Anda di halaman 1dari 24

1

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK REFERAT


FAKULTAS KEDOKTERAN JANUARI 2023
UNIVERSITAS NUSA CENDANA

PERTUSIS

Disusun Oleh

Daffa Annora Salsabila

(2208020015)

Pembimbing:

dr. Samuel Nalley, Sp.A

dr. Woro Indri Padmosiwi, Sp.A

DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIKI

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS NUSA CENDANA

RSUD PROF. DR. W. Z. JOHANNES


KUPANG
2023
2

LEMBAR PENGESAHAN

Referat ini diajukan oleh:

Nama : Daffa Annora Salsabila

NIM : 2208020015

Telah berhasil dibacakan dan dipertahankan dihadapan para pembimbing klinik


sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk mengikuti ujian komprehensif
di bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUD. Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang

Pembimbing Klinik

1. dr. Samuel Nalley, Sp.A 1. ………………….


Pembimbing Klinik I
2. dr. Woro Indri Padmosiwi, Sp.A 2. ………………….
Pembimbing Klinik II

Ditetapkan di : Kupang

Tanggal : Januari 2023


3

REFERAT
Pertusis
Daffa Annora Salsabila, S.Ked
SMF ILMU KESEHATAN ANAK
RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang
Fakultas Kedokteran Universitas Nusa Cendana Kupang
dr. Samuel Nalley, Sp.A
dr. Woro Indri Padmosiwi, Sp. A

PENDAHULUAN

Pertusis adalah infeksi saluran pernapasan atas dimana istilah Pertusis

sering diartikan sebagai “batuk rejan”, batuk seratus hari atau whooping cough.(1,2)

Pertusis disebabkan oleh bakteri gram negatif Bordetella pertussis.

Bordetella pertussis bakteri penyebab pertusis ialah patogen yang sangat menular

yang ditularkan melalui droplet aerosol selama batuk dan bersin.(3) Periode inkubasi

biasanya terjadi antara 7-10 hari, dengan rentang 4-21 hari.(4) WHO menyatakan

bahwa di 2008, sebanyak 16 juta kasus pertusis dan 195.000 nya ialah kasus

kematian anak akibat pertusis terjadi di dunia, dimana 95% kasus berasal dari

negara berkembang.(2) Berdasarkan departemen Kesehatan RI, telah dilaporkan

kasus pertusis di Indonesia sejak tahun 2000 sampai dengan 2006, yaitu sejumlah

29.562 kasus.(7) Bukti bahwa di 2018, CDC melaporkan insiden pertusis per

100.000 kasus dan 72.3% terjadi pada bayi <6 bulan.(6) Kelompok balita adalah

kelompok dengan angka kejadian pertusis yang tinggi dengan lebih dari 24 juta
4

kasus pertusis baru yang terjadi di dunia dan menyebabkan sejumlah 160.700 kasus

kematian akibat pertusis.(4)

Manifestasi klinis dari pertusis terbagi atas tiga stadium. Stadium kataral

yang berlangsung 1-2 minggu meliputi gejala umum infeksi saluran pernapasan atas

termasuk produksi sekret nasal dan dapat disertai demam ringan. Stadium ini sangat

infeksius dan mudah menularkan ke orang lain. (5,1) Selanjutnya di stadium

paroksismal, diagnosis pasien dapat dicurigai sebagai pertusis.(6) Stadium

paroksismal terjadi selama 2-6 minggu. Kemudian stadium konvalesen, terjadi

dalam 2 minggu atau lebih, atau disebut dengan stadium penyembuhan ini

mengakhiri perjalanan pertusis. Bayi kurang dari 3 bulan tidak menunjukkan gejala

dan stadium klasik. Tatalaksana pertusis pada bayi ialah perawatan lanjut di rumah

sakit dengan tujuan mencegah komplikasi lanjut dengan observasi penuh. Pada

pertusis yang sudah terkonfirmasi atau suspek dapat diberikan antibiotik berupa

Eritromisin atau Azitromisin, atau dapat diberi antibiotik alternatif yaitu

Klaritromisin atau TMP-SMX.(2) Pertusis dapat menyebabkan komplikasi berupa

pneumonia sekunder atau komplikasi sistem saraf pusat yaitu kejang dan

ensefalopati pada bayi akibat hipoksia, hipoglikemia atau infeksi sekunder.(11)

Pertusis adalah satu dari sebagian besar penyakit infeksius yang menyerang

anak dan bayi.(3,7) Penulisan referat ini bertujuan untuk membahas tentang definisi,

epidemiologi, etiologi, faktor risiko, patomekanisme, klasifikasi, skrining,

diagnosis banding, tatalaksana, komplikasi, prognosis, pencegahan, edukasi dan

kesimpulan mengenai pertusis.


5

DEFINISI

Pertusis atau bisa disebut juga dengan batuk rejan, ialah infeksi saluran

pernapasan akut yang disebabkan oleh bakteri penyebab yaitu Bordetella pertussis.

Nama lain dari pertusis adalah batuk rejan, intense cough, whooping cough, batuk

seratus hari atau violent cough.(1,2)

EPIDEMIOLOGI

Sebelum adanya vaksinasi, WHO melaporkan kasus pertusis global

mencapai angka lebih dari 1 juta kasus di rentang tahun 1940 hingga 1945. Setelah

dilakukan vaksinasi, angka kejadian pertusis menurun perlahan hingga 2.900 kasus

per tahun di tahun 1980 hingga 1990. Vaksin pertusis merupakan bagian dari

program WHO (WHO Expanded Program on Immunization) untuk imunsiasi sejak

1974. Selama 10 tahun terakhir, wabah pertusis telah diamati setiap 3-5 tahun. Data

dari 2008 sampai dengan 2015, terjadi peningkatan angka kasus pertusis yang

cukup signifikan di berbagai negara termasuk Amerika Serikat, Kanada, Australia,

Inggris, Belanda dan Jepang.(3)

WHO menyatakan bahwa di 2008, sebanyak 16 juta kasus pertusis dan

195.000 nya ialah kasus kematian anak akibat pertusis terjadi di dunia, dimana 95%

kasus berasal dari negara berkembang.(2) Berdasarkan departemen Kesehatan RI,

telah dilaporkan kasus pertusis di Indonesia sejak tahun 2000 sampai dengan 2006,

yaitu sejumlah 29.562 kasus.(7)

Data WHO menyebutkan bahwa di tahun 2018, terdapat lebih dari 151.000

kasus pertusis secara global. Pertusis menyebar dengan cepat ke sesama manusia
6

sehingga kasus pertusis pada kelompok bayi tergolong tinggi. Telah dilaporkan oleh

WHO kelompok bayi dan anak-anak merupakan kelompok dengan angka kasus

yang tinggi akibat pertusis. Bukti bahwa di 2018, CDC melaporkan insiden pertusis

per 100.000 kasus dan 72.3% terjadi pada bayi <6 bulan.(6) Kelompok balita adalah

kelompok dengan angka kejadian pertusis yang tinggi dengan lebih dari 24 juta

kasus pertusis baru yang terjadi di dunia dan menyebabkan sejumlah 160.700 kasus

kematian akibat pertusis.(4) Bayi di bawah 6 bulan memiliki angka kejadian 10-15%

dari semua kasus pertusis. Lebih dari 90% dari semua kematian terjadi pada

kelompok bayi usia di bawah 6 bulan. (5) Penelitian oleh Masseria et al pada 2017

mendapatkan hasil statistik bahwa dari 1.032 kasus pertusis yang diidentifikasi,

bayi berusia 2-3 bulan memiliki angka kejadian tertinggi dan terus menurun dari

bulan ke-4 hingga ke-12 kehidupan.(9)

ETIOLOGI

Organisme penyebab pertusis adalah Bordetella pertussis, atau Bordetella

parapertussis.(10) Reservoir dari Bordetella adalah manusia, dimana dari sesama

manusia, organisme disebarkan oleh droplet aerosol yang sangat infeksius

khususnya di stadium awal.(2,11) Bordetella parapertussis adalah penyebab pertusis

sporadik yang menjangkit kasus pertusis di Eropa Timur dan Barat. Bordetella

holmessi, pertama kali diidentifikasi sebagai bakteri penyebab penyakit imun tanpa

adanya gejala batuk yang mana juga dilaporkan menyebabkan penyakit batuk mirip

pertusis yang mewabah di masyarakat sehat. (2)


7

Bordetella pertussis adalah bakteri kokobasilus aerobik gram negatif yang

menginfeksi lapisan mukosa dari saluran pernapasan, dengan cara berkolonisasi di

epitel yang bersilia.(2,4,12) Bakteri bordetella pertussis membutuhkan media khusus

(Regan-Lowe) untuk dilakukan isolasi/kultur. Bordetella pertussis memproduksi

beberapa antigen dan produk aktif termasuk diantaranya ialah toksin pertusis

(pertussis toxin/PT), filamen hemagglutinin (filamentous hemagglutinin/FHA),

siklik adenilat, pertactin dan sitotoksin trakeal dimana produk aktif tersebut dapat

membawa ke dampak klinis dari penyakit pertusis. (2,4)

Namun, pertusis sering tidak dicurigai pada anak besar dan dewasa,

menyebabkan individu yang sangat menular menyebarkan infeksi melalui droplet

aerosol selama sekitar 21 hari setelah timbulnya batuk. Selama wabah pertusis di

beberapa negara pada 2012, bayi adalah kelompok usia yang paling terpapar.(10)

FAKTOR RISIKO

Pertusis adalah penyakit yang sangat infeksius dengan tingkat serangan

setinggi 100% pada individu yang rentan terkena tetesan droplet aerosol dari jarak

dekat atau dari droplet langsung dari seseorang yang sudah terinfeksi itu

sendiri.(1,12) Penyebaran droplet dapat terjadi melalui kontak tatap muka langsung,

berada di satu ruangan tertutup atau melalui kontak dengan sekret hidung, mulut,

atau saluran pernapasan lain dari sumber yang terinfeksi. (5) Pertusis sering

menyerang sebagian besar kontak rumah tangga yang tidak memiliki kekebalan dari

vaksinasi. Setelah melakukan vaksinasi, kekebalan berkurang hingga 50% di

rentang waktu 12 tahun.(11)


8

Individu dengan tanpa riwayat imunisasi, adanya paparan langsung

terhadap wabah, kontak dekat dengan individu yang terinfeksi berisiko tinggi untuk

tertular pertusis. Risiko tinggi terhadap durasi dan komplikasi penyakit terjadi pada

neonatus dengan kelahiran premature, atau individu dengan adanya penyakit

bawaan seperti jantung, paru-paru, neuromuscular atau penyakit neurologi. (5)

PATOGENESIS

Pertusis secara umum adalah penyakit yang dimediasi oleh toksin. (4)

Bordetella sp sendiri memiliki homologi DNA tingkat tinggi di antara gen virulensi.

Dari semua spesies Bordetella, hanya Bordetella pertusis yang menghasilkan toksin

pertusis yang mana toksin pertusis adalah sebagian protein virulensi. (2) Toksin

tersebut terdiri dari toksin pertusis, toksin dermonecrotic, toksin adenilat siklase,

filamen hemagglutinin (filamentous hemagglutinin/FHA) dan sitotoksin trakeal

yang mana berperan dalam mekanisme perjalanan gejala penyakit.(2,4) Filamen

hemagglutinin dan fimbraenya ialah adhesin yang membantu kolonisasi di trakea.

Keduanya sangat imunogenik. Toksin pertusis berperan sebagai adhesin dan dapat

mengganggu jalur sinyal sel di paru-paru dan menyebabkan leukositosis. Sementara

toksin adenilat siklase menghambat migrasi dan aktivasi fagosit dan sel T. (6)

Walaupun organisme sendiri tidak berpenetrasi langsung di saluran

pernapasan dan hampir tidak ditemukan di kultur darah. (4) Karena, toksin tersebut

menghambat daripada pengurangan jumlah organisme.(2)

Produksi zat-zat biologis tersebut berpengaruh terhadap kerusakan epitel

lokal yang menyebabkan gejala respiratorik dan memfasilitasi absorbsi dari toksin
9

pertusis. Antibodi dan respon imun seluler dari produk-produk aktif inilah yang

menghasilkan inefeksi dan imunitasnya. Namun, imunitas atau kekebalan tubuh

terhadap infeksi tersebut bersifat tidak permanen. (4) Penyakit serta DTP

diperkirakan mendorong respons imunologi seluler dan antibodi (Th1), sementara

DTaP mendorong respons dominan antibodi (Th2).(2) Vaksin DTaP keduanya

meningkatkan respons antibodi yang kuat terhadap zat-zat toksin yang sudah

dituliskan sebelumnya di atas. Netralisasi antibodi dari adhesin FHA atau Prn akan

memengaruhi kemampuan Bordetella pertussis untuk berkolonisasi dan bertahan

hidup di saluran respirasi manusia.(13)

MANIFESTASI KLINIS

Gejala klasik yang khas pada pertusis adalah adanya suara “whoop”, atau

bisa disebut dengan inspirasi yang panjang dengan nada tinggi (high pitched).(8)

Gejala meliputi demam ringan, pilek dan batuk yang nantinya akan berkembang

menjadi serangan batuk berulang. Periode inkubasi dari pertusis rata-rata adalah 7

hingga 10 hari dengan rentang maksimal antara 4 hingga 21 hari. Manifestasi klinis

dari pertusis terbagi atas tiga stadium, yaitu stadium kataral, stadium paroksismal

dan stadium konvalesen.(4,2,11)

a. Stadium Kataral (1-2 minggu)

Stadium ini dimulai sesaat setelah periode inkubasi yang berjarak

antara 3-12 hari dengan gejala rinore, bersin yang bervariasi disertai dengan

demam ringan, bersin, lakrimasi, batuk sesekali mirip dengan flu biasa.
10

Batuk secara bertahap menjadi lebih parah setelah 1-2 minggu.(2,4) Stadium

ini sangat infeksius dan mudah menularkan ke orang lain. (1,5)

b. Stadium Paroksismal (2-6 minggu)

Di stadium paroksismal, diagnosis pasien dapat dicurigai sebagai

pertusis.(6) Stadium paroksismal mengikuti fase kataral dan ditandai dengan

batuk kering yang intermiten, batuk keras, dan terjadi batuk paroksismal

yang terjadi akibat sulitnya mengeluarkan mukus dari cabang

trakeobronkial.(2) Stadium paroksismal pada anak-anak dengan provokasi

batuk, yang mana anak tiba-tiba menunjukkan ekspresi bingung kemudian

dilanjut dengan batuk staccato atau serangan batuk keras di ekspirasi dengan

suara seperti mesin tembak. Anak terlihat membiru di wajah, dagu dan dada

tertekan, lidah menjulur maksimal, mata membengkak dan lakrimasi hingga

tiba-tiba diikuti dengan teriakan keras saat udara inspirasi melewati jalan

napas yang masih tertutup sebagian, diikuti dengan inspirasi yang kuat,

yang membuat kesan teriakan atau whoop.(2,5) Episode ini mungkin dipicu

oleh dingin atau kebisingan dan lebih sering terjadi pada malam hari.

Bayi berusia kurang dari 6 bulan tidak memiliki karakteristik

“whoop” tetapi mungkin mengalami episode apnea dan berisiko mengalami

kelelahan. Emesis post-tusif dan kelelahan dapat terjadi, kemudian muka

kemerahan saat batuk sering muncul pada anak-anak.(5,11) Jumlah dan

tingkat keparahan serangan tiba-tiba meningkat dari hari ke minggu dan

tetap di dataran tinggi itu selama berhari-hari hingga berminggu-minggu.


11

Pada puncak stadium paroksismal, pasien mungkin mengalami 15

kali serangan per 24 jam, atau >1 episode per jam. (2,4) Pada batuk

paroksismal yang tidak berisiko membahayakan, durasi batuknya kurang

dari 45 detik, terlihat perubahan warna kulit menjadi kemerahan, pasien

cenderung takikardi, dengan adanya desaturasi oksigen yang secara spontan

pada akhir paroksismal, serta mucus atau lendir yang dapat dikeluarkan

sendiri. Pasien tampak kelelahan akibat post-tusif namun kesadaran pasien

tetap baik.(2)

c. Stadium Konvalesen (>= 2 minggu hingga beberapa bulan)

Selama stadium konvalesen, sisa batuk bertahan selama berminggu-

minggu hingga berbulan-bulan, biasanya dipicu oleh paparan infeksi

saluran pernapasan lainnya, atau iritan.(11) Batuk secara bertahap akan hilang

perlahan-lahan dengan durasi waktu beberapa minggu hingga bulan. (1)

Namun, batuk paroksismal sering kambuh dengan infeksi pernapasan

berikutnya.(4)

Bayi kurang dari 3 bulan tidak menunjukkan stadium dengan gejala

klasik.(11) Stadium kataral pada bayi hanya berlangsung beberapa hari atau bahkan

tidak terlihat, dan inspirasi “whoop” jarang terjadi.(4) Setelah fase yang tidak

signifikan ini, bayi akan tampak mulai tersedak, megap-megap, muntah dengan

muka yang kemerahan. Apnea dan sianosis mungkin diikuti dengan gejala batuk

paroksismal. Kedua gejala ini biasanya mengarah kepada pertusis dibandingkan


12

dengan infeksi virus neonatal. Namun, stadium paroksismal dan konvalesen pada

bayi muda berlangsung lama. Sepanjang tahun pertama, eksaserbasi batuk

paroksismal dapat terjadi.(2)

DIAGNOSIS

Penegakkan diagnosis pertusis dapat dilakukan dengan menanyakan

riwayat batuk pasien dan gejala penyertanya, serta pemeriksaan penunjang untuk

memastikan adanya organisme Bordetella pertusis. Gejala terkini pasien dicurigai

pertusis ditentukan untuk mengetahui stadium yang sedang dialami pasien. Pertusis

bisa dicurigai pada setiap individu yang memiliki keluhan batuk berkepanjangan

dan dominan. Terjadi batuk paroksismal dengan tarikan napas panjang menyerupai

bunyi “whoop”. Pada anak lebih besar, serangan batuk paroksismal sering terjadi

dan meningkat pada 7-10 hari. Pada bayi < 3 bulan dicurigai pertusis dengan

tersedak (gagging), terngah-engah (gasping), apnea, sianosis atau keadaan yang

mengancam jiwa.(2)

Pemeriksaan penunjang sebagai pendukung diagnosis pertusis bisa dilaukan

dengan kultur apusan sekret nasofaring dan PCR. Pemeriksaan baku emas pada

diagosa pertusis adalah kultur apusan sekret nasofaring. Pada kultur digunakan

media Regan-Lowe charcoal agar dengan durasi waktu kultur selama 2 minggu.(1,2)

Namun biasanya hasil kultur negatif pada 96% pemeriksaan dan sensitivitasnya

hanya 20 hingga 40 persen.(11) Pemeriksaan PCR lebih sensitif daripada kultur.

Spesimen yang digunakan pada tes PCR adalah apusan sekret nasofaring bagian

posterior. Hasil sensitivitas yang optimal terjadi selama 3 minggu pertama episode
13

batuk, yaitu ketika DNA bakteri Bordetella pertusis masih berada di nasofaring.(6)

Pada hasil laboratorium darah rutin, selama fase catarrhal akhir dan paroksismal

awal, leukositosis (seringkali 25.000 hingga 60.000 per mL) dengan limfositosis

dapat meningkatkan kecurigaan terhadap pertusis. Temuan rontgen dada tidak

spesifik dan dapat menunjukkan penebalan peribronkial, atelektasis, atau

infiltrat.(1,11)

DIAGNOSIS BANDING

Pertusis awalnya muncul mirip dengan infeksi saluran pernapasan lainnya,

seperti infeksi saluran pernapasan atas virus, bronkiolitis, pneumonia, dan

tuberkulosis. Faktor pembeda utama dari pertusis termasuk perkembangan khas

melalui tiga stadium dan batuk terus-menerus tanpa demam atau dengan demam

ringan. Aspirasi benda asing bisa dipertimbangkan pada pasien yang lebih muda.(11)

Penyakit yang menyerupai pertusis klinis adalah sebagai berikut:

a. Infeksi pernapasan adenoviral : Pada pasien anak mengalami demam,

sakit tenggorokan, dan konjungtivitis.

b. Pneumonia mikoplasma (M. pneumonia) : Pasien dengan infeksi

mikoplasma memiliki gejala sistemik yang lebih jelas, demam dan sakit

kepala dapat terjadi, dan rales dapat terlihat pada auskultasi dada.

c. Pneumonia klamidia (C. pneumonia) : Bayi muda dengan infeksi

klamidia memiliki gejala batuk staccato yaitu serangan batuk

paroksismal yang khas pada pertusis (batuk keras), sekret konjungtiva

purulen, takipnea, rales, dan mengi.


14

d. Infeksi RSV (respiratory syncytial virus) : Pasien datang dengan tanda-

tanda saluran pernapasan bagian bawah yang dominan misalnya

mengi. (5)

TATALAKSANA

Penatalaksanaan medikamentosa pertusis bersifat suportif. Antibiotik

memiliki tingkat efektivitas tinggi bila diberikan lebih awal. Terapi dapat

membasmi organisme dari sekresi sehingga menurunkan daya tular dan

berpengaruh terhadap baik buruknya perjalanan klinis pasien yang terpapar

pertusis. Terapi 1-2 minggu diberikan saat pertama batuk sebelum dimulainya

serangan batuk tiba-tiba.(6)

Bayi di bawah 3 bulan dengan suspek pertusis biasanya dilakukan

perawatan di rumah sakit, termasuk bayi 3-6 bulan, selama kondisi paroksismal

tidak parah dan adanya komplikasi signifikan yang terjadi. Secara spesifik,

perawatan rumah sakit ditujukan untuk diantaranya yaitu :

a. Menilai perkembangan penyakit dan kemungkinan kejadian yang

mengancam jiwa pada puncak penyakit

b. Memaksimalkan nutrisi

c. Mencegah atau mengobati komplikasi

d. Mengedukasi orang tua tentang riwayat alamiah penyakit dan perawatan

yang akan diberikan di rumah.(2)

Agen antimikroba selalu menjadi lini utama dalam pengobatan pertusis

yang suspek maupun terkonfirmasi untuk mengurangi penularan dan memberikan


15

manfaat klinis yang mungkin. (4,6) Pengobatan dengan antimikroba dan profilaksis

pasca terpapar pertusis yang direkomendasikan, diantaranya yaitu :

a. Antimikroba utama

1. Azitromisin :

Bayi < 1 bulan : 10 mg/kgBB/hari dosis tunggal dalam 5 hari

Bayi 1-5 bulan : 10 mg/kgBB/hari dosis tunggal dalam 5 hari

Bayi >=6 bulan dan anak-anak : 10mg/kgBB dosis tunggal pada hari

pertama (maksimal 500 mg) kemudian dilanjut 5 mg/kgBB/hari (maksimal

250 mg) di hari ke 2 s/d 5

2. Eritromisin :

Bayi < 1 bulan : Eritromisin tidak direkomendasikan karena dapat

menyebabkan IHPS (infantile hypertrophic pyloric stenosis). Bila

eritromisin tidak ada maka diberikan azitromisin dengan dosis 10

mg/kgBB/hari dosis tunggal dalam 5 hari.

Bayi 1-5 bulan : 40-50mg/kgBB/hari terbagi 4 dosis selama 14 hari

Bayi >=6 bulan dan anak-anak : 40-50 mg/kgBB/hari terbagi 4 dosis

selama 14 hari.(2)

b. Antimikroba alternatif

1. Klaritromisin

Bayi < 1 bulan : Tidak direkomendasikan


16

Bayi 1-5 bulan : 15 mg/kgBB/hari terbagi atas 2 dosis selama 7 hari

Bayi >=6 bulan dan anak-anak : 15 mg/kgBB/hari terbagi atas 2 dosis

(maksimal 1 g/hari) selama 7 hari

2. TMP-SMX (Trimethoprim-sulfamethoxazole)

Bayi < 1 bulan : Kontraindikasi pada bayi < 1 bulan karena resiko

kernikterus

Bayi 1 bulan s/d 5 bulan : TMP diberikan 8 mg/kgBB/hari dengan SMX

40 mg/kgBB/hari terbagi 2 dosis selama 14 hari

Bayi >=6 bulan dan anak-anak : TMP 8 mg/kgBB/hari dengan SMX 40

mg/kgBB/hari terbagi 2 dosis (maksimal TMP : 320 mg/hari) selama 14 hari

TMP-SMX digunakan sebagai antimikroba alternatif sebagai makrolid

pada pasien <= 2 bulan yang alergi terhadap makrolid dan intoleran terhadap

makrolid.(2)

Perencanaan tatalaksana monitoring dilakukan dengan observasi denyut

jantung, frekuensi pernapasan dan saturasi oksigen. Riwayat batuk yang detail dan

pemberian makan, muntah dan perubahan berat badan.(2,11)


17

KOMPLIKASI

Bayi muda berada pada risiko tertinggi untuk mengembangkan komplikasi

terkait pertusis. Data dari tahun 2000-2017 menunjukkan bahwa pneumonia terjadi

pada 13,2% dari semua kasus pertusis yang dilaporkan, dan di antara 18,6% bayi

berusia kurang dari 6 bulan.(6) Pneumonia superimposed adalah penyebab utama

kematian pada bayi dan anak dan dapat disebabkan oleh aspirasi isi gaster selama

serangan batuk atau karena penurunan pembersihan patogen respiratorik.(11)

Hipertensi pulmonal progresif pada bayi yang sangat muda dan pneumonia bakteri

sekunder merupakan komplikasi pertusis yang parah dan biasanya merupakan

penyebab kematian. Hipertensi pulmonal dan syok kardiogenik dengan hasil yang

fatal berhubungan dengan peningkatan jumlah limfosit dan trombosit yang

ekstrim. (2) Demam akan mereda selama fase kataral dan pada fase paroksismal bisa

terjadi suspek pneumonia. Penyebab tersering pneumonia bakterial sekunder adalah

Streptococcus pneumoniae, Streptococcus pyogenes, Haemophilus influenzae, dan

Staphylococcus aureus.(ncbi) Antara tahun 2000 dan 2017, 307 kematian akibat

pertusis dilaporkan ke CDC; anak-anak di bawah usia 2 bulan memberi sejumlah

84,0% dari kematian ini.(6)

Sekitar kurang dari 2% kasus pertusis, komplikasi SSP seperti kejang dan

ensefalopati dapat terjadi, kemungkinan sekunder akibat hipoksia, hipoglikemia,

toksin, infeksi sekunder, atau pendarahan otak akibat peningkatan tekanan selama

batuk.(11) Bayi sangat rentan terhadap bradikardia, hipotensi, dan serangan jantung

akibat pertusis. Perkembangan hipertensi pulmonal telah semakin diakui sebagai


18

faktor yang berkontribusi terhadap kematian infantil, karena dapat menyebabkan

hipotensi sistemik dan hipoksia yang memburuk.(11)

PROGNOSIS

Kebanyakan orang yang terinfeksi pertusis akan pulih sepenuhnya,

meskipun biasanya setelah sakit dengan durasi berkepenjangan selama berbulan-

bulan.(2,14) Bayi dan orang dewasa yang lebih tua cenderung memiliki mortalitas

dan morbiditas tertinggi. Tingkat kematian bayi adalah sekitar 2% dari kasus dan

96% dari kematian yang berhubungan dengan pertusis. (14)

PENCEGAHAN

Imunitas setelah terpapar atau sembuh dari pertusis tidak permanen. Orang

yang tidak divaksinasi atau divaksinasi tidak lengkap yang pulih dari pertusis harus

memulai atau melengkapi imunisasi aktif dengan DTaP sesuai dengan indikasi.(6)

Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), cakupan imunisasi difteri, tetanus

dan pertusis (DTP) nasional tahun 2013 adalah sebesar 75,6%, cakupan tersebut

meningkat dari data tahun 2010 yang hanya sebesar 61,9%.(15)

Setelah pengenalan vaksinasi pertusis selama tahun 1950-an - 1960-an,

penurunan angka kasus yang signifikan (<90%) dalam kejadian dan kematian

pertusis telah diamati. Oleh karena itu, vaksin pertusis telah menjadi bagian dari

Program Perluasan Imunisasi WHO sejak didirikan pada tahun 1974. (16) Insidens

pertusis menurun dari sekitar 355.000 kasus per tahun menjadi hanya sekitar 5.000

kasus per tahun.(12) Tetapi, angka kejadian dilaporkan meningkat kembali dan

menjadi perhatian dunia walau tidak ada kasus kematian akibat pertusis. Vaksin
19

pertusis tidak diberikan secara terpisah melainkan diberikan dalam bentuk

gabungan dengan vaksin difteri dan tetanus. (7)

Vaksin DTP mengandung daripada bahan difteri, tetanus dan toksin pertusis

yang inaktif, dan sel B. pertussis yang dimatikan. Efek samping dari vaksin DTP,

termasuk demam dan nyeri di tempat suntikan, menimbulkan perkembangan vaksin

pertusis jenis 'aseluler', atau DTaP.(13) Meskipun efektif, aPs (vaksin aselular) saat

ini memiliki efikasi/efektivitas yang kurang dari yang diinginkan. Di beberapa

negara maju dan berkembang menggunakan vaksin pertusis jenis aselular pada

program imunisasi nasional, termausk Indonesia.(12) Efek jangka panjang dari

vaksinasi bayi terbatas dan sangat penting untuk mempertahankan cakupan

vaksinasi yang memadai dengan beberapa penguat aP sepanjang hidup. (17)

Penelitian oleh Klein dkk yang dilakukan untuk menilai efektivitas pada remaja

memaparkan hasil bahwa remaja yang menerima vaksin DTwP (whole-cell) pada

masa kanak-kanak lebih terlindung pada saat terjadi wabah pertusis dibandingkan

dengan mereka yang menerima vaksin DTaP.(12)

Berdasarkan penelitian oleh Sendy dan Hartono pada 2017, keunggulan

vaksin DTaP adalah KIPI vaksin DTaP yang lebih ringan dan lebih jarang,

dibandingkan dengan vaksin DTwP. Di Indonesia, vaksin DTwP tetap diberikan

secara vaksin DTwP terbukti aman pada anak Indonesia, walapun KIPI dari

pemberian vaksin DTwP tetap ada namun bersifat ringan dan hanya sementara.

Vaksin DTwP memberikan perlindungan daripada pertusis yang lebih tinggi, hal

ini lebih baik dibandingkan pemberian vaksin DTaP. (12)


20

EDUKASI

Menyampaikan kepada masyarakat khususnya orang tua untuk

mengimunisasikan anaknya di fasilitas kesehatan atau bisa juga posyandu untuk

mendapatkan vaksinasi DPT. Vaksin DPT diberikan di umur 3, 4, dan 5 bulan, 18

bulan, dan yang terakhir pada umur 5 tahun berupa imunisasi DPT lanjutan atau

booster.(18,19) Vaksinasi tidak hanya diberikan kepada anak saja, melainkan dapat

juga diberikan kepada orang tua misalnya sewaktu merencanakan kehamilan atau

sesaat setelah bayi lahir, atau untuk orang dewasa yang bekerja dengan anak kecil

sebagai contoh petugas kesehatan atau petugas penitipan untuk mengurangi peluang

anak terpapar penyakit akibat kontak dengan orang dewasa. (18)

Bila anak berada dalam kontak dekat dengan penderita pertusis, maka tidak

menutup kemungkinan bahwa anak akan terpapar infeksi penyakit pertusis juga,

khususnya bagi bayi dan anak di bawah 1 tahun maka orang tua diedukasi untuk

memeriksakan anaknya kepada dokter terkait kondisi anak saat itu juga. (18)

KESIMPULAN

Pertusis ialah infeksi saluran pernapasan akut yang disebabkan oleh bakteri

Bordetella pertussis. Kelompok balita adalah kelompok dengan angka kejadian

pertusis yang tinggi dengan lebih dari 24 juta kasus pertusis baru yang terjadi di

dunia dan menyebabkan sejumlah 160.700 kasus kematian akibat pertusis. Bayi di

bawah 6 bulan memiliki angka kejadian 10-15% dari semua kasus pertusis dan dari

1.032 kasus pertusis yang diidentifikasi, bayi berusia 2-3 bulan memiliki angka

kejadian tertinggi.
21

Bordetella pertussis memproduksi beberapa antigen dan produk aktif yang

dapat membawa ke dampak klinis dari penyakit pertusis. Cara penularan penyakit

ialah melalui tetesan droplet aerosol. Penyebaran droplet dapat terjadi melalui

kontak tatap muka langsung, berada di satu ruangan tertutup atau melalui kontak

dengan sekret hidung, mulut, atau saluran pernapasan lain dari sumber yang

terinfeksi. Produksi zat-zat biologis yang dihasilkan oleh bakteri Bordetella

pertusis berpengaruh terhadap kerusakan epitel lokal yang menyebabkan gejala

respiratorik dan memfasilitasi absorbsi dari toksin pertusis.. Toksin pertusis

berperan sebagai adhesin yang dapat mengganggu jalur sinyal sel di paru-paru dan

menyebabkan leukositosis. Sementara toksin adenilat siklase menghambat migrasi

dan aktivasi fagosit dan sel T Manifestasi klinis dari pertusis terbagi atas tiga

stadium, yaitu stadium kataral, stadium paroksismal dan stadium konvalesen.

Penyakit yang menyerupai pertusis klinis adalah infeksi pernapasan adenoviral,

pneumonia mikoplasma, pneumonia klamidia, dan infeksi RSV.

Penatalaksanaan pertusis ialah terapi dengan antibiotik yang digunakan

sebagai tatalaksana suportif dan profilaksis pertusis, dengan diikuti oleh observasi

keadaan umum pasien dan riwayat serangan batuk. Antibiotik utama yang

digunakan adalah azitromisin dan eritromisin. Antimikroba alternatif diberi bila

antimikroba utama tidak tersedia, diantaranya adalah klaritromisin dan

trimethoprim sulfametoxazol (TMP-SMX). Perencanaan tatalaksana monitoring

dilakukan dengan observasi denyut jantung, frekuensi pernapasan dan saturasi

oksigen, riwayat batuk yang detail dan pemberian makan, muntah dan perubahan

berat badan.
22

Pneumonia terjadi pada 13,2% dari semua kasus pertusis yang

dilaporkan. Pneumonia superimposed adalah penyebab utama kematian pada bayi

dan anak dan dapat disebabkan oleh aspirasi isi gaster selama serangan batuk atau

karena penurunan pembersihan patogen respiratorik. Sekitar kurang dari 2% kasus

pertusis, komplikasi SSP seperti kejang dan ensefalopati dapat terjadi,

kemungkinan sekunder akibat hipoksia, hipoglikemia, toksin, infeksi sekunder,

atau pendarahan otak akibat peningkatan tekanan selama batuk. Kebanyakan orang

yang terinfeksi pertusis akan pulih sepenuhnya. Tingkat kematian bayi adalah

sekitar 2% dari kasus dan 96% dari kematian yang berhubungan dengan pertusis.

Pencegahan dari penyakit pertusis adalah dengan dilakulan imunisasi

pertusis. Orang yang tidak divaksinasi atau divaksinasi tidak lengkap yang pulih

dari pertusis harus memulai atau melengkapi imunisasi aktif dengan DTaP sesuai

dengan indikasi. Vaksin DTP mengandung daripada bahan difteri, tetanus dan

toksin pertusis yang inaktif, dan sel B. pertussis yang dimatikan.

Bila anak berada dalam kontak dekat dengan penderita pertusis, maka tidak

menutup kemungkinan bahwa anak akan terpapar infeksi penyakit pertusis juga,

khususnya bagi bayi dan anak di bawah 1 tahun maka orang tua diedukasi untuk

memeriksakan anaknya kepada dokter terkait kondisi anak saat itu juga.
23

DAFTAR PUSTAKA

1. UI FK. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi V. Jakarta: Media Aesculapius. 2020


2. NELSON Textbook of Pediatrics Ed 20th, 2020, Chapter 224 : Pertussis
(Bordetella pertussis and Bordetella parapertussis ) Emily Souder, Sarah S.
Long
3. Macina D, Evans KE. Bordetella pertussis in school-age children, adolescents
and adults: a systematic review of epidemiology and mortality in Europe.
Infectious diseases and therapy. 2021 Dec;10(4):2071-118.
https://link.springer.com/content/pdf/10.1007/s40121-021-00520-
9.pdf?pdf=button https://doi.org/10.1007/s40121-021-00520-9
4. Centers for Disease Control and Prevention. Epidemiology and Prevention of
Vaccine-Preventable Diseases. Hall E., Wodi A.P., Hamborsky J., et al., eds.
14th ed. Washington, D.C. Public Health Foundation, 2021.
5. Medscape.com, 2019, Pertussis, Terdapat di:
https://emedicine.medscape.com/article/967268-overview [Diakses pada 25
Desember, 2022]
6. CDC (2022). Pertussis (Whooping Cough) Centers for Disease Control and
Prevention. https://www.cdc.gov/pertussis/clinical/index.html Diakses
Desember 2022
7. Anggraini, N. Dwi dkk. Clinical and Laboratory Manifestation in Children
With Pertussis at dr. Soetomo General Hospital Surabaya. Faculty of Medicine
Universitas Airlangga Surabaya. 2017
8. NFID (2021) Whooping Cough (Pertussis). National Foundation for Infectious
Disease https://www.nfid.org/infectious-diseases/pertussis-whooping-cough/
[Diakses pada 23 Desember 2022]
9. Masseria C, Martin CK, Krishnarajah G, Becker LK, Buikema A, Tan TQ.
Incidence and burden of pertussis among infants less than 1 year of age. The
Pediatric infectious disease journal. 2017 Mar;36(3):e54.
24

10. Wu DX, Chen Q, Yao KH, Li L, Shi W, Ke JW, Wu AM, Huang P, Shen KL.
Pertussis detection in children with cough of any duration. BMC pediatrics.
2019 Dec;19(1):1-9. https://doi.org/10.1186/s12887-019-1615-3
11. Lauria AM, Zabbo CP. Pertussis. InStatPearls [Internet] 2021 Jun 26.
StatPearls Publishing.
12. Tjahjowargo S, Gunardi H. Perbandingan Efektivitas dan Keamanan Vaksin
Pertusis Aselular dan Whole-cell. Sari Pediatri. 2017 Mar 29;18(5):403-8.
13. Etskovitz H, Anastasio N, Green E, May M. Role of evolutionary selection
acting on vaccine antigens in the re-emergence of Bordetella pertussis.
Diseases. 2019 Apr 16;7(2):35.
14. Forsyth KD, Tan T, von König CH, Heininger U, Chitkara AJ, Plotkin S.
Recommendations to control pertussis prioritized relative to economies: A
Global Pertussis Initiative update. Vaccine. 2018 Nov 19;36(48):7270-5.
15. Pusat data dan informasi Kementerian Kesehatan RI. Situasi dan analisis
imunisasi. 2014 [diakses tanggal 30 Desember 2022]. Didapat dari:
http://www.pusdatin. kemkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/
infodatin-imunisasi.pdf.
16. World Health Organization, Global Vaccine Safety. Information sheet:
observed rate of vaccine reactions: diphtheria, pertussis, tetanus vaccines.
2014. Diakses tanggal 30 Desember 2022. Didapat dari :
https://www.who.int/teams/health-product-policy-and-standards/standards-
and-specifications/vaccines-quality/pertussis
17. Susanna Esposito & Nicola Principi (2018) Prevention of pertussis: An
unresolved problem, Human Vaccines & Immunotherapeutics, 14:10, 2452-
2459, DOI: 10.1080/21645515.2018.1480298
18. NSW. Pertusis (Batuk Rejan) Lembar Fakta Penyakit Menular.
www.health.nsw.gov.au
19. Kemenkes RI 2015, Buku Ajar Imunisasi. 2nd edn, Pusat Pendidikan dan
Pelatihan Tenaga Kesehatan, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai