Anda di halaman 1dari 18

REFERAT

TAENIASIS

Zusana Riza Madeira B. Aton, S.Ked

RSUD Prof. Dr. W. Z Johannes-FK Nusa Cendana

Dr. Regina M. Manubulu, Sp.A, M.Kes

Pendahuluan

Taeniasis ialah penyakit zoonosis parasiter yang disebabkan oleh cacing pita
yang tergolong dalam genus Taenia (Taenia saginata,Taenia solium dan Taenia
asiatica) pada manusia. Taenia yang disebut sebagai cacing pita, adalah suatu
cacing parasit berbentuk panjang dan bersegmen. Dari total 32 spesies Taenia yang
diketahui, ada 2 jenis cacing pita yang penting secara medis, yaitu Taenia solium
(cacing pita babi, pork tapeworm) dan Taenia saginata (cacing pita sapi, cattle atau
beef tapeworm).

Pada manusia, bentuk larva (cysticercus) Taenia solium dapat menimbulkan


infeksi yang dikenal sebagai sistiserkosis (cysticercosis). Apabila sistiserkosis
mengenai jaringan otak maka disebut sebagai neurosistiserkosis (NCC).1
Taeniasis merupakan penyakit yang endemik pada beberapa daerah tertentu,
terutama negara-negara yang sedang berkembang. Taeniasis karena T.solium dapat
menyebabkan neurosistiserkosis dengan berbagai komplikasi bahkan sampai
kematian. Taeniasis dinyatakan sebagai masalah kesehatan masyarakat yang
penting di seluruh dunia dan dianggap sebagai penyakit parasit yang harus
dieradikasi. Wallin dan Kutzke menganggap neurosistiserkosis sebagai infeksi
yang semakin meningkat jumlahnya. 1,2

1
Epidemiologi

Taeniasis tersebar di seluruh dunia. Prevalensi infeksi T.saginata lebih tinggi


dibandingkan dengan T.solium. Prevalensi terutama tinggi di daerah pedesaan. 1
Sekitar 50 juta pasien taeniasis dijumpai di seluruh dunia. Sekitar 50.000
pasien meninggal akibat neurosistiserkosis. Di Indonesia, Taeniasis dilaporkan dari
daerah Bali, Sumatera Utara, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Timur, Irian Jaya, dan
lokasi transmigrasi asal Bali seperti Sulawesi Tengah dan Lampung. Prevalensi
taeniasis di Irian Jaya dilaporkan sekitar 8% dan di Timor sekitar 7%.1,7
Menurut laporan Abdussalam dari WHO, terdapat peningkatan insidens
taeniasis setiap tahun di seluruh dunia. Faktor-faktor epidemiologi yang
memudahkan penyebaran penyakit ini yaitu : adanya sumber infeksi yaitu pasien
taeniasis, cara pembuangan tinja sembarangan sehingga terjadi kontaminasi tanah
atau tumbuh-tumbuhan oleh telur taenia, adanya binatang perantara yang dipelihara
di tempat yang terkontaminasi, pengawasan pemotongan daging yang tidak baik,
kebiasaan makan daging yang tidak masak sempurna.4,13

Patogenesis1,3
Cacing pita dewasa (Taenia) termasuk dalam family Taeniidae, subkelas
Cestoda. Cacing ini terdiri dari bagian kepala yang disebut skoleks (scolex), diikuti
oleh bagian leher yang tanpa ruas dan bagian-bagian ruas atau proglotid. Pada ujung
proglotid terdapat proglotid gravid yang penuh dengan telur. Keseluruhan cacing
dari skoleks sampai proglotid gravid disebut sebagai strobila.
Taenia saginata mempunyai panjang 4-10 meter dengan 1000-2000
proglotid. Skoleks berukuran 1-2 mm dengan 4 batil isap (sucker) tanpa rostellum
atau alat pengait. Proglotid gravid mempunyai uterus dengan percabangan lateral
15-30 buah. Taenia solium mempunyai panjang 4-10 meter dengan 1000-2000
proglotid. Skoleks mempunyai 4 batil isap dengan 25-30 alat pengait. Uterus gravid
memiliki percabangan lateral 7-13 buah.

2
Taenia asiatica mempunyai gambaran morfologi yang sangat mirip dengan
T.saginata, tetapi memiliki alat isap yang rudimeter dengan rostelum telanjang.

Gambar 1. Taenia solium dan Taenia saginata


Proglotid gravid T.saginata dapat keluar secara pasif bersama tinja pada
waktu defekasi, tetapi dapat juga keluar secara aktif dan bergerak pada permukaan
kulit. Sedangkan proglotid T.solium hanya keluar secara pasif. Telur T.saginata dan
T.solium tidak dapat dibedakan secara morfologi. Telur ini berbentuk bulat dengan
ukuran 30-40 mikron, berwarna kuning tengguli dengan dinding telur berstruktur
radier dan terdapat embryo hexacanth dengan 6 alat pengait di dalamnya.2
Hospes definitive taenia hanya manusia, sedangkan hospes (binatang)
perantara alami Taenia solium dan Taenia saginata ialah babi dan sapi. Adapun
hospes perantara alami T.asiatica adalah babi. Cacing dewasa hidup pada bagian
proksimal jejunum. Proglotid gravid terlepas dari strobila, keluar bersama tinja,
kemudian pecah dan mengeluarkan telur. Telur dapat tahan beberapa minggu di luar
tubuh, jika termakan oleh sapi atau babi maka akibat pengaruh asam lambung, getah

3
pancreas dan empedu, telur akan pecah dan mengeluarkan embryo hexacanth yang
mampu menembus dinding usus. Embrio ini melalui peredaran darah menuju
jaringan otot dan subkutan. Dalam waktu 12-15 minggu menjadi kista, yang pada
sapi disebut cycticercus bovis dan pada babi disebut cycticercus cellulosae. Jika
daging yang mengandung sistiserkus termakan manusia, larva akan keluar dari kista
dan tumbuh menjadi cacing dewasa dalam jejunum dalam waktu 5-12 minggu.
Cacing pita dewasa dapat tahan hidup sampai 20 tahun dalam usus. 1,5,15

Karakteristik T. solium T. asiatica T. saginata

Hospes perantara Babi, manusia, Babi, sapi, Sapi


anjing kambing, kera
Lokalisasi Otot, otak, kulit, Visera terutama Otot, visera
mata, lidah hati (alat dalam)
Ukuran (mm) 5-8 x 3-6 2x2 rostelum 7-10 x 4-6 tak
Skoleks Rostelum dengan pengait ada rostelum
dengan pengait rudimenter dan pengait

Cacing dewasa Rostelum Rostelum tanpa Tanpa rostelum


Skoleks dengan pengait pengait dan pengait

Cabang uterus pada 7-12 terutama 16-21 tunggal dan 18-32 tunggal
proglotid gravid dalam grup dan aktif dan aktif
Keluarnya proglotid pasif

4
Gambar 2. Siklus Hidup Taenia4
Sistiserkus dapat ditemukan hampir di jaringan mana saja, namun setiap
spesies memiliki predileksi jaringan tertentu. Di babi, sistiserkus T.solium
ditemukan paling banyak di otot skeletal, jantung, hati dan otak. Pada manusia,
sspesies ini paling banyak ditemukan di jaringan subkutan, otot skeletal, mata dan
otak. Penyakit serius hampir selalu disebabkan oleh sistiserkus yang ada dalam
sistem saraf pusat (neurosistiserkus) atau di jantung. Sistiserkus T.asiatica biasanya
bisa didapatkan di jaringan hati. 5

Gejala Klinis
Gejala Klinis Taeniasis solium
Penderita taeniasis umumnya asimptomatik atau mempunyai keluhan yang
umumnya ringan, berupa rasa tidak enak di perut, gangguan pencernaan, diare,
konstipasi, sakit kepala, anemia, nyeri abdomen, kehilangan berat badan, malaise,
anoreksia, peningkatan nafsu makan, rasa sakit ketika lapar (hunger pain), indigesti
kronik, dan hiperestesia. Sangat jarang terjadi komplikasi peritonitis akibat kait
yang menembus dinding usus. Sering dijumpai kalsifikasi pada sistiserkus namun

5
tidak menimbulkan gejala, akan tetapi sewaktu-waktu terdapat pseudohipertrofi
otot, disertai gejala miositis, demam tinggi, dan eosinofilia 6,7,8,9,11
Gejala klinik yang berhubungan dengan abdomen lebih umum terjadi pada
anak-anak dan umumnya akan berkurang dengan mengkonsumsi sedikit makanan.
Pada anak-anak, juga dapat terjadi muntah, diare, demam, kehilangan berat badan,
dan mudah marah. Gejala lainnya yang pernah dilaporkan adalah insomnia,
malaise, dan kegugupan.9
Adapun gejala yang muncul disebabkan oleh karena adanya iritasi pada
tempat perlekatan skoleks serta sisa metabolisme cacing yang terabsorpsi yang
menyebabkan gejala sistemik dan intoksikasi ringan sampai berat.11
Gejala Klinik Taeniasis saginata
Gambaran klinik dan diagnosa Taeniasis saginata pada usus hampir serupa
dengan infeksi Taeniasis solium.12 Pada taeniasis saginata terjadi inflamasi sub-
akut pada mukosa usus.11
Proglotid dari Taenia saginata dapat bermigrasi ke berbagai organ seperti
apendiks, uterus, duktus biliaris, dan nasofaring sehingga menyebabkan
appendisitis, kholangitis, kolesistitis dan sindrom lainnya. Pada kasus yang langka,
dapat ditemukan obstruksi usus atau perforasi.14,11
Kelainan patologis yang tampak pada penderita umumnya tidak jelas. Namun
dapat timbul gejala seperti rasa tidak enak pada perut, mual, muntah, dan diare.
Gejala lainnya berupa ileus yang dapat ditimbulkan oleh adanya obstruksi usus
karena banyaknya jumlah cacing.15
Gejala Klinik Neurosistiserkosis
Sistiserkus pada kebanyakan organ biasanya tidak atau sedikit menimbulkan
reaksi jaringan.10 Suatu penelitian post mortem menyebutkan bahwa 80% dari
seluruh kasus sistiserkosis asimptomatik.9 Akan tetapi, kista yang telah mati pada
sistem saraf pusat dapat menimbulkan respon jaringan yang berat. Infeksi pada otak
(sistiserkosis serebri) dapat menimbulkan gejala yang berat, akibat dari efek massa
dan inflamasi yang disebabkan oleh degenerasi sistiserkus dan pelepasan antigen.10

6
Sistiserkus dapat juga menginfeksi sumsum tulang belakang, otot, jaringan
subkutan, dan mata.10
Perubahan yang terjadi berhubungan dengan stadium peradangan. Dalam
stadium koloidal, kista terlihat sama dengan kista koloid dengan materi gelatin
dalam cairan kista dan degenerasi hialin dari larva. Dalam stadium granular-
nodular, kista mulai berkontraksi dan dindingnya digantikan dengan nodul fokal
limfoid serta nekrosis. Akhirnya, pada stadium kalsifikasi nodular jaringan
granulasi digantikan oleh struktur kolagen dan kalsifikasi.17
Gejala timbul tergantung dari jumlah dan lokasi larva.9 Neurosistiserkosis
merupakan bentuk sistiserkosis yang menyerang sistem saraf pusat dan paling
membahayakan. Pada kasus tertentu, gejala yang timbul mungkin timbul sangat
lambat, tetapi progresif. Namun, dapat juga gejala timbul secara tiba-tiba akibat
obstruksi cairan serebrospinal akibat adanya sistiserkus yang melayang-layang di
dalam cairan. Gejala yang paling sering adalah sakit kepala kronik dan kejang atau
epilepsi (70-90%). Gejala lainnya yang mungkin timbul adalah peningkatan
tekanan intrakranial, hidrosefalus, tanda neurologis fokal, perubahan status mental,
mual, muntah, vertigo, ataxia, bingung, gangguan perilaku, dan demensia
progresif.9,10,21Sedangkan apabila neurosistiserkosis menyerang sumsum tulang
belakang dapat menyebabkan kompresi, transverse myelitis, dan meningitis.
Namun kasus ini jarang. 9
Adapun bentuk manifestasi klinis dari sistiserkosis terbagi atas 4:17
a. Infeksi inaktif, ditandai dengan penemuan residu infeksi aktif sebelumnya
(kalsifikasi intraparenkimal). Gejala yang timbul: sakit kepala, kejang,
psikosis.
b. Infeksi aktif, terdiri atas neurosistiserkosis parenkim aktif dan ensefalitis
sistiserkal.
c. Neurosistiserkosis ekstraparenkimal yang memiliki bentuk neurosistiserkosis
ventrikular.
d. Bentuk lain: sistiserkosis spinal, sistiserkosis oftalmika, penyakit
serebrovaskular, dan lain-lain.

7
Pada mata (sistiserkosis oftalmika), sistiserkus paling sering ditemukan pada
vitreous humor, rongga subretina dan konjungtiva. Gejala yang umum adalah
kaburnya penglihatan atau berkurangnya visus, rasa sakit yang berat, sampai buta.
Sistiserkus di otot biasanya asimptomatik. Namun, dalam jumlah banyak dapat
menimbulkan pseudohipertrofi, miositis, nyeri otot, kram, dan kelelahan. Larva di
jantung menimbulkan gangguan konduksi dan miokarditis.9
Pada kulit, sistiserkus mungkin dapat terlihat sebagai nodul subkutan. Larva
juga dapat menyebabkan vaskulitis atau obstruksi arteri kecil yang menimbulkan
stroke. Akan tetapi, hal ini jarang terjadi.9

Penegakkan Diagnosis
a. Diagnosis Taeniasis sp
Diagnosa taeniasis dapat ditegakkan dengan 2 (dua) cara yaitu :11
a) Menanyakan riwayat penyakit (anamnesis).
Didalam anamnesis perlu ditanyakan antara lain apakah penderita pernah
mengeluarkan proglotid(segmen) dari cacing pita baik pada waktu buang air besar
maupun secara spontan. bila memungkinkansambil memperhatikan contoh
potongan cacing yang diawetkan dalam botol transparan.11
b) Pemeriksaan tinja
Tinja yang diperiksa adalah tinja sewaktu berasal dari defekasi spontan.
Sebaiknya diperiksa dalam keadaan segar. Bilamana ditemukan telur cacing Taenia
SP, maka pemeriksaan menunjukkan hasil positif taeniasis dengan atau tanpa
disertai gejala klinis (tabel 2)23

8
Tabel 2 : Penegakkan diagnosis taeniasis berdasarkan anamnesis dan pemeriksan
tinja

DiagnosisTaeniasis solium dan Taeniasis saginata


Diagnosis pasti Taeniasis solium ditegakkan jika ditemukan cacing dewasa
(segmen atau skoleks yang khas bentuknya) pada tinja penderita atau pada
pemeriksaan daerah perianal. Namun, telur dan proglotid tidak akan ditemukan
pada feses selama 2-3 bulan setelah cacing dewasa mencapai bagian atas jejunum.
Pemeriksaan dilakukan dengan memeriksa 3 sampel yang disarankan untuk
dikumpulkan pada hari yang berbeda.7,9,11,23
Tabel 3. Perbedaan Morfologik T. saginata dan T. solium1

Adapun pemeriksaan coproantigen dan molekuler yang mempunyai


sensitivitas yang lebih tinggi daripada pemeriksaan feses. Namun, pemeriksaan ini
belum tersedia pada luar laboratorium penelitian. Metode serologis juga hanya
tersedia pada lingkungan penelitian. Dengan metode serologis seperti ELISA dan
PCR, dapat dibedakan spesies dari Taenia.9

9
Diagnosa Taenia saginata dapat menggunakan pita perekat (tes Graham).
Untuk Taenia saginata test ini sangat sensitif, namun tidak pada Taenia solium.
Diagnosis Sistiserkosis
Dinyatakan tersangka sistiserkosis apabila pada: 11
a) Anamnesis:
1. Berasal dari /berdomisili didaerah endemis taeniasis / Sistiserkosis
2. Gejala taeniasis
3. Riwayat mengeluarkan proglotid
4. Benjolan (“nodul subkutan”) pada salah satu atau lebih bagian tubuh
5. Gejala pada mata dan gejala sistiserkosis lainnya
6. Riwayat / gejala epilepsi
7. Gejala peninggian tekanan intra kranial
8. Gejala neurologis lainnya
b) Pemeriksaan Fisik :
1. Teraba benjolan /nodul sub kutan atau intra muskular satu lebih
2. Kelainan mata ( oscular cysticercosis ) dan kelainan lainnya yang disebabkan
oleh sistiserkosis
3. Kelainan neurologis
c) Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan tinja secara makroskopis : Proglotid
2. Pemeriksaan tinja secara mikroskopis : telur cacing taenia sp
3. Pemeriksaan serologis : sistiserkosis
4. Pemeriksaan biopsi pada nodul subkutan gambaran menunjukkan patologi
anatomi yang khas untuksistiserkosis
Paling sedikit gejala klinis yang harus ditemukan pada tersangka sistiserkosis
ialah teraba benjolan/nodulsubktan atau intra muskular baik satu atau lebih pada
orang yang berasal dari/berdomisili di daerah endemistaeniasis/sistiserkosis.
Dinyatakan penderita sistiserkosis apabila pada tersangka sistiserkosis sudah
dipastikan diagnosisnya dengan pemeriksaan serologis dan atau pemeriksaan
biopsi.11

10
Pemeriksaan serologis dilakukan dengan metode ELISA (Enzyme Linked
Immuno Sorbent Assay) dan atau Immunoblot Spesimen yang diperiksa berupa
serum (darah vena yang diambil kurang lebih 5ml. Pada tersangka sistiserkosis
yang menunjukkan respon positif terhadap obat sistiserkosis, dapat membantu
menegakkan diagnosis (dapat dianggap sebagai penderita sistiserkosis).18,19

Diagnosis Neurosistiserkosis
Dinyatakan tersangka neurosistusekosis apabila :11
a) Anamnesis
1) Berasal dari / berdomisili didaerah endemis
2) Gejala taeniasis
3) Riwayat mengeluarkan proglotid
4) Gejala pada mata dan gejala sistiserkosis lainnya
5) Riwayat /gejala epilepsi, dengan atau tanpa disertai sakit kepala yang
berlangsung lebih dari dua minggu,serta mual dan / atau muntah pada orang
yang berasal dari / berdomisili di daerah endemis.
6) Gejala peninggian tekanan intra kranial
7) Gejala neurologis lainnya
b) Pemeriksaan fisik
1) Teraba benjolan / nodul sub kutan atau intra muskular satu atau lebih
2) Kelainan mata (ocular cysticercosis) dan kelainan lainnya yang disebabkan
cysticercosis
3) Kelainan neurologis
c) Pemeriksaan Penunjang
1). Pemeriksaan secara tinja makroskopis : proglotid
2). Pemeriksaan tinja secara mikroskopis : telur cacing Taenia sp
3). Pemeriksaan darah tepi : Hb , leukosit (leukositosis), Eritrosit, hitung jenis
(Eosinofilia), laju endapdarah / LED (meningkat) dan gula darah
4). Punksi lumbal : sel (eosinofil meningkat 70 %), Protein (meningkat 100 %)
glukosa (menurun 70 % dibandingkan dengan glukosa darah)

11
5). Pemeriksaan serologi (ELISA dan atau Immunoblot) : sistiserkosis Spesimen
yang diperiksa berupacairan otak (LCS) kurang lebih sebanyak 2-3 cc.9
Kelemahan ELISA adalah tidak dapat mendeteksi kista yang telah
berdegenerasi.13
6). Bila memungkinkan dilakukan pemeriksaan foto kepala (untuk kista yang
sudah mengalami kalsifikasi)dan lebih baik lagi pemeriksaan CT Scan
(Computerized tomography scanning) atau MRI (magnetic resonance
imaging). Pencitraan merupakan metode utama untuk neurosistiserkosis.17
Untuk mendiagnosa neurosistiserkosis dan mengevaluasi gejala neurologis
dapat dipakai CT scan dan MRI.9 CT scan adalah metode terbaik untuk
mendeteksi kalsifikasi yang merupakan infeksi inaktif.
Untuk menyatakan seseorang menderita neurosistiserkosis diperlukan
beberapa kriteria, antara lain: 17
Kriteria Mayor:
 Penemuan berdasarkan pemeriksaan pencitraan, di mana ditemukan
sistiserkus berukuran 0,5–2 cm.
 Ditemukannya antibodi spesifik antisistiserkal menggunakan EITB.
Kriteria Minor:
 Kejang
 Peningkatan tekanan intrakranial
 Kalsifikasi intraserebral pungtata
 Nodul subkutan atau hilangnya lesi setelah pengobatan dengan anti
parasit
Diagnosis dapat ditegakkan apabila dijumpai dua kriteria mayor, atau satu
kriteria mayor dan dua kriteria minor, ditambah riwayat pajanan.16

12
Penatalaksanaan
Berbagai macam obat dapat dipakai sebagai terapi taeniasis. Obat pilihan
untuk infeksi cacing pita saat ini ialah prazikuantel dan niklosamid.1
NO OBAT INDIKASI DOSIS SEDIAAN EFEK
OBAT SAMPING
1 Prazikuantel Taeniasis, 10 mg/kgbb dosis Tablet : 150 reaksi alergi,
mg dan 60 mg
sisteserkosisS tunggal(taeniasis) peningkatan
kistosomiasis 50 mg/kgbb/hari ensym hepar,
peroral dosis pusing, cephalgia
tunggal/dibagi 3 dosis dan mengantuk.
selama 14 hari
(sisteserkosis)
2 Niclosamide Taeniasis 2 gr dosis tunggal Tablet 500 mg mual dan muntah,
ruam pada kulit
3 Albendazole Sisteserkosis 15 mg/kgbb/hari dosis Tablet, 200 reaksi alergi,
mg, 400 mg.
tunggal/dibagi 3 dosis Sirup,5 ml/200 perdarahan
peroral selama 7 hari mg saluran cerna,
mual dan muntah

Untuk pengobatan dengan praziquantel maupun albendazole, reaksi dari


tubuh dapat dikurangi dengan memberikan kortikosteroid (prednison 1mg/kg
BB/hari dosis tunggal/dibagi 3 dosis atau dexamethasone dengan dosis yang setara
dengan prednison). Pemberian praziquantel maupun albendasole harus dibawah
pengawasan petugas kesehatan atau dilakukan dirumah sakit.
Pengobatan untuk neurosisteserkosis terdiri dari obat antiparasit,
pembedahan dan obat-obat simtomatik.

Komplikasi
Taeniasis dapat menyebabkan komplikasi yang paling sering yaitu
neurosistiserkosis. Menurut laporan WHO diperkirakan sebanyak 50 juta
penduduk di dunia mengalami neurosistiserkosis, dan sebanyak 50.000 orang

13
meninggal dunia. Neurosistiserkosis dapat menyebabkan kejang (paling sering)
terjadi sebanyak 50%, nyeri kepala hebat, stroke (menyebabkan defisit neurologis),
gangguan kejiwaan hingga kematian.Komplikasi lainnya yaitu ileus obstruksi,
kerusakan pada mata, otot (mialgia) dan juga bisa terjadi sindrom loeffler.25

Pencegahan 7,13,20
Untuk mencegah terjadinya penularan taeniasis, dilakukan tindakan-tindakan
sebagai berikut5:
1. Mengobati penderita, untuk mengurangi sumber infeksi, dan mencegah
terjadinya autoinfeksi dengan larva cacing

2. Peningkatan kinerja pengawasan daging yang dijual, agar bebas larva cacing

3. Memasak daging sampai di atas 50oC selama 30 menit, untuk membunuh


kista cacing, membekukan daging.7

4. Menjaga kebersihan lingkungan dan tidak membuang tinja di sembarang


tempat

5. Pada daerah endemik, sebaiknya tidak memakan buah dan sayur yang tidak
dimasak dan yang tidak dapat dikupas
6. Hanya meminum air yang telah dikemas dalam botol, air yang disaring, atau
air yang dididihkan selama 1 menit
7. Dapat dilakukan pemberian pendidikan mengenai kesehatan
8. Pada babi, dapat dilakukan pemberian oxfendazole oral (30 mg/kg BB) dan
diberikan vaksinasi.

Prognosis
Infeksi T. saginata mempunyai prognosis baik, jarang sekali menimbulkan
komplikasi. Infeksi oleh T. solium dapat memberi komplikasi serius terutama
sistiserkosis pada susunan saraf pusat yang dapat memberi prognosis kurang
baik.Neurosisteserkosis tanpa pengobatan memberikan angka kematian sekitar

14
50%. Pengobatan memberi hasil efektif pada 70-80% kasus dan menurunkan
mortalitas menjadi 6-16%.1

Kesimpulan

Taeniasis merupakan masalah di masyarakat yang harus diatasi. Taeniasis


terjadi pada manusia dengan higiene dan pola hidup yang tidak sehat. Diagnosis
ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan ditemukannya telur,
larva atau cacing dalam preparat tinja. Pengobatan dilakukan dengan antihelmintik
yang tepat. Pencegahandengan memperbaiki dan meningkatkan higiene pribadi dan
masyarakat. Prognosis pada taeniasis, apabila infeksi yang terjadi ringan dan tanpa
komplikasi maka prognosanya cenderung baik.

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Setiati, Siti et.al. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi Keenam. Interna
Publishing : Jakarta.
2. Nanjappa, Sowmya. 2015. Taenia Infection.
http://emedicine.medscape.com/article/999727-overview#a4
3. Wandra, Toni et.al. 2003. Taenia solium Cysticercosis, Irian Jaya, Indonesia.
Emerging Infectious Disease Jul ; vol. 9(No. 7) 884-8
4. Centres for Disease Control and Prevention. 2013. Taeniasis.
http://www.cdc.gov/dpdx/taeniasis/
5. The Centre For Food Security & Public Health. 2005. Taenia Infection. Iowa
State University.
6. Handojo, I., dan Margono, S.S., 2008. Taenia saginata. Dalam: Sutanto I.,
Ismid, I.S., Sjarifuddin, P.K., dan Sungkar, S., ed. Buku Ajar Parasitologi
Kedokteran ed 4. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 79-82.
7. Soedarto, 2008. Parasitologi Klinik. Surabaya: Airlangga University Press, 19-
26.
8. Tolan, R.W., 2011. Taenia Infection. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/999727-overview#a0104.
9. Center for Food Security and Public Health (CFSPH), 2005. Taenia Infections.
Available from: http://www.ivis.org/advances/Disease_Factsheets/taenia.pdf
10. Pearson, R.D., 2009a. Taeniasis solium and Cysticercosis (Pork Tapeworm
Infection). Available from:
http://www.merckmanuals.com/professional/sec14/ch184/ch184j.html
11. Ideham, B., dan Pusarawati, S., 2007. Helmintologi Kedokteran. Surabaya:
Airlangga University Press, 77-81, 89-99.
12. Pearson, R.D., 2009b. Taeniasis saginata (Beef Tapeworm Infection).
Available from:
http://www.merckmanuals.com/professional/sec14/ch184/ch184i.html

16
13. World Health Organization (WHO), 2009. Report of the WHO Expert
Consultation on Foodborne Trematode Infections & Taeniasis/Cysticercosis.
Availablefrom:
http://www.who.int/neglected_diseases/preventive_chemotherapy/WHO_HT
M_NTD_PCT_2011.3.pdf
14. Center for Food Security and Public Health (CFSPH), 2005. Taenia Infections.
Available from: http://www.ivis.org/advances/Disease_Factsheets/taenia.pdf
15. Handojo, I., dan Margono, S.S., 2008a. Taenia saginata. Dalam: Sutanto I.,
Ismid, I.S., Sjarifuddin, P.K., dan Sungkar, S., ed. Buku Ajar Parasitologi
Kedokteran ed 4. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 79-82
16. White, C.A., 1997. Neurocysticercosis: A Major Cause of Neurological
Disease Worldwide. Clin Infect Dis 24: 101-115
17. Wiria, A.E., 2008. Sistiserkosis. Dalam: Sutanto I., Ismid, I.S., Sjarifuddin,
P.K., dan Sungkar, S., ed. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran ed 4. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 86-89
18. Margono, S.S., Ito, A., Sato, M.O., Okamoto, M., Subahar, R., Yamasaki, H.,
et al., 2003. Taenia solium Taeniasis/Cysticercosis in Papua, Indonesia in
2001: Detection of Human Worm Carriers. Journal of Helminthology 77: 39-
42 [Abstract].
19. Garcia, M.D.L., Torres, M., Correa, D., Flisser, A., Sosalechuga, A., Velasco,
O., et al., 1999. Prevalence and Risk of Cysticercosis and Taeniasis in An
Urban Population of Soldiers and Their Relatives. Am J Trop Med Hyg 61 (3):
386–389.
20. Garcia, H.H., Evans, C.A.W., Nash, T.E., Takayanagui, O.M., White, A.C.,
Botero, D., et al., 2002. Current Consensus Guidelines for Treatment of
Neurocysticercosis. American Society for Microbiology 15 (4): 747-756.
21. Tenzer, R., 2009. Cysticercosis. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/781845-overview
22. Del Brutto O.H., 2005. Neurocysticercosis. Semin Neurol 25(3): 243-251

17
23. Centers for Disease Control and Prevention (CDC), 2010. Taeniasis:
Resources for Health Professionals. Available from:
http://www.cdc.gov/parasites/taeniasis/health_professionals/index.html
24. García, H.H., Gonzalez, A.E., Evans, C.E.A., and Gilman R.H., 2003. Taenia
solium
25. Cysticercosis. Lancet 362: 547-556.

18

Anda mungkin juga menyukai