A. Latar Belakang Pertusis atau batuk rejan atau batuk 100 hari merupakan salah satu
penyakit menular saluran pernapasan yang sudah diketahui adanya sejak tahun 150
0an. Penyebab tersering dari pertusis adalah bakteri gram (-) Bordetella pertuss
is1. Di seluruh dunia insidensi pertussis banyak didapatkan pada bayi dan anak k
urang dari 5 tahun, meskipun anak yang lebih besar dan orang dewasa masih mungki
n terinfeksi oleh B. pertussis. Insidensi terutama didapatkan pada bayi atau ana
k yang belum diimunisasi1. Dahulu pertusis adalah penyakit yang sangat epidemic
karena menyerang bukan hanya negara-negara berkembang namun juga beberapa bagian
dari negara maju. Namun setelah digalakkannya vaksinasi untuk pertusis, angka k
ematian dapat ditekan, dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknolo
gi pertusis diharapkan tidak ditemukan lagi, meskipun ada kasusnya namun tidak s
ignifikan1,6. Dengan mendiagnosa secara dini kasus pertusis, dari anamnesis, pem
eriksaan fisik, manifestasi klinis, foto roentgen, dan pemeriksaan penunjang lai
nnya, diharapkan para klinisi mampu memberikan penanganan yang tepat dan cepat s
ehingga derajat penyakit pertusis tidak menimbulkan komplikasi yang lebih lanjut
. B. Tujuan Penulisan Untuk mengetahui definisi, prevalensi, etiologi, patogenes
is, manifestasi klinis, diagnosis, penatalaksanaan, pencegahan, komplikasi dan p
rognosis pertussis. C. Manfaat Penulisan
1
penyakit menular pada anak di bawah usia 14 tahun di Amerika Serikat. Dilaporkan
juga bahwa 50 persen adalah bayi kurang dari setahun, 75 persen adalah anak kur
ang dari 5 tahun1,2,3,5,6. Pertusis adalah penyakit endemik dengan siklus endemi
k setiap 3-4 tahun6. Dalam satu keluarga infeksi cepat menjalar kepada anggota k
eluarga lainnya. Dilaporkan sebagian kasus terjadi dari bulan Juli sampai dengan
Oktober. Pertusis dapat mengenai semua golongan umur. Terbanyak terdapat pada u
mur 1-5 tahun, umur penderita termuda ialah 16 hari. Dahulu dikatakan bahwa pere
mpuan terkena lebih sering daripada laki-laki dengan perbandingan 0.9:11,3. Namu
n berdasarkan (Farizo, 1992), perbandingan insidensi antara perempuan dan laki-l
aki menjadi sama sampai umur dibawah 14 tahun. Sedangkan proporsi anak belasan t
ahun dan orang dewasa yang terinfeksi pertusis naik secara bersama sampai 27%7.
Cara penularan ialah kontak dengan dengan penderita pertussis. Imunisasi sangat
mengurangi angka kejadian dan kematian yang disebabkan pertussis oleh karena itu
di negara dimana imunisasi belum merupakan prosedur rutin masih banyak didapatk
an pertusis. Imunitas setelah imunisasi tidak berlangsung lama. Tingkat infeksi
pertussis menurun drastis setelah vaksin pertusis mulai digunakan secara luas, d
an terendah sepanjang kasus yang dilaporkan di Amerika Serikat pada tahun 19765.
Antibodi dari ibu (transplasental) selama kehamilan tidaklah cukup untuk menceg
ah bayi baru lahir terhadap pertussis. Pertussis yang berat pada neonatus dapat
ditemukan dari ibu dengan gejala pertussis ringan. Kematian sangat menurun setel
ah diketahui bahwa dengan pengobatan eritromicyn dapat menurunkan tingkat penula
ran pertussis karena biakan nasofaring akan negatif setelah 5 hari pengobatan. T
anpa reinfeksi alamiah dengan B.pertussis atau vaksinasi booster berulang, anak
yang lebih tua dan orang dewasa lebih rentan terhadap penyakit ini jika terpajan
1.
C. Etiologi
3
pengeluaran histamine dan serotonin, efek memblokir beta adrenergic dan meningka
tkan aktifitas insulin, sehingga akan menurunkan konsentrasi gula darah1,9. Toks
in menyebabkan peradangan ringan dengan hyperplasia jaringan limfoid peribronkia
l dan meningkatkan jumlah lendir pada permukaan silia, maka fungsi silia sebagai
pembersih terganggu, sehingga mudah terjadi infeksi sekunder (tersering oleh St
reptococcus pneumonia, H. influenzae dan Staphylococcus aureus). Penumpukan lend
ir akan menimbulkan plak yang dapat menyebabkan obstruksi dan kolaps paru1,9. Hi
poksemia dan sianosis disebabkan oleh gangguan perukaran oksigenasi pada saat ve
ntilasi dan timbulnya apnea saat terserang batuk. Terdapat perbedaan pendapat me
ngenai kerusakan susunan saraf pusat, apakah akibat pengaruh langsung toksin ata
ukah sekunder sebagai akibat anoksia1. Terjadi perubahan fungsi sel yang reversi
ble, pemulihan tampak apabila sel mengalami regenerasi, hal ini dapat menerangka
n mengapa kurangnya efek antibiotik terhadap proses penyakit. Namun terkadang Bo
rdetella pertusis hanya menyebabkan infeksi yang ringan, karena tidak menghasilk
an toksin pertusis1.
E. Gejala Klinis Masa inkubasi pertusis 6-20 hari, rata-rata 7 hari, sedangkan p
erjalanan penyakit ini berlangsung antara 6 8 minggu atau lebih. Gejala timbul d
alam waktu 7-10 hari setelah terinfeksi. Bakteri menginfeksi lapisan tenggorokan
, trakea dan saluran udara sehingga pembentukan lendir semakin banyak1. Pada awa
lnya lendir encer, tetapi kemudian menjadi kental dan lengket. Infeksi berlangsu
ng selama 6 minggu, dan berkembangan melalui 3 tahapan1,10:
1. Tahap Kataral
Mulai terjadi secara bertahap dalam waktu 7-10 hari setelah terinfeksi,
6
ciri-cirinya menyerupai flu ringan : Bersin-bersin Mata berair Nafsu makan berku
rang Lesu
Batuk (pada awalnya hanya timbul di malam hari kemudian terjadi
sepanjang hari)
2. Tahap Paroksismal
Mulai timbul dalam waktu 10-14 hari (setelah timbulnya gejala awal) 515 kali bat
uk diikuti dengan menghirup nafas dalam dengan pada tinggi. Batuk bisa disertai
pengeluaran sejumlah besar lendir vang biasanya ditelan oleh bayi/anak-anak atau
tampak sebagai gelembung udara di hidungnya). Batuk atau lendir yang kental ser
ing merangsang terjadinya muntah. Serangan batuk bisa diakhiri oleh penurunan ke
sadaran yang bersifat sementara. Pada bayi, apnea (henti nafas) dan tersedak leb
ih sering terjadi dibandingkan dengan tarikan nafas yang bernada tinggi.
3. Tahap Konvalesen
Mulai terjadi dalam waktu 4-6 minggu setelah gejala awal. Batuk semakin berkuran
g, muntah juga berkurang, anak tampak merasa lebih baik. Kadang batuk terjadi se
lama berbulan-bulan, biasanya akibat iritasi saluran pernafasan.
F. Diagnosis
1. Anamnesis 7
Dalam anamnesis ditanyakan identitas, keluhan utama serta gejala klinis pertusis
lainnya, faktor resiko, riwayat keluarga, riwayat penyakit dahulu, dan riwayat
imunisasi. 2. Pemeriksaan fisik Gejala klinis yang didapat pada pemeriksaan fisi
k tergantung dari stadium saat pasien diperiksa.
3. Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan labratorium didapatkan leukositosis 20,000-50,000 / UI dengan l
imfositosis absolute khas pada akhir stadium kataral dan selama stadium paroksis
mal. Pada bayi jumlah leukosit tidak menolong untuk diagnosis oleh karena respon
limfositosis juga terjadi pada infeksi lain1,3,10. Isolasi B.pertussis dari sec
ret nasofaring dipakai untuk membuat diagnosis pertussis. Biakan positif pada st
adium kataral 95-100%, stadium paroksismal 94% pada minggu ke-3 dan menurun samp
ai 20% untuk waktu berikutnya1,3,10. Tes serologi berguna pada stadium lanjut pe
nyakit dan untuk menetukan adanya infeksi pada individu dengan biakan. Cara ELIS
A dapat dipakai untuk menentukan serum IgM, IgG, dan IgA terhadap FHA PT. Nilai
serum IgM FHA dan PT menggambarkan respon imun primer baik disebabakan penyakit
atau vaksinasi. IgG toksin pertusis merupakan tes yang paling sensitive dan spes
ifik untuk mengetahui infeksi dan tidak tampak setelah pertussis10,12. 4. Pemeri
ksaan penunjang Pada pemeriksaan foto toraks dapat memperlihatkan infiltrat peri
hiler, atelektasis atau emfisema.
8
faktor yang menimbulkan serangan batuk, mengatur hidrasi dan nutrisi, oksigen da
pat diberikan pada distres pernapasan akut/kronik, dan penghisapan lendir teruta
ma pada bayi dengan pneumonia dan distres pernapasan. Beberapa agen terapeutik a
tau medikamentonsa yang digunakan pada pasien pertussis adalah sebagai berikut1,
11,12 : 1. Agen Antimikroba Agen antimikroba selalu diberikan bila pertussis dic
urigai atau diperkuat karena kemungkinan manfaat klinis dan membatasi penyebaran
infeksi. Eritromisin, 40-50 mg/kg/24 jam, secara oral dalam dosis terbagi empat
(maksimum 2 g/24 jam) selama 14 hari merupakan pengobatan baku. Beberapa pakar
lebih menyukai preparat estolat tetapi etilsuksinat dan stearat juga manjur. Pen
elitian kecil eritromicin etilsuksinat yang diberikan dengan dosis 50 mg/kg/24 j
am dibagi menjadi dua dosis, dengan dosis 60 mg/kg/24 jam dibagi menjadi tiga do
sis, dan eritromicin estolat diberikan dengan dosis 40 mg/kg/24 jam dibagi menja
di dua dosis menunjukkan pelenyapan organisme pada 98% anak. Azitromisin, Clarit
omisin, Ampisillin, Rifampin, Trimethoprim-Sulfametoksasol cukup aktif tetapi se
falosporin generasi pertama dan ke-2 tidak. Pada penelitian klinis, eritromicin
lebih unggul daripada amoksisilin untuk pelenyapan B. pertussis dan merupakan sa
tusatunya agen dengan kemanjuran yang terbukti. 2. Salbutamol Sejumlah kecil tri
al klinis dan laporan memberi kesan cukup pengurangan gejala-gejala dari stimula
n
2-adrenergik
sal utamol
(al uterol). Tidak ada trial klinis tepat yang telah menunjukkan pengaruh manfaa
t, satu penelitian kecil tidak menunjukkan pengaruh. Pengo atan dengan aerosol m
emicu paroksismal. 3. Kortikosteroid Tidak ada trial klinis uta acak cukup esa
r yang telah dilakukan
10
kejang. Riwayat keluarga adanya kejang, Sudden Infant Death Syndrome (SIDS) atau
reaksi erat terhadap imunisasi pertussis ukanlah kontra indikasi untuk imunis
asi pertussis. Kontraindikasi untuk pem erian vaksin pertussis erikutnya termas
uk ensefalopati dalam 7 hari se elum imunisasi, kejang demam atau kejang tanpa d
emam dalam 3 hari se elum imunisasi, menangis 3 jam, high picth cry dalam 2 hari,
kolaps atau hipotonik/hiporesponsif dalam 2 hari, suhu yang tidak dapat diterang
kan 40.5
dalam 2 hari, atau tim ul C anafilaksis1,11,13,14.
2. Kontak dengan penderita :
Eritromisin efektif untuk pencegahan pertussis pada ayi- ayi aru lahir dan i u
-i u dengan pertussis. Eritromisin 50 mg/kg BB/hari di agi dalam 4 dosis, perora
l selama 14 hari. Anak yang erumur > 7 tahun yang telah mendapatkan imunisasi j
uga di erikan dan eritromisin profilaksis. Pengo atan eritromisin awal akan meng
urangi penye aran infeksi eliminasi B. pertussis penyakit1,11,12. Orang-orang ya
ng kontak dengan penderita pertussis yang elum mendapat imunisasi se elumnya, d
i erikan eritromisin selama 14 hari sesudah kontak diputuskan. Jika ada kontak t
idak dapat diputuskan, eritromisin di erikan sampai atuk penderita erhenti ata
u mendapat eritromisin selama 7 hari. Vaksin pertussis monovalen dan eritromisin
di erikan pada waktu terjadi epidemi1,11,12. I. Komplikasi
1. Komplikasi terjadi terutama pada sistem respirasi dan saraf pusat1,11. 2. Pne
umonia komplikasi paling sering terjadi pada
90% kematian pada anak-anak
dari saluran
pernafasan
mengurangi gejala-gejala
B. pertussis sendiri tetapi le ih sering karena
S.Pneumonia, S.auris, S.piogenes)1,11.
12
3. TBC laten dapat juga menjadi aktif. 4. Atelektasis dapat tim ul sekunder oleh
karena ada sum atan lendir yang kental.
Aspirasi lendir atau muntah dapat menim ulkan pneumonia. 5. Panas tinggi sering
menandakan adanya infeksi sekunder oleh akteria. 6. Batuk dengan tekanan tinggi
dapat menim ulkan ruptur alveoli, empisema interstitiel/su kutan dan pneumotora
ks. Bronkiektasia dapat tim ul dan menetap.
7. Sering terjadi otitis media yang sering dise a kan oleh S.pneumonia. 8. Kenai
kan tekanan intratoraks dan intra-a domen selama atuk dapat menye a kan
perdarahan su konjungtiva, hematoma, perdarahan epidural, perdarahan intrakrania
l, ruptura diafragma, hernia um ikalis, hernia inguinalis, prolapsus rekti, dehi
drasi dan gangguan nutrisi1,11.
9. Dapat pula terjadi konvulsi dan koma, merupakan refleksi dari hipoksia sere r
al
(asfiksia), perdarahan su arachnoid, tetapi kadang-kadang kejang dapat dise a ka
n oleh temperatur tinggi1,10.
10.Kejang-kejang oleh karena hiponatremia yang sekunder terhadap Syndrome of
Inappropriate Secretion of Antidiuretic Hormone (SIADH)10. J. Prognosis Angka ke
matian karena pertussis telah menurun menjadi 10/1000 kasus. Rasio kasus kematia
n ayi < 2 ulan adalah 1,8 % selama tahun 2000-2004 di USA. Persentase rawat in
ap pada dewasa se esar 3 % (12% dewasa tua). Tingkat erkem angnya menjadi pneum
onia hingga 5 % dan mengalami patah tulang rusuk sampai 4 %12. Ke anyakan kemati
an dise a kan oleh ensefalopati dan pneumonia atau komplikasi paru-paru lain1,12
.
13
ronchitis akut, khususnya pada ayi dan anak kecil yang ditandai dengan atuk p
aroksismal erulang dan stridor inspiratori memanjang, atuk rejan. Bordetella pe
rtusis suatu coco asilus gram negatif aero ik minotil kecil dan tidak mem entuk
spora dengan pertum uhan yang sangat rumit dan tidak ergerak. Bisa didapatkan d
engan swa pada daerah nasofaring penderita pertusis dan kemudian ditanam pada a
gar media Bordet Gengou. Bordetella pertussis menghasilkan toksin pertusiss (TP)
. TP ter ukti mempunyai anyak aktifitas iologis (misal, sensitivitas histamine
, sekresi insulin, disfungsi leukosit), e erapa darinya merupakan manifestasi s
istemik penyakit. Bordetella pertusis setelah ditularkan melalui sekresi udara p
ernapasan kemudian melekat pada silia epitel saluran pernapasan. Mekanisme patog
enesis infeksi oleh Bordetella pertusis terjadi melalui empat tingkatan yaitu pe
rlekatan, perlawanan terhadap mekanisme pertahanan pejamu, kerusakan local dan a
khirnya tim ul penyakit sistemik. Toksin menye a kan peradangan ringan dengan hy
perplasia jaringan limfoid peri ronkial dan meningkatkan jumlah lendir pada perm
ukaan silia, maka fungsi silia se agai pem ersih terganggu, sehingga mudah terja
di infeksi sekunder (tersering oleh Streptococcus pneumonia, H. influenzae dan S
taphylococcus aureus). Penumpukan lendir akan menim ulkan plak yang dapat menye
a kan o struksi dan kolaps paru. Masa inku asi pertusis 6-20 hari, rata-rata 7 h
ari, sedangkan perjalanan penyakit ini erlangsung antara 6 8 minggu atau le ih.
Gejala tim ul dalam waktu 7-10 hari setelah terinfeksi. Bakteri menginfeksi lap
isan tenggorokan, trakea dan saluran udara sehingga pem entukan lendir semakin
anyak. Perkem angan penyakit melalui 3 tahapan yaitu kataral, paroksismal, dan k
onvalesen. Pada tahap paroksismal mulai tim ul dalam waktu 10-14 hari (setelah t
im ulnya gejala awal) 5-15 kali atuk diikuti dengan menghirup nafas dalam denga
n pada tinggi.
15
1023.
4. Heininger, U. (2010). Update on pertussis in children. Expert review of antiinfective therapy 8 (2): 16373.
5. Black S. (1997). Epidemiology of pertussis. Pediatr Infect Dis J. Diakses 23
Desem er 2011 dari, http://www.nc i.nlm.nih.gov/pu med/9109162.
6. Cherry JD. (2005). The epidemiology of pertussis: a comparison of the
epidemiology of the disease pertussis with the epidemiology of Bordetella pertus
sis infection. Pediatrics : 115:1422-1427. Diakses 30 Desem er 2011 dari, http:/
/www.nc i.nlm.nih.gov/pu med/15867059.
7. Farizo KM. (1992). Epidemiological features of pertussis in the United States
,
1980-1989. Clin Infect Dis ; 14(3):708-19. Diakses 23 Desem er 2011 dari, http:/
/www.nc i.nlm.nih.gov/pu med/1562663.
8. Hewlett EL. (2005). Bordetella species. In: Principles and Practice of
Infectious Diseases, 6th ed, Mandell GL, Bennett JE, Dolin R (Eds), Churchill Li
vingstone, Philadelphia. p.2701. Diakses dari, http://www.uptodate.com/contents/
micro iology-pathogenesis-andepidemiology-of- ordetella-pertussis-infection#H3.
9. Todar, Kenneth. (2011). Bordetella pertussis and Whooping Cough. Diakses
dari http://text ookof acteriology.net/pertussis_2.html.
10. Sheha , Ziad M. Pertussis. Taussig-Landau : Pediatric Respiratory Medicine.
Missouri, USA. Mos y Inc. 1999. Chapter 42. h: 693-699.
11. Staf pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. (2005). Pertusis. Staf pengajar
I.K.Anak FKUI : Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta, Indonesia. FKUI, 1997.
Jilid 2. h: 564-566. 12. Tejpratap Tiwari. (2005). Recommended Antimicro ial Ag
ents for the Treatment and Postexposure Prophylaxis of Pertussis. CDC Guideline.
http://www.cdc.gov/mmwr/preview/mmwrhtml/rr5414a1.htm
13. Kretsinger K, Broder KR, Cortese MM, et al. (2006). Preventing tetanus,
diphtheria, and pertussis among adults: use of tetanus toxoid, reduced diphtheri
a toxoid and acellular pertussis vaccine. MMWR Recomm Rep. 55(RR-17):1-33. Diaks
es 30 Januari 2012 dari https://online.epocrates.com/u/2951682/Pertussis/FollowU
p/Overview.
14. Update: Vaccine Side Effects, Adverse Reactions, Contraindications, and
Precautions Recommendations of the Advisory Committee on Immunization
17
Practices. http://www.cdc.gov/mmwr/preview/mmwrhtml/00046738.htm
18