Anda di halaman 1dari 17

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Typhoid abdominalis merupakan penyakit endemik di Indonesia.
Insiden typhoid abdominalis tertinggi terjadi diwilayah Asia Tengah, Asia
Tenggara, Asia Selatan dan kemungkinan Afrika Selatan (Insidents > 100
kasus per 100.000 populasi per tahun). Insidents typhoid abdominalis yang
tergolong sedang (10-100 kasus per 100.000 populasi per tahun) diwilayah
Afrika, Amerika Latin, dan Oceania (kecuali Australia dan Selandia Baru),
serta yang termasuk rendah (< 10 kasus per 100.000 populasi per tahun)
dibagian dunia. Typhoid abdominalis merupakan permasalahan yang sangat
penting di negara berkembang. Badan Kesehatan Dunia (WHO) tahun
2014 memperkirakan jumlah kasus typhoid abdominalis, diseluruh dunia
mencapai 16-33 juta dengan 500-600 ribu kematian setiap tahunnya.
Indonesia diperkirakan antara 800-100.000 orang yang terkena
penyakit typhoid abdominalis sepanjang tahun. Departemen Kesehatan RI
tahun 2015 mengatakan kasus atau jumlah pasien typhoid abdominalis di
Indonesia grafiknya terus meningkat. Setiap tahunnya sekitar 50.000 orang
meninggal dari jumlah pasien typhoid abdominalis antara 350-810 orang per
100.000 populasi penduduk.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Rumah Sakit Umum BLUD
Bendan Kota Pekalongan jumlah kasus typhoid abdominalis pada tahun
2014 terdapat 262 pasien, tahun 2015 terdapat 402 pasien, dan sampai
dengan bulan Agustus 2016 terdapat 489 pasien. (Rekam Medik RSU
BLUD Bendan Kota Pekalongan, 2016)
Berdasarkan jurnal kesehatan masyarakat tahun 2013, typhoid
abdominalis dideteksi di Provinsi Jawa Tengah dengan presentase 1,61%
dan tersebar diseluruh kabupaten atau kota di Jawa Tengah. Dari data
tersebut dapat disimpulkan bahwa kasus typhoid abdominalis yang terjadi di
2

Jawa Tengah pada tahun 2013 sebanyak 1.610 per 100.000 penduduk
provinsi Jawa Tengah.
Insiden typhoid abdominalis banyak dijumpai pada populasi yang
berusia 3-19 tahun. Kejadian typhoid abdominalis di Indonesia juga
berkaitan dengan rumah tangga, yaitu adanya anggota keluarga dengan
riwayat terkena typhoid abdominalis, tidak adanya sabun untuk mencuci
tangan, menggunakan piring yang sama untuk makan dan tidak tersedianya
tempat buang air besar dalam rumah.
Typhoid abdominalis merupakan penyakit yang disebabkan oleh
bakteri Salmonella typhi. Typhoid abdominalis merupakan penyakit yang
sering terjadi pada anak-anak ataupun dewasa. Penyakit ini masuk melalui
makanan yang mengandung Salmonella Typhi dan berkembang di usus.
Berdasarkan data diatas penulis merasa tertarik untuk melaksanakan
penelitian dengan judul : Asuhan Keperawatan Hipertermi pada Sdr. A
dengan Typhoid Abdominalis di Ruang Jlamprang RSU BLUD Bendan
Kota Pekalongan.
3

B. Tujuan
Tujuan Umum
Mengetahui gambaran asuhan keperawatan hipertermi pada pasien dengan
typhoid abdominalis di RSU BLUD Bendan Kota Pekalongan.

Tujuan Khusus
1) Menerapkan pola pikir kritis dalam penatalaksanaan hipertermi pada
pasien dengan typhoid abdominalis, menggunakan tahapan:
a. Melakukan pengkajian pada pasien typhoid abdominalis
b. Menentukan diagnosa keperawatan yang ditemukan pada pasien
typhoid abdominalis di RSU BLUD Bendan Kota Pekalongan
c. Melakukan perencanaan untuk mengatasi masalah hipertermi
pada pasien typhoid abdominalis
d. Melakukan tindakan keperawatan untuk mengatasi masalah
hipertermi pada pasien typhoid abdominalis
2) Melakukan penilaian atau evaluasi pencapaian tujuan untuk
mengatasi hipertermi pada pasien typhoid abdominalis
3) Menganalisa hasil pengkajian yang ditemukan pada pengelolaan
keperawatan hipertermi pada pasien typhoid abdominalis
4

C. Manfaat
a. Bagi Penulis
Menambah pengetahuan dan wawasan penulis dalam penerapan ilmu
pengetahuan yang dapat diperoleh dalam perkuliahan khususnya
mengenai typhoid abdominalis.
b. Bagi Institusi Pendidikan
Bahan masukan bagi institusi dalam proses belajar mengajar
perkuliahan serta menambah wawasan dan sebagai bahan referensi di
perpustakaan kampus Poltekkes Kemenkes Semarang Prodi DIII
Keperawatan Pekalongan.
c. Bagi Rumah Sakit Umum BLUD Bendan Kota Pekalongan
Menambah pengetahuan dan sebagai bahan masukan bagi petugas
RSU BLUD Bendan Kota Pekalongan dalam menerapkan asuhan
keperawatan pada pasien typhoid abdominalis.
5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Typhoid


1. Definisi
Sejarah typhoid dimulai saat ilmuwan Perancis bernama Pierre
Louis memperkenalkan istilah typhoid pada tahun 1829. Typhoid atau
typhus berasal dari Bahasa Yunani typhos yang berarti penderita demam
dengan gangguan kesadaran. Kemudian Gaffky menyatakan bahwa
penularan penyakit ini melalui air dan bukan udara. Gaffky juga berhasil
membiakkan Salmonella typhi dalam media kultur pada tahun 1884.
Pada tahun 1896 Widal akhirnya menemukan pemeriksaan typhoid yang
masih digunakan sampai saat ini. Selanjutnya, pada tahun 1948
Woodward dkk, melaporkan untuk pertama kalinya bahwa obat yang
efektif untuk typhoid adalah chloramphenicol. (Widoyono, 2008, hlm
34).
Typhoid abdominalis merupakan suatu penyakit infeksi sistemik
bersifat akut yang disebabkan oleh Salmonella typhi. Penyakit ini
ditandai oleh panas berkepanjangan, ditopang dengan bakterimia tanpa
keterlibatan struktur endothelia atau endocardial dan invasi bakteri
sekaligus multiplikasi kedalam sel fagosit monocular dari hati, limpa,
kelenjar limfe usus dan peyer’s patch dan dapat menular pada orang lain
melalui makanan atau air yang terkontaminasi. (Sumarno, 2002)
Typhoid abdominalis adalah penyakit infeksi akut usus halus yang
disebabkan oleh kuman Salmonella typhi. Typhoid abdominalis
merupakan penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai saluran
pencernaan dengan gejala demem lebih dari 7 hari, gangguan kesadaran
dan saluran pencernaan. (Arif Mansjoer, 2003)
Purnawan Junaidi (1998) mengatakan bahwa “typhoid abdominalis
adalah penyakit infeksi usus halus menimbulkan gejala-gejala klinis yang
disebabkan oleh kuman Salmonella Typhi A, B dan C”.
6

2. Etiologi
Etiologi typhoid abdominalis adalah Salmonella typhi, Salmonella
Paratyphi A, Salmonella Paratyphi B, dan Salmonella Paratyphi C (Arif
Mansjoer, 2003), sedangkan menurut Rampengan (1999) penyakit ini
disebabkan oleh infeksi kuman Salmonella Typhi / Eberthella Typhosa
yang merupakan kuman negatif, motil dan tidak menghasilkan spora.
Kuman ini dapat hidup baik pada suhu tubuh manusia maupun suhu
yang lebih rendah, serta mati pada suhu 70° C maupun oleh antiseptik.
Sampai saat ini diketahui bahwa kuman ini hanya menyerang manusia.
Salmonella Typhi mempunyai 3 macam antigen yaitu :
a. Antigen O : Ohne Hauch = somatik antigen (tidak menyebar).
b. Antigen H : Hauch (menyebar), terdapat pada flagella dan bersifat
termolabil.
c. Antigen V : Kapsul = merupakan kapsul yang meliputi tubuh
kuman dan melindungi O antigen terhadap fagositosis.

3. Patofisiologi
Kuman Salmonella Typhi masuk kedalam tubuh manusia melalui
mulut bersamaan dengan makanan dan minuman yang terkontaminasi
oleh kuman, sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung
sebagian lagi masuk ke usus halus. Bakteri yang masukpada aliran
limpe, mencapai kelenjar limpe dan masuk ke peredaran darah.
Salmonella Typhi masuk pada sistem retikuloendothelial terutama hati
dan limpa. Bakteri yang berkembangbiak dihati dan limpa dapat
menjadikan pembesaran hati yang megakibatkan hepatomegali. Bakteri
yang bersarang diplak peyeri dan berperan dalam proses inflamasi
menimbulkan nyeri sehingga terjadi komplikasi perforasi dan
perdarahan usus. Bakteri tersebut juga dapat meningkatkan mobilitas
usus maupun meningkatkan peristaltik usus maka dapat terjadi
peningkatan asam lambung yang menyebabkan anoreksia, mual dan
7

muntah sehingga terjadi perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh.


Salmonella typhhi yang masuk ke aliran darah mengeluarkan
endotoksin, terjadi kerusakan sel yang merangsang pelepasan zat
epirogen oleh leukosit sehingga mempegaruhi pusat termoregulator
dihipotalamus tidak efektif dan mengakibatkan resiko kekurangan
volume cairan. (Nanda, 2011)

4. Manifestasi Klinik
a. Demam lebih dari 7 hari
Demam umumnya berangsur-angsur naik selama minggu pertama,
terutama pada sore dan malam hari (bersifat febrisremitten). Pada
minggu kedua demam terus meninggi (febris continuo) kemudian turun
secara perlahan. Pada minggu ketiga, suhu tubuh normal kembali.
b. Gangguan saluran pencernaan
Gejala lain dapat terlihat adanya gangguan gastrointestinal, bibir
kering dan pecah-pecah, lidah kotor, berselaput putih, perut kembung
dan ada nyeri tekan. Biasanya didapatkan kondisi konstipasi, diare,
mual, muntah.
c. Gangguan kesadaran
Umumnya kesadaran pasien menurun. Apabila tidak segera tertangani
dapat terjadi apatis, somnolen maupun koma. Gejala lain yaitu muncul
bintik-bintik kemerahan (roseola) karena emboli basil dalam kapiler
kulit. (Arif Mansjoer, 2003)

5. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan Darah Perifer Lengkap
Dapat ditemukan, dapat pula leukositosis atau kadar leukosit
normal. Leukositosis dapat terjadi walaupun tanpa disertai infeksi
sekunder.
8

2) Pemeriksaan SGOT dan SGPT


SGOT dan SGPT sering meningkat, tetapi akan kembali
normal setelah sembuh. Peningkatan SGOT dan SGPT ini tidak
memerlukan penanganan khusus.
3) Pemeriksaan Uji Widal
Uji widal dilakukan untuk mendeteksi adanya antibody
terhadap bakteri Salmonella Typhi. Uji widal dimaksudkan untuk
menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita demam tifoid.
Akibat adanya infeksi oleh Salmonella Typhi maka penderita
membuat antibody (aglutinin).
4) Kultur
Kultur darah : bisa positif pada minggu pertama
Kultur urin : bisa positif pada akhir minggu kedua
Kultur feses : bisa positif pada minggu kedua hingga minggu ketiga
5) Anti Salmonella Typhi IgM
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mendeteksi secara dini
infeksi akut Salmonella Typhi, karena antibody IgM muncul pada
hari ke-3 dan 4 terjadinya demam.

6. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan penyakit typhoid menurut (Bambang Setiyohadi,
Aru W. Sudoyo, Idrus Alwi, 2006), yaitu :
a. Istirahat dan Perawatan
Tirah baring dan perawatan profesional bertujuan untuk
mencegah komplikasi. Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya
di tempat seperti makanan, minuman, mandi, buang air kecil,
buang air besar akan membantu dan mempercepat masa
penyembuhan. Dalam perawatan perlu sekali dijaga kebersihan
tempat tidur, pakaian, dan perlengkapan yang dipakai. Posisi pasien
perlu diawasi untuk mencegah dekubitus dan pneumonia ortostatik
serta hygiene perorangan tetap perlu diperhatikan dan dijaga.
9

b. Diet dan Terapi


Diet merupakan hal yang cukup penting dalam proses
penyembuhan penyakit typus abdominalis, karena makanan yang
kurang akan menurunkan keadaan umum dan gizi penderita akan
semakin turun serta proses penyembuhan akan semakin lama.
Dimasa lampau penderita typus abdominalis diberi bubur saring,
kemudian ditingkatkan menjadi bubur kasar dan akhirnya diberi
nasi, yang perubahan diet tersebut disesuaikan dengan tingkat
kesembuhan pasien. Pemberian bubur saring tersebut ditujukan
untuk menghindari komplikasi perdarahan saluran cerna atau
periporasi usus. Hal ini disebabkan ada pendapat bahwa usus harus
diistirahatkan. Beberapa peneliti menunjukkan bahwa pemberian
makanan padat dini yaitu nasi, dengan lauk pauk rendah selulosa
(meghindari sementara sayuran yang berserat) dapat diberikan
dengan aman pada penderita typus abdominalis.
c. Pemberian Antibiotik
a) Klorampenikol
Klorampenikol merupakan obat pilihan utama untuk pengobatan
typus abdominalis. Dosis yang diberikan 4 x 500 mg perhari
dapat diberikan peroral atau intravena, diberikan sampai dengan
7 hari bebas demam.
b) Tiampenikol
Dosis dan efektivitas tiampenikol pada typus abdominalis
hampir sama dengan klorampenikol. Akan tetapi kemungkinan
terjadi anemia aplastik lebih rendah dari klorampenikol. Dosis 4
x 500 mg per hari sampai harike 5 dan ke 6 bebas demam.
c) Kotrimoksazol
Dosis untuk orang dewasa 2 x 2 tablet dan diberikan selama 2
minggu.
10

d) Ampicilin dan amoksisilin


Kemampuan obat ini untuk menurunkan demam lebih rendah
dibandingkan dengan klorampenikol, dosis diberikan 50-
150mg/kgBB dan digunakan selama 2 minggu.
e) Sefalosporin generasi ke tiga
Golongan seflosporin generasi ke tiga yang terbukti efektif
untuk typus abdominalis adalah sefalosporin, dosis yang
dianjurkan adalah 3-4 gram dalam dektrose 100 cc diberikan
selama ½ jam perinfus sekali sehari selama 3 hingga 5 hari.

7. Komplikasi
Menurut (Arif Mansjoer, 2003) komplikasi typus abdominalis
dapat dibagi dalam 2 bagian yaitu :
a. Komplikasi intestinal
1) Perdarahan usus
2) Perforasi usus
3) Ileus paralitik
b. Komplikasi ekstraintestinal
1) Komplikasi kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi perifer (rejatan,
sepsis), miokarditis, trombo sis dan tromboflebitis.
2) Komplikasi darah : anemia hemolitik, trombositopenia, atau
kegagalan intravaskuler diseminata dan sindrom uremia
hemolitik.
3) Komplikasi paru : pneumonia, empiema, dan pleuritis.
4) Komplikasi hepar dan kandung kemih : hepatitis dan kolelitiasis.
5) Komplikasi ginjal : glomerulonefritis, pielonefritis dan
perinefritis.
6) Komplikasi tulang: osteomielitis, periostitis, spondilitis,dan
arthritis.
7) Komplikasi neuropsikiatrik : delirium, meningitis, polyneuritis.
11

B. Hipertermi Pada Typhoid Abdominalis


Hipertermi adalah keadaan ketika individu mengalami atau berisiko
mengalami kenaikan suhutubuh >37,80C (1000F) per oral atau 38,80C
(1010F) per rektal yang sifatnya menetap karena faktor eksternal. (Lynda
Juall Carpenit-Moyet, 2013, p. 54)
Hipertermi adalah peningkatan suhu tubuh yang berhubungan
dengan ketidakmampuan tubuh untuk menghilangkan panas ataupun
mengurangi produksi panas. (Potter dan Perry,2009, p. 169).
Lynda Juall Carpenito-Moyet (2013, p. 54) menyebutkan
karakteristik pada hipertermi, yaitu sebagai berikut : Mayor (harus ada)
yaitu : suhu >37,80C (1000F) per oral atau 38,80C (1010C) per rektal, kulit
hangat, takikardi. Minor (mungkin ada) yaitu : kulit kemerahan,
peningkatan kedalaman panas, ruam , menggigil/merinding, perasaan
hangat atau dingin, nyeri dan sakit yang spesifik atau menyeluruh,
malaise, keletihan, kelemahan, berkeringat.
Faktor yang berhubungan dengan hipertermi adalah pemajanan
lingkungan yang panas, dehidrasi, penyakit atau trauma, pemakaian
pakaian yang tidak sesuai dengan suhu lingkungan, peningkatan laju
metabolisme, aktivitas berlebihan. (NANDA, 2015, p. 284).

C. Pengelolaan Hipertermi Pada Typhoid Abdominalis


Pengelolaan hipertermi pada typhoid abdominalis yaitu dengan
cara pemberian terapi farmakologi dan terapi non farmakologi. Terapi
farmakologi dengan cara pemberian terapi antipiretik untuk menurunkan
demam atau hipertermi seperti paracetamol. Sedangakan terapi non
farmakologi yaitu dengan cara kompres hangat pada dahi, ketiak dan
lipatan paha.
Hartanto (2004), bahwa kompres dingin tidak efektif untuk
menurunkan suhu tubuh anak demam, anak bisa menggigil karena terjadi
12

vasokontriksi pembuluh darah. Sedangkan menurut Swardana, Swari,


Suryaning (1998) mengatakan bahwa menggunakan air dapat memelihara
suhu tubuh sesuai dengan fluktuasi suhu tubuh pasien. Kompres hangat
dapat menurunkan suhu tubuh melalui proses evaporasi. Hasil
penelitiannya menunjukkan adanya perbedaan efektifitas kompres dingin
dan kompres hangat dalam menurunkan suhu tubuh. Kompres hangat telah
diketahui mempunyai manfaat yang baik dalam menurunkan suhu tubuh
anak yang mengalami panas tinggi akibat infeksi.
Akibat yang ditimbulkan karena hipertermi yaitu :
a) Dehidrasi
Demam mengakibatkan pengeluaran cairan tubuh meningkat sehingga
dapat menyebabkan dehidrasi.
b) Kejang Demam
Kejang demam umumnya mengenai bayi usia 6 bulan sampai anak usia
3 tahun. Terjadi pada hari pertama demam, serangan pertama jarang
terjadi pada usia < 6 bulan atau > 3 tahun. Gejala : anak tidak sadar,
kejang tampak sebagai gerakan-gerakan seluruh tangan dan kaki yang
terjadi dalam waktu singkat.
13

D. Konsep Asuhan Keperawatan Typhoid Abdominalis


1. Pengkajian
Riwayat Keperawatan
Kaji gejala dan tanda meningkatnya suhu tubuh, terutama pada malam
hari, nyeri kepala, lidah kotor, tidak nafsu makan, epitaksis, dan
penurunan kesadaran.
a. Data biografi : nama, alamat, umur, status perkawinan, tanggal MRS,
diagnosa medis, catatan kedatangan, keluarga yang dapat dihubungi.
b. Riwayat kesehatan sekarang
Mengapa pasien masuk RS dan apa keluhan utama pasien, sehingga
dapat ditegakkan prioritas masalah keperawatan yang dapat muncul.
c. Riwayat kesehatan dahulu
Apakah sudah pernah dibawa ke RS dan dirawat dengan penyakit yang
sama.
d. Riwayat kesehatan keluarga
Apakah ada dalam keluarga yang sakit seperti pasien.
e. Riwayat psikososial
Intrapersonal : perasaan yang dirasakan klien (cemas/sedih)
Interpersonal : hubungan dengan orang lain
f. Pola fungsi kesehatan
1) Pola nutrisi dan metabolisme
Biasanya nafsu makan berkurang karena terjadi gangguan pada
usus halus.
2) Pola istirahat dan tidur
Selama sakit pasien merasa tidak dapat istirahat karena pasien
merasakan sakit pada perutnya, mual, muntah , kadang diare.
g. Pemeriksaan fisik
1) Kesadaran dan keadaan umum pasien
Kesadaran pasien perlu dikaji dari sadar-tidak sadar (composmetis-
coma) untuk mengetahui berat ringannya prognosis penyakit
pasien.
14

2) Tanda-tanda vital dan pemeriksaan fisik kepala-kaki


TD, nadi, respirasi, temperatur yang merupakan tolak ukur dari
keadaan umum pasien dan termasuk pemeriksaan dari kepala
sampai kaki dengan menggunakan prinsip-prinsip inspeksi,
auskultasi, palpasi, perkusi, disamping itu juga pembimbingan BB
untuk mengetahui adanya penurunan BB karena peningkatan
gangguan nutrisi yang terjadi, sehingga dapat dihitung keutuhan
nutrisi yang dibutuhkan.
2. Diagnosa Keperawatan
Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi.
3. Perencanaan Keperawatan
a. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi.
Tujuan : Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3 x 24 jam
diharapkan suhu dalam batas normal.
Kriteria hasil :
- Suhu tubuh normal : 36°C - 37°C
- Tanda – tanda vital normal
- Tidakadaperubahanwarnakulit
Intervensi :
1) Pantau suhu klien
R : Suhu 38°C - 41°C menunjukkan proses penyakit infeksius akut.
2) Pantau suhu lingkungan, batasi atau tambahkan linen pada tempat
tidur sesuai kebutuhan
R : Suhu ruangan atau jumlah selimut harus dirubah untuk
mempertahankan suhu mendekati normal
3) Berikan kompres hangat
R : Dapat membantu mengurangi demam
4) Kolaborasi pemberian antipiretik
R : Untuk mengurangi demam aksi sentralnya di hipotalamus.
15

BAB III
METODE PENULISAN

A. Metode Penulisan
Metode penulisan yang digunakan untuk menyusun karya tulis ini
dengan metode deskriptif untuk menggambarkan hasil asuhan
keperawatan dengan memfokuskan satu masalah penting dengan analisa
sederhana. Penulisan ini dilakukan untuk mengetahui asuhan keperawatan
dengan masalah hipertermi pada pasien typhoid abdominalis.

B. Sampel
Menurut Nursalam (2008, hlm 91) “Sampel terdiri dari bagian
populasi terjangkau yang dapat dipergunakan sebagai subjek penelitian
melalui sampling”. Sampel yang digunakan adalah pasien dengan
perubahan suhu tubuh pada pasien typhoidabdominalis.
Kriteria sampel dapat dibedakan menjadi dua bagian :
1. Kriteria inklusi
Kriteria inklusi adalah karakteristik umum subjek penelitian dari
suatu populasi target yang terjangkau dan akan diteliti. Pertimbangan
ilmiah harus menjadi pedoman saat menentukan criteria inklusi.
Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah:
a. Pasien yang bersedia menjadi responden.
b. Pasien dengan typhoid di RSU BLUDBendan Pekalongan
c. Pasien rawat inap dengan usia diatas 18 tahun
d. Pasienyang mengalami peningkatan suhu tubuhdiatas 37,8°C
e. Pasien dengan keadaan sadar dan kooperatif.
2. Kriteria eksklusi
Kriteria eksklusi adalah menghilangkan / mengeluarkan subjek
yang memenuhi kriteria inklusi dari studi karena berbagai sebab-sebab
tertentu.
16

Kriteria eksklusi dalam penelitian ini antara lain:


a. Pasienyang saat dilakukan tindakan keperawatan menolak menjadi
responden lagi.
b. Pasien yang memiliki suhu antara 36° C -37,8°C (suhu normal)
c. Pasien dengan hipertermi tetapi bukan karena typhoid abdominalis.

C. Ruang Lingkup
Tempat dan Waktu
1. Tempat
Pengambilan kasus Karya Tulis Ilmiah dilakukan di Ruang Jlamprang
RSU BLUD Bendan Kota Pekalongan.
2. Waktu
Pengambilan kasus dilakukan pada tanggal 27 Februari 2017sampai
29 Februari 2017.

D. Pengumpulan Data
1. Teknik observasi
Merupakan teknik pengumpulan data dengan mengobservasi atau
memantau (mengamati) suatu objek untuk mendapatkan data.
Mengamati keadaan pasien saat di ruangan seperti apakah ada tanda
gejala perubahan suhu tubuh.

2. Teknik wawancara
Merupakan teknik pengumpulan data dengan mewawancarai atau
memberikan pertanyaan – pertanyaan yang sesuai dengan studi
pembelajaran yang dilakukan guna mendapatkan data yang
diinginkan. Dengan memberikan pertanyaan kepada pasien misalnya
penyebab typhoid abdominalis, apakah ada riwayat typhoid
abdominalis, tindakan yang dilakukan untuk mengatasi peningkatan
suhu tubuh.
17

3. Pengukuran Suhu Tubuh


Pengukuran suhu tubuh ditunjukkan untuk memperoleh suhu inti
jaringan tubuh. Pengukuran suhu tubuh ini menggunakan termometer.
Termometer yang biasa dipakai adalah termometer air raksa melalui
ketiak.

4. Studi dokumentasi
Pendataan dari berbagai teknik pengumpulan data yang telah
dilakukan agar tercatat data yang relevan. Mencatat dari semua
pengumpulan data dengan asuhan keperawatan pada pasien typhoid
abdominalis.

E. Analisis
Penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini penulis menggunakan analisis
deskriptif dengan menggambarkan teori mengenai asuhan keperawatan
peningkatan suhu tubuh pada pasien typhoid abdominalis dengan fakta
asuhan keperawatan yang ada di RSU BLUD Bendan Kota Pekalongan.

Anda mungkin juga menyukai