Pada tahun 2028, menghasilkan perawat yang unggul dalam penerapan keterampilan
keperawatan lansia berbasis Iptek keperawatan
Puji syukur ke hadirat Allah SWT. Yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya
sehingga kami bisa menyelesaikan pembuatan makalah ini dengan judul “Asuhan Keperawatan
Gastroenteritis”
Makalah ini dibuat bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Keperawatan
Medikal Bedah 1. Dalam penyusunan makalah ini penulis banyak mendapat bimbingan dan
petunjuk dari dosen pembimbing,buku referensi, dan berbagai situs web mengenai topik
makalah. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Suratun, SKM., M.Kep., sebagai dosen penanggung jawab mata kuliah Keperawatan
Medikal bedah 1
2. Suhana Haeriyanto, SKM., M.Kes., sebagai dosen pembimbing mata kuliah Keperawatan
Medikal Bedah 1
Tak ada gading yang tak retak, maka terdapat kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena
itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari para pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.
Penulis
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Data World Health Organisation (WHO) memperkirakan angka insidensi di
seluruh dunia sekitar 17 juta jiwa per tahun, angka kematian akibat Thypoid Abdominalis
mencapai 600.000 dan 70% nya terjadi di Asia. Di Indonesia sendiri, penyakit Thypoid
Abdominalis bersifat endemik, menurut WHO angka penderita Thypoid Abdominalis di
Indonesia mencapai 81% per 100.000 (WHO, 2013).
Typus abdominalis merupakan penyakit infeksi usus halus yang disebabkan oleh
bakteri Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi. Bakteri ini ditularkan melalui
makanan dan minuman yang tekontaminasi oleh kotoran atau tinja dari penderita typus
abdominalis. Penyakit ini banyak ditemukan dinegaranegara berkembang seperti di
Indonesia. Penyakit ini dianggap serius karena dapat disertai berbagai penyakit dan juga
mempunyai angka kematian yang cukup tinggi, yaitu 1-5 % dari penderita (Darmawati,
2009).
Typus merupakan masalah kesehatan masyarakat di dunia. Sebanyak 22 juta
kasus tifoid yang di temukan pertahun dan menyebabkan 216.000 -600.000 kematian di
dunia. Studi yang dilakukan di beberapa negara Asia pada anak usia 5-15 tahun
menunjukkan bahwa insidensi dengan biakan darah positif mencapai 180-194 per
100.000 anak, di Asia Selatan pada usia 5-15 tahun sebesar 400-500 per 100.000 anak, di
Asia Timur Laut kurang dari 100 kasus per 100.000 anak dan di Asia Tenggara 100-200
per 100.000 anak.
Penyebab dari typus abdominalis adalah bakteri Salmonella typhi. Penyebaran
typus abdominalis terjadi melalui makanan dan air yang telah tercemar atau
terkontaminasi oleh tinja atau urin penderita typus abdominalis. Bakteri patogen ini
disebarkan salah satunya oleh lalat. Dari tempat yang kotor lalat akan hinggap pada
makanan yang terbuka, peralatan makan seperti sendok, garpu, piring dan perkakas
makan lainnya. Disini lalat akan meninggalkan bakteri patogen yang terbawa oleh
tubuhnya terutama pada bagian kakinya. Seekor lalat dapat membawa 6.500.000 jasad
renik (Maryantuti, 2008).
Tanda dan gejala typus abdominalis akan muncul setelah terinfeksi dan
menyebabkan masalah keperawatan bagi penderitanya. Umumnya gejala klinis timbul 8-
14 hari setelah infeksi yang ditandai dengan demam yang tidak turun selama lebih dari 1
minggu terutama sore hari,pola demam yang khas adalah kenaikan tidak langsung tinggi
tetapi bertahap seperti anak tangga (stepladder), sakit kepala hebat, nyeri otot, kehilangan
selera makan, mual, muntah, sering sukar buang air besar (konstipasi) dan sebaliknya
dapat terjadi diare. Menurut thomas dalam Sucipto (2015) masa inkubasi penyakit 7-14
hari dengan rentang 3- 30 hari, tergantung jumlah bakteri yang masuk gejala yang
muncul tergantung usia penderita. Gejala klinis bervariasi mulai yang ringan seperti
demam ringan, lemas, batuk ringan hingga berat berupa keluhan abdomen hingga
komplikasi multipel.
Komplikasi pada pasien typus abdominalis biasanya muncul pada minggu ke 2.
Penanganan dan pengobatan yang terlambat akan menimbulkan masalah komplikasi
typus abdominalis mulai dari yang ringan sampai berat bahkan kematian. Beberapa
komplikasi yang sering terjadi pada typus abdominalis adalah perdarahan usus dan
perforasi, pembengkakan dan peradangan pada otot jantung, pneumonia, pankreatitis,
infeksi ginjal atau kandung kemih, meningitis (Rezeki, 2011). Menurut susilaningrum
(2013) komplikasi yang terjadi antara lain: perdarahan usus, perforasi usus, peritonitis.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis berupa demam, gangguan
gastrointestinal dan gangguan lain yang muncul. Penentuan diagnosis yang tepat akan
menentukan intervensi keperawatan yang sesuai sehingga masalah keperawatan akan
teratasi. Salah satu intervensi keperawatan terhadap pasien dengan masalah keperawatan
hipertermi adalah melakukan tindakan keperawatan dengan pemberian kompres,
pemberian makanan yang mengandung cukup cairan, rendah serat dan tinggi protein,
istirahat total selama demam, pemberian terapi sesuai progam dokter, memakaikan pasien
pakaian tipis menyerap keringat, memberikan rehidrasi berupa minum, sayuran berkuah
dan buah yang boleh di konsumsi pasien (Ngastiah, 2005).
Peran perawat dalam hal penanganan masalah kesehatan ini mencakup 4 peranan
yaitu upaya peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif),
penyembuhan penyakit (kuratif), dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif) yang
dilaksanakan secara menyeuruh, hal-hal yang bias dilakukan adalah seperti memberikan
penyuluhan mengenai masalah kesehatan, memberikan pendidikan kesehatan kepada
pasien maupun masyarakat seperti memberikan informasi bagaimana melakukan
pencegahan secara dini terhadap masalah Thypoid Abdominalis dan upaya
penyembuhannya. Serta peran kita yang terakhir adalah bagaimana cara kita memberikan
pelayanan yang baik sebagai seorang perawat dalam pemulihan kesehatan pasien atau
masyarakat (Syaiful, 2015).
2.1.1 Definisi
Thypoid Abdominalis ialah penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai saluran
cerna dengan gejala demam lebih dari 7 hari, gangguan pada saluran cerna dan
gangguan kesadaran (Wijayaningsih, 2013).
Thypoid Abdominalis ialah penyakit sistemik akut yang di sebabkan oleh infeksi
bakteri negatif, genus salmonella yaitu salmonella typhi yang masuk ke dalam
makanan, minuman atau bahan-bahan lain yang dicemari bakteri tersebut (Yudi,
2008). Thypoid Abdominalis adalah penyakit infeksi bakteri pada usus halus dan
terkadang pada aliran darah, yang di sebabkan oleh kuman salmonella typhi atau
salmonella paratyphi A, B dan C, yang terkadang juga dapat menyebabkan
gastroenteritis (keracunan makanan) dan septikemia (tidak menyerang usus).
(Ardiansyah, 2012).
Demam typhoid atau Typhoid Fever ialah suatu sindrom sistemik terutama
disebabkan oleh Salmonella typhi. Demam merupakan jenis terbanyak dari
salmonelosis. Jenis lain dari demam enterik adalah demam paratifoid yang
disebabkan oleh S. paratyphi A, S. schottmuelleri (semula S. paratyphi B), dan S.
hirschfeldii (semula S. paratyphi C). Thypoid Abdominalis memperlihatkan gejala
lebih berat dibandingkan demam enterik yang lain (Widagdo, 2011).
Beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa penyakit Thypoid
Abdominalis adalah suatu penyakit infeksi akut yang menyerang manusia khususnya
pada saluran pencernaan yaitu pada usus halus yang disebabkan oleh kuman
salmonella typhi yang masuk melalui makanan atau minuman yang tercemar dan
ditandai dengan demam berkepanjangan lebih dari satu minggu, gangguan pada
saluran pencernaan, dan lebih di perburuk dengan gangguan penurunan kesadaran.
Sistem pencernaan atau sistem gastroinstestinal (mulai dari mulut sampai anus)
adalah sistem organ dalam manusia yang berfungsi untuk menerima makanan, mencernanya
menjadi zat-zat gizi dan energi, menyerap zat-zat gizi ke dalam aliran darah serta membuang
bagian makanan yang tidak dapat dicerna atau merupakan sisa proses tersebut dari tubuh.
Saluran pencernaan terdiri atas:
a. Mulut
Mulut atau oris terdiri atas dua bagian yaitu 1. Bagian luar yang sempit atau vestibula dimana
terdapat didalamnya gusi, gigi, bibir dan pipi ; 2. Bagian rongga mulut dalam yaitu rongga
mulut yang dibatasi sisinya oleh tulang maksilaris,platum dan mandubularis di sebelah
belakang bersambung dengan faring. Diluar mulut ditutupi oleh kulit dan didalamnya
ditutupi oleh selaput lendir (mukosa). Didalam rongga mulut terdapat gigi, kelenjar ludah,
dan lidah
1) Gigi
Fungsi gigi seri untuk memotong makanan, gigi taring untuk memutuskan makanan yang
keras dan liat dan gigi geraham untuk mengunyah makanan yang sudah dipotong-potong.
Gigi terdapat 2 macam yaitu:
a) Gigi sementara atau gigi susu mulai tumbuh pada umur 6-7 bulan dan lengkap pada
umur 2 ½ tahun jumlahnya 20 buah terdiri atas: 8 buah gigi seri (dens insisivus),4
buah gigi taring (dens kaninus), 8 buah gigi geraham (molare)
b) Gigi tetap (permanen) tumbuh pada umur 6-18 tahun jumlahnya 32 buah terdiri atas:
8 buah gigi susu (dens insisivus),
1) Kelenjar Ludah
Kelenjar ludah dihasilkan didalam rongga mulut. Disekitar rongga mulut terdapat 3
buah kelenjar ludah yaitu:
a) Kelenjar parotis terdapat di bawah depan telinga diantara prosesus mastoid kiri
dan kanan os mandibular,duktus stensoni. Duktus ini keluar dari glandula parotis
menuju ke rongga mulut melalui pipi (muskulus buksinator)
b) Kelenjar submaksilaris terletak di bawah rongga mulut bagian belakang,duktus
wartoni, bermuara di rongga mulut dekat dengan frenulum lingua.
c) Kelenjar sublingualis terletak di bawah selaput lendir dasar rongga mulut.
d) Lidah
Fungsi Lidah
Untuk membersihkan gigi serta rongga mulut antara pipi dan gigi
4. Mencampur makanan dengan ludah
5. Untuk menolak makanan dan minuman kebelakang
6. Untuk berbicara
7. Untuk mengecap manis, asin dan pahit
8. Untuk merasakan dingin dan panas.
b. Tenggorokan (faring)
Faring atau tekak terletak di belakang hidung, mulut dan laring (tenggorokan). Faring
berupa saluran berbentuk kerucut dari bahan membran berotot (maskulo membranosa) dengan
bagian terlebar di sebelah atas dan berjalan dari dasar tengkorak sampai di ketinggian vertebra
servikal ke enam, yaitu ketinggian tulang rawan krikoid tempat faring bersambung dengan
esofagus. Esofagus adalah sebuah tabung berotot yang panjangnya dua puluh sampai dua puluh
lima sentimeter, di atas di mulai dari faring sampai pintu trakea dan di depan tulang punggung.
Setelah melalui torax menembus diafragma untuk masuk ke dalam abdomen dan menyambung
dengan lambung. Esofagus berdinding empat lapis. Di sebelah luar terdiri atas lapisan jaringan
ikat yang renggang, sebuah lapisan otot yang terdiri atas dua lapis serabut otot, yang satu
berjalan longitudinal dan yang lain sirkuler, sebuah lapisan submukosa dan di paling dalam
terdapat selaput lendir mukosa (Pearce Evelyn, 2009).
c. Kerongkongan (Esofagus)
Kerongkongan adalah tabung (tube) berotot pada vertebrata yang dilalui sewaktu
makanan mengalir dari bagian mulut ke dalam lambung. Makanan berjalan melalui
kerongkongan dengan menggunakan proses peristaltik. Sering juga disebut esofagus(dari bahasa
Yunani: oeso – “membawa”, dan phagus – “memakan”).
d. Lambung.
Lambung berfungsi sebagai gudang makanan, yang berkontraksi secara ritmik untuk
mencampur makanan dengan enzim-enzim. Lambng terdiri dari 3 bagian:
e. Usus halus
Usus halus adalah tabung yang kira-kira sekitar dua setengah meter panjang dalam
keadaan hidup. Angka yang biasa di berikan enam meter adalah penemuan setelah mati bila otot
telah kehilangan tonusnya. Usus halus memanjang dari lambung sampai katup ileokolika
tembang bersambung dengan usus besar. Usus halus terletak di daerah umbilicus dan di kelilingi
oleh usus besar. Usus halus terdiri dari 3 bagian yaitu :
Usus besar atau kolon yang kira-kira satu setengah meter panjangnya adalah sambungan dari
usus halus dan mulai di katup ilekolik atau ileosekal yaitu tempat sisa makanan lewat. Fungsi
utama organ ini adalah menyerap air dari feses. Terdiri dari beberapa bagian, yaitu:
1. Usus Buntu (sekum)
Usus buntu atau sekum (Bahasa Latin: caecus, “buta”) dalam istilah anatomi adalah suatu
kantung yang terhubung pada usus penyerapan serta bagian kolon menanjak dari usus
besar. Organ ini ditemukan pada mamalia, burung, dan beberapa jenis reptil. Sebagian besar
herbivora memiliki sekum yang besar, sedangkan karnivora eksklusif memiliki sekum yang
kecil, yang sebagian atau seluruhnya digantikan oleh umbai cacing.
2. Kolon asendens (kanan)
Panjangnya sekitar 13 cm terletak di bawah abdomen sebelah kanan, membujur keatas dari
dari ileum ke bawah hati.
3. Kolon transversum
Panjangnya sekitar 38 cm,membujur dari kolon desendens berada dibawah abdomen,
sebelah kanan terdapat fleksura hepatica dan sebelah kiri terdapat fleksura lienalis.
4. Kolon desendens (kiri)
Panjangnya sekitar 25 cm ,terletak di bawah abdomen bagian kiri membujur dari atas ke
bawah dan fleksura lienalis sampai ke depan ileum kiri bersambung dengan kolon sigmoid
5. Kolon sigmoid (berhubungan dengan rektum)
Kolon sigmoid merupakan lanjutan kolon desendens, terletak miring dalam rongga pelvis
sebelah kiri,bentuknya menyerupai huruf S, ujung bawahnya berhubungan dengan rectum.
g. Rektum
Rektum (Bahasa Latin: regere, “meluruskan, mengatur”) adalah sebuah ruangan yang
berawal dari ujung usus besar (setelah kolon sigmoid) dan berakhir di anus. Organ ini berfungsi
sebagai tempat penyimpanan sementara feses.
Biasanya rektum ini kosong karena tinja disimpan di tempat yang lebih tinggi, yaitu pada
kolon desendens. Jika kolon desendens penuh dan tinja masuk ke dalam rektum, maka timbul
keinginan untuk buang air besar (BAB). Mengembangnya dinding rektum karena penumpukan
material di dalam rektum akan memicu sistem saraf yang menimbulkan keinginan untuk
melakukan defekasi. Jika defekasi tidak terjadi, sering kali material akan dikembalikan ke usus
besar, di mana penyerapan air akan kembali dilakukan. Jika defekasi tidak terjadi untuk periode
yang lama, konstipasi dan pengerasan feses akan terjadi.
Orang dewasa dan anak yang lebih tua bisa menahan keinginan ini, tetapi bayi dan anak yang
lebih muda mengalami kekurangan dalam pengendalian otot yang penting untuk menunda buang
air besar.
h. Anus.
Anus merupakan lubang di ujung saluran pencernaan, dimana bahan limbah keluar dari
tubuh. Anus terletak di dasar pelvis, dindingnya diperkuat oleh 3 sfingter.
1) Sfingter ani internus (sebelah atas), bekerja tidak menuruti kehendak.
2) Sfingter levator ani , bekerja juga tidak menuruti kehendak
3) Sfingter ani eksternus ( sebelah bawah), bekerja menuruti kehendak.
Sebagian anus terbentuk dari permukaan tubuh (kulit) dan sebagiannya lagi dari usus.
Pembukaan dan penutupan anus diatur oleh otot sphinkter. Feses dibuang dari tubuh melalui
proses defekasi (buang air besar) , yang merupakan fungsi utama anus.
2.1.3 Etiologi Thypoid Abdominalis
2.1.4 Patofisiologi
Bakteri salmonella typhi masuk ke dalam tubuh melalui makanan dan air yang
tercemar. Sebagian kuman dihancurkan oleh asam lambung, dan sebagian masuk ke usus
halus, mencapai plague peyeri di ileum terminalis yang hipertrofi. Salmonella typhi
memiliki fimbria khusus yang dapat menempel ke lapisan plague peyeri, sehingga bakteri
dapat di fagositosis. Setelah menempel, bakteri memproduksi protein yang mengganggu
brush bonder usus dan memaksa sel usus untuk membentuk kerutan membran yang akan
melapisi bakteri dalam vesikel. Bakteri dalam vesikel akan menyebrang melewati
sitoplasma sel usus dan di presentasikan ke makrofag (Wibisono et al, 2014). Kuman
memiliki berbagai mekanisme sehingga dapat terhindar dari serangan system imun
seperti polisakarida kapsul Vi. Penggunaan makrofag sebagai kendaraan dan gen
Salmonella patogencity Island 2 (SPI2) (Wibisono et al, 2014). Setelah sampai kelenjar
getah bening mensenterika, kuman kemudian masuk ke aliran darah melalui duktus
torasikus sehingga terjadi bakteremia pertama yang asimtomatik. Salmonella typhi juga
bersarang dalam sistem retikuloendotelial terutama hati dan limpa, dimana kuman
meninggalkan sel fagosit berkemang biak dan masuk sirkulasi darah lagi sehingga terjadi
bakteremia kedua dengan gejala sistemik. Salmonella typhi menghasilkan endotoksin
yang berperan dalam inflamasi lokal jaringan tempat kuman berkembang biak
merangsang pelepasan zat pirogendan leukosit jaringan sehingga muncul demam dan
gejala sistemik lain. Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah
sekitar plague peyeri. Apabila proses patologis semakin berkembang, perorasi dapat
terjadi (Wibisono et al, 2014).
2.1.5 Tanda dan Gejala Thypoid Abdominalis
Gejala Tifus
Demam yang meningkat secara bertahap tiap hari hingga mencapai 39°C–40°C dan
biasanya akan lebih tinggi pada malam hari
Nyeri otot
Sakit kepala
Merasa tidak enak badan
Sakit perut
Berat badan menurun
Anoreksia
Bradikardi Relatif
Diare
2.1.7 Penatalaksaan
Menurut Ngastiyah (2005) & Ranuh (2013) pasien yang di rawat dengan
diagnosis observasi Thypoid Abdominalis harus dianggap dan diperlakukan langsung
sebagai pasien Thypoid Abdominalis dan di berikan pengobatan sebagai berikut:
1. Isolasi pasien, desinfeksi pakaian dan ekskreta
2. Perawatan yang baik untuk menghindari komplikasi, mengingat sakit yang
lama, lemah, anoreksia, dan lain-lain
3. Istirahat selama demam sampai 2 minggu setelah suhu normal kembali
(istirahat total), kemudian boleh duduk, jika tidak panas lagi boleh berdiri
kemudian berjalan diruangan
4. Diet makanan harus mengandung cukup cairan, kalori dan tinggi protein.
Bahan makanan tidak boleh mengandung banyak serat, tidak merangsang dan
tidak menimbulkan gas.dianjurkan minum susu 2 gelas sehari. Apabila
kesadaran pasien menurun di berikan makanan cair, melalui sonde lambung.
Jika kesadaran dan nafsu makan anak baik dapat juga di berikan makanan
lunak.
5. Pemberian antibiotik Dengan tujuan menghentikan dan mencegah penyebaran
bakteri. Obat antibiotik yang sering di gunakan adalah :
a. Chloramphenicol dengan dosis 50 mg/kg/24 jam per oralatau dengan dosis
75 mg/kg/24 jam melalui IV dibagi dalam 4 dosis. Cloramhenicol dapat
menyembuhkan lebih cepat tetapi relapse terjadi lebih cepat pula dan obat
tersebut dapat memberikan efek samping yang serius
b. Ampicillin dengan dosis 200 mg/kg/24 jam melalui IV di bagi dalam 6
dosis. Kemampuan obat ini menurunkan demam lebih rendah dibandingkan
dengan chloramphenicol
c. Amoxicillin dengan dosis 100mg/kg/24 jam per os dalam3 dosis
d.Trimethroprim-sulfamethoxazol masing-masing dengan dosis 50 mg
SMX/kg/24 jam per os dalam 2 dosis,merupakan pengobatan klinik yang
efisien
e. Kotrimoksazol dengan dosis 2x 2 tablet (satu tablet mengandung 400mg
sulfamethoxazole dan 800 mg trimetroprim.Efektifitas obat ini hampir sama
dengan cloromphenicol.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA KONSEP DASAR ASKEP
3.1. Pengkajian
Proses keperawatan adalah rangkaian tindakan asuhan keperawatan yang harus di
lakukan perawat secara sistematis, sinambung, terencana, dan profesional. Mulai dari
mengidentifikasi masalah kesehatan klien, merencanakan tindakan, mengurangi atau mencegah
terjadinya masalah baru, melaksanakan tindakan keperawatan, hingga mengevaluasi keberhasilan
dari tindakan tersebut.
Pengkajian adalah tahap awal dan dasar dalam proses keperawatan. Fase proses
keperawatan ini cukup dua langkah: Pengumpulan data dari sumber primer (klien) dan sumber
sekunder (keluarga, tenaga kesehatan), dan analisis data sebagai dasar untuk diagnosa
keperawatan (Rohmah, 2009).
1.Pengumpulan data
Pengumpulan data adalah kegiatan untuk menghimpun informasi tentang status kesehatan
klien (Rohmah,2009).
a. Identitas klien Meliputi : nama, umur , jenis kelamin, suku/bangsa, agama,
pendidikan, tanggal masuk rumah sakit, tanggal pengkajian, diagnosa medis,
status dan alamat.
b. Riwayat kesehatan
1) Keluhan utaman Pada penyakit Thypoid Abdominalis harus dikaji gejala dan
tanda meningkatnya suhu tubuh yang intermiten dan nyeri perut serta penurunan
kesadaran. Gejala tersebut sebagai data penunjang untuk menegakan diagnose
infeksi kuman salmonella pada tubuh.
2) Riwayat kesehatan sekarang Meliputi pengembangan dari pengaruh utama
yang terdiri dari :
a) Provokative /palliative yaitu faktor penyebab keluhan pada Thypoid
Abdominalis kuman salmonella masuk ke dalam tubuh melalui makanan atau
minuman yang tercemar kemudian setelah masa inkubasi akan muncul gejala dan
biasanya gejala dirasakan semakin berat apabila kondisi tubuh dalam keadaan
lemah.
b) Qualitative /quantity bagaimana gejala dirasakan? Apakah menyebar atau
lokal, berapa kali gejala dirasakan?
c) Region Dibagian mana gejala dirasakan , apakah gejala dirasakan menyebar
kebagian lain? Adanya nyeri perut biasanya akan terasa pada daerah perut bagian
atas.
d) Skala Seberapa parah gejala dirasakan, apakah masih dalam batas normal atau
terasa nyeri hebat?
e) Time Kapan gejala timbul , seberapa sering gejala timbul ?
3) Riwayat Kesehatan Dahulu Jenis penyakit apakah yang dideritanya? apakah
pernah dirawat di RS? Apakah mempunyai riwayat alergi? Apakah pernah
sebelumnya penyakit sekarang di derita di masa lalu.
4) Riwayat kesehatan keluarga Apakah ada anggota keluarga yang sama
penyakitnya dengan pasien? Apakah keluarga mempunyai herediter seperti
diabetes melitus? di dalam riwayat kesehatan keluarga perlu dikaji secara spesifik
karena Thypoid Abdominalis merupakan penyakit menular yang hanya
memerlukan vektor yang sangat mudah yaitu air (Priharjo, 2006).
5) Pemeriksaan fisik Pemeriksaan fisik dilakukan dengan melakukan inspeksi,
auskultasi, palpasi, dan perkusi. Adapun pengkajian fisik tersebut di lakukan
secara sistematis mulai dari kepala sampai ujung kaki.
1. Sistem pernafasan Tanda : respirator rate normal kecuali bila terjadi infeksi
sekunder yaitu bronkopneumonia, penggunaan obat bantu pernafasan
kemungkinan terjadi karena tirah baring yang lama, mukosa mulut kering.
2. Sistem Kardiovaskuler Tanda : takikardi, respon terhadap demam, proses
inflamasi dan nyeri.
3. Sistem pencernaan Tanda : pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap, bibir
kering dan pecah-pecah lidah ditutupi selaput putih kotor, ujung dan tepinya
kemerahan, pada abdomen mungkin ditemukan keadaan perut kembung. Hati dan
limpa di sertai nyeri pada perabaan. Gejala : lidah kotor biasanya didapat
konstipasi bahkan dapat terjadi diare.
4. Sistem persyarafan Tanda : kesadaran penderita menurun walaupun tidak
seberapa dalam, yaitu apatis sampai samnolen , jarang terjadi sopor , coma,
gelisah. 5. Sistem penglihatan Komplikasi Thypoid Abdominalis tidak mengenai
system penglihatan . Apabila ada merupakan manifestasi dari gejala penyerta.
6. Sistem Genitourinaria Pada biakan urine di dapatkan bakterimia, pada
genetalia, eksternal tidak di dapatkan kelainan. Produksi urine normal, warna
jernih dan tidak di dapatkan hematuria. Frekuensi menurun, kandung kemih
kosong.
7. Sistem musculoskeletal Gejala : merasa lemah, kekuatan otot normal.
8. Sistem integument Kulit hangat , warna kulit normal . Suhu tubuh meningkat,
turgor kulit buruk.
9. Pola kebiasaan sehari-hari Pola makan akan berubah karena adanya mual dan
muntah, adanya penurunan berat badan , pola tidur pada pasien Thypoid
Abdominalis akan berubah karena adanya nyeri pada perut dan kecemasan,
personal hygiene kurang terawat, pola BAB pada pasien Thypoid Abdominalis
berubah kemungkinan adanya diare atau konstipasi, pola BAK mungkin terjadi
anuria karena dehidrasi karena diare yang berat. Demikian pula dengan pola
aktivitas dan kebiasaan akan mengalami perubahan dikarenakan adanya gangguan
pada pola-pola tersebut diatas (Nursalam, 2008)
2. Analisa Data
Analisa data merupakan tahap penting yang kita lakukan setelah data klien terkumpul
sehingga berguna untuk menegakkan masalah atau kebutuhan klien (Prihardjo, 2006).
nyaman kesadaran
6. Monitor WBC, Hb, dan Hct
7. Monitor intake dan output
8. Berikan anti piretik
9. Berikan pengobatan untuk
mengatasi penyebab demam
10. Selimuti pasien
11. Lakukan tapid sponge
12. Berikan cairan intravena
13. Kompres pasien pada lipat
paha dan aksila
14. Tingkatkan sirkulasi udara
15. Berikan pengobatan untuk
mencegah terjadinya menggigil
Temperature regulation
16. Monitor suhu minimal tiap 2
jam 17. Rencanakan monitoring
suhu secara kontinyu
18. Monitor TD, nadi, dan RR
19. Monitor warna dan suhu kulit
20. Monitor tanda-tanda
hipertermi dan hipotermi
21. Tingkatkan intake cairan dan
nutrisi
22. Selimuti pasien untuk
mencegah hilangnya kehangatan
tubuh
23. Ajarkan pada pasien cara
mencegah keletihan akibat panas
24. Diskusikan tentang
pentingnya pengaturan suhu dan
kemungkinan efek negatif dari
kedinginan
25. Beritahukan tentang indikasi
terjadinya keletihan dan
penanganan emergency yang
diperlukan
26. Ajarkan indikasi dari
hipotermi dan penanganan yang
diperlukan 27. Berikan anti
piretik jika perlu Vital sign
Monitoring
28. Monitor TD, nadi, suhu, dan
RR 29. Catat adanya fluktuasi
tekanan darah
30. Monitor VS saat pasien
berbaring, duduk, atau berdiri
31. Auskultasi TD pada kedua
lengan dan bandingkan
32. Monitor TD, nadi, RR,
sebelum, selama, dan setelah
aktivitas
33. Monitor kualitas dari nadi
34. Monitor frekuensi dan irama
pernapasan
35. Monitor suara paru
36. Monitor pola pernapasan
abnormal
37. Monitor suhu, warna, dan
kelembaban kulit
38. Monitor sianosis perifer
39. Monitor adanya cushing triad
(tekanan nadi yang melebar,
bradikardi, peningkatan sistolik)
40. Identifikasi penyebab dari
perubahan vital sign
Devisit volume cairan NOC: Fluid management
1. Fluid balance 1. Pertahankan catatan intake dan
2. Hydration output yang akurat
3. Nutritional Status : Food and 2. Monitor status hidrasi
Fluid Intake ( kelembaban membran mukosa,
Kriteria Hasil : nadi adekuat, tekanan darah
1. Mempertahankan urine output ortostatik ), jika diperlukan
sesuai dengan usia dan BB, BJ 3. Monitor hasil lab yang sesuai
urine normal, HT normal dengan retensi cairan (BUN , Hmt ,
2. Tekanan darah, nadi, suhu osmolalitas urin )
tubuh dalam batas normal 4. Monitor vital sign
3. Tidak ada tanda tanda 5. Monitor masukan makanan /
dehidrasi, Elastisitas turgor kulit cairan dan hitung intake kalori
baik, membran mukosa lembab, harian
tidak ada rasa haus yang 6. Kolaborasi pemberian cairan IV
berlebihan 7. Monitor status nutrisi
8. Berikan cairan
9. Berikan diuretik sesuai interuksi
10. Berikan cairan IV pada suhu
ruangan
11. Dorong masukan oral
12. Berikan penggantian nesogatrik
sesuai output
13. Dorong keluarga untuk
membantu pasien makan
14. Tawarkan snack ( jus buah, buah
segar )
15. Kolaborasi dokter jika tanda
cairan berlebih muncul meburuk
16. Atur kemungkinan tranfusi
17. Persiapan untuk tranfusi
Nyeri akut NOC 1. Lakukan pengkajian nyeri secara
1. Pain Level komprehensif termasuk lokasi,
2. Pain control karakteristik, durasi, frekuensi,
3. Comfort level kualitas dan faktor presipitasi
Kriteria Hasil : 2. Observasi reaksi nonverbal dari
1. Mampu mengontrol nyeri ketidaknyamanan
(tahu penyebab nyeri, mampu 3. Gunakan teknik komunikasi
menggunakan tehnik terapeutik untuk mengetahui
nonfarmakologi untuk pengalaman nyeri pasien
mengurangi nyeri, mencari 4. Kaji kultur yang mempengaruhi
bantuan) respon nyeri
2. Melaporkan bahwa nyeri 5. Evaluasi pengalaman nyeri masa
berkurang dengan menggunakan lampau
manajemen nyeri 6. Evaluasi bersama pasien dan tim
3. Mampu mengenali nyeri kesehatan lain tentang
(skala, intensitas, frekuensi dan ketidakefektifan kontrol nyeri masa
tanda nyeri) lampau
4. Menyatakan rasa nyaman 7. Bantu pasien dan keluarga untuk
setelah nyeri berkurang 5. Tanda mencari dan menemukan dukungan
vital dalam rentang normal 8. Kontrol lingkungan yang dapat
mempengaruhi nyeri seperti suhu
ruangan, pencahayaan dan
kebisingan
9. Kurangi faktor presipitasi nyeri
10. Pilih dan lakukan penanganan
nyeri (farmakologi, non farmakologi
dan inter personal)
11. Kaji tipe dan sumber nyeri
untuk menentukan intervensi
12. Ajarkan tentang teknik non
farmakologi
13. Berikan analgetik untuk
mengurangi nyeri
14. Evaluasi keefektifan kontrol
nyeri
15. Tingkatkan istirahat
16. Kolaborasikan dengan dokter
jika ada keluhan dan tindakan nyeri
tidak berhasil 1
7. Monitor penerimaan pasien
tentang manajemen nyeri
Ketidakseimbangan NOC : Weight Management
nutrisi kurang dari 1. Nutritional Status : food and 1. Diskusikan bersama pasien
kebutuhan tubuh Fluid Intake mengenai hubungan antara intake
2. Nutritional Status : nutrient makanan, latihan, peningkatan BB
Intake dan penurunan BB
3. Weight control 2. Diskusikan bersama pasien
Kriteria Hasil : mengani kondisi medis yang dapat
2. Mengerti factor yang mempengaruhi BB
meningkatkan berat badan 3. Diskusikan bersama pasien
3. Mengidentfifikasi tingkah laku mengenai kebiasaan, gaya hidup
dibawah kontrol klien dan factor herediter yang dapat
4. Memodifikasi diet dalam mempengaruhi BB
waktu yang lama untuk 4. Diskusikan bersama pasien
mengontrol berat badan mengenai risiko yang berhubungan
5. Penurunan berat badan 1-2 dengan BB berlebih dan penurunan
pounds/mgg BB
6. Menggunakan energy untuk 5. Dorong pasien untuk merubah
aktivitas sehari hari kebiasaan makan 6. Perkirakan BB
badan ideal pasien Nutrition
Management 1. Kaji adanya alergi
makanan 2. Kolaborasi dengan ahli
gizi untuk menentukan jumlah
kalori dan nutrisi yang dibutuhkan
pasien 3. Anjurkan pasien untuk
meningkatkan intake Fe
4. Anjurkan pasien untuk
meningkatkan protein dan vitamin
C 5. Berikan substansi gula
6. Yakinkan diet yang dimakan
mengandung tinggi serat untuk
mencegah konstipasi
7. Berikan makanan yang terpilih
( sudah dikonsultasikan dengan ahli
gizi)
8. Ajarkan pasien bagaimana
membuat catatan makanan harian.
9. Monitor jumlah nutrisi dan
kandungan kalori
10. Berikan informasi tentang
kebutuhan nutrisi
11. Kaji kemampuan pasien untuk
mendapatkan nutrisi yang
dibutuhkan
Intoleransi aktivitas NOC : Energy Management
1. Energy conservation 1. Observasi adanya pembatasan
2. Self Care : ADLs klien dalam melakukan aktivitas
Kriteria Hasil : 2. Dorong anal untuk
1. Berpartisipasi dalam aktivitas mengungkapkan perasaan terhadap
fisik tanpa disertai peningkatan keterbatasan
tekanan darah, nadi dan RR 3. Kaji adanya faktor yang
2. Mampu melakukan aktivitas menyebabkan kelelahan
sehari hari (ADLs) secara mandiri 4. Monitor nutrisi dan sumber
energi tangadekuat
5. Monitor pasien akan adanya
kelelahan fisik dan emosi secara
berlebihan
6. Monitor respon kardivaskuler
terhadap aktivitas
7. Monitor pola tidur dan lamanya
tidur/istirahat pasien
Activity Therapy
1. Kolaborasikan dengan Tenaga
Rehabilitasi Medik dalam
merencanakan progran terapi yang
tepat
2. Bantu klien untuk
mengidentifikasi aktivitas yang
mampu dilakukan
3. Bantu untuk memilih aktivitas
konsisten yangsesuai dengan
kemampuan fisik, psikologi dan
sosial
4. Bantu untuk mengidentifikasi dan
mendapatkan sumber yang
diperlukan untuk aktivitas yang
diinginkan
5. Bantu untuk mendpatkan alat
bantuan aktivitas seperti kursi roda
6. Bantu untu mengidentifikasi
aktivitas yang disukai
7. Bantu klien untuk membuat
jadwal latihan diwaktu luang
8. Bantu pasien/keluarga untuk
mengidentifikasi kekurangan dalam
beraktivitas
9. Sediakan penguatan positif bagi
yang aktif beraktivitas
10. Bantu pasien untuk
mengembangkan motivasi diri dan
penguatan
11. Monitor respon fisik, emoi,
social dan spiritual
Devisit perawatan diri NOC : Self Care assistane : ADLs
Self care : Activity of Daily Living 1. Monitor kemampuan klien untuk
(ADLs) perawatan diri yang mandiri
Kriteria Hasil : 2. Monitor kebutuhan klien untuk
1. Klien terbebas dari bau badan alatalat bantu untuk kebersihan
2. Menyatakan kenyamanan diri, berpakaian, berhias, toileting
terhadap kemampuan untuk dan makan
melakukan ADLs 3. Pertimbangkan usia klien jika
3. Dapat melakukan ADLS dengan mendorong pelaksanaan aktivitas
bantuan sehari-hari
4. Sediakan bantuan sampai klien
mampu secara utuh untuk
melakukan self-care
5. Dorong klien untuk melakukan
aktivitas sehari-hari yang normal
sesuai kemampuan yang dimiliki
6. Dorong untuk melakukan secara
mandiri, tapi beri bantuan ketika
klien tidak mampu melakukannya.
7. Ajarkan klien/ keluarga untuk
mendorong kemandirian, untuk
memberikan bantuan hanya jika
pasien tidak mampu untuk
melakukannya.
8. Berikan aktivitas rutin sehari- hari
sesuai kemampuan
9. Berikan peralatan kebersihan
pribadi (seperti: deodorant, sikat
gigi dan sabun mandi )
10. Ciptakan rutinitas aktivitas
perawatan diri
3.2.4 Implementasi
Pada tahap ini untuk melaksanakan intervensi dan aktivitas-aktivitas yang telah dicatat
dalam rencana perawatan pasien. Agar implementasi/ pelaksanaan perencanaan ini dapat tepat
waktu dan efektif maka perlu mengidentifikasi prioritas perawatan, memantau dan mencatat
respon pasien terhadap setiap intervensi yang dilaksanakan serta mendokumentasikan intervensi
keperawatan (Rohman, 2012).
Implementasi, yang merupakan komponen dari proses keperawatan, adalah kategori dari
perilaku keperawatan dimana tindakan yang diperlukan untuk mencapai tujuan dan hasil yang
diperkirakan dari asuhan keperawatan dilakukan dan diselesaikan (Wijayaningsih, 2013).
Pada BAB ini penulis akan membahas tentang Tinjauan hasil Studi Kasus dari
pelaksanaan asuhan keperawatan dengan gangguan Thypoid Abdominalis pada Tn, S di
ruang Bougenville kelas I rumah sakit abadi Padang. Dalam mengulas kasus ini penulis
menggunakan pendekatan dengan proses Asuhan Keperawatan yang dimulai dari
pengkajian sampai evaluasi. Adapun proses Asuhan Keperawatan itu sebagai berikut :
4.1 Pengkajian
Tanggal Pengkajian : 8 Agustus 2021
Tanggal masuk klien : 7 Agustus 2021
Ruang / Kelas : Bougenville / I
Diagnosa Medis : Thypoid Abdominalis
4.1.1 Identitas Pasien
Agama : Islam
Pendidikan : D3
4.1.2 Pengkajian
b. Riwayat keluhan utama Klien mengatakan sudah demam dua hari sebelum di rawat di
Puskesmas Lepo-Lepo. Bersifat turun naik demam yang dirasakan disertai pusing, sakit
kepala, mual, anoreksia, demam yang dirasakan terjadi pada sore hari menjelang malam
dan berkurang apabila klien beristirahat dan minum obat, namum berkurang hanya
sementara.
c. Upaya yang telah dilakukan Klien mengatakan hanya meminum obat paracetamol 1
kali sehari dan tidak ada perubahan yang dirasakan.
3. Riwayat kesehatan keluarga Klien mengatakan keluarga dari ayahnya ada yang pernah
menderita dengan penyakit yang sama dan tidak ada anggota keluarga yang serumah
menderita penyakit yang sama dengan klien saat ini.
S : 39ºC P : 20x/menit
1) Pernafasan (B1: Breathing) Hidung terlihat simetris, tidak ada secret atau
cairan dan tidak ada polip, fungsi penciuman baik, serta dapat membedakan bau
minyak angin dan parfum. Bentuk dada simetris, palpasi dada tidak ada massa,
suara nafas vesikuler dan tidak terdapat suara tambahan, perkusi redup.
Tidak ada nyeri tekan ictus cordis teraba jelas tiga jari dibawah putting susu.
Perkusi dada redup. Suara jantung : normal S1 dan S2 tunggal regular.
Kepala dan wajah simetris, gerakan wajah normal, sklera putih, konjungtiva
anemis, pupil sama besarnya kiri dan kanan, kornea bening, bola mata simetris,
kelopak mata dapat membuka dan menutup secara spontan, kemampuan
penglihatan baik dan tatapan terlihat lemah dan sayu. Telinga simetris tanpa
adanya serumen. Lidah kotor berselaput putih, bibir kering dan pecah-pecah. tidak
ada caries gigi. Leher dan bahu terlihat simetris, tidak ada pembengkakan, tidak
ada pembesaran kelenjar tiroid. klien dapat menelan dengan baik. Persepsi
Sensori pendengaran telinga kiri dan kanan fungsi pendengaran baik, fungsi
penciuman baik, serta dapat membedakan bau minyak angin dan parfum,
pengecapan baik dengan mampu membedakan manis asin dan pahit, penglihatan
kiri dan kanan melihat secara normal, klien mampu membedakan panas, dingin
atau ada nyeri. Klien tidak ada disorientasi baik pada waktu, tempat dan orang.
5. Pola Aktivitas
a. Makan Frekuensi makan klien 3x/hari dengan porsi tidak dihabiskan, jenis menu, nasi,
ikan, sayur yang disediakan Puskesmas klien tidak ada alergi pada makanan.
b. Minum Frekuensi minum klien 6-7 gelas/hari, jenis minuman air putih klien tidak ada
pantangan atau alergi minuman
c. Kebersihan perorangan
Klien mengatakan selama sakit belum pernah mandi, klien mengatakan selama sakit
belum pernah sikat gigi, klien hanya mengganti pakaian dan dibantu keluarga.
Klien tidur siang selama 1 jam mulai jam 13.00 s/d jam 14.00 dan tidur malam selama 7
jam : jam 22.00 s/d jam 05.00, tidak ada gangguan pada tidur. Klien mengatakan di bantu
keluarga saat ke kamar mandi.
6. Psikososial
a. Sosial/interaksi Klien mengatakan mendapat dukungan penuh dari keluarga, klien
kooperatif saat berinteraksi kepada perawat dan keluarga. Tidak ada konflik yang terjadi
baik berupa konflik peran, nilai dan lainnya.
b. Psikologis Klien mengatakan paham sedikit tentang penyakit yang dideritanya namun
tidak mengerti cara pengobatan yang diberukan untuk penyembuhan penyakitnya dan
klien mengatakan berharap bias cepat sembuh dan bisa beraktivitas seperti biasanya.
c. Spiritual Tidak ada masalah dalam beribadah. Klien aktif dalam beribadah
menjalankan kewajibannya.
IVFD RL 20 Tpm
HT : 40% (37-43%)
Widal/Typhi
S. Typhi O : pos. 1/160 (1/80)
DO:
Masuk peredaran darah
1. Keadaan umum lemah
kelenjar limfoid
2. Kulit teraba hangat
suhu dihipotalamus
Demam
Hipertermi
2. DS: Salmonella thyposa Devisit perawatan diri :
mandi
Klien mengatakan selama
sakit belum pernah sikat gigi
masuk saluran pencernaan
Klien mengatakan selama
lambung, di serap oleh usus
sakit belum pernah mandi
halus
Klien mengatakan di bantu
keluarga saat ke kamar mandi
DO: Masuk peredaran darah
putih
reaksi inflamasi
parasimpatik
gangguan pencernaan
Mual muntah
Anoreksia
Kelemahan
ADL terganggu
DS: Klien mengatakan badannya panas Klien mengatakan sudah demam dua hari dan
bersifat turun naik demam yang dirasakan
DO: Keadaan umum lemah Kulit teraba hangat Klien terlihat merah
Widal/Typhi
5. TTV: TD : 90/70
mmHg, N: 82x/menit, S:
39ºC,
P: 20x/menit
2. Devisit perawatan diri : Setelah dilakukan tindakan Self Care assistane : ADLs
mandi berhubungan keperawatan selama 3x24 jam
1. Monitor kemampuan klien untuk
dengan kelemahan, diharapkan Self care : Activity
perawatan diri yang mandiri
ditandai dengan : of Daily Living (ADLs), dengan
Kriteria hasil : 2. Monitor kebutuhan klien untuk
DS:
alat-alat bantu untuk kebersihan
1. Keadaan umum baik
Klien mengatakan selama diri, berpakaian, berhias, toileting
sakit belum pernah sikat 2. Klien tampak rapih dan bersih dan makan
gigi Klien mengatakan
3. Klien merasa nyaman 3. Pertimbangkan usia klien jika
selama sakit belum pernah
mendorong pelaksanaan aktivitas
mandi Klien mengatakan
sehari-hari
di bantu keluarga saat ke
kamar mandi 4. Sediakan bantuan sampai klien
mampu secara utuh untuk
DO:
melakukan self-care
1. Keadaan umum lemah
5. Dorong klien untuk melakukan
2. Gigi terlihat kotor. aktivitas sehari-hari yang normal
sesuai kemampuan yang dimiliki
3. Lidah : kotor berselaput
putih 6. Dorong untuk melakukan secara
mandiri, tapi beri bantuan ketika
klien tidak mampu melakukannya.
7. Mengompres pasien
pada lipat paha dan aksila
8. Meningkatkan sirkulasi
udara
9. Memonitor suhu
minimal tiap 2 jam
4. Menyediakan bantuan
sampai klien mampu
secara utuh untuk
melakukan self-care
6. Dorong untuk
melakukan secara mandiri,
tapi beri bantuan ketika
klien tidak mampu
melakukannya
Hasil : Motivasi
kemandirian klien
Hasil : Motivasi
kemandirian klien untuk
memenuhi kebutuhannya
9. Berikan peralatan
kebersihan pribadi
(seperti: deodorant, sikat
gigi dan sabun mandi )
Hasil : Keluarga
menyiapkan kebutuhan
kebersihan klien
7. Mengompres pasien
pada lipat paha dan aksila
8. Meningkatkan sirkulasi
udara
9. Memonitor suhu
minimal tiap 2 jam
5. Dorong untuk
melakukan secara mandiri,
tapi beri bantuan ketika
klien tidak mampu
melakukannya
Hasil : Motivasi
kemandirian klien
Hasil : Motivasi
kemandirian klien untuk
memenuhi kebutuhannya
8. Berikan peralatan
kebersihan pribadi
(seperti: deodorant, sikat
gigi dan sabun mandi )
Hasil : Keluarga
menyiapkan kebutuhan
kebersihan klien
9. Ciptakan rutinitas
aktivitas perawatan diri
Hasil : Pelaksanaan
jadwal perawatan diri
klien pagi dan sore mandi
dan gosok gigi
BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Setelah mempelajari teori-teori dari pengalaman langsung di lahan praktek melalui studi
kasus serta kesenjangan yang terjadi antara teori dan praktek tentang teori penyakit thypoid
abdominalis, maka penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Umumnya klien thypoid abdominalis yang berkunjung ke Puskesmas setelah ada keluhan :
demam tinggi biasanya suhu tubuh meningkat pada malam hari dan menurun pagi hari, nyeri
kepala, lemah, lesu, nyeri otot pada minggu pertama, gangguan pada saluran cerna : halitosis
(bau nafas yang menusuk), bibir kering dan pecah-pecah lidah di tutupi selaput putih kotor
(coated tongue), metorismus, mual, tidak nafsu makan, hepatomegali, splenomegali yang disertai
nyeri perabaan. Gangguan kesadaran : penurunan kesadaran (apatis, somnolen) yang sama
ditemukan keluhan Tn. S saat pengkajian adanya, demam, bibir kering dan pecah-pecah lidah di
tutupi selaput putih kotor (coated tongue), dan lemah.
2. Diagnosa keperawatan pada kasus Tn. S masih sama terdapat pada teori antara lain adalah
hipertermi berhubungan dengan penyakit dan devisit perawatan diri : mandi berhubungan dengan
kelemahan.
3. Perencanaan tindakan keperawatan dilakukan secara komprehensif terstruktur masalah
keperawatan tersebut. Mulai degiatan intervensi ini meliputi: memprioritaskan masalah,
merumuskan tujuan, kriteria hasil serta tindakan keperawatan, pelaksanaan implementasi
keperawatan yang akan dilaksanakan sesuai rencana intervensi keperawatan, dan tidak adanya
kesenjangan antara teori dengan studi kasus untuk implementasi keperawatan.
4. Implementasi ini akan merumuskan respon terhadap implementasi yang diberikan kepada
klien untuk melanjutkan proses keperawatan yang telah ada. Seperti ditemukan pada respon di
hari pertama tindakan keperawatan pada tanggal 8 Agustus 2021 yang belum menunjukan
perubahan dalam tindakan keperawatan sehingga intervensi keperawatan tetap dilaksanakan dan
pada tanggal 9 Agustus 2021 sampai 10 Agustus 2021 terjadi perubahan kesehatan pada klien
dan implementasi keperawatan tetap dipertahankan.
5. Evalusi dari tindakan keperawatan yang dilakukan selama 3 hari terhitung mulai tanggal 8
Agustus 2021 sampai 10 Agustus 2021 selama 3x24 jam. Pada teori maupun kasus dalam
membuat evaluasi berdasarkan tujuan dan kriteria hasil yang dicapai. Dimana pada kasus penulis
memerlukan evalusi dari tindakan keperawatan yang dilakukan selama 3 hari terhitung mulai
tanggal 8 Agustus 2021 sampai 10 Agustus 2021 selama 3x24 jam. Ke dua diagnosa
keperawatan pada studi kasus taratasi sebagian dan intervensi tetap dipertahankan.
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
Ardiansyah. Muhamad. 2012. Medikal Bedah untuk mahasiswa. DIVA Press: Jogjakarta
Dinas Kesehatan Kota Kendari, 2016. Laporan Data Angka Kesakitan 2016. Dinas
Kesehatan Kota Kendari: Kendari.
Dinas Kesehatan Kota Kendari, 2017. Laporan Data Angka Kesakitan 2017. Dinas
Kesehatan Kota Kendari: Kendari.
Dinas Kesehatan Provinsi Sultra, 2014. Laporan Data Angka Kesakitan 2015. Dinas
Kesehatan Provinsi Sultra: Kendari.
Debora. 2011. Proses Keperawatan dan Pemeriksaan Fisisk. Jakarta: Salemba medika.
Inawati, 2017. Demam Tifoid. Artikel Kesehatan Departemen Patologi Anatomi Dosen
Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya.
Kemenkes RI, 2011. Laporan Data Angka Demam Thypoid. Departemen Kesehatan
Republik Indonesia Dinas: Jakarta.
Nursalam. (2008). Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak( Untuk Perawat dan Bidan).
Jakarta : Selemba Medika Pearce.
Pearce, Evelyn C.( 2009). Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta :Gramedia.
Purba, dkk, (2017). Program Pengendalian Demam Tifoid di Indonesia: tantangan dan
peluang. Jurnal Penelitian Media Litbangkes, Vol. 26 No. 2, Juni 2016, 99 –
108.
Potter & Perry. 2009. Buku Ajar Fundamental Keperawatan, Konsep, Proses dan Praktik
Volume 1 Edisi 4. EGC : Jakarta.
Rohmah, Nikmatur (2009). Proses Keperawatan Teori dan Aplikasi. Jakarta :Ar.Ruzz
media.
Suriadi dan Yulianni. (2006). Asuhan Keperawatan Pada Anak Edisi 2. Jakarta :Sagung
Seto Taylor.
Syaiful. (2015). Fungsi dan Peran Perawat dalam Menyelenggarakan Praktik Mandiri
di Kota Makassar. Makassar: Universitas Hasanuddin.
Wibisono Elita et al. (2014). Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius.
Widagdo, (2012). Masalah Dan Tatalaksana Penyakit Anak Dengan Demam. Jakarta :
Sagung Seto.
Widoyono, (2011), Penyakit Tropis Epidimologi, Penuluran, Pencegahan &
pemberantasannya. Jakarta: Erlangga.
Wijayaningsih, Kartika sari. (2013). Standar Asuhan Keperawatan. Jakarta : CV. Trans
Info Media.
http://repository.poltekkes-kdi.ac.id/761/1/Asuhan%20Keperawatan%20Pada%20Tn.%20A
%20dengan%20Gangguan%20Sistem%20Pencernaan%20Thypoid%20Abdominalis%20di
%20Ruang%20Bougenvile%20~0.pdf
http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/108/jtptunimus-gdl-iistaurita-5371-2-babii.pdf
https://123dok.com/document/z3lp5wdz-lp-thypoid.html
http://perpustakaan.poltekkes-malang.ac.id/assets/file/kti/P17210176028/11_BAB_1.pdf