Siklus Hidup
Hewan, terutama babi dan sapi yang mengandung larva cacing pita (sistisekus).
Makanan, minuman dan lingkungan yang tercemar oleh telur cacing pita.
Penyebaran
Penyebaran di Dunia
Cacing pita Taenia tersebar secara luas di seluruh dunia. [7]. Penyebaran Taenia
dan kasus infeksi akibat Taenia lebih banyak terjadi di daerah tropis karena
daerah tropis memiliki curah hujan yang tinggi dan iklim yang sesuai untuk
perkembangan parasit ini. [12] Taeniasis dan sistiserkosis akibat infeksi cacing
pita babi Taenia solium merupakan salah satu zoonosis di daerah yang
penduduknya banyak mengkonsumsi daging babi dan tingkat sanitasi
lingkungannya masih rendah, seperti di Asia Tenggara, India, Afrika Selatan, dan
Amerika Latin. [13] Adapun kasus infeksi cacing pita Taenia di negara tropis
dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Kasus Infeksi Cacing Pita Taenia di Negara Tropis
Negara
Kasus
Taiwan, Cina
1.661 orang penderita taeniasis. [14]
Brazil
0,1-0,9 % kejadian sistiserkosis pada manusia. [15]
Thailand
5,9% dari 1450 orang positif taeniasis. [16]
Indonesia
Taeniasis/sistiserkosis terutama ditemukan di Papua, Bali dan Sumatera Utara.
Selain itu ditemukan di NTT, Lampung, Sulawesi Utara, Kalimantan Barat dan
Jawa Timur. [17] [3] [9]
Laos
Kejadian taeniasis mencapai 14% [18]
Salah satu bukti lebih luasnya penyebaran Taenia di daerah tropis yaitu
ditemukannya spesies ketiga penyebab taeniasis pada manusia di beberapa
negara Asia yang dikenal dengan sebutan Taiwan Taenia atau Asian Taenia. [19].
Asian Taenia dilaporkan telah ditemukan di negara-negara Asia yang umumnya
beriklim tropis seperti Indonesia, Thailand, Malaysia, Filipina, Korea dan Cina.
[20] Kini Asian Taenia disebut Taenia asiatica [21]. Kejadian T. asiatica yang
tinggi terutama ditemukan di Pulau Samosir, Indonesia. [17]
Sistiserkosis merupakan infeksi yang sering ditemukan pada babi dan manusia
terutama di negara berkembang. [3] Penyebaran sistiserkus pada manusia
dipengaruhi oleh kontak antara babi dan feses manusia, tidak adanya
pemeriksaan kesehatan daging saat penyembelihan, dan konsumsi daging
mentah atau setengah matang.[6] Penyebaran penyakit ini luas karena Taenia
dapat memproduksi puluhan bahkan ratusan ribu telur setiap hari yang dapat
disebar oleh air hujan ke lingkungan bahkan pada lokasi yang jauh dari tempat
pelepasan telur. [4]
[sunting] Penyebaran di Indonesia
Infeksi cacing pita Taenia tertinggi di Indonesia terjadi di Provinsi Papua. [22] Di
Kabupaten Jayawijaya Papua, Indonesia ditemukan 66,3% (106 orang dari 160
responden) positif menderita taeniasis solium/sistiserkosis selulosae dari babi
[3]. Sementara 28,3% orang adalah penderita sistiserkosis yang dapat dilihat
dan diraba benjolannya di bawah kulit [3]. Sebanyak 18,6% (30 orang) di
antaranya adalah penderita sistiserkosis selulosae yang menunjukkan gejala
epilepsi [3]. Dari 257 pasien yang menderita luka bakar di Papua, sebanyak
82,8% menderita epilepsi akibat adanya sistiserkosis pada otak. [3]
Prevalensi sistiserkosis pada manusia berdasarkan pemeriksaan serologis pada
masyarakat Bali sangat tinggi yaitu 5,2% sampai 21%, sedangkan prevalensi
taeniasis di provinsi yang sama berkisar antara 0,4%-23%. [17] Sebanyak 13,5%
(10 dari 74 orang) pasien yang mengalami epilepsi di Bali didiagnosa menderita
sistiserkosis di otak. [23] Prevalensi taeniasis T. asiatica di Sumatera Utara
berkisar 1,9%-20,7%. [17] Kasus T. asiatica di Provinsi ini umumnya disebabkan
oleh konsumsi daging babi hutan setengah matang. [17]
Dampak terhadap Kesehatan
Atabrin, Librax dan Niclosamide [5] dan Praziquantel [17]. Sedangkan untuk
mengobati sistiserkosis dapat digunakan Albendazole dan Dexamethasone. [26]
Untuk mengurangi kemungkinan infeksi oleh Taenia ke manusia maupun hewan
diperlukan peningkatan daya tahan tubuh inang. Hal ini dapat dilakukan melalui
vaksinasi pada ternak, terutama babi di daerah endemis taeniasis/sistiserkosis
serta peningkatan kualitas dan kecukupan gizi pada manusia. [27]
Lingkungan yang bersih sangat diperlukan untuk memutuskan siklus hidup
Taenia karena lingkungan yang kotor menjadi sumber penyebaran penyakit.
Pelepasan telur Taenia dalam feses ke lingkungan menjadi sumber penyebaran
taeniasis/sistiserkosis. [8] Faktor risiko utama transmisi telur Taenia ke babi yaitu
pemeliharaan babi secara ekstensif, defekasi manusia di dekat pemeliharaan
babi sehingga babi memakan feses manusia dan pemeliharaan babi dekat
dengan manusia. [28] Hal yang sama juga berlaku pada transmisi telur Taenia ke
sapi. Telur cacing ini dapat terbawa oleh air ke tempat-tempat lembab sehingga
telur cacing lebih lama bertahan hidup dan penyebarannya semakin luas. [4]
Kontrol penyakit akibat Taenia di lingkungan dapat dilakukan melalui
peningkatan sarana sanitasi, pencegahan konsumsi daging yang terkontaminasi,
pencegahan kontaminasi tanah dan tinja pada makanan dan minuman. [28]
Pembangunan sarana sanitasi, misalnya kakus dan septic tank, serta penyediaan
sumber air bersih sangat diperlukan. Pencegahan konsumsi daging yang
terkontaminasi dapat dilakukan melalui pemusatan pemotongan ternak di rumah
potong hewan (RPH) yang diawasi oleh dokter hewan. [29]
TAENIA
Taenia adalah nama latin dari cacing pita. Cacing pita masuk kedalam Kerajaan Animalia,
Filum Platyhelminthes, Kelas Cestoda, Bangsa Cyclophyllidea, Suku Taeniidae (Anonim,
2010).Ada tiga jenis cacing pita di Indonesia yakni : Cacing pita anjing (Taenia echinoccus),
yang kedua cacing pita sapi (Taenia saginata), dan yang ketiga cacing pita babi (Taenia
solium). Dikatakan cacing pita karena panjang dan bentuknya menyerupai pita. Kepalanya
kecil dan terdapat kait sebagai alat meletakkan dirinya pada dinding usus (Anonim, 2012).
Penyakit
yang
disebabkan
oleh
infeksi Taenia ini
biasanya
disebut
dengan Taeniasis atau Cestodes(Anonim, 2012). Dalam hal ini yang akan kita bahas adalah
cacing pita sapi (Taenia saginata), cacing ini menyebabkan infeksi saluran pencernaan jika
cacing telah dewasa.
Taenia saginata adalah raksasa di antara semua cacing parasit. Cacing pita ini
berwarna putih pucat, tanpa mulut, tanpa anus dan tanpa saluran pencernaan (Susanto, R.
2009). Panjang Taenia saginata dapat mencapai 8 m, mendiami jejunum bagian atas dan
memiliki scolex dengan empat penghisap yang menonjol dan 1000-2000 proglotid. (Amin, R.
et al. 2009)
Cacing pita sapi memiliki siklus yang rumit dan berakhir pada manusia sebagai inang
tetapnya. Cacing pita dewasa melepaskan telur-telurnya bersama segmen badannya. Segmen
ini bila mengering di udara luar akan melepaskan telur-telur cacing yang dapat termakan oleh
sapi saat merumput. Enzim pencernaan sapi membuat telur menetas dan melepaskan zigot
yang kemudian menembus lapisan mukosa saluran pencernaan untuk memasuki sirkulasi
darah. Dari pembuluh darah, zigot akan menetap di otot membentuk kista, seperti pada cacing
cambuk. Bila daging sapi berisi kista tersebut dimakan manusia dalam keadaaan mentah atau
setengah matang, enzim-enzim pencernaan akan memecah kista dan melepaskan larva cacing.
Selanjutnya, larva cacing yang menempel di usus kecil akan berkembang hingga mencapai 5
meter dalam waktu tiga bulan (Amin, R. et al. 2009).
Pada cacing jenis ini manusia adalah inang definitif, dengan sapi sebagai hospes
perantara. Penyebab seseorang terinfeksi cacing pita sapi yaitu : (1) Tidak sengaja menelan
telur cacing pita dari makanan atau air yang sudah tercemar oleh kotoran orang atau hewan
yang mengandung cacing pita; (2) Memakan daging sapi yang belum masak benar, dan di
dalamnya mengandung sistiserkus Taenia saginata; dan (3) Tidak sengaja menelan kista larva
yang ada di dalam daging atau jaringan otot hewan yang dikonsumsi. (Martoyo, A. 2012)
Gejala- gelaja orang yang terinfeksi cacing Taenia saginata terbagi menjadi dua
macam, yaitu : (1) Infeksi usus, jika tanda-tandanya yaitu mual, lemas, kehilangan selera
makan, nyeri perut, diare, dan berat badan turun dan penyerapan nutrisi dari makanan yang
tidak memadai; dan (2) Infeksi invasif, jika tanda-tandanya yaitu demam, benjolan atau kista,
muncul reaksi alergi terhadap larva, rentan terkena infeksi bakteri, dan adanya gejala-gejala
neurologis seperti kejang (Wanzala, W. et al. 2003).
Pengendalian cacing pita Taenia dapat dilakukan dengan memutuskan siklus
hidupnya. Pemutusan siklus hidup cacing Taenia sebagai agen penyebab penyakit dapat
dilakukan melalui diagnosa dini dan pengobatan terhadap penderita yang
terinfeksi. Beberapa obat cacing
yang
dapat
digunakan
yaitu Atabrin,
Librax danNiclosamide dan Praziquantel. Untuk
mengurangi
kemungkinan
infeksi
oleh Taenia ke manusia maupun hewan diperlukan peningkatan daya tahan tubuh inang. Hal
ini dapat dilakukan melalui vaksinasi pada ternak, terutama sapi di daerah endemis taeniasis
serta peningkatan kualitas dan kecukupan gizi pada manusia. (Anonim. 2012
Dafpus (
Amin, R. et al. 2009. Pork Tapeworm (Taenia Saginata Asiatica) Infection In Rural Bangladesh. Journal
Medicine 10(2): 135-138.
W, Wanzala et al. 2003. Control of Taenia saginata by post-mortem examination ofCarcasses. African
Health Sciences 3(2): 68-76.