KELAS : 2B KEPERAWATAN
TAHUN AJARAN
2022
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami hadiahkan untuk Tuhan Yang Maha Esa dimana berkat rahmat
serta hidayah-Nya kami akhirnya dapat menyelesaikan makalah tentang “Asuhan
Keperawatan Pada Pasien Dengan Penyakit Ulkus Peptikum Dan Gastroenteritis”. Kami
sangat berterimakasih kepada ibu Ns. Rima Novia Putri, S.Kep dimana dengan bimbingan
dan arahannya kami berhasil membuat suatu makalah.
Kami juga berterimakasih kepada semua orang yang ikut berpartisipasi dalam
pembuatan makalah ini. Kami menyadari bahwa terdapat banyak kata-kata maupun kalimat
yang belum sempurna kiranya para pembaca sekalian dapat meberikan kritik, saran dan
masukan yang membangun untuk kami agar kami dapat menyempurnakan makalah ini.
Sekian saja dari kata pengantar yang kami buat sekiranya para pembaca sekalian dapat
memberikan saran serta masukannya.
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kesehatan merupakan kebutuhan bagian dari manusia yang sangat mendasar oleh
karena itu setiap individu berhak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan bagi dirinya
secara maksimal (Depkes RI, 2012). Tanda tubuh yang sehat adalah memiliki pencernaan
yang sehat. Ini terjadi di karenakan apa yang kita konsumsi setiap hari menjadi penentu
kesehatan tubuh. Ketika makanan yang dikonsumsi kurang bernutrisi, maka yang paling
awal terkena dampaknya adalah sistem pencernaan (Sulaeman, 2018).
Sistem pencernaan terdiri atas sejumlah organ berawal di rongga mulut kemudian
berlanjut ke esophagus dan lambung, usus halus, usus besar, dan berakhir di rektum
(anus). Makanan disimpan sementara di lambung sampai disalurkan ke usus halus.
Pencernaan dan penyerapan makanan berlangsung di usus halus, makanan kemudian
masuk ke usus besar. Mukus di sekresikan di sepanjang usus. Tanpa produksi mukus,
integritas dinding usus akan terganggu sehingga akan menyebabkan ulkus peptikum
(Corwin, 2009).
Penyakit ini terjadi dengan frekuensi paling besar pada individu antara usia 40 dan 60
tahun. Tetapi, relative jarang pada wanita menyusui, meskipun telah di observasi pada
anak-anak dan bahkan pada bayi. Pria terkenal lebih sering dari pada wanita, karna dari
faktor gaya hidup pria seperti kebiasaan minum-minuman yang mengandung kafein,
merokok dan stress tapi terdapat beberapa bukti bahwa insiden pada wanita hampir sama
dengan pria. Setelah menopause, insiden ulkus peptikum pada wanita hampir sama
dengan pria. Diperkirakan bahwa 5% sampai 15% dari populasi di Amerika Serikat
mengalami ulkus, tetapi hanya kira-kira setengahnya yang diketahui. Insiden ini telah
menurun sebanyak 50% selama 20 tahun terakhir (Smeltzer, 2013).
Badan Penelitian dan pengembangan Kesehatan (BPPK) Depkes (2008) menyatakan
bahwa pada tahun 2005-2008, ulkus peptikum di Indonesia menempati urutan ke-10
dalam kategori penyebab kematian pada kelompok umur 45-54 tahun pada laki-laki
(2,7%). Prevalensi ulkus peptikum di Indonesia sebanyak 14% (Akil, 2009).
Dampak dari ulkus peptikum dapat terjadi perdarahan jika ulkus menyebabkan erosi
arteri atau vena di usus. Hal ini dapat menyebabkan hematemesis (muntah darah), atau
melena (keluarnya darah dari saluran gastrointestinal atas melalui feses). Apabila
perdarahannya hebat dan mendadak, dapat timbul gejala syok. Apabila perdarahannya
lambat, dapat terjadi anemia (Corwin, 2009).
Penanganan pada ulkus peptikum biasanya dengan menghindari makanan yang dapat
menyebabkan sekresi asam hidroklorida berlebih, menghindari minum-minuman alkohol
dan kafein dapat meredakan gejala serta meningkatan proses penyembuhan ulkus yang
sudah ada. Penderita ulkus akibat helicobacter pylori dapat ditangani dengan penambahan
antibiotik. Penatalaksanaan stress, teknik relaksasi, atau dapat digunakan untuk mnegatasi
pengaruh psikologis (Corwin, 2009).
Meskipun angka kejadian kecil namun penyakit tukak peptik perlu mendapat
perhatian serius karna bila tidak di tangani dengan benar dapat menyebabkan
kekambuhan, komplikasi pendarahan pada saluran cerna, kanker bahkan dapat
menyebabkan kematian. Di harapkan dengan adanya evaluasi pengobatan tukak peptik
dapat menjadi pertimbangan penting bagi kesehatan untuk memberikan pengobatan
kepada pasien sehingga tercapai keberhasilan terapi yang optimal (Putri, 2010).Hal ini
menjadi sangat penting mengingat tingginya angka kekambuhan paska pengobatan ulkus
peptikum dengan memberikan edukasi yang tepat adalah mengenai perubahan gaya hidup
yang mampu mengurangi faktor resiko ulkus peptikum di kemudian hari. Sebagai contoh
perawat dapat melakukan tindakan teknik relaksasi atau sedative dapat di gunakan untuk
mengatasi pengaruh psikologis.
Peran perawat sangat penting dalam pemberian asuhan keperawatan pasien. dengan
ulkus peptikum secara komprehensif dan profesional Asuhan keperawatan yang di
berikan pada pasien dengan ulkus peptikum bertujuan untuk mengatasi masalah
keperawatan yang di alami klien melalui lima tahapan asuhan keperawatan meliputi
pengkajian keperawatan, diagnosa keperawatan, perencanaan keperawatan, pelaksanaan
keperawatan, evaluasi keperawatan (Smeltzer, 2013).Dibutuhkan peran perawat dalam
proses penyembuhan dengan perawatan yang tepat seperti mengajarkan teknik
manajemen nyeri, mengatur posisi, memberikan edukasi tentang pengobatan ulkus
peptikum, menganjurkan pasien untuk makan sedikit tapi sering, dan makan secara
perlahan.
Membahas tentang ulkus peptikum adapun peradangan yang terjadi pada lambung
dan usus yang ditandai dengan gejala diare dengan atau tanpa disertai muntah, dan
seringkali disertai peningkatan suhu tubuh yaitu disebut dengan gastroenteritis (Suratun,
2010). Menurut WHO (1980) gastroenteritis adalah buang air besar encer atau cair lebih
dari tiga kali sehari. Gastronteritis dapat dibagi dalam gastroenteritis akut dan kronis
( Setiawan, 2006; Talley, 1998).
Gastroenteritis ini masih menjadi salah satu masalah kesehatan, jutaan kasus
dilaporkan setiap tahun diperkirakan sekitar 4-5 juta orang meninggal karena
gastroenteritis akut. WHO memperkirakan empat milyar kasus terjadi di dunia pada tahun
2000 dan 2,2 juta diantaranya meninggal, sebagian besar anak-anak di bawah umur 5
tahun (Adisasmito, 2007).
Indonesia mencatat angka kejadian gastroenteritis atau diare yaitu sekitar 120-130
kejadian per 1000 penduduk, dan sekitar 60% kejadian tersebut terjadi pada balita.
Kejadian luar biasa setiap tahun terjadi sekitar 150 kejadian dengan jumlah kasus sekitar
20.000 orang dan angka kematian sekitar 2% (Irianto et al., 1994). Gastroenteritis
merupakan salah satu penyakit endemik di Indonesia terutama gastroenteritis akut. Angka
kejadian gastroenteritis akut di sebagian besar wilayah Indonesia hingga saat ini masih
tinggi termasuk angka morbiditas dan mortalitasnya. Menurut Departemen Kesehatan
Republik Indonesia (Depkes RI), WHO menyebutkan angka kematian karena diare di
Indonesia sudah menurun, tapi angka penderitanya tetap tinggi, terutama di negara
berkembang. Penyebaran penyakit gastroenteritis ini juga tersebar ke semua wilayah di
Indonesia dengan penderita terbanyak adalah bayi dan balita. Pada umumnya
gastroenteritis akut di Indonesia disebabkan oleh masalah kebersihan lingkungan,
kebersihan makanan, dan juga infeksi mikroorganisme (bakteri, virus, dan jamur)
(Diastyrini, 2009).
Terapi pertama bagi penderita gastroenteritis akut tanpa dehidrasi, dan dehidrasi
ringan-sedang adalah dengan pemberian CRO (cairan rehidrasi oral). Pemberian CRO
yang tepat dengan jumlah yang memadai merupakan modal yang utama mencegah
dehidrasi. Terapi lain yang dapat diberikan adalah adsorben (attapulgit dan pektin), dan
antiemetik (metoklopramid, domperidon, dan ondansentron). Pemberian antibiotik
diindikasikan pada keadaan tertentu seperti gastroenteritis yang terindikasi infeksi
patogen serta gastroenteritis pada bayi dan anak dengan keadaan immunocompro-mised
(FKUI, 2007).
Antibiotik adalah obat atau zat yang dihasilkan oleh suatu mikroba, terutama fungi,
yang dapat menghambat mikroba lain (jasad renik/bakteri), khususnya mikroba yang
merugikan manusia yaitu mikroba penyebab infeksi pada manusia. Terapi antibiotik
diindikasikan untuk gastroenteritis yang disebabkan oleh infeksi bakteri. Hal ini
dikarenakan antibiotika merupakan obat andalan untuk terapi infeksi bakteri. Antibiotik
sebagai terapi infeksi merupakan salah satu obat yang hingga saat ini paling banyak
diresepkan dan diperkiraan sepertiga pasien rawat inap mendapat antibiotik dengan biaya
mencapai 50% dari anggaran untuk obat di rumah sakit (Munaf, 1994).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan dibahas
adalah mengenai bagaimana Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Penyakit Ulkus
Peptikum Dan Gastroenteriti?
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari pembuatan makalah ini adalah mampu memberikan asuhan
keperawatan pada pasien dengan penyakit ulkus peptikum dan gastroenteritis.
2. Tujuan Khusus
a. Mampu melakukan pengkajian pada klien dengan penyakit Ulkus Peptikum dan
Gastroenteritis
b. Mampu merumuskan diagnose pada pasien dengan penyakit Ulkus Peptikum dan
Gastroenteritis
c. Mampu menyusun intervensi pada pasien dengan penyakit Ulkus Peptikum dan
Gastroenteritis
d. Mampu mengimplementasi keperawatan pada pasien dengan penyakit Ulkus
Peptikum dan Gastroenteritis
e. Mampu mengevaluasi asuhan keperawatan pada pasien dengan penyakit Ulkus
Peptikum dan Gastroenteritis
D. Manfaat
1. Bagi Institut Pendidikan diharapkan asuhan keperawatan dengan penyakit Ulkus
Peptikum dan Gastroenteritis ini dapat menambah wawasan bagi mahasiswa dan
sebagai referensi.
2. Bagi pembaca diharapkan dapat menambah informasi, pengetahuan, dan
pemahaman dalam memahami asuhan keperawatan dengan penyakit Ulkus
Peptikum dan Gastroenteritis
3. Bagi penulis diharapkan dapat menambah pengetahuan yang lebih mendalam
dalam memahami asuhan keperawtan dengan penyakit Ulkus Peptikum dan
Gastroenteritis
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Dasar Ulkus Peptikum
1. Defenisi
Istilah ulkus peptikum digunakan untuk erosi lapisan mukosa di bagian mana
saja di saluran GI, tetapi biasanya di lambung atau duo denum. Ulkus peptikum atau
tukak lambung adalah istilah untuk ulkus di lambung. (Corwin, 2010).
2. Etiologi
Pada umumnya penyebab dari ulkus peptikum adalah ketidakseimbangan antar
sekresi cairan lambung dan derajat perlindungan yang diberikan mukosa
gastroduodenal dan netralisasi asam lambung oleh cairan duodenum (Arif Mutaqqin,
2011). Ada 2 penyebab utama terjadinya ulkus (tukak):
a. Penurunan produksi mucus sebagai penyebab ulkus
Kebanyakan ulkus terjadi jika sel-sel mukosa usus tidak menghasilkan produksi
mucus yang adekuat sebagai perlindungan terhadap asam lambung. Penyebab
utama penurunan produksi mucus berhubungan dengan infeksi bacterium H.
pylori membuat kolom pada sel-sel penghasil mucus di lambung dan duodenum,
sehingga menurunkan kemampuan sel memproduksi mucus.
b. Kelebihan asam sebagai penyebab ulkus
Pembentukan asam di lambung penting untuk mengaktifkan enzim pencernaan
lambung. Asam hidroklorida (HCL) dihasilkan oleh sel-sel parietal sebagai respon
terhadap makanan tertentu, obat, hormone. Makanan dan obat seperti kafein dan
alkohol menstimulasi sel-sel parietal untuk menhasilkan asam.
3. Klasifikasi
a. Ulkus gaster / Ulkus lambung
Ulkus gester tipe I merupakan yang paling umum dan sering terjadi pada
kurvatura minor pada penghubung antara mukosa fundus dan antrum, tipe ini
sering dikaitkan dengan hiposekresi asam, ulkus tipe ini diperkirakan merupakan
konsekuensi dari ketidakmampuan defensive mukosa dibandingkan hipersekresi
asam. Ulkus gaster tipe II ditemukan pada badan gaster yang merupakan
sambungan dari ulkus duodenum, sementara tipe III terjadi pada region prepilori.
Ulkus tipe II dan III berhubungan dengan peningkatan sekresi asam lambung.
Ulkus gaster tipe hampir sama dengan tipe IV namun lokasi terletak pada area
kurvatura minor yang lebih tinggi hampir mendekati gastroesophagel junction.
b. Ulkus duodenum
Meski infeksi H. Pylori merupakan penyebab tersering dari ulkus duodenum,
mekanisme pasti bagaimana bakteri ini dapat menyebabkan ulkus masih belum
jelas. Ulserasi duodenum sangat berhubungan dengan hipersekresi asam namun
hal ini bukan pathogrnesis satu satunya. Sepertinya ada ketidakseimbangan antara
asam pada duodenum, faktor defensive mukosa dan kapasitas penyangga dari
duodenum yang kemudian menyebabkan terajadinya ulserasi pada duodenum.
c. Ulkus stress
Gangguan mukosa yang berhubungan dengan stress pada saluran pencernaan
merupakan masalah umum sebagai hasil dari stress fisiologis yang berat pada
pasien sakit kritis, dimana 75%-100% pasien menunjukan adanya kerusakan
mukosa dalam 24 jam perawatan di ruang perawatan intensif (ICU). Penurunan
aliran darah gaster mungkin menjadi faktor utama pada lesi mukosa yang
berhubungan dengan stress.
5. Patofisiologi
Ulkus peptikum terjadi pada mukosa gastroduodenal karena jaringan ini tidak
dapat menahan kerja asam lambung pencernaan (asam hidroklorida dan pepsin). Erosi
yang terjadi berkaitan dengan peningkatan konsentrasi dan kerja asam pepsin, atau
berkenaan dengan penurunan pertahanan normal dari mukosa. Mukosa yang rusak
tidak dapat mensekresi mucus yang cukup bertindak sebagai barrier terhadap asam
klorida. Sekresi lambung terjadi pada 3 fase serupa:
a. Sefalik
Fase pertama dimulai dengan rangsangan seperti pandangan, bau atau rasa
makanan yang bekerja pada reseptor kortikal serebral yang pada gilirannya
merangsang saraf vagal. Intinya, makanan yang tidak menimbulkan nafsu makan
menimbulkan sedikit efek pada sekresi lambung. Inilah yang menyebabkan
makanan sering secara konvensional diberikan pada pasien dengan ulkus
peptikum. Saat ini banyak ahli gastroenterology menyetujui bahwa diet saring
mempunyai efek signifikan pada keasaman lambung atau penyembuhan ulkus.
Namun, aktivitas vagal berlebihan selama malam hari saat lambung kosong adalah
iritan yang signifikan.
b. Fase lambung
Fase ini asam lambung dilepaskan sebagai akibat dari rangsangan kimiawi dan
mekanis terhadap reseptor di dinding lambung. Pemicu stres menyebabkan sekresi
asam sebagai respon terhadap distensi lambung oleh makanan.
c. Fase usus
Dalam usus halus terdapat makanan yang menyebabkan pelepasan hormon
(dianggap menjadi gastrin) yang pada waktunya akan merangsang sekresi asam
lambung. Sekresi lambung pada manusia adalah campuran mukopolisakarida dan
mukoprotein yang disekresikan secara kontinu melalui kelenjar mukosa. Mukus
ini mengabsorpsi pepsin dan melindungi mukosa terhadap asam. Asam
hidroklorida disekresikan secara kontinu, tetapi sekresi meningkat karena
mekanisme neurogenik dan hormonal yang dimulai dari rangsangan lambung dan
usus (Mitchell, Richard N., 2008).
6. WOC
Penyebab dan faktor:
Asam dalam lumen, empedu, alkohol, NSAIDs, H. pillory, stress, hereditor,
makanan/minuman yang dapat mengiritasi lambung
Pengeluaran histamin
Mual
Merangsang sekresi asam sehingga
meningkat Anoreksia
Ulkus peptikum
Defisit nutrisi
2. Diagnosa Keperawatan
a. Pengertian masalah keperawatan
Masalah keperawatan atau diagnosis keperawatan merupakan suatu penilaian
klinis mengenai respons klien terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan
yang dialaminya baik yang berlangsung aktual maupun potensial. Diagnosis
keperawatan bertujuan untuk mengidentifikasi respons klien individu, keluarga,
dan komunitas terhadap situasi yang berkaitan dengan kesehatan (Tim Pokja
SDKI DPP PPNI, 2017).
b. Komponen masalah keperawatan
Diagnosis keperawatan memiliki dua komponen utama yaitu masalah (problem)
atau label diagnosis dan indicator diagnosis. Masing-masing komponen diagnosis
diuraikan sebagai berikut:
a) Masalah (problem)
Masalah merupakan label diagnosis keperawatan yang menggambarkan inti
dari respons klien terhadap kondisi kesehatan atau penjelas dan fokus
diagnostik.
b) Indikator diagnostik
Indikator diagnostik terdiri atas penyebab, tanda/gejala, dan faktor resiko
dengan uraian sebagai berikut:
1 Penyebab (etiologi) merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi
perubahan status kesehatan. Etiologi dapat mencakup empat kategori
yaitu:
a) Fisiologis, biologis atau psikologis;
b) Efek terapi/tindakan;
c) Situasional (lingkungan atau personal),
d) Maturasional.
2 Tanda (Sign) dan gejala (symptom). Tanda merupakan data objektif yang
diperoleh dari hasil pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan
prosedur diagnostik, sedangkan gejala merupakan data subyektif yang
diperoleh dari hasil anamnesis. Tanda/gejala dikelompokkan menjadi dua
kategori yaitu:
a) Mayor: Tanda/gejala ditemukan sekitar 80%-100% untuk validasi
diagnosis.
b) Minor: Tanda/gejala tidak harus ditemukan, namun jika ditemukan
dapat mendukung penegakan diagnosis.
3 Faktor resiko merupakan kondisi atau situasi yang dapat meningkatkan
kerentanan klien mengalami masalah kesehatan.
c) Kriteria Mayor dan Minor
Menurut (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017) menyatakan kriteria mayor
merupakan tanda atau gejala yang ditemukan 80%-100% pada klien untuk
validasi diagnosis. Sedangkan kriteria minor merupakan tanda atau gejala
yang tidak harus ditemukan, namun jika ditemukan dapat mendukung
penegakkan diagnosis.
3. Intervensi Keperawatan
9.Menyarank
an kebiasaan
untuk oral
hygiene
sebelum dan
sesudah
makan
Rasional:
meningkatka
n selera
makan klien
10.Kolaboras
i dengan ahli
gizi untuk
membantu
memilih
makanan
yang dapat
memenuhi
kebuhan gizi
selama sakit
Rasional:
ahli gizi
adalah
spesialisasi
dalam ilmu
gizi yang
membantu
klien memilih
makanan
sesuai dengan
kedaan
sakitnya,usia,
tinggi dan
berat
badannya
Rasional:
memberi
gambaran
tentang
pilihan terapi
yang akan
digunakan
6.Tanyakan
kembali
pengetahuan
klien tentang
penyakit,
prosedur
perawatan
dan
pengobatan
Rasional:
mengulang
atau
mereview
kembali
tentang
penyakit
yang diderita
oleh klien
Kolaborasi:
1. Kolaborasi
pemberian
cairan IV
isotonis (mis,
NaCI, RL)
2. Kolaborasi
pemberian
caliran IV
hipotonis
(mis. glukosa
2,5%,
NaCl0,4%)
3. Kolaborasi
pemberian
cairan koloid
(mis. albumin,
Plasmanate)
4. Kolaborasi
pemberian
produk darah
Kolaborasi: Rasional:
untuk
1. Kolaborasi mengurangi
pemberian tingkat
analgetik, jika ketidaknyam
perlu anan yang
dirasakan
klien.
7.Hilangkan
faktor
presipitasi
yang dapat
meningkatka
n
pengalamann
yeri klien
(ketakutan,
kurang
pengetahuan)
Rasional:
agar nyeri
yang
dirasakan
klien tidak
bertambah.
8.Ajarkan
cara
penggunaan
terapi non
farmakologi
(relaksasi)
Rasional:
agar klien
mampu
menggunaka
n teknik
nonfarmakol
ogi dalam
memanajeme
n nyeri yang
dirasakan.
9.Kolaborasi
pemberian
analgetik
Rasional:
pemberian
analgetik
dapat
mengurangi
rasa nyeri
pasien
4. Implementasi Keperawatan
Menurut (Potter & Perry, 2011) dalam buku Konsep & Penulisan Asuhan
Keperawatan, implementasi keperawatan adalah pengelolaan dan perwujudan dari
rencana keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan. OIeh karena itu, jika
intenvensi keperawatan yang telah dibuat dalam perencanaan dilaksanakan atau
diaplikasikan pada pasien, maka tindakan tersebut disebut implementasi keperawatan
Komponen yang terdapat pada implementasi adalah :
a. Tindakan observasi
Tindakan observasi adalah tindakan yang ditujukan untuk mengumpulkan dan
menganalisis data status kesehatan klien.
b. Tindakan terapeutik
Tindakan terapeutik adalah tindakan yang secara lansung dapat berefek
memulihkan status kesehatan klien atau dapat mencegah perburukan masalah
kesehatan klien.
c. Tindakan edukasi
Tindakan edukasi adalah tindakan yang ditujukan untuk meningkatkan
kemampuam pasien merawat dirinya dengan membantu pasien memperoleh
perilaku baru yang dapat mengatasi masalah.
d. Tindakan kolaborasi
Tindakan kolaborasi adalah tindakan yang membutuhkan kerjasama baik dengan
perawat lainnya maupun dengan profesi kesehatan lainnya.
5. Evaluasi Keperawatan
Menurut (Potter & Perry, 2011). dalam buku Konsep & Penulisan Asuhan
Keperawatan, tahap penilaian atau evaluasi adalah perbandingan yang sistematis dan
terencana tentang kesehatan klien dengan tujuan yang telah ditetapkan, dilakukan
dengan cara berkesinambungan dengan melibatkan klien, keluarga, dan tenaga
kesehatan lainnya. Komponen catatan perkembangan, antara lain sebagai berikut :
Kartu SOAP (data subjektif, data objektif, analisis/assessment, dan perencanaan/plan)
dapat dipakai untuk mendokumentasikan evaluasi dan pengkajian ulang.
a. S (Subjektif): data subjektif yang diambil dari keluhan klien, kecuali pada klien
yang afasia.
b. O (Objektif): data objektif yang diperoleh dari hasil observasi perawat, misalnya
tanda-tanda akibat penyimpanan fungsi fisik, tindakan keperawatan, atau akibat
pengobatan.
c. A (Analisis/assessment): berdasarkan data yang terkumpul kemudian dibuat
kesimpulan yang meliputi diagnosis, antisipasi diagnosis atau masalah potensial,
dimana analisis ada 3, yaitu (teratasi, tidak teratasi, dan sebagian teratasi)
sehingga perlu tidaknya dilakukan tindakan segera. Oleh karena itu, sering
memerlukan pengkajian ulang untuk menentukan perubahan diagnosis, rencana,
dan tindakan.
d. P (Perencanaan/planning): perencanaan kembali tentang pengembangan tindakan
keperawatan, baik yang sekarang maupun yang akan datang (hasil modifikasi
rencana keperawatan) dengan tujuan memperbaiki keadaan kesehatan klien.
Proses ini berdasarkan kriteria tujuan yang spesifik dan periode yang telah
ditentukan.