Anda di halaman 1dari 37

1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Keanekaragaman serangga ordo Coleoptera lebih tinggi di daerah tropis

dibandingkan dengan wilayah temperata. Faktor abiotik seperti suhu merupakan

salah satu faktor yang sangat menentukan distribusi kepadatan populasi

Coleoptera. Ordo Coleoptera memiliki jumlah spesies terbesar, ordo ini menyusun

sekitar 40 % dari seluruh jenis serangga dan merupakan komponen utama

keanekaragaman hewan (Riyanto, 2016).

Kumbang merupakan serangga dari Ordo Coleoptera yang memiliki

keanekaragaman yang tinggi dan melimpah, selain itu berperan penting dalam

fungsi ekosistem. Peran kumbang dibutuhkan dalam ekosistem karena aktivitas

kumbang sebagai pemakan tanaman, predator, scavenger, dan dekomposer.

Aktivitas kumbang herbivora sangat penting bagi ekosistem karena kumbang

herbivora merupakan hama penting bagi tanaman (Rahayu et al., 2017).

Kumbang memiliki sayap depan yang keras, tebal dan merupakan penutup

bagi sayap belakang dan tubuhnya. Sayap depan disebut elitron. Ketika terbang

sayap depan kumbang tidak berfungsi hanya sayap belakang yang digunakan

untuk terbang. Sayap belakang berupa selaputdan pada waktu istirahat dilipat

dibawah elitra. Tipe alat mulut kumbang yaitu tipe penggigit dan pengunyah

(Suhara, 2009).

Memiliki alat mulut pengigit pengunyah, ada yang mulutnya muncul di

ujung moncong yang memanjang. Tarsus terdiri atas 2-5 segmen. Sayap belakang

membraneus dan terlihat dibawah sayap depan pada saat serangga ini istirahat.

Pada sayap hinggap kedua sayap depan membentuk satu garis lurus. Sayap
2

belakang ini umumnya lebih panjang dari pada sayap depan dan digunakan untuk

terbang (Falahudin et al., 2015).

Ordo Coleoptera termasuk dalam kelas Insecta.Ordo Coleoptera, diambil

dari kata “Coeleos yang berarti seludang dan pteron yang berarti sayap, maka

dapat disimpulkan Coleoptera adalah serangga yang memiliki seludang pada

sayapnya”. Karakter khas yang dimiliki kumbang yaitu memiliki seludang yang

disebut elytra yang keras, bagian ini melindungi sayap tipis serupa membran yang

terlipat di bawahnya (Dahuri, 2013).

Ordo Homoptera (wereng, dan kutu) Anggota ordo Homoptera memiliki

morfologi yang mirip dengan ordo Hemiptera. Perbedaan pokok antara keduanya

antara lain terletak pada morfologi sayap depan dan tempat pemunculan

rostumnya. Sayap depan anggota ordo Homoptera memiliki tekstur yang

homogen, bisa keras semua atau membranus semua, sedang sayap belakang

bersifat membranus (Baehaki, 2010).


Sebagian dari serangga ini mempunyai dua bentuk, yaitu serangga

bersayap dan tidak bersayap. Misalnya, kutu daun (Aphis sp.), sejak menetas

sampai dewasa tidak bersayap. Namun, bila populasinya tinggi sebagian serangga

tadi membentuk sayap untuk memudahkan pindah dari satu tempat ke

tempat lain. Tipe perkembangan hidup ordo Homoptera adalah paurometabola

(telur → nimfa → imago). Kutu daun bersifat partenogenetik, yaitu embrio

berkembang didalam imago betina tanpa pembuahan terlebih dahulu

(Lopes, 2017).
Alat mulut juga bertipe pencucuk pengisap dan rostumnya muncul dari

bagian posterior kepala. Alat-alat tambahan baik pada kepala maupun thorax

umumnya sama dengan anggota Hemiptera. Tipe metamorfose sederhana


3

(paurometabola) yang perkembangannya melalui stadia : telur - nimfa - dewasa.

Baik nimfa maupun dewasa umumnya dapat bertindak sebagai hama tanaman.

Serangga anggota ordo Homoptera ini meliputi kelompok wereng dan kutu-

kutuan, seperti : Wereng coklat ( Nilaparvata lugens Stal.) Kutu putih daun kelapa

( Aleurodicus destructor Mask.) Kutu loncat lamtoro ( Heteropsylla sp.)

(Marwoto, 2010).

1.2 Rumusan Masalah

- Bagaimana biologi dari ordo Coleoptera dan Homoptera?

- Bagaimana siklus hidup dari ordo Coleoptera dan Homoptera?

- Bagaimana gejala dari ordo Coleoptera dan Homoptera?

- Bagaimana Pengendalian dari Ordo Coleoptera dan Homoptera?

1.3 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui

tentang ordo coleoptera dan ordo homoptera siklus hidup, gejala dan

pengendaliannya.

1.4 Kegunaan Penulisan

Adapun kegunaan penulisan makalah ini adalah sebagai salah satu syarat

masuk untuk dapat mengikuti praktikum Ilmu Hama Tanaman Program Studi

Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara Medan dan sebagai

bahan informasi bagi pihak yag membutuhkan.


4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Ordo Coleoptera

2.1.1 Kumbang Badak (Oryctes rhinoceros)

2.1.1 a. Biologi Hama

O. rhinoceros dewasa berwarna hitam kecokelatan dan berukuran cukup

besar (panjangnya sekitar 3-5 cm dan lebar sekitar 2-3 cm). Kumbang ini

memiliki kepala kecil, tetapi memiliki sebuah tanduk (cula), culanya yang

terdapat pada kepala menjadi ciri khasnya. Cula kumbang jantan lebih panjang

dari cula kumbang betina, selain itu kumbang ini mempunyai mandibel yang kuat.

Mandibel ini berfungsi untuk melubangi pohon. Kumbang O. rhinoceros dewasa 6

dewasa betina dapat hidup sampai 274 hari, sedangkan kumbang dewasa jantan

dapat hidup sampai 192 hari (PPKS, 2010).

Gambar 1. Kumbang Badak (Oryctes rhinoceros)

O. rhinoceros dapat dijumpai hampir di seluruh dunia (Hara, 2014).

Kumbang mampu terbang kemana-mana dan merusak tanaman dengan cara

menggerek pupus daun kelapa. Daerah penyebaranya cukup luas, dari Jawa

Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, Jambi, dan sebagainya. Kumbang ini merajalela

terutama di daerah- daerah yang meiliki curah hujan tinggi dan merata sepanjang

tahun (Noerdjito, 2013).


5

Warna kumbang hitam kepala, dada dan abdomen tidak terlihat batas yang

jelas, memiliki satu tanduk pada bagian kepala 2 Memiliki dua pasang sayap,

sayap depan disebut elytra fungsi sebagai pelindung Pola dasar sayap viens dan

satu sayap tipis 3 Kaki memiliki 7 ruas kaki kumbang badak jelas perbedaan

antara tibia dan tarsus berwarna hitam gelap 4 Antena kumbang badak berbentuk

piring (lamellate) (Hasibuan, 2018).

2.1.1 b. Siklus Hidup

Stadium telur berkisar antara 11-13 hari, namun rata-rata berlangsung selama

12 hari. O. rhinoceros betina bertelur di tempat sampah, daun- daun yang telah

membusuk, daun-daun yang telah mengering dan cercahan sampah dari kayu

palem (tandan kosong buah,pupuk kandang atau kompos, batang kelapa yang

telah membusuk, dan serbuk kayu yang dekat dengan pohon kelapa merupakan

tempat berkembang biak larva O. Rhinoceros. Seekor kumbang betina mampu

bertelur sebanyak 35-70 butir atau lebih. Telur O. rhinoceros berbentuk bulat,

berwarna putih, dan berukuran panjang sekitar 2,5 mm dan lebar 2 mm. Setelah

sekitar 12 hari telur akan menetas dan menuju ke stadium larva (Pertami, 2016).

Gambar 2. Siklus Hidup Kumbang Badak (Oryctes rhinoceros)


6

Stadium larva berlangsung selama 4-5 bulan bahkan ada pula yang mencapai

2-4 bulan. Stadium larva terdiri dari tiga instar yaitu: Instar I selama 11-12 hari,

instar II selama 12-21 hari, dan instar III 60-165 hari. Larva (lundi atau uret)

dewasa memiliki panjang 12 mm, dengan kepala berwarna merah kecoklatan dan

tubuh bagian belakang lebih besar daripada tubuh bagian depan. Badan larva

berbulu pendek dan pada bagian ekor bulu-bulu tersebut tumbuh rapat. Larva

hidup dari sisa-sisa tumbuhan yang telah membusuk, kotoran ternak, sampah, dan

lain-lain, hingga berkembang menjadi kepompong (Mohan, 2009).

Stadium pupa terdiri atas 2 fase: Fase I, selama 1 bulan, merupakan perubahan

bentuk dari larva ke pupa. Fase II, lamanya 3 minggu, merupakan perubahan

bentuk dari pupa menjadi imago dan masih berdiam dalam kokon O. rhinoceros

yang baru muncul dari pupa akan tetap tinggal di tempatnya antara 5-20 hari,

kemudian terbang keluar (Prawirosukarto et al., 2003).

Stadium dewasa (imago) memiliki panjang 30-57 mm dan lebar 14-21 mm,

imago jantan lebih kecil dari imago betina, berwarna merah sawo atau hitam

kecoklatan. Cula O. rhinoceros jantan lebih panjang dari cula O. rhinoceros

betina. Kumbang ini mempunyai mandible yang kuat, berfungsi untuk melubangi

pohon O. rhinoceros betina mempunyai bulu tebal pada bagian ujung abdomenya,

sedangkan yang jantan tidak berbulu (Pertami, 2016).

2.1.1 c. Gejala Serangan

Kerusakan ini baru akan terlihat jelas setelah daun membuka 1 – 2 bulan

kemudian berupa guntingan segitiga seperti huruf “V”. Gejala ini merupakan ciri

khas serangan kumbang O. Rhinoceros. Sifat memakan pada kumbang ini

selalu berpindah-pindah dari satu tanaman ke tanaman lainnya. Keberadaan


7

5 ekor kumbang dalam 1 hektar dapat menurunkan produksi sebesar 38%

(Darmayanti, 2016).

Luka akibat serangan O. rhinoceros ini dapat menjadi jalur infeksi untuk

patogen dan hama lain Bekas bagian yang dirusak hama ini biasanya akan

digunakan oleh hama lain dan O. rhinoceros sering dianggap sebagai pembuka

jalan bagi hama lain. Hama lain tersebut antara lain Rhynchoporus sp atau

organism bakteri, cendawan untuk menyerang tanaman yang sama, sehingga

kerusakan yang ditimbulkan menjadi lebih berat Pelepah di atas bagian yang

diserang akan patah dan mengering atau busuk. Tanaman yang mati akibat

kumbang ini menyediakan tempat berkembang biak bagi generasi berikutnya

(Pertami, 2016).

Kerusakan akibat serangan O. rhinoceros memiliki ciri yang khas.

Kumbang ini merusak pelepah daun yang belum terbuka dan dapat menyebabkan

pelepah patah. O. rhinoceros dewasa mulai menyerang kelapa ketika berumur 0-1

tahun. Kerusakan pada kelapa akan terlihat jelas setelah daun membuka 1-2 bulan

kemudian, yaitu berupa guntingan segitiga seperti huruf “V” atau ada deretan

lubang-lubang besar di daun (Dirjenbun, 2009)

2.1.1 d. Pengendalian

Pengendalian kumbang tanduk dengan menggunakan perangkap feromon

sebagai insektisida alami, ramah lingkungan, dan lebih murah dibandingkan

dengan pengendalian secara konvensional. Feromon merupakan bahan yang

mengantarkan serangga pada pasangan seksualnya, sekaligus mangsa, tanaman

inang, dan tempat berkembang biaknya. Komponen utama feromon sintetis ini
8

adalah etil-4 metil oktanoat. Penggunaan feromon cukup murah karena biayanya

hanya 20% dari biaya penggunaan insektisida (Widyanto et al., 2010).

Gambar 3. Model perangkap kumbang tanduk

PHT untuk hama O. rhinoceros sebagai berikut: (a) Kultur Teknis : dilakukan

dengan cara menebang tanaman yang sudah mati kemudian kayunya

dimanfaatkan untuk kayu bangunan, perabot rumah tangga atau kayu bakar. Kayu

kelapa juga dapat ditumpuk dan dibakar (b) Pengendalian hayati. untuk

mengendalikan populasi hama Oryctes di lapangan dapat digunakan Baculovirus

oryctes dan Metarhizium anisopliae. (c) Pemanfaatan kanfer (naftalene balls) :

Kanfer digunakan sebagai penolak (repellen) untuk hama Oryctes. Pada tanaman

kelapa berumur 3-5 tahun digunakan 3.5 g kanfer per pohon, yang diletakkan pada

tiga pangkal pelepah di bagian pucuk. Aplikasi diulang setiap 45 hari. (d)

Pemanfaatan serbuk mimba (powdered neem oil cake) : Serbuk mimba (250 g)

dicampur dengan 250 g pasir kemudian diaplikasikan pada pucuk kelapa yang

menjadi tempat masuk Oryctes. Aplikasi pada 3-4 pangkal pelepah pada bagian

dengan interval 45 hari (Hosang dan Salim, 2015).

2.1.2 Hama Boleng (Cylas formicarius)

2.1.2 a. Biologi Hama

Kumbang ubi jalar Cylas formicarius (hama boleng) merupakan hama

utama pada ubi jalar. Serangga dewasa bentuknya menyerupai semut, kecuali
9

antenanya yang besar yang membedakan antara jantan dan betina. Panjang tubuh

serangga dewasa lebih kurang 6–7 mm, dengan bagian kepala dan elitra berwarna

biru kehitaman, sedangkan kaki, thorak, dan antena berwarna merah kecoklatan.

Serangga tersebut paling aktif menjelang matahari terbenam dan menjelang

matahari terbit. Apabila diganggu, mereka menjatuhkan diri dan berpura-pura

mati. Serangga ini mampu terbang dalam jarak yang tidak terlalu jauh. Oleh

karena itu cara penyebaran hama tersebut terutama melalui batang dan umbi yang

terinfestasi hama atau dibantu oleh kegiatan manusia (Indiati dan Saleh, 2010).

Gambar 4. Cylas formicarius

Kepala, abdomen, dan sayap depan berwarna abu·abu metalik. Kaki dan

dadanya berwarna coklat. Perbedaan serangga jantan dan betina terletak pada

antenanya. Antena kumbang Jantan terbentuk benang, sedangkan antena kumbang

betina berbentuk gada Kumbang betina dapat hidup hingga 113 hari, dan mampu

bertelur sebanyak 90-340 butir (Supriyatin, 2011).

2.1.2 b. Siklus Hidup

Gambar 5. Siklus Hidup Hama Boleng


10

Telur yang akan menetas berwarna krem dengan bercak kecil berwarna

coklat tak beraturan. Larva setelah 5–8 hari berwarna putih tidak berkaki dengan

kepala berwarna coklat. Larva dewasa berukuran 7–8 mm. Stadia larva

berlangsung kurang lebih 15–20 hari. Kepompong berwarna putih krem dan

berukuran 5–6 mm. Setelah satu minggu akan muncul serangga dewasa dengan

ukuran panjang 5–7 mm (Indiati dan Saleh, 2010).

Larva terdiri dari lima instar dalam waktu 25 hari. Sesaat sebelum menjadi

pupa, larva membentuk kokon yang berbentuk oval di dalam jaringan tanaman.

Lama stadia pupa enam hari. Imago yang baru keluar dari pupa, tinggal 1- 2 hari

di dalam kokon, kemudian menggereknya dan keluar dari umbi atau batang.

Imago menyerupai semut dengan moncong yang panjang. (Supriyatin, 2011).

Imago betina meletakkan telurnya satu per satu pada cekungan di dalam

batang atau umbi. Karena imago betina tidak bisa menggali/ masuk kedalam

tanah, maka untuk meletakkan telur dalam umbi, imago harus masuk ke dalam

tanah melalui tanah yang retak untuk meletakkan telurnya. Telur tidak mudah

dilihat karena ditutup dengan bahan semacam gelatin yang berwarna abu-abu.

Larva yang baru menetas langsung menggerek umbi atau batang dan tinggal di

dalam gerekan tersebut. Warna jaringan di sekitar lubang gerekan akan berubah

menjadi lebih gelap dan membusuk, sehingga tidak layak dikonsumsi karena

rasanya pahit. Pupa terjadi dalam lubang gerekan yang dibuat larva. Imago akan

muncul dari batang atau umbi beberapa hari kemudian (Indiati dan Saleh, 2010).

2.1.2. c Gejala

Gejala Cylas formicarius pada permukaan kulit luar kulit umbi terdapat

lubang- lubang kecil tidak rata dan ketika dibelah terdapat lubang- lubang kecil
11

bekas gerekan. Umbi yang telah diserangnya akan timbul bau yang tidak enak.

Walaupun seranganya hanya sedikit rasa umbi yang sudah terserang tidak enak

lagi (Handoko et al., 2012).

Serangga dewasa hanya merusak lapisan permukaan daun, tangkai daun

dan batang berupa bercak oval kecil. Pada umbi kerusakan oleh serangga dewasa

berupa tusukan pada permukaan umbi. Kerusakan yang besar terjadi pada umbi

dan batang adalah akibat gerekan oleh larva. Di dekat lubang gerekan tersebut,

warna jaringan tanaman berubah menjadi lebih gelap dan membusuk, sehingga

tidak layak dikonsumsi karena rasanya pahit. Pembuatan lubang gerekan pada ubi

jalar akan merangsang pembentukan senyawa toksik yang dapat mempengaruhi

kerja hati dan paru-paru mamalia (Indiati dan Saleh, 2010).

Kumbang dewasa makan batang, daun, dan umbi bagian permukaan.

Meskipun imago kurubang lebih menyukai umbi, namun dapat juga memakan

daun ubijalar. Gejala kerusakan yang ditimbulkan berupa lubang-lubang pada

helai daun. Sekali menyerang tanaman, serangga ini akan tetap berada di lahan ubi

jalar (Supriyati, 2011).

2.1.2. d Pengendalian

Pengendalian biologis menggunakan cendawan entomopatogen

Beauveria bassiana merupakan salah satu upaya yang telah dikembangkan untuk

mengendalikan C. Formicarius. B. bassiana memiliki kisaran inang yang luas dan

efektif terhadap bebagai jenis hama pada tanaman maupun dalam penyimpanan.

B. bassiana mampu menginfeksi hampir semua ordo serangga pada berbagai

stadia. Oleh karena itu, B. bassiana cukup prospektif digunakan sebagai alternatif
12

pengendalian untuk mengurangi penggunaan insektisida kimia karena bersifat

infektif serta aman terhadap lingkungan (Bayu dan Prayogo, 2016).

Pengendalian dengan teknik budidaya meliputi penggantian atau

modifikasi cara bercocok tanam yang secara langsung atau tidak langsung dapat

menurunkan populasi atau memutus siklus hidup C. formicarius. Cara ini tidak

mencemari lingkungan, relatif mudah dilaksanakan, dan kompatibel dengan

pengendalian yang lain. Pergiliran tanaman merupakan cara budidaya yang dapat

mencegah serangan kumbang C. formicarius. Pada prinsipnya pergiliran tanaman

bertujuan mematahkan siklus hidup C. Formicarius (Ahuluheluw et al., 2014).

Di areal pertanamanya dilakukan pergiliran tanaman atau rotasi tanaman.

Pergiliran atau rotasi tanaman dengan jenis tanaman yang tidak sefamili

merupakan salah satu cara untuk mengendalikan serangan hama C. formicarius.

karena dengan diadakanya pergiliran tanaman atau rotasi tanaman dapat

memutuskan siklus hidup hama tersebut (Handoko et al., 2012).

(1) Sanitasi lahan dari sisa-sisa umbi saat tumbuhan panen (2) Cara

bercocok tanam meliputi penggunaan bibit sehat (stek pucuk), pembumbunan,

pengairan, dan pergiliran tanaman. (3) Penggunaan varietas/klon toleran hama

boleng antara lain Cangkuang dan Genjahrante. (4) Penggunaan feromon seks

sintetik atau dara C. formicarius 5–10 ekor/100 m2. (5) Pemanfaatan agensia

biologi, jamur B. bassiana (6) Pemanfaatan bahan nabati yaitu serbuk biji mimba

dengan takaran 20 kg/ha (7) Secara kimiawi dengan pencelupan stek ke dalam

insektisida permetrin, karbosulfan, dan endosulfan, atau insektisida dalam bentuk

butiran yaitu karbofuran 3G (Indiati dan Saleh, 2010).


13

2.1.3 Kumbang Sagu (Rhynchophorus sp.)

2.1.3 a. Biologi Hama

Telur serangga ini berwarna putih, bentuknya mula-mula oval, kemudian

bulat dengan diameter kurang lebih 3 mm. Telur-telur ini diletakkan oleh serangga

betina pada tempat yang baik dan aman (misalnya dalam pohon kelapa yang

melapuk). Setelah dua minggu telur-telur ini akan menetas. Rata-rata fekunditas

seekor serangga betina berkisar antara 49-61 butir telur, sedangkan di Australia

berkisar 51 butir telur, bahkan dapat mencapai 70 butir. Stadium telur berkisar

antara 11-13 hari, rata-rata 12 hari (Trisnadi, 2018).

Gambar 6. Kumbang Sagu (Rhynchophorus sp.)

Larva tidak bermata dan tidak berkaki. Badan bagian belakang lebih besar

dari bagian depan. Kepala merah kekunigan. Badan berbulu sangat pendek. Larva

menetas dalam luka-luka batang. Lara dewasa berukuran 6 cm dan lebar 3 cm.

Stadium larva sampai 3-4 bulan. Larva yang akan berkompompong, membuat

kokoh dari serat/pelepah dengan ukuran 6,5 cm dan lebar 3,5 cm (Emir, 2012).

Larva meninggalkan sampah dan bergerak ke pinggir atau dasar dari

tumpukan sampah dan larva lebih menyukai membentuk kokon di dalam tanah

yang lembab, pada kedalaman sekitar 30 cm. Larva dapat mati, jika kondisi untuk
14

membentuk pupa tidak sesuai. Panjang 3-4 cm dan lebar 1,5 cm. Fase terakhir

berwarna merah colat dan bagian tubuh telah memperlihatkan tubuh kumbang

dewasa (Santosa, 2016).

Kumbang ini berwarna merah dipunggungnya. Panjangnya bisa mencapai

± 3 cm. Kumbang yang muncul akan mulai beterbangan pada waktu senja atau

malam hari menuju mahkota daun tanaman kelapa dan ujung batang Kumbang

dewasa betina dapat hidup sampai 274 hari, sedangkan kumbang dewasa jantan

dapat hidup sampai 192 hari (Pracaya, 2009).

2.1.3 b. Siklus Hidup

Stadium imago 3-6 bulan. Telur diletakkan oleh kumbang betina pada

luka-luka batang atau luka bekas gerekan Oryctes. Jumlah telur bisa mencapai 500

butir. Ukuran panjang 2,5 mm, lebar 1 mm. Telur menetas setelah 3 hari. Periode

larva 2.5-6 bulan (tergantung temperatur dan kelembaban). Setelah dewasa larva

akan berhenti makan, kemudian akan mencari tempat terlindung yang dingin dan

lembab untuk persiapan membentuk pupa (Hastuty, 2016).

Gambar 7. Siklus Hidup Ulat Sagu


15

Setelah seluruh tubuh terbalut jadilah bentuk kokon bulat lonjong,

perkembangan larva menjadi pupa berkisar 2-3 minggu, masa pupa berkisar 2-3

minggu, pupa menjadi imago remaja berkisar 5 sampai 12 hari berada didalam

kokon, umur kumbang dewasa berkisar 3 s/d 5 bulan. kesukaan hama ini untuk

meletakkan kokonnya banyak dijumpai di pangkal-pangkal pelepah daun atau di

bekas lubang gerekan (Trisnadi, 2018).

Ketika akan membentuk pupa, larva memiliki panjang 3-4 cm dan lebar

1,5 cm. Dua minggu hidup dalam kokon dan bertukar rupa menjadi bentuk

dewasa selama 3 minggu dan masih tinggal dalam kokon. Fase terakhir berwarna

merah coklat dan bagian tubuh telah memperlihatkan tubuh kumbang dewasa

(Hastuty, 2016).

2.1.3 c. Gejala Serangan

Pada tanaman berumur antara 0 -1 tahun, kumbang dewasa melubangi

bagian pangkal yang dapat mengakibatkan kematian titik tumbuh atau

terpuntirnya pelepah daun yang dirusak. Pada tanaman dewasa kumbang

dewasa akan melubangi pelepah termuda yang belum terbuka. Jika yang

dirusak adalah pelepah daun yang termuda (janur) maka ciri khas bekas

kerusakannya janur seperti digunting berbentuk segitiga (Santosa, 2016).

Tanaman yang terserang hama Kumbang Sagu /Rhynchophorus, sp dapat

dilihat adanya lubang-lubang bekas gerekan, baik pada pangkal pelepah, batang

bahkan pucuk, hal ini terlihat jelas jika kita panjat tampak pada bagian yang

tertutup oleh ketiak pelepah akan terdapat lubang-lubang. Jika lubang baru yang

terdapat kotoran gerekan berwarna putih atau coklat basah dan berbau, biasanya

bersarang hama kumbang sagu didalam lubang baru kadang terdapat lebih dari
16

satu ekor kumbang, kadang kita jumpai dua spesies seperti R. ferrugenius dan R.

schach hidup berdampingan dalam satu lubang gerekan (Trisnadi, 2018).

Stadium hama yang berbahaya adalah imago yang berupa kumbang .

Serangga dewasa dapat menyebabkan kerusakan dengan melubangi pangkal

daun tombak dan jaringan leher akar, pohon muda akan mati jika titik

tumbuhnya dirusak, kerusakan pada daun tombak biasanya mengakibatkan

malformasi. Serangan yang berulang-ulang akan menyebabkan pertumbuhan

terhambat dan saat menjadi dewasa menjadi terlambat (Santosa, 2016).

2.1.3 d. Pengendalian

(1) Pemberian garam laut + belerang di setiap ketiak pelepah daun

sepanjang 1 m dari pucuk kebawah dengan cara ditaburkan. (2) Pemberian

Furadan 3 G di di tiga ketiak pelepah daun secara spiral sepanjang 1 m dari pucuk

kebawah dengan dosis ½ sendok makan. (3) Lubang-lubang gerekan yang

dijumpai dan terdapat sisa gerekan baru, ditutup dengan insektisida. (4) Dengan

perangkap dilakukan dengan seks feromon dan dengan Larutan gula alkohol

(Trisnadi, 2018).

Kumbang moncong (R ferrugineus) tidak bisa terbang jauh, kisaran

penerbangan 200 yard dari tempat pembibitan. Metode pengendalian adalah

berburu pada tempat-tempat pembiakan, membunuh kumbang dalam tahap

muda, larva, kemudian pastikan bahwa tidak ada kumbang lain yang dapat

berkembang biak di sana. Kumbang betina bertelur pada semua jenis

vegetasi yang membusuk, pupuk kandang, kompos, dan terutama di batang

kelapa mati. Upaya terkini dalam mengendalikan kumbang moncong

adalah penggunaan perangkap feromon (Santosa, 2016).


17

2.1.4. Kumbang Tepung (Tribolium castaneum)

2.1.4 a. Biologi Hama

Imago berwarna coklat merah kehitaman berukuran panjang kira-kira 5-

6,5 mm dan lebar 2 mm. Antena berbentuk clavate menyerupai gada, ruas-ruas

membesar secara teratur dari arah pangkal ke ujung. Imago mempunyai antena

berbentuk menyerupai gada dan melebar ke arah ujung secara beraturan. Serangga

ini diklasifikasikan ke dalam phylum Arthropoda (Ilato et al., 2012).

Gambar 8. Kumbang Tepung (Tribolium castaneum)

Kumbang dewasa berbentuk pipih, berwarna cokelat kemerahan sampai

coklat gelap, dan memiliki panjang tubuhnya 3-4 mm. Telur berwarna putih keruh

dengan panjang ± 1,5 mm dan berbentuk lonjong. Larva berwarna putih

kekuningan dengan panjang ± 5-6 mm, pada bagian ujung abdomennya terdapat

tonjolan seperti garbu yang berukuran kecil dan berwarna gelap. Larva memiliki

tungkai thorakal yang berguna untuk berjalan. Pupa berwarna putih kekuningan

dengan panjang ± 3,5 mm dan bertipe bebas. Kumbang ini memiliki siklus hidup

5-6 minggu (Minarti, 2012).

2.1.4 b. Siklus Hidup

Larva hidup dalam biji tersebut dengan memakan isi biji. Fase larva

merupakan fase yang merusak biji. Imago meletakkan telur secara acak dalam
18

tepung atau diantara partikel makanan. Serangga betina dapat hidup selama 1

tahun dan menghasilkan telur sebanyak 350-400 butir. Setelah menetas larva akan

aktif disekitar tepung tersebut. Ketika menjelang pupa maka larva akan naik

kepermukaan material. Setelah menjadi imago maka akan kembali kedalam

partikel atau material yang diserang (Hendrival et al., 2016).

Gambar 9. Siklus Hidup Kumban Tepung

Larva dan imago memakan bahan makanan yang sama. Larva serangga ini

bertipe elateriform dan aktif bergerak mencari makan. Panjang larva T. castaneum

sekitar 10 mm. Selama masa pertumbuhannya larva mengalami pergantian kulit

sebanyak 6 - 11 kali. Menjelang masa berkepompong larva akan naik ke

permukaan bahan pangan yang diserang. Pupa dapat ditemukan di antara

komoditas yang diserang tanpa dilindungi kokon. Fase 5 telur dan pupa relatif

singkat, lebih dari 60% dari siklus hidupnya dihabiskan sebagai larva

(Minarti. 2012).

2.1.4 c. Gejala Serangan

Hama biasanya melubangi gabah dan memakan beras yang berada di

dalamnya. Apabila gabah tersebut digiling maka beras yang dihasilkan akan

pecah-pecah dan mengalami susut yang relatif besar. Akibat dari serangan hama
19

pasca panen tersebut beras atau gabah akan menjadi berlubang kecil-kecil, karena

beras atau gabah tersebut disimpan dalam jangka waktu yang relatif lama maka

akan menjadi butiran, pecah dan remuk bagaikan tepung (Ilato et al., 2012).

Imago dan larva T. castaneum selalu merusak tepung, jika belum terdapat

tepung mereka akan menunggu hasil perusakan butir beras, gaplek, jagung, kopra,

dan lain-lain oleh hama primer. Ketika terdapat dalam jumlah besar, kumbang

tepung akan menyebabkan tepung menjadi rentan terhadap jamur serta dapat

mencemari komoditas dengan sekresi dari kelenjar berbau hama tersebut.

Serangan berat yang disebabkan oleh T. castaneum menyebabkan komoditas

tercemar oleh benzokuinon hasil ekskresi kumbang tersebut yang bersifat racun

sehingga komoditas tersebut tidak layak untuk dikonsumsi dan menyebabkan

tepung berwarna coklat (Hendrival et al., 2016).

2.1.4 d. Pengendalian

Pengendalian T. castaneum yang berkembang saat ini telah banyak

dilakukan baik secara fisik/mekanik, maupun kimiawi. Pengendalian T.

castaneum biasanya dilakukan dengan menggunakan bahan kimiawi fosfin.

Berdasarkan ketentuan Codex Alimentarius, batas residu inorganik fosfinn yang

diperbolehkan pada biji-bijian yang belum diolah adalah 0,1 mg/kg dan 0,01

mg/kg pada biji-bijian yang telah diolah. Diperkirakan penggunaan bahan kimia

fosfin untuk disinfestasi pada biji-bijian yang diolah bisa mencapai 743 kg/tahun

(Rasyid et al., 2016).

Untuk hama ini dapat dilakukan dengan penjemuran terhadap komoditas

simpanan pada waktu tertentu dengan pengeringan yang sempurna. Selain itu juga

dapat dilakukan fumigasi terhadap produk pasca panen dengan menggunakan


20

fumigan yang tidak berbahaya bagi kesehatan manusia. Selain itu menjaga tempat

kebersihan gudang yang akan digunakan (Minarti, 2012).

2.1.5 Kumbang Beras (Sitophilus oryzae)

2.1.5. a. Biologi Hama

Gambar 10. Imago Sitophilus oryzae

Kumbang dewasa berwarna hitam, pada masing-masing sayapnya terdapat

2 bercak berwarna kuning agak kemerahan, dipermukaan thoraknya terdapat

lubang-lubang kecil berbentuk bundar, pada kepala terdapat moncong yang

panjang, kumbang beras memiliki sayap-sayap yang berkembang baik dan dapat

terbang, ukuran tubuhnya 3–4 mm (Manaf et al., 2015).

Beberapa karakteristik dari hama ini adalah sebagai berikut a) Imago

ketika masih umur muda berwarna hitam kecoklatan dan coklat kemerahan,

setelah tua warnanya berubah menjadi hitam dan coklat. Pada kedua buah sayap

bagian depan masing-masing terdapat dua buah bercak berwarna kuning agak

kemerahan (S. oryzaea dan S. zeamais). S. linearis dan S. granaries tidak

memiliki spot pada elytra; b) Panjang tubuh imago antara 3,5 – 5 mm, tergantung

spesies dan tempat hidupnya, artinya pada material yang lebih besar (misalnya

butiran jagung atau potongan gaplek) ukuran tubuhnya lebih besar yaitu sekitar

4,5 mm, lebih besar daripada larva yang hidup pada butiran beras; c) Larvanya

tidak berkaki, berwarna putih jernih. Ketika melakukan gerakan tubuhnya selalu
21

membentuk seperti agak bulat, mengkerut, sedangkan kepompongnya tampak

seakan-akan telah dewasa (Manueke et al., 2015).

Imago memiliki empat bintik kemerahan, kemudian berubah menjadi

hitam pada bagian elitra. S. zeamais merupakan kumbang kecil dengan ukuran

34,5 mm, mirip dengan S. oryzae, namun genetalianya lebih besar. S. zeamais

jantan memiliki aedeagus dengan ridge tengah, sedangkan pada betina, memiliki

prongs berbentuk Y-shaped menunjuk di bagian akhir dan jaraknya lebih lebar

(Nonci dan Muis, 2015).

2.1.5. b. Siklus Hidup

Gambar 11. Siklus Hidup S. oryzae

Serangga betina bertelur sepanjang stadium dewasa. Setiap betina mampu

bertelur lebih dari 150 butir. Telur diletakkan satu per satu dalam lubang yang

dibuat oleh serangga betina pada biji yang diserangnya. Telur dilindungi oleh

lapisan lilin/gelatine hasil sekresi serangga betina. Periode telur berlangsung

selama 6 hari pada suhu 25oC. Setelah menetas, larva segera memakan bagian biji

yang di sekitarnya dan membentuk lubang-lubang gerekan. Larva terdiri dari

empat instar. Periode pupa berlangsung di dalam biji. Serangga dewasa yang baru

muncul segera membuat jalan keluar dengan cara menggerek bagian biji tersebut

sehingga membentuk lubang besar yang karakteristik (Manueke et al., 2015).


22

Pupa berkembang di dalam biji jagung, yaitu pada lubang bekas gerekan

larva. Stadia pupa berlangsung 39 hari. Pupa berubah menjadi serangga muda

yang tetap tinggal pada kulit pupa di dalam biji untuk proses pematangan dan

pengerasan kulit. Setelah menjadi imago, serangga akan membuat lubang keluar

dengan cara menggerek biji dari bagian dalam (Nonci dan Muis, 2015).

Setiap lubang gerekan diletakkan satu butir telur, selanjutnya lubang

gerekan tersebut ditutup dengan tepung sisa-sisa gerekan yang di rekat dengan zat

gelatine yang sekresikan oleh imago betina. Stadium telur sekitar tujuh hari. Larva

yang keluar dari telur langsung menggerek bebijian (butiran Beras, Jagung dan

lain-lain) dan stadium larva berada dalam biji dan melanjutkan serangannya di

dalam biji tersebut. Larva tidak berkaki, stadium larva berlangsung 7 - 10 hari.

Pupa berada dalam biji sampai menjadi imago. Stadium pupa berlangsung 7 - 12

hari. Imago setelah keluar dari pupa akan tetap berada di dalam lubang/biji

sekitar lima hari. Siklus hidup hama ini berlangsung sekitar 31 har

(Manueke et al., 2015).

2.1.5. c. Gejala

Deteksi awal serangan S. zeamais sulit diketahui karena larva

merusak/menggerek bagian dalam biji jagung. Serbuk hasil gerekan larva

bercampur dengan kotoran larva di dalam biji. Jika kerusakannya berat, dalam

satu biji bisa terdapat lebih dari satu lubang gerekan. Salah satu indikasi biji

jagung terserang hama bubuk yaitu bila biji tersebut dimasukkan ke dalam air

maka biji akan terapun (Nonci dan Muis, 2015).

Kerusakan yang diakibatkan oleh kumbang beras dapat tinggi pada

keadaan tertentu sehingga kualitas beras menurun. Biji-bijan hancur dan berdebu,
23

dalam waktu yang cukup singkat serangan hama dapat mengakibatkan

perkembangan jamur, sehingga produk beras rusak total, bau apek yang tidak enak

dan tidak dapat dikomsumsi. Akibat dari serangan kumbang bubuk beras

menyebapkan butir – butir beras menjadi borlubang kecil – kecil, sehingga

mengakibatkan beras menjadi mudah pecah dan remuk menjadi tepung

(Manaf et al., 2015).

Imago merusak butiran bahan dengan bentuk alat mulutnya yang khas

yaitu berbentuk seperti moncong (rostrum), dikhususkan untuk melubangi butiran

beras, butiran jagung atau bebijian lainnya yang keras. Bebijian yang terserang,

terutama beras akan menjadi berlubang-lubang kecil-kecil sehingga mempercepat

hancurnya bijian tersebut menjadi seperti tepung. Kerusakan yang berat

mengakibatkan adanya gumpalan-gumpalan pada bahan pascapanen akibat

adaanya/bercampurnya air liur larva dan kotoran yang dihasilkan oleh serangga

(Manueke et al., 2015).

2.1.5. d. Pengendalian

Pengendalian hama dengan cara biologi tidak berbahaya bagi manusia

tetapi tidak selalu praktis dan memerlukan keahlian khusus. Cara pengendalian

yang diharapkan adalah yang bersifat praktis, sederhana, ekonomis dan tidak

berbahaya. Salah satu kemungkinan adalah dengan penggunaan bahan non toksik

(seperti abu kayu dan abu sekam) dan pestisida nabati (seperti tepung daun nimbi,

tepung cabai merah, tepung daun kluwih) dan penggunaan tepung daun sirsak

(Annona muricata) untuk pengendalian hama gudang (Harinta, 2016).

Pengendalian serangga hama gudang kumbang beras (Sitophilus oryzae) di

gudang-gudang beras biasanya menggunakan teknik fumigasi, yaitu zat atau


24

campuran zat yang 24 menghasilkan gas, uap, bau, asap untuk mengendalikan

serangga. Penggunaan fumigan di dalam pengendalian serangga hama terhadap

komoditi di gudang membutuhkan rancang bangun gudang yang khusus dan

peralatan yang khusus serta biaya yang mahal namun, disisi lain juga

menimbulkan dampak bagi kesehatan manusia (Manaf et al., 2015).

Teknik pengendalian yang aman, murah, dan mudah diterapkan petani

adalah dengan menggunakan musuh alami, baik parasitoid, predator, maupun

patogen. Namun, penelitian tentang musuh alami hama gudang Sitophilus di

Indonesia dan negara lain masih sangat kurang. Parasitoid yang efektif menekan

serangan Sitophilus adalah Lariophagus distinguendus. Parasitoid

Anisopteromalus calandrae (Howard) efektif mengendalikan jika diaplikasikan

dengan jumlah yang cukup pada awal masa penyimpanan benih. Patogen

Beauveria bassiana isolat ESALQ-447 efektif untuk mengendalikan Sitophilus

(Nonci dan Muis, 2015).

2.2 Ordo Homoptera

2.2.1 Kutu Daun Persik (Myzus persicae Sulz)

2.2.1. a. Biologi Hama

Klasifikasi adalah cara pengelompokkan hewan atau tumbuhan agar lebih

mudah mengingat atau menghafakanny. Klasifikasi dari hama kutu daun persik

sesuai literatur Pracaya (2009), Hama Kutu Daun Persik diklasifikasikan sebagai

berikut : Kingdom : Animalia, Kelas : Hexapoda, Ordo : Homoptera Famili :

Aphididae dan Spesies : Myzus persicae Sulz


Kutu daun tidak bersayap dan berwarna hijau hijau pudar atau hijau

kekuningan, panjangnya 1,8 – 2,3 mm, kepala dan dada kutu berwarna coklat

dengan perut hijau kekuningan, panjang antena sama dengan badannya”.Kutu


25

daun memiliki ukuran yang sangat kecil namun bisa terlihat jika kutu daun

bergerombol di bawah daun muda yang menjadi tempat hidup dan tempat makan

dari kutu daun, karena hama jenis ini menginfeksi tanaman dengan cara

menghisap cairannya dan menyebabkan daun layu (Pracaya,2009).

2.2.1. b. Siklus Hidup Kutu Daun Persik (Myzus persicae Sulz)

Daur hidup kutu daun hanya berkisar enam hari jika kebutuhan makanan

dan keberlangsungan hidupnya terpenuhi, oleh karena itu hama ini menginfeksi

tanaman untuk mendapatkan asupan makanannya dengan cara menghisap cairan

pada daun muda dan mengakibatkan daun tersebut menjadi layu dan akhirnya

mati (Arief, 2012).

Selain morfologi hama kutu daun juga memiliki daur hidup atau siklus

hidup yang tidak sempurna, dimana keberlangsungan hidup dari hama kutu daun

ini hanya berkisar kurang lebih enam hari jika asupan makanan dan temperatur

suhu udaranya sangat memadai. Daur hidup kutu daun 6 hari setelah itu

mendapatkan keturunan, jika temperatur 20 derajat C umur dan jumlah aphis

dewasa akan berkurang (Iskandar et al., 2009).

2.2. 1.c. Gejala Serangan Hama Kutu Daun Persik (Myzus persicae Sulz)

Serangan kutu daun M. persicae dapat menyebabkan daun keriting,pucuk

berkerut sehingga pertumbuhan tanaman terganggu. Pada serangan berat dapat


menyebabkan daun rontok dan akhirnya. Gejala serangan aphis hijau tidak begitu

kentara merusak daun pada tanaman tertentu. Namun, pada tanaman yang lainnya,

daun akan terlihat melengkung, berpilin, dan klorosis. Jika serangannya berat,

daun akan rontok. Serangan yang hebat menyebabkan tanaman menjadi sangat

lemah dan kerdil (Pracaya, 2009).


26

Serangan kutu daun tida begitu terlihat, oleh karena itu banyak tanaman

yang layu bahkan mati diakibatkan oleh serangan kutu daun karena cara

penginfeksian hama ini dengan cara menghisap cairan pada ketiak daun sehingga

tanaman yang terinfeksi akan terlihat pada saat tanaman sudah mengalai layu dan

kerusakan dan mengakibatkan tanaman menjadi mati (Arief, 2012).


2.1.d Pengendalian Kutu Daun Persik (Myzus persicae Sulz)
Cara pengendalian dari hama kutu daun tidak hanya dengan menggunakan

insektisida namun juga dilakukan dengan menggunakan musuh alaminya seperti

Coccinellidae yang dapat melahap aphis dengan jumlah yang banyak. Musuh

alami kutu daun persik (Myzus persicae Sulz) adalah larva lalat Syrphidae dan

lembing Chilomenes sexmaculatu dari Coccinellidae menjadi musuh alam

(predator) dari aphis. Lembing yang warnanya merah dengan bercak hitam

menyilang, seperti salib pada punggungnya juga dapat melahap lebih kurang 200

aphis (Pracaya, 2009).


2.2.2 Kutu Kebul (Bemisia tabaci)
2.2.2 a. Biologi Hama

B. tabaci memiliki penyebaran yang luas, di Asia tercatat tersebar di 37

negara, Afrika 39 negara, Eropa 26 negara, Amerika 30 negara dan Oceania 14

negara. Serangga hama ini memiliki berbagai sebutan, di Inggris disebut tobacco

whitefly, sweet potato whitefly, di Prancis disebut Aleurode du cottonnier dan di

Jerman disebut weisse fleige (Marwoto dan Inayati, 2011).

Hama penghisap daun kedelai Bemisia tabaci pada umumnya dikenal

dengan nama kutu kebul. Hama ini termasuk dalam ordo Homoptera, famili

Aleyrodidae, genus Bemisia dan spesies tabaci. Kutu kebul bersifat polifag

(mempunyaibanyak jenis makanan) sehingga sulit dikendalikan. Strategi

pengendalian yang efektif dapat disusun dengan mempelajari ekobiologi hama


27

(Iskandar et al., 2009).

2.2.2 b. Siklus Hidup Kutu Kebul (Bemisia tabaci)

Serangga dewasa kutu kebul berwarna putih dengan sayap jernih, ditutupi

lapisan lilin yang bertepung. Ukuran tubuhnya berkisar antara 1-1,5 mm.

Serangga dewasa meletakkan telur di permukaan bawah daun muda, telur

berwarna kuning terang dan bertangkai seperti kerucut. Stadia telur berlangsung

selama 6 hari. Serangga muda (nimfa) yang baru keluar dari telur berwarna putih

pucat, tubuhnya berbentuk bulat telur dan pipih. Hanya instar satu yang kakinya

berfungsi, sedang instar dua dan tiga melekat pada daun selama masa

pertumbuhannya. Panjang tubuh nimfa 0,7mm. Stadia pupa terbentuk pada

permukaan daun bagian bawah. Spesies lain yang lebih besar disebut Aleurodicus

dispersus atau kutu putih (Marwoto dan Inayati, 2011).

Serangga ini tersebar secara luas di daerah tropis dan subtropis lebih dari

350 spesies tanaman yang dapat diserang kutu kebul. Kerusakan tanaman dapat

secara langsung dengan cara menghisap cairan daun atau tidak langsung melalui

penularan cendawan jelaga yang timbul akibat banyaknya produksi embun madu.

Kutu kebul dapat menularkan virus patogen tanaman yang memperparah serangan

kutu kebul (Byamukama et al., 2011).

2.2.2 c. Gejala Serangan Kutu Kebul (Bemisia tabaci)

Hama ini dapat menyerang tanaman dari famili Compositae (letus, krisan),

Cucurbitaceae (mentimun, labu, labu air, pare, semangka dan zuchini), Cruciferae

(brokoli, kembang kol, kubis, lobak), Solanaceae (tembakau, terong, kentang,

tomat, cabai), dan Leguminoceae (kedelai, kacang hijau, kacang tanah, buncis,

kapri). Selain itu, kutu kebul juga mempunyai inang selain tanaman pangan yaitu
28

gulma babadotan (Ageratum conyzoides). Penelitian lain juga menyebutkan kutu

kebul ditemukan pada Ipomoe spp (Gerling et al., 2013).

Serangga muda dan dewasa mengisap cairan daun. Tanaman kedelai yang

terserang, daunnya menjadi keriting. Pada serangan parah yang disertai dengan

infeksi virus, daun keriting berwarna hitam dan pertumbuhan tanaman terhambat.

Serangan berat pada tanaman muda menyebabkan pertumbuhan tanaman kerdil,

daun keriput, dan polong tidak berisi (Marwoto dan Inayati, 2011).

2.2.2 d. Pengendalian Kutu Kebul (Bemisia tabaci)

Musuh alami (parasit, predator, dan patogen serangga) merupakan faktor

pengendali hama alamiah yang penting, sehingga perlu dilestarikan dan dikelola

agar mampu berperan maksimal dalam pengaturan populasi hama di lapangan.

Penggunaan pestisida secara minimal atau secara tepat dan rasional menjaga

kelangsungan hidup musuh alami. Aplikasi pestisida spesifik, bukan yang bersifat

broad spectrum(membunuh segala fauna unsur ekologi), juga merupakan tindakan

perlindungan terhadap musuh alami (Marwoto, 2010).

Aplikasi pestisida nabati atau kimiawi secara selektif diharapkan dapat

mengembalikan populasi hama pada asas keseimbangan. Serbuk biji mimba

efektif mengendalikan kutu kebul. Keputusan tentang penggunaan pestisida

kimiawi dilakukan setelah diadakan analisis ekosistem terhadap hasil pengamatan

dan ketetapan tentang ambang kendali. Pestisida yang dipilih harus yang efektif

dan telah diizinkan (Indiati dan Marwoto 2009).

Pengelolaan ekosistem melalui usaha bercocok tanam, bertujuan untuk

membuat lingkungan tanaman menjadi kurang sesuai bagi kehidupan dan

pembiakan serangga hama dan penyakit serta mendorong berfungsinya agensi


29

pengendali hayati. Penanaman verietas tahan kutu kebul seperti Detam 1, Detam

2,Wilis, Gepak Kuning, Gepak Ijo, Kaba, dan Argomulyo. Untuk daerah endemis

kutu kebul tidak disarankan menanam varietas Anjasmoro. Pada kondisi populasi

kutu kebul tinggi diperlukan aplikasi insektisida (Valverde et al., 2015).

2.2.3 Wereng coklat (Nilaparvata lugens Stal)


2.2.3.a. Biologi Hama

Gambar 10. Wereng Coklat


Klasifikasi wereng coklat menurut BPTP (2011) adalah sebagai berikut:

Kingdom : Animalia, Filum : Arthropoda, Kelas : Insecta, Ordo : Homoptera,

Famili : Delphacidae, Genus : Nilaparvata Spesies : Nilaparvata lugens Stal.


Nimfa wereng coklat berwarna krim akan berubah menjadi keabuan

seiring denga usia, panjang nimfa dewasa sekitar 2,1 mm, bersamaan dengan itu

garis hitam pada thorax mulai menghilang (Baehaki, 2010).


2.2. 3.b. Siklus Hidup Wereng coklat (Nilaparvata lugens Stal)
Jumlah telur yang diletakkan serangga dewasa sangat beragam, dalam

satu kelompok antara 3 - 21 butir . Seekor wereng betina selama hidupnya

menghasilkan telur antara 270 - 902 butir yang terdiri atas 76-142 kelompok.

Telur menetas antara 7-11 hari dengan rata-rata 9 hari ( BPTP, 2010).
Serangga muda yang menetas dari telur disebut nimfa, makanannya sama

dengan induknya. Nimfa mengalami pergantian kulit (instar), rata-rata stadium

nimfa 12,8 hari. Lamanya waktu untuk menyelesaikan stadium nimfa beragam

tergantung dari bentuk dewasa yang akan muncul. Lamanya stadia nimfa instar I,

II, III, IV dn V berturut-turut 2,6 hari, 2,1 hari, 2,0 hari, 2,4 hari dan 3,1 hari

(Iskandar et al., 2009).


30

Nimfa dapat berkembang menjadi 2 bentuk wereng dewasa. Bentuk

pertama adalah makroptera (bersayap panjang) yaitu sayap depan dan belakang

normal, bentuk kedua adalah brakhiptera (bersayap kerdil) yaitu sayap depan dan

belakang tumbuh tidak normal. Umumnya wereng brakhiptera bertubuh lebih

besar, mempunyai tungkai dan peletak telur lebih panjang.Kemunculan makropera

lebih banyak pada tanaman tua daripada tanaman muda, dan lebih banyak pada

tanaman setengah rusak daripada tanaman sehat (Alit et al., 2014).

2.2. 3.c. Gejala Serangan Wereng coklat (Nilaparvata lugens Stal)

N.lugens dapat menyebabkan kerusakan secara langsung maupun tidak

langsung. Kerusakan langsung oleh N.lugens adalah menghisap cairan sel

tanaman padi, sehingga pertumbuhan tanaman padi terhambat, mati kekeringan

dan tampak seperti terbakar.Kerusakan tidak langsung oleh N.lugens adalah

sebagai vektor penyakit virus kerdil rumput (Bambang et al., 2009).

Pada tahap permulaan wereng batang coklat datang pada pertanaman padi

pada umur 15 hari setelah tanam. Gejala serangan hama wereng batang coklat

mulai terlihat setelahtanaman padi berumur 20-40 hari setelah tanam atau pada

fase vegetatif karena hama ini menyerang bagian batang tanaman padi yang masih

muda, yaitu dengan menghisap cairan batang tanaman padi sehingga

menyebabkan gejala pada daun menguning akibat batang tanaman sudah

terganggu (Hasil et al., 2010).

Gejala kerusakan seperti tanaman menguning kemudian mengering dengan

cepat (seperti terbakar) dikenal dengan istilah hopperbum.Dalam suatu hamparan

gejala hopperbum terlihat seperti lingkaran yang menunjukkan pola penyebaran


31

wereng coklat yang dimulai dari satu titik kemudian menyebar ke segala arah

dalam bentuk lingkaran (Alit et al., 2014).

2.3.d. Pengendalian Wereng coklat (Nilaparvata lugens Stal)

Alternatif pengendalian wereng batang coklat dapat dilakukan dengan

memperbaiki teknik budidaya tanaman padi, sehingga kondisinya kurang

mendukung untuk perkembangan wereng batang coklat. Upaya lain adalah dengan

memenuhi kebutuhan unsur hara padi, dengan menggunakan musuh alami yaitu

organisme di alam yang dapat melemahkan serangga, membunuh serangga

sehingga dapat mengakibatkan kematian pada serangga dan mengurangi fase

reproduksi dari serangga (Bambang et al., 2009).

Tanam padi serempak dapat mengantisipasi penyebaran serangan wereng

batang coklat, karena hama ini sering berpindah-pindah ke lahan padi yang belum

panen. Menggunakan sistem padi legowo dan tanam varietas padi tahan wereng

coklat seperti Inpari 1, Inpari 2, Inpari 13, Indragiri dan Punggur (Baehaki, 2010).

Melakukan pengamatan di pertanaman setiap 1-2 minggu, periksa 20

rumpun tanaman pada arah diagonal petakan kemudian dihitung jumlah wereng

coklat sayap panjang, sayap pendek dan nimfa. Bila rata-rata wereng dan

nimfanya 3-4 ekor/rumpun pada tanaman kurang dari 40 hari setelah tanam atau

rata-rata 5 ekor tau lebih/rumpun pada tanaman berumur lebih dari 40 hari setelah

tanam berarti sudah mencapai ambang ekonomi dan perlu dilakukan pengendalian

dengan insektisida (Hasil et al., 2010).

2.2. 4 Wereng Hijau (Nephotettix apicalis)

2.2.4.a. Biologi Hama Wereng Hijau (Nephotettix apicalis)


32

Gambar11. Wereng Hijau

Wereng hijau atau wereng daun (Green leafhoppers) termasuk dalam

genus Nephoteettix spp. Yang mempunyai nilai ekonomi tidak saja merusak akibat

menghisap cairan tanaman, tetapi juga merupakan penular penyakit virus.

Kehadiran wereng sering melimpah dipertanaman padi daerah tropis. Wereng ini

dapat berkembang biak di rumput-rumputan (Baehaki dan Nyoman, 2009).

Wereng betina meletakkan telurnya pada pelepah daun padi muda dan

telur diletakkan berkelompok, biasanya 8-16 butir. Banyaknya telur yang

diletakkan 200-300 butir. Umur serangga dewasa 20-30 hari dan telur menetas 6-7

hari (Arief,2012).

2.2.4.b Siklus Hidup Wereng Hijau (Nephotettix apicalis)

Wereng hijau berkembang pada tanaman padi sawah di Indonesia, mulai

pada tanaman padi yang baru ditanam atau tanaman inang lainnya. Serangga

betina bertelur pada tanaman padi, terus menerus menjadi nimfa dan

akhirnya menjadi dewasa. Pola demikian berlangsung hingga panen

(Lopes, 2017).

Populasi awal sangat rendah, mulai meningkat pada minggu ke-3 sampai

dengan minggu ke-4 sesudah tanam. Dan populasi tertinggi tercapai pada saat

tanaman berumur 6-11 minggu setelah tanam. Pada satu musim tanam bisa

mencapai 3 generasi. Populasi awal rendah kemudian meningkat pada generasi


33

ke-1 dan mencapai puncaknya pada generasi ke-2, kemudian menurun lagi pada

generasi ke-3 (Baehaki dan Nyoman, 2009).

2.2.4.c. Gejala Serangan Wereng Hijau (Nephotettix apicalis)

Wereng hijau merupakan vector penyakit kerdil, kerdil padi kuning, dan

tungro. Tetapi kemampuan menularkan penyakit ini kurang dibandingkan dengan

wereng lainnya. Populasi lebih tinggi dan efisien dalam menularkan penyakit

tungro yang kadang disebt dengan virus kuning (Marwoto,2010).

Kerusakan padi secara langsung karena hilangnya cairan tanaman akibat

hisapan wereng hijau sampai mati kering tidak pernah dilaporkan. Namun yang

banyak dilaporkan adalah kerusakan tanaman padi oleh penyakit kerdil padi,

kerdil padi kuning, tungro, penyakit merah serta gejala daun menguning yang

ditularkan oleh wereng hijau (Baehaki dan Nyoman, 2009).

2.2.4.d. Pengendalian Wereng Hijau (Nephotettix apicalis)

Pengendalian melalui perbaikan cara bercocok tanam yang perlu

diperhatikan antara lain: penanaman dilakukan tepat waktu, penanaman serentak

sangan dianjurkan untuk mengurangi manipulasi hama dan dapat menekan biaya

pengendalian, penanaman dalam barisan yang teratur sesuai dengan anjuran untuk

memperlancar gerakan angin dan cahaya matahari masuk ke dalam pertanaman

(Arief, 2012).

Pengendalian dengan varietas resisten merupakan cara yang paling mudah

dilaksanakan, murah, tidak dapat menyebabkan polusi dan umumnya kompetibel

dengan pengendalian lain. Namun demikian penggunaan varietas resisten harus

dilakukan secara hati-hati dan tidak terlalu ditekan pada satu varietas saja

(Baehaki dan Nyoman, 2009).


34

2.2. 5 Wereng Jagung (Peregrinus maidis Ashm.)

2.2.5.a. Biologi Hama Wereng Jagung (Peregrinus maidis Ashm.)

Gambar 12. Wereng Jagung

Tubuh wereng dewasa berwarna kuning kecoklatan, sayap bening dan

kedua mata berwarna hitam. Terdapat duri pada tibia belakang yang dapat

berputar. Serangga dewasa ada yang mempunyai sayap panjang dan ada pula

bersayap pendek. Mempunyai bintik pada ujung sayap dan bergaris kuning pada

belakangnya. Sedangkan pada yang bersayap pendek mempunyai sayap

transparan dengan bintik warna gelap (Saranga dan Fachruddin, 2009).

Keduanya mempunyai karakteristik dengan corak warna hitam dan putih

pada bagian ventral abdomen. Berkembang pada musim hujan lebih dari 500 ekor

pertanaman pada umur jagung ± 2 bulan, sedangkan pada musim kemarau

populasi relatif rendah hanya 1 – 23 ekor pertanaman (Mantik, 2000).

2.2.5.b. Siklus Hidup Wereng Jagung (Peregrinus maidis Ashm.)

Bentuk dan ukuran serangga dewasa mirip dengan hama wereng coklat

dewasa yang meyerang padi. Siklus hidup 25 hari, masa telur 8 hari, telurnya

berbentuk bulat panjang dan agak membengkok (seperti buah pisang), warna

putih bening yang diletakkan pada jaringan pelepah daun secara terpisah atau

berkelompok (Lilies, 2000).


35

Nimpa mengalami 5 instar, instar pertama berwarna kemerah-merahan

kemudian berangsur-angsur berubah menjadi putih kekuning-kuningan.

Disepanjang permukaan atas badannya terdapat bintik-bintik kecil berwarna

coklat. Instar pertama menyukai daun-daun yang baru tebuka, pelepah daun,

kelopak daun dan bunga jantan yang masih muda dan lunak (Saranga, 2010).

2.2.5.c. Gejala Serangan Wereng Jagung (Peregrinus maidis Ashm.)

Gejala serangan pada wereng jagung yakni daun tampak bercak bergaris

kuning, garis-garis pendek terputus-putus sampai bersambung terutama pada

tulang daun kedua dan ketiga. Daun tampak bergaris kuning panjang, begitu pula

pada pelepah daun. Pertumbuhan tanaman akan terhambat, menjadi kerdil,

tanaman menjadi layu dan kering (hopper burn)(Kamaran, 2000).

2.2.5.d. Gejala Serangan Wereng Jagung (Peregrinus maidis Ashm.)

Pengendalioan hama ini yakni dengan waktu tanam serempak, waktu

tanam dilakukan pada akhir musim hujan dan bila menggunakan insektisida

gunakan insektisida Carbofuran 3% (Iqbal, 2010).

Pengendalian secara kimiawi bisa dilakukan penyemprotan insektisida

berbahan aktif profenofos, klorpirifos, sipermetrin, betasiflutrin atau

lamdasihalortrin. Dosis/konsentrasi sesuai dengan petunjuk pada

kemasan. Penyemprotan dilakukan setelah terbentuk rambut jagung pada tongkol

hingga rambut jagung berwarna coklat(Gabriel, 2005).


36
37

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

1. Gejala kumbang badak (Oryctes rhinoceros) berupa guntingan segitiga seperti

huruf “V” atau ada deretan lubang-lubang besar di daun.

2. Gejala Cylas formicarius pada permukaan kulit luar kulit umbi terdapat

lubang- lubang kecil tidak rata.

3. Tanaman yang terserang hama Kumbang Sagu / Rhynchophorus, sp dapat

dilihat adanya lubang-lubang bekas gerekan, baik pada pangkal pelepah,

batang bahkan pucuk,

4. Imago dan larva T. castaneum selalu merusak tepung. Dalam jumlah besar,

kumbang tepung akan menyebabkan tepung menjadi rentan terhadap jamur.

5. Gejala dari kumbang beras biji-bijan hancur dan berdebu, dalam waktu yang

cukup singkat

6. Serangan kutu daun M. persicae dapat menyebabkan daun keriting,pucuk

berkerut sehingga pertumbuhan tanaman terganggu.

7. Serangga kutu kebul muda dan dewasa mengisap cairan daun. Tanaman kedelai

yang terserang, daunnya menjadi keriting.

8. Kerusakan langsung oleh N.lugens adalah menghisap cairan sel tanaman padi

9. Wereng hijau merupakan vector penyakit kerdil, kerdil padi kuning, dan

tungro.

3.2 Saran

Makalah yang kami buat belum sempurna sesuai yang diharapkan, untuk

itu kami mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak atau pembaca demi

perbaikan di masa mendatang.

Anda mungkin juga menyukai