Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

MASALAH GIZI BALITA STUNTING


Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Asuhan Kebidanan Neonatus,
Bayi, Balita & Anak Pra Sekolah
Dosen : Ibu Heny Rosiana, SST.,M.Keb

Disusun Oleh :

Lidya Rahmawati (P1337424122233)


Krisdiyanti Rukmana Duwi (P1337424122237)

PROGRAM STUDI DIII KEBIDANAN KELAS KENDAL

i
POLTEKKES KEMENKES SEMARANG
TAHUN 2023

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah Swt. yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami bisa menyelesaikan makalah tentang “
Masalah Gizi Balita Stunting ”

Tidak lupa juga kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah turut memberikan kontribusi dalam penyusunan makalah ini. Tentunya, tidak
akan bisa maksimal jika tidak mendapat dukungan dari berbagai pihak.

Sebagai penyusun, kami menyadari bahwa masih terdapat kekurangan, baik


dari penyusunan maupun tata bahasa penyampaian dalam makalah ini. Oleh karena itu,
kami dengan rendah hati menerima saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat
memperbaiki makalah ini.

Kami berharap semoga makalah yang kami susun ini memberikan manfaat dan
juga inspirasi untuk pembaca.

Kendal, 1 Agustus 2023

Kelompok 11

ii
DAFTAR ISI
COVER .................................................................................................................. i
KATA PENGANTAR .......................................................................................... ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
1. Latar Belakang ............................................................................................ 1
2. Rumusan Masalah ....................................................................................... 1
3. Tujuan Penulisan ......................................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................... 9
A. Penertian Masalah Gizi Balita Stunting ...................................................... 9
B. Ciri – ciri Stunting..................................................................................... 11
C. Sosial, Ekonomi, dan Budaya............................................................ ....... 17
D. Dampak Gizi Balita Stunting .................................................................... 18
E. Penanganan Gizi Balita Stunting .............................................................. 19
F. Penanganan Status Gizi Balita Stunting.....................................................20
G. Penilaian Status Gizi Balita Stunting ........................................................20
BAB III PENUTUP ............................................................................................. 21
A. Kesimpulan ............................................................................................... 21
B. Saran .......................................................................................................... 21
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 22

3
BAB l
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Anak merupakan investasi sumber daya manusia yang memerlukan
perhatian khusus untuk menjamin kecukupan gizi sejak lahir, bahkan sejak
dalam kandungan. Selama kehamilan, ibu makan apa pun yang dimakan janin.
Setelah lahir, semua yang dimakan bayi sejak usia dini merupakan fondasi
penting untuk kesehatan dan kebahagiaannya di masa depan. Balita akan
memiliki kesehatan yang baik jika sejak awal hidupnya dibekali dengan pola
makan yang sehat dan seimbang sehingga kualitas sumber daya manusia yang
dihasilkan optimal, sebaliknya jika tidak mendapatkan pola makan yang sehat.
awal kehidupan akan menimbulkan masalah gizi pada balita. Salah satu masalah
gizi yang ditimbulkan adalah stunting
Stunting adalah kondisi yang ditandai dengan kurangnya tinggi badan anak
apabila dibandingkan dengan anak-anak seusianya. Sederhananya, stunting
merupakan sebutan bagi gangguan pertumbuhan pada anak.
Penyebab utama dari stunting adalah kurangnya asupan nutrisi selama masa
pertumbuhan anak. Banyak yang tidak menyadari bahwa tinggi pendeknya anak
bisa menjadi tanda adanya masalah gizi kronis.
Anak yang mengidap stunting pasti berperawakan pendek. Anak dengan
asupan gizi terbatas sejak kecil dan telah berlangsung lama berisiko mengalami
pertumbuhan yang terhambat. Stunting (pendek) adalah salah satu bentuk gizi
kurang yang ditandai dengan tinggi badan menurut umur diukur dengan dari
keadaan yang berlangsung lama, misalnya: kemiskinan, perilaku hidup sehat
dan pola asuh/pemberian makan yang kurang baik dari sejak anak dilahirkan
yang mengakibatkan anak menjadi pendek. Masalah gizi terutama stunting pada
balita dapat menghambat perkembangan anak, dengan dampak negatif yang
akan berlangsung dalam kehidupan selanjutnya seperti penurunan intelektual,
rentan terhadap penyakit tidak menular, penurunan produktivitas hingga
menyebabkan kemiskinan dan risiko melahirkan bayi dengan berat lahir rendah

4
(UNICEF, 2012; dan WHO, 2010). Status Gizi anak dan balita harus sangat
dijaga dan diperhatikan oleh orang tua, karena terjadi malnutrisi pada masa ini
dapat mengakibatkan kerusakan yang sulit untuk pulih kembali. Sangat
mungkin ukuran tubuh pendek adalah salah satu indikator atau petunjuk
kekurangan gizi yang berkepanjangan pada balita. Kekurangan gizi yang lebih
fatal akan berdampak pada perkembangan otak (Agria dkk 2012 dalam Dewi
2013)
Menurut WHO, suatu negara dikatakan memiliki masalah stunting bila
kasusnya mencapai angka di atas 20%. Sementara, di Indonesia, berdasarkan
24,4% sehingga termasuk dalam masalah yang perlu ditangani.
Stunting merupakan masalah kesehatan yang sudah ada sejak lama, seperti gizi
buruk, terserang infeksi berkali-kali, kelahiran prematur, dan berat badan lahir
rendah.Namun, penyebab stunting yang paling banyak adalah karena
kekurangan gizi. Maka dari itu, Anda sebagai orang tua harus tahu bagaimana
cara mengatasi susah makan pada anak yang terkadang menjadi masalah umum
pada anak-anak, khususnya data Kemenkes pada tahun 2021, kasus balita
stunting di Indonesia sebanyak balita.
Menurut Sudiman (2008), stunting juga dapat dianggap sebagai adaptasi
fisiologis terhadap pertumbuhan atau non-patologis, karena dua penyebab
utamanya adalah asupan makanan yang tidak mencukupi dan respon yang tinggi
terhadap penyakit infeksi. Faktor yang dapat mempengaruhi stunting terbagi
menjadi dua jenis yaitu faktor langsung yaitu asupan makanan, penyakit infeksi,
berat badan lahir rendah dan genetik.
Faktor tidak langsung meliputi pengetahuan gizi, pendidikan orang tua, sosial
ekonomi, pola asuh, distribusi makanan dan ukuran keluarga/jumlah anggota
keluarga (Supariasa (2002), Lainua (2016). Banyak penelitian menunjukkan
bahwa keluarga dengan status sosial ekonomi rendah memiliki stunting yang
tinggi, menular. penyakit, tingkat pendidikan yang rendah, jumlah anggota
keluarga, pekerjaan ibu dan kebersihan lingkungan (Fikadu, dkk, 2014, Lainua,
2016).

5
1.2 Rumusan Masalah
Masalah Gizi Balita ( Stunting )
1. Mengetahui tentang Pengertian Masalah Gizi Balita Stunting
2. Mengetahui tentang Faktor – faktor pada masalah Gizi Balita Stunting
3. Mengetahui tentang Ciri Ciri Stunting
4. Mengetahui tentang Sosial, Ekonomi dan Budaya
5. Mengetahui tentang Dampak Stunting
6. Mengetahu tentang Upaya Pencegahan Stunting
7. Mengetahi tentang Penanganan Stuatus Gizi Stunting
8. Mengetahui tentang Penilaian Status Gizi Stunting

1.3 Tujuan Penulisan


1. Untuk mengetahui tentang masalah Stunting
2. Untuk mengetahui pada masalah Gizi Balita Stunting
3. Untuk mengetahui ciri ciri stunting
4. Untuk mengetahui Sosial, Ekonomi, dan Budaya
5. Untuk mengetahui Dampak Stunting
6. Untuk mengetahui Status Gizi Stunting

6
BAB II
PEMBAHASAN

A. Masalah Gizi Balita Stunting


Gizi adalah proses dimana organisme menggunakan makanan yang
biasa digunakan untuk mencerna, menyerap, mengangkut, menyimpan,
memetabolisme, dan mengeluarkan zat yang tidak digunakan untuk
mempertahankan kehidupan, pertumbuhan dan perkembangan, fungsi
normal organ dan pembangkitan energi. Jika gizi seseorang tidak terpenuhi
maka akan menimbulkan masalah gizi (Waryana, 2010).
Secara umum masalah gizi anak merupakan akibat dari
ketidakseimbangan antara suplai dan produksi zat gizi (nutrient balanced),
yaitu jumlah yang diberikan melebihi suplai atau sebaliknya. anak-anak
untuk makan. (Armen, 2009).
Anak merupakan investasi sumber daya manusia yang memerlukan
perhatian khusus untuk menjamin kecukupan gizi sejak lahir, bahkan sejak
dalam kandungan. Selama kehamilan, ibu makan apa pun yang dimakan
janin. Setelah lahir, semua yang dimakan bayi sejak usia dini merupakan
fondasi penting untuk kesehatan dan kebahagiaannya di masa depan. Balita
akan memiliki kesehatan yang baik jika sejak awal hidupnya dibekali
dengan pola makan yang sehat dan seimbang sehingga kualitas sumber daya
manusia yang dihasilkan optimal, sebaliknya jika tidak mendapatkan pola
makan yang sehat. awal kehidupan akan menimbulkan masalah gizi pada
balita. Salah satu masalah gizi yang ditimbulkan adalah stunting (Susilowati
dan Kuspriyanto, 2016).
Anak stunting sering terlihat seperti anak berukuran normal, tetapi
sebenarnya lebih pendek dari tinggi badan normal untuk usia mereka.
Stunting dimulai sebelum kelahiran karena status gizi ibu yang buruk
selama kehamilan, gizi buruk, kualitas makanan yang buruk, dan frekuensi
penyakit yang lebih besar (UNICEF 2010; Wiyogowati, 2012). Stunting

7
(kecil) didiagnosis dengan pemeriksaan antropometri. Tinggi badan anak
dinyatakan melalui tolak ukur rata-rata (median of references) yang
diterima secara internasional sebagai acuan menurut usia dan jenis kelamin.
Stunting adalah kondisi yang ditandai dengan kurangnya tinggi
badan anak apabila dibandingkan dengan anak-anak seusianya.
Sederhananya, stunting merupakan sebutan bagi gangguan pertumbuhan
pada anak.
Penyebab utama dari stunting adalah kurangnya asupan nutrisi
selama masa pertumbuhan anak. Banyak yang tidak menyadari bahwa
tinggi pendeknya anak bisa menjadi tanda adanya masalah gizi kronis.
Anak yang mengidap stunting pasti berperawakan pendek. Anak dengan
asupan gizi terbatas sejak kecil dan telah berlangsung lama berisiko
mengalami pertumbuhan yang terhambat.
Menurut WHO, suatu negara dikatakan memiliki masalah stunting
bila kasusnya mencapai angka di atas 20%. Sementara, di Indonesia,
berdasarkan data Kemenkes pada tahun 2021, kasus balita stunting di
Indonesia sebanyak 24,4% sehingga termasuk dalam masalah yang perlu
ditangani.
Stunting merupakan masalah kesehatan yang sudah ada sejak lama,
seperti gizi buruk, terserang infeksi berkali-kali, kelahiran prematur, dan
berat badan lahir rendah.Namun, penyebab stunting yang paling banyak
adalah karena kekurangan gizi. Maka dari itu, Anda sebagai orang tua harus
tahu bagaimana cara mengatasi susah makan pada anak yang terkadang
menjadi masalah umum pada anak-anak, khususnya balita.
2. Faktor – faktor yang menyebabkan Stunting
Faktor penyebab stunting Menurut Sudiman (2008), stunting juga
dapat dianggap sebagai adaptasi fisiologis terhadap pertumbuhan atau non-
patologis, karena dua penyebab utamanya adalah asupan makanan yang
tidak mencukupi dan respon yang tinggi terhadap penyakit infeksi. Faktor
yang dapat mempengaruhi stunting terbagi menjadi dua jenis yaitu faktor

8
langsung yaitu asupan makanan, penyakit infeksi, berat badan lahir rendah
dan genetik.
Faktor tidak langsung meliputi pengetahuan gizi, pendidikan orang
tua, sosial ekonomi, pola asuh, distribusi makanan dan ukuran
keluarga/jumlah anggota keluarga (Supariasa (2002), Lainua (2016).
Banyak penelitian menunjukkan bahwa keluarga dengan status sosial
ekonomi rendah memiliki stunting yang tinggi, menular. penyakit, tingkat
pendidikan yang rendah, jumlah anggota keluarga, pekerjaan ibu dan
kebersihan lingkungan (Fikadu, dkk, 2014, Lainua, 2016).
Faktor-faktor berikut dapat menyebabkan perlambatan:
a) Zat Gizi
Zat Gizi merupakan salah satu komponen yang sangat
penting dalam proses pertumbuhan dan perkembangan pada masa
kehamilan dan tumbuh kembang anak, apabila gizi tidak tersedia
atau tidak tersedia maka akan menghambat pertumbuhan dan
perkembangan anak (Hidayat, 2009).
b) Pemberian ASI Eksklusif dan Makanan Pendamping ASI (MP-ASI)
Bayi atau anak kecil yang diberikan ASI eksklusif dan
makanan pendamping ASI dengan kualitas, kuantitas dan jenis yang
kurang optimal dengan makanan yang terbatas berkontribusi
terhadap stunting (WHO, 2012).
c) Penyakit menular
Penyakit menular juga dapat menyebabkan stunting, tetapi
hal ini tergantung pada tingkat keparahan, durasi dan frekuensi
penyakit menular pada bayi dan anak kecil, dan fakta bahwa
makanan untuk pemulihan tidak cukup (WHO, 2012). Penyakit
menular yang sering diderita anak kecil adalah ISPA dan diare
(Welasasih dan Wirjatmadi, 2012). Jumlah anak kecil dalam
keluarga Menurut Susanti (2006) dan Oktavianus (2008), masalah
perlambatan gizi disebabkan karena jumlah anak kecil dalam
keluarga. Jumlah anak balita dalam keluarga juga mempengaruhi

9
status gizi balita. Jumlah anak balita dalam keluarga mempengaruhi
kunjungan ibu ke posyandu dan status gizi anak. Pada keluarga
dengan sedikit anak, ibu lebih memusatkan perhatian pada anaknya,
sedangkan pada keluarga dengan banyak anak di bawah usia lima
tahun, perhatian ibu terbagi.
d) Jumlah balita dalam keluarga
Menurut, Susanti (2006) dalam Octaviani (2008) masalah
gizi stunting disebabkan oleh banyaknya balita didalam keluarga.
jumlah balita dalam keluarga juga mempengaruhi status gizi balita.
Jumlah balita yang terdapat di dalam keluarga, mempengaruhi
kunjungan ibu ke posyandu sehingga mempengaruhi status gizi
balita. Keluarga yang memiliki jumlah balita sedikit maka ibu akan
lebih fokus memperhatikan anaknya, sedangkan jika terdapat jumlah
anak balita yang banyak didalam keluarga maka perhatian ibu akan
terbagi.
e) Status sosial ekonomi
Status sosial ekonomi dapat mempengaruhi realisasi
peristiwa karena kondisi sosial ekonomi atau kondisi rumah tangga
tergolong rendah mempengaruhi rendahnya tingkat pendidikan,
kualitas air sanitasi dan air minum yang buruk, daya beli yang
rendah serta pelayanan kesehatan yang terbatas, yang kesemuanya
dapat memberikan kontribusi paparan penyakit dan asupan gizi
yang rendah, maka kesempatan jongkok (Fikadu et al., 2014,
Lainua, 2016).
f) Status pendidikan keluarga
Menurut Hidayat (2009), tingkat pendidikan keluarga
tergolong rendah sulit untuk mendapatkan panduan tentang nutrisi
dan bagaimana menerapkannya sering tidak mau atau percaya akan
pentingnya realisasi diri kebutuhan gizi dan pentingnya pelayanan
kesehatan lainnya untuk mendukung pertumbuhan anak sehingga
mereka memiliki kesempatan untuk melakukannya terjadi

10
deformasi. Pendidikan tinggi, pengetahuan dan keterampilan itu
mungkin, semakin baik daya tahannya makanan keluarga, model
pendidikan yang lebih baik untuk anak-anak dan keluarga
menggunakan lebih banyak layanan yang ada. Ketahanan pangan
Keluarga juga terlibat dalam ketersediaan pangan, harga pangan dan
daya beli keluarga dan informasi tentang gizi dan kesehatan
(Waryana, 2010).
Menurut Anisa (2012) kecenderungan kejadian stunting
pada balita lebih banyak terjadi pada ayah yang berpendidikan
rendah. Pendidikan tinggi mungkin mencerminkan pendapatan
yang lebih tinggi dan ayah lebih memperhatikan pola makan wanita
selama hamil agar malnutrisi selama kehamilan tidak menyebabkan
anak yang belum lahir tetap cacat kesakitan masalah gizi
sebelumnya. Keluarga yang ayahnya pendidikan rendah dan
pendapatan rendah pada umumnya adalah rumah yang tidak layak,
kurang digunakan Pelayanan kesehatan dan kebersihan lingkungan
tidak tertata Ini adalah pola makan yang tidak seimbang, situasi ini
bisa berbahaya perkembangan anak (Mugianti et al, 2018).
Menurut Astut (2017), ibu berpendidikan tinggi umumnya
pengetahuan yang luas dan sederhana dapatkan informasi yang baik
tentang pendidikan formal Anda untuk perjalanan dan media (cetak
dan elektronik) menjaga kesehatan anak untuk mencapai nilai gizi
yang baik agar perkembangan anaknya lebih optimal. Lagi semakin
tinggi pendidikan ibu maka semakin baik pengetahuan gizinya
sebaliknya semakin rendah pendidikan ibu maka semakin banyak
pengetahuannya pola makannya tidak begitu baik. Pendidikan ibu
yang rendah selama kehamilan mempengaruhi pengetahuan gizi ibu
selama kehamilan. Ibu hamil yang mengalami malnutrisi
mengakibatkan janin yang ada juga menderita gizi buruk. Malnutrisi
di dalam kehamilan lanjutan melahirkan seorang anak yang

11
malnutrisi Kondisi ini, jika terjadi selama periode tersebut waktu
yang relatif lama membuat anak mengalami
berjongkok (Ni'mah dan Muniroh, 2016).
g) Jabatan orang tua
Balita yang ibunya bekerja lebih cenderung mengalami penurunan
sebagai ibu dari anak kecil yang tidak bekerja karena bertemu ibu
dan anak-anak sangat jarang. Seperti anak kecil yang masih perlu
memberi Pemberian ASI eksklusif dan makanan pendamping
terkadang tidak tepat sangat besar pengaruhnya terhadap tumbuh
kembang anak (Fikadu et al, 2014 Lainua, 2016).
Menurut Marmi (2013), kerja adalah sesuatu yang harus
dilakukan terutama untuk mendukung kehidupan keluarga.
Pekerjaan orang tua adalah tindakan atau kegiatan setiap orang tua
untuk mendapatkan uang. Bekerja mempengaruhi pendapatan
keluarga dan akhirnya mempengaruhi mempengaruhi konsumsi
makanan anak. Nutrisi dan nutrisi anak di bawah usia lima tahun
rendah karena tingkat pendapatan keluarga status ekonomi
menengah atau bawah dapat membuat perbedaan Status gizi balita
(Supariasa, Bakri dan Fajar, 2012).
Menurut Suhardjo (1989), Anisa (2012) dan Fikadu dkk
(2014) ibu bekerja tidak lagi dapat memberikan perhatian
penuhkepada anak-anak kecil mereka karena kesibukan dan beban
kerja yang berat sehingga menyebabkan ibu dan anak arabf ketemu
sehingga anak terkadang tidak mendapatkan asi esklusif dan
makanan pendamping yang tidak tepat yang memiliki efek besar
nempaknya belum berperan sebagai penyebab utama masalah gizi
pada anak, namun pekerjaan ini lebih disebut sebagai faktor yang
mempengaruhi dalam pemberian makanan, zat gizi, dan pengasuhan
anak ( Suhardjo 1992, dalam Anisa, 2012 ).

h) Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)

12
Menurut Price dan Gwin (2014) dalam Lainua (2016) Berat badan
lahir rendah dan prematur sering terjadi bersama-sama, dan kedua
faktor tersebut berhubungan dengan peningkatan morbiditas dan
mortalitas bayi baru lahir. Berat bayi yang kurang saat lahir beresiko
besar untuk hidup selama persalinan maupun sesudah persalinan.
Dikatakan berat badan lahir rendah apabila berat bayi kurang dari
2500 gram. Bayi prematur mempunyai organ dan alat tubuh yang
belum berfungsi normal untuk bertahan hidup di luar rahim sehingga
semakin muda umur kehamilan, fungsi organ menjadi semakin
kurang berfungsi dan prognosanya juga semakin kurang baik.
Kelompok BBLR sering mendapatkan komplikasi akibat kurang
matangnya organ karena kelahiran prematur (Wong, dkk,. 2008
dalam Lainua, 2016).
i) Jenis Kelamin balita
Menurut Setyawati (2018) masalah stunting lebih banyak
diderita oleh anak laki-laki. Beberapa yang menjadi penyebabnya
adalah perkembangan motorik kasar anak laki-laki lebih cepat dan
beragam sehingga membutuhkan energi lebih banyak. Peningkatan
resiko kejadian stunting pada balita laki-laki berkaitan dengan
pemberian makanan tambahan yang terlalu dini dan kejadian diare
yang lebih sering daripada balita perempuan. Selain itu, diduga
adanya diskriminasi gender dimana orang tua cenderung lebih besar
perhatiannya terhadap anak perempuan (Marxoux (2002) dalam
Izzati (2016)).
j) Usia Balita
Menurut Zottare, Sunil, & Rajaram (2007) dalam Suharni (2017)
balita yang mengalami stunting lebih banyak terjadi pada balita
dengan usia ≥12 bulan dibandingan dengan balita usia <12 bulan. Hal
tersebut disebabkan karena semakin tinggi usia anak makan akan
semakin meningkat kebutuhan zat gizi yang diperlukan untuk
pembakaran energi dalam tubuh. Menurut Suharni (2017) anak usia ≥

13
24 bulan- 60 bulan paling banyak mengalami stunting karena pada
usia 24 bulan, anak memasuki fase penyapihan dan masa tingginya
keaktifan dalam menjelajahi lingkungan sekitar. Selain itu, motorik
kasar balita juga tumbuh dan berkembang pesat. Ditahap ini, beberapa
balita akan menghadapi beberapa kemungkinan yang menyebabkan
kekurangan zat gizi, yaitu nafsu makan anak yang menurun, asupan
gizi rendah, jam tidur yang menurun, mudah terkena infeksi saat
ibu/pengasuh kurang memperhatikan higiene dan sanitasi (Setyawati,
2018).
3. Ciri-Ciri Stunting
a. Pertumbuhan melambat.
Pertumbuhan yang tertunda terjadi ketika seorang anak tidak tumbuh
dengan kecepatan normal sesuai usianya. Keterlambatan pertumbuhan juga
bisa didiagnosis pada anak yang tinggi badannya dalam kisaran normal, tapi
kecepatan pertumbuhannya melambat.
b. Wajah tampak lebih muda dari anak seusianya
c. Pertumbuhan gigi terlambat
Bayi terlambat tumbuh gigi juga bisa disebabkan oleh gangguan fisik pada
gusi atau tulang rahang yang tidak memungkinkan gigi untuk muncul.
d. Performa buruk pada kemampuan fokus dan memori belajarnya.
Gangguan konsentrasi terutama pada anak bisa menimbulkan pengaruh
negatif. Gangguan konsentrasi bisa mengganggu performa anak di sekolah.
Mereka juga bisa kesulitan melakukan kegiatan sehari-hari. Anak juga
kesulitan menangkap informasi secara detail. Tidak jarang gangguan
konsentrasi juga berpengaruh pada cara berkomunikasi.
e. Usia 8 – 10 tahun anak menjadi lebih pendiam, tidak banyak melakukan
kontak mata terhadap orang di sekitarnya
f. Berat badan balita tidak naik bahkan cenderung menurun.
Berat badan turun drastis merupakan salah satu tanda dari malnutrisi, yaitu
kondisi ketika tubuh kekurangan nutrisi untuk menjalankan fungsinya.
Berat badan anak turun biasanya disebabkan karena kalori yang terbakar

14
dengan mudah, tidak makan makanan sehat, menderita penyakit, atau
metabolisme tubuh rendah. Penurunan berat badan anak yang tak terduga
dapat memiliki efek buruk pada kesehatan dan pertumbuhan anak secara
keseluruhan.
g. Perkembangan tubuh anak terhambat, seperti telat menarche (menstruasi
pertama anak perempuan).
h. Anak mudah terserang berbagai penyakit infeksi.

4. Sosial, Ekonomi, dan Budaya


Menurut Andersen (1987) dalam Aritonang (2012) status gizi dipengaruhi
oleh dua hal utama, yakni makanan yang dikonsumsi dan derajat kesehatan.
Konsumsi makanan dipengaruhi pola konsumsi keluarga dan pola distribusi
makanan antar anggota keluarga. Pola distribusi makanan antar anggota keluarga
dipengaruhi banyak faktor, antara lain yang penting adalah tingkat upah kerja,
alokasi waktu untuk keluarga, dan siapa pengambil keputusan belanja makanan
di rumahtangga. Selanjutnya derajat kesehatan dipengaruhi oleh ada tidaknya
pelayanan kesehatan , ketersediaan air bersih, sanitasi lingkungan dengan
hygiene individu, dan pelayanan sosial lainnya. Memadai tidaknya pelayanan
kesehatan, khususnya bagi masyarakat miskin tergantung anggaran pemerintah
yang disediakan untuk pelayanan kesehatan dan pelayanan sosial lainnya.
Sedangkan menurut Laura Jane Harper dalam Supariasa (2012), faktor yang
mempengaruhi status gizi ditinjau dari sosial budaya dan ekonomi adalah
ketersediaan pangan, tingkat pendapatan, pendidikan, dan penggunaan pangan.
Menurut Irianto (2014) Sosial ekonomi merupakan salah satu faktor yang secara
tidak langsung mendorong terjadinya gangguan gizi terutama pada anak balita.
Keterbatasan penghasilan keluarga turut menentukan mutu makanan yang
disajikan. Tidak dapat disangka bahwa penghasilan keluarga turut menentukan
hidangan yang disajikan untuk keluarga sehari-hari, baik kualitas maupun
jumlah makanan.
Selain sosial dan ekonomi, budaya juga mempengaruhi status gizi balita.
Sebagian masyarakat tradisional masih melakukan kebiasaan yang tidak baik

15
untuk kondisi kesehatan balita, seperti memberikan air kelapa dan air tajin
kepada bayi baru lahir dan kemudian memperikan makanan. Hal tersebut
menunjukkan masih kuatnya kepercayaan masyarakat terkait MP-ASI yang
keliru seperti pemberian makanan prelaktal pada bayi baru lahir, adanya
anggapan anak akan rewel jika tidak diberi makanan padat seperti pisang, atau
anak tidak akan kenyang kalau hanya diberi ASI (Septikasari, 2018).

5. Dampak Stunting
Balita yang bertubuh pendek (stunting) memperlihatkan perilaku yang
berubah-ubah, perilaku ini meliputi kerewelan serta frekuensi menangis yang
meningkat, tingkat aktivitas yang lebih rendah, entusiasme untuk bermain dan
mengeksplorasi lingkungan yang lebih kecil, berkomunikasi lebih jarang
ekspresi tidak begitu gembira, apatis, serta cenderung untuk berada didekat ibu.
Beberapa penelitian telah menemukan keterkaitan antara pertumbuhan tinggi
badan dan perubahan perkembangan dalam usia 3 tahun pertama. Penelitian
yang pernah dilakukan di Filipina, anak-anak yang bertubuh pendek (stunted)
pada usia 6 bulan memiliki skor IQ yang lebih rendah pada usia 11 tahun jika
dibandingkan anak-anak yang bertubuh pendek pada usia 24 bulan. Sejumlah
besar penelitian cross-sectional memperlihatkan keterkaitan antara stunting
dengan perkembangan motorik dan mental yang buruk dalam usia kanak-kanak
dini, serta prestasi kognitif dan prestasi sekolah yang buruk dalam usia kanak-
kanak lanjut (Gibney, et al, 2008).
Anak-anak yang bertubuh pendek (stunted) terus menunjukkan
kemampuan yang lebih buruk dalam fungsi kognitif yang beragam. Mereka juga
memiliki permasalahan perilaku lebih terhambat, dan kurang perhatian serta
lebih menunjukkan gangguan tingkah laku (conduct disorder) (Gibney, et al,
2008).
6. Upaya Pencegahan Stunting

16
Upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah stunting diantaranya adalah
sebagai berikut:

1. memperhatikan asupan gizi dan nutrisi bagi ibu hamil dan ibu menyusui,
hal ini bisa juga dilakukan dengan memperhatikan pola makan dengan
mengomsumsi jenis makanan beragam dan seimbang;
2. melakukan pemeriksaan kesehatan secara rutin bagi ibu hamil, bayi dan
balita;
3. mengatasi permasalahan anak yang susah makan dengan cara memberikan
variasi makanan kepada anak:
4. menjaga sanitasi lingkungan tempat tinggal yang baik bagi keluarga;
5. memberikan edukasi dan penyuluhan bagi ibu hamil dan menyusui
terkait stunting, pola asuh yang baik untuk mencegah stunting serta
mendorong para ibu untuk senantiasa mencari informasi terkait asupan gizi
dan nutrisi yang baik bagi tumbuh kembang anak;
6. melakukan vaksinasi lengkap semenjak bayi lahir sesuai dengan anjuran dan
himbauan IDAI.

7. Penanganan Gizi Balita Stunting

Sedangkan upaya yang dilakukan untuk pengobatan atau penanganan


stunting jika anak sudah didiagnosa menderita stunting adalah sebagai berikut:

1. melakukan terapi awal seperti memberikan asupan makanan yang


bernutrisi dan bergizi;
2. memberikan suplemen tambahan berupa vitamin A, Zinc, zat besi,
kalsium dan yodium;
3. memberikan edukasi dan pemahaman kepada keluarga untuk
menerapkan pola hidup bersih dengan menjaga sanitasi dan kebersihan
lingkungan tempat tinggal.

17
8. Penilaian Status Gizi (Stunting)

Penilaian Status Gizi (PSG) adalah pengukuran terhadap aspek yang dapat
menjadi indikator penilaian status gizi, kemudian dibandingkan dengan standar
baku yang ada. Ruang lingkup PSG terdiri atas pengukuran langsung kepada
individu dan pengukuran secara tidak langsung Untuk mengetahui keadaan tubuh
sesorang (stunting) dapat dilakukan penilaian status gizi secara langsung. Penilaian
status gizi dapat dilakukan dengan antropometri gizi berdasarkan TB/U (Tinggi
Badan menurut Umur). Tinggi badan merupakan antropometri yang
menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Pada keadaan normal, tinggi badan
tumbuh seiring dengan pertambahan umur. Keuntungan indeks TB/U diantaranya
adalah baik untuk menilai status gizi masa lampau. (Susilowati dan Kuspriyanto,
2016).
Proses pertumbuhan tubuh seseorang berkaitan dengan antropometri, yaitu
ukuran tubuh manusia hasil dari asupan gizi atau akibat dari asupan gizi seseorang.
Bertambahnya ukuran tubuh seseorang merupakan efek dari asupan zat gizi.
Ukuran tubuh seseorang akan berubah seiring dengan berjalannya waktu.
Pertumbuhan yang baik akan menghasilkan ukuran berat badan dan tinggi badan
yang optimal. Jenis-jenis ukuran antropometri yang digunakan untuk menentukan
status gizi stunting adalah tinggi badan (Par’I, 2017).

18
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Stunting merupakan masalah kesehatan yang sudah ada sejak lama,
seperti gizi buruk, terserang infeksi berkali-kali, kelahiran prematur, dan berat
badan lahir rendah. Faktor penyebab stunting Menurut Sudiman (2008), stunting
juga dapat dianggap sebagai adaptasi fisiologis terhadap pertumbuhan atau non-
patologis, karena dua penyebab utamanya adalah asupan makanan yang tidak
mencukupi dan respon yang tinggi terhadap penyakit infeksi. Faktor yang dapat
mempengaruhi stunting terbagi menjadi dua jenis yaitu faktor langsung yaitu
asupan makanan, penyakit infeksi, berat badan lahir rendah dan genetik.

B. Saran
1. Bagi Masyarakat ( keluarga )
Memberikan masukan bagi keluarga agar dapat mempertahankan pemasukan
kuangan yang dapat mendukung kesehatan keluarga terhadap mencegah
stunting.
2. Bagi Institusi Pendidikan
Bagi institusi pendidikan diharapkan KTI in dapat digunakan sebagai
bahan bacaan bagal mahasiswa guna dapat menamban pengetahuan dan
wawasan mahasiswa.
3. Bagi Peneliti Selanjutnya
Diharapkan bagi peneliti selanjutnya dapat meneliti lebih lanjut terkait
dengan hubungan tingkat penghasilan dengan kejadaian stunting pada balita,
misalnya kebutuhan status gizi, tumbuh kembang balita, dan lain-lain.

19
DAFTAR PUSTAKA

Aditya, Dodiet. (2012). Konsep Dasar Keluarga. Diakses memalui :


https://bidankomunitas.files.wordpress.com
Anindita, Putri. (2012). HUBUNGAN TINGKAT PENDIDIKAN IBU,
PENDAPATAN KELUARGA, KECUKUPAN PROTEIN & ZINC
DENGAN STUNTING (PENDEK) PADA BALITA USIA 6-35 BULAN.
Jurnal Kesehatan Masyarakat. (1:617-625)
Aridiyah Farah Okky, Nina Rohmawati et al. (2015). Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Kejadian Stunting pada Anak Balita di Wilayah Pedesaan
dan Perkotaan. e-Jurnal Pustaka Kesehatan. (3:163-170)
Arikunto. (2009). Metode Penelitian Interprestasi Tabel Hasil Analisa Penyajian
Data. Yogyakarta : Bina Aksara
Doriza, Shinta. (2015). Ekonomi Keluarga. Bandung :PT Remaja Rosdakarya
Ibrahim. A Irviani, Ramayana et al. (2014). Hubungan Pola Asuh Ibu Dengan
Kejadian Stunting Anak Usia 24-59 Bulan Di Posyandu Asoka |I Wilayah
Pesisir Kelurahan Ba-rombong Kecamatan Tamalate Kota Makassar. Public
Health Science Journal. (VI: 424-436)
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2018). CEGAH STUNTING
DENGAN PERBAIKAN POLA MAKAN, POLA ASUH DAN
SANITASI. Jakarta: www.depkes.go.id
Mitra. (2015). Permasalahan anak pendek (stunting) dan intervensi untuk mencegah
terjadinya stunting. Journal Community Health. (2:254-261)
Ringgo,Yesi dkk (2019) Status Gizi Balita dapat menyebabkn Stunting. Vol 5( 271-
278)

20

Anda mungkin juga menyukai