Anda di halaman 1dari 16

BAB 1

PENDAHULUAN

Infeksi menular seksual (IMS) merupakan salah satu penyebab permasalahan kesehatan,

sosial dan ekonomi di banyak negara. Hampir 500 juta kasus baru IMS terjadi setiap tahun di

seluruh dunia. Banyak dari IMS tersebut merupakan penyakit yang dapat dicegah dan diobati. (1)

Limfogranuloma venerum (LGV) merupakan salah satu jenis penyakit infeksi menular

seksual sistemik yang disebabkan oleh bakteri gram negatif obligat intraseluer Chlamydia

trachomatis serovar L1, L2 dan L3. LGV disebut juga limfopatia venerium yang dilaporkan

pertama kali oleh Nicolas Durand dan Favre pada tahun 1913, karena itu juga disebut penyakit

Nicolas-Favre.(2,3) Penyakit ini terutama terdapat di negara tropik dan subtropik dan endemik di

Afrika, Asia Tenggara, Amerika Selatan dan Amerika tengah. Jumlah kasus LGV lebih banyak

terjadi pada laki-laki. Penyakit ini dapat menyebar secara hematogen dengan manifestasi infeksi

sistemik. Gambaran klinis penyakit ini dapat dibagi menjadi bentuk dini, yang terdiri atas afek

primer serta sindrom inguinal, dan bentuk lanjut yang terdiri atas sindrom genital, anorektal dan

uretral. Bentuk yang tersering dari LVG adalah sindrom inguinal berupa limfadenitis dan

periadenitis beberapa kelenjar getah bening inguinal medial dengan lima tanda radang akut dan
(3,4)
disertai gejala konstitusi yang akan mengalami perlunakan yang tidak serentak.

Diagnosis LGV pada umumnya sulit ditegakan, namun LGV harus dicurigai pada psien dengan

infeksi akibat kontak seksual, ulkus genital, fistula perianal atau bubo. Keakuratan diagnosis

secara klinis mungkin < 20%. Oleh karena itu dibutuhkan pemeriksaan laboratorium untuk

memastikan diagnosis. Secara umum pemeriksaan laboratorim pada LGV terbagi atas spesifik
tes seperti pemeriksaan DNA bakteri (genotipe) dan non spesifik seperti pemeriksaan Leukosit,

Ig A, Ig G, tes frei. (4)

Limfogranuloma Venerum harus didiagnosis banding dengan skrofuloderma, limfsdenitis

piogenik, limfadenitis karena ulkus mole, limfadenitis malignum dan hernia inguinalis.

Antibiotik doksisiklin 100 mg 2 kali sehari selama 3 minggu merupakan drug of choice dari

Pengobatan LGV. Pada pasien dengan kontraindikasi, dapat diberikan eritromisin 500 mg 4 kali

sehari selama 3 minggu.(4) pada sindrom inguinal prognosisnya baik sedangkan pada bentuk

lanjut prognosisnya buruk. (3)


BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Limfogranuloma venereum (LGV) adalah infeksi menular seksual sistemik yang

disebabkan oleh Chlamydia trachomatis serovar L1, L2 dan L3, bersifat sistemik, mengenai

system saluran pembulu limfe dan kelenjar limfe, terutama pada daerah genital, inguinal,anus

dan rectum, dengan perjalanan klinis akut, subakut atau krnis tergantung pada keadaan imunitas

penderita. Bentuk yang tersering dari LVG adalah sindrom inguinal berupa limfadenitis dan

periadenitis beberapa kelenjar getah bening inguinal medial dengan lima tanda radang akut dan

disertai gejala konstitusi yang akan mengalami perlunakan yang tidak serentak. (3)

2.2 Epideniologi

Penyakit ini terutama terdapat di negara tropik dan subtropik dan masih merupakan infeksi

endemik di beberapa lokasi seperti Afrika Timur dan Barat, India, Asia Tenggara, Amerika

Selatan dan Amerika tengah serta Karibia. Angka kejadian Limfogranuloma venereum terhitung

sekitar 2%-10% dari ulkus genitalis pada area Afrika dan India. (3,4) Kasus ini di Indonesia belum

pernah dilaporkan , hal ini mungkin luput dari pengamatan karena pemeriksaan penunjang yang

tidak lengkap atau karena pelaporan kasus yang kurang baik.(3)

Insidensi puncak penyakit ini terjadi pada usia 15-40 tahun, terutama terjadi pada daerah-

daerah rural atau daerah urbanisasai dengan kondisi sosialekonomi yang rendah. Laki-laki

mempunyai resiko 6 kali lebih besar ketimbang perempuan karena perbedaan patogenesis. Kini

penyakit ini jarang ditemukan(3,4)


2.3 Etiologi

Penyebab Limfogranuloma venereum adalah Chlamydia trachomatis, yang merupakan

salah satu organisme dari 4 spesies dari genus Chlamydia yang memiliki siklus pertumbuhan

yang unik. Chlamydia trachomatis memiliki sifat sebagian seperti bakteri dalam hal pembelahan

sel, metabolisme, struktur maupun kepekaan terhadap antibiotika dan kemoterapi dan sebagian

memiliki sifat seperti virus yaitu memerlukan sel hidup untuk berkembang biak (parasit obligat

intraseluler) (3)

Spesies Chlamydia trachomatis terdiri dari dua biovarian yaitu trachoma dan organisme

LGV. Organisme LGV sendri terdiri dari e serovars yaitu L1, L2, L3. Chlamydia trachomatis

berukuran lebih kecil dari bakteri namun lebih besar dari virus dengan diameter 250-550 mm.

Dalam jaringan penjamu membentuk sitoplasma inku;usi yang merupakan patognomoni infeksi

Chlamydia. Penyakit yang segolongan dengan LGV adalah psitakosis, trakoma, dan inclusion

conjungtivitis. (2-4)

2.4 Patogenesis
Chlamidya trachomatis tidak dapat menembus membran atau kulit yang utuh, tetapi

masuk melalui aberasi atau lesi kecil di kulit, kemudian mengadakan penyebaran secara linfogen

untuk bermultiplikasi ke dalam fagositosis mononuklear pada kelenjar limfe regional kemudian

akan menimbulkan peradangan di sepanjang saluran limfe (limfangitis dan perilimfangitis),

seterusnya mencapat kelenjar limfe terdekat sehingga terjadi peradangan kelenjar limfe dan

jaringan di sekitarnya (limfadenitis dan perilimfadenitis). Jadi LGV adalah penyakit yang

terutama mengenai jaringan limfatik.

Proses patologis yang penting adalah trombolimfangitis dan perilimfangitis, dengan

penyebaran proses inflamasi dari limfenod ke jaringan sekitarnya. Limfangitis ditandai oleh
proliferasi sel endotel sepanjang pembuluh limfe dan saluran penghubung dalam limfenod. Pada

tempat infeksi limfenod cepat membesar, dan pada area tersebut dikelilingi oleh daerah yang

nekrosis yang terdiri atas kumpulan sel endotel yang padat. Area yang nekrosis diserbu oleh sel

leukosit polimorfonuklear dan mengalami pembesaran yang khasi berbentuk segitiga atau segi

empat disebut sebagai “stelata abses”.

Pada peradangan lanjut abses-abses bersatu dan pecah membentuk lokulasi abses, fistel,

atau sinus. Proses inflamasi dapat berlangsung beberapa minggu atau beberapa bulan.

Penyembuhan disertai dengan pembentukan jaringan yang fibrosis, yang merusak struktur

limffenod dan dapat menyumbat saluran limfe. Edema kronis dan fibrous sklerosis menyebabkan

indurasi dan pembengkakan daerah yang terkena. Fibrosis juga mempengaruhi pembuluh darah

kulit dan membran mukosa sehingga menyebabkan ulserasi. Dapat terjadi kerusakan rektum

akibat ulserasi mukosa, peradangan transmural dinding usus, obstruksi aliran limde,

pembentukan jaringan fibrotis, dan striktur. Juga dapat terjadi perlekatan diantara kolon sigmois

dan dinding rektum dengan dinding pelvis. Limfopatia pada laki-laki terjadi pada daerah

inguinal, sedangkan pada perempuan dan laki-laki homoseksual biasanya terjadi di daerah

genital, anal, dan rektal. Perbedaan lokasi lesi penyakit ini tergantung dari letak lesi primer.

Pada laki-laki, penis merupakan tempat pertama kali masuknya (lesi primer) Chlamydia

trachomatis kemudian menyebar ke kelenjar limfe inguinal sedangkan perempuan melalui

intravagina atau servikal menuju kelenjar limfe intrapelvik, anus, rektal. LGV akut lebih sering

pada laki-laki karena pada perempuan biasanya asimtomatik dan baru didiagnosis setelah

berkembang menjadi protokolitis akut atau bubo inguinal.

Meskipun proses patologi primer pada LGV biasanya hanya terlokalisir pada satu atau

dua bagian kelenjar limfe, organisme ini juga dapat menyebar secara sistemik melalui aliran
darah dan dapat memasuki sistem saraf pusat. Penyebaran lokal penyait ini dibatasi oleh imunitas

hospes yang akan membatasi multiplikasi, Chlamydia Delayed hypersensitivity (dapat dibuktikan

melalui skin tes) dan LGV spesisfik Chlamydia antibodi dapat terlihat 1-2 minggu setelah

infeksi. Imun hospes ini juga mungkin tidak dikeluarkan dari tubuh sehingga terjadi infeksi laten.

Chlamydia yang hidup dapat diisolasi dari lesi lama selama 20 tahun setelah infeksi awal.

Kebanyakan kerusakan jaringan yang diakibatkan oleh limfogranuloma venerum mungkin

disebabkan oleh hipersensitivitas yang diperantarai oleh sel antigen terhadap Chlamydia.

Persisten limfogranuloma venerum di jaringan atau infeksi ulang oleh serovarians yang

berhubungan dengan Chlamydia trachomatis mungkin berperan dalam perkembangan penyakit

sistemik.

2.5 Gejala Klinis


Masa tunas penyaki ini ialah 1-4 minggu. Gejala konstitusi timbul sebelum penyakitnya

mulai dani biasanya menetap selama sindrom inguinal. Gejala tersebut berupa malaise, nyeri

kepala, atralgia, anoreksia, nausea dan demam.

Gambaran klinisnya dapat dibagi menjadi bentuk dini, yang terdiri atas afek primer serta

sindrom inguinal dan bentuk lanjut yang terdiri atas sindrom genital, anorektal dan uretral.

Waktu terjadinya afek primer hingga sindrom ingunal 3-6 minggu, sedangkan dari bentuk dini

hingga bentuk lanjut satu tahun hingga beberapa tahun.

Afek primer

Afek primer muncul setelah masa inkubasi 3-12 hari atau lebih lama bila lesi primer

genital tidak muncul dan sebagai manifestasi adalah sindrom inguinal, berbentuk tak khas dan

tak nyeri, dapat berupa erosi atau ulkus dangkal, papul miliar berkelompk, vesikel , pustul, dan

ulkus yang tidak nyeri dan cepat menghilang tanpa pembentukan jaringan parut. Umumnya
soliter dan cepat hilang karena itu penderita biasanya tidak datang berobat pada saat ini, tetapi

pada waktu terjadi sindrom inguinal.

Pada laki-laki umumnya afek primer berlokasi di genitalia eksterna, terutama di sulkus

koronarius, batang penis dan dapat pula di uretra meskipun sangat jarang serta anus dan rektum.

Pada perempuan biasanya afek primer tidak terdapat pada genitalia eksterna, tetapi pada vagina

baginan dalam dan serviks.

Lesi primes pada pria dapat pula disertai limfangitis pada bagian dorsal penis dan

membentuk nodul limfangeal yang lunak atau abses-abses kecil (bubonuli). Bubonuli dapat

pecah dan membentuk drainase sinus, vistel dan fibrosis uretra sehingga terbentuk sikatrik pada

dasar penis. Limfangtis sangat sering berhubungan dengan edema lokal dan regional yang

menyebabkn phimosis pada pria dan pembengkakan pada wanita dengan derajat yang bervariasi

Sindrom inguinal

Sindrom inguinal merupakan sindrom yang tersering dijumpai karena itu akan diuraikan

secara luas. Sindrom tersebut terjadi pada laki-laki, jika afek primernya di genitalia eksterna,

umumnya unilaterla, kira-kira 80%. Pada perempuan sindrom ini hanya terjadi, jika afek primer

ada di genitalia eksterna dan vagina 1/3 bawah. Itulah sebabnya sindrom tersebut lebih sering

terdapat pada laki-laki daripada perempuan, karena pada umumnya afek primer pada perempuan

di tempat yang lebih dalam, yakni di vagina 2/3 atas dan serviks. Jika afek primer pada tempat

tersebut, maka yang mengalami peradangan bukan kelenjar inguinal medial tetapi kelenjar

Gerota.

Pada sindrom ini yang terserang ialah kelenjar getah bening inguinal medial, karena

kelenjar tersebut merupakan kelenjar regional bagi genitalia eksterna. Kelenjar yang dikenal

ialah beberapa dan dapat diketahui karena permukaannya berbenjol-benjol, kemudian akan
berkonfuensi. Karena L.G.V. merupakan penyakit subakut, maka terlihat kelima tanda radang

akut yakni dolor, rubor, tumor, kalor, dan fungsio lasea. Selain limfadenitis terjadi pula

periadenitis yang menyebabkan perlekatan dengan jaringan sekitarnya. Kemudian terjadi

perlunakan yang tidak serentak, yang mengakibatkan konsistensinya menjadi bermacam-macam,

yakni keras, kenyal dan lunak (abses). Perlunakan biasanya di tengah, dapat terjadi abses dan

fistel yang multipel.

Sering terlihat pula 2 atau 3 kelompok kelenjar yang berdekatan dan memanjang seperti

sosis di bagian proksimal dan distal ligamentus Pouparti dan dipisahkan oleh lekuk (sulkus).

Gejala tersebut oleh GREENBLATT disebut stigma of groove. Pada stadium lanjut terjadi

penjalaran ke kelenjar getah bening di fossa iliaka dan dinamai bubo bertingkat (stage bubonen),

kadang-kadang dapat pula ke kelenjar fossa femoralis. Ada kalanya terdapat limfangitis yang

tampak sebagai tali yang keras dan bubonuli.

Sindrom genital

Jika sindrom inginal tidak diobat, maka terjadi fibrosis pada kelenjar inguinal medial,

sehingga aliran getah bening terbendung serta terjadi edema dan elefantiasis. Elefantiasis

tersebut dapat bersifat vegetatif, dapat terbentuk fistel-fistel dan ulkus-ulkus. Pada laki-laki,

elefantiasis terdapat di penis dan skrotum, sedangkan pada perempuan di labia dan klitoris,

disebut estiomen. Jika meluas terbentuk elefantiasis genito-anorektalis dan disebut sindrom

Jersild.

Sindrom anorektal

Sindrom tersebut dapat terjadi pada laki-laki yang melakukan kontak seksual anogenital

dengan laki-laki (MSM atau LSL). Pada perempuan hal yang sama dapat terjadi dengan dua cara.

Pertama, jika kontak seksual secara anogenital. Kedua, jika afek primer terdapat pada vagina 2/3
atas atau serviks, sehingga terjadi penjalaran ke kelenjar perirektal (kelenjar Gerota) yang

terletak antara uterus dan rektum. Pembesaran kelenjar tersebut hanya dapat diketahui dengan

palpasi secara bimanual. Proses berikutnya hampir sama dengan sindrom inguinal, yakni terjadi

limfadenitis dan periadenitis, lalu mengalami perlunakan hingga terbentuk abses. Kemudian

abses memecah sehingga menyebabkan gejala keluarnya darah dan pus pada waktu defekasi,

kemudian terbentuk fistel. Abses-abses dan fistel-fistel dapat berlokasi di perianal dan perirektal.

Selanjutnya muara fistel meluas menjadi ulkus, yang kemudian menyembuh dan menjadi

sikatriks, terjadilah retraksi hingga mengakibatkan striktura rekti. Kelainan tersebut umumnya

mengenai seluruh lingkaran rektum sepanjang 4-10 cm dan berlokasi 3-6 cm atau leibh diatas

anus. Keluhannya ialah obstipasi, tinja kecil-kecil disertai perdarahan waktu defekasi. Akibat

lain ialah terjadi proktitis yang mengakibatkan gejala tenesmus dan keluarnya darah dan pus dari

rektum. Kecuali kelenjar Gerota, dapat pula terjadi penjalaran ke kelenjar iliaka dan

hipogastrika.

Sindrom uretral

Sindrom tersebut terjadi, jika terbentuk infiltrat di uretra posterior, yang kemudian

menjadi abses, lalu memecah dan menjadi fistel. Dapat terjadi striktur, hingga orifisium uretra

eksternum berubah bentuk seperti mulut ikan dan disebut fish mouth uretra dan penis

melengkung seperti pedang Turki.

Kelainan lain

Kelainan tersebut lebih sering terdapat pada manifestasi dini daripada manifestasi lanjut

jarang ditemukan. Pada kulit dapat timbul eksantema, berupa eritema nodusum dan eritema

multiformis. Fotosensitivitas dapat terjadi pada 10-30% kasus pada bentuk dini dan 50% pada

bentuk lanjut.
Kelainan pada mata dapat berupa konjungtivitis, biasanya unilateral disertai edema dan

ulkus-ulkus pada palpebra. Sering pula bersama-sama dengan pembesaran kelenjar getah bening

regional dan demam. Sindrom tersebut disebut sindrom okuloglandular PARINAUD. Selain itu

dapat pula menimbulkan kelainan pada fundus berupa pelebaran pembuluh darah yang berliku-

liku dan disertai edema peripapilar.

Susunan saraf pusat dapat pula mengalami kelainan barupa meningoensefalitis. Kelainan

lain ialah hepatospenomegali, peritonitis dan uretritis. Uretritis tersebut dapat disertai ulkus-

ulkus pada mukosa, dapat pula bersama-sama dengan sistitis dan epididimitis.

2.6 Diagnosis

Terdapat keterbatasan dalam mendiagnosis kelainan ini. Umumnya diagnosis ditegakkan

secara persumtif berdasarkan gambaran klinis yang khas dan kelainan sudah lengkap. Pada

gambaran darah tepi biasanya leukosit normal, sedangkan LED meninggi. Peninggian ini

menunjukkan keaktivan penyakit, jadi tak khas untuk L.G.V. lebih berarti unutk menilai

penyembuhan, jika menyembuh LED akan menurun.

Sering terjadi hiperproteinemia berupa peninggian globulin, sedangkan albumin normal atau

menurun, sehingga perbandingan albumin-globulin menjadi terbalik. Imunoglobulin yang

meninggi ialah IgA dan tetap meninggi selama penyakit masih aktif, sehingga bersama-sama

dengan LED menunjukkan keaktivan penyakit.

Pemeriksaan dengan NAAT untuk Chlamydia trachomatis

Waktu pengambilan sampel untuk pemeriksaan menjadi problem tersendiri, karena

pemeriksaan memerlukan waktu yang lama, sedangkan lesi harus segera mendapatkan terapi.
Penyebab kelainan ini adalah serovar tertentu, terdapat keterbatasan dalam pemeriksaan.

Pemeriksaan berbasi NAAT tidak dapat membedakan serovar tersebut.

Pengambilan swab spesimen dengan dakron, dapat diambil dari bahan usap anus, aspirasi

lesi nodus atau drainase dari pus yang keluar dari lesi.

Tes Ikatan Komplemen

Tes serologis untuk Chlamydia trachomatis, terus dikembangkan. Tes tersebut lebih peka

dan lebih dapat dipercaya daripada tes Frei dan lebih cepat menjadi positif yakni setelah sebulan.

Tes ini juga memberi reaksi silang dengan penyakit yang segolongan. Jika titer 1/64 berarti

sedang sakit, tetapi jika titernya lebih rendah hanya berarti pernah sakit.

Tes Frei

Dahulu, dapat dilakukan tes Frei dengan antigen Frei. Frei memperolehnya dari tes

tuberkulin, yakni 0,1 cc disuntikkan intrakutan pada bagian anterior lengan bawah dan dibaca

setelah 48 jam. Jika terdapat infiltrat berdiameter 0,5 cm atau lebih berarti positif. Tes tersebut

tak khas karena penyakit yang segolongan juga memberi hasil positif. Kekurangan yang lain

ialah tes tersebut baru memberi hasil positif setelah 5-8 minggu dan jika positif hanya berarti

sedang atau pernah menderita L.G.V.

Pada tes Frei terbalik, antigen diambil dari penderita yang tersangka menderita L.G.V.,

kemudian disuntikkan pada penderita L.G.V. jika positif berarti penderita yang tersangka

menderita L.G.V.

Melakukan pemeriksaan sigmoidoskopi dan kolonoskopi kadang-kadang diperlukan.

Ditemukannya duh mukopurulen, eritema yang meluas dan mukosa rektum yang rapuh dengan

gambaran ulkus menyebar merupakan gambaran yang khas untuk L.G.V.


2.7 Tatalaksana

Penderita LGV akut dianjurkan untuk istirahat total dan diberika terapi untuk gejala sistemik

yang timbul yaitu meliputi terapi berikut

Pengobatan

 Regimen yang dianjurkan oleh National Guideline for the management of Lymphogranuloma

Venereum dan US. Departement of health and Human service, public Health sevice center for

disease control and prevention adalah Doksisiklin 2 x 100 mg peroral selama 14-21 hari atau

tetrasiklin 2 gr/ hari atau minosiklin 300 mg diikuti 200 mg 2x/hari.

 Sulfonamid: dsis 3-5 gr / hari selama 7 hari.

 Eritormisin: pilihan kedua, dosis 4x500 mg/hari selama 21 hari, terutama pada kasus-kasus

alergi bat golongan tetrasiklin pada wanita hamil dan menyusui.

 Eritromycin ethylsuccinate 800 mg 4 x / hari selama 7 hari.

 Kotrimoksasol (trimetroprim 400 mg dan sulfametksasol 80 mg) 3 x 2 tablet selama 7 hari.

 Ofloxacin 400 mg 2x/hari selama 7 hari.

 Levofloxasin 500 mg 4x/hari selama 7 hari.

 Azitromicin 1 gram dsis tunggal.

Pembedahan

Tindakan pembedahan dilakukan pada stadium lanjut disamping pemberian antibiotika

pada abses multiple yang berfluktuasi dilakukan aspirasi berulang karena insisi dapat

memperlambat penyembuhan. Tindakan bedah antara lain vulvektomi local atau labiektomi pada

elephanthiasis labia. Dilatasi dengan Bougie pada striktur rekti atau kolostomi bila terjadi

abstruksi total, abses perianal dan perirectal. Proses ini mempunyai risiko untuk terjadinya
perforasi usus, harus dibatasi pada yang lunak, struktur yang pendek tidak berada di bawah

peritoneum dan jangan dilakukan bila striktur mudah terlepas atau bila terjadi perdarahan.

Operasi plastic dilakukan untuk elephantiasis penis, skrotum dan estiomen. Pasien harus

ditindaklanjuti sampai gejala dan keluhan sembuh. Pada sindrom inguinal dianjurkan pula untuk

beristirahat di tempat tidur. Pengobatan topikal berupa kompres terbuka jika abses telah

memecah, misalnya dengan larutan pemanganas kalikus 1/5.000. Insisi dan aspirasi dapat

dilakukan pada pengobatan L.G.V, mitra seksual juga harus diobati.

2.8 Diferensial Diagnosis

Diagnosis banding penyakit LVG dilakukan berdasarkan stadium penyakit yaitu

A. Stadium Primer Genital

1. Herpes Genital

Penyakit ini bersifat residif, dapat diserai dengan gatal atau nyeri, lesi berupa vesikel diatas

kulit yang eritematous dan berkelompok. Bila pecah tampak erosi dan tidak terdapat indurasi.

2. Sifilis

Lesi primer yang berlanjut pada lomfogranuloma venereum dapat dikelirukan dengan lesi

primer pada sifilis. Diagnosis dengan menemukan treponea pallidum pada pemeriksaan

penunjangdengan mikroskopis lapangan gelap. Adenitis inguinal akibat sifilis nampak lebih

kecil, keras dan tidak nyeri. Fase lanjut dari LGV berupa estiomeneyang disertai dengan

ulserasi dan sikatrik dapat dibedakan dari sifilis dengan tes serologi sifilis, CFT dan adanya

Spirochaeta.
3. Ulkus Molle

Ulkus pada ulkus mole dapat bervariasi dari satu sampai multipel yang disertai ulserasi. Bila

menyebabkan limfadenitis maka lesi primer masih tampak, kelima tanda

radang juga terdapat namun perlunakannya serentak. Pada pemeriksaan laboratorium

ditemukan H. Ducreyi.

B. Sindrom Inguinal

1. Granuloma Inguinalis: lesi pada kulit lebih khas, lebih besar dan lebih persisten daripada

LGV, ditemukan Donovan bodies. Limfadenitis inguinal pada granuloma inguinale tidak

khas. Dapat dijumpai esthiomene.

2. Limfadenopati inguinal: dapat merupakan kelanjutan dari suatu trauma pada kaki, keganasan

pada daerah genital, rektum dan abdominal, lifoma maligna, tuberculosis dan herpes genital.

3. TBC kulit: bila mengenai daerah inguinal terdapat persamaan dengan LGV. Keduanya

terdapat limfadenitis pada beberapa kelenjar, periadenitis sera pembentukan abses dan fistel

yang multipel. Pada TBC kulit tidak terdapat kelima tanda radang akut kecuali tumor, dan

biasanya pada inguinal lateral dan femoral sedangkan pada LGV terdapat pada inguinal media

2.9 Prognosis

Jika diobati secara dini, prognosisnya baik, tetapi jika terjadi komplikasi lanjut dapat

menyebabkan kematian. Reinfeksi dan relaps mungkin terjadi, terutam pada pasien human

immunodeficiency virus (HIV), pada pasien ini dapat berkembang dengan multipel abses,

sehingga memerlukan terai yang lebih lama karena resolusinya terlambat.


2.10 Komplikasi

Pada penyakit Limfogranuloma Venereum dapat terjadi beberapa komplikasi seperti

1. Dapat terjadi ruptur bubonuli sehingga terbentuk sinus dan fistel

2. Pada komplikasi jangka panjang dapat terjadi fibrosis dan jaringan parut pada penis

3. Pada wanita dapat terjadi servitis, perimetritis, dan salpingitis

4. Pada komplikasi sistemik dapat menyebabkan infeksi pulmo, perikarditis, arthritis,

konjungtivitis dan meningitis

2.11 Pencegahan

Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mencegah penularan Limfogranuloma Venereum,

antara lain:

1. Melakukan hubungan seks yang aman dan sehat

2. Melakukan pemeriksaan rutin terkait risiko Limfogranuloma Venereum untuk memantau

adanya Limfogranuloma Venereum terutama di stadium awal.


DAFTAR PUSTAKA

1. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2015. Pedoman Nasional Penanganan

Infeksi Menular Seksual (IMS).

2. Ceovic R, Jerkovic S. Lymphogranuloma venerum: diagnostic and treatment

challenges. 2015 Marc. Available from URL:

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4381887/. Accessed August 14, 2018.

3. Djuanda A, Nilasari H. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. 7th Ed. Jakarta: FK UI; 2016.

Chapter Limfogranuloma venerum; P 484-7

4. Ghosn A, Kurban A. Lymphogranuloma venereum. In: Wolff K, Goldsmith L, Katz S,

Editors. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. New York McGraw Hill

Companies; 2008 p. 1987- 90

Anda mungkin juga menyukai