Anda di halaman 1dari 77

TUTORIAL KLINIK

TUMOR MEDIASTINUM
Dokter pembimbing:
dr.Elizabeth Napitupulu, M.Ked (Paru), Sp.P

SMF ILMU PARU


RSUD DRS. H. AMRI TAMBUNAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA UTARA
2023
Pulmonary Stage Coass:

Azrianur Kurnia
220320114 M. Rafiq Yessi Ersa
Rizka Amelia Kurniawan Ria Wenny Siregar
2208320074 2208320076 Nasution 2208320120
2208320062
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
Tumor mediastinum adalah tumor yang terdapat di dalam
mediastinum yaitu rongga yang berada di antara paru kanan dan kiri.
Rongga mediastinum ini sempit dan tidak dapat diperluas, maka
pembesaran tumor dapat menekan organ di dekatnya dan dapat
menimbulkan kegawatan yang mengancam jiwa.
Kebanyakan tumor mediastinum tumbuh lambat sehingga pasien
sering datang setelah tumor cukup besar, disertai keluhan dan tanda
akibat penekanan tumor terhadap organ sekitarnya.
PENDAHULUAN

Data epidemiologi menunjukkan bahwa tumor mediastinum anterior


lebih sering terjadi daripada tumor mediastinum medial dan
posterior.
Estimasi insidensi tumor mediastinum adalah keganasan timus (35%),
limfoma Hodgkin (13%), limfoma non-Hodgkin (12%), tumor tiroid dan
endokrin (15%), teratoma (10%), sel germinal (10%), dan lesi timus
jinak (5%).
PENDAHULUAN
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Cipto
Mungunskusumo (RSCM), Jakarta, jumlah pasien yang terdiagnosis
tumor mediastinum selama kurun waktu 10 tahun dari tahun 2000
hingga 2009 adalah sebanyak 201 orang.
Myasthenia Gravis (MG) merupakan penyakit autoimun yang
disebabkan oleh antibodi yang menargetkan reseptor asetilkolin
untuk mengurangi kemampuan depolarisasi otot ekstraokular, bulbar,
dan proksimal.
Tumor mediastinum yang berhubungan dengan MG dikenal sebagai
sindrom paraneoplastik dan terutama ditemukan di kompartemen
anterior, terdiri dari timoma, limfoma, dan tumor sel germinal.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Anatomi Mediastinum
Mediastinum toraks adalah
kompartemen yang membentang
sepanjang rongga dada antara
kantung pleura paru-paru.
Kompartemen ini memanjang secara
longitudinal dari saluran masuk toraks
hingga permukaan superior diafragma.
Mediastinum menampung banyak
struktur vital termasuk jantung,
pembuluh darah besar, trakea, dan
saraf penting.
Berfungsi sebagai jalur perlindungan
untuk struktur yang melintasi dari leher,
di bagian superior, dan ke perut, di
bagian inferior.
2.1. Anatomi Mediastinum
Batas Ruang mediastinum:
Superior : masuk torak
Inferior : Diafragma
Lateral : Pleura Mediastinalis
Posterior : Tulang belakang
Anterior : Sternum
2.1. Anatomi Mediastinum
Mediastinum Superior dibatasi oleh
saluran keluar toraks di bagian
superior, bidang toraks transversal
(bidang Ludwig) atau sudut sternum di
bagian inferior
Mediastinum Anterior dibatasi oleh
perikardium di bagian posterior, batas
medial kantung pleura di bagian
lateral, dan tulang dada,
Mediastinum Tengah dibentuk oleh
batas kantung perikardial di anterior
dan posterior,
Mediastinum Posterior dibatasi oleh
perikardium di anterior, permukaan
toraks diafragma di inferior.
Definisi Tumor Mediastinum
Tumor mediastinum adalah tumor yang terdapat di dalam
mediastinum yaitu struktur yang berada di antara paru kanan dan
kiri. Jenis tumor terdapat di rongga mediastinum yang dapat
berupa tumor jinak atau tumor ganas dengan penatalaksanaan
dan prognosis yang berbeda, karenanya keterampilan dalam
prosedur diagnostik memegang peranan sangat penting.
Epidemiologi & Prevalensi
Tumor mediastinum paling banyak terjadi pada bayi dan anak-
anak (± 65% dari tumor sel germinal) dengan usia rata-rata 16–18
bulan, pada pasien dewasa (2,4%) dengan usia rata-rata 25–30
tahun. Umumnya sering terjadi pada pria (lebih dari 90%), jarang
ditemukan pada wanita.
Insiden tahunan di Amerika Serikat untuk tumor mediastinum sel
germinal non seminomatous diperkirakan sekitar 500 kasus. Tumor
sel germinal antara 2-5% pada laki-laki, dan terletak ekstragonad.
Epidemiologi & Prevalensi
Data mengenai tumor mediastinum di Indonesia belum banyak.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Cipto
Mungunskusumo (RSCM), Jakarta, jumlah pasien yang terdiagnosis tumor
mediastinum selama kurun waktu 10 tahun dari tahun 2000 hingga 2009
adalah sebanyak 201 orang. Data terbaru di Indonesia didapatkan dari
Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung dengan 82 kasus dari tahun 2011
hingga 2016. Berdasarkan data dari buku register pasien di bangsal Paru
RSUP DR. M. Djamil Padang, terhitung pasien tumor mediastinum yang di
rawat dari Januari 2015 hingga Desember 2019 sebanyak 95 orang.
Faktor Risiko Tumor Mediastinum
Faktor Kimiawi
Di berbagai negara ditemukan banyak tumor kulit pada pekerja pembersih cerobong
asap. Zat yang mengandung karbon dianggap sebagai penyebabnya.
Faktor Genetik (biomolekuler)
Perubahan genetik termasuk perubahan atau mutasi dalam gen normal dan
pengaruh protein bisa menekan atau meningkatkan perkembangan tumor.
Faktor Fisik
Secara fisik, tumor berkaitan dengan trauma/pukulan berulang-ulang baik trauma
fisik maupun penyinaran. Penyinaran bisa berupa sinar ultraviolet yang berasal ari
sinar matahari maupun sinar lain seperti sinar X (rontgen) dan radiasi bom atom.
Faktor Risiko Tumor Mediastinum
Faktor Nutrisi
Salah satu contoh utama adalah dianggapnya aflaktosin yang dihasilkan oleh jamur
pada kacang dan padi-padian sebagai pencetus timbulnya tumor.
Faktor Hormon
Pengaruh hormon dianggap cukup besar, namun mekanisme dan kepastian
peranannya belum jelas. Pengaruh hormon dalam pertumbuhan tumor bisa dilihat
pada organ yang banyak dipengaruhi oleh hormon tersebut.
Klasifikasi Tumor Mediastinum
Klasifikasi tumor mediastinum didasarkan atas organ/jaringan asal tumor atau
jenis histologisnya, seperti dikemukakan oleh Rosenberg.
Patogenesis Tumor Mediastinum
Diagnosis Tumor Mediastinum
Anamnesis
Tumor mediastinum sering tidak memberi gejala dan terdeteksi pada saat dilakukan
foto toraks. Untuk tumor jinak, keluhan biasanya mulai timbul bila terjadi peningkatan

ukuran tumor yang menyebabkan terjadinya penekanan struktur mediastinum,


sedangkan tumor ganas dapat menimbulkan gejala akibat penekanan atau invasi ke
struktur mediastinum. Gejala dan tanda yang timbul tergantung pada organ yang terlibat,
- Batuk, sesak atau stridor muncul bila terjadi penekanan atau invasi pada trakea
dan/atau bronkus utama,
- Disfagia muncul bila terjadi penekanan atau invasi ke esofagus
- Sindrom vena kava superior (SVKS) lebih sering terjadi pada tumor mediastinum
yang ganas dibandingkan dengan tumor jinak,
- Suara serak dan batuk kering muncul bila nervus laringel terlibat, paralisis diafragma
timbul apabila penekanan nervus frenikus
- Nyeri dinding dada muncul pada tumor neurogenik atau pada penekanan sistem syaraf
Diagnosis Tumor Mediastinum
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik akan memberikan informasi sesuai dengan lokasi, ukuran dan
keterbatasan organ lain, misalnya telah terjadi penekanan ke organ sekitarnya.

3. Pertimbangan untuk diagnosis


- Pada umumnya kelainan yang terjadi di mediastinum adalah jinak dan asimtomatik
- Pembagian mediastinum ke dalam rongga anterior, superior, medial dan posterior
bertujuan memudahkan dalam menegakkan diagnosis
- Lebih dari 60% lesi pada dewasa ditemukan pada rongga anterior-superior
mediastinum, sedangkan pada anak-anak 60% lesi ditemukan di posterior
mediastinum
Diagnosis Tumor Mediastinum
4. Pemeriksaan Penunjang
1. Foto toraks
Dari foto toraks PA/ lateral sudah dapat ditentukan lokasi tumor, anterior,
medial atau posterior, tetapi pada kasus dengan ukuran tumor yang besar
sulit ditentukan lokasi yang pasti.

2. Tomografi
Selain dapat menentukan lokasi tumor, juga dapat mendeteksi klasifikasi
pada lesi, yang sering ditemukan pada kista dermoid, tumor tiroid dan
kadang-kadang timoma.
Diagnosis Tumor Mediastinum

3. CT-Scan toraks dengan kontras


Selain dapat mendeskripsi lokasi juga dapat mendeskripsi kelainan tumor secara
lebih baik dan dengan kemungkinan untuk menentukan perkiraan jenis tumor,
misalnya teratoma dan timoma.

4. Flouroskopi
Prosedur ini dilakukan untuk melihat kemungkinan aneurisma aorta.

5. Ekokardiografi
Pemeriksaan ini berguna untuk mendeteksi pulsasi pada tumor yang diduga
aneurisma.
Diagnosis Tumor Mediastinum

6. Angiografi
Teknik ini lebih sensitif untuk mendeteksi aneurisma dibandingkan flouroskopi
dan ekokardiogram.

7. Esofagografi
Pemeriksaan ini dianjurkan bila ada dugaan invasi atau penekanan ke
esofagus.
TATALAKSANA TUMOR
MEDIASTINUM
Penatalaksanaan untuk tumor mediastinum yang jinak adalah pembedahan
sedangkan untuk tumor ganas, tindakan berdasarkan jenis sel kanker.

Tumor mediastinum jenis limfoma Hodgkin maupun non Hondgkin diobati sesuai
dengan protokol untuk limfoma dengan memperhatikan masalah respirasi selama dan
setelah pengobatan.

Penatalaksanaan tumor mediastinum nonlimfoma secara umum adalah multimodality


TATALAKSANA
TUMOR MEDIASTINUM
Syarat untuk tindakan bedah elektif yaitu pengukuran toleransi berdasarkan
fungsi paru, yang diukur dengan spirometri dan jika mungkin dengan body box.
Bila nilai spirometri tidak sesuai dengan klinis maka harus dikonfirmasi dengan
analisis gas darah.
Tekanan O2 arteri dan Saturasi O2 darah arteri harus >90%.
Syarat untuk radioterapi dan kemoterapi adalah :
1. Hb > 10 gr%
2. Leukosit > 4.000/dl
3. Trombosit > 100.000/dl
4. Tampilan (performance status) >70 Karnofsky
TATALAKSANA
TUMOR MEDIASTINUM
Jika digunakan obat antikanker yang bersifat radiosensitaizer maka radio
kemoterapi dapat diberikan secara berbarengan (konkuren).
Jika keadaan tidak mengizinkan, maka kombinasi radiasi dan kemoterapi
diberikan secara bergantian
Selama pemberian kemoterapi atau radiasi perlu diawasi terjadinya melosupresi
dan efek samping obat atau toksisiti akibat tindakan lainnya.
TATALAKSANA
TUMOR MEDIASTINUM
Evaluasi efek samping kemoterapi dilakukan setiap akan memberikan siklus
kemoterapi berikut dan/atau setiap 5 fraksi radiasi (1000 cGy).
Evaluasi untuk respons terapi dilakukan setelah pemberian 2 siklus kemoterapi
pada hari pertama siklus ke-3 atau setelah radiasi 10 fraksi (200 cGy) dengan
atau foto toraks.
Jika ada respons sebagian (partial respons atau PR) atau stable disease (SD),
kemoterapi dan radiasi masih dapat dilanjutkan.
Pengobatan dihentikan bila terjadi progressive disease (PD).
KOMPLIKASI
Komplikasi dari tumor mediastinum dapat disebabkan karena adanya
perluasan dan penyebaran ke organ atau jaringan sekitarnya yaitu :
Obstruksi trakea
Sindrom vena cava superior
Invasi vaskular dan catastrophic hemorrhage.
Ruptur esofagus
PROGNOSIS
Prognosis tumor mediastinum berkaitan erat dengan jenis tumor,
ukuran tumor, invasi, dan stadium.
Ukuran tumor yang besar atau tumor yang telah mengalami metastasis
cenderung memberikan prognosis yang lebih buruk.
Five year survival rate pada timoma stadium IV-A dan IV-B adalah 11 –
50%. Sementara itu, pada stadium I, survival rate berkisar antara 96–
100%.
PROGNOSIS
Teratoma memiliki prognosis yang lebih baik, karena sering kali bersifat
jinak. Pada seminoma dan tumor sel germinal lainnya, five year survival
rate adalah 86% dan 48%.
Limfoma Hodgkin stadium I dan II memiliki prognosis yang cenderung
baik, sementara stadium III - IV memiliki prognosis yang lebih buruk.
MYASTHENIA
GRAVIS
Definisi Myasthenia Gravis
Myasthenia Gravis adalah gangguan transmisi neuromuskular dapatan yang
paling banyak.
Penyakit ini akibat produksi autoantibodi patogenik yang berikatan dengan
neuromuscular junction (NMJ), terutama reseptor asetilkolinesterase (AChR).
Kerusakan yang mendasarinya adalah berkurangnya jumlah reseptor
asetilkolin (AchRs) yang tersedia pada NMJ secara menyeluruh dan merusak
membran postsinaptik.
Bila penderita beristirahat, maka tidak lama kemudian kekuatan otot akan
pulih kembali.
Penyakit ini timbul karena adanya gangguan dari synaptic transmission atau
pada NMJ.
Prevalensi dan Epidemiologi Myasthenia
Gravis
Prevalensi Myasthenia Gravis sekitar 1 kasus dalam 10.000 - 20.000
orang.
MG lebih sering terdapat pada orang dewasa, dapat juga pada anak dan
bisa timbul segera setelah lahir atau sesudah umur 10 tahun.
Wanita lebih sering terkena pada usia dekade kedua dan ketiga, dan laki-
laki lebih sering pada usia dekade kelima dan keenam.
Myasthenia Gravis merupakan penyakit yang jarang ditemui, insidennya
5,3 per 1.000.000 orang per tahun dan prevalensinya 77,7 per 1.000.000
orang per tahun.
Faktor Resiko Myasthenia Gravis
Pasien dengan Myasthenia Gravis sebagian besar penderita memiliki
faktor pencetus, meskipun pada 30 - 40 % kasus tidak ditemukan.
ISPA (40%), microaspirations (10%), perubahan rejimen obat - obatan,
operasi, dan trauma merupakan faktor predisposisi yang paling umum.
Faktor lain yang sering mencetuskan terjadinya Myasthenia Gravis
termasuk penggunaan obat - obatan (8%), injeksi botoks, dan thimoma
Klasifikasi Myasthenia Gravis
Menurut Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA), Myasthenia Gravis
dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
Klasifikasi Myasthenia Gravis
Menurut Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA), Myasthenia Gravis
dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
Klasifikasi Myasthenia Gravis
Menurut Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA), Myasthenia Gravis
dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
Patogenesis Myasthenia Gravis
Patogenesis Myasthenia Gravis terbagi menjadi 4 jalur mekanisme:
Defek transmisi neuromuskular (Kelemahan otot rangka timbul akibat
menurunnya faktor keselamatan pada proses transmisi neuromuskular)
Autoantibodi (yang paling sering ditemukan pada Myasthenia Gravis
adalah antibodi terhadap reseptor asetilkolin (AChR) nikotinik pada otot
rangka. Antibodi AChR akan mengaktifkan rangkaian komplemen yang
menyebabkan trauma pada post-sinaps permukaan otot)
Patogenesis Myasthenia Gravis
Patogenesis Myasthenia Gravis terbagi menjadi 4 jalur mekanisme:
Patologi timus (Abnormalitas timus sering ditemukan pada pasien MG.
Sekitar 10% pasien MG terkait dengan timoma.
Defek pada sistem imun (Myasthenia Gravis adalah gangguan autoimun
terkait sel T dan diperantarai sel B. Produksi autoantibodi pada AChR
MG membutuhkan bantuan dari sel T CD4+ (Sel T helper).
Diagnosis Myasthenia Gravis
Myasthenia Gravis secara klinis Kelemahan otot okular biasanya
memiliki ciri kelelahan dan bilateral dan asimetris serta
kelemahan pada otot. Keluhan menimbulkan diplopia, ptosis
kelemahan meningkat sepanjang atau keduanya. Kelemahan alat
hari, diperburuk dengan aktivitas anggota gerak dan batang tubuh
dan mengalami perbaikan biasanya distribusinya lebih
dengan istirahat. Ciri-cirinya banyak di proksimal
meliputi ptosis, diplopia, disartria, dibandingkan di distal. Otot
disfagia, serta kelemahan otot quadriseps, triseps, dan ekstensor
pernapasan dan anggota gerak. leher tampak lebih dulu terkena.
Diagnosis Myasthenia Gravis
Berikut beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan :
Wartenberg test
Kelemahan otot levator palpebra akan terlihat bila pasien diminta untuk melihat ke
atas selama 1 menit, kelemahan ini akan membaik setelah pasien diminta untuk
menutup mata secara maksimal.
Edrophonium test
Pemeriksaan edrophonium atau tensilon menggunakan inhibitor asethylkolinersterase
short-acting. Tujuannya adalah untuk memperlihatkan reversibilitas dari kelemahan
otot.
Diagnosis Myasthenia Gravis
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada Myasthenia Gravis meliputi :
Pemeriksaan neurofisiologi
Pemeriksaan repetitive nerve stimulation (RNS) dan Single-fiber electromyography
(SFEMG) merupakan pemeriksaan yang paling umum dilakukan pada pemeriksaan
neurofisiologi. Namun hasil pemeriksaan dapat dikaburkan pada pasien dengan
pengobatan dosis tinggi inhibitor acethylcholinesterase.
Diagnosis Myasthenia Gravis
Imaging
Semua pasien Myasthenia Gravis sebaiknya dilakukan pemeriksaan computed
tomography (CT) atau Magnetic Resonance Imaging (MRI) dari thorax untuk mencari
adanya thymoma maupun hyperplasia thymus. Imaging mediastinum sebaiknya
diulang apabila Myasthenia Gravis relaps setelah periode yang stabil untuk
mengeksklusi perkembangan dari thymoma, di mana dapat terjadi belakangan.
Diagnosis Myasthenia Gravis
Tes antibodi
Semua pasien dengan tersangka Myasthenia Gravis sebaiknya dicek antibodi anti
AchR-nya.
Sensitivitas dari pemeriksaan ini yaitu sebesar 70%-95% pada kasus Myasthenia
Gravis yang mengenai seluruh tubuh dan 50%-75% pada MG okular.
Tatalaksana Myasthenia Gravis
A. Pengobatan gejala
Pyridostigmine (golongan asetilkolinesterase inhibitor) bekerja menghambat
hidrolisis asetilkolin di celah sinaptik.
Obat ini akan meningkatkan interaksi antara asetilkolin dan reseptornya di
Neuromuscular Junction.
Dosis awal dimulai dengan 60 mg setiap 6 jam di siang hari (while awake).
Dosis dapat ditingkatkan menjadi 60-120 mg setiap 3 jam.
Efek klinis akan muncul sekitar 15-30 menit sejak dikonsumsi dan bertahan
hingga 3-4 jam.
Efek samping yang paling sering muncul adalah gangguan saluran pencernaan
seperti kram perut, BAB cair, dan kembung.
Tatalaksana Myasthenia Gravis
B. Imunosupresan
1. Kortikosteroid
Ada 2 cara pemberian kortikosteroid pada Myasthenia Gravis yaitu regimen
induksi cepat dengan dosis tinggi dan regimen titrasi lambat dengan dosis
rendah.
Regimen titrasi lambat dengan dosis rendah digunakan pada pasien
Myasthenia Gravis ringan hingga sedang.
Dosis Prednison yang diberikan adalah 10 mg/hari dan ditingkatkan 10 mg
setiap 5-7 hari hingga dicapai dosis maksimal 1,0-1,5 mg/kg BB/hari.
Regimen induksi cepat diberikan Prednison dengan dosis 1,0-1,5 mg/kg
BB/hari selama 2-4 minggu.
Setelahnya dilakukan penggantian cara pemberian menjadi selang sehari atau
tetap meneruskan dosis tinggi setiap hari.
Tatalaksana Myasthenia Gravis
2. Azathioprine
Azathioprine adalah antimetabolit sitotoksik yang menghambat sintesis purin
sehingga menghambat sintesis DNA dan RNA, replikasi sel, dan fungsi limfosit.
Obat ini diberikan pada pasien MG yang masih menunjukkan gejala meskipun
telah diterapi dengan kortikosteroid, pasien dengan kontraindikasi relatif
terhadap kortikosteroid, serta pasien yang mengalami efek samping berat
dengan terapi kortikosteroid.
Dosis awal adalah 50 mg/hari. Dosis dapat dinaikkan dengan penambahan 50
mg setiap 2-4 minggu hingga tercapai dosis 2-3 mg/kg BB/hari.
Tatalaksana Myasthenia Gravis
3. Cyclosporine
Mekanisme kerja cyclosporine adalah mempengaruhi penghantaran sinyal
calcineurin, menekan sekresi sitokin dan mempengaruhi aktivasi sel T helper.
Dosis awal sebesar 3 mg/kg BB/hari.
4. Methotrexate (MTX)
MTX adalah antimetabolit folat yang menghambat enzim dihidrofolat reduktase.
Sebagai obat pilihan di lini ketiga, MTX diberikan dengan dosis awal 10 mg/minggu
dan dititrasi menjadi 20 mg/minggu selama 2 bulan.
5. Cyclophosphamide (CP)
CP adalah agen alkilasi yang memodifikasi basa guanin pada DNA, menyebabkan
efek sitotoksik.
6. Rituximab
Rituximab adalah antibodi monoclonal yang melawan CD20, sebuah protein
transmembrane di permukaan sel limfosit B.
Tatalaksana Myasthenia Gravis
. C. Imunoterapi Kerja cepat
Plasma Exchange (PLEX)
Indikasi PLEX adalah krisis miastenia, ancaman krisis pada pasien dengan
Myasthenia Gravis berat, serta pasien Myasthenia Gravis ringan-sedang dengan
perburukan gejala klinis atau tidak berespon terhadap obat imunosupresan.
Imunoglobulin Intravena (IVIG)
Indikasi IVIG sama dengan indikasi PLEX untuk pasien Myasthenia Gravis. Dosis
induksi sebesar 2 g/kg BB dibagi menjadi 2-5 hari. Komplikasi IVIG adalah sakit
kepala, anafilaksis, stroke, infark miokard, deep venous thrombosis, dan emboli
pulmo.
Prognosis Myasthenia Gravis
Pada Myasthenia Gravis okular, dalam beberapa tahun >50% kasus
berkembang menjadi Myastenia Gravis generalisata dan akan sekitar <10%
akan terjadi remisi spontan.
Sekitar 15- 17% akan tetap mengalami gejala okular yang di follow-up dalam
periode 17 tahun.
Sebuah studi dari 37 pasien dengan Myasthenia Gravis menunjukkan adanya
timoma memberikan outcome yang lebih buruk.
Hubungan Tumor Mediastinum dengan
Myasthenia Gravis
Tumor Mediastinum biasanya ditandai dengan gejala non-lokal yang
disebabkan oleh Paraneoplastic Neurologic Disease (PND).
PND adalah sindrom akibat respon imun abnormal yang menyerang sistem
saraf pusat dan perifer yang berhubungan dengan tumor.
Kelainan ini tidak berhubungan dengan invasi jaringan oleh tumor, metastasis
jauh, atau efek samping metabolik/efek toksik dari terapi kanker.
ND dapat memengaruhi sistem saraf tepi, yaitu sambungan neuromuskular
melalui antibodi terhadap reseptor asetilkolin pascasinaps (Anti-AChR).
Hubungan Tumor Mediastinum dengan
Myasthenia Gravis
Tumor mediastinum berhubungan dengan Myasthenia Gravis melalui
mekanisme yang mungkin dikenal sebagai sindroma paraneoplastik.
Sindrom paraneoplastik terjadi karena sekresi peptida dan hormon fungsional
oleh tumor, sitokin, atau reaktivitas silang imun antara jaringan ganas dan
normal. Insidensinya sebesar 8% pada pasien kanker dan dapat
mempengaruhi seluruh sistem saraf.
Myasthenia Gravis terdapat pada 30-50% pasien dengan tumor mediastinum
jenis timoma.
keberadaan Myasthenia Gravis sebagai faktor prognostik kelangsungan hidup
penderitanya terkait dengan timbulnya gejala Myasthenia Gravis yang
mengarah pada pendekatan dan pengobatan yang cepat.
BAB III
TELAAH KASUS
Data Data Pasien
Tanggal Masuk : 25-10-2023
Jam. : 20:21:06
Ruangan. : Mawar A2
DPJP. : dr. Elisabeth Napitupulu,Sp. P
Identitas Pasien
Nama : Jamjanah
Usia : 63 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama. : Islam
Suku : Jawa
Alamat : Dusun Budiman, Kel. Beringin, Kec. Beringin, Deli Serdang, Sumatera
Utara
BB Masuk : 42 Kg
Penyakit yang Pernah Diderita Pasien : -
Keluhan Penyakit
Keluhan Utama : Sesak Napas
Telaah :
Seorang perempuan datang ke IGD RSUD H. Amri Tambunan dengan keluhan sesak
napas sejak 2 hari lalu, memberat 1 hari ini. Sesak dirasakan terutama saat pasien
batuk. Batuk dijumpai 1 minggu ini, berdahak dan susah keluar. Riwayat demam juga
dijumpai 1 minggu ini dan bersifat naik turun. Os mengeluhkan nyeri perut saat batuk.
Terdapat mual tanpa disertai muntah. Penurunan nafsu makan dijumpai 1 minggu ini.
Penurunan berat badan juga dijumpai 1 bulan terakhir tetapi os tidak mengetahui
berapa kg.
Riwayat Penyakit Terdahulu : -
Riwayat Penyakit Keluarga : -
Riwayat Penggunaan Obat : -
Riwayat Kebiasaan : Merokok
Riwayat Gizi : Normal
STATUS PRESENS Anamnesis Organ
Status Sensorium : Compos mentis Jantung
Tekanan Darah : 130 / 90 mmHg Sesak Nafas : (+)
Angina Pectoris : (-)
Frekuensi Nadi : 100 x/menit
Edema : (-)
Frekuensi Napas : 26 x/menit
Palpitasi : (-)
Temperature : 36,5 °C
lain-lain : (-)
Saturasi O2 : 97 % Saluran Pernafasan
Berat Badan : 42 kg Batuk : (+)
Tinggi Badan : 155 cm Dahak : (+)
Asma Bronkial : (-)
Lain-lain : (-)
Saluran Pencernaan
Nafsu Makan. : menurun Saluran dan Tulang
Keluhan Menelan : (+) Sakit Pinggang : (-)
Penurunan BB : (+) Keterbatasan Gerak : (-)
Keluhan Defekasi : (-) Keluhan Persendian : (-)
Lain-lain : (-)
Endokrin
Polidipsi : (-)
Saluran Urogenital Poliuri : (-)
Sakit BAK : (-) Polifagi : (-)
Mengandung Batu : (-) Gugup : (-)
BAK Tersendat : (-) Perubahan Suara : (-)
Keadaan Defekasi : (-) Lain-lain : (-)
Lain-lain : (-)
Syaraf Pusat
Sakit Kepala : (-) Pemeriksaan Antropmetri
Ptechiae : (-) BB : 42 Kg
Hoyong Purpuran : (-)
TB : 155 cm
Lain-lain : (-)
BMI : 17,5 (Mild thinnes)
Darah dan Pembuluh Darah
Status Gizi : Kurang Baik
Pucat : (+)
Pola Makan : Kurang Baik
Ptechiae : (-)
Perdarahan : (-)
Purpura : (-)
Lain-lain : (-)
KEPALA : Normocephali
Rambut : Hitam
Mata : Sklera ikterik (-/-), konjungtiva anemis (-/-), refleks cahaya (+/+)
Hidung : Jejas (-/-), sekret (-/-)
Telinga : Jejas (-/-), sekret (-/-)
Mulut : Jejas (-)
Wajah : Tampak lesu

COLLUM : Pembesaran KGB Subclavicular (+), massa (-)


JANTUNG
THRORAX
Inspeksi : Simetris
Inspeksi : Simetris fusiformis
Palpasi. : Tidak ada pembesaran
Palpasi : SF kanan = kiri
Perkusi : Batas jantung norml
Perkusi : Sonor pada kedua paru
Auskultasi : SP: Bronkial (+/+),
Auskultasi : Bunyi jantung : S I/II
ST: Ronki basah (+/+), Wheezing (-/-) regular, murmur(-), gallop (-)
ABDOMEN EKSTREMITAS
Inspeksi : Dalam batas normal Superior : Akral teraba hangat, CRT < 2
Palpasi : Soepel, massa (-) nyeri detik
tekan epigastrium (+), hepar dan Inferior : Akral teraba hangat, CRT < 2
lien tidak teraba
detik
Perkusi : Timpani
AuskultasI : Peristaltik normal
Genitalia: Tidak dilakukan pemeriksaan

Diagnosis : Tumor Mediastinum


PEMERIKSAAN PENUNJANG

Interpretasi AGDA :
pH : 7.568
pCO2 : 30.7
pO2 : 214
HCO3 : 28
Total CO2 : 29
SO2 : 100
KESAN: ALKALOSIS RESPIRATORIK
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Glukosa sewaktu, pemeriksaan ureum, Creatinin, Asam urat (25 Oktober 2023)

Kesan: Hiperglikemia
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Radiologi (25 Oktober 2023)
Interpretasi Radiologi :
Cor : batas kiri jantung sebagian tertutup opasitas
Pulmo : tampak opasitas, bentuk bulat, batas sebagian tidak tegas,
tepi irregular, yang membentuk sudut tajam pada parenkim paru
di paracardial-parahilar kiri disertai pneumonic reaction di
sekitarnya, tampak patchy infiltrate di paracardial kanan kiri
Tampak peningkatan coracan bronchovaskular pattern di paru
kanan kiri
Tampak hiperaerasi di kedua lapangan paru
Sinus phrenicocostalis kanan kiri tumpul
Hemidiafragma kanan tampak scalloping, kiri tenting
Trachea kesan di tengah
Tulang-tulang tampak baik
Soft tissue tampak baik
PEMERIKSAAN PENUNJANG
TCM & EKG (26 Oktober 2023)
FOLLOW UP PASIEN
FOLLOW UP PASIEN
FOLLOW UP PASIEN
FOLLOW UP PASIEN
FOLLOW UP PASIEN
FOLLOW UP PASIEN
BAB IV
KESIMPULAN
KESIMPULAN

Telah dilakukan anamnesis, pemeriksaan tanda-tanda vital sign dan pemeriksaan


fisik terhadap pasien A/N Jamjanah usia 63 tahun dengan diagnosis Tumor
Mediastinum /dd Tumor Paru + Sindroma Obstruksi.
Secara umum data yang di dapat berasal dari hasil anamnesis, pemeriksaan tanda-
tanda vital, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang. Pasien sudah dilakukan rawat
inap dari tanggal 25 Oktober 2023 - 1 November 2023.
Pasien didiagnosa tumor mediastinum karena dari anamnesis, pemeriksaan tanda
vital, pemeriksaan fisik dan penunjang sejalan dengan teori.
KESIMPULAN

Pada anamnesis terdapat sesak dirasakan terutama saat batuk.


Batuk berdahak dan susah keluar, demam dan nyeri perut saat batuk. Terdapat mual,
Penurunan nafsu makan dan Penurunan berat badan.
Pada pemeriksaan Penunjang terdapat gambaran radiologi di paru yang tampak
opasitas, bentuk bulat, batas sebagian tidak tegas, tepi irregular, yang membentuk
sudut tajam pada parenkim paru di paracardial-parahilar kiri disertai pneumonic
reaction di sekitarnya,
tampak patchy infiltrate di paracardial kanan kiri, tampak peningkatan corakan
bronchovaskular pattern di paru kanan kiri dan tampak hiperaerasi di kedua
lapangan paru.
DAFTAR PUSTAKA
1. Carter BW, Marom EM, Detterbeck FC. Approaching the Patient with an Anterior
Mediastinal Mass: A Guide for Clinicians. Journal of Thoracic Oncology. 2014 Sep
1;9(9):S102–9.
2. Pratama S, Syahruddin E, Hudoyo A. Karakteristik Tumor Mediastinum Berdasarkan
Keadaan Klinis, Gambaran CT SCAN dan Petanda Tumor Di Rumah Sakit
Persahabatan. Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia,2003.
3. Temes R, Chavez T, Mapel D, Ketai L, Crowell R, Key C, et al. Primary mediastinal
malignancies: finding in 219 patients. West J Med 1999; 170(3): 161-6.
DAFTAR PUSTAKA
Amin Z. Penyakit mediastinum. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Editor Sudoyo
AW dkk. Jilid II edisi IV. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam.
Jakarta.2006: 1011-4.
5. Bennisler L. Respiratory system. In: Gray’s anatomy. Williams PL, Bennister L, Berry
LH,Collins P, Dyson M, Dussek JE, et al. Editors. 38 th ed, Churchill Livingstone,
Edinburgh,1999.p. 1627-76.
6. Rosenberg JC. Neoplasms of the mediastinum. In: DeVita VT, Hellman S, Rosenberg
JC. Editors.Cancer: principles and practice of oncology. J.B. 4th edition. Lippincortt.
Philadelphia 1993.p.759-74.
7. Syahruddin E, Hudoyo A, Jusuf A. penatalaksanaan tumor mediastinum ganas.
Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia– RS Persahabatan, Jakarta.
DAFTAR PUSTAKA
Mujiantoro S, Soewondo W, Busroh IDI, Yunus F, Endardjo S. Penilaian restrospektif pengelolaan timoma
invasif di RS. Persahabatan Jakarta Timur. J Respir Indo 1996; 16:104-8.
9. Marshal. Jenis dan distribusi massa mediastinum serta permasalahan operasinya di
RS.Persahabatan Jakarta. Tesis program studi ilmu bedah toraks kardiovaskuler Indonesia.Jakarta,
2002.
10. Wiyono WH dkk. Hemoptisis massif pada teratoma kistik paru. J Respir Indo 2007; Vol 27(4): 214-8.
11. Cacho-Díaz, Bernardo, Karen Salmerón-Moreno, Nydia A. Lorenzana-Mendoza, Julia Texcocano, and
Oscar Arrieta. 2018. “Myasthenia Gravis as a Prognostic Marker in Patients with Thymoma.” Journal of
Thoracic Disease 10 (5): 2842–48.https://doi.org/10.21037/jtd.2018.04.95.
12. Jusuf, A, A Hudoyo, A Wibawanto, A M Jayusman, A G Icksan, and A Ratnawati.
2003. “Tumor Mediastinum (Tumor Mediastinum Nonlimfoma): Pedoman Diagnosis Dan
Penatalaksanaan Di Indonesia.” Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia 2003: 1–12.
13. Kadri, Alfansuri, and Utami Tarigan. 2023. Myasthenia Gravis with Mediastinal Tumors. Atlantis Press
International BV. https://doi.org/10.2991/978-94-6463-120- 3_22
THANKYOU

Anda mungkin juga menyukai