Anda di halaman 1dari 12

Latar Belakang

Gangguan akibat cacing pada sapi perah dapat menyebabkan penurunan produksi susu
pada rernak dewasa dan hambatan pertumbuhan pada ternak muda. Selain itu akibat infeksi
cacing parasite menyebabkan kondisi tubuh ternak menurun sehingga dapat menggagalkan
vaksinasi dan memungkinkan timbulnya berbagai penyakit lain seperti bacterial, viral maupun
parasite lainnya (Zalizar, 2017)

Peternakan tidak lepas dari berbagai hambatan dan kendala, termasuk penyakit akibat
cacing parasit berupa Nematoda, Trematoda dan Cestoda maupun penyakit yang diakibatkan
oleh kehadiran beberapa jenis ektoparasit. Penyakit ternak akibat parasit ini dapat merugikan
secara ekonomis, karena dapat menurunkan produktifitas dari ternak tersebut. Berdasarkan survei
di beberapa pasar hewan di Indonesia menunjukkan bahwa 90% ternak sapi dan kerbau
mengidap penyakit cacingan yaitu cacing hati (Fasciola hepatica), cacing gelang (Neoascaris
vitulorum) dan cacing lambung (Haemonchus contortus)

Kendala yang dihadapi oleh masyarakat dalam beternak sapi umumnya gangguan penyakit
ternak seperti parasit. Parasit sebagai penghambat bagi gerak laju pembagunan peternakan, salah
satunya peningkatan populasi serta produksi ternak. Gangguan penyakit peternakan merupakan salah
satu hambatan yang dihadapi dalam pengembangan peternak. Salah satu penyakit parasit yang sangat
merugikan dan dapat menurunkan populasi dan menimbulkan tingkat kerugian yang besar bagi
peternak yaitu Caplak Boophilus sp. merupakan jenis caplak keras

Penyakit strategis atau penyakit hewan menular strategis (PHMS) adalah penyakit yang
tergolong patogen dan secara ekonomis sangat merugikan Salah satu penyebabnya adalah coccidiosis.
Coccidiosis merupakan salah satu masalah utama pada ternak muda. Sebagian besar hewan yang
terinfeksi coccidia kadang tidak menunjukkan gejala klinis penyakit. Kondisi ini dikenal sebagai
coccidiosis subklinis.

Tinjauan Pustaka

Kehadiran fauna parasit terutama cacing pada hewan di peternakan merupakan salah satu
permasalahan yang sering dihadapi peternak. Pola pemberian pakan, faktor-faktor lingkungan
(suhu, kelembaban, dan curah hujan) serta sanitasi yang kurang baik dapat mempengaruhi
berkembangnya parasit khususnya cacing gastrointestinal pada hewan ternak (Handayani et al.,
2015)

Sapi dapat terkena parasit oleh lebih dari 18 spesies nematoda gastrointestinal, infeksi
yang menyebabkan gastroenteritis parasit. Nematoda gastrointestinal yang paling penting secara
ekonomi pada sapi adalah Ostertagia ostertagi. Meskipun pengobatan untuk nematoda
gastrointestinal terutama ditujukan pada hewan penggembalaan tahun pertama yang rentan, baru-
baru ini ada kecenderungan untuk juga mengobati sapi di musim penggembalaan kedua dan
dalam beberapa keadaan bahkan hewan dewasa, terutama di mana cacing lain seperti cacing hati
dan cacing paru dapat ditemui (356, (Taylor et al., 2016)

Prevalensi penyakit protozoa darah sapat ditemukan lebih tinggi pada kerbau
dibandingkan pada sapi. Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor diantaranya kondisi
kandang dan pola hidup ternak. Kondisi kandang ternak dapat mempengaruhi kerentanan ternak
terhadap penyakit. Kondisi kandang kerbau yang diambil sampelnya dalam penelitian ini
ditemukan banyak tumpukan feses. Tumpukan feses yang banyak dapat menunjukkan terjadinya
siklus hidup yang lancar dari vektor penyakit protozoa darah, sehingga lalat akan terus
berkembang biak dan terus menginfeksi ternak (Anggraini et al., 2019)

Parasit gastrointestinal tidak langsung menyebabkan kematian akan tetapi infeksi cacing
parasit gastrointestinal yang mengakibatkan sapi menjadi diare, kurus, lemas, sehingga
menurunkan daya produksi. Endoparasit gastrointestinal yang bersimbiosis parasitisme dengan
inang dan menyerang pada organ pencernaan umumnya mengambil sebagian nutrisi inang,
memakan jaringan inang atau menggunakan sel pada organ pencernaan untuk menyelesaikan
fase hidupnya (Fauziah et al., 2017).

Sesuai dengan siklus hidupnya, sapi akan terinfeksi oleh protozoa gastrointestinal karena
tertelannya stadium infektif dari protozoa tersebut. Sehingga hal tersebut dapat meningkatkan
resiko terjadinya penularan protozoa gastrointestinal diantara sapi bali yang dipelihara. Faktor
pengobatan juga merupakan salah satu aspek dari manajemen pemeliharaan yang berpengaruh
terhadap prevalensi infeksi protozoa gastrointestinal. Pemberian obat dan vitamin akan
meningkatkan daya tahan tubuh sapi sehingga mampu untuk mengeliminasi protozoa itu sendiri
dan hal ini efektif dalam menurunkan infeksi parasit pada sapi (Rahmawati et al., 2018).

Banyak spesies coccidian pada mamalia memiliki kepentingan patogen yang kecil dan
jumlah ookista tinja yang tinggi dapat ditemukan pada hewan yang sehat. Patogenisitas terkait
dengan ukuran, posisi (apakah superfisial atau dalam) dan lokasi tahapan siklus hidup. Sebagai
contoh, beberapa spesies patogen pada ruminansia tumbuh menjadi makroskizon besar (diameter
lebih dari 300 m dan mengandung ratusan ribu merozoit) di dalam sel endotel yang melapisi
pembuluh limfatik di vili usus (lakteal). Coccidia yang berkembang di usus kecil dapat
menyebabkan gangguan pencernaan, sedangkan yang di usus besar mengganggu penyerapan air
(250, Jacob, et al 2016)

Tritrichomonas fetus adalah parasit menular seksual pada sapi, dan meskipun juga
ditemukan sebagai infeksi menular seksual pada hewan lain (misalnya kuda), biasanya tidak
bersifat patogen. Terdapat peningkatan laporan Tritrichomonas foetus yang menyebabkan diare
usus besar pada kucing domestik di Inggris, Amerika Serikat dan sebagian Eropa. Bagaimana
kucing bisa terinfeksi parasit menular seksual pada ternak masih menjadi misteri (40, Gunn dan
Pitt, 2012)
Tingginya prevalensi infeksi tunggal dari parasit disebabkan serangan parasit umum
terjadi pada hewan ternak. Infeksi yang terjadi pada hewan ternak tersebut diakibatkan oleh
lemahnya ketahanan tubuh hewan dalam melawan serangan parasite. Infeksi multispesies atau
tunggal sering terjadi pada ruminansia, sehingga sulit untuk mengetahui pengaruh khusus yang
ditimbulkan. Infeksi yang terjadi biasanya dilakukan oleh bermacam-macam jenis cacing yang
terjadi baik pada abomasum, usus dan organ lain, sehingga pengaruhnya berupa kombinasi atau
campuran dari parasit yang ada (Mursyid et al., 2020)

Jenis cacing Fasciola sp yang sering menginfeksi hewan ternak terutama sapi yakni F.
hepatica dan F. gigantica. Cacing ini merupakan t rematoda yang dapat menginfeksi inang
melalui makanan misalnya melalui rumput atau air minum yang mengandung telur parasit , yang
terbawa siput Lymneae. Ditemukannya parasite ini kemungkinan diakibatkan sistem pemeliharan
sapi – sapi tersebut masih secara ekstensif di padang gembala sehingga memudahkan terjadinya
infeksi (Tolistiawati et al., 2016)

Infestasi cacing Strongyle lebih tinggi dari infestasi cacing nematode lainnyan karena
kelompok cacing ini mempunyai daur hidup yang sederhana, sehingga dengan mudah dapat
menghasilkan populasi parasit yang segera dapat menginfeksi hospes definitif secara langsung
tanpa memerlukan hospes intermediet. Infestasi Fasciola sp. pada pedet cukup rendah, hal ini
karena pada pedet cacing ini belum sempat berkembang menjadi cacing dewasa sehingga
produksi telur cacing belum terjadi. Kasus cestodiosis sangat kecil, karena biasanya cacing ini
jarang menimbulkan masalah, kecuali jika menyerang ternak yang sangat muda dalam jumlah
besar (Purwaningsih dan Sumiarto, 2012)

Taenia saginata merupakan species cacing pita yang menyerang sapi. Ketika tertelan oleh
sapi (sapi atau kerbau), kulit telur pecah melepaskan onchosphere di duodenum. Onchospheres,
dengan kaitnya menembus dinding usus, mencapai venula mesenterika atau limfatik dan
memasuki sirkulasi sistemik. Mereka disaring di otot-otot lurik, terutama di otot-otot lidah, leher,
bahu, ham, dan di miokardium (122, Paniker dan Ghosh, 2013)

Spesies patogen dari Eimeria spp. dengan tingkat patogenitas tinggi dan mampu
menyebabkan kematian pada sapi khususnya usia muda adalah Eimeria zuernii dan Eimeria
bovis. Sapi dewasa lebih tahan terhadap infeksi Eimeria spp. karena memiliki imunitas (tingkat
kekebalan) yang cukup dan sistem kekebalan akan mudah terbentuk ketika terjadi infeksi.
Koksidiosis menyebabkan berbagai permasalahan kesehatan pada ternak dan menimbulkan
kerugian ekonomi dengan kebanyakan mempunyai gejala yang bersifat subklinis (Muhamad et
al., 2021).

Tinggi dan rendahnya prevalensi dari ektoparasit maupun endoparasit yang ditemukan
pada sebuah penelitian, kemungkinan dipengaruhi oleh faktor sanitasi, bersih atau tidaknya
kandang sapi perah, serta pemberian vaksin secara teratur atau tidak, juga dapat mempengaruhi
tinggi dan rendahnya prevalensi kehadiran dari ektoparasit dan endoparasit pada sapi perah
tersebut (Irsya et al., 2017).

Dapus

Anggraini, M., Primarizky, H., Mufasirin, Suwanti, L. S., Hastutiek, P dan Koesdarto, S. (2019).
Prevalensi penyakit protozoa darah pada sapid an kerbau di KEcamatan Moyo Hilir
Kabupaten Sumbawa Nusa Tenggara Barat. Journal of Parasite Science, 3(1): 9-14.

Fauziah, Morica, C. D. dan Rosnizar. (2017). prevalensi parasit gastrointestinal ternak sapi
berdasarkan pola pemeliharaan di kecamatan indrapuri kabupaten aceh besar. Jurnal
Bioleuser, 1(1): 7-17.

Gunn, A. dan Pitt, S. J. (2012). Parasitology: An Integrated Approach. Wiley Blackwell, West
Sussex.

Handayani, P., Santosa, P. E. dan Siswanto. (2015). Tingkat infestasi cacing saluran perncernaan
pada sapi bali di Kecamatan Sukoharjo Kabupaten Pringsewu Provinsi Lampung. Jurnal
Ilmiah Peternakan Terpadu, 3(3):127-133.

Indraswari, A. A. S., Suwiti, N. K.dan Apsari, I. A. P. (2017). Protozoa gastrointestinal: Eimeria


auburnensis dan Eimeria bovis menginfeksi sapi bali betina di Nusa Penida. Buletin
Veteriner Udayana, 9(1): 112-116

Irsya, R. P., Mairawita, dan Herwina, H. (2017). jenis-jenis parasit pada sapi perah di kota
padang panjang sumatera barat.. Jurnal Metamorfosa, 4(2):189-195.

Jacobs, D., Fox, M., Gibbons, L. dan Hermosilla, C. (2016). Principles of Veterinary
Paraasitology. Wiley Blackwell, West Sussex.

Muhamad, N., Awaludin, A. dan Nugraheni, Y. R. (2021). Koksidiosis pada sapi perah di
Kabupaten Jember, Jawa Timur-Indonesia. Jurnal Ilmu Peternakan Terapan, 4(2): 60-65

Mursyid, M. H., Rosyidi, A., Wariata, W. dan Sriasih, M. (2020). Kasus infestasi endoparasit
pada kerbay (Bubalus bubalis) di Kecamatan Praya Barat Kabupaten Lombok Tengah.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Peternakan Indonesia, 6(1): 39-50.

Paniker, C. K. J. dan Ghosh. S. (2013). Paniker’s Textbook of Medical Parasitology. Jaypee


Brothers Medical Publishers, New Delhi.

Purwaningsih dan Sumiarto, B. (2012). Prevalensi helminthiasis pada saluran cerna pedet di
Provinsi Jawa Tengah. Jurnal Ilmu Peternakan, 7(1): 11-15.
Rahmawati, E., Apsari, I. A. P. dan Dwinata, I. M. (2018). Prevalensi infestasi protozoa
gastrointestinal pada sapi bali di lahan basah dan kering di Kabupaten Badung. Indonesia
MEdicus Veterinus, 7(4): 324-334

Taylor, M. A., Coop, R. L. dan Wall, R. L. (2016). Veterinary Parasitology. Wiley Blackwell,
West Sussex.

Tolistiawaty, I., Widjaja, J., Lobo, L. T., Isnawati, R. (2016). Parasit gastrointestinal pada hewan
ternak di tempat pemotongan hewan Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. BALABA, 12(2):
71-78

Zalizar, L. (2017). Helminthiasis saluran cerna pada sapi perah. Jurnal Ilmu-ilmu Peternakan,
27(2): 1-7.

Anda mungkin juga menyukai