Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

PENYAKIT INFEKSI CACING TAENIASIS

Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Patofisiologi

Dosen Pengampu: Ibu Hj. Henny Cahyaningsih SKp., MKes., AIFO.

Disusun oleh:

Meisya Alieffa Syakir

NIM P17320121424

TINGKAT I
SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN DAN PROFESI NERS
KEMENTRIAN KESEHATAN RI POLTEKKES KEMENKES BANDUNG
TAHUN AJARAN 2021/2022
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang,
Marilah kita panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan
rahmat-Nya kepada kita, termasuk kepada penyusun sehingga penyusun dapat menyelesaikan
makalah dengan judul Penyakit Infeksi Cacing Taeniasis. Penulisan makalah ini merupakan
salah satu tugas yang diberikan dalam mata kuliah Patofisiologi.

Makalah ini ditulis dari hasil penyusunan data-data yang di peroleh dari berbagai
sumber yang berkaitan dengan judul. Penyusun sangat berterima kasih atas pengetahuan yang
diberikan, sehingga makalah ini dibuat untuk digunakan dengan baik sebagai pembelajaran
dan untuk memenuhi tugas makalah mata kuliah Patofisiologi yang diberikan oleh Ibu Hj.
Henny Cahyaningsih S.Kp., M.Kes., AIFO. dan dibimbing oleh Ibu DR. Hj. Tri Hapsari R.
A., S.Kp., MKes.

Terlepas dari semua itu, penyusun menyadari bahwa masih ada banyak kekurangan
dari teknik penulisan maupun materi dalam makalah ini. Untuk itu penyusun mengharapkan
saran dan kritik dari semua pihak. Penyusun juga berharap makalah ini dapat bermanfaat
dalam menambah wawasan atau ilmu, umumnya bagi kita semua dan khususnya bagi
penyusun.

I
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................................. I

DAFTAR ISI............................................................................................................................ II

BAB I ......................................................................................................................................... 1

PENDAHULUAN .................................................................................................................... 1

A. Latar Belakang ................................................................................................................ 1

B. Rumusan Masalah ........................................................................................................... 2

C. Tujuan Penulisan ............................................................................................................. 2

BAB II ....................................................................................................................................... 3

PEMBAHASAN ....................................................................................................................... 3

A. Pengertian Penyakit Taeniasis ........................................................................................ 3

B. Etiologi dan Patofisiologi Penyakit Taeniasis ................................................................ 3

C. Gejala Klinis dan Pengobatan Penyakit Taeniasis .......................................................... 6

BAB III...................................................................................................................................... 9

PENUTUP................................................................................................................................. 9

A. Kesimpulan ..................................................................................................................... 9

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 10

II
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Taeniasis solium (taeniasis) dan sistiserkosis diklasifikasikan sebagai Neglected


Tropical Diseases (NTDs) atau Neglected Zoonotic Diseases (NZDs) yang disebabkan
oleh cacing pita Taenia solium (T. solium) masih menjadi masalah kesehatan di dunia,
terutama di negara berkembang. Infeksi ini umumnya ditemukan di daerah yang
masyarakatnya mempunyai kebiasaan mengkonsumsi daging babi mentah atau setengah
matang dan jarang ditemukan di negara Islam.

Hospes Defenitif Taenia Solium adalah manusia sedangkan hospes perantaranya


adalah babi dan manusia. Taeniasis yang disebabkan oleh infeksi T. solium dewasa dapat
menimbulkan gangguan pencernaan, diare, konstipasi, maupun asimptomatis (tanpa
gejala). Sistiserkosis pada manusia umumnya disebabkan infeksi oleh larva T. solium
yang mengenai otot dan sistem saraf pusat (SSP) disebut dengan neurosistiserkosis yang
dapat menimbulkan kejang epilepsi, sakit kepala, gejala neurologik, sampai kematian.

Taeniasis dan sistiserkosis merupakan penyakit endemic di negara berkembang


seperti Afrika, Timur Tengah, Eropa Barat, Meksiko, Amerika Tengah, Amerika Selatan
dan Asia diantaranya: Korea, Cina, Filipina termasuk Indonesia. Daerah di Indonesia
yang banyak ditemukan infeksi ini adalah di Bali, Papua dan Sumatera Utara. Laporan
Simanjuntak dalam Sandy, menunjukkan bahwa prevalensi taeniasis dan sistiserkosis di
Indonesia berkisar 2-48 %, dengan daerah Papua sebagai prevalensi tertinggi.

Penyakit Taeniasis dan sistiserkosis sangat berkaitan erat dengan faktor sosio kultural,
seperti cara pemeliharaan ternak yang tidak dikandangkan dan kebiasaan pengolahan
makanan yang kurang matang serta kebiasaan makan yang kurang sehat dan masih
rendahnya pemahaman masyarakat tentang kesehatan lingkungan. Untuk itu, pada
makalah ini akan membahas mengenai penyakit infeksi cacing taenia pada manusia yang
bersumber dari beberapa artikel jurnal yang terkait.

1
2

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan penyakit taeniasis?


2. Mengapa penyakit taeniasis dapat terjadi?
3. Bagaimana gejala klinis dan pengobatan penyakit taeniasis?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk memahami pengertian dari penyakit taeniasis.


2. Untuk mendalami etiologi dan patofisiologi penyakit taeniasis.
3. Untuk mengetahui gejala klinis dan pengobatan penyakit taeniasis.
3

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Penyakit Taeniasis

Taeniasis merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi cacing pita pada saluran
pencernaan dari genus Taenia dan infeksi oleh larvanya disebut Sistiserkosis di jaringan
lunak. Manusia merupakan hospes defenitif utama penyakit T. solium, T. saginata dan T.
asiatica, akan tetapi untuk T. solium dan T. asiatica manusia berperan sebagai induk
semang perantara. Hewan seperti babi adalah induk semang perantara untuk T. solium dan
T. asiatica, dan sapi sebagai induk semang perantara untuk T. saginata.

Manusia dapat terinfeksi Taeniasis dengan memakan daging sapi atau daging babi
yang mengandung larva (sistiserkus). Penularan sistiserkosis dapat melalui makanan atau
minuman yang tercemar oleh telur cacing Taenia spp dan bisa terjadi secara autoinfeksi
akibat kurangnya kebersihan. Diagnosis taeniasis berdasarkan penemuan telur cacing
dalam feses manusia. Individu yang mengalami taeniasis bersifat asimtomatik atau dapat
mengalami gejala gastrointestinal seperti nyeri perut, kembung, diare, atau mual.

Cacing dewasa menetap dan melekat pada mukosa saluran intestinal melalui kait atau
penghisap yang berada di bagian kepala (skoleks). Di belakang skoleks, terdapat leher
yang berfungsi untuk membentuk segmen tubuh cacing (proglotid). Setiap proglotid baru
yang terbentuk akan menggeser proglotid yang lebih lama ke bagian belakang. Proglotid
yang matur bersifat hermaprodit dan dapat memproduksi telur. Telur dan proglotid inilah
yang akan terlihat pada feses individu yang mengalami taeniasis.

B. Etiologi dan Patofisiologi Penyakit Taeniasis

1. Etiologi Penyakit Taeniasis


Taeniasis terjadi saat telur atau larva cacing pita masuk ke dalam tubuh. Jika
seseorang mengonsumsi makanan atau minuman terkontaminasi kotoran manusia atau
hewan yang mengandung cacing pita, maka ia menelan telur cacing pita berukuran
kecil. Setelah tertelan, telur akan berkembang menjadi larva di saluran pencernaan.
Manusia bisa menelan larva cacing pita yang tersembunyi pada daging hewan yang
mentah atau dimasak tidak matang.

3
4

Ada beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko seseorang menderita


taeniasis, yaitu tinggal di lingkungan sanitasi yang buruk, berada di daerah yang
penduduknya sering mengonsumsi babi atau sapi yang tidak dimasak matang, berada
di daerah yang mana hewan dilepas bebas dan lemahnya daya tahan tubuh. Cacing
pita dewasa memanjang sampai 15 meter dan bertahan hidup hingga 30 tahun dalam
tubuh inangnya. Berikut jenis-jenis cacing pita yang bisa menginfeksi tubuh manusia:
a. Taenia Saginata (cacing pita daging sapi)
Cacing dewasa dapat ditemukan dalam usus manusia penderita taeniasis,
berbentuk pipih panjang seperti pita dan tubuhnya beruas-ruas (segmen).
Panjangnya rata-rata 5m bahkan bisa mencapai 25m yang terdiri atas lebih dari
1000 segmen (Pawlowski & Schultz 1972: Soulsby 1982: Smyth 2004). Cacing
ini memiliki kepala yang disebut scolex, berdiameter 2mm menempel pada
permukaan selaput lendir usus manusia.
Ketika mencapai stadium dewasa, lebih dari separuh segmennya telah
mengandung telur, namun hanya beberapa puluh segmen yang mengandung telur
matang disebut segmen gravid. Segmen gravid kurang lebih mengandung 800.000
telur pada setiap segmen (Soulsby 1982). Berbeda dengan T. solium. segmen
gravid T. saginata spontan keluar dari anus penderita secara aktif. kadang-kadang
keluar bersama tinja ketika defekasi.
Apabila telur yang bebas dari segmen gravid tersebut mencemari
lingkungan pakan ternak sapi atau kerbau, telur yang tertelan ternak menetas
dalam ususnya. Embrio (oncosphere) cacing menembus dinding usus kemudian
bermigrasi ke seluruh bagian tubuh melalui pembuluh darah atau kelenjar getah
bening. Selama migrasi oncosphere mengalami perkembangan sampai tiba pada
habitat yang cocok tumbuh menjadi larva setelah 2-3 bulan.
Larva ini juga disebut metacestoda atau cacing gelembung berukuran (4-5)
mm x (7.5-10) mm. Larva yang menyerupai balon kecil yang berisi cairan ini
disebut Cysticercas borvis ditemukan dalam jaringan otot organ tubuh sapi atau
kerbau. Habitat utamanya adalah otot lidah, otot pengunyah, diafragma jantung
(Urquhan et al. 1987). Namun dengan infeksi percobaan (T. saginata strain Bali)
cysticereus tersebar ke seluruh otot sapi (Dharmawan 1995).
b. Taenia Solium (cacing pita daging babi)
Cacing ini disebut cacing pita daging babi karena hewan babi bertindak
sebagai inang antaranya yang mengandung larvanya. Ukuran cacing dewasa relatif
5

lebih pendek dibandingkan dengan T. saginata yaitu antara 2-8m (Noble & Noble
1982, Soulsby 1982). Setiap individu cacing dewasa terdiri atas 800-900 segmen
(Cheng 1986) hingga 1000 segmen (Soulsby 1983 Noble & Noble 1982). Segmen
gravid T. solium dikeluarkan bersama-sama tinja penderita T. solium.
Siklus hidup T. solium secara umum memiliki pola yang sama dengan
Taenia yang lain, yang membedakan adalah inang yaitu babi. Babi adalah hewan
omnivora termasuk makan tinja manusia, oleh karena itu sering ditemui beberapa
ekor babi menderita cysticeronis berat, sehingga sekali menyayat sepotong daging
tampak ratusan Cysticercax cellalesse (Noble & Noble 1982). Larva ini mudah
ditemukan dalam jaringan otot melintang tubuh babi.
Telur T. solium juga menetas dalam usus manusia sehingga manusia dapat
bertindak sebagai inang walaupun secara kebetulan (Townes 2004 Wandra er al.
2003). Pada tubuh manusia penderita cysticercosis, larva cacing (Cynicereux
cellulosar) dapat ditemukan dalam jaringan otak besar maupun kecil, selaput otak,
jantung, mata, dan di bawah kulit (Noble & Noble 1982; Simanjuntak et al 1997;
Wandra et al. 2003).
Penularan dapat terjadi secara langsung karena menelan telur cacing yang
mengontaminasi makanan atau minuman. Tetapi yang sering terjadi adalah
autoinfeksi melalui tangan yang kurang bersih setelah menggaruk-guruk bagian
tubuh yang terkontaminasi telur cacing atau secara internal yang diakibatkan oleh
refleks muntah pada penderita taeniasis.
c. Taenia Saginata Taiwannesis (cacing pita daging sapi/babi yang ada di Asia)
Secara morfologis cacing ini sangat mirip dengan T. saginata, memiliki
nama lain T. asiatica (Eom & Rim 1993 Didalam Darmawan 1995) Pada
prinsipnya siklus hidupnya tidak berbeda dengan taenia yang lain. Namun yang
menjadi perhatian adalah cysticercusnya hanya ditemukan dalam organ hati babi
sebagai inang antara, walaupun secara eksperimental juga berkembang dalam
tubuh sapi (Dharmawan 1995).
Cacing ini panjangnya mencapai 341 cm, dengan lebar maksimum 9,5 mm
(EOM dan RUM, 1993). Adapun, induk semang perantara T. asiatica adalah babi
domestik dan babi liar, kadang-kadang juga sapi, kambing atau kera (OIE, 2005).
Bentuk larva T. asiatica disebut Cysticercus Vicerotropika (EOM et al., 2002)
Keberadaan cacing ini di Indonesia relatif baru dideskripsikan dari penderita di
Sumatra Utara (Fan et al. 1989; Dharmawan 1995).
6

2. Patofisiologi Penyakit Taeniasis


Patofisiologi taeniasis dimulai dari masuknya Taenia sp. ke saluran
pencernaan dan berdiam di jejunum. Cacing dewasa akan melekatkan diri ke mukosa
usus melalui penghisap dan menimbulkan gejala. Manusia akan terinfeksi oleh Taenia
sp. ketika menelan larva sistiserkus. Untuk spesies T. solium, manusia juga dapat
terinfeksi melalui telur dan proglotid secara langsung, namun hal ini akan
menyebabkan sistiserkosis, bukan taeniasis.
Larva yang sudah masuk akan menetap di jejunum dan berkembang menjadi
cacing dewasa yang membutuhkan waktu sekitar 2–3 bulan. Cacing dewasa memiliki
penghisap di bagian skoleks sehingga dapat menempel di mukosa saluran pencernaan.
Penghisap ini berfungsi untuk mengambil sari-sari makanan dari pembuluh darah
sehingga individu yang terinfeksi dapat mengalami gejala-gejala saluran cerna, lemas,
mengalami penurunan berat badan dan dapat mengalami anemia.
Menurut Symons (1989) jumlah cacing pita dalam usus kurang berpengaruh
terhadap perubahan patologis dibandingkan dengan ukuran tubuh cacing. Walaupun
terdapat 1-2 ekor dan ukurannya besar dampak patologisnya lebih nyata. Penderita
taeniasis jarang menunjukkan gejala yang khas walaupun di dalam ususnya terdapat
cacing taenia selama bertahun-tahun, tetapi biasanya hanya terdapat satu ekor.
Keluhan yang sangat mengganggu dalam bentuk kejiwaan adalah keluarnya segmen
gravid dari arius penderita yang menimbulkan kegelisahan (Dharmawan 1995).

C. Gejala Klinis dan Pengobatan Penyakit Taeniasis

1. Gejala Klinis Penyakit Taeniasis


Kasus taeniasis pada manusia bisa tanpa gejala (asimptomatis) ataupun hanya
sedikit menimbulkan gejala. Gejala klinis dapat timbul sebagai akibat iritasi mukosa
usus atau toksin yang dihasilkan cacing. Gejala tersebut antara lain rasa tidak enak
pada lambung, mual, badan lemah, berat badan menurun, diare, sakit kepala,
konstipasi (sukar buang air besar) dan nafsu makan menurun. Gejala tersebut disertai
dengan proglottid cacing yang bergerak-gerak lewat dubur bersama atau tanpa tinja.
Sehingga secara psikologis penderita dapat merasa cemas dan gelisah.
Gejala berat dapat terjadi apabila proglotid berpindah ke organ lain seperti
apendiks, uterus, saluran empedu, dan nasofaringeal, dan dapat menyebabkan
apendisitis, kolangitis, atau sindrom lain. Gejala sistiserkosis bervariasi tergantung
dari lokasi, jumlah larva dan respon pejamu. Kebanyakan gejala sistiserkosis yang
7

timbul merupakan hasil dari inflamasi degenerasi larva atau efek dari massa parasit.
Sistiserkosis dapat tanpa gejala apabila hanya terdapat sedikit lesi dan terletak di
lokasi yang tidak strategis misalnya di otot atau beberapa daerah di otak, tetapi tetap
bisa didiagnosa dengan sistiserkosis.
Larva di otak atau mata dapat menimbulkan gejala berat, bersifat neurotropik,
sehingga ditemukan di jaringan saraf atau neurosistiserkosis yang merupakan
sistiserkosis berat. Pada beberapa kasus, gejala dapat menimbulkan bahaya. Apabila
terjadi tiba-tiba, hal ini disebabkan karena adanya blok cerebrospinal fluid (CSF)
akibat sistiserkus. Kejang merupakan manifestasi utama neurosistiserkosis (70-90%)
selain sakit kepala kronik. Penelitian yang dilakukan oleh Urthy et al dalam
Rajhsekar,10 menunjukkan bahwa dari 2.531 pasien yang menderita epilepsi terdapat
10,4% menderita sistiserkosis.
Sedangkan penelitian Sawhney et al menunjukkan bahwa 31% penderita
neurosistiserkosis menimbulkan kejang. Gejala lain adalah peningkatan tekanan
intrakranial (mual dan muntah), gangguan status mental termasuk psikosis, vertigo,
ataksia, demensia, dan gejala fokal neurologis bahkan kematian. Pasien yang
menderita sistiserkosis dapat juga memperlihatkan tanda-tanda seperti benjolan di
bawah kulit, dan penderita sistiserkosis otak seringkali mengalami luka bakar.
Diagnosis taeniasis dapat ditegakkan dengan cara anamnesis, untuk
menanyakan riwayat pernah mengeluarkan proglotid cacing pita dan ditemukannya
telur atau proglotid dalam tinja. Adapun pemeriksaan penunjang adalah pemeriksaan
laboratorium mikroskopik dengan menemukan telur dalam specimen tinja segar,
secara mikroskopik dengan menemukan proglotid pada tinja dan pemeriksaan
laboratorium darah tepi dapat ditemukan eosinophilia, leukosit LED meningkat.
2. Pengobatan Penyakit Taeniasis
Pengobatan taeniasis bertujuan untuk menghentikan perkembang biakan
cacing, mencegah komplikasi, dan mencegah penularan kepada orang lain. Untuk
membunuh cacing pita dan mengeluarkannya dari dalam tubuh, dokter akan
memberikan obat antihelmintik, seperti albendazole atau praziquantel. Praziquantel
diberikan dalam dosis sekali minum, sedangkan albendazole digunakan selama 3 hari
berturut-turut. Pada pasien dengan komplikasi berat, obat-obatan di atas perlu
digunakan dalam jangka panjang.
Selain obat antihelmintik, dokter juga dapat memberikan obat kortikosteroid
untuk mengatasi peradangan akibat komplikasi taeniasis. Jenis obat yang digunakan
8

antara lain deksametason atau prednison. Untuk memastikan efektivitas pengobatan,


dokter akan menganjurkan pemeriksaan feses setelah pengobatan selesai. Jika telur,
larva, atau bagian tubuh cacing pita sudah tidak ada di dalam tubuh, maka pengobatan
dinilai berhasil.
Pengobatan neurosistiserkosis aktif memerlukan berbagai pengobatan
tambahan untuk mengatasi kista hidup, gejala, dan reaksi akibat pengobatannya
sendiri. Obat yang digunakan adalah praziquantel (50-100 mg/kg dalam 3 dosis
terbagi) selama 14 hari, albendazol (15 mg/kg bb dalam 2-3 dosis terbagi) selama 8
hari, kortikosteroid (10-30 mg dexametason perhari, atau 60 mg prednison dilanjutkan
dengan tappering off dan obat antikonvulsan seperti fenitoin atau fenobarbital.
Jika infeksi taeniasis meluas ke organ lain, seperti hati, paru-paru, atau mata,
dokter akan melakukan tindakan bedah dan tindakan bedah juga dilakukan apabila
taeniasis menyebabkan penyumbatan pada saluran cerna. Pengobatan sistiserkosis
pula dapat dilakukan pembedahan untuk sistiserkus pada lokasi seperti mata, otak,
dan tulang belakang. Pencegahan penyakit taeniasis dan sistiserkosis dapat dilakukan
dengan cara:
1. Mengobati penderita (praziquantel, mebendazole, albendazole, niclosamide, dan
atabrin) untuk menghilangkan sumber infeksi dan mencegah terjadinya
autoinfeksi dengan larva cacing.
2. Memelihara kebersihan diri maupun lingkungan
3. Pengaturan pemeliharaan sapi babi seperti memelihara sapi pada tempat yang
tidak tercemar atau membuat kandang sapi agar tidak dapat berkeliaran.
4. Pemeriksaan daging oleh dokter hewan di RPH (Rumah Pemotongan Hewan),
sehingga babi mengandung kista tidak sampai dikonsumsi masyarakat.
5. Menghilangkan kebiasaan makan makanan yang mengandung daging setengah
matang atau mentah.
6. Memasak daging babi di atas suhu 50 C selama 30 menit untuk mematikan larva
sistiserkus atau menyimpan daging babi/sapi pada suhu 10 C selama 5 hari.
7. Memberikan vaksin pada hewan ternak babi (penggunaan crude antigen yang
berasal dari onkosfer, sistisersi, atau cacing dewasa taenia solium).
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Taeniasis adalah penyakit cacing pita yang disebabkan oleh cacing Taenia dewasa,
sedangkan sistiserkosis adalah penyakit pada jaringan lunak yang disebabkan oleh larva
dari salah satu spesies cacing Taenia. Induk semang definitif dari T. saginata, T. solium
dan T. asiatica hanya manusia, kecuali T. solium dan T. asiatica manusia juga berperan
sebagai induk semang perantara. Sedangkan, babi adalah induk semang perantara untuk
T. solium dan sapi adalah induk semang perantara untuk T. saginata.

Penularan taeniasis yaitu memakan daging yang mengandung larva, baik yang
terdapat pada daging sapi ataupun babi dan tinggal di lingkungan sanitasi yang buruk.
Taenia sp. masuk ke saluran pencernaan dan berdiam di jejunum. Kemudian berkembang
menjadi cacing dewasa dalam waktu 2–3 bulan. Cacing dewasa ini mengambil sari-sari
makanan dari pembuluh darah sehingga orang yang terinfeksi dapat mengalami gejala
saluran cerna, lemas, penurunan berat badan, anemia dan dapat tanpa gejala.

Diagnosis taeniasis dengan cara anamnesis, pemeriksaan laboratorium mikroskopik


untuk menemukan adanya telur cacing atau proglottid. Pengobatan taeniasis dengan obat
antihelmintik, seperti albendazole atau praziquantel. Jika infeksi taeniasis meluas ke
organ lain seperti hati, paru-paru atau mata, dokter akan melakukan tindakan bedah.
Adapun pencegahan penyakit dapat dilakukan dengan menghilangkan sumber infeksi dan
menghilangkan kebiasaan memakan daging setengah matang atau mentah.

9
DAFTAR PUSTAKA

Estuningsih, S. E. (2009). Taeniasis dan sistiserkosis merupakan penyakit zoonosis


parasiter. Wartazoa, 19(2), 84-92.
https://scholar.archive.org/work/sy2chbuzhfbmxn44lxm4akmff4/access/wayback/http://
medpub.litbang.pertanian.go.id:80/index.php/wartazoa/article/download/925/934

Ito, A., & Margono, S. S. Taeniasis/Sistiserkosis di antara Anggota Keluarga di Beberapa


Desa, Kabupaten Jayawijaya, Papua.
http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/2/14582b541a79ec198f78afc0d08be05f6249b
786.pdf

Susanty, E. (2019). Taeniasis Solium dan Sistiserkosis pada Manusia. Jurnal Ilmu
Kedokteran, 12(1), 1-6. http://jik.fk.unri.ac.id/index.php/jik/article/view/114

Agustin, H. (2018). Penyakit Taeniasis. Kediri. https://www.scribd.com/doc/444024623

10

Anda mungkin juga menyukai