Disusun oleh:
NIM P17320121424
TINGKAT I
SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN DAN PROFESI NERS
KEMENTRIAN KESEHATAN RI POLTEKKES KEMENKES BANDUNG
TAHUN AJARAN 2021/2022
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang,
Marilah kita panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan
rahmat-Nya kepada kita, termasuk kepada penyusun sehingga penyusun dapat menyelesaikan
makalah dengan judul Penyakit Infeksi Cacing Taeniasis. Penulisan makalah ini merupakan
salah satu tugas yang diberikan dalam mata kuliah Patofisiologi.
Makalah ini ditulis dari hasil penyusunan data-data yang di peroleh dari berbagai
sumber yang berkaitan dengan judul. Penyusun sangat berterima kasih atas pengetahuan yang
diberikan, sehingga makalah ini dibuat untuk digunakan dengan baik sebagai pembelajaran
dan untuk memenuhi tugas makalah mata kuliah Patofisiologi yang diberikan oleh Ibu Hj.
Henny Cahyaningsih S.Kp., M.Kes., AIFO. dan dibimbing oleh Ibu DR. Hj. Tri Hapsari R.
A., S.Kp., MKes.
Terlepas dari semua itu, penyusun menyadari bahwa masih ada banyak kekurangan
dari teknik penulisan maupun materi dalam makalah ini. Untuk itu penyusun mengharapkan
saran dan kritik dari semua pihak. Penyusun juga berharap makalah ini dapat bermanfaat
dalam menambah wawasan atau ilmu, umumnya bagi kita semua dan khususnya bagi
penyusun.
I
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI............................................................................................................................ II
BAB I ......................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN .................................................................................................................... 1
BAB II ....................................................................................................................................... 3
PEMBAHASAN ....................................................................................................................... 3
BAB III...................................................................................................................................... 9
PENUTUP................................................................................................................................. 9
A. Kesimpulan ..................................................................................................................... 9
II
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit Taeniasis dan sistiserkosis sangat berkaitan erat dengan faktor sosio kultural,
seperti cara pemeliharaan ternak yang tidak dikandangkan dan kebiasaan pengolahan
makanan yang kurang matang serta kebiasaan makan yang kurang sehat dan masih
rendahnya pemahaman masyarakat tentang kesehatan lingkungan. Untuk itu, pada
makalah ini akan membahas mengenai penyakit infeksi cacing taenia pada manusia yang
bersumber dari beberapa artikel jurnal yang terkait.
1
2
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
BAB II
PEMBAHASAN
Taeniasis merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi cacing pita pada saluran
pencernaan dari genus Taenia dan infeksi oleh larvanya disebut Sistiserkosis di jaringan
lunak. Manusia merupakan hospes defenitif utama penyakit T. solium, T. saginata dan T.
asiatica, akan tetapi untuk T. solium dan T. asiatica manusia berperan sebagai induk
semang perantara. Hewan seperti babi adalah induk semang perantara untuk T. solium dan
T. asiatica, dan sapi sebagai induk semang perantara untuk T. saginata.
Manusia dapat terinfeksi Taeniasis dengan memakan daging sapi atau daging babi
yang mengandung larva (sistiserkus). Penularan sistiserkosis dapat melalui makanan atau
minuman yang tercemar oleh telur cacing Taenia spp dan bisa terjadi secara autoinfeksi
akibat kurangnya kebersihan. Diagnosis taeniasis berdasarkan penemuan telur cacing
dalam feses manusia. Individu yang mengalami taeniasis bersifat asimtomatik atau dapat
mengalami gejala gastrointestinal seperti nyeri perut, kembung, diare, atau mual.
Cacing dewasa menetap dan melekat pada mukosa saluran intestinal melalui kait atau
penghisap yang berada di bagian kepala (skoleks). Di belakang skoleks, terdapat leher
yang berfungsi untuk membentuk segmen tubuh cacing (proglotid). Setiap proglotid baru
yang terbentuk akan menggeser proglotid yang lebih lama ke bagian belakang. Proglotid
yang matur bersifat hermaprodit dan dapat memproduksi telur. Telur dan proglotid inilah
yang akan terlihat pada feses individu yang mengalami taeniasis.
3
4
lebih pendek dibandingkan dengan T. saginata yaitu antara 2-8m (Noble & Noble
1982, Soulsby 1982). Setiap individu cacing dewasa terdiri atas 800-900 segmen
(Cheng 1986) hingga 1000 segmen (Soulsby 1983 Noble & Noble 1982). Segmen
gravid T. solium dikeluarkan bersama-sama tinja penderita T. solium.
Siklus hidup T. solium secara umum memiliki pola yang sama dengan
Taenia yang lain, yang membedakan adalah inang yaitu babi. Babi adalah hewan
omnivora termasuk makan tinja manusia, oleh karena itu sering ditemui beberapa
ekor babi menderita cysticeronis berat, sehingga sekali menyayat sepotong daging
tampak ratusan Cysticercax cellalesse (Noble & Noble 1982). Larva ini mudah
ditemukan dalam jaringan otot melintang tubuh babi.
Telur T. solium juga menetas dalam usus manusia sehingga manusia dapat
bertindak sebagai inang walaupun secara kebetulan (Townes 2004 Wandra er al.
2003). Pada tubuh manusia penderita cysticercosis, larva cacing (Cynicereux
cellulosar) dapat ditemukan dalam jaringan otak besar maupun kecil, selaput otak,
jantung, mata, dan di bawah kulit (Noble & Noble 1982; Simanjuntak et al 1997;
Wandra et al. 2003).
Penularan dapat terjadi secara langsung karena menelan telur cacing yang
mengontaminasi makanan atau minuman. Tetapi yang sering terjadi adalah
autoinfeksi melalui tangan yang kurang bersih setelah menggaruk-guruk bagian
tubuh yang terkontaminasi telur cacing atau secara internal yang diakibatkan oleh
refleks muntah pada penderita taeniasis.
c. Taenia Saginata Taiwannesis (cacing pita daging sapi/babi yang ada di Asia)
Secara morfologis cacing ini sangat mirip dengan T. saginata, memiliki
nama lain T. asiatica (Eom & Rim 1993 Didalam Darmawan 1995) Pada
prinsipnya siklus hidupnya tidak berbeda dengan taenia yang lain. Namun yang
menjadi perhatian adalah cysticercusnya hanya ditemukan dalam organ hati babi
sebagai inang antara, walaupun secara eksperimental juga berkembang dalam
tubuh sapi (Dharmawan 1995).
Cacing ini panjangnya mencapai 341 cm, dengan lebar maksimum 9,5 mm
(EOM dan RUM, 1993). Adapun, induk semang perantara T. asiatica adalah babi
domestik dan babi liar, kadang-kadang juga sapi, kambing atau kera (OIE, 2005).
Bentuk larva T. asiatica disebut Cysticercus Vicerotropika (EOM et al., 2002)
Keberadaan cacing ini di Indonesia relatif baru dideskripsikan dari penderita di
Sumatra Utara (Fan et al. 1989; Dharmawan 1995).
6
timbul merupakan hasil dari inflamasi degenerasi larva atau efek dari massa parasit.
Sistiserkosis dapat tanpa gejala apabila hanya terdapat sedikit lesi dan terletak di
lokasi yang tidak strategis misalnya di otot atau beberapa daerah di otak, tetapi tetap
bisa didiagnosa dengan sistiserkosis.
Larva di otak atau mata dapat menimbulkan gejala berat, bersifat neurotropik,
sehingga ditemukan di jaringan saraf atau neurosistiserkosis yang merupakan
sistiserkosis berat. Pada beberapa kasus, gejala dapat menimbulkan bahaya. Apabila
terjadi tiba-tiba, hal ini disebabkan karena adanya blok cerebrospinal fluid (CSF)
akibat sistiserkus. Kejang merupakan manifestasi utama neurosistiserkosis (70-90%)
selain sakit kepala kronik. Penelitian yang dilakukan oleh Urthy et al dalam
Rajhsekar,10 menunjukkan bahwa dari 2.531 pasien yang menderita epilepsi terdapat
10,4% menderita sistiserkosis.
Sedangkan penelitian Sawhney et al menunjukkan bahwa 31% penderita
neurosistiserkosis menimbulkan kejang. Gejala lain adalah peningkatan tekanan
intrakranial (mual dan muntah), gangguan status mental termasuk psikosis, vertigo,
ataksia, demensia, dan gejala fokal neurologis bahkan kematian. Pasien yang
menderita sistiserkosis dapat juga memperlihatkan tanda-tanda seperti benjolan di
bawah kulit, dan penderita sistiserkosis otak seringkali mengalami luka bakar.
Diagnosis taeniasis dapat ditegakkan dengan cara anamnesis, untuk
menanyakan riwayat pernah mengeluarkan proglotid cacing pita dan ditemukannya
telur atau proglotid dalam tinja. Adapun pemeriksaan penunjang adalah pemeriksaan
laboratorium mikroskopik dengan menemukan telur dalam specimen tinja segar,
secara mikroskopik dengan menemukan proglotid pada tinja dan pemeriksaan
laboratorium darah tepi dapat ditemukan eosinophilia, leukosit LED meningkat.
2. Pengobatan Penyakit Taeniasis
Pengobatan taeniasis bertujuan untuk menghentikan perkembang biakan
cacing, mencegah komplikasi, dan mencegah penularan kepada orang lain. Untuk
membunuh cacing pita dan mengeluarkannya dari dalam tubuh, dokter akan
memberikan obat antihelmintik, seperti albendazole atau praziquantel. Praziquantel
diberikan dalam dosis sekali minum, sedangkan albendazole digunakan selama 3 hari
berturut-turut. Pada pasien dengan komplikasi berat, obat-obatan di atas perlu
digunakan dalam jangka panjang.
Selain obat antihelmintik, dokter juga dapat memberikan obat kortikosteroid
untuk mengatasi peradangan akibat komplikasi taeniasis. Jenis obat yang digunakan
8
PENUTUP
A. Kesimpulan
Taeniasis adalah penyakit cacing pita yang disebabkan oleh cacing Taenia dewasa,
sedangkan sistiserkosis adalah penyakit pada jaringan lunak yang disebabkan oleh larva
dari salah satu spesies cacing Taenia. Induk semang definitif dari T. saginata, T. solium
dan T. asiatica hanya manusia, kecuali T. solium dan T. asiatica manusia juga berperan
sebagai induk semang perantara. Sedangkan, babi adalah induk semang perantara untuk
T. solium dan sapi adalah induk semang perantara untuk T. saginata.
Penularan taeniasis yaitu memakan daging yang mengandung larva, baik yang
terdapat pada daging sapi ataupun babi dan tinggal di lingkungan sanitasi yang buruk.
Taenia sp. masuk ke saluran pencernaan dan berdiam di jejunum. Kemudian berkembang
menjadi cacing dewasa dalam waktu 2–3 bulan. Cacing dewasa ini mengambil sari-sari
makanan dari pembuluh darah sehingga orang yang terinfeksi dapat mengalami gejala
saluran cerna, lemas, penurunan berat badan, anemia dan dapat tanpa gejala.
9
DAFTAR PUSTAKA
Susanty, E. (2019). Taeniasis Solium dan Sistiserkosis pada Manusia. Jurnal Ilmu
Kedokteran, 12(1), 1-6. http://jik.fk.unri.ac.id/index.php/jik/article/view/114
10