Pasien yang terinfeksi dan karier dapat menularkan C. DIfteri langsung melalui
droplet pernafasa, secret nasofaring dan secara tidak langsung melalui debu, baju, ataupun
benda yang terkontaminasi. Pada difteri kulit, penyebarannya melalui kontak dengan eksudat
dan secret saluran nafas.Bakteri biasanya memasuki tubuh melalui saluran pernafasan bagian
atas, tapi dapat juga masuk melalui kulit, saluran genital atau mata.
C.difteri dalam hidung atau mulut berkembang pada sel epitel mukosa saluran napas
terutama tonsil, kadang-kadang ditemukan di kulit dan konjungtiva atau genital. Basil ini
kemudian menghasilakan eksotoksin yang dilepaskan oleh endosome sehingga
menyebabkan reaksi inflamasi likal, selanjutnya terjadi kerusakan jaringan dan nekrosis.
Toksin terdiri dari dua fragmen protein pembentuk. Fragmen B berikatan dengan reseptor
pada permukaan sel pejamu yang rentan, sifat proteolitiknya memotong lapisan membrane
lipid, sehingga membantu fragmen A masuk kedalam sel pejamu. Selanjutya akan terjadi
peradangan dan destruksi sel epitel yang akan diikuti nekrosis. Pada daerah nekrosis
terbentuk fibrin yang kemudian diinfiltrasi oleh sel darah putih, akibatnya terbentuk patchy
exudat yang pada awalnya dapat terkelupas
Pada keadaan lebih lanjut toksin yang di produksi lebih banyak, sehingga daerah
nekrosis makin luas dan dalam sehingga terbentuk eksudat fibrosa yang terdiri atas jaringan
nekrotik, fibrin, sel epitel, sel leukosit, sel eritrosit yang berwarna abu-abu sampai hitam.
Memberan ini sulit terkelupas, kalau di paksa akan menimbulkan perdarahan
Pada umumnya infeksi C diphtheria tumbuh secara local dan menghasilkan racun
yang menyebar secara homogen. Karakteristik membrane difteri tebal, kasar, berwarna
kelabu-biru atau putih dan terdiri dari bakteri, epitel nekrotik, makrofag , dan fibrin.
Membran melekat pada dasar mukosa. Membrane dapat menyebar ke bronkil menyebabkan
obstruksi saluran pernafasan dan dispneu. Kekebalan karena vaksinasi akan berkurang dari
waktu-waktu, hal ini , mengakibatkan peningkatan resiko tertular penakit dari karrier,
meskipun imunisasi sebelumnya lengkap. Dengan meluasnya cakupan vaksinas, kasus strain
penyakit invasive nontoksikogenik meningkat.
Kerusakan jaringan local menyebabkan toksin menyebar melalui aliran limpa dan
hematogen ke organ lain, seperti miokardium, ginjal, dan system saraf. Strain nontoksigenik
cenderung menyebabkan infeksi ringan, tetapi dengan berjalannya program imunisasi
dilaporkan kasus strain nontoksigenik difteri C yang menyebabkan penyakit invasive
Infeksi C diphtheria ditandai peradangan local, disaluran pernapasan bagian atas, dan
berhubungan dengan toksin pada jantung dan penyakit saraf. Strain C diphtheria terdiri dari
: gravis, intermedius, dan mitis. Semua strain menghasilkan toksin yang identic, strain gravis
lebih virulen krena terbentuk toksin lebih cepat dan menguras pasokan besi local, sehingga
produksi toksin awal lebih besar. Produksi racun dikodekan pada gen tox, yang , dilanjutkan
oleh fag beta lisogenik. Ketika DNA fag terintegrasi ke materi genetic bakteri, bakteri akan
meningkatkan kemampuan memproduksi toksin polipeptida.
Gen tox diatur oleh zat besi yang berikatan dengan corynebacterial. Dengan adanya
besi ferro, kompleks DtxR-besi menempel operan gen tox, selanjutnya transkripsi terhambat,
molekul DtxR dilepaskan dan gen tox ditranskripsi. Pengikatan besi ferro menjadi molekul
DtXr membentuk kompleks yang mengikat operator gen tox dan menghambat transkripsi
GEJALA KLINIS
Difteri pernafasan cepat berlanjut menjadi gagal pernapasan karena obstruksi jalan napas
atau aspirasi pseudomembran ke trakeobronkial.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan kesulitan bernafas, takikardi dan pucat. Pada
saluran pernafasan di temukan psudomembran yang mempunyai karakteristik sebagai
berikut;
Miokarditis bisa terjadi pada 65% dari penderita difteri dan 10-25 % diantaranya
mengalami disfungsi miokard dengan manifestasi klinis berupa takikardi, suara jantung
melemah, irama jantung mendua dan aritmia. Pada pemeriksaan elektrokardiografi
ditemukan tanda-tanda miokarditis berupa low voltage, depresi segmen ST, gelombang T
terbalik dan tanda-tanda blok mulai dari pemanjangan interval PR sampai blok AV total.
Kelainan system saraf juga bisa terjadi pada 75 % penderita difteri yang berat.
Umumnya terjadi pada minggu ke-2 sampai ke-8 setelah terinfeksi ditandai dengan gejala-
gejala suara (sengau) , kesulitan Menelan dan regurgitasi cairan ke rongga hidung sewaktu
menelan.
(Refrensi : IPD)
DIAGNOSTIK