Anda di halaman 1dari 9

Taenia merupakan salah satu marga cacing pita yang termasuk dalam Kerajaan

Animalia, Filum Platyhelminthes, Kelas Cestoda, Bangsa Cyclophyllidea, Suku


Taeniidae. [1] Anggota-anggotanya dikenal sebagai parasit vertebrata penting
yang menginfeksi manusia, babi, sapi, dan kerbau. [1]
Daftar isi
1 Perbedaan antarspesies
2 Siklus Hidup
3 Penyebaran
3.1 Penyebaran di Dunia
3.2 Penyebaran di Indonesia
4 Dampak terhadap Kesehatan
5 Pengendalian
6 Referensi
7 Pranala Luar
Perbedaan antarspesies

Cacing Taenia saginata dewasa

Segmen tubuh Taenia solium


Terdapat tiga spesies penting cacing pita Taenia, yaitu Taenia solium, Taenia
saginata, dan Taenia asiatica. [2][3] Ketiga spesies Taenia ini dianggap penting
karena dapat menyebabkan penyakit pada manusia, yang dikenal dengan istilah
taeniasis dan sistiserkosis.[2]. Adapun perbedaan antarspesies cacing pita Taenia
dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini.
Tabel 1. Perbedaan antara Taenia solium, Taenia saginata dan Taenia asiatica
No.
Keterangan
Taenia solium [1][4]
Taenia saginata [1][4]

Taenia asiatica [5]


1
Inang definitif dan habitat
Usus halus manusia
Usus halus manusia
Usus halus manusia
2
Inang antara
Babi dan manusia
Sapi (utama), kambing, domba
Babi (utama), sapi
3
Nama tahap larva
Cysticercus cellulosae
Cysticercus bovis
Cysticercus t.s. taiwanensis
4
Ukuran panjang x lebar
(3-8)x 0,01 meter
(4-15) x 0,01 meter
4-8 meter
5
Jumlah segmen
700-1000
1000-2000
712
6
Jumlah telur

30.000-50.000 di setiap segmen


lebih dari 100.000 di setiap segmen

Siklus Hidup

Siklus hidup Taenia sp.


Cacing pita Taenia dewasa hidup dalam usus manusia yang merupakan induk
semang definitif. [4] Segmen tubuh Taenia yang telah matang dan mengandung
telur keluar secara aktif dari anus manusia atau secara pasif bersama-sama
feses manusia. [4] Bila inang definitif (manusia) maupun inang antara (sapi dan
babi) menelan telur maka telur yang menetas akan mengeluarkan embrio
(onchosphere) yang kemudian menembus dinding usus.[4] Embrio cacing yang
mengikuti sirkulasi darah limfe berangsur-angsur berkembang menjadi
sistiserkosis yang infektif di dalam otot tertentu. [4] Otot yang paling sering
terserang sistiserkus yaitu jantung, diafragma, lidah, otot pengunyah, daerah
esofagus, leher dan otot antar tulang rusuk. [6]
Infeksi Taenia dikenal dengan istilah Taeniasis dan Sistiserkosis.[1] Taeniasis
adalah penyakit akibat parasit berupa cacing pita yang tergolong dalam genus
Taenia yang dapat menular dari hewan ke manusia, maupun sebaliknya.[7]
Taeniasis pada manusia disebabkan oleh spesies Taenia solium atau dikenal
dengan cacing pita babi [7], sementara Taenia saginata dikenal juga sebagai
cacing pita sapi.[7][8]
Sistiserkosis pada manusia adalah infeksi jaringan oleh bentuk larva Taenia
(sistiserkus) akibat termakan telur cacing Taenia solium (cacing pita babi). [2]
Cacing pita babi dapat menyebabkan sistiserkosis pada manusia, sedangkan
cacing pita sapi tidak dapat menyebabkan sistiserkosis pada manusia. [7]
Sedangkan kemampuan Taenia asiatica dalam menyebabkan sistiserkosis belum
diketahui secara pasti. [3] Terdapat dugaan bahwa Taenia asiatica merupakan
penyebab sistiserkosis di Asia. [3]
Manusia terkena taeniasis apabila memakan daging sapi atau babi yang
setengah matang yang mengandung sistiserkus sehingga sistiserkus
berkembang menjadi Taenia dewasa dalam usus manusia. [6] Manusia terkena
sistiserkosis bila tertelan makanan atau minuman yang mengandung telur Taenia
solium. [9] Hal ini juga dapat terjadi melalui proses infeksi sendiri oleh individu
penderita melalui pengeluaran dan penelanan kembali makanan. [10].
Sumber penularan cacing pita Taenia pada manusia yaitu [11]
Penderita taeniasis sendiri dimana tinjanya mengandung telur atau segmen
tubuh (proglotid) cacing pita.

Hewan, terutama babi dan sapi yang mengandung larva cacing pita (sistisekus).
Makanan, minuman dan lingkungan yang tercemar oleh telur cacing pita.
Penyebaran
Penyebaran di Dunia
Cacing pita Taenia tersebar secara luas di seluruh dunia. [7]. Penyebaran Taenia
dan kasus infeksi akibat Taenia lebih banyak terjadi di daerah tropis karena
daerah tropis memiliki curah hujan yang tinggi dan iklim yang sesuai untuk
perkembangan parasit ini. [12] Taeniasis dan sistiserkosis akibat infeksi cacing
pita babi Taenia solium merupakan salah satu zoonosis di daerah yang
penduduknya banyak mengkonsumsi daging babi dan tingkat sanitasi
lingkungannya masih rendah, seperti di Asia Tenggara, India, Afrika Selatan, dan
Amerika Latin. [13] Adapun kasus infeksi cacing pita Taenia di negara tropis
dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Kasus Infeksi Cacing Pita Taenia di Negara Tropis
Negara
Kasus
Taiwan, Cina
1.661 orang penderita taeniasis. [14]
Brazil
0,1-0,9 % kejadian sistiserkosis pada manusia. [15]
Thailand
5,9% dari 1450 orang positif taeniasis. [16]
Indonesia
Taeniasis/sistiserkosis terutama ditemukan di Papua, Bali dan Sumatera Utara.
Selain itu ditemukan di NTT, Lampung, Sulawesi Utara, Kalimantan Barat dan
Jawa Timur. [17] [3] [9]
Laos
Kejadian taeniasis mencapai 14% [18]
Salah satu bukti lebih luasnya penyebaran Taenia di daerah tropis yaitu
ditemukannya spesies ketiga penyebab taeniasis pada manusia di beberapa
negara Asia yang dikenal dengan sebutan Taiwan Taenia atau Asian Taenia. [19].
Asian Taenia dilaporkan telah ditemukan di negara-negara Asia yang umumnya
beriklim tropis seperti Indonesia, Thailand, Malaysia, Filipina, Korea dan Cina.
[20] Kini Asian Taenia disebut Taenia asiatica [21]. Kejadian T. asiatica yang
tinggi terutama ditemukan di Pulau Samosir, Indonesia. [17]

Sistiserkosis merupakan infeksi yang sering ditemukan pada babi dan manusia
terutama di negara berkembang. [3] Penyebaran sistiserkus pada manusia
dipengaruhi oleh kontak antara babi dan feses manusia, tidak adanya
pemeriksaan kesehatan daging saat penyembelihan, dan konsumsi daging
mentah atau setengah matang.[6] Penyebaran penyakit ini luas karena Taenia
dapat memproduksi puluhan bahkan ratusan ribu telur setiap hari yang dapat
disebar oleh air hujan ke lingkungan bahkan pada lokasi yang jauh dari tempat
pelepasan telur. [4]
[sunting] Penyebaran di Indonesia
Infeksi cacing pita Taenia tertinggi di Indonesia terjadi di Provinsi Papua. [22] Di
Kabupaten Jayawijaya Papua, Indonesia ditemukan 66,3% (106 orang dari 160
responden) positif menderita taeniasis solium/sistiserkosis selulosae dari babi
[3]. Sementara 28,3% orang adalah penderita sistiserkosis yang dapat dilihat
dan diraba benjolannya di bawah kulit [3]. Sebanyak 18,6% (30 orang) di
antaranya adalah penderita sistiserkosis selulosae yang menunjukkan gejala
epilepsi [3]. Dari 257 pasien yang menderita luka bakar di Papua, sebanyak
82,8% menderita epilepsi akibat adanya sistiserkosis pada otak. [3]
Prevalensi sistiserkosis pada manusia berdasarkan pemeriksaan serologis pada
masyarakat Bali sangat tinggi yaitu 5,2% sampai 21%, sedangkan prevalensi
taeniasis di provinsi yang sama berkisar antara 0,4%-23%. [17] Sebanyak 13,5%
(10 dari 74 orang) pasien yang mengalami epilepsi di Bali didiagnosa menderita
sistiserkosis di otak. [23] Prevalensi taeniasis T. asiatica di Sumatera Utara
berkisar 1,9%-20,7%. [17] Kasus T. asiatica di Provinsi ini umumnya disebabkan
oleh konsumsi daging babi hutan setengah matang. [17]
Dampak terhadap Kesehatan

Sistiserkosis pada otak

Taenia saginata di usus buntu


Cacing pita Taenia dapat menimbulkan penyakit yang disebut taeniasis dan
sistiserkosis. Gejala klinis terbanyak yang dikeluhkan adalah[14]:
Pengeluaran segmen tubuh cacing dalam fesesnya (95%)
Gatal-gatal pada anus (77%)
Mual (46%)
Pusing (42%)

Peningkatan nafsu makan (30%)


Sakit kepala (26%)
Diare (18%)
Lemah (17%)
Merasa lapar (16%)
Sembelit (11%)
Penurunan berat badan (6%)
Rasa tidak enak di lambung (5%)
Letih (4%)
Muntah (4%)
Tidak ada selera makan saat lapar (1%)
Pegal-pegal pada otot (1%)
Nyeri di perut, mengantuk, serta kejang-kejang, gelisah, gatal-gatal di kulit dan
gangguan pernafasan (masing-masing <1%).
Sistiserkosis menimbulkan gejala dan efek yang beragam sesuai dengan lokasi
parasit dalam tubuh. [4] Manusia dapat terjangkit satu sampai ratusan
sistiserkus di jaringan tubuh yang berbeda-beda. [4] Sistiserkus pada manusia
paling sering ditemukan di otak (disebut neurosistiserkosis), mata, otot dan
lapisan bawah kulit [17].
Dampak kesehatan yang paling ditakuti dan berbahaya akibat larva cacing
Taenia yaitu neurosistiserkosis yang dapat menimbulkan kematian. [24]
Neurosistiserkosis adalah infeksi sistem saraf pusat akibat sistiserkus dari larva
Taenia solium. Neurosistiserkosis merupakan faktor risiko penyebab stroke baik
pada manusia yang muda maupun setengah baya[25], epilepsi dan kelainan
pada tengkorak. [8] Sistiserkosis merupakan penyebab 1% kematian pada rumah
sakit umum di Meksiko City dan penyebab 25% tumor dalam otak [8].
Pengendalian

Cara Pengendalian cacing pita Taenia


Pengendalian cacing pita Taenia dapat dilakukan dengan memutuskan siklus
hidupnya. Pemutusan siklus hidup cacing Taenia sebagai agen penyebab
penyakit dapat dilakukan melalui diagnosa dini dan pengobatan terhadap
penderita yang terinfeksi. [8] Beberapa obat cacing yang dapat digunakan yaitu

Atabrin, Librax dan Niclosamide [5] dan Praziquantel [17]. Sedangkan untuk
mengobati sistiserkosis dapat digunakan Albendazole dan Dexamethasone. [26]
Untuk mengurangi kemungkinan infeksi oleh Taenia ke manusia maupun hewan
diperlukan peningkatan daya tahan tubuh inang. Hal ini dapat dilakukan melalui
vaksinasi pada ternak, terutama babi di daerah endemis taeniasis/sistiserkosis
serta peningkatan kualitas dan kecukupan gizi pada manusia. [27]
Lingkungan yang bersih sangat diperlukan untuk memutuskan siklus hidup
Taenia karena lingkungan yang kotor menjadi sumber penyebaran penyakit.
Pelepasan telur Taenia dalam feses ke lingkungan menjadi sumber penyebaran
taeniasis/sistiserkosis. [8] Faktor risiko utama transmisi telur Taenia ke babi yaitu
pemeliharaan babi secara ekstensif, defekasi manusia di dekat pemeliharaan
babi sehingga babi memakan feses manusia dan pemeliharaan babi dekat
dengan manusia. [28] Hal yang sama juga berlaku pada transmisi telur Taenia ke
sapi. Telur cacing ini dapat terbawa oleh air ke tempat-tempat lembab sehingga
telur cacing lebih lama bertahan hidup dan penyebarannya semakin luas. [4]
Kontrol penyakit akibat Taenia di lingkungan dapat dilakukan melalui
peningkatan sarana sanitasi, pencegahan konsumsi daging yang terkontaminasi,
pencegahan kontaminasi tanah dan tinja pada makanan dan minuman. [28]
Pembangunan sarana sanitasi, misalnya kakus dan septic tank, serta penyediaan
sumber air bersih sangat diperlukan. Pencegahan konsumsi daging yang
terkontaminasi dapat dilakukan melalui pemusatan pemotongan ternak di rumah
potong hewan (RPH) yang diawasi oleh dokter hewan. [29]

TAENIA

Indonesia adalah salah satu dari lima negara penyandang


kasus infeksi Taenia (taeniasis dan sistiserkosis) terbesar di dunia untuk negara yang berada
di daerah tropis. Taeniasis terutama ditemukan di Papua, Bali, dan Sumatera Utara, selain itu
juga ditemukan di Nusa Tenggara Timur, Lampung, Sulawesi Utara, Kalimantan Barat dan
Jawa Timur. Besarnya kasus infeksi Taenia ini disebabkan oleh pola makan yang salah serta
minimnya
pengetahuan
yang
dimiliki
oleh
masyarakat.

Taenia adalah nama latin dari cacing pita. Cacing pita masuk kedalam Kerajaan Animalia,
Filum Platyhelminthes, Kelas Cestoda, Bangsa Cyclophyllidea, Suku Taeniidae (Anonim,
2010).Ada tiga jenis cacing pita di Indonesia yakni : Cacing pita anjing (Taenia echinoccus),
yang kedua cacing pita sapi (Taenia saginata), dan yang ketiga cacing pita babi (Taenia
solium). Dikatakan cacing pita karena panjang dan bentuknya menyerupai pita. Kepalanya
kecil dan terdapat kait sebagai alat meletakkan dirinya pada dinding usus (Anonim, 2012).
Penyakit
yang
disebabkan
oleh
infeksi Taenia ini
biasanya
disebut
dengan Taeniasis atau Cestodes(Anonim, 2012). Dalam hal ini yang akan kita bahas adalah
cacing pita sapi (Taenia saginata), cacing ini menyebabkan infeksi saluran pencernaan jika
cacing telah dewasa.
Taenia saginata adalah raksasa di antara semua cacing parasit. Cacing pita ini
berwarna putih pucat, tanpa mulut, tanpa anus dan tanpa saluran pencernaan (Susanto, R.
2009). Panjang Taenia saginata dapat mencapai 8 m, mendiami jejunum bagian atas dan
memiliki scolex dengan empat penghisap yang menonjol dan 1000-2000 proglotid. (Amin, R.
et al. 2009)
Cacing pita sapi memiliki siklus yang rumit dan berakhir pada manusia sebagai inang
tetapnya. Cacing pita dewasa melepaskan telur-telurnya bersama segmen badannya. Segmen
ini bila mengering di udara luar akan melepaskan telur-telur cacing yang dapat termakan oleh
sapi saat merumput. Enzim pencernaan sapi membuat telur menetas dan melepaskan zigot
yang kemudian menembus lapisan mukosa saluran pencernaan untuk memasuki sirkulasi
darah. Dari pembuluh darah, zigot akan menetap di otot membentuk kista, seperti pada cacing

cambuk. Bila daging sapi berisi kista tersebut dimakan manusia dalam keadaaan mentah atau
setengah matang, enzim-enzim pencernaan akan memecah kista dan melepaskan larva cacing.
Selanjutnya, larva cacing yang menempel di usus kecil akan berkembang hingga mencapai 5
meter dalam waktu tiga bulan (Amin, R. et al. 2009).
Pada cacing jenis ini manusia adalah inang definitif, dengan sapi sebagai hospes
perantara. Penyebab seseorang terinfeksi cacing pita sapi yaitu : (1) Tidak sengaja menelan
telur cacing pita dari makanan atau air yang sudah tercemar oleh kotoran orang atau hewan
yang mengandung cacing pita; (2) Memakan daging sapi yang belum masak benar, dan di
dalamnya mengandung sistiserkus Taenia saginata; dan (3) Tidak sengaja menelan kista larva
yang ada di dalam daging atau jaringan otot hewan yang dikonsumsi. (Martoyo, A. 2012)
Gejala- gelaja orang yang terinfeksi cacing Taenia saginata terbagi menjadi dua
macam, yaitu : (1) Infeksi usus, jika tanda-tandanya yaitu mual, lemas, kehilangan selera
makan, nyeri perut, diare, dan berat badan turun dan penyerapan nutrisi dari makanan yang
tidak memadai; dan (2) Infeksi invasif, jika tanda-tandanya yaitu demam, benjolan atau kista,
muncul reaksi alergi terhadap larva, rentan terkena infeksi bakteri, dan adanya gejala-gejala
neurologis seperti kejang (Wanzala, W. et al. 2003).
Pengendalian cacing pita Taenia dapat dilakukan dengan memutuskan siklus
hidupnya. Pemutusan siklus hidup cacing Taenia sebagai agen penyebab penyakit dapat
dilakukan melalui diagnosa dini dan pengobatan terhadap penderita yang
terinfeksi. Beberapa obat cacing
yang
dapat
digunakan
yaitu Atabrin,
Librax danNiclosamide dan Praziquantel. Untuk
mengurangi
kemungkinan
infeksi
oleh Taenia ke manusia maupun hewan diperlukan peningkatan daya tahan tubuh inang. Hal
ini dapat dilakukan melalui vaksinasi pada ternak, terutama sapi di daerah endemis taeniasis
serta peningkatan kualitas dan kecukupan gizi pada manusia. (Anonim. 2012
Dafpus (

Amin, R. et al. 2009. Pork Tapeworm (Taenia Saginata Asiatica) Infection In Rural Bangladesh. Journal
Medicine 10(2): 135-138.
W, Wanzala et al. 2003. Control of Taenia saginata by post-mortem examination ofCarcasses. African
Health Sciences 3(2): 68-76.

Anda mungkin juga menyukai