) saja atau pemberian
ASI secara eksklusif sejak lahir sampai bayi berusia 6 bulan, ketiga
memberikan makanan pendamping air susu ibu (MP-ASI) sejak bayi berusia
6 bulan sampai 24 bulan, dan keempat meneruskan pemberian ASI sampai
anak berusia 24 bulan atau lebih (Misrawatie, 2013).
Di Indonesia, Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang
kesehatan pasal 128 ayat 1 menyatakan bahwa, “setiap bayi berhak
mendapatkan air susu ibu eksklusif sejak dilahirkan selama 6 (enam) bulan,
kecuali atas indikasi medis”. Kebutuhan energi bayi yang cukup selama
tahun pertama kehidupan sangat bervariasi menurut usia dan berat badan.
Taksiran kebutuhan energi selama 2 bulan pertama, yaitu masa
pertumbuhan cepat, adalah 120 kkal/kg BB/hari. Secara umum, selama 6
bulan pertama kehidupan, bayi memerlukan energi sebesar kira-kira 115-
120 kkal/Kg/hari, yang kemudian berkurang sampai sekitar 105 – 110
kkal/Kg/hari pada 6 bulan sesudahnya (Misrawatie, 2013).
Energi dipasok terutama oleh karbohidrat dan lemak. Protein juga
dapat digunakan sebagai sumber energi, terutama jika sumber lain sangat
terbatas. Kebutuhan akan energi dapat ditaksir dengan cara mengukur luas
permukaan tubuh, atau menghitung secara langsung konsumsi energi itu:
yang hilang dan terpakai. Namun cara yang terbaik adalah dengan
mengamati pola pertumbuhan yang meliputi berat dan tinggi badan, lingkar
kepala, kesehatan dan kepuasan bayi. Asupan energi dapat diperkirakan
dengan jalan menghitung besaran energi yang dikeluarkan. Jumlah energi
dapat ditentukan secara “sangat” sederhana berdasarkan berat badan. Bayi
seberat 0 – 10 Kg memerlukan 100 kkal/Kg BB. Mereka yang beratnya 11-
20 Kg membutuhkan 1000 Kg kkal ditambah dengan 50 kkal/Kg BB untuk
kelebihan berat diatas 10 Kg, misalnya untuk 1 Kg pada 11 Kg. Angka
kecukupan energi berdasarkan tabel AKG 2004 adalah 550 kkal untuk usia
0-6 bulan dan 650 kkal untuk usia 7-11 bulan (Misrawatie, 2013).
14

Bayi membutuhkan lemak yang tinggi dibandingkan usia yang lebih


tua, sebab lemak digunakan sebagai penyuplai energi. Lebih dari 54% suplai
energi berasal dari lemak. Energi dari lemak terutama dibutuhkan oleh bayi
dalam keadaan sakit atau dalam tahap penyembuhan. Air Susu Ibu memasok
sekitar 40- 50% energi sebagai lemak (3- 4g/100cc). Lemak minimal harus
menyediakan 30% energi, yang dibutuhkan bukan saja untuk mencukupi
kebutuhan energi, tetapi juga untuk memudahkan penyerapan asam lemak
esensial, vitamin yang larut dalam lemak, kalsium serta mineral lainnya, dan
juga untuk menyeimbangkan diet agar zat gizi lain tidak terpakai sebagai
sumber energi. Setidaknya 10% asam lemak sebaiknya dalam bentuk tak
jenuh ganda, yang biasanya dalam bentuk asam linoleat. Asam linoleat juga
merupakan asam lemak esensial. Asam ini terkandung dalam sebagian besar
minyak tetumbuhan. Sayang sekali jumlah kebutuhan yang tepat belum
diketahui dengan pasti. Dari Air Susu ibu, bayi menyerap sekitar 85-90%
lemak. Enzim lipase didalam mulut (lingual lipase) mencerna zat lemak
sebesar 50- 70% (Misrawatie, 2013).
Tergantung pada besarnya kebutuhan akan energi. Sebaiknya 60-70%
energi dipasok oleh karbohidrat. Jenis karbohidrat yang sebaiknya diberikan
adalah laktosa, bukan sukrosa, karena laktosa bermanfaat untuk saluran
pencernaan bayi. Manfaat ini berupa pembentukan flora yang bersifat asam
dalam usus besar sehingga penyerapan kalsium meningkat dan penyerapan
fenol dapat dikurangi. Pada ASI dan sebagian susu formula, laktosa menjadi
sumber karbohidrat utama. Sumber energi pasokan karbohidrat diperkirakan
sebesar 40-50% yang sebagian besar dalam bentuk laktosa (Misrawatie,
2013).
Besaran pasokan protein dihitung berdasarkan kebutuhan untuk
bertumbuh-kembang dan jumlah nitrogen yang hilang lewat air seni, tinja
dan kulit. Mutu protein bergantung pada kemudahannya untuk dicerna dan
diserap (digestibility dan absorpability) serta komposisi asam amino
didalamnya. Jika asupan asam amino kurang, pertumbuhan jaringan dan
organ, berat dan tinggi badan, serta lingkar kepala akan terpengaruh. Jika
15

dihitung berdasarkan berat badan, besar kebutuhan protein bayi adalah 2,2
g/kg/hari pada usia <6 bulan dan 2 g/kg/hari pada usia 6-12 bulan. Asupan
protein yang berlebihan dapat menyebabkan intoksikasi protein, yang
menampilkan gejala seperti letargi, hiperammonemia, dehidrasi, dan diare.
Dalam menghitung kebutuhan protein berdasarkan ASI, perlu dipikirkan
faktor lain disamping “kemudahcernaannya”. Didalam ASI yang
mengandung nitrogen, banyak komponen berisi faktor-faktor yang berperan
sebagai sesuatu yang tidak berkaitan dengan fungsi protein itu sendiri.
Laktoferin, misalnya, berfungsi sebagai antibakteri (Misrawatie, 2013).
Kebutuhan bayi akan cairan berkaitan dengan asupan energi, suhu
lingkungan, kegiatan fisik, kecepatan pertumbuhan dan berat jenis air seni.
Air menyusun kira-kira 70% berat badan pada saat lahir yang kemudian
menurun sampai 60% menjelang bayi berusia 12 bulan. Jumlah air yang
dibutuhkan oleh bayi (dan anak) lebih besar 50% dibanding kebutuhan
orang dewasa. Rasio cairan: energi adalah 1,5cc/ 1 kkal (rasio orang dewasa
= 1cc/kkal) Selain tergantung suhu dan kelembaban udara, serta berat badan
dan aktivitas bayi, rata-rata kebutuhan cairan bayi sehat sehari berkisar 80-
100 ml/kg dalam minggu pertama usianya hingga 140-160 ml/kg pada usia
3-6 bulan. Jumlah ini dapat dipenuhi cukup dari ASI saja jika dilakukan
pemberian ASI eksklusif dan tidak dibatasi (sesuai ‘permintaan’ bayi, siang
dan malam), karena dua sebab :
a. ASI terdiri dari 88% air. Kandungan air dalam ASI yang diminum bayi
selama pemberian ASI eksklusif sudah mencukupi kebutuhan bayi dan
sesuai dengan kesehatan bayi. Bahkan bayi baru lahir yang hanya
mendapat sedikit ASI pertama (kolostrum - cairan kental kekuningan),
tidak memerlukan tambahan cairan karena bayi dilahirkan dengan
cukup cairan di dalam tubuhnya. ASI dengan kandungan air yang lebih
tinggi biasanya akan ‘keluar’ pada hari ketiga atau keempat.
b. ASI mempunyai kandungan bahan larut yang rendah. Salah satu fungsi
utama air adalah untuk menguras kelebihan bahan-bahan larut melalui
air seni. Zat-zat yang dapat larut (misalnya sodium, potasium, nitrogen,
16

dan klorida) disebut sebagai bahan-bahan larut. Ginjal bayi yang


pertumbuhannya belum sempurna hingga usia tiga bulan, mampu
mengeluarkan kelebihan bahan larut lewat air seni untuk menjaga
keseimbangan kimiawi di dalam tubuhnya. Oleh karena ASI
mengandung sedikit bahan larut, maka bayi tidak membutuhkan air
sebanyak anak-anak atau orang dewasa.
Kebutuhan cairan bayi usia 6- 11 bulan umunya dapat dipenuhi dari
ASI saja. Cairan tambahan dapat diperoleh dari buah atau jus buah, sayuran,
atau sedikit air matang setelah pemberian makan. Penting diperhatikan
untuk menjamin bahwa air putih dan cairan lain tidak menggantikan ASI.
Air dapat menghilangkan atau mengencerkan kandungan gizi dari makanan
pendamping kaya energi. Energi yang dihasilkan dari bubur, sop, kaldu, dan
makanan cair lain yang diberikan kepada bayi umumnya di bawah batas
yang dianjurkan untuk makanan pendamping (0,6 kcal/g). Mengurangi
jumlah air yang ditambahkan pada makanan ini dapat meningkatkan kondisi
gizi anak dalam kelompok usia ini (Misrawatie, 2013).

4. Peran Zat Gizi pada Bayi Baru Lahir


Peranan gizi dalam siklus hidup manusia sudah tidak diragukan lagi.
Gangguan pertumbuhan dan perkembangan dapat terjadi jika gizi dimasa
bayi dan anak tidak terpenuhi dan tidak diatasi secara dini. Gangguan ini
dapat berlanjut hingga dewasa. Bahkan kekurangan gizi pada ibu hamil
dapat menyebabkan Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR). Status gizi ibu
sebelum hamil mempunyai risiko 4,27 kali untuk melahirkan bayi BBLR
dibandingkan dengan ibu yang mempunyai status gizi baik (Setiyani et al.,
2016).
Gizi dan kesehatan balita merupakan salah satu hak asasi anak. Janin
sejak dalam kandungan ibu, mempunyai hak untuk hidup dan tumbuh
kembang menjadi anak yang mampu mengekspresikan diri. Kehidupan awal
anak berawal dari bertemunya sel mani dan sel telur dalam rahim ibu. Otak
tumbuh sejak awal gestasi dan terus tumbuh dan berkembang pesat ketika
usia mencapai 2 tahun. Bayi (usia 0-11 bulan) merupakan masa
17

pertumbuhan dan perkembangan yang pesat yang mencapai puncaknya pada


usia 24 bulan, sehingga kerap diistilahkan sebagai periode emas sekaligus
periode kritis. Periode emas dapat diwujudkan apabila pada masa ini bayi
memperoleh asupan gizi yang sesuai untuk tumbuh kembang optimal.
Sebaliknya apabila bayi pada masa ini tidak memperoleh makanan sesuai
kebutuhan gizinya, maka periode emas akan berubah menjadi periode kritis
yang akan mengganggu tumbuh kembang bayi dan anak, baik pada saat ini
maupun masa selanjutnya (Setiyani et al., 2016).
Menurut (Setiyani et al., 2016) untuk mencapai tumbuh kembang
optimal, 4 hal penting yang harus dilakukan yaitu :
a. Memberikan air susu ibu kepada bayi segera dalam waktu 30 menit
setelah bayi lahir.
b. Memberikan hanya air susu ibu (ASI) saja atau pemberian ASI secara
eksklusif sejak lahir sampai bayi berusia 6 bulan.
c. Memberikan makanan pendamping air susu ibu (MP-ASI) sejak bayi
berusia 6 bulan sampai 24 bulan.
d. Meneruskan pemberian ASI sampai anak berusia 24 bulan atau lebih.
Kebutuhan energi bayi yang cukup selama tahun pertama kehidupan
sangat bervariasi menurut usia dan berat badan. Taksiran kebutuhan energi
selama 2 bulan pertama, yaitu masa pertumbuhan cepat, adalah 120 kkal/kg
BB/hari. Secara umum, selama 6 bulan pertama kehidupan, bayi
memerlukan energi sebesar kira-kira 115-120 kkal/Kg/hari, yang kemudian
berkurang sampai sekitar 105 – 110 kkal/Kg/hari pada 6 bulan sesudahnya.
Energi dipasok terutama oleh karbohidrat dan lemak. Protein juga dapat
digunakan sebagai sumber energi, terutama jika sumber lain sangat terbatas.
Kebutuhan akan energi dapat ditaksir dengan cara mengukur luas
permukaan tubuh, atau menghitung secara langsung konsumsi energi itu:
yang hilang dan terpakai. Namun cara yang terbaik adalah dengan
mengamati pola pertumbuhan yang meliputi berat dan tinggi badan, lingkar
kepala, kesehatan dan kepuasan bayi (Setiyani et al., 2016).
18

Bayi membutuhkan lemak yang tinggi dibandingkan usia yang lebih


tua, sebab lemak digunakan sebagai penyuplai energi. Lebih dari 54% suplai
energi berasal dari lemak. Energi dari lemak terutama dibutuhkan oleh bayi
dalam keadaan sakit atau dalam tahap penyembuhan (Brown and Isaacs,
2002) Air Susu Ibu memasok sekitar 40- 50% energi sebagai lemak (3-
4g/100cc). Lemak minimal harus menyediakan 30% energi, yang
dibutuhkan bukan saja untuk mencukupi kebutuhan energi, tetapi juga untuk
memudahkan penyerapan asam lemak esensial, vitamin yang larut dalam
lemak, kalsium serta mineral lainnya, dan juga untuk menyeimbangkan diet
agar zat gizi lain tidak terpakai sebagai sumber energy (Setiyani et al.,
2016).
Kebutuhan akan karbohidrat bergantung pada besarnya kebutuhan akan
energi. Sebaiknya 60-70% energi dipasok oleh karbohidrat. Jenis
karbohidrat yang sebaiknya diberikan adalah laktosa, bukan sukrosa, karena
laktosa bermanfaat untuk saluran pencernaan bayi. Manfaat ini berupa
pembentukan flora yang bersifat asam dalam usus besar sehingga
penyerapan kalsium meningkat dan penyerapan fenol dapat dikurangi. Pada
ASI dan sebagian susu formula, laktosa menjadi sumber karbohidrat utama.
Sumber enerhi pasokan karbohidrat diperkirakan sebesar 40-50% yang
sebagian besar dalam bentuk laktosa (Setiyani et al., 2016).

5. Faktor Yang Mempengaruhi Gizi pada Bayi Baru Lahir


Menurut (Septikasari, 2018) ada 2 yaitu faktor langsung dan tidak
langsung. Faktor langsung yaitu asupan gizi yang kurang dan penyakit
infeksi. Kurangnya asupan gizi dapat disebabkan karena terbatasnya jumlah
asupan makanan yang dikonsumsi atau makanan yang tidak memenuhi unsur
gizi yang dibutuhkan. Sedangkan infeksi menyebabkan rusaknya beberapa
fungsi organ tubuh sehingga tidak bisa menyerap zat-zat makanan secara
baik.
Faktor tidak langsung yaitu kebersihan lingkungan, ekonomi, budaya,
fasilitas kesehatan. Faktor mendasar atau akar masalah gizi adalah terjadinya
19

krisis ekonomi, politik dan sosial termasuk bencana alam, yang


mempengaruhi ketersediaan pangan, pola asuh dalam keluarga dan pelayanan
kesehatan serta sanitasi yang memadai, yang pada akhirnya mempengaruhi
status gizi (Septikasari, 2018).

6. Penanganan Bidan dalam Masalah Gizi pada Bayi Baru Lahir


Bidan merupakan tenaga kesehatan profesional yang dalam
pelaksanaan tugasnya berperan untuk memberikan pelayanan kebidanan.
Pelaksanaan pelayanan kebidanan erat kaitannya dengan pelayanan gizi.
Sasaran pelayanan kebidanan diantaranya adalah perempuan selama masa
sebelum hamil, masa kehamilan, persalinan, pasca persalinan, masa nifas,
bayi baru lahir, bayi, dan balita yang semuanya juga merupakan sasaran dari
pelayanan gizi. Bidan dari segi pelaksanaan tugas juga dibekali
keterampilan terkait dengan pelayanan gizi (Rosita & Nurlinawati, 2021).
Berdasarkan pedoman pelayanan gizi di puskesmas disebutkan bahwa
jika tidak tersedia nutrisionis di puskesmas, maka pelaksanaan tugas
perbaikan gizi dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan lain seperti perawat
atau bidan . Bidan di puskesmas dapat melakukan konseling ASI, dan
juga dapat berkoordinasi antara bidan dengan petugas gizi untuk
pelaksanaan konseling gizi agar tetap dilakukan (Rosita & Nurlinawati,
2021).
Menurut (Aisyaroh, 2016) lebih dari seperempat anak-anak Indonesia
kekurangan gizi. Persoalannya, banyak bayi yang tidak mendapatkan
makanan tepat dalam jumlah yang cukup. Awalnya, pilihan ideal adalah
memberikan Air Susu Ibu (ASI) eksklusif hingga usia bayi sekitar 6 bulan.
Sayangnya, di Indonesia, sekitar 4 bulan, jumlah bayi yang memperoleh
ASI eksklusif kurang dari seperempatnya.
Peran bidan untuk menganjurkan para ibu Bayi dianjurkan disusui
secara eksklusif selama 6 bulan pertama kehidupan dan pemberian ASI
dilanjutkan dengan didampingi makanan pendamping ASI, idealnya selama
dua tahun pertama kehidupan. Memberikan informasi detail tentang ASI
dan Perlindunganya terhadap infeksi yang paling besar terjadi selama
20

beberapa bulan pertama kehidupan. Lebih lama bayi mendapatkan ASI akan
memberikan efek protektif yang lebih kuat (Aisyaroh, 2016).
Menyadarkan para ibu betapa pentingnya ASI bagi bayi, pemerintah
juga menerbitkan PP No. 33 tahun 2012 tentang pemberian Air Susu Ibu
eksklusif sebagai bentuk dukungannya. PP ini bertujuan untuk menjamin
hak bayi dan memberikan perlindungan pada ibunya. Sekaligus juga
mengajak banyak pihak untuk mendukungnya: meningkatkan peran dan
dukungan keluarga, masyarakat, Pemerintah Daerah, dan Pemerintah
terhadap pemberian ASI eksklusif (Bab I pasal 2C. f) (Aisyaroh, 2016).
Salah satu faktor yang berpengaruh pada rendahnya pemberian ASI
eksklusif enam bulan adalah rendahnya pengetahuan ibu tentang manfaat
ASI bagi bayi dan manfaat menyusui bagi ibu, peran bidan lah yang menjadi
ujung tombak dalam keberhasilan program ASI eksklusif ini (Aisyaroh,
2016).

7. Program Pemerintah Saat Ini tentang Penanganan Gizi pada Bayi Baru
Lahir
Menurut (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2020) salah
satu program pemerintah pada masa pandemi COVID-19 yaitu dengan
pemenuhan asupan gizi seimbang sesuai umur anak :
a. Inisiasi Menyusu Dini/ IMD. Inisiasi menyusu dini (IMD)
diupayakan tetap dilakukan, sambil melakukan upaya pencegahan
penularan infeksi. Sebaiknya tetap berkonsultasi dengan tenaga
kesehatan. Namun, ibu dengan status PDP tidak dianjurkan IMD atau
menyusui langsung.
b. Bayi baru lahir sampai dengan berumur 6 bulan diberikan Air Susu
Ibu saja (ASI Eksklusif)
c. Bayi umur 6 bulan sampai 2 tahun lanjutkan pemberian ASI
ditambah Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) sesuai anjuran
pemberian makan bayi dan anak (PMBA) yang baik dan benar.
d. Anak umur 2 tahun keatas diberikan makanan keluarga yang
memenuhi gizi seimbang.
21

e. Bayi yang lahir dari ibu ODP bisa menyusu langsung dari ibu,
dengan melaksanakan prosedur perlindungan saluran napas dengan
baik, antara lain menggunakan masker bedah, mencuci tangan
dengan sabun dan air mengalir sebelum dan sesudah kontak bayi, dan
rutin membersihkan area permukaan dimana ibu melakukan kontak.
Dalam keadaan tidak bisa menjamin prosedur perlindungan saluran
napas dan pencegahan transmisi melalui kontak, maka bayi diberikan
ASI perah.
f. Bayi yang lahir dari ibu PDP atau terkonfirmasi COVID-19,
diberikan ASI perah. Pompa ASI hanya digunakan oleh ibu tersebut
dan dilakukan pembersihan pompa setelah digunakan, kebersihan
peralatan untuk memberikan ASI perah harus diperhatikan. Bayi
dimonitor ketat dan perlu di follow up hingga pulang.

B. Gagasan Ilmiah
1. Kasus I
Seorang bayi laki-laki lahir spontan 2 jam yang lalu di Rumah sakit, BB 2400
gr, PB 47 cm, Usia kehamilan 36 minggu. Hasil pemeriksaan: Frekuensi jantung
110x/menit, Terdapat banyak lanugo, reflex belum sempurna. Rencana prioritas
apakah yang paling tepat pada kasus tersebut?
Jawaban:
Bayi laki-laki tersebut termasuk dalam golongan bayi prematur karena
usia kehamilannya adalah 36 minggu, ditunjang dengan hasil pemeriksaan fisik
BB 2400 gr, PB 47 cm, dan reflex belum sempurna. Penentuan status gizi pada
bayi baru lahir adalah dengan cara pengukuran antropometri yang terdiri dari
variabel umur, BB dan PB. Tatalaksana awal dengan menjaga suhu optimal bayi,
memberi nutrisi adekuat dan melakukan pencegahan infeksi. Bayi tersebut
membutuhkan asupan nutrisi yang cukup untuk proses tumbuh kejar yang lebih
cepat.
22

Pemberian nutrisi adekuat bagi bayi prematur diharapkan dapat mencapai


tahapan tumbuh kembang yang optimal seperti bayi cukup bulan sehingga akan
diperoleh kualitas hidup yang juga optimal. Cara pemberian nutrisi pada bayi
prematur memperhatikan kematangan fungsi oral yaitu kemampuan mengisap
serta koordinasi mengisap, menelan, dan bernapas (Hendarto et al., 2016).

Tabel 1.Rute pemberian nutrisi pada bayi premature

Usia kehamilan Kematangan fungsi orang Rute pemberian nutrisi


<28 minggu - Refleks menghisap belum ada Parenteral
- Gerak dorong usus belum ada
28-32 minggu - Refleks menghisap payudara mulai Orogastric tube atau
ada nasogastric tube
- Belum ada koordinasi antara Sesekali dengan nipples
menghisap, menelan dan bernafas
32-34 minggu - Refleks menghisap hamper matang Dengan nipples
- Koordinasi antara mengisap,
menelan dan bernafas mulai ada
>34 minggu - Refleks menghisap telah matang Menyusu
- Koordinasi menghisap, menelan
dan bernafas telah terbentuk
sempurna
Sumber : (Hendarto et al., 2016)
Bayi prematur mempunyai kemampuan penyediaan nutrisi yang terbatas,
metabolisme yang belum matur, jalur penyerapan yang belum sempurna, dan
beberapa permasalahan yang berkaitan dengan belum matangnya proses
perkembangan fungsi oromotor sehingga berisiko terjadi kekurangan gizi.
Akibat sistem gastrointestinalnya yang imatur, bayi prematur memerlukan waktu
yang lama untuk memulai pemberian nutrisi (Rohsiswatmo & Amandito, 2020).
Kebutuhan gizi atau pemberian nutrisi dapat dimulai lebih awal yaitu di
24 jam pertama. Produk yang diberikan sebaiknya ASI dalam jumlah
10-15mg/kg/hari dan dibagi menjadi 8-12 kali per hari. Di hari selanjutnya,
volume minum dinaikkan perlahan 20-30ml/kg/hari dengan tetap dilanjutkannya
nutrisi parenteral (Rohsiswatmo & Amandito, 2020).
Peran zat gizi pada bayi baru lahir, yaitu air susu ibu yang merupakan
nutrisi paling direkomendasikan untuk bayi prematur karena efek
imunoprotektif, stimulasi maturitas fungsi gastrointestinal, dan faktor bioaktif
23

yang berkontribusi untuk luaran neurodevelopmental (LoE 3). Komposisi ASI


dari ibu yang melahirkan bayi prematur berbeda dari ibu yang melahirkan bayi
cukup bulan. ASI prematur pada awalnya mengandung lebih banyak protein,
lemak, asam amino bebas, dan natrium, tetapi beberapa minggu kemudian kadar
zat gizi tersebut menurun (Hendarto et al., 2016)
Kadar mineral ASI prematur sama dengan ASI cukup bulan, kecuali
untuk kalsium (lebih rendah di ASI prematur) dan tembaga atau seng (lebih
tinggi pada ASI prematur namun akan menurun seiring durasi menyusui).
Kandungan nutrien pada ASI prematur dan cukup bulan berdasarkan hasil
metaanalisis. Pemilihan ASI segar lebih dianjurkan karena mengandung
komponen bioaktif yang lebih tinggi dibandingkan ASI yang telah disimpan
(Hendarto et al., 2016).
Tabel 2.Metaanalisis kandungan ASI tiap 100 ml sesuai usia pasca kelahiran

Energi Protein (g) Lemak (g) Kalsium Fosfor


(kkal) (mg) (mg)
Minggu Premature 60(45-75) 2,2(0,3-4,1) 2,6(0,5-4,7) 26(9-43) 11(1-22)
ke- 1 Cukup 60(44-77) 1,8(0,4-3,2) 2,2(0,7-3,7) 26(16-36) 12(6-18)
bulan
Minggu Premature 71(49-94) 1,5(0,8-2,3) 3,5(1,2-5,7) 25(11-39) 15(8-21)
ke- 2 Cukup 67(47-86) 1,3(0,8-2,3) 3,0(1,2-4,8) 28(14-42) 17(8-27)
bulan
Minggu Premature 77(61-92) 1,4(0,6-2,2) 3,5(1,6-5,1) 25(13-36) 14(8-20)
ke- 3 Cukup 66(48-85) 1,2(0,8-1,6) 3,3(1,6-5,1) 27(18-36) 16(10-
bulan 22)
Minggu Premature 66(39-94) 1,0(0,6-1,4) 3,7(0,8-6,5) 29(19-38) 12(8-15)
ke- 4 Cukup 65(50-86) 0,9(0,6-1,2) 3,4(1,6-5,2) 26914-38) 16(9-22)
bulan
Sumber : (Hendarto et al., 2016)

Menurut (Setiyani et al., 2016) hal-hal perlu diperhatikan dalam


pemenuhan kebutuhan nutrisi bayi adalah sebagai berikut :
a. Berikan ASI yang pertama keluar dan berwarna kekuningan (kolostrum)
b. Jangan beri makanan/minuman selain ASI
24

c. Susui bayi sesering mungkin


d. Susui setiap bayi menginginkan, paling sedikit 8 kali sehari
e. Jika bayi tidur lebih dari 3 jam, bangunkan lalu susui.
f. Susui dengan payudara kanan dan kiri secara bergantian
g. Susui sampai payudara terasa kosong, lalu pindah ke payudara sisi lainnya
h. Susui anak dalam kondisi menyenangkan, nyaman dan penuh perhatian
i. Dukungan suami dan keluarga penting dalam keberhasilan ASI Eksklusif
Faktor yang mempengaruhi gizi pada bayi baru lahir yaitu :
1. Ibu yang pada saat hamil mengalami :
a. KEK
Suatu keadaan ibu kurangnya asupan protein dan energi pada
masa kehamilan yang dapat mengakibatkan timbulnya gangguan
kesehatan pada ibu dan janin. Janin tidak mendapatkan asupan gizi
yang optimal, sehingga pertumbuhan dan perkembangan janin
terganggu. Ibu hamil yang berisiko mengalami KEK dapat dilihat dari
pengukuran lingkar lengan atas (LILA) dengan nilai kurang dari 23,5
cm. KEK pada ibu hamil dapat menyebabkan risiko terjadnya anemia,
pendarahan, berat badan ibu tidak bertambah secara normal, terkena
penyakit infeksi, dan menjadi penyebab tidak langsung kematian ibu.
b. Anemia
Pada ibu hamil penting untuk memenuhi kebutuhan zat besi
selama kehamilan dengan suplementasi zat besi dan asam folat.
anemia berakibat terjadinya hambatan pertumbuhan janin akibat
kurangnya pasokan oksigen menuju janin. Ibu dengan anemia
beresiko peningkatan infeksi dan hipoksia kronis yang dapat
menginduksi stress pada maternal dan janin. Respon stres ini memicu
pelepasan hormon kortisol. Kortisol akan mengaktifkan aksis
hipotalamus-hipofisis-adrenal maternal ataupun janin. Melalui aksis
hipotalamus-hipofisis-adrenal janin, maka Corticotropin Releasing
Hormon (CRH) akan terbentuk lebih banyak. CRH memegang
25

peranan dalam jalur persalinan secara umum. Mekanisme CRH dalam


memicu persalinan.
2. Pemberian ASI petama (kolostrum) / IMD
Pentingnya pemberian kolostrum untuk pemenuhan gizi pada bayi
baru lahir. Asupan yang tinggi akan kandungan protein dan vitamin A
terdapat pada kolostrum. Kandungan tersebut sangat baik untuk kesehatan
pencernaan bayi yang baru dilahirkan. Selain itu, kolostrum juga
mengandung imunoglobulin, sehingga kolostrum juga dapat membantu
melindungi usus bayi yang baru lahir.
3. ASI Eksklusif
Sebisa mungkin, pastikan bayi mendapatkan ASI eksklusif selama
enam bulan untuk pemenuhan gizi bayi baru lahir.
Peran bidan memberikan edukasi bahwa prinsip menyusui bayi prematur
sama dengan neonatus pada umumnya. Sebaiknya ibu menyusui dari satu
payudara sampai habis sebelum menawarkan payudara lainnya agar produksi
susu lebih baik. Ibu harus dikonseling mengenai tanda bayi lapar, perlekatan
puting yang benar, cara memposisikan bayi pada payudara, dan frekuensi
menyusu yang baik. Bayi prematur yang diberikan nutrisi per oral lebih baik
diberikan berdasarkan tanda lapar bayi dibandingkan diberikan terjadwal,
kecuali jika bayi tertidur lebih dari 3 jam setelah minum terakhir. Cara
pemberian ini memperpendek masa rawat bayi.
Program pemerintah yaitu pentingnya bayi premature dalam
tercukupinya pemasukan gizinya, salah satunya melalui asi eksklusif. Cara agar
menjaga kualitas asi dengan banyak minum air putih serta makan protein
hewani. Yang dikhawatirkan jika ibu kekurangan nutrisi adalah selain stunting
dapat terjadi syndrome metabolic. Bayi prematur memiliki lebih banyak
masalah kesehatan dibandingkan bayi yang lahir dengan bulan yang cukup.
Diantaranya masalah pada organ otak, paru-paru, jantung, dan mata. Beberapa
bayi prematur harus dirawat di NICU agar mendapat perawatan khusus.
Keluarga adalah peranan yang paling penting untuk mencegah bayi terlahir
26

stunting, agar selalu memberikan nutrisi yang baik, perencanaan keluarga,


akses, faskes dan melaksanakan kegiatan pola hidup sehat.

2. Kasus II
Seorang wanita membawa anaknya umur 18 bulan ke Puskesmas dengan
keluhan berak cair sejak 2 hari yang lalu. Hasil anamnesis: berak 5 – 7 x/hari,
tidak ada muntah, makan dan minum tidak ada masalah. Hasil pemeriksaan: N
110 x/menit, S 37,5 oC, P 40 x/menit, mata tidak cekung, turgor kulit kembali 2
detik. Apakah tindakan awal yang tepat pada kasus tersebut?
Jawaban:
Anak laki-laki berumur 18 bulan tersebut mengalami diare tanpa
dehidrasi karena dari hasil pemeriksaan di dapati mata tidak cekung dan turgor
kulit cepat kembali.
Table 3. Derajat dehidrasi diare

Sumber : (Archietobias, 2016)


Tindakan awal yang dilakukan adalah karena anak berumur 18 bulan
dosis yang diberikan yaitu : oralit ½ - 1 gelas setiap kali anak mencret untuk
mencegah dehidrasi sampai diare berhenti, memberikan zinc (½ tablet ( 10 Mg )
sehari selama 10 hari berturut-turut meskipun diare sudah berhenti.
Oralit merupakan cairan yang terbaik bagi penderita diare untuk
mengganti cairan yang hilang. Bila penderita tidak bisa minum harus segera di
27

bawa ke sarana kesehatan untuk mendapat pertolongan cairan melalui infus.


Dosis oralit bagi penderita diare tanpa dehidrasi yaitu : umur < 1 tahun : ¼ - ½
gelas setiap kali anak mencret, umur 1 – 4 tahun : ½ - 1 gelas setiap kali anak
mencret, umur diatas 5 tahun : 1 – 1½ gelas setiap kali anak mencret
(Archietobias, 2016).
Pemberian zinc sulfat mampu menggantikan kandungan zinc sulfat alami
tubuh yang hilang dan mempercepat penyembuhan diare. Zinc sulfat juga
berperan meningkatkan kekebalan tubuh mencegah berulangnya diare 2 sampai
3 bulan ke depan. Tablet zinc sulfat dapat diberikan dengan cara dilarutkan
dalam air atau ASI, umur < 6 bulan : ½ tablet ( 10 Mg ) per hari selama 10 hari,
untuk anak usia > 6 bulan 1 tablet ( 20 mg) per hari selama 10 hari dapat
diberikan dengan cara dikunyah. Pemberian ASI tetap dilakukan, mulai
memberikan Makanan Pendamping ASI (MPASI) yang teksturnya lembut
seperti bubur, susu, dan pisang (Archietobias, 2016).
Pemberian probiotik pada pasien ini dirasa tidak perlu. Menurut World
Health Organization (WHO), probiotik mungkin bermanfaat untuk Antibiotic
Associated Diarrhea (AAD), tetapi karena kurangnya bukti ilmiah dari studi
yang dilakukan pada kelompok masyarakat, maka WHO belum
merekomendasikan penggunaan probiotik dalam tatalaksana diare. Perlu
diperhitungkan juga biaya tambahan yang dikeluarkan oleh pasien. Jika anak
masih mendapat ASI, teruskan pemberian ASI sebanyak dia mau. Jika anak mau
lebih banyak dari biasanya itu akan lebih baik (Archietobias, 2016).
Peranan zat gizi sangat penting yaitu Makanan dan ASI yang diberikan
lebih banyak akan membantu mempercepat penyembuhan, pemulihan dan
mencegah malnutrisi. Frekuensi dan durasi pemberian ASI yang normal adalah
sekitar 10-12 kali per hari dengan durasi 15 menit tiap kali menyusu. Pada
pasien ini, tidak dilakukan pemberian antibiotik. Pemberian antibiotik pada
pasien diare harus secara selektif. Antibiotik hanya diberikan ketika ada indikasi
seperti diare berdarah atau diare akibat kolera. Selain bahaya resistensi kuman,
pemberian antibiotik yang tidak tepat dapat membunuh flora normal yang justru
dibutuhkan tubuh (Archietobias, 2016).
28

Pada saat diare, terjadi proses peningkatan mortilitas atau pergerakan


usus untuk mengeluarkan kotoran atau racun. Anti diare akan menghambat
proses tersebut sehingga tidak boleh diberikan pada bayi dan anak. Pemberian
anti diare pada bayi dan anak justru dapat menimbulkan komplikasi berupa
prolapsus pada usus yang membutuhkan tindakan operasi (Archietobias, 2016).
Faktor yang mempengaruhi zat gizi yaitu faktor langsung seperti asupan
gizi yang kurang dan penyakit infeksi. Selain faktor langsung, status gizi juga
dipengaruhi faktor tidak langsung seperti kebersihan lingkungan, ekonomi,
budaya, fasilitas kesehatan, berikut yang mempengaruhi kejadian diare pada
bayi :
1. Kepemilikan jamban / tempat BAB dan kebersihan lingkungan
Kebiasaan keluarga BAB sembarangan meningkatkan kejadian diare
pada keluarga, maka dengan memiliki jamban dapat memutus rantai
penularan terutama diare
2. Ekonomi yang rendah membuat sulitnya pemenuhan gizi yang seimbang
Kurangnya makanan yang bergizi dalam makanan sehari-hari karna
ekonomi yang sulit menyebabkan pemenuhan gizi seimbang sangat kurang
memadai.
3. Pengelolaan sampah = tempat sampah terbuka dan tertutup
Pengelolaan sampah yang kurang baik,meningkatkan kejadian
penyakit tertentu di masyarakat seperti penyakit saluran pencernaan (diare,
kholera, thyphus, dan sebagainya), karena banyaknya lalat yang
hidup/berkembang biak terutama di tempat sampah.
4. Cara dan waktu mencuci tangan
Tidak mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir sebelum makan,
setelah buang air besar, serta tidak mencuci tangan sebelum menyiapkan
makanan atau menyiapkan susu untuk anak, dapat meningkatkan risiko
terjadinya penyakit diare
5. Riwayat ASI Eksklusif
ASI mengandung zat kekebalan (Lactobasilus bifidus, Lactoferin,
Lisozim/muramidase), dan beberapa antibodi lain yang dapat menghambat
29

pertumbuhan bakteri-bakteri patogen seperti E. coli, jamur dan bakteri


patogen lainnya yang akan melindungi bayi dari penyakit mencret (diare).
Peran bidan yaitu memberikan penyuluhan kepada ibu mengenai kondisi
daya tahan tubuh balita dengan usia kurang dari 2 tahun serta melakukan
pengawasan dan menjaga kebersihan benda-benda yang ada disekitar anak,
membiasakan anak mencuci tangan agar tidak menjadi media penyebaran
penyakit diare serta peningkatan penyuluhan mengenai pelaksanaan PHBS
dalam rumah tangga sebagai salah satu upaya peningkatan mencegah
penyebaran penyakit diare. Tidak lupa memberikan edukasi kepada ibu atau
keluarga pasien bagaimana cara pemberian oralit, zinc sulfat, ASI dan makanan,
serta tanda-tanda kapan pasien harus segera dibawa lagi ke tempat pelayanan
kesehatan, yaitu : BAB cair lebih sering, muntah berulang-ulang, mengalami
rasa haus yang nyata, makan atau minum sedikit, demam, tinja berdarah, dan
keluhan diare tidak membaik dalam waktu 3 hari.
Kebijakan yang ditetapkan pemerintah dalam menurunkan angka
kesakitan dan kematian karena diare adalah sebagai berikut :
1. Melaksanakan tata laksana penderita diare yang sesuai standar, baik di
sarana kesehatan maupun di rumah tangga. Melaksanakan surveilans
epidemiologi & Penanggulan Kejadian Luar Biasa.
2. Mengembangkan Pedoman Pengendalian Penyakit Diare.
3. Meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan petugas dalam pengelolaan
program yang meliputi aspek manejerial dan teknis medis.
4. Mengembangkan jejaring lintas sektor dan lintas program  Pembinaan
teknis dan monitoring pelaksanaan pengendalian penyakit diare.
5. Melaksanakan evaluasi sabagai dasar perencanaan selanjutnya.

Strategi pengendalian penyakit diare yang dilaksanakan pemerintah adalah :


1. Melaksanakan tatalaksana penderita diare yang standar di sarana kesehatan
melalui lima langkah tuntaskan diare ( LINTAS Diare).
2. Meningkatkan tata laksana penderita diare di rumah tangga yang tepat dan
benar.
30

3. Meningkatkan SKD dan penanggulangan KLB diare.


4. Melaksanakan upaya kegiatan pencegahan yang efektif.
5. Melaksanakan monitoring dan evaluasi.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pemberian ASI dalam pemenuhan gizi bayi baru lahir sebagai cara yang
optimal untuk diberikan. ASI memiliki unsur-unsur yang memenuhi semua
kebutuhan bayi akan nutrien selama periode 6 bulan, kecuali jika ibu mengalami
keadaan gizi kurang yang berat. Komposisi ASI akan berubah sejalan dengan
kebutuhan bayi. Pemberian ASI merupakan praktik yang unik dan bukan hanya
memberikan asupan nutrien dan energi yang memadai, tetapi juga asuhan
psikososial melalui pembentukan ikatan kasih sayang dengan ibu dan kesehatan
melalui unsur imunologik yang ada pada ASI. Kebutuhan zat gizi bayi sangat
bervariasi menurut usia dan berat badan. Pemberian makanan bayi yang optimal
adalah pemberian ASI aksklusif mulai dari saat lahir hingga usia 6 bulan dan terus
berlanjut hingga tahun kedua kehidupan. ASI terbukti berpengaruh pada gangguan
pertambahan berat bayi walaupun setelah dikontrol oleh faktor lainnya. Dengan
pemberian ASI dari bayi baru lahi maka konsumsi energi dan zat gizi dari ASI akan
menurunkan dampak pada kegagalan pertumbuhan bayi dan anak.

B. Saran
Peranan bidan dalam memberikan edukasi kepada ibu tentang gizi bayi baru
lahir perlu ditingkatkan agar gangguan pertumbuhan dan perkembangan yang dapat
terjadi jika gizi dimasa bayi dan anak tidak terpenuhi dan tidak diatasi secara dini
berakibat fatal dimasa yang akan datang. Optimalkan periode emas agar bisa
tumbuh kembang secara optimal pada bayi baru lahir.

31
DAFTAR PUSTAKA

Aisyaroh, N. (2016). Dukungan bidan dalam pemberian ASI eksklusif di desa


Sumbersari kecamatan Ngampel kabupaten Kendal. Laboratorium Penelitian Dan
Pengembangan FARMAKA TROPIS Fakultas Farmasi Universitas Mualawarman,
Samarinda, Kalimantan Timur, April, 5–24.
Aminah, F. (2019). Kejadian Asfiksia neonatorum pada bayi baru lahir. 3(1), 183–192.
Archietobias, M. A. (2016). Diare Akut Dan Dehidrasi Ringan-Sedang + Hipokalemia
Acute Diarrhea with Mild to Moderate Dehydration + Hypocalemia. Jurnal
Medula Unila, 4, 95–99.
Hendarto, A., Sulistijono, E., Alasiry, E., Irawan, G., & Utomo, martono tri. (2016).
Konsensus Asuhan Nutrisi pada Bayi Prematur. Ikatan Dokter Anak Indoonesia,
15–88. https://doi.org/10.1007/978-3-322-95497-8_1
Juniar, Devy Aulia; Rahayuning, Dina; Rahfiludin, M. Z. (2019). Faktor-Faktor Yang
Berhubugan Dengan Status GIzi Bayi Usia 0-6 Bulan (Studi Kasus Di WIlayah
Kerja Puskesmas Gebang, Kecamatan Gebang, Kabupaten Purworejo). Jurnal
Kesehatan Masyarakat, 7, 289–296.
KEMENKES. (2015). Profil Kesehatan Indonesia 2015. Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2020). Panduan Kesehatan Balita Pada
Masa Pandemi Covid-19. Kementrian Kesehatan RI, 1–30.
Mahayana, S. A. S., Chundrayetti, E., & Yulistini, Y. (2015). Faktor Risiko yang
Berpengaruh terhadap Kejadian Berat Badan Lahir Rendah di RSUP Dr. M. Djamil
Padang. Jurnal Kesehatan Andalas, 4(3), 664–673.
https://doi.org/10.25077/jka.v4i3.345
Misrawatie. (2013). Gizi Bayi. Jurnal Gizi Poltekes Kemenkes Gorontalo, 7, 1–17.
Rohsiswatmo, R., & Amandito, R. (2020). Optimalisasi Pertumbuhan Bayi Prematur
dan Pasca Prematur di Indonesia; Mengacu pada Pedoman Nutrisi Bayi Prematur
di RSCM. Sari Pediatri, 21(4), 262. https://doi.org/10.14238/sp21.4.2019.262-70
Rosita, R., & Nurlinawati, I. (2021). Penempatan Bidan Sebagai Tenaga Pelaksana Gizi
Di Puskesmas: Profesionalisme dan Kebutuhan Organisasi. Buletin Penelitian
Sistem …, 79–88.
http://ejournal2.litbang.kemkes.go.id/index.php/hsr/article/view/3296
Septikasari, M. (2018). Status Gizi Anak dan Faktor yang Mempengaruhi. UNY Press.
Setiyani, A., Sukesi, & Esyuananik. (2016). Asuhan Kebidanan Neonatus, Bayi, Balita
dan Anak Pra Sekolah. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.

32
33

Anda mungkin juga menyukai