PERTUSIS
Disusun Oleh
(2208020015)
Pembimbing:
LEMBAR PENGESAHAN
NIM : 2208020015
Pembimbing Klinik
Ditetapkan di : Kupang
REFERAT
Pertusis
Daffa Annora Salsabila, S.Ked
SMF ILMU KESEHATAN ANAK
RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang
Fakultas Kedokteran Universitas Nusa Cendana Kupang
dr. Samuel Nalley, Sp.A
dr. Woro Indri Padmosiwi, Sp. A
PENDAHULUAN
sering diartikan sebagai “batuk rejan”, batuk seratus hari atau whooping cough.(1,2)
Bordetella pertussis bakteri penyebab pertusis ialah patogen yang sangat menular
yang ditularkan melalui droplet aerosol selama batuk dan bersin.(3) Periode inkubasi
biasanya terjadi antara 7-10 hari, dengan rentang 4-21 hari.(4) WHO menyatakan
bahwa di 2008, sebanyak 16 juta kasus pertusis dan 195.000 nya ialah kasus
kematian anak akibat pertusis terjadi di dunia, dimana 95% kasus berasal dari
kasus pertusis di Indonesia sejak tahun 2000 sampai dengan 2006, yaitu sejumlah
29.562 kasus.(7) Bukti bahwa di 2018, CDC melaporkan insiden pertusis per
100.000 kasus dan 72.3% terjadi pada bayi <6 bulan.(6) Kelompok balita adalah
kelompok dengan angka kejadian pertusis yang tinggi dengan lebih dari 24 juta
4
kasus pertusis baru yang terjadi di dunia dan menyebabkan sejumlah 160.700 kasus
Manifestasi klinis dari pertusis terbagi atas tiga stadium. Stadium kataral
yang berlangsung 1-2 minggu meliputi gejala umum infeksi saluran pernapasan atas
termasuk produksi sekret nasal dan dapat disertai demam ringan. Stadium ini sangat
dalam 2 minggu atau lebih, atau disebut dengan stadium penyembuhan ini
mengakhiri perjalanan pertusis. Bayi kurang dari 3 bulan tidak menunjukkan gejala
dan stadium klasik. Tatalaksana pertusis pada bayi ialah perawatan lanjut di rumah
sakit dengan tujuan mencegah komplikasi lanjut dengan observasi penuh. Pada
pertusis yang sudah terkonfirmasi atau suspek dapat diberikan antibiotik berupa
pneumonia sekunder atau komplikasi sistem saraf pusat yaitu kejang dan
Pertusis adalah satu dari sebagian besar penyakit infeksius yang menyerang
anak dan bayi.(3,7) Penulisan referat ini bertujuan untuk membahas tentang definisi,
DEFINISI
Pertusis atau bisa disebut juga dengan batuk rejan, ialah infeksi saluran
pernapasan akut yang disebabkan oleh bakteri penyebab yaitu Bordetella pertussis.
Nama lain dari pertusis adalah batuk rejan, intense cough, whooping cough, batuk
EPIDEMIOLOGI
mencapai angka lebih dari 1 juta kasus di rentang tahun 1940 hingga 1945. Setelah
dilakukan vaksinasi, angka kejadian pertusis menurun perlahan hingga 2.900 kasus
per tahun di tahun 1980 hingga 1990. Vaksin pertusis merupakan bagian dari
1974. Selama 10 tahun terakhir, wabah pertusis telah diamati setiap 3-5 tahun. Data
dari 2008 sampai dengan 2015, terjadi peningkatan angka kasus pertusis yang
195.000 nya ialah kasus kematian anak akibat pertusis terjadi di dunia, dimana 95%
telah dilaporkan kasus pertusis di Indonesia sejak tahun 2000 sampai dengan 2006,
Data WHO menyebutkan bahwa di tahun 2018, terdapat lebih dari 151.000
kasus pertusis secara global. Pertusis menyebar dengan cepat ke sesama manusia
6
sehingga kasus pertusis pada kelompok bayi tergolong tinggi. Telah dilaporkan oleh
WHO kelompok bayi dan anak-anak merupakan kelompok dengan angka kasus
yang tinggi akibat pertusis. Bukti bahwa di 2018, CDC melaporkan insiden pertusis
per 100.000 kasus dan 72.3% terjadi pada bayi <6 bulan.(6) Kelompok balita adalah
kelompok dengan angka kejadian pertusis yang tinggi dengan lebih dari 24 juta
kasus pertusis baru yang terjadi di dunia dan menyebabkan sejumlah 160.700 kasus
kematian akibat pertusis.(4) Bayi di bawah 6 bulan memiliki angka kejadian 10-15%
dari semua kasus pertusis. Lebih dari 90% dari semua kematian terjadi pada
kelompok bayi usia di bawah 6 bulan. (5) Penelitian oleh Masseria et al pada 2017
mendapatkan hasil statistik bahwa dari 1.032 kasus pertusis yang diidentifikasi,
bayi berusia 2-3 bulan memiliki angka kejadian tertinggi dan terus menurun dari
ETIOLOGI
sporadik yang menjangkit kasus pertusis di Eropa Timur dan Barat. Bordetella
holmessi, pertama kali diidentifikasi sebagai bakteri penyebab penyakit imun tanpa
adanya gejala batuk yang mana juga dilaporkan menyebabkan penyakit batuk mirip
beberapa antigen dan produk aktif termasuk diantaranya ialah toksin pertusis
siklik adenilat, pertactin dan sitotoksin trakeal dimana produk aktif tersebut dapat
Namun, pertusis sering tidak dicurigai pada anak besar dan dewasa,
aerosol selama sekitar 21 hari setelah timbulnya batuk. Selama wabah pertusis di
beberapa negara pada 2012, bayi adalah kelompok usia yang paling terpapar.(10)
FAKTOR RISIKO
setinggi 100% pada individu yang rentan terkena tetesan droplet aerosol dari jarak
dekat atau dari droplet langsung dari seseorang yang sudah terinfeksi itu
sendiri.(1,12) Penyebaran droplet dapat terjadi melalui kontak tatap muka langsung,
berada di satu ruangan tertutup atau melalui kontak dengan sekret hidung, mulut,
atau saluran pernapasan lain dari sumber yang terinfeksi. (5) Pertusis sering
menyerang sebagian besar kontak rumah tangga yang tidak memiliki kekebalan dari
terhadap wabah, kontak dekat dengan individu yang terinfeksi berisiko tinggi untuk
tertular pertusis. Risiko tinggi terhadap durasi dan komplikasi penyakit terjadi pada
PATOGENESIS
Pertusis secara umum adalah penyakit yang dimediasi oleh toksin. (4)
Bordetella sp sendiri memiliki homologi DNA tingkat tinggi di antara gen virulensi.
Dari semua spesies Bordetella, hanya Bordetella pertusis yang menghasilkan toksin
pertusis yang mana toksin pertusis adalah sebagian protein virulensi. (2) Toksin
tersebut terdiri dari toksin pertusis, toksin dermonecrotic, toksin adenilat siklase,
Keduanya sangat imunogenik. Toksin pertusis berperan sebagai adhesin dan dapat
toksin adenilat siklase menghambat migrasi dan aktivasi fagosit dan sel T. (6)
pernapasan dan hampir tidak ditemukan di kultur darah. (4) Karena, toksin tersebut
lokal yang menyebabkan gejala respiratorik dan memfasilitasi absorbsi dari toksin
9
pertusis. Antibodi dan respon imun seluler dari produk-produk aktif inilah yang
terhadap infeksi tersebut bersifat tidak permanen. (4) Penyakit serta DTP
meningkatkan respons antibodi yang kuat terhadap zat-zat toksin yang sudah
dituliskan sebelumnya di atas. Netralisasi antibodi dari adhesin FHA atau Prn akan
MANIFESTASI KLINIS
Gejala klasik yang khas pada pertusis adalah adanya suara “whoop”, atau
bisa disebut dengan inspirasi yang panjang dengan nada tinggi (high pitched).(8)
Gejala meliputi demam ringan, pilek dan batuk yang nantinya akan berkembang
menjadi serangan batuk berulang. Periode inkubasi dari pertusis rata-rata adalah 7
hingga 10 hari dengan rentang maksimal antara 4 hingga 21 hari. Manifestasi klinis
dari pertusis terbagi atas tiga stadium, yaitu stadium kataral, stadium paroksismal
antara 3-12 hari dengan gejala rinore, bersin yang bervariasi disertai dengan
demam ringan, bersin, lakrimasi, batuk sesekali mirip dengan flu biasa.
10
Batuk secara bertahap menjadi lebih parah setelah 1-2 minggu.(2,4) Stadium
batuk kering yang intermiten, batuk keras, dan terjadi batuk paroksismal
dilanjut dengan batuk staccato atau serangan batuk keras di ekspirasi dengan
suara seperti mesin tembak. Anak terlihat membiru di wajah, dagu dan dada
tiba-tiba diikuti dengan teriakan keras saat udara inspirasi melewati jalan
napas yang masih tertutup sebagian, diikuti dengan inspirasi yang kuat,
yang membuat kesan teriakan atau whoop.(2,5) Episode ini mungkin dipicu
oleh dingin atau kebisingan dan lebih sering terjadi pada malam hari.
kali serangan per 24 jam, atau >1 episode per jam. (2,4) Pada batuk
pada akhir paroksismal, serta mucus atau lendir yang dapat dikeluarkan
tetap baik.(2)
saluran pernapasan lainnya, atau iritan.(11) Batuk secara bertahap akan hilang
berikutnya.(4)
klasik.(11) Stadium kataral pada bayi hanya berlangsung beberapa hari atau bahkan
tidak terlihat, dan inspirasi “whoop” jarang terjadi.(4) Setelah fase yang tidak
signifikan ini, bayi akan tampak mulai tersedak, megap-megap, muntah dengan
muka yang kemerahan. Apnea dan sianosis mungkin diikuti dengan gejala batuk
dengan infeksi virus neonatal. Namun, stadium paroksismal dan konvalesen pada
DIAGNOSIS
riwayat batuk pasien dan gejala penyertanya, serta pemeriksaan penunjang untuk
pertusis ditentukan untuk mengetahui stadium yang sedang dialami pasien. Pertusis
bisa dicurigai pada setiap individu yang memiliki keluhan batuk berkepanjangan
dan dominan. Terjadi batuk paroksismal dengan tarikan napas panjang menyerupai
bunyi “whoop”. Pada anak lebih besar, serangan batuk paroksismal sering terjadi
dan meningkat pada 7-10 hari. Pada bayi < 3 bulan dicurigai pertusis dengan
mengancam jiwa.(2)
dengan kultur apusan sekret nasofaring dan PCR. Pemeriksaan baku emas pada
diagosa pertusis adalah kultur apusan sekret nasofaring. Pada kultur digunakan
media Regan-Lowe charcoal agar dengan durasi waktu kultur selama 2 minggu.(1,2)
Namun biasanya hasil kultur negatif pada 96% pemeriksaan dan sensitivitasnya
Spesimen yang digunakan pada tes PCR adalah apusan sekret nasofaring bagian
posterior. Hasil sensitivitas yang optimal terjadi selama 3 minggu pertama episode
13
batuk, yaitu ketika DNA bakteri Bordetella pertusis masih berada di nasofaring.(6)
Pada hasil laboratorium darah rutin, selama fase catarrhal akhir dan paroksismal
awal, leukositosis (seringkali 25.000 hingga 60.000 per mL) dengan limfositosis
infiltrat.(1,11)
DIAGNOSIS BANDING
melalui tiga stadium dan batuk terus-menerus tanpa demam atau dengan demam
ringan. Aspirasi benda asing bisa dipertimbangkan pada pasien yang lebih muda.(11)
mikoplasma memiliki gejala sistemik yang lebih jelas, demam dan sakit
kepala dapat terjadi, dan rales dapat terlihat pada auskultasi dada.
mengi. (5)
TATALAKSANA
memiliki tingkat efektivitas tinggi bila diberikan lebih awal. Terapi dapat
pertusis. Terapi 1-2 minggu diberikan saat pertama batuk sebelum dimulainya
perawatan di rumah sakit, termasuk bayi 3-6 bulan, selama kondisi paroksismal
tidak parah dan adanya komplikasi signifikan yang terjadi. Secara spesifik,
b. Memaksimalkan nutrisi
manfaat klinis yang mungkin. (4,6) Pengobatan dengan antimikroba dan profilaksis
a. Antimikroba utama
1. Azitromisin :
Bayi >=6 bulan dan anak-anak : 10mg/kgBB dosis tunggal pada hari
2. Eritromisin :
selama 14 hari.(2)
b. Antimikroba alternatif
1. Klaritromisin
2. TMP-SMX (Trimethoprim-sulfamethoxazole)
Bayi < 1 bulan : Kontraindikasi pada bayi < 1 bulan karena resiko
kernikterus
pada pasien <= 2 bulan yang alergi terhadap makrolid dan intoleran terhadap
makrolid.(2)
jantung, frekuensi pernapasan dan saturasi oksigen. Riwayat batuk yang detail dan
KOMPLIKASI
terkait pertusis. Data dari tahun 2000-2017 menunjukkan bahwa pneumonia terjadi
pada 13,2% dari semua kasus pertusis yang dilaporkan, dan di antara 18,6% bayi
kematian pada bayi dan anak dan dapat disebabkan oleh aspirasi isi gaster selama
Hipertensi pulmonal progresif pada bayi yang sangat muda dan pneumonia bakteri
penyebab kematian. Hipertensi pulmonal dan syok kardiogenik dengan hasil yang
ekstrim. (2) Demam akan mereda selama fase kataral dan pada fase paroksismal bisa
Staphylococcus aureus.(ncbi) Antara tahun 2000 dan 2017, 307 kematian akibat
Sekitar kurang dari 2% kasus pertusis, komplikasi SSP seperti kejang dan
toksin, infeksi sekunder, atau pendarahan otak akibat peningkatan tekanan selama
batuk.(11) Bayi sangat rentan terhadap bradikardia, hipotensi, dan serangan jantung
PROGNOSIS
bulan.(2,14) Bayi dan orang dewasa yang lebih tua cenderung memiliki mortalitas
dan morbiditas tertinggi. Tingkat kematian bayi adalah sekitar 2% dari kasus dan
PENCEGAHAN
Imunitas setelah terpapar atau sembuh dari pertusis tidak permanen. Orang
yang tidak divaksinasi atau divaksinasi tidak lengkap yang pulih dari pertusis harus
memulai atau melengkapi imunisasi aktif dengan DTaP sesuai dengan indikasi.(6)
dan pertusis (DTP) nasional tahun 2013 adalah sebesar 75,6%, cakupan tersebut
penurunan angka kasus yang signifikan (<90%) dalam kejadian dan kematian
pertusis telah diamati. Oleh karena itu, vaksin pertusis telah menjadi bagian dari
Program Perluasan Imunisasi WHO sejak didirikan pada tahun 1974. (16) Insidens
pertusis menurun dari sekitar 355.000 kasus per tahun menjadi hanya sekitar 5.000
kasus per tahun.(12) Tetapi, angka kejadian dilaporkan meningkat kembali dan
menjadi perhatian dunia walau tidak ada kasus kematian akibat pertusis. Vaksin
19
Vaksin DTP mengandung daripada bahan difteri, tetanus dan toksin pertusis
yang inaktif, dan sel B. pertussis yang dimatikan. Efek samping dari vaksin DTP,
pertusis jenis 'aseluler', atau DTaP.(13) Meskipun efektif, aPs (vaksin aselular) saat
negara maju dan berkembang menggunakan vaksin pertusis jenis aselular pada
Penelitian oleh Klein dkk yang dilakukan untuk menilai efektivitas pada remaja
memaparkan hasil bahwa remaja yang menerima vaksin DTwP (whole-cell) pada
masa kanak-kanak lebih terlindung pada saat terjadi wabah pertusis dibandingkan
vaksin DTaP adalah KIPI vaksin DTaP yang lebih ringan dan lebih jarang,
secara vaksin DTwP terbukti aman pada anak Indonesia, walapun KIPI dari
pemberian vaksin DTwP tetap ada namun bersifat ringan dan hanya sementara.
Vaksin DTwP memberikan perlindungan daripada pertusis yang lebih tinggi, hal
EDUKASI
bulan, dan yang terakhir pada umur 5 tahun berupa imunisasi DPT lanjutan atau
booster.(18,19) Vaksinasi tidak hanya diberikan kepada anak saja, melainkan dapat
juga diberikan kepada orang tua misalnya sewaktu merencanakan kehamilan atau
sesaat setelah bayi lahir, atau untuk orang dewasa yang bekerja dengan anak kecil
sebagai contoh petugas kesehatan atau petugas penitipan untuk mengurangi peluang
Bila anak berada dalam kontak dekat dengan penderita pertusis, maka tidak
menutup kemungkinan bahwa anak akan terpapar infeksi penyakit pertusis juga,
khususnya bagi bayi dan anak di bawah 1 tahun maka orang tua diedukasi untuk
memeriksakan anaknya kepada dokter terkait kondisi anak saat itu juga. (18)
KESIMPULAN
Pertusis ialah infeksi saluran pernapasan akut yang disebabkan oleh bakteri
pertusis yang tinggi dengan lebih dari 24 juta kasus pertusis baru yang terjadi di
dunia dan menyebabkan sejumlah 160.700 kasus kematian akibat pertusis. Bayi di
bawah 6 bulan memiliki angka kejadian 10-15% dari semua kasus pertusis dan dari
1.032 kasus pertusis yang diidentifikasi, bayi berusia 2-3 bulan memiliki angka
kejadian tertinggi.
21
dapat membawa ke dampak klinis dari penyakit pertusis. Cara penularan penyakit
ialah melalui tetesan droplet aerosol. Penyebaran droplet dapat terjadi melalui
kontak tatap muka langsung, berada di satu ruangan tertutup atau melalui kontak
dengan sekret hidung, mulut, atau saluran pernapasan lain dari sumber yang
berperan sebagai adhesin yang dapat mengganggu jalur sinyal sel di paru-paru dan
dan aktivasi fagosit dan sel T Manifestasi klinis dari pertusis terbagi atas tiga
sebagai tatalaksana suportif dan profilaksis pertusis, dengan diikuti oleh observasi
keadaan umum pasien dan riwayat serangan batuk. Antibiotik utama yang
oksigen, riwayat batuk yang detail dan pemberian makan, muntah dan perubahan
berat badan.
22
dan anak dan dapat disebabkan oleh aspirasi isi gaster selama serangan batuk atau
atau pendarahan otak akibat peningkatan tekanan selama batuk. Kebanyakan orang
yang terinfeksi pertusis akan pulih sepenuhnya. Tingkat kematian bayi adalah
sekitar 2% dari kasus dan 96% dari kematian yang berhubungan dengan pertusis.
pertusis. Orang yang tidak divaksinasi atau divaksinasi tidak lengkap yang pulih
dari pertusis harus memulai atau melengkapi imunisasi aktif dengan DTaP sesuai
dengan indikasi. Vaksin DTP mengandung daripada bahan difteri, tetanus dan
Bila anak berada dalam kontak dekat dengan penderita pertusis, maka tidak
menutup kemungkinan bahwa anak akan terpapar infeksi penyakit pertusis juga,
khususnya bagi bayi dan anak di bawah 1 tahun maka orang tua diedukasi untuk
memeriksakan anaknya kepada dokter terkait kondisi anak saat itu juga.
23
DAFTAR PUSTAKA
10. Wu DX, Chen Q, Yao KH, Li L, Shi W, Ke JW, Wu AM, Huang P, Shen KL.
Pertussis detection in children with cough of any duration. BMC pediatrics.
2019 Dec;19(1):1-9. https://doi.org/10.1186/s12887-019-1615-3
11. Lauria AM, Zabbo CP. Pertussis. InStatPearls [Internet] 2021 Jun 26.
StatPearls Publishing.
12. Tjahjowargo S, Gunardi H. Perbandingan Efektivitas dan Keamanan Vaksin
Pertusis Aselular dan Whole-cell. Sari Pediatri. 2017 Mar 29;18(5):403-8.
13. Etskovitz H, Anastasio N, Green E, May M. Role of evolutionary selection
acting on vaccine antigens in the re-emergence of Bordetella pertussis.
Diseases. 2019 Apr 16;7(2):35.
14. Forsyth KD, Tan T, von König CH, Heininger U, Chitkara AJ, Plotkin S.
Recommendations to control pertussis prioritized relative to economies: A
Global Pertussis Initiative update. Vaccine. 2018 Nov 19;36(48):7270-5.
15. Pusat data dan informasi Kementerian Kesehatan RI. Situasi dan analisis
imunisasi. 2014 [diakses tanggal 30 Desember 2022]. Didapat dari:
http://www.pusdatin. kemkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/
infodatin-imunisasi.pdf.
16. World Health Organization, Global Vaccine Safety. Information sheet:
observed rate of vaccine reactions: diphtheria, pertussis, tetanus vaccines.
2014. Diakses tanggal 30 Desember 2022. Didapat dari :
https://www.who.int/teams/health-product-policy-and-standards/standards-
and-specifications/vaccines-quality/pertussis
17. Susanna Esposito & Nicola Principi (2018) Prevention of pertussis: An
unresolved problem, Human Vaccines & Immunotherapeutics, 14:10, 2452-
2459, DOI: 10.1080/21645515.2018.1480298
18. NSW. Pertusis (Batuk Rejan) Lembar Fakta Penyakit Menular.
www.health.nsw.gov.au
19. Kemenkes RI 2015, Buku Ajar Imunisasi. 2nd edn, Pusat Pendidikan dan
Pelatihan Tenaga Kesehatan, Jakarta.