Anda di halaman 1dari 34

Referat Fetomaternal

Pencegahan Kelahiran Prematur

Oleh:
DINDA BASRI

Pembimbing:
Dr. dr. Melvin N.G. Barus, M.Ked(OG), Sp.OG, Subps.K.Fm

DIVISI FETOMATERNAL
DEPARTEMEN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2023
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI..................................................................................................i
DAFTAR GAMBAR....................................................................................ii
BAB I..............................................................................................................1
BAB II............................................................................................................3
2.1 Kelahiran Prematur.......................................................................3
2.2.1 Definisi.............................................................................................3
2.2.2 Epidemiologi...................................................................................4
2.2.3 Faktor Risiko..................................................................................5
2.2.4 Etiologi............................................................................................9
2.2.5 Diagnosis.......................................................................................12
2.2.6 Pencegahan...................................................................................16
BAB III.........................................................................................................27
KESIMPULAN...........................................................................................27
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................29

i
DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman

Gambar 2.1. Efek utama vitamin C, vitamin E, zink, teh hijau dan
hitam serta melatonin pada prematuritas..............................

ii
BAB I

PENDAHULUAN

Kelahiran prematur (usia kehamilan < 37 minggu) merupakan salah satu


penyebab utama morbiditas dan mortalitas neonatal dan merupakan beban
kesehatan masyarakat yang signifikan. 1 Setiap tahun, terdapat 15 juta (11,1%)
kelahiran prematur dari seluruh kelahiran di seluruh dunia 2 dan 13,3% dari
kelahiran tersebut terjadi di Asia Selatan. 1 Pada tahun 2020, tingkat kelahiran
prematur di Amerika Serikat (AS) adalah 10,2%. Di antara perempuan kulit hitam
di AS, tingkat PTB adalah 13,8%, lebih tinggi dari tingkat kehamilan prematur
global sebesar 12%. 3 Tingkat kelahiran prematur di Indonesia merupakan yang
tertinggi kelima di dunia pada tahun 2010, yaitu 15% dari seluruh kelahiran.
Selain itu, angka kematian bayi di Indonesia termasuk 10 tertinggi di dunia pada
tahun 2013. 4
Kelahiran prematur dikaitkan dengan morbiditas neonatal dini seperti
ketidakstabilan suhu, gangguan pernapasan, infeksi, apnea, hipoglikemia, kejang,
penyakit kuning, kesulitan makan, enterokolitis nekrotikans, leukomalasia
periventrikular, dan kebutuhan rawat inap yang berkepanjangan atau berulang. 5
Kurangnya keberhasilan pilihan pengobatan kelahiran prematur dapat disebabkan
oleh berbagai etiologi yang rumit. Diperkirakan 20% kelahiran prematur diinduksi
secara medis untuk indikasi ibu atau janin, seperti preeklampsia, diabetes
gestasional, kolestasis atau hambatan pertumbuhan intrauterin. Sekitar 20-30%
kasus kelahiran prematur disebabkan oleh ketuban pecah dini/ preterm premature
rupture of membranes (PPROM). Peradangan dan infeksi terjadi pada 20-25%
kelahiran prematur, sementara 25-30% dari seluruh kelahiran prematur terjadi
secara spontan dan tidak diketahui penyebabnya. Dengan perkiraan 20-30%
PPROM dan 25-40% kelahiran prematur dengan membran utuh disebabkan oleh
infeksi dan peradangan, kemungkinan besar peradangan dan infeksi menyebabkan
beberapa kasus PTB yang tidak dapat dijelaskan. 3
Sampai saat ini, pencegahan PTB tampaknya masih merupkan tujuan yang
sulit dicapai. 2 Pendekatan strategi pencegahan kelahiran prematur dapat disub-

1
stratifikasi menjadi strategi primer (jika diterapkan pada masyarakat umum),
sekunder (jika menargetkan perempuan berisiko), dan tersier (mengoptimalkan
outcome neonatal ketika PTB tidak dapat lagi dicegah). 5 Tujuan dari tinjauan ini
adalah untuk merangkum strategi-strategi tersebut dan membahas pencegahan
kelahiran pematur.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kelahiran Prematur

2.2.1 Definisi
Kelahiran prematur adalah kelahiran sebelum 37 minggu, yaitu sebelum
36 6/7minggu. Klasifikasi kelahiran prematur bervariasi antar organisasi. Menurut
American College of Obstetricians and Gynecologists, kelahiran terjadi antara
usia 34 dan 36 minggu dianggap prematur akhir. Center for Disease Control and
Prevention mengakui definisi tersebut tetapi juga memberi label kelahiran
sebelum 33 6/7 minggu sebagai prematur dini. Sebaliknya, World Health
Organization mendefinisikan kelahiran sebelum 28 minggu sebagai prematur
ekstrim, yang berusia 28 hingga 32 minggu dianggap sangat prematur dan dari 32
hingga 37 minggu sebagai prematur sedang hingga akhir. Definisi-definisi ini
tidak memiliki dasar fungsional dan harus dibedakan dari konsep prematuritas,
yang menunjukkan perkembangan yang tidak lengkap dari berbagai sistem organ
saat lahir. Misalnya, paru-paru sangat terpengaruh dan mungkin rentan terkena
terhadap sindrom gangguan pernapasan. Demikian pula, bayi baru lahir yang lahir
sebelum cukup bulan bisa berukuran kecil atau besar, namun berdasarkan usia
kehamilan secara definisi masih prematur. Berat badan lahir rendah mengacu pada
neonatus dengan berat 1500 hingga 2500 gram, berat badan lahir sangat rendah
menggambarkan berat badan antara 1000 dan 1500 gram dan berat badan lahir
sangat rendah mengacu pada berat lahir <1000 gram. 6
Perkembangan janin adalah sebuah kontinum, beberapa variasi normal
dalam pertumbuhan janin antar individu diharapkan terjadi. Batas waktu tertentu
(seperti <37 minggu) yang mengklasifikasikan seluruh perempuan atau bayi
menjadi dua kelompok yang saling eksklusif akan memudahkan epidemiologi dan
penelitian. Namun, sekelompok janin prematur pasti akan mengandung beberapa
janin yang perkembangannya lebih maju dibandingkan janin lainnya. Secara
agregat, angka mortalitas dan morbiditas bayi yang lahir prematur lebih buruk
dibandingkan bayi yang lahir cukup bulan, dengan hasil terburuk terlihat pada

3
usia kehamilan terpendek. Batas waktu <37 minggu untuk kelahiran prematur
agak sewenang-wenang, karena beberapa dampak kesehatan yang merugikan pada
bayi yang lahir pada usia 37 dan 38 minggu secara signifikan lebih tinggi
dibandingkan bayi yang lahir pada usia 39 dan 40 minggu. Hal ini menyebabkan
adanya perbedaan antara “masa kehamilan awal” dan “masa kehamilan penuh,”
yang dapat menjadi penting ketika berkomunikasi dengan wanita mengenai durasi
dan risiko kehamilan. 7

2.2.2 Epidemiologi
Di Amerika Serikat, angka kelahiran prematur meningkat dari 10,02%
pada tahun 2018 menjadi 10,23% pada tahun 2019. Angka kelahiran prematur
telah menurun dalam 20 tahun terakhir dari tahun 2007 hingga 2014, namun
kemudian meningkat sejak saat itu. 6 Tingkat kelahiran prematur di Indonesia
merupakan yang tertinggi kelima di dunia pada tahun 2010, yaitu 15% dari
seluruh kelahiran. Selain itu, angka kematian bayi di Indonesia termasuk 10
tertinggi di dunia pada tahun 2013. 4 Perkiraan pertama global dan regional
mengenai kelahiran prematur diterbitkan pada tahun 2010 oleh Beck dkk. (untuk
tahun 2005), diikuti oleh perkiraan tingkat global, regional, dan nasional pada
tahun 2012 (untuk tahun 2010) oleh Blencowe dkk. Beck dkk., mengidentifikasi
data dari 92 negara dan memperkirakan prevalensi global sebesar 9,6% (95% CI:
9,1-10,1) untuk tahun 2005. Blencowe dkk., mengidentifikasi data dari 99 negara
dan memperkirakan prevalensi global tahun 2010 sebesar 11,1% (95% CI: 9,1-
13,4). Meskipun metode estimasinya berbeda, estimasi prevalensi globalnya
serupa. Blencowe et al., juga melaporkan perkiraan angka kelahiran prematur di
tingkat nasional, yang berkisar antara 5% di beberapa negara Eropa hingga 18% di
beberapa negara Afrika. Salah satu pesan yang jelas dari kedua analisis tersebut
adalah bahwa negara-negara berpendapatan rendah dan menengah menyumbang
sebagian besar kelahiran prematur di dunia dan 60% kelahiran prematur terjadi di
negara-negara Afrika sub-Sahara atau Asia Selatan. 7
Diperkirakan 13,4 juta bayi lahir prematur pada tahun 2020. Itu lebih dari
1 dari 10 bayi. Sekitar 900.000 anak meninggal pada tahun 2019 karena

4
komplikasi kelahiran prematur 8. Banyak penyintas menghadapi disabilitas seumur
hidup, termasuk ketidakmampuan belajar serta masalah penglihatan dan
pendengaran. Secara global, prematuritas merupakan penyebab utama kematian
pada anak di bawah usia 5 tahun. Ketimpangan dalam tingkat kelangsungan hidup
di seluruh dunia sangat mencolok. Di negara berpendapatan rendah, setengah dari
bayi yang lahir pada atau di bawah usia 32 minggu (2 bulan lebih awal)
meninggal karena kurangnya perawatan yang layak dan hemat biaya seperti
kehangatan, dukungan menyusui dan perawatan dasar untuk infeksi dan kesulitan
bernapas. Di negara-negara berpendapatan tinggi, hampir semua bayi ini dapat
bertahan hidup. Penggunaan teknologi yang kurang optimal di negara
berpendapatan menengah menyebabkan peningkatan beban kecacatan di kalangan
bayi prematur yang bertahan hidup pada periode neonatal. 9

2.2.3 Faktor Risiko


a. Faktor kehamilan.
Beberapa faktor genetik dan lingkungan mempengaruhi frekuensi kelahiran
prematur. Di antaranya, ancaman keguguran pada trimester pertama memiliki
tingkat dampak buruk yang tinggi. Weiss (2004) melaporkan perdarahan
vagina dari minggu ke 6 kehamilan hingga minggu ke 13 pada sekitar 14.000
wanita. Pendarahan ringan dan berat dikaitkan dengan kelahiran prematur,
solusio plasenta dan keguguran sebelum 24 minggu. Kelainan bawaan pada
janin juga bisa menyebabkan kelahiran prematur. Analisis data sekunder dari
penelitian Penilaian Risiko Trimester Pertama dan Kedua (FASTER)
menemukan bahwa cacat lahir berhubungan dengan kelahiran prematur dan
bayi dengan berat badan lahir rendah. 6
b. Gaya hidup
Merokok, penambahan berat badan ibu yang tidak tepat dan penggunaan
obat-obatan terlarang mempengaruhi kejadian dan hasil bayi dengan berat
badan lahir rendah. Berat badan ibu yang terlalu tinggi, baik ibu yang
kekurangan berat badan atau obesitas, meningkatkan risiko kelahiran
prematur. 6,10,11 Faktor ibu lainnya antara lain usia ibu muda atau tua,

5
kemiskinan, perawakan pendek dan kekurangan vitamin C. Faktor psikologis
seperti depresi, kecemasan dan stres kronis berhubungan dengan kelahiran
prematur. Dalam tinjauan lebih dari 50 penelitian, Donovan et al. menemukan
hubungan yang signifikan antara berat badan lahir rendah dan kelahiran
prematur di antara wanita yang terluka akibat kekerasan fisik. Studi tentang
pekerjaan dan aktivitas fisik sehubungan dengan kelahiran prematur
memberikan hasil yang bertentangan. Ada juga bukti yang menunjukkan
bahwa jam kerja yang panjang dan persalinan yang berat kemungkinan besar
berhubungan dengan peningkatan risiko kelahiran prematur. Namun, latihan
aerobik tampaknya aman untuk wanita dengan berat badan normal dan
kehamilan tunggal tanpa komplikasi dan diperkirakan tidak berhubungan
dengan kelahiran prematur (American College of Obstetricians and
Gynecologists). Sebuah meta-analisis aktivitas fisik menemukan bahwa
aktivitas fisik di waktu senggang dikaitkan dengan risiko kelahiran prematur
yang lebih rendah. 6
Komunitas global prihatin dengan beban yang terkait dengan tingginya
jumlah PTB dan komplikasi terkait prematuritas. Saat ini, pengobatan spesifik
tidak selalu berhasil dalam menunda kelahiran sampai usia cukup bulan,
sehingga strategi baru untuk mencegah preterm birth (PTB) mungkin berguna
untuk menghindari morbiditas dan mortalitas yang berhubungan dengan
prematuritas. Seperti disebutkan di atas, stres oksidatif yang tidak seimbang
selama kehamilan dapat menyebabkan premature preterm rupture of
membranes (PPROM) dan PTB. Oleh karena itu, suplementasi dengan bahan
antioksidan klasik (vitamin C atau vitamin E), atau beberapa elemen dengan
sifat antioksidan, seperti seng, dapat dianggap sebagai pilihan dalam
pencegahan prematuritas. Selain itu, strategi antioksidan baru lainnya, seperti
teh atau melatonin, sedang dipertimbangkan. 12

6
Gambar 2.1 Efek utama vitamin C, vitamin E, zink, teh hijau dan hitam serta melatonin
pada prematuritas. 12

c. Faktor genetik
Kecenderungan keluarga dan ras terhadap kelahiran prematur berulang kali
menunjukkan bahwa faktor genetik mungkin berperan. Semakin banyak
literatur tentang variasi genetik yang mendukung konsep ini. Beberapa
penelitian juga menunjukkan bahwa gen imunomodulator meningkatkan
korioamnionitis prematur yang disebabkan oleh infeksi. 6
d. Jarak antar kehamilan
Interval antar kehamilan dikaitkan dengan hasil perinatal yang merugikan.
Dalam meta-analisis, interval 59 bulan dikaitkan dengan risiko lebih tinggi
terjadinya kelahiran prematur dan neonatus usia kehamilan. Namun, hubungan
sebab akibat antara kehamilan pendek masih dipertanyakan. 6
e. Kelahiran prematur sebelumnya
Faktor risiko terpenting terjadinya kelahiran prematur adalah kelahiran
prematur sebelumnya. Temuan tersebut berdasarkan data sekitar 16.000 wanita
yang melahirkan di Rumah Sakit Parkland. Risiko terjadinya kelahiran

7
prematur kembali tiga kali lebih tinggi pada wanita yang bayi pertamanya lahir
prematur dibandingkan wanita yang bayi pertamanya lahir tepat waktu. Lebih
dari sepertiga wanita yang dua bayi pertamanya lahir prematur kemudian
melahirkan bayi prematur ketiga. Sebagian besar kelahiran berulang (70%)
dalam penelitian ini terjadi dalam waktu 2 minggu usia kehamilan dari
kelahiran prematur sebelumnya. 6,10
Penyebab kelahiran prematur sebelumnya pun kembali muncul. Meskipun
jelas bahwa wanita yang pernah mengalami kelahiran prematur mempunyai
risiko kambuh kembali, namun pada penelitian ini, wanita yang pernah
mengalami kelahiran prematur hanya menyumbang 10% dari seluruh kelahiran
prematur. Dengan kata lain, 90% kelahiran prematur yang dialaminya di
Rumah Sakit Parkland tidak dapat diprediksi berdasarkan riwayat kelahiran
prematurnya. Laughon dkk, menegaskan pentingnya kelahiran prematur
spontan di masa lalu. Sebagai catatan, para peneliti ini juga menemukan bahwa
kelahiran prematur yang dilaporkan sebelumnya sangat terkait dengan
kelahiran prematur spontan berikutnya. Perubahan definisi “volunter” dan
“penggunaan terarah” dapat menjelaskan hubungan ini. Pada akhirnya, risiko
terjadinya kelahiran prematur berulang dipengaruhi oleh tiga faktor. Hal
tersebut adalah frekuensi kelahiran prematur sebelumnya, tingkat
keparahannya yang diukur berdasarkan usia kehamilan dan urutan terjadinya
kelahiran prematur sebelumnya. Dengan kata lain, risiko seorang wanita untuk
mengalami kelahiran prematur berulang dipengaruhi oleh jumlah dan urutan
kelahiran prematur dan kelahiran cukup bulan sebelumnya. Oleh karena itu,
pengaruh riwayat reproduksi mempunyai implikasi prognostik yang penting
terhadap risiko kekambuhan. Selain itu, hal ini juga dapat mempengaruhi
manfaat yang dirasakan dari berbagai intervensi. 6,10
f. Infeksi bakterial vaginosis
Pada kondisi ini, flora normal vagina yang menghasilkan hidrogen
peroksida dan didominasi oleh bakteri asam laktat digantikan oleh bakteri
anaerob. Pewarnaan Gram digunakan untuk menentukan konsentrasi relatif
karakteristik morfotipe bakterial vaginosis bakterial dan dievaluasi

8
menggunakan skor Nugent atau secara klinis menggunakan kriteria Amsel.
Bakterial vaginosis berhubungan dengan aborsi spontan, kelahiran prematur,
PPROM, korioamnionitis dan infeksi cairan ketuban. Faktor lingkungan
tampaknya memainkan peran penting dalam perkembangan bakterial vaginosis.
Stres kronis, perbedaan etnis dan sering atau baru-baru ini mandi berhubungan
dengan peningkatan kejadian penyakit. Wanita dengan bakterial vaginosis dan
genotipe TNF-α yang rentan mempunyai peningkatan kejadian kelahiran
prematur sebesar 9 kali lipat. Semua penelitian ini menunjukkan bahwa flora
vagina yang tidak menguntungkan berhubungan dengan kelahiran prematur
spontan. Faktanya, pengobatan yang ditujukan untuk menghilangkan bakterial
vaginosis menyebabkan resistensi mikroba dan perubahan antimikroba pada
flora vagina. 6
g. Faktor plasenta, uterus dan serviks
Kondisi plasenta, uterus atau janin seperti solusio plasenta, plasenta previa,
polihidramnion, anomali uterus, leiomioma dan cacat lahir janin juga dikaitkan
dengan kelahiran prematur. Terdapat perdebatan mengenai apakah evakuasi
uterus melalui pembedahan sebelumnya (seperti untuk terminasi kehamilan
atau penatalaksanaan aborsi spontan) meningkatkan risiko kelahiran prematur
atau tidak. Meskipun tinjauan sistematis telah melaporkan adanya hubungan
yang sederhana dengan evakuasi uterus melalui pembedahan sebelumnya,
namun tinjauan tersebut tidak dapat menyesuaikan semua potensi perancu. 7,10

2.2.4 Etiologi
Empat penyebab langsung kelahiran prematur di Amerika Serikat meliputi
persalinan prematur spontan tanpa sebab yang jelas dengan keadaan ketuban utuh,
ketuban pecah dini sebelum persalinan idiopatik, indikasi persalinan atau ibu atau
janin dan kembar dan kelahiran multifetal tingkat tinggi. 6
a. Persalinan prematur spontan
Kehamilan dengan persalinan prematur spontan namun selaput janin masih
utuh harus dibedakan dengan kehamilan dengan komplikasi karena ketuban
pecah. Meski begitu, persalinan prematur spontan bukanlah suatu kelompok yang

9
homogen. Bukti menunjukkan bahwa ini adalah sindrom yang disebabkan oleh
berbagai proses patologis. Temuan terkait yang lebih umum adalah kehamilan
multifetal, infeksi intrauterin, perdarahan, infark plasenta, pelebaran serviks
prematur, insufisiensi serviks, hidramnion, kelainan fundus uteri dan anomali
janin. Penyakit ibu yang parah akibat infeksi, penyakit autoimun dan hipertensi
gestasional juga meningkatkan risiko persalinan prematur. 6
Disfungsi serviks. Dalam kebanyakan kasus, remodeling serviks prematur
terjadi sebelum persalinan serangan. Dalam beberapa kasus, disfungsi epitel
serviks atau matriks ekstraseluler stroma adalah penyebab utamanya. Yang
penting, penghalang epitel serviks yang utuh sangat penting untuk mencegah
infeksi yang meningkat. Misalnya, hilangnya hyaluronan di epitel serviks atau
kolonisasi streptokokus grup B (GBS) meningkatkan risiko kelahiran prematur.
GBS memiliki kemampuan unik untuk mensintesis enzim hyaluronidase
pendegradasi hyaluronan untuk membantu pertumbuhan bakteri. Kedua,
kompetensi mekanik serviks dapat menurun. Mutasi genetik pada komponen
kolagen dan serat elastis atau protein yang dibutuhkan atau perakitannya dapat
menjadi faktor risiko insufisiensi serviks dan kelahiran prematur. 6,13
Infeksi. Infeksi intraamnion telah dikaitkan dengan kelahiran prematur
spontan. Bakteri dapat mengakses jaringan intrauterin melalui perpindahan infeksi
sistemik ibu secara transplasental, aliran infeksi melalui saluran tuba atau infeksi
bakteri yang berpindah secara ascending dari vagina dan leher rahim. Karena
kutub bawah persimpangan membran janin-desidual berdekatan dengan lubang
saluran serviks, susunan anatomis ini menyediakan jalan bagi mikroorganisme.
Infeksi ascending dianggap sebagai jalur masuk yang paling umum di mana
mikroorganisme berkolonisasi di serviks, desidua dan mungkin selaput, kemudian
dapat memasuki kantung amnion. 6,13
Distensi uterus yang berlebihan. Kehamilan multijanin dan hidramnion
merupakan risiko kelahiran prematur yang diketahui. Dengan demikian, distensi
uterus yang berlebihan memberikan tekanan yang lebih besar pada miometrium.
Pada primata bukan manusia, inflasi balon intraamniotik dapat merangsang
kontraktilitas uterus, persalinan prematur, dan “denyut inflamasi”. Respon

10
inflamasi serupa juga diamati pada amnion wanita dengan polihidramnion dan
kembar. 6
Respon inflamasi. Respons ini mendorong patogenesis persalinan prematur
akibat infeksi. Lipopolisakarida (LPS) atau racun lain yang dihasilkan oleh bakteri
dikenali oleh reseptor seperti toll-like receptor (TLRs). Reseptor ini terdapat pada
fagosit mononuklear, sel desidua, epitel serviks, dan trofoblas. Ekspresi TLR pada
sel imun ibu diperlukan untuk mengenali rangsangan inflamasi pada kelahiran
prematur yang dimediasi inflamasi. Aktivasi TLR menginduksi kaskade sinyal
yang mengaktifkan produksi kemokin seperti interleukin 8 (IL-8) dan sitokin
seperti IL-1β. Aktivasi juga merekrut sel-sel kekebalan ke dalam saluran
reproduksi. Sitokin diproduksi oleh sel kekebalan dan sel di dalam serviks,
desidua, selaput, atau janin itu sendiri. 6
Sitokin. Sekresi sitokin uterus mungkin penting pada persalinan prematur.
Sitokin yang diproduksi di desidua dan miometrium ibu memiliki efek terbatas
pada sisi tersebut, sedangkan sitokin yang diproduksi di membran atau sel di
dalam cairan amnion tidak akan ditransfer ke jaringan ibu. Secara umum, leukosit
menetap dan menyerang menghasilkan sebagian besar sitokin dalam kasus
peradangan akibat infeksi. 6
Mikrobiota. Imunitas mukosa dan fungsi penghalang epitel serviks,
komposisi mikrobiota vagina dan interaksinya di antara populasi yang berbeda
merupakan hal yang utama. Untuk mengeksplorasi hal ini, teknik analisis genom
tingkat lanjut digunakan dan menunjukkan bahwa vagina tidak hamil menampung
komunitas mikroba yang kompleks. Dan, mikrobioma vagina berubah selama
kehamilan normal. Secara khusus, keanekaragaman populasi mikroba adalah
berkurang selama kehamilan dan menjadi lebih stabil. 3,6
b. Ketuban pecah dini sebelum persalinan
Sebelumnya disebut sebagai ketuban pecah dini prematur, ketuban pecah dini
sebelum melahirkan mendefinisikan ketuban pecah spontan sebelum 37 minggu
dan sebelum permulaan persalinan (American College of Obstetricians and
Gynecologists). Ruptur tersebut kemungkinan besar disebabkan oleh berbagai hal,
namun infeksi intrauterin, kerusakan DNA akibat stres oksidatif dan penuaan dini

11
sel merupakan faktor predisposisi utama. Pelaku risiko terkait serupa dengan
mereka yang sudah cukup bulan dan mencakup status sosial ekonomi yang lebih
rendah, indeks massa tubuh yang rendah, kekurangan nutrisi dan merokok.
Wanita dengan PPROM memiliki peningkatan risiko kekambuhan pada
kehamilan berikutnya. Meskipun terdapat pelaku risiko yang diketahui, dalam
banyak kasus tidak ada satupun yang teridentifikasi. 6
Perubahan molekul. Pada kehamilan dengan PPROM, amnion menunjukkan
tingkat kematian sel yang lebih tinggi dan penanda apoptosis yang lebih banyak
dibandingkan pada amnion cukup bulan. Penelitian in vitro menunjukkan bahwa
apoptosis kemungkinan besar diatur oleh endotoksin bakteri, IL-1β, dan NF-α.
Selain itu, stres oksidatif yang dipicu oleh peristiwa selain infeksi dapat
menyebabkan kerusakan DNA, penuaan dini dan peradangan serta peradangan
berikutnya proteolisis yang mengarah pada PPROM. 6
c. Stres ibu dan janin.
Dalam konteks ini, stres diartikan sebagai suatu kondisi yang mengganggu
fungsi normal fisiologis atau psikologis seseorang. Sejak tahun 1940an, hubungan
stres ibu dengan hasil persalinan telah dieksplorasi. Hasil yang bervariasi sebagian
disebabkan oleh perbedaan metodologi dalam mengukur stres. Pengukuran
kuantitatif sulit dilakukan, namun banyak bukti menunjukkan bahwa stres
psikososial dalam bentuk diskriminasi rasial terutama pada populasi kulit hitam
mengakibatkan keluaran kesehatan yang buruk, termasuk kelahiran prematur.
Tekanan psikologis dapat mencakup stres masa kanak-kanak, depresi atau
sindrom stres pasca-trauma. Dalam sebuah tinjauan terhadap lebih dari 50
penelitian, ditemukan adanya hubungan yang signifikan antara berat badan lahir
rendah dan kelahiran prematur pada wanita yang terkena dampak kekerasan oleh
pasangan intim. 6,14

2.2.5 Diagnosis
a. Gejala
Kontraksi, tekanan panggul, kram seperti menstruasi, keputihan berair dan
nyeri punggung bawah adalah gejala khas dari persalinan prematur. Hal ini juga
dapat terlihat pada kehamilan normal dan dapat diminimalkan oleh pasien dan

12
penyedia layanan kesehatan. Cukup sulit membedakan antara persalinan asli dan
persalinan palsu pada awal pemeriksaan terutama sebelum penipisan dan dilatasi
serviks dapat dibuktikan. Aktivitas uterus saja bisa menyesatkan karena kontraksi
braxton hicks. Oleh karena itu, American College of Obstreticians and
Gynecologists pada tahun 2020 mendefinisikan persalinan prematur menjadi
kontraksi teratur disertai perubahan pada dilatasi, penipisan serviks atau
keduanya, atau berupa kontraksi teratur dan dilatasi serviks minimal 2 cm pada
presentasi awal. 6
Chao (2011) secara prospektif mempelajari 843 wanita dengan janin
tunggal yang datang ke Rumah Sakit Parkland dengan gejala persalinan prematur
antara 24 0/7dan 33 6/7minggu, selaput ketuban utuh dan dilatasi serviks <2 cm.
Mereka yang serviksnya tersisa <2 cm dipulangkan dengan diagnosis persalinan
prematur palsu. Ketika dianalisis terhadap populasi obstetrik secara umum,
perempuan yang dipulangkan memiliki tingkat kelahiran sebelum 34 minggu yang
sama yaitu 2 berbanding 1 persen. Namun, para wanita ini memiliki tingkat
kelahiran yang jauh lebih tinggi antara 34 dan 36 minggu yaitu 5 persen
dibandingkan dengan 2 persen. Wanita dengan dilatasi serviks 1 cm saat keluar
dari rumah sakit secara signifikan lebih mungkin melahirkan sebelum 34 minggu
dibandingkan dengan wanita tanpa dilatasi serviks sekitar 5 persen berbanding 1
persen. Hampir 90 persen dari kelompok berukuran 1 cm melahirkan dalam waktu
21 hari sejak presentasi awal. 6
b. Perubahan serviks
Diduga terjadi dilatasi serviks tanpa gejala setelah pertengahan kehamilan
menjadi faktor risiko kelahiran prematur. Multiparitas saja tidak cukup untuk
menjelaskan penyebab pelebaran serviks yang ditemukan pada awal trimeseter
ketiga. Cook (1996) mengevaluasi status serviks secara longitudinal dengan
sonografi transvaginal antara usia kehamilan 18 dan 30 minggu pada nulipara dan
multipara yang semuanya kemudian lahir cukup bulan. Panjang dan diameter
serviks identik pada kedua kelompok selama minggu-minggu kritis ini. Dalam
sebuah penelitian dari Rumah Sakit Parkland, pemeriksaan serviks digital rutin
dilakukan antara 26 dan 30 minggu pada 185 wanita tanpa gejala. Sekitar 25

13
persen wanita memiliki leher rahim yang melebar 2 atau 3 cm yang melahirkan
sebelum 34 minggu. Peneliti lain telah memverifikasi pelebaran serviks sebagai
prediktor peningkatan risiko kelahiran prematur. Sedangkan wanita dengan
dilatasi dan penipisan pada trimester ketiga memiliki risiko lebih besar untuk
kelahiran prematur, deteksi belum tentu meningkatkan hasil kehamilan. Dalam
sebuah penelitian acak, 2.719 wanita yang menjalani pemeriksaan serviks rutin
pada setiap kunjungan prenatal dibandingkan dengan 2.721 ibu hamil dimana
pemeriksaan serial tidak dilakukan. Pengetahuan adanya pelebaran serviks
antenatal tidak mempengaruhi hasil kehamilan apa pun terkait kelahiran prematur
atau frekuensi intervensi pada persalinan prematur. Jadi, sepertinya pemeriksaan
serviks sebelum melahirkan pada wanita tanpa gejala tidak bermanfaat atau
merugikan. Banyak teknologi pencitraan serviks sedang diselidiki untuk prediksi
perubahan serviks yang dini dan akurat terkait dengan kelahiran prematur. 6
c. Pemantauan ambulatory uterine
Tokodinamometer eksternal diikatkan di sekeliling perut dan terhubung ke
perekam pinggang elektronik memungkinkan seorang wanita untuk ambulasi
sambil mencatat aktivitas uterus. Hasil dikirimkan melalui telepon setiap hari.
Perempuan diedukasi mengenai tanda dan gejala persalinan prematur, dan dokter
tetap memantau kemajuannya. Persetujuan monitor ini pada tahun 1985 oleh
Badan Food and Drug Administration (FDA) menyarankan penggunaan klinisnya
yang luas. Selanjutnya terbukti bahwa sistem yang mahal dan memakan waktu ini
tidak mengurangi angka kelahiran prematur. Meskipun ada kemajuan teknologi,
penggunaan pemantauan seperti itu tidak dianjurkan. 6
d. Biomarker
Karena gejala klinis saja tidak dapat memprediksi terjadinya kelahiran
prematur, biomarker sebagai pengganti telah dievaluasi. Ini termasuk fetal
fibronektin (fFN), phosphorylated insuli-like growth factor-binding protein 1
(phIGFBP-1), dan placental alpha microglobulin 1 (PAMG-1). Kinerja mereka
bervariasi antar studi dan dipengaruhi oleh demografi dan faktor lainnya. 6
Fibronektin Janin. Glikoprotein ini diproduksi dalam 20 bentuk molekul
berbeda oleh berbagai jenis sel, termasuk hepatosit, fibroblas, sel endotel dan sel

14
amnion janin. Hadir dalam konsentrasi tinggi dalam darah ibu dan cairan amnion,
fFN diperkirakan berfungsi dalam adhesi antar sel selama implantasi dan dalam
pemeliharaan perlekatan plasenta pada desidua uterus. Terdeteksi pada sekret
serviksovaginal pada wanita dengan kehamilan normal dengan selaput ketuban
utuh, fFN tampaknya mencerminkan remodeling stroma serviks sebelum
persalinan. Tingkat fFN kualitatif dan kuantitatif diukur menggunakan uji
imunosorben terkait-enzim dan nilai yang melebihi 50 ng/mL dianggap positif.
Kontaminasi sampel oleh cairan amnion dan darah ibu harus dihindari. Studi
intervensi berdasarkan hasil skrining fFN pada wanita tanpa gejala belum
menunjukkan peningkatan outcome perinatal. American College of Obstetricians
and Gynecologists tidak merekomendasikan skrining dengan tes fFN. Dalam
sebuah tinjauan terhadap 16 uji coba yang melibatkan manajemen berdasarkan
hasil fFN, ditemukan rendahnya kualitas bukti yang ada dan perlunya analisis
efektivitas biaya. 6
d. Pengukuran panjang serviks
Saluran serviks yang semakin pendek dinilai secara sonografi terkait dengan
peningkatan angka kelahiran prematur. Society for Maternal-Fetal Medicine telah
menyediakan panduan untuk pengukuran panjang serviks yang tepat dan
merekomendasikan agar ahli sonografi dan praktisi memperoleh pelatihan spesifik
melalui program akreditasi dalam perolehan dan interpretasi gambar panjang
serviks. Sonografi serviks transvaginal tidak dipengaruhi oleh ibu yang obesitas,
posisi serviks atau bayangan dari bagian presentasi janin. Karena
ketidakmampuannya untuk membedakan dengan mudah segmen bawah rahim dan
serviks pada awal kehamilan, penilaian panjang serviks transvaginal biasanya
dilakukan setelah 16 minggu kehamilan. Pemeriksaan semacam itu saat ini
terbatas pada kehamilan tunggal dan tidak direkomendasikan pada kehamilan
multifetal di luar uji coba penelitian. Bagi wanita yang memiliki riwayat kelahiran
prematur spontan sebelumnya, Society for Maternal-Fetal Medicine
merekomendasikan skrining panjang serviks transvaginal. American College of
Obstetricians and Gynecologists kini juga merekomendasikan skrining untuk
indikasi ini. Pada wanita dengan kehamilan tunggal tetapi tanpa riwayat sebelum

15
kelahiran prematur, Society for Maternal-Fetal Medicine memandang skrining
panjang serviks masih dapat dilakukan dan hal ini masih menjadi area
perdebatan. 6
Kombinasi dengan pemeriksaan biomarker dilakukan dengan harapan untuk
mendapatkan hasil skrining yang lebih baik. Esplin dan rekannya (2017) secara
prospektif mempelajari 9410 nullipara dengan kehamilan tunggal. Skrining
universal pada panjang serviks diukur secara sonografi dan pengukuran kuantitatif
kadar fFN vagina dievaluasi sebagai prediktor wanita yang akan melahirkan
secara spontan sebelum 37 minggu. Pengukuran ini mempunyai kinerja prediksi
yang buruk sebagai pemeriksaan skrining. Berdasarkan temuan ini, penggunaan
pemeriksaan skrining ini secara rutin pada populasi berisiko rendah tidak
direkomendasikan. Di antara penanda lainnya, PAMG-1 muncul sebagai
pemeriksaan yang lebih unggul dalam memprediksi potensi kelahiran prematur
dibandingkan dengan fFN, khususnya di kalangan perempuan yang memiliki
gejala. Menggabungkan hasil penanda proteomik cairan serviks dan mikroRNA
yang diperoleh dari darah tepi juga telah dinilai. Meskipun buktinya tampak
menjanjikan, rekomendasi apa pun harus menunggu uji klinis yang lebih besar.
Hal ini sangat penting mengingat tantangan dalam hal keakuratan dan kegunaan
skrining, terutama pada wanita berisiko rendah, yang mewakili sebagian besar
populasi dengan kelahiran prematur. Kekhawatiran kedua dalam skrining adalah
kemanjuran intervensi untuk meningkatkan luaran perinatal seiring dengan
skrining panjang serviks, biomarker atau keduanya dilakukan pada perempuan
yang berisiko. Bloom dan Leveno (2017) kemudian mengkritik penggunaan
skrining panjang serviks transvaginal pada wanita berisiko rendah dan
pemberlakuan pedoman konsensus. Mereka menyoroti biaya mengejutkan yang
membebani sistem layanan kesehatan di Amerika Serikat sebagai akibat dari
strategi tersebut. Kekhawatiran serupa dikemukakan oleh Kuusela dkk (2021)
yang melakukan evaluasi skrining panjang serviks di antara 11.456 ibu hamil
tanpa gejala. 6

2.2.6 Pencegahan

16
Pencegahan kelahiran prematur masih merupakan tujuan yang sulit
dicapai. Para ahli terus memperdebatkan strategi optimal untuk mencegah
kelahiran prematur. Misalnya seperti pemberian suplemen makanan, belum
menunjukkan manfaat. Namun, laporan terbaru menunjukkan bahwa pencegahan
perlu dilakukan pada populasi yang dipilih mungkin dapat dicapai. 6
a. Pencegahan primer
- Berhenti merokok
Merokok mempunyai hubungan dengan preterm brith (PTB) yang mungkin
sebagian disebabkan oleh peningkatan insiden solusio plasenta, plasenta previa,
PPROM, dan pembatasan pertumbuhan janin. Efek langsung dari merokok
terhadap spontaneous preterm birth (sPTB) telah dikemukakan, karena setelah
disesuaikan dengan faktor perancu, kejadian PTB terus meningkat di kalangan
wanita hamil yang merokok. Sebuah studi kolaboratif di Eropa menemukan
bahwa merokok lebih kuat hubungannya dengan PTB dibandingkan dengan
pertumbuhan janin terhambat. Dengan demikian, tingkat peraturan bebas rokok
berkorelasi dengan tingkat prevalensi PTB yang lebih rendah dan data tersebut
mendukung penerapan kebijakan bebas rokok yang lebih besar. 5
- Menurunkan angka kehamilan ganda dengan ART
Insiden PTB enam hingga delapan kali lebih mungkin terjadi pada kehamilan
ganda. Meningkatnya tingkat teknik reproduksi berbantuan/assisted reproductive
techniques (ART) selama beberapa dekade terakhir menyebabkan peningkatan
kehamilan kembar dan kehamilan kembar tingkat tinggi. Tingkat PTB
kemungkinan besar disebabkan oleh distensi berlebihan dan pemendekan serviks
lebih awal. Mengingat peningkatan prevalensi penyakit ibu dan janin pada
kehamilan ganda, reduksi embrio selektif sebelumnya telah diterapkan dalam
praktik klinis. Kebutuhan untuk mempraktikkan teknik ini telah dibatasi oleh
pedoman saat ini yang bertujuan untuk mengurangi kejadian kehamilan kembar
dan sepenuhnya menghindari risiko kehamilan tingkat tinggi pada wanita yang
hamil dengan ART, dengan membatasi jumlah embrio yang ditransfer. Selain
kehamilan kembar dan ganda, kehamilan tunggal setelah ART juga mempunyai
insiden PTB yang lebih tinggi sebagaimana ditunjukkan oleh tinjauan sistematis

17
dan meta-analisis. 5
- Mengurangi kelelahan akibat kerja
Kelelahan kerja merupakan faktor utama yang meningkatkan kemungkinan
terjadinya PTB dan sebisa mungkin harus dikurangi. Sebuah meta-analisis dari 21
studi yang melibatkan 146.457 wanita mengidentifikasi skor kelelahan kerja
kumulatif yang tinggi sebagai faktor risiko terkait pekerjaan terkuat untuk
kelahiran prematur dengan rasio odds (OR) sebesar 1,63 dan interval kepercayaan
(CI) sebesar 95% sebesar 1,33. –1,98. Berbagai faktor pekerjaan tampaknya
mempengaruhi hasil antenatal dan risiko PTB termasuk rentang jam kerja aktual,
berdiri, mengangkat beban, dan jumlah aktivitas fisik yang diperlukan. Selain itu,
kurangnya dukungan sosial, pengalaman buruk pada anak dan apa yang disebut
beban alostatik, yang bahkan dapat ditransfer secara epigenetik, dapat
menyebabkan PTB seperti yang ditunjukkan pada percobaan pada hewan dan
manusia. Pencegahan utama adalah menghindari faktor stres ini. 5
- Memperbaiki gizi
Mengoptimalkan nutrisi dan menjaga indeks massa tubuh (IMT) normal
sangat penting untuk memastikan hasil kehamilan yang lebih baik. Tampaknya
memperbaiki kebiasaan makan selama trimester pertama dan kedua kehamilan
dapat mengurangi risiko PTB. Peran nutrisi untuk pencegahan PTB telah
digarisbawahi oleh Mikkelsen et al. yang menunjukkan bahwa penerapan diet tipe
Mediterania mengurangi risiko PTB pada 35.530 wanita. Parlapani dkk.
mengamati bahwa kepatuhan yang tinggi terhadap diet Mediterania meningkatkan
pertumbuhan janin dan menurunkan risiko terjadinya enterokolitis nekrotikans,
displasia bronkopulmoner, dan retinopati prematuritas. Dua meta-analisis
menunjukkan bahwa suplementasi asam lemak omega-3 secara efektif
mengurangi risiko PTB pada <34 minggu sebesar 58% atau PTB dini sebesar
22%. Sebaliknya, pada wanita dengan riwayat PTB, penggunaannya tidak
mencegah PTB berulang.
Efek vitamin C pada prematuritas dievaluasi dalam 10 penelitian. Konsumsi
produk kaya vitamin C tidak menurunkan risiko PTB 12,15 dan dalam beberapa
kasus, hal ini dikaitkan dengan risiko yang lebih tinggi. Namun demikian,

18
kekurangan vitamin C selama kehamilan dikaitkan dengan peningkatan risiko
PPROM (P < 0,05), serta periode latensi yang lebih pendek sebelum kelahiran
pada wanita dengan PPROM (P < 0,001). Hanya satu penelitian yang
menunjukkan risiko PPROM yang lebih tinggi terkait dengan asupan vitamin C
yang lebih tinggi pada trimester pertama dan kedua kehamilan. ROS dapat
menyebabkan cedera kolagen pada membran korioamniotik, yang menyebabkan
PROM. Selain aktivitas antioksidannya, vitamin C terlibat dalam metabolisme
kolagen dan berperan penting dalam integritas membran ketuban. Oleh karena itu,
suplementasi vitamin C mungkin merupakan terapi yang menjanjikan untuk
menjaga integritas membran ketuban dan pencegahan PPROM. 12,16 Dosis harian
100 mg vitamin C selama kehamilan, seperti yang terlihat pada uji coba terkontrol
secara acak (RCT) dari Ghomian et al., bisa menjadi pilihan yang baik untuk
mencegah PPROM. Diperlukan lebih banyak penelitian yang menganalisis kadar
vitamin C plasma berdasarkan dosis yang berbeda untuk menilai hubungan antara
vitamin C dan PTB atau PPROM. 12
- Menghindari jarak antar kehamilan yang pendek
Jarak antar kehamilan yang pendek secara signifikan meningkatkan risiko
hasil kehamilan yang merugikan dan kejadian PTB. Penelitian yang paling
menonjol didasarkan pada kohort dari 328.577 kehamilan di Denmark antara
tahun 1994 dan 2010. Para penulis mengamati bahwa jarak antar kehamilan
mempunyai hubungan berbentuk U dengan PTB dan bahwa wanita dengan jarak
antara 18 dan 23 bulan memiliki risiko lebih rendah terkena PTB. Apakah interval
antar kehamilan yang pendek (<6 bulan) setelah dilatasi dan kuretase berarti
peningkatan angka PTB masih kontroversial. 5
b. Pencegahan sekunder
Pencegahan sekunder bertujuan untuk deteksi dini pasien berisiko PTB dan
institusi pengobatan berdasarkan diagnosis tersebut. Penilaian ultrasonografi
panjang serviks/cervical length (CL) dengan sonografi transvaginal (TVS) pada
trimester kedua kehamilan telah berkorelasi dengan risiko PTB baik pada
kehamilan tunggal maupun kembar. Beberapa strategi telah diperkenalkan untuk
membantu membatasi risiko PTB pada wanita dengan hasil yang bertentangan

19
mengenai kemanjurannya. 5
- Pesarium serviks
Pessarium serviks telah dilaporkan sebagai strategi potensial yang dapat
membantu membatasi angka PTB. Beberapa model telah digunakan, namun
penelitian terbaik adalah pessarium berbasis silikon yang dibuat sebagai cetakan
ulang negatif dari kubah vagina bagian atas yang mengelilingi ostium serviks
internal dan melakukan sakralisasi serviks. Penggunaan pessary Arabin silikon ini
telah disetujui untuk pencegahan kelahiran prematur di Eropa, semakin banyak
negara dan oleh FDA sebagai pengecualian perangkat investigasi (IDE) untuk
penggunaan penelitian. Pessarium serviks bersifat minimal invasif, hemat biaya,
dan relatif mudah diaplikasikan. Tingkat keberhasilan telah terbukti meningkat
seiring dengan pengalaman klinis yang menunjukkan kurva pembelajaran. Mereka
mungkin bertindak sebagai penghalang mekanis yang mendorong pemanjangan
serviks dan meningkatkan sudut uteroserviks; telah ditunjukkan oleh pencitraan
resonansi magnetik bahwa sudut uteroserviks berubah setelah penyisipan pessary
dan serviks memanjang. Pemanjangan serviks setelah pemasangan pessary juga
ditunjukkan dengan USG transvaginal (TVU). 5
Kehamilan tunggal. Pada tahun 2003, studi kasus-kontrol pertama
berdasarkan TVU menunjukkan bahwa wanita dengan CL pendek mungkin
mendapat manfaat dari penggunaan alat pencegah kehamilan serviks. RCT
pertama oleh Goya dkk., menunjukkan manfaat yang signifikan dalam
pengurangan PTB sebelum 34 minggu (OR 0,18, 95% CI 0,08–0,37; p<0,0001)
pada 385 wanita dengan CL<25 mm dan peningkatan yang signifikan luaran
neonatal. Hasil dari penelitian lebih lanjut masih bertentangan. RCT
(multikontinental) terbesar oleh Nicolaides dkk. mendaftarkan 932 wanita dengan
kehamilan tunggal dan CL<25 mm antara 20 dan 24 minggu, namun tidak
menunjukkan penurunan sPTB <34 minggu yang signifikan (OR 0,12; 95% CI
0,75-1,69; p=0,57). Perbedaan dengan penelitian PECEP mungkin disebabkan
oleh perbedaan dalam pengajaran dan audit, tambahan penggunaan antibiotik
dalam pengobatan dan progesteron vagina pada kelompok kontrol, kurangnya
audit pribadi, pengalaman, atau cara meyakinkan pasien selama pengawasan. RCT

20
yang lebih baru dari Saccone et al. dari sebuah pusat kesehatan di Italia yang
memiliki dokter kandungan berpengalaman dapat menunjukkan manfaat yang
signifikan ketika alat pencegah kehamilan serviks dipasang antara minggu ke 18
dan 24 pada wanita dengan CL < 25 mm. Tingkat PTB < 34 minggu adalah 7,3%
pada kelompok pessary dan 15,3% pada kelompok kontrol dengan perbedaan
antar kelompok 8,0% (95% CI −15,7% hingga −0,4) dan risiko relatif (RR)
sebesar 0,48 (95% CI 0,24–0,95). Sebuah studi kohort retrospektif baru-baru ini
menyatakan bahwa pengobatan kombinasi pessarium serviks Arabin dan
progesteron vagina memiliki tingkat PTB yang lebih rendah pada usia kehamilan
<34 minggu dan masa kehamilan yang lebih lama dibandingkan dengan wanita
yang diobati dengan progesteron vagina saja. Ada dua RCT yang terkait dengan
penggunaan tersebut. penggunaan alat pencegah kehamilan serviks pada pasien
yang sudah pernah mengalami episode kontraksi prematur: Penelitian pertama
melaporkan adanya penurunan angka masuk rumah sakit dan angka PTB yang
terlambat dan penelitian kedua tidak menunjukkan efek yang signifikan.
Perbedaannya mungkin bergantung pada pengalaman klinis untuk tidak
menggunakan alat pencegah kehamilan pada pasien dengan dilatasi progresif,
kontraksi berkelanjutan, atau tanda-tanda awal amnioinfeksi. Sebuah studi
observasional retrospektif menunjukkan bahwa penggunaan alat pencegah
kehamilan pada pasien dengan riwayat ketuban pecah dini (PPROM) mungkin
kurang berhasil. 5,17
Kehamilan ganda. Studi percontohan pada tahun 2003 untuk pertama kalinya
menyarankan bahwa alat pencegah kehamilan serviks dapat membatasi
kemungkinan PTB pada kehamilan kembar dengan CL pendek yang terbukti
secara ultrasonografi. RCT pertama yang diterbitkan dalam bidang ini adalah uji
coba ProTWIN Belanda yang merekrut kehamilan kembar yang tidak dipilih (<20
minggu) yang diacak untuk penatalaksanaan pessarium versus kehamilan. Para
penulis menggambarkan bahwa pada kembar monokorionik-monoamniotik, risiko
sPTB <28 dan <32 minggu berkurang secara signifikan ketika persentil ke-25 dari
CL (38 mm) digunakan sebagai nilai cut-off. Demikian pula, luaran perinatal
gabungan buruk yang mereka gambarkan berkurang sebesar 40% (RR 0,40, 95%

21
CI 0,19-0,83). Pada seluruh populasi penelitian, kurva Kaplan-Meier gagal
menunjukkan perbedaan yang signifikan dalam perpanjangan kehamilan di antara
wanita yang dipasangi alat pencegah kehamilan dan kontrol. Namun, pada
subkelompok wanita dengan mortalitas CL < 38 mm yang pendek, hingga keluar
dari rumah sakit adalah 3% (2/78) berbanding 18% (10/55) dan angka kelahiran
prematur < 32 minggu serta morbiditas neonatal yang terkait adalah berkurang
secara signifikan dibandingkan dengan manajemen ekspektan. Pada tahun 2016,
RCT lebih lanjut diterbitkan oleh Goya dkk. yang merekrut 137 wanita hamil
dengan CL<25 mm antara 20 dan 24 minggu yang dialokasikan dengan rasio 1:1
untuk pessarium serviks atau manajemen kehamilan. Para penulis melaporkan
penurunan yang signifikan dengan penggunaan alat pencegah kehamilan (RR
0,41; 95% CI 0,22-0,76). Hasil serupa dipublikasikan oleh Fox et al. dalam seri
pendek yang mencakup 21 pasien dengan alat pencegah kehamilan serviks dan 63
kontrol yang cocok. Bersamaan dengan itu, Nicolaides dkk. menerbitkan RCT
multisenter yang mencakup 1.180 kehamilan kembar yang tidak diseleksi dengan
rasio alokasi 1:1, namun tidak menemukan penurunan sPTB < 34 minggu yang
signifikan atau luaran buruk apa pun, bahkan pada subkelompok yang terdiri dari
214 wanita yang memiliki CL yang lebih pendek (< 25 mm). Namun, penulis
mengakui bahwa sejumlah besar pessarium dikeluarkan terlalu dini dan dokter
belum diberikan instruksi. Analisis sekunder per protokol dari uji coba ProTWIN
menegaskan bahwa alat pencegah kehamilan tidak boleh dilepas sampai
persalinan terjadi. Baru-baru ini, van't Hooft dkk. menerbitkan temuan studi
tindak lanjut selama 3 tahun mengenai hasil perkembangan saraf anak-anak dari
uji coba ProTwin. Para penulis mengamati bahwa risiko kumulatif kematian dan
kecacatan perkembangan saraf di antara anak-anak ini berkurang secara signifikan
pada kelompok pessary (OR 0,26; 95% CI 0,09-0,73). Jika dibandingkan dengan
alat pencegah kehamilan serviks, bukti adanya cerclage atau progestogen sangat
sedikit dan tidak ada hasil jangka panjang lainnya. 5
- Suplementasi progestogen
Kehamilan tunggal. Progestogen telah digunakan untuk mengurangi PTB
dalam bentuk 17α-hidroksiprogesteron kaproat (17-OHPC) sintetik yang

22
diberikan setiap minggu sebanyak 250 mg atau dalam bentuk progesteron alami
yang digunakan setiap hari sebagai supositoria atau gel vagina. Kedua zat tersebut
mempunyai waktu paruh dan efek yang berbeda sehingga harus dianalisis secara
terpisah. Dua uji coba terkontrol plasebo secara acak dari tahun 2003 menemukan
bahwa progesteron, yang diberikan sebagai suntikan intramuskular mingguan 250
mg 17α-hidroksiprogesteron kaproat atau supositoria vagina progesteron setiap
hari, mengurangi tingkat kelahiran prematur berulang sekitar sepertiganya. Jika
tidak, manfaat 17-OHPC masih kontroversial. Uji coba PROLONG yang masih
berlangsung dimaksudkan untuk menyelidiki penggunaan 17-OHPC pada
kehamilan berisiko tinggi dengan PTB sebelumnya. Penerapan progesteron vagina
alami untuk pencegahan PTB telah meningkat, sejak publikasi oleh DaFonseca et
al. Namun, penelitian ini gagal menunjukkan penurunan morbiditas neonatal yang
signifikan. RCT multisenter lainnya yang diterbitkan pada tahun 2011 oleh
Hassan dkk. merekrut 465 wanita dan CL pendek <25 mm yang diberikan gel
progesteron dan plasebo menunjukkan bahwa risiko persalinan <33 minggu
berkurang sebesar 45%. Perbedaan signifikan juga dilaporkan mengenai angka
sPTB 28 minggu, sindrom gangguan pernapasan, serta morbiditas dan mortalitas
neonatal. Penelitian ini dianalisis secara berbeda oleh ahli statistik FDA yang
tidak menemukan bukti ketika mengoreksi data parameter ibu dan tidak ada
perbedaan hasil setelah dua tahun. Hal ini mungkin menjadi alasan mengapa FDA
tidak setuju bahwa progesteron vagina disetujui di AS. Setelah itu, percobaan
OPPTIMUM menyelidiki efek jangka panjang dari progesteron vagina versus
plasebo untuk pencegahan PTB sampai usia 2 tahun dan tidak menemukan
manfaat atau bahaya yang signifikan terkait dengan hasil pasca-neonatal, juga
tidak ada perpanjangan kehamilan yang signifikan. Oleh karena itu, penulis Jane
Norman menyimpulkan bahwa obat yang tidak ada perbedaannya dapat
ditentukan setelah dua tahun setidaknya mengharuskan pasien mendapat informasi
yang cukup. Kritik terhadap penelitian ini terkait dengan kriteria inklusi dan
memungkinkan kepatuhan hanya 60%. Sementara itu, Romero dkk. telah
melakukan tiga meta-analisis untuk secara berulang menggarisbawahi nilai
progesteron vagina pada kehamilan tunggal tanpa gejala dengan CL pendek.

23
Penelitian terbaru masih menemukan penurunan PTB yang signifikan bahkan
ketika data dari Norman et al. terintegrasi tetapi tidak berpengaruh pada berat
badan normal, pada wanita obesitas, tidak pada wanita kulit hitam, wanita Asia
atau warga negara AS, tetapi juga, tidak pada wanita <18 atau> 35 tahun.
Meskipun progesteron vagina dapat menurunkan angka PTB <28 hingga <36
minggu, hal ini hanya signifikan jika dimulai antara minggu ke 22 dan 25 dengan
CL antara 10 dan 20 mm dan tidak dapat menurunkan angka kematian perinatal
atau neonatal secara signifikan. Peningkatan risiko terkena diabetes gestasional
tiga kali lipat terlihat pada penggunaan 17-alpha-hydroxyprogesterone caproate;
Namun, hal ini belum dikonfirmasi dalam penelitian selanjutnya. Hasil RCT yang
dipublikasikan mengenai efek progestogen pada kehamilan telah dipertanyakan
dan dikomentari oleh Prior et al. dalam meta-analisis baru-baru ini. Para penulis
mengamati bahwa uji coba yang mendaftarkan luaran utamanya (yang dianggap
sebagai uji coba dengan potensi risiko bias terendah) gagal menunjukkan
perbedaan yang signifikan dalam hal hasil yang dilaporkan. 5,6,18
Kehamilan kembar. Mayoritas penelitian RCT yang dipublikasikan yang
menyelidiki kemanjuran progesteron dalam memperpanjang kehamilan gagal
melaporkan perbedaan yang signifikan dibandingkan dengan wanita yang
ditangani sesuai harapan. Pengamatan ini tidak bergantung pada dosis sebenarnya
dari rejimen yang digunakan dan CL sebenarnya. Dalam metaanalisis, Schuit et al.
mengkonfirmasi temuan ini dan melaporkan bahwa progesteron vagina tidak
dapat memperpanjang periode latensi, meskipun analisis subkelompok wanita
dengan CL pendek menunjukkan bahwa mungkin terdapat bukti yang mendukung
penggunaan progesteron vagina untuk mengurangi keluaran neonatal yang buruk.
Pada tahun 2017, Dodd dkk. menerbitkan tinjauan sistematis Cochrane yang
mencakup 17 RCT. Para penulis menyimpulkan bahwa penggunaan progesteron,
baik secara intramuskular atau vagina, tidak mengurangi risiko PTB atau
meningkatkan hasil akhir neonatal. Sebuah meta-analisis Romero dkk.
menyarankan beberapa efek progesteron vagina pada kehamilan kembar. Namun,
data tersebut hanya disebabkan karena penulis menyertakan uji coba dari Mesir
yang tidak dikontrol dengan plasebo atau tidak didaftarkan sebelumnya dan oleh

24
karena itu hasilnya dipertanyakan. 5
- Cerclage serviks
Cerclages telah digunakan selama 50 tahun terakhir sebagai alat mekanis
untuk mengurangi PTB baik sebagai profilaksis pada pasien dengan riwayat PTB
atau pada wanita dengan CL pendek secara sonografis. Indikasi ini dibedakan dari
cerclage darurat yang digunakan untuk membran yang menggembung. Beberapa
penelitian telah menyelidiki efektivitas cerclage serviks dalam mencegah
kelahiran prematur berulang pada wanita yang pernah mengalami kelahiran
prematur/keguguran sebelumnya. Dalam meta-analisis pasien individu, Jorgensen
dkk. menyarankan bahwa penggunaan cerclage secara efektif mengurangi risiko
keguguran atau kematian neonatal sebelum keluar dari rumah sakit. Dua teknik
utama telah dijelaskan, prosedur McDonald dan Shirodkar. Meskipun teknik
terakhir memungkinkan adanya jahitan pada tingkat serviks bagian atas, bukti
tidak mendukung keunggulannya dibandingkan dengan teknik McDonald.
Pengenalan jahitan serviks kedua telah diselidiki melalui meta-analisis yang
mencakup enam studi observasional dan menyarankan bahwa pendekatan ini
mungkin mengurangi tingkat sPTB <28 dan <34 minggu. Cerclage
transabdominal telah diterapkan pada pasien dengan perubahan anatomi akibat
trakelektomi, beberapa konisasi, atau pada pasien dengan kegagalan cerclage
transvaginal sebelumnya dengan tingkat keberhasilan yang baik jika ahli bedah
berpengalaman. Tinjauan cochrane mengenai cerclage pada kehamilan tunggal
menyimpulkan bahwa cerclage serviks mengurangi PTB pada wanita yang
berisiko mengalami PTB berulang tanpa penurunan angka kematian perinatal atau
morbiditas neonatal yang signifikan secara statistik dan dampak jangka panjang
yang tidak pasti pada bayi, namun meningkatkan kelahiran sesar dan keputusan
yang diambil tentang bagaimana meminimalkan risiko baik karena riwayat serviks
yang pendek atau melebar, harus bersifat 'individual'. 5,6
Kehamilan kembar. Tinjauan Cochrane oleh Rafael dkk. dari tahun 2015
didasarkan pada 5 RCT prospektif yang mencakup 122 kehamilan kembar dengan
cerclage. Para penulis melaporkan bahwa tidak ada bukti yang mendukung
penggunaan cerclage untuk pencegahan PTB dan sebagai cara untuk mengurangi

25
morbiditas dan mortalitas perinatal yang berhubungan dengan prematuritas. Meta-
analisis pasien individu berdasarkan tiga percobaan mengkonfirmasi temuan ini.
Oleh karena itu, Society for Maternal-Fetal Medicine (SMFM) menyarankan agar
pemasangan cerclage tidak dilakukan pada wanita dengan serviks pendek dan
kehamilan kembar. Kontroversi dalam studi observasional mungkin disebabkan
oleh perbedaan keterampilan operasi dan pengawasan klinis. Hampir tidak dapat
disangkal bahwa kemanjuran cerclage vagina dan perut sangat bergantung pada
keterampilan ahli bedah, dan sayangnya, hal ini belum dipertimbangkan atau
diaudit secara memadai dalam penelitian yang dipublikasikan. Oleh karena itu,
penerapannya tidak dapat dianggap sebagai risiko klinis di tangan orang-orang
yang tidak berpengalaman, meskipun hal ini jarang terjadi dan dapat berakibat
buruk, karena risiko tersebut mencakup perdarahan, sepsis, kematian perinatal,
neonatal, atau bahkan kematian ibu. 5
c. Pencegahan tersier (Tokolitik dan Kortikosteroid)
Terapi tokolitik telah diterapkan selama beberapa dekade terakhir untuk
membatasi angka PTB. Meskipun tokolisis dapat mengurangi kontraksi untuk
sementara, tokolisis tidak mengatasi patofisiologi dasar yang bertindak sebagai
stimulus yang memulai proses persalinan. Inilah sebabnya mengapa terapi
tokolitik belum digunakan sebagai cara untuk mencegah PTB, melainkan sebagai
metode yang memungkinkan perpanjangan kehamilan selama minimal 48 jam,
sehingga efek kortikosteroid dapat mencapai puncaknya, sehingga mengurangi
morbiditas neonatal dan meningkatkan kelangsungan hidup. di sPTB. Tokolisis
pemeliharaan telah diselidiki dalam studi observasional dan terbukti tidak efektif;
oleh karena itu, pedoman ini ditolak dengan suara bulat oleh sebagian besar
pedoman yang diterbitkan. Dengan demikian, nifedipine oral gagal
memperpanjang kehamilan ketika dosis pemeliharaan diberikan pada wanita
dengan kontraksi prematur antara usia kehamilan 24 dan 34 minggu. Hasil negatif
serupa dilaporkan untuk progesteron pada wanita yang mengalami kontraksi. Data
mengenai efek tokolisis pemeliharaan dengan atosiban masih terbatas karena
hanya satu penelitian yang menyelidiki efek pengobatan ini dan melaporkan
perbedaan rata-rata 5 hari (32,6 berbanding 27,6 hari pada kelompok kontrol)

26
ketika atosiban terus diberikan dalam dosis titrasi 30 mg/menit sampai selesainya
minggu ke-36 kehamilan. Meskipun demikian, outcome bayi dilaporkan serupa
pada kedua kelompok. 5

27
BAB III
KESIMPULAN

Kelahiran prematur adalah kelahiran sebelum 37 minggu, yaitu sebelum


36 6/7minggu. Menurut American College of Obstetricians and Gynecologists,
kelahiran terjadi antara usia 34 – 36 minggu disebut prematur akhir. Center for
Disease Control and Prevention mengakui definisi tersebut tetapi menambah
klasifikasi menjadi kelahiran sebelum 33 6/7 minggu disebut prematur dini. Di
Amerika Serikat, angka kelahiran prematur meningkat dari 10,02% pada tahun
2018 menjadi 10,23% pada tahun 2019. Tingkat kelahiran prematur di Indonesia
merupakan yang tertinggi kelima di dunia pada tahun 2010, yaitu 15% dari
seluruh kelahiran.
Faktor risiko kelahiran prematur antara lain faktor kehamilan, gaya hidup,
faktor genetik, jarak interval antar kehamilan, kelahiran prematur sebelumnya,
infeksi dan faktor plasenta, uterus dan janin. Faktor-faktor tersebut berkontribusi
langsung maupun tidak langsung terhadap kejadian kelahiran prematur. Penyebab
terjadinya kelahiran prematur disebabkan oleh gangguan pada ibu maupun janin.
Sekitar 20 persen kelahiran prematur terjadi akibat ketubah pecah dini. Berbagai
penyebab lain seperti infeksi, disfungsi serviks, kelainan pada uterus, inflamasi
serta adanya stres pada ibu dan janin juga dapat menyebabkan terjadinya kelahiran
prematur. Pendekatan diagnosis kelahiran prematur terdiri dari anamnesis
mengenai gejala yang dirasakan oleh ibu, seperti adanya kontraksi, kram, keluar
cairan dan lain sebagainya. Kemudian pemeriksaan tanda-tanda seperti dilatasi
serviks, pemantauan ambulatory uterine, pemeriksaan biomarker (fetal
fibronektin, PAMG-1) dan pemeriksaan panjang serviks dapat dilakukan untuk
menentukan atau prediktor terjadinya kelahiran prematur.
Pencegahan kelahiran prematur dapat dibagi menjadi 3 yaitu pencegahan
primer, sekunder dan tersier. Pencegahan primer terdiri dari berhenti merokok,
menurunkan angka kehamilan ganda, memperbaiki gizi dan mengurangi aktivitas
berlebihan yang dapat menyebabkan kelelahan serta menghindari jarak kehamilan
yang pendek. Pencegahan sekunder terdiri atas pemasangan pesarium serviks,

28
suplementasi progestogens dan serviks cerclage. Pencegahan tersier dapat
dilakukan dengan pemberian tokolitik dan kortikosteroid. Pencegahan kelahiran
prematur hingga saat ini masih sulit dicapai namun dengan pendekatan
pencegahan tersebut dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas ibu serta janin
sehingga luaran neonatus dapat menjadi baik.

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Gurung A, Wrammert J, Sunny AK, Gurung R, Rana N, Basaula YN, et al. Incidence,
risk factors and consequences of preterm birth - findings from a multi-centric
observational study for 14 months in Nepal. Archives of Public Health [Internet]. 2020
Jul 17 [cited 2023 Nov 30];78(1):1–9. Available from:
https://archpublichealth.biomedcentral.com/articles/10.1186/s13690-020-00446-7
2. da Fonseca EB, Damião R, Moreira DA. Preterm birth prevention. Best Pract Res Clin
Obstet Gynaecol [Internet]. 2020 Nov 1 [cited 2023 Nov 30];69:40–9. Available from:
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/33039310/
3. Zierden HC, Shapiro RL, DeLong K, Carter DM, Ensign LM. Next generation strategies
for preventing preterm birth. Adv Drug Deliv Rev [Internet]. 2021 Jul 1 [cited 2023 Nov
30];174:190. Available from: /pmc/articles/PMC8217279/
4. Mayangsari H, Mahmood MA. ACTIVE SMOKING AND EXPOSURE TO PASSIVE
SMOKING AMONG PREGNANT WOMEN ATTENDING A PRIMARY HEALTH
CENTRE IN TEMANGGUNG, INDONESIA. The Indonesian Journal of Public Health.
2021;16(31).
5. Daskalakis G, Goya M, Pergialiotis V, Cabero L, Kyvernitakis I, Antsaklis A, et al.
Prevention of spontaneous preterm birth. Arch Gynecol Obstet [Internet]. 2019 May 1
[cited 2023 Nov 30];299(5):1261–73. Available from:
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/30761417/
6. Cunningham GF, Leveno KJ, Dashe JS, Hoffman BL, Spong CY, Casey BM. Williams
Obstetrics. 26th ed. United States: McGraw-Hill; 2022. 783–803 p.
7. Vogel JP, Chawanpaiboon S, Moller AB, Watananirun K, Bonet M, Lumbiganon P. The
global epidemiology of preterm birth. Best Pract Res Clin Obstet Gynaecol [Internet].
2018 Oct 1 [cited 2023 Nov 30];52:3–12. Available from:
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/29779863/
8. Preterm birth [Internet]. [cited 2023 Nov 30]. Available from: https://www.who.int/news-
room/fact-sheets/detail/preterm-birth
9. Ohuma EO, Moller AB, Bradley E, Chakwera S, Hussain-Alkhateeb L, Lewin A, et al.
National, regional, and global estimates of preterm birth in 2020, with trends from 2010:
a systematic analysis. The Lancet. 2023 Oct 7;402(10409):1261–71.
10. Saleemi G, Stringer E, West S. Greater Manchester and Eastern Cheshire SCN Reducing
preterm birth guideline. 2021;
11. Ajeng H, Sukma D, Tiwari S. RISK FACTORS FOR PREMATURE BIRTH IN
INDONESIA. Jurnal Biometrika dan Kependudukan (Journal of Biometrics and
Population) [Internet]. 2021 Jun 25 [cited 2023 Nov 30];10(1):61–7. Available from:
https://e-journal.unair.ac.id/JBK/article/view/19004
12. Sebastiani G, Navarro-Tapia E, Almeida-Toledano L, Serra-Delgado M, Paltrinieri AL,
García-Algar Ó, et al. Effects of Antioxidant Intake on Fetal Development and
Maternal/Neonatal Health during Pregnancy. Antioxidants [Internet]. 2022 Apr 1 [cited
2023 Nov 30];11(4). Available from: /pmc/articles/PMC9028185/
13. Sykes L, Bennett PR. Efficacy of progesterone for prevention of preterm birth. Best Pract
Res Clin Obstet Gynaecol [Internet]. 2018 Oct 1 [cited 2023 Nov 30];52:126–36.
Available from: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/30266582/
14. Cobo T, Kacerovsky M, Jacobsson B. Risk factors for spontaneous preterm delivery. Int J
Gynaecol Obstet [Internet]. 2020 Jul 1 [cited 2023 Nov 30];150(1):17–23. Available
from: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/32524595/
15. Swaney P, Thorp J, Allen I. Vitamin C Supplementation in Pregnancy – Does it Decrease

30
Rates of Pre-term Birth: A Systematic Review. Am J Perinatol [Internet]. 2014 Feb [cited
2023 Nov 30];31(2):91. Available from: /pmc/articles/PMC6690177/
16. Abdulhussain AS. The efficacy and safety of vitamin C administration to women with
history of premature preterm rupture of membrane in prevention of such event in current
pregnancy: Randomized controlled clinical trial. Journal of Population Therapeutics and
Clinical Pharmacology [Internet]. 2022 Dec 9 [cited 2023 Nov 30];29(04):188–94.
Available from: https://www.jptcp.com/index.php/jptcp/article/view/985/1018
17. RUNDELL K, PANCHAL B. Preterm Labor: Prevention and Management. Am Fam
Physician [Internet]. 2017 Mar 15 [cited 2023 Nov 30];95(6):366–72. Available from:
https://www.aafp.org/pubs/afp/issues/2017/0315/p366.html
18. Care A, Nevitt SJ, Medley N, Donegan S, Good L, Hampson L, et al. Interventions to
prevent spontaneous preterm birth in women with singleton pregnancy who are at high
risk: systematic review and network meta-analysis. BMJ [Internet]. 2022 Feb 15 [cited
2023 Nov 30];376. Available from: https://www.bmj.com/content/376/bmj-2021-064547

31

Anda mungkin juga menyukai