Anda di halaman 1dari 27

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN

JAKARTA
LAPORAN KASUS
IMPETIGO KRUSTOSA

Disusun Untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik


di Bagian Kulit dan Kelamin
Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa
Diajukan Kepada :
Pembimbing : dr. Hiendarto, Sp.KK
Disusun Oleh :
Adi Rahmawan 1320221155

Kepaniteraan Klinik Departemen Kulit dan Kelamin


FAKULTAS KEDOKTERAN UPN VETERAN JAKARTA
Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa
Periode 9 Februari 14 Maret 2015

LEMBAR PENGESAHAN KOORDINATOR KEPANITERAAN


KULIT DAN KELAMIN
Laporan kasus dengan judul :

IMPETIGO KRUSTOSA

Diajukan untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik di


Departemen Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa
Disusun Oleh :
Adi Rahmawan

1320221155

Telah disetujui oleh Pembimbing :


Nama Pembimbing

Tanda Tangan

dr. Hiendarto, Sp.KK

Tanggal


Mengesahkan :

Koordinator Kepaniteraan Kulit dan Kelamin

dr. Hiendarto, Sp.KK

ii

KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmat dan karunia-Nya saya dapat menyelesaikan tugas laporan kasus dengan
judul impetigo krustosa. Laporan kasus ini dibuat untuk memenuhi salah satu
syarat ujian Kepaniteraan Klinik Bagian Kulit dan Kelamin.
Penyusunan tugas laporan kasus ini terselesaikan atas bantuan dari banyak
pihak yang turut membantu terselesaikannya tugas laporan kasus ini. Untuk itu,
dalam kesempatan ini saya ingin menyampaikan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada dr. Hiendarto, Sp.KK atas bimbingannya selama ini dan juga tak
lupa kepada teman-teman seperjuangan di kepaniteraan klinik kulit dan kelamin
atas kerjasamanya selama penyusunan laporan kasus ini.
Semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat baik bagi saya sendiri,
pembaca, maupun bagi semua pihak-pihak yang berkepentingan.

Ambarawa,

Januari 2015

Penulis

iii

DAFTAR ISI
Halaman
JUDUL i
LEMBAR PENGESAHAN ii
KATA PENGANTAR iii
DAFTAR ISI.. iv
BAB I PENDAHULUAN.. 1
I.1. Latar Belakang. 1
I.2. Tujuan . 1
I.3. Manfaat 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 3
II.1. Definisi 3
II.2. Epidemiologi.. 3
II.3. Patogenesis. 4
II.4. Histopatologi... 5
II.5. Manifestasi Klinis 6
II.6. Diagnosis. 7
II.7. Diagnosis Banding... 7
II.8. Komplikasi... 8
II.9. Penatalaksanaan... 10
II.10. Proknosis 13
BAB III Laporan Kasus.. 14
III.1. Identias Pasien 14
III.2. Anamnesa... 14
III.3. Pemeriksaan Fisik... 14
III.4. Pemeriksaan Penunjang.. 17
III.5. Diagnosa Banding.. 17
III.6. Terapi. 17
III.7. Prognosis.... 17
BAB IV PEMBAHASAN.. 18
BAB V KESIMPULAN. 21
DAFTAR PUSTAKA 22
iv

BAB I
PENDAHULUAN
I.1.

Latar Belakang
Impetigo adalah penyakit kulit superfisial yang disebabkan infeksi
piogenik oleh bakteri Gram positif. Impetigo lebih sering terjadi pada usia
anak-anak walaupun pada orang dewasa dapat terjadi. Penularan impetigo
tergolong tinggi, terutama melalui kontak langsung. Individu yang
terinfeksi dapat menginfeksi dirinya sendiri atau orang lain setelah
menggaruk lesi. Infeksi seringkali menyebar dengan cepat di sekolah,
tempat penitipan anak atau pada tempat dengan hygiene buruk atau juga
tempat tinggal yang padat penduduk1,2,3
Impetigo krustosa merupakan jenis infeksi piogenik yang paling
banyak ditemukan di dunia (70% dari kasus impetigo).2,3,4 Impetigo
krustosa harus diobati secara cepat dan tepat karena dapat menyebabkan
beberapa komplikasi terutama glomerulonefritis akut.5 Terapi antibiotik
topikal merupakan pilihan pertama impetigo terutama bila lesi yang
terbatas, tanpa gejala sistemik atau komplikasi sementara terapi sistemik
dipertimbangkan bila diperlukan.1,5

I.2.

Tujuan
a. Memahami definisi, etiologi, epidemiologi, patofisiologi, tanda
gejala, diagnosa banding, komplikasi, penatalaksanaan dan prognosi
Impetigo Krustosa.
b. Dapat mengetahui dan membedakan diagnosa banding dari Impetigo
Krustosa.
c. Meningkatkan

kemampuan

dalam

penulisan

ilmiah

dibidang

kedokteran.
d. Memenuhi syarat mengikuti ujian kepaniteraan klinik di departemen

kulit dan kelamin rumah sakit umum daerah Ambarawa.

I.3.

Manfaat
a. Sebagai sumber informasi dan pelengkap bahan refrensi.
b. Untuk mendapatkan pengetahuan yang bermanfaat.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1.

Definisi
Impetigo krustosa merupakan penyakit infeksi piogenik kulit
superfisial yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus, Streptococcus
group A beta-hemolitikus (GABHS), atau kombinasi keduanya dan
digambarkan dengan perubahan vesikel berdinding tipis, diskret, menjadi
pustul dan ruptur serta mengering membentuk krusta Honey-colored.
dengan tepi yang mudah dilepaskan.1,5
Pada negara maju, impetigo krustosa banyak disebabkan oleh
Staphylococcus aureus dan sedikit oleh Streptococcus group A betahemolitikus (Streptococcus pyogenes). Banyak penelitian yang menemukan
50-60% kasus impetigo krustosa penyebabnya adalah Staphylococcus
aureus dan 20-45% kasus merupakan kombinasi Staphylococcus aureus
dengan Streptococcus pyogenes. Namun di negara berkembang, yang
menjadi penyebab utama impetigo krustosa adalah Streptococcus
pyogenes.4,5,6 Staphylococcus aureus banyak terdapat pada faring, hidung,
aksila dan perineal merupakan tempat berkembangnya penyakit impetigo
krustosa2

II.2.

Epidemiologi
Terjadinya penyakit impetigo krustosa di seluruh dunia tergolong
relatif sering. Penyakit ini banyak terjadi pada anak - anak kisaran usia 2-5
tahun dengan rasio yang sama antara laki-laki dan perempuan. Di
Amerika, impetigo merupakan 10% dari penyakit kulit anak yang menjadi
penyakit infeksi kulit bakteri utama dan penyakit kulit peringkat tiga
terbesar pada anak. Di Inggris kejadian impetigo pada anak sampai usia 4
tahun sebanyak 2,8% pertahun dan 1,6% pada anak usia 5-15 tahun3. 1,3,4,6
Impetigo krustosa banyak terjadi pada musim panas dan daerah
lembab, seperti Amerika Selatan yang merupakan daerah endemik dan
predominan, dengan puncak insiden di akhir musim panas. Anak-anak
3

prasekolah dan sekolah paling sering terinfeksi. Pada usia dewasa, lakilaki lebih banyak dibanding perempuan. 2 Disamping itu, ada beberapa
faktor yang dapat mendukung terjadinya impetigo krustosa seperti:
-

hunian padat

higiene buruk

hewan peliharaan

keadaan yang mengganggu integritas epidermis kulit seperti gigitan


serangga, herpes simpleks, varisela, abrasi, atau luka bakar.1,4,5

II.3.

Patogenesis

Gambar 1. Struktur Stretoccocus Pyogenes dan substansinya


Impetigo krustosa dimulai ketika trauma kecil terjadi pada kulit
normal sebagai portal of entry yang terpapar oleh kuman melalui kontak
langsung dengan pasien atau dengan seseorang yang menjadi carrier.
Kuman tersebut berkembang biak dikulit dan akan menyebabkan
terbentuknya lesi dalam satu sampai dua minggu.6
Cara infeksi pada impetigo krustosa ada 2, yaitu infeksi primer dan
infeksi sekunder.

Infeksi Primer
Infeksi primer, biasanya terjadi pada anak-anak. Awalnya, kuman
menyebar dari hidung ke kulit normal (kira-kira 11 hari), kemudian
berkembang menjadi lesi pada kulit. Lesi biasanya timbul di atas kulit
wajah (terutama sekitar lubang hidung) atau ekstremitas setelah trauma.4
Infeksi sekunder
Infeksi sekunder terjadi bila telah ada penyakit kulit lain
sebelumnya (impetiginisasi) seperti dermatitis atopik, dermatitis statis,
psoariasis vulgaris, SLE kronik, pioderma gangrenosum, herpes simpleks,
varisela, herpes zoster, pedikulosis, skabies, infeksi jamur dermatofita,
gigitan serangga, luka lecet, luka goresan, dan luka bakar, dapat terjadi
pada semua umur2,7.
Impetigo krustosa biasanya terjadi akibat trauma superfisialis dan
robekan pada epidermis, akibatnya kulit yang mengalami trauma tersebut
menghasilkan suatu protein yang mengakibatkan bakteri dapat melekat
dan membentuk suatu infeksi impetigo krustosa2. Keluhan biasanya gatal
dan nyeri4
Impetigo krustosa sangat menular, berkembang dengan cepat
melalui kontak langsung dari orang ke orang. Impetigo banyak terjadi
pada musim panas dan cuaca yang lembab. Pada anak-anak sumber
infeksinya yaitu binatang peliharaan, kuku tangan yang kotor, anak-anak
lainnya di sekolah, daerah rumah kumuh, sedangkan pada dewasa
sumbernya yaitu tukang cukur, salon kecantikan, kolam renang, dan dari
anak-anak yang telah terinfeksi5.
II.4.

Histopatologi
Terjadinya inflamasi superfisialis pada folikel pilosebaseus bagian
atas. Terdapat vesikopustul di subkorneum yang berisi coccus serta debris
berupa leukosit dan sel epidermis. Pada dermis terjadi inflamasi ringan
yang ditandai dengan dilatasi pembuluh darah, edema, dan infiltrasi
leukosit polimorfonuklear. 5 Seringkali terjadi spongiosis yang mendasari
pustula. Pada lesi terdapat kokus Gram positif.2
5

II.5.

Manifestasi Klinis
Impetigo krustosa dapat terjadi di mana saja pada tubuh, tetapi
biasanya pada bagian tubuh yang sering terpapar dari luar misalnya wajah,
leher, dan ekstremitas. Impetigo Krustosa diawali dengan munculnya
eritema berukuran kurang lebih 2 mm yang dengan cepat membentuk
vesikel, bula atau pustul berdinding tipis. Kemudian vesikel, bula atau
pustul tersebut ruptur menjadi erosi kemudian eksudat seropurulen
mengering dan menjadi krusta yang berwarna kuning keemasan (honeycolored) dan dapat meluas lebih dari 2 cm. Lesi biasanya berkelompok dan
sering konfluen meluas secara irreguler. Pada kulit dengan banyak pigmen,
lesi dapat disertai hipopigmentasi atau hiperpigmentasi. Krusta pada
akhirnya mengering dan lepas dari dasar yang eritema tanpa pembentukan
jaringan scar.1,4,5,8
Lesi dapat membesar dan meluas mengenai lokasi baru dalam
waktu beberapa minggu apabila tidak diobati. Pada beberapa orang lesi
dapat remisi spontan dalam 2-3 minggu atau lebih lama terutama bila
terdapat penyakit akibat parasit atau pada iklim panas dan lembab, namun
lesi juga dapat meluas ke dermis membentuk ulkus (ektima).1,4
Kelenjar limfe regional dapat mengalami pembesaran pada 90%
pasien tanpa pengobatan (terutama pada infeksi Streptococcus) dan dapat
disertai demam. Membran mukosa jarang terlibat. 1,4,5

Gambar 2. impetigo krustosa di ekstremitas superior pada anak-anak1.

Gambar 3. impetigo krustosa di sekitar lubang hidung dan mulut pada


anak- anak4.
II.6

Diagnosis
Diagnosis impetigo krustosa ditegakkan melalui anamnesis dan
pemeriksaan fisik dengan mengidentifikasi tanda dan gejala yang ada dan
dapat dibantu dengan pemeriksaan penunjang seperti pewarnaan Gram,
biakan kuman, dan tes serologi serta histopatologi.2,8
Pada pulasan gram, ditemukan coccus Gram positif yang lebih
terlihat bila pemeriksaan dilakukan saat lesi masih berupa vesikel.
Biasanya diperlukan pemeriksaan biakan kuman dan sensitivitas bila terapi
tidak menghasilkan respon baik yang menunjukkan sudah terjadi resistensi
kuman. Pada pemeriksaan serologi didapatkan ASO titer positif lemah
pada pioderma streptococcus. Leukositosis ditemukan pada sebagian
penderita impetigo krustosa. 2,8

II.7.

Diagnosis Banding
Diagnosis banding Impetigo krustosa terdiri dari:
a. Dermatitis Atopik
Terdapat riwayat atopi seperti asma, rhinitis alergika. Lesi
pruritus kronik dan kulit kering abnormal dapat disertai likenifikasi.3,9
b. Dermatitis Kontak
Gatal pada daerah sensitif yang kontak dengan bahan iritan. 3

c. Herpes Simpleks
7

Vesikel dengan dasar eritema yang ruptur menjadi erosi


ditutupi krusta. Umumnya terdapat demam, malaise, disertai
limfadenopati. 3,9
d. Varisela
Terdapat gejala prodomal seperti demam, malaise, anoreksia.
Vesikel dinding tipis dengan dasar eritema (bermula di trunkus dan
menyebar ke wajah dan ekstremitas) yang kemudian ruptur
membentuk krusta (lesi berbagai stadium).3
e. Kandidiasis
Kandidiasis (infeksi jamur candida): papul eritem, basah,
umumnya di daerah selaput lendir atau daerah lipatan. 3
f. Diskoid lupus eritematous
Ditemukan (plak), batas tegas yang mengenai sampai folikel
rambut. 3
g. Ektima
Lesi berkrusta yang menutupi daerah ulkus yang menetap
selama beberapa minggu dan sembuh dengan jaringan parut bila
menginfeksi dermis. 3
h. Gigitan serangga
Terdapat papul pada daerah gigitan, dapat nyeri. 3
i. Skabies
Papul yang kecil dan menyebar, terdapat terowongan pada selasela jari, gatal pada malam hari.3
II.8.

Komplikasi
1. Ektima
Impetigo yang tidak diobati dapat meluas lebih dalam dan
penetrasi ke epidermis menjadi ektima. Ektima merupakan pioderma
pada jaringan kutan yang ditandai dengan adanya ulkus dan krusta
tebal.4,5
2. Selulitis dan Erisepelas
8

Impetigo krustosa dapat menjadi infeksi invasif menyebabkan


terjadinya selulitis dan erisepelas, meskipun jarang terjadi. Selulitis
merupakan peradangan akut kulit yang mengenai jaringan subkutan
(jaringan ikat longgar) yang ditandai dengan eritema setempat,
ketegangan kulit disertai malaise, menggigil dan demam. Sedangkan
erisepelas merupakan peradangan kulit yang melibatkan pembuluh
limfe superfisial ditandai dengan eritema dan tepi meninggi, panas,
bengkak, dan biasanya disertai gejala prodromal.1,4,5
3. Glomerulonefritis Post Streptococcal
Komplikasi utama dan serius dari impetigo krustosa yang
umumnya disebabkan oleh Streptococcus group A beta-hemolitikus ini
yaitu glomerulonefritis akut (2%-5%). Penyakit ini lebih sering terjadi
pada anak-anak usia kurang dari 6 tahun. Tidak ada bukti yang
menyatakan glomerulonefritis terjadi pada impetigo yang disebabkan
oleh Staphylococcus. Insiden glomerulonefritis (GNA) berbeda pada
setiap individu, tergantung dari strain potensial yang menginfeksi
nefritogenik. Faktor yang berperan penting atas terjadinya GNAPS
yaitu serotipe Streptococcus strain 49, 55, 57,dan 60 serta strain M-tipe
2. Periode laten berkembangnya nefritis setelah pioderma streptococcal
sekitar 18-21 hari. Kriteria diagnosis GNAPS ini terdiri dari hematuria
makroskopik atau mikroskopik, edema yang diawali dari regio wajah,
dan hipertensi.1,5
4. Rheumatic Fever
Sebuah

kelainan

inflamasi

yang

dapat

terjadi

karena

komplikasi infeksi streptokokus yang tidak diobati strep throat atau


scarlet fever. Kondisi tersebut dapat mempengaruhi otak, kulit,
jantung,dan sendi tulang.
5. Pneumonia
Pneumonia merupakan penyakit ynag banyak ditemui setiap
tahun. Penyakit ini biasa terjadi pada perokok dan seseorang yang
menggunakan obat yang menekan sistem imunitas.13
6. Infeksi Methicilin- resistant staphylococcus aureus (MRSA).

MRSA adalah sebuah strain bakteri stafilokokus yang resisten


terhadap sejumlah antibiotik. MRSA dapat menyebabkan infeksi serius
pada kulit yang sangat sulit diobati. Infeksi kulit dapat dimulai dengan
sebuah eritem, papul, atau abses yang mengeluarkan pus. MRSA juga
dapat menyebabkan pneumonia dan bakterimia.12
7. Osteomielitis
Sebuah inflamasi pada tulang disebabkan bakteri. Inflamasi
biasanya berasal dari bagian tubuh yang lain yang berpindah ke tulang
melalui darah.14
8. Meningitis
Sebuah inflamasi pada membran dan cairan serebrospinal yang
melingkupi otak dan medula spinalis. Meningitis merupakan sebuah
penyakit

serius

yang

dapat

mempengaruhi

kehidupan

dan

menghasilkan komplikasi permanen seperti koma, syok, dan


kematian.15
II.9.

Penatalaksanaan
A. Umum

Menjaga kebersihan agar tetap sehat dan terhindar dari infeksi kulit.9

Menindaklanjuti luka akibat gigitan serangga dengan mencuci area


kulit yang terkena untuk mencegah infeksi. 9

Mengurangi kontak dekat dengan penderita 9

Bila diantara anggota keluarga ada yang mengalami impetigo


diharapkan dapat melakukan beberapa tindakan pencegahan berupa: 9
-

Mencuci bersih area lesi (membersihkan krusta) dengan sabun dan


air mengalir serta membalut lesi.

Mencuci pakaian, kain, atau handuk penderita setiap hari dan tidak
menggunakan peralatan harian bersama-sama.

Menggunakan sarung tangan ketika mengolesi obat topikal dan


setelah itu mencuci tangan sampai bersih.

Memotong

kuku

untuk

menghindari

penggarukan

yang

memperberat lesi.
10

Memotivasi penderita untuk sering mencuci tangan.

B. Khusus
Pada prinsipnya, pengobatan impetigo krustosa bertujuan untuk
memberikan kenyamanan dan perbaikan pada lesi serta mencegah
penularan infeksi dan kekambuhan.3
1. Terapi Sistemik
Pemberian antibiotik sistemik pada impetigo diindikasikan bila
terdapat lesi yang luas atau berat, limfadenopati, atau gejala sistemik.1
a. Pilihan Pertama (Golongan Lactam)
Golongan Penicilin (bakterisid)
o Amoksisilin+ Asam klavulanat
Dosis 2x 250-500 mg/hari (25 mg/kgBB) selama 10 hari.3
Golongan Sefalosporin generasi-ke1 (bakterisid)
o Sefaleksin
Dosis 4x 250-500 mg/hari (40-50 mg/kgBB/hari) selama 10
hari.3
o Kloksasilin
Dosis 4x 250-500 mg/hari selama 10 hari.3
b. Pilihan Kedua
Golongan Makrolida (bakteriostatik)
o Eritromisin
Dosis 30-50mg/kgBB/hari. 4
o Azitromisin
Dosis 500 mg/hari untuk hari ke-1 dan dosis 250 mg/hari
untuk hari ke-2 sampai hari ke-4.4
2. Terapi Topikal
Penderita diberikan antibiotik topikal bila lesi terbatas,
terutama pada wajah dan penderita sehat secara fisik. Pemberian obat
topikal ini dapat sebagai profilaksis terhadap penularan infeksi pada
saat anak melakukan aktivitas disekolah atau tempat lainnya.
Antibiotik topikal diberikan 2-3 kali sehari selama 7-10 hari.5,6
o Mupirocin
11

Mupirocin (pseudomonic acid) merupakan antibiotik yang berasal


dari Pseudomonas fluorescent. Mekanisme kerja mupirocin yaitu
menghambat sintesis protein (asam amino) dengan mengikat
isoleusil-tRNA sintetase sehingga menghambat aktivitas coccus
Gram

positif

Streptococcus.

seperti

Staphylococcus

dan

Salap

mupirocin

diindikasikan

2%

sebagian

besar
untuk

pengobatan impetigo yang disebabkan Staphylococcus dan


Streptococcus pyogenes.10
o Asam Fusidat
Asam Fusidat merupakan antibiotik yang berasal dari Fusidium
coccineum. Mekanisme kerja asam fusidat yaitu menghambat
sintesis protein. Salap atau krim asam fusidat 2% aktif melawan
kuman gram positif dan telah teruji sama efektif dengan mupirocin
topikal.11
o Bacitracin
Baciracin merupakan antibiotik polipeptida siklik yang berasal dari
Strain Bacillus Subtilis. Mekanisme kerja bacitracin yaitu
menghambat sintesis dinding sel bakteri dengan menghambat
defosforilasi ikatan membran lipid pirofosfat sehingga aktif
melawan coccus Gram positif seperti Staphylococcus dan
Streptococcus. Bacitracin topikal efektif untuk pengobatan infeksi
bakteri superfisial kulit seperti impetigo.10
o Retapamulin
Retapamulin

bekerja

menghambat

sintesis

protein

dengan

berikatan dengan subunit 50S ribosom pada protein L3 dekat


dengan peptidil transferase. Salap Retapamulin 1% telah diterima
oleh Food and Drug Administraion (FDA) pada tahun 2007 sebagai
terapi impetigo pada remaja dan anak-anak diatas 9 bulan dan telah
menunjukkan aktivitasnya melawan kuman yang resisten terhadap
beberapa obat seperti metisilin, eritromisin, asam fusidat,
mupirosin, azitromisin.6
II.10. Prognosis
12

Pada beberapa individu, bila tidak ada penyakit lain sebelumnya


impetigo krustosa dapat membaik spontan dalam 2-3 minggu. Namun, bila
tidak diobati impetigo krustosa dapat bertahan dan menyebabkan lesi pada
tempat baru serta menyebabkan komplikasi berupa ektima, dan dapat
menjadi erisepelas, selulitis, atau bakteriemi.4,7 Dapat pula terjadi
Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (SSSS) pada bayi dan dewasa
yang mengalami immunocompromised atau gangguan fungsi ginjal. Bila
terjadi komplikasi glomerulonefritis akut, prognosis anak- anak lebih baik
daripada dewasa.5

BAB III
LAPORAN KASUS
III.1. Identitas Pasien
13

Nama

: Sdr. M

Umur

: 14 tahun

JenisKelamin : Laki-laki
Agama

: Islam

Pekerjaan

: Pelajar

No. CM

: 074416-2015

Alamat

: Baran RT 4 RW 1 Ambarawa

III.2. Anamnesa
A. Keluhan Utama
Gatal pada kaki kanan dan kiri.
B. Keluhan Tambahan
Terdapat gigi lubang dibagian bawah kanan dan kiri.
C. Riwayat Penyakit Sekarang
Gatal kurang lebih 1 bulan pasien rasakan pada kaki, yang awal
mulanya pada kaki kiri terlebih dahulu berupa melenting kecil yang
kemudian digaruk dan lama kelamaan menyebar. Nyeri (-), panas (-),
kurang lebih 1 minggu yang lalu luka sempat kering karena minum
obat, setelah obat habis gatal menjadi kambuh lagi dan basah.
D. Riwayat Penyakit Dahulu
Sebelumnya belum pernah mengalami hal yang sama.
E. Riwayat Penyakit Keluarga
Dikeluarga pasien tidak ada anggota keluarga yang mengalami hal
yang sama.
F. Riwayat Alergi
Pasien mempunyai riwayat alergi makanan amis, namun tidak ada
alergi terhadap obat.
G. Riwayat Pengobatan
Obat minum terdapat 3 macam namun pasien lupa nama obatnya yang
diberikan oleh dokter.
H. Status Sosial Ekonomi
Pasien adalah seorang pelajar SMP yang bertempat tinggal dengan
orang tua pasien. Biaya pengobatan dibiayai oleh orang tua pasien.
III.3. Pemeriksaan Fisik
A. Status Generalis
Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
14

Kesadaran

: Compos Mentis

Vital Sign

TD : 120/80

RR: 20x/menit

Nadi: 80x/menit

B. Pemeriksaan Kepala
Bentuk Kepala

: Normocephale

Mata

: dbn

Mulut dan Gigi

: gigi lubang dibagian bawah kanan dan kiri

Leher

: dbn

C. Thorax
Pulmo

: vesikuler, wheezing (-), ronkhi (-)

Cor

: S1/S2 reguler, murmur (-), gallop (-)

D. Abdomen

: tidak dilakukan pemeriksaan

E. St. Dermatologis
Inspeksi
Distribusi

: Ekstremitas inferior dextra et sinistra

Efloresensi

: Erosi

Palpasi

: Nyeri tekan (-)

Gambar efloresensi pasien

15

Impetigo Krustosa pada kaki kanan penderita

Impetigo Krustosa didekat mata kaki penderita

Impetigo Krustosa pada kaki kiri penderita


III.4. Pemeriksaan Penunjang
16

Tidak dilakukan pemeriksaan penunjang.


III.5. Diagnosa Banding
a. Impetigo Bullosa

b. Herpes Simpleks
c. Kandidiasis
d. Skabies
e. Ektima
III.6. Terapi
Cream Mertus
Cefadroxil 2x500 mg
Cetirizine HCL 1x10 mg (sore)
III.7. Prognosis
Dubia et Bonam apabila tidak ada penyakit lain sebelumnya.
Namun, bila tidak diobati impetigo krustosa dapat bertahan dan
menyebabkan lesi pada tempat baru serta menyebabkan komplikasi berupa
ektima, dan dapat menjadi erisepelas, selulitis, atau bakteriemi.

BAB IV
17

PEMBAHASAN
Dari anamnesa didapatkan identitas pasien dengan nama Sdr. M. usia 14
tahun, datang kepoli Kulit dan Kelamin RSUD Ambarawa Kabupaten Semarang
pada hari Kamis, 12 Februari 2015 dengan keluhan gatal di kaki kanan dan kiri.
Awal mula berupa melenting kecil kurang lebih 1 bulan yang lalu dirasakan pada
kaki kiri terlebih dahulu, kemudian digaruk dan lama kelamaan menyebar. Nyeri
(-), panas (-), kurang lebih 1 minggu yang lalu luka sempat kering karena minum
obat, setelah obat habis gatal menjadi kambuh lagi dan basah. Berdasarkan
literatur gatal dapat terjadi karena adanya suatu infeksi yang menyebabkan rasa
gatal pada kulit, melenting yang didapatkan pada penderita merupakan suatu
proses reaksi imunologi terhadap suatu infeksi. Penyebaran terjadi akibat garukan
sehingga infeksi bisa meyebar ke kaki sebelah.1,2,5
Berdasarkan pemeriksaan fisik, didapatkan pasien tampak saki tringan,
kesadaran kompos mentis. Tekanan darah 120/80 mmHg. Nadi 80x/menit.
Frekuensi napas 20x/menit. Pemeriksaan status dermatologis didapatkan distribusi
di ekstremitas inferior dengan efloresensi berupa erosi yang diperparah karena
garukan. Berdasarkan literature letak dikaki sangat sering didapat karena
kurangnya kebersihan, sehingga infeksi dapat terjadi. Efloresensi berupa erosi
terjadi akibat pecahnya vesikel sehingga secret yang keluar akan membentuk
gambaran erosi dan menyebar karena proses garukan. 1,2
Berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik, berdasarkan literatur pasien
menderita impetigo krustosa dikarenakan bentuk dari efloresensi penderita dan
letaknya berada ditungkai pada panderia dewasa, karena pada tungkai bawah
kebersihan sangat kurang. Selain itu berdasarkan literatur yang penulis baca,
didapatkan gambaran yang serupa terhadap beberapa penyakit. Diagnosa banding
yang didapat diantaranya impetigo bulosa, varisella zoster, kandidiasis skabies,
ektima. 1,2,5,6
Impetigo bullosa menjadi diagnosa banding karena berdasarkan literatur
letak gatal pada penderita yaitu di tungkai bawah, akan tetapi bentuk impetigo
bullosa adalah eritema, bulla, bulla hipopion, sedangkan pada pasien ini
didapatkan bentuk erosi, oleh karena itu impetigo bullosa dapat disingkarkan. 1,2
18

Varicella Zoster menjadi diagnosa banding karena berdasarkan literatur


gejala awal dari penderita berupa melenting yang diawalai pada tungkai kanan
saja, namun pada pemeriksaan fisik didapatkan kedua tunggkai terdapat gejala
yang sama sehingga varicella zoster dapat disingkirkan. 1,2
Kandidiasis menjadi diagnosa banding karena berdasarkan literatur
efloresensi yang dilihat pada pemeriksaan fisik sama dengan penderita yaitu
berbentuk papul-papul akan tetapai predileksi kandidiasis berada pada lipatan
kulit, sedangkan pada penderita terdapat pada kedua tungkai, sehingga kandidiasi
dapat disingkirkan. 1,2
Skabies menjadi diagnosa banding karena berdasarkan literatur efloresensi
yang dilihat pada pemeriksaan fisik sama dengan penderita yaitu berbentuk papulpapul, pustule, erosi atau ekskoriasi akan tetapai predileksi skabies paling sering
berada pada sela-sela jari, sedangkan pada penderita terdapat pada kedua tungkai,
sehingga skabies dapat disingkirkan. 1,2
Ektima menjadi diagnosa banding karena berdasarkan literatur letak
penderita ektima sering pada tungkai bawah, sesuai dengan pasien, namun
gambaran efloresensi ektima adalah krusta tebal warna kuning dengan dasar
ulkus, sedangakan pada pasien efloresensi berupa erosi, oleh sebab itu ektima
dapat disingkirkan. 1,2
Penanganan pada pasien ini diberikan terapi antibiotik topical berupa
cream meertus yang berisi mupirocin 2% karena penyebab utama adalah bakteri,
serta diberikan antibiotik sistemik berupa cefadoxil 2x500 mg agar bakteri tidak
berkembang biak dan efek kerjanya lebih lama di dalam tubuh, karena pasien
mengeluh gatal pasien juga diberikan cetirizine HCL 1x10mg (sore) yaitu
antihistamin sistemik generasi II yang mempunyai efek sedasi yang kecil dan
diberikan pada sore hari agar aktifas kerja tidak terganggu. 3,4
Cream mertus yang berisi mupirocin 2% mempunyai mekanisme
menghambat sintesis protein (asam amino) dengan mengikat isoleusil-tRNA
sintetase

sehingga

menghambat

aktivitas

coccus

Gram

positif

seperti

Staphylococcus dan sebagian besar Streptococcus yang merupakan penyebab


impetigo krustosa. 3,7

19

Cefadoxil 2x500 mg mempunyai mekanisme menghambat sintesa dinding


sel bakteri denngan cara cefadroxil aktif terhadap Streptococcus beta hemolytic,
Staphylococcus aureus, yang merupakan penyebab impetigo krustosa. 3,8
Cetirizine HCL 1x10mg (sore) yaitu antihistamin selektif antagonis
reseptor H1 periferal dengan efek sedatve yang rendah pada dosis aktif
farmakologi dan mempunyai sifat tambahan sebagai anti alergi mempunyai
mekanisme menghambat pelepasan histamin pada fase awal dan mengurangi
migrasi sel inflamasi sehingga pemberian Cetirizin HCL merupakan pilihan obat
yang tepat karenan pasien merupakan seorang pelajar dan mempunyai aktifitas
pada pagi hari sehingga pemberian pada sore hari merupakan pilihan yang tepat. 7
Pada pasien ini penulis memberikan prognosis dubia et bonam apabila
tidak ada penyakit lain sebelumnya. Namun, bila tidak diobati impetigo krustosa
dapat bertahan dan menyebabkan lesi pada tempat baru serta menyebabkan
komplikasi berupa ektima, dan dapat menjadi erisepelas, selulitis, atau bakteriemi.
1,3,5

BAB V
KESIMPULAN
20

Impetigo krustosa merupakan penyakit infeksi kulit terbatas pada lapisan


epidermis (superfisial) yang umumnya disebabkan oleh Staphylococcus aureus dan
Streptococcus group A beta-hemolitikus Penyakit ini lebih sering terjadi pada anak-anak,
baik laki-laki maupun perempuan. Predileksi impetigo krusta terdiri dari wajah, leher,
atau ekstremitas. Gambaran klinis yang dapat ditemukan berupa vesikel yang menjadi
pustul dan ruptur membentuk krusta khas berwarna kuning keemasan (honey-colored).
Lesi biasanya berkelompok dan konfluen dan dapat meluas melibatkan lokasi baru.
Penyakit impetigo krustosa yang lama tidak diobati kadang dapat menyebabkan
komplikasi, diantaranya yang berat adalah glomerulonefritis akut, meningitis akut. Selain
itu, penyakit impetigo krustosa dapat menginfeksi jantung, tulang dan paru. Pada pasien
impetigo yang diobati dengan antibiotik tidak secara tuntas dapat menimbulkan suatu
Infeksi Methicilin- resistant staphylococcus aureus (MRSA) dimana strain bakteri
stafilokokus menjadi resisten terhadap sejumlah antibiotik sehingga menyebabkan infeksi
serius pada kulit yang sangat sulit diobati. Infeksi kulit dapat dimulai dengan sebuah
eritem, papul, atau abses yang mengeluarkan pus. MRSA juga dapat menyebabkan
pneumonia dan bakterimia yang tentu saja akan mengganggu aktivitas hidup penderita.
Terapi impetigo krustosa terdiri dari pembersihan krusta dengan kompres basah,
antibiotik topikal serta antibiotik sistemik bila diperlukan.

DAFTAR PUSTAKA

21

1.

Hay R.J, B.M Adriaans. Bacterial Infection. In: Burns T, Brethnach S, Cox N,
Griffiths C (eds). Rooks Text Book of Dermatology. 7 th ed. Turin: Blackwell. 2004.
p.27.13-15.

2.

Heyman W.R, Halpern V. Bacterial Infection. Bolognia JL, Jorizzo JL, Rapini RP
(eds). Dermatology. 2nd ed. Spain: Mosby Elsevier. 2008. p.1075-77.

3.

Cole C, Gazewood J. Diagnosis and Treatment of Impetigo. American Academy


of

Family

Physician.

Vol.75.

No.6.

2007.

p.859-864.

Diunduh

dari:

http://www.sepeap.org/archivos/pdf/10524.pdf
4.

Craft N, Peter K.L, Matthew Z.W, Morton N.S, Richard S.J. Superficial
Cutaneous Infection and Pyodermas. In: Wolff K et all (eds). Fitzpatricks
Dermatology in General Medicine. Vol 2. 7 th Ed. New York: McGraw Hill. 2008.
p.1695-1705.

5.

Arnold, Odom, James. Bacterial Infection. In: James W.D, Berger T.G, Elston
D.M (eds). Andrews Disease of the Skin Clinical Dermatology. 10 th Ed. Canada:
Saunders Elsevier. 2006. p.255-6.

6.

Amini Sadegh. Impetigo. Diunduh dari:


http://emedicine.medscape.com/article/1109204-treatment . Last update: May 20,
2010.

7.

Norrby A, Teglund, Kotb M. Host Microbe Interactions in The Pathogenesis of


Invasive Group A Streptococcal Infections. Journal Medical Microbiology. Vol.49.
2000. p.849-52.

8.

Trozak D.J, Tennenhouse D.J, Russel D.J. Impetigo (Impetigo Crustosa). In:
Skolnik N.S (eds). Dermatology Skills For Primary Care: An Ilustrated Guide. New
Jersey: Humana Press. 2006. p.317-23.

9.

Wolff K, Richard Allen Johnson. Color Atlas and Sypnosis Of Clinical


Dermatology. Part 3rd. 9th Ed. New york: McGraw Hill. 2009. p.597-604.

10.

Bonner M.W, Benson P.M, James W.D. Topical Antiboiotics. In: Wolff K et all
(eds). Fitzpatricks Dermatology in General Medicine. Vol 2. 7 th Ed. New York:
McGraw Hill. 2008. p.2113-15.

11.

Koning S at all. Fusidic Acid Cream in The Treatment of Impetigo in General


Practice: Double Blind Randomised Placebo Controlled Trial. British Medical
Journal.

2002.

Vol.324.

p.203.

Diunduh

dari:

http://www.bmj.com/cgi/content/full/324/7331/203
12.

Mayo

clinic

staff.

Impetigo.

Diunduh

dari:

http://www.mayoclinic.com/health/impetigo/DS00464/DSECTION=complications.

22

13.

Wrong

Diagnosis.

Rheumatic

fever.

Diunduh

dari:

Diunduh

dari:

Diunduh

dari:

http://www.wrongdiagnosis.com/r/rheumatic_fever/intro.htm
14.

Wrong

Diagnosis.

Osteomielitis

http://www.wrongdiagnosis.com/o/osteomyelitis/intro.htm
15.

Wrong

Diagnosis.

Meningitis

http://www.wrongdiagnosis.com/m/meningitis/intro.htm

23

Anda mungkin juga menyukai