Anda di halaman 1dari 13

SATUAN ACARA PENYULUHAN PENYAKIT CACINGAN

I.

Latar belakang
Penelitian menunjukkan bahwa 90% anak Indonesia mengidap cacingan. Beberapa survei
di Indonesia terhadap jenis-jenis cacing yang sering menginfeksi manusia menunjukkan
bakwa prevalensi Ascaris lumbricoides yang lebih tinggi 60% misalnya di Sumatra (70%),
Kalimantan (79%), Sulawesi (88%), Nusa Tenggara Barat (92%), dan Jawa Barat (90%).
Prevalensi Trichuris trichura juga tinggi yaitu untuk masing-masing daerah Sumatra (83%),
Kalimantan (79%), Sulawesi (83%), Nusa Tenggara Barat (84%), dan Jawa Barat (91%).
Untuk prevalensi cacing tambang (Necator americanus dan Ancylostoma duodenale) berkisar
30-50 % di berbagai daerah di Indonesia (Supali dkk, 2008).
Hasil pemeriksaan tinja pada anak sekolah dasar ibtidaiyah ang dilakukan oleh sub dit
diare, kecacingan dan infeksi saluran pencernaan yang lain pada tahun 2002 2009 di 3988
SD/MI ang tersbar di 33 provinsi menunjukkan bahwa rata rata prevalensi cacingan adalah
31,8%. Berdasarkan data survey kecacingan yayasan kusuma buana (YKB) tahun 2006
2007, rata rata angka prevalensi di Jakarta timur adalah 2,5% dan jakata utara sebesar
7,8%. Di provinsi Sulawesi selatan rata rata angka prevalensi cacingan tahun 2009 2010
sebesar 27,28%. Provinsi jawa timur melakukan survey cacingan tahun 2008 2010 dengan
rata rata prevalensi cacingna sebesar 7,95%. Untuk tahun 2011 data yang terkumpil dari
survey di beberapa kabupaten menunjukkan angka prevalensi yang bervariasi, di kabupaten
lebak dan pandeglang menunjukkan angka prevalensi yang cukup tinggi yaitu 63% dan
43,78%, kemudian di kabupaten sleman DIY prevalensinya 21,78%, di kabupaten
karangasem 51,27%, di kab. Lombok barat dan kota mataram menunjukkan prevalensi
berturut turut 29,47% dan 24,53%. Terakhir kab. Sumba barat menunjukkan prevalensi
29,56% (Kemenkes, 2012).
Meskipun demikian, penyakit cacingan ini masih sering dianggap sebagai angin lalu tidak
hanya oleh masyarakat tetapi juga pemerintah. Padahal, cacingan dapat mengakibatkan
menurunnya kondisi kesehatan, gizi, dan kecerdasan penderitanya sehingga dipandang
sangat merugikan, karena menyebabkan kehilangan karbohidrat dan protein serta kehilangan
darah. Hal ini tentu saja dapat menurunkan kualitas sumber daya manusia. Melihat berbagai
akibat yang ditimbulkan oleh penyakit ini, tentu saja cacingan dapat dikategorikan sebagai
salah satu masalah kesehatan yang cukup mengkhawatirkan dan memerlukan penanganan
yang serius. Hal ini terutama karena sebagian besar penderitanya adalah anak anak atau
balita, yang masih dalam masa pertumbuhan. Selain itu, keadaan lingkungan dan kebersihan

perseorangan juga sangat mempengaruhi penyebaran penyakit ini. Berkaitan dengan hal itu,
diperlukan suatu upaya bersama dan juga kesadaran untuk menanggulangi penyakit ini.
Dengan adanya penyuluhan ini dapat meningkatkan kesadaran serta pemahaman mengenai
penyakit cacingan sebagai salah satu masalah kesehatan yang serius, diharapkan dapat
menurunkan jumlah penderita penyakit ini, khususnya bagi balita atau anak anak.
II.

III.

Tujuan Instruksional Umum (TIU)


Setelah diberikan penyuluhan, sasaran diharapkan mampu memahami tentang penyakit
cacingan dan hal-hal yang terkait lainnya.
Tujuan Instruksional Khusus (TIK)
1. Menjelaskan pengertian penyakit cacingan
2. Menjelaskan penyebab terjadinya penyakit cacingan
3. Menjelaskan cara cacing masuk ke dalam tubuh manusia
4. Menjelaskan gejala penyakit cacingan
5. Menjelaskan pengobatan penyakit cacingan
6. Menjelaskan pencegahan penyakit cacingan

IV.

Rencana kegiatan
1.
Topik / materi : penyuluhan penyakit cacingan
2.
Sasaran
: ibu
3.
Metode
: Ceramah dan Tanya jawab
4.
Uraian tugas :
a. Moderator :
1) Menjelaskan tujuan penyuluhan
2) Mengarahkan proses kegiatan pada anggota kelompok
3) Mengealuasi kegiatan setelah pelaksanaan
b. Penyaji
:
1) Mempresentasikan materi
c. Fasilitator
:
1) Menyiapkan media untuk persentasi
2) Membagikan souvenir
3) Dokumentasi jalannya penyuluhan
5. Waktu dan tempat
Hari
: Senin
Tanggal
: 27-11-2016
Jam
: 09.00 Wib
6. Media
Leflet dan infokus
7. Setting tempat

Peserta

Keterangan :
: Peserta
: Leader
: Penyaji
: fasilitator
8.

VI.

Proses Kegiatan

No.
1.

Kegiatan Penyuluh
Pendahuluan :

Kegiatan Audien

1. Menyampaikan salam
1. Membalas salam

Waktu

3 menit

2. Memperkenalkan diri
2. Mendengarkan dengan aktif
3. kontrak waktu
3. Mendengarkan dan memberi
4. Menjelaskan tujuan
2.

respon

Penjelasan materi :
1. Pengertian penyakit
cacingan

1. Mendengarkan,
memperhatikan

2. Penyebab terjadinya
penyakit cacingan

2. Menanyakan hal-hal yang


belum jelas

3. Akibat penyakit
cacingan
4. Gejala penyakit

10 menit

cacingan
5. Pengobatan penyakit
cacingan
6. Pencegahan penyakit
cacingan
3.

Evaluasi
1. Memberikan
pertanyaan lisan
2. Memberikan

Menjawab pertanyaan
2. Peserta bertanya

5 menit

kesempatan peserta
untuk bertanya
4.

Penutup
1. Menyimpulkan hasil
penyuluhan

Mendengarkan dengan aktif


Membalas salam

2. Memberikan salam

VII.

Rencana Evaluasi
1. Sebutkan penyebab terjadinya penyakit cacingan
2. Sebutkan akibat penyakit cacingan
3. Sebutkan gejala penyakit cacingan
4. Jelaskan mengenai pengobatan penyakit cacingan
5. Jelaskan mengenai pencegahan penyakit cacingan

2 menit

MATERI
A. Definisi Penyakit Cacingan

Cacingan (atau sering disebut kecacingan) merupakan penyakit endemic dan kronik
diakibatkan oleh cacing parasit dengan prevalensi tinggi, tidak mematikan, tetapi
menggerogoti kesehatan tubuh manusia sehingga berakibat menurunnya kondisi gizi dan
kesehatan masyarakat (Zulkoni, 2010).
B. Penyebab dan Cara Penularan Penyakit Cacingan
1. Kebersihan lingkungan
Di Indonesia seharusnya tidak lagi menggunakan septictank untuk keperluan
buang air besar. Ketika seorang anak yang cacingan buang air besar di lantai, maka telur
atau sporanya bisa tahan berhari-hari, meskipun sudah dipel. Sebelum dapat rumah, larva
tidak akan keluar (menetas). Begitu masuk ke usus, baru ia akan keluar. Telur cacing
keluar dari perut manusia bersama feses. Jika limbah manusia itu dialirkan ke sungai atau
got, maka setiap tetes air akan terkontaminasi telur cacing. Meskipun seseorang buang air
besar di WC, ia tetap saja bisa menyebarkan telur ini bila kakusnya meluber saat musim
banjir (kemenkes, 2012).
2. Kebiasaan yang buruk
Telur lainnya terbang ke tempat-tempat yang sering dipegang tangan manusia.
Lewat interaksi sehari-hari, mereka bisa berpindah dari satu tangan ke tangan lain.
Mereka akan masuk ke dalam perut jika biasa makan tanpa cuci tangan. Jika orang
orang selalu menggaruk-garuk lubang pantatnya saat sedang tidur, bisa jadi ia terserang
cacing kremi. Saat digaruk, telur-telur ini bersembunyi di jari dan kukunya. Sebagian lagi
menempel di seprei, bantal, guling, dan pakaiannya. Lewat kontak langsung, telur
menular ke orang-orang yang tinggal serumah dengannya. Lalu, siklus cacingan pun
dimulai lagi (kemenkes, 2012).
3. Makanan yang tercemar oleh larva cacing.
Jika air yang telah tercemar dipakai untuk menyirami tanaman atau aspal jalan,
telur-telur itu naik ke darat. Begitu air mengering, mereka menempel pada butiran debu.
Saking kecilnya telur-telur itu tak akan pecah, meskipun dilindas ban mobil atau sepeda
motor. Bersama debu, telur itu tertiup angin, lalu mencemari gorengan atau es doger yang
dijual terbuka di pinggir-pinggir jalan. Karena menular lewat makanan, korban cacingan
umumnya anak-anak yang biasa jajan di pinggir jalan. Mereka juga bisa menelan telur
cacing dari sayuran mentah yang dicuci kurang bersih. Misalnya, hanya dicelup-celup di
baskom tanpa dibilas dengan air mengalir. Buang air besar sembarangan juga berbahaya.

Prosesnya kotoran yang mengandung telur cacing mencemari tanah lalu telur cacing
menempel di tangan atau kuku lalu masuk ke mulut bersama makanan. Kotoran yang
dikerumuni lalat kemudian lalat hinggap di makanan, juga bisa masuk melalui mulut
(kemenkes, 2012).
4. Tanah yang mengandung larva cacing
Tanah yang mengandung larva cacing dan masuk melalui pori pori tubuh. Selain
melalui makanan yang tercemar oleh larva cacing, cacing juga masuk ke tubuh manusia
melalui kulit (pori-pori). Dari tanah, misalnya lewat kaki anak telanjang yang menginjak
larva atau telur. Bisa juga larva cacing masuk melalui pori-pori, yang biasanya ditandai
dengan munculnya rasa gatal (kemenkes, 2012).
C. Dampak Penyakit Cacingan
Pada kasus ringan cacingan memang tidak menimbulkan gejala nyata, tetapi pada kasuskasus infeksi berat bisa berakibat fatal. Cacing dapat bermigrasi ke organ lain yang
menyebabkan infeksi pada usus dan dapat berakhir pada kematian.
Infeksi usus akibat cacingan, juga berakibat menurunnya status gizi penderita yang
menyebabkan daya tahan tubuh menurun sehingga memudahkan terjadinya infeksi penyakit
lain termasuk HIV/AIDS, Tuberkulosis dan Malaria. Dampaknya dapat dilihat dari
terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan anak-anak, komplikasi kehamilan, Berat
Badan Lahir Rendah (BBLR), kerusakan tubuh secara signifikan hingga kecacatan, kebutaan,
stigma sosial, serta produktivitas ekonomi dan pendapatan rumah tangga yang menurun. Bisa
juga terjadi erratic, yakni, cacing keluar keluar lewat hidung atau mulut. (Zulkoni, 2010).
Cacingan menyebabkan anemia sehingga membuat anak mudah sakit karena tidak punya
daya tahan. Anak juga akan kehilangan berat badan, dan prestasi belajar turun. Dari
pertumbuhan fisik yang terhambat, hingga IQ loss (penurunan kemampuan mental). Dalam
perjalanannya, anak bisa jadi batuk seperti TBC, berdahak seperti asma.
1. Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides)
a.

Distribusi Geografis
Cacing ini tersebar luas di seluruh dunia, terutama di daerah tropis dan subtropis
yang kelembapan udaranya tinggi. Di beberapa daerah di Indonesia infeksi cacing ini
dapat dijumpai pada lebih dari 60% dari penduduk yang diperiksa tinjanya.

b. Habitat
Cacing dewasa terdapat didalam usus halus, tetapi kadang-kadang dijumpai
mengembara dibagian usus lainnya. Hospes defenitifnya adalah manusia, tetapi diduga
dapat merupakan penyakit zoonosis yang hidup pada usus babi (Soedarto, 2008).
c.Siklus Hidup
Manusia merupakan satu-satunya hospes cacing ini. Cacing jantan berukuran 10
30 cm, sedangkan cacing betina 22 35 cm, pada stadium dewasa hidup di rongga
usus halus, cacing betina dapat bertelur sampai 100.000-200.000 butir sehari, terdiri
dari telur yang dibuahi dan telur yang tidak dibuahi. Dalam lingkungan yang sesuai,
telur yang dibuahi tumbuh menjadi bentuk infektif dalam waktu kurang lebih 3 minggu.
Bentuk infektif ini apabila tertelan manusia, akan menetas menjadi larva di usus halus,
larva tersebut menembus dinding usus menuju pembuluh darah atau slauran limfa dan
dialirkan ke jantung lalu mengikuti aliran darah ke paru-paru menembus dinding
pembuluh darah,lalu melalui dinding alveolus masuk rongga alveolus, kemudian naik
ke trakea melalui bronkiolus dan bronkus. Dari trakea larva menuju faring, sehingga
menimbulkan rangsangan batuk, kemudian tertelan masuk ke dalam esophagus lalu
menuju ke usus halus, tumbuh menjadi cacing dewasa. Proses tersebut memerlukan
waktu kurang lebih 2 bulan sejak tertelan sampai cacing dewasa (menurut Depkes RI,
2004 yang dikuti oleh Zulkhriadi, 2008).
Gambaran umum siklus hidup cacing Ascaris lumbricoides adalah sebagai
berikut : Cacing dewasa hidup di saluran usus halus. Seekor cacing betina mampu
menghasilkan telur sampai 240.000 per hari, yang akan keluar bersama feses. Telur
yang sudah dibuahi mengandung embrio dan menjadi infektif setelah 18 hari sampai
beberapa minggu di tanah. Tergantung pada kondisi lingkungan (kondisi optimum:
lembab, hangat, tempat teduh). Telur infektif tertelan. Masuk ke usus halus dan merasa
mengeluarkan larva yang kemudian menembus mukosa usus, masuk kelenjar getah
bening dan aliran darah dan terbawa sampai ke paru-paru. Larva mengalami
pendewasaan di dalam paru-paru (10-14 hari), menembus dinding alveoli, naik ke
saluran pernafasan dan akhirnya tertelan kembali. Ketika mencapai usus halus, larva
tumbuh menjadi cacing dewasa. Waktu yang diperlukan mulai dari tertelan telur infektif
sampai menjadi cacing dewasa sekitar 2 sampai 3 bulan. Cacing dewasa dapat hidup 1
sampai 2 tahun di dalam tubuh (Zulkhriadi, 2008).

d.

Gejala Klinis
Infeksi biasa yang mengandung 10-20 ekor cacing sering berlau tanpa diketahui

penderita dan baru ditemukan pada pemeriksaan tinja rutin atau bila cacing dewasa
keluar sendiri bersam tinja (Menurut Brown, 1983 yang dikutip oleh Zulkhriadi, 2008).
Patogenesis Ascariasis berhubungan dengan respon imun hospes, efek migrasi
larva, efek mekanis cacing dewasa, dan defisiensi gizi. Larva yang mengalami siklus
dalam jumlah besar akan menyebabkan pneumonitis. Apabila larva menembus jaringan
masuk alveoli, larva mampu merusak epitel bronkus (Muslim, 2009).
Askariasis juga sering tidak bergejala tetapi jika jumlah cacing ini di dalam perut
semakin banyak, maka berbagai macam gejala akan muncul (Zulkoni, 2010). Gejala
infestasi cacing yang masih ringan dapat berupa: 1) Ditemukannya cacing dalam tinja 2)
Batuk mengeluarkan cacing 3) Kurang nafsu makan 4) Demam 5) Bunyi mengi pada
saat bernapas (wheezing) Gejala infeksi cacing yang berat antara lain adalah:
1) Muntah
2) Napas pendek
3) Perut buncit
4) Usus tersumbat
5) Saluran empedu tersumbat

2. Cacing Cambuk (Trichuris trichiura)


a.

Distribusi Geografis
Cacing ini tersebar luas di daerah tropis berhawa panas dan lembab. Trichuris
trichiura hanya dapatditularkan dari manusia ke manusia sehingga cacing ini bukan
parasit zoonosis (Muslim, 2009).

b. Habitat

Cacing dewasa melekat pada mukosa usus penderita, terutama di daerah sekum
dan kolon, dengan membenakan kepalanya didalam dinding usus. Kadang-kadang cacing
ini ditemukan hidup di apendiks dan ileumbagian distal (Muslim, 2009).
c.Siklus Hidup
Infeksi terjadi jika manusia tertelan telur cacing yang infektif, sesudah telur
mengalami pematangan di tanah dalam waktu 3-4 minggu lamanya. Didalam usus halus
dinding telur pecah dan larva caing keluar menuju sekum lalu berkembang menjadi caing
dewasa. Satu bulan sejak masuknya telur infektif ke dalam mulut, cacing dewasa yang
terjadi sudah mulai mampu bertelur. Cacing dewasa dapat hidup beberapa tahun di dalam
usus manusia (soedarto, 2008).
d.

Gejala Klinis
Cacing dewasa yang menembus dinding usus menimbulkan trauma dan kerusakan

pada jaringan usus. Selain itu cacing menghasilkan toksin yang menimbulkan iritasi dan
peradangan. Pada infeksi ringan dengan beberapa ekor cacing, tidak tampak gejala atau
keluhan penderita. Tetapi pada infeksi berat, penderita akan mengalami gejala dan
keluhan berupa : anemia berat dengan hemoglobin yang dapat kurang dari tiga persen,
diare berdarah, nyeri perut, mual dan muntah, berat badan menurun kadang-kadang
terjadi prolaps dari rectum yang melalui pemeriksaan proktoskopidapat dilihat adanya
cacaing-cacing dewasa pada kolon atau rectum penderita (Muslim, 2009).
3. Cacing Tambang (Necator americanus dan Ancylostoma duodenale)
Pada manusia terdapat beberapa jenis cacing tambang (hookworm) yang dapat
menimbulkan penyakit pada manusia. Cacing dewasa Ancylostoma duodenale
menimbulkan ankilostomiasis, cacing dewasa Necator americanus menimbulkan
nekatoriasis, larva Ancylostoma branziliensis dan larva Ancylostoma caninum. Keduanya
menimbulkan dermatitis (creeping eruption) (Stanhope dan Knollmueller, 2010).
a.

Distrbusi Geografis
Cacing tambang tersebar luas di seluruh dunia (kosmopolit) terutama di daerah
tropis dan subtropics, terutama yang bersuhu panas dan mempunyai kelembapan tinggi.
Di Eropa, Cina, dan Jepang, infeksi cacing-cacing ini banyak dijumpai pada pekerja
tambang, sehingga cacing-cacing ini disebut cacing tambang. Infeksi cacing tambang di
Indonesia disebabkan oleh Necator americanus yang menyebabkan nekatoriasis dan

Ancylostoma duodenale yang menimbulkan ankilostomiasis (Stanhope dan Knollmueller,


2010).
b. Habitat
Cacing dewasa hidup di dalam usus halus , terutama di jejunum dan duodenum manusia
dengan cara melekatkan diri pada membrane mukosa menggunakan giginya, dan
mengisap darah yang keluar dari luka gigitan (Stanhope dan Knollmueller, 2010).
c. Siklus Hidup
Manusia merupakan satu-satunya hospes defenitif N. americanus maupun A.
duodenale. Telur yang keluar dari usus penderita dalam waktu dua hari akan tumbuh di
tanah menjadi larva rabditiform (tidak infektif). Sesudah berganti kulit dua kali, larva
rabditiform dalam waktu seminggu berkembang menjadi larva filariform yang infektif.
Lung migration. Larva filariform akan menebus kulit sehat manusia, memasuki pembuluh
darah dan limfe, beredar dalam aliran darah, masuk ke jantung kanan, lalu masuk ke
dalam kapiler paru. Larva menembus dinding kapiler masuk ke dalam alveoli. Larva
cacing kemudian mengadakan migrasi ke bronki, trakea, laring dan faring, akhirnya
tertelan masuk ke esophagus. Di esofagus larva berganti kulit untuk ketiga kalinya.
Migrasi larva berlansung sekitar sepuluh hari. Dari esofagus larva masuk ke usus halus,
berganti kulit yang keempat kalinya, lalu tumbuh menjadi cacing dewasa. Dalam waktu
satu bulan,cacing betina sudah mampu bertelur (Soedarto, 2008). Ingesti telur infektif
dari tanah yang terkontaminasi dengan feses. Tidak ada dari orang ke orang. Tanah yang
terinfeksi dapat terbawa oleh kaki atau alas kaki. Siklus hidup memerlukan 4 sampai 8
minggu (Stanhope dan Knollmueller, 2010).
d. Gejala Klinis
Gambaran gejala klinis infeksi cacing tambang yang tampak dapat berupa :
anemia hipokromik mikrositer, gambaran umum kekurangan darah yaitu pucat, perut
buncit, rambut kering dan mudah lepas, rasa tak enak di epigastrum, sembelit, diare atau
steatore, ground-itch (gatal kulit di tempat masuknya larva cacing), serta gejala bronkitis
seperti batuk, kadang-kadang dahak berdahak (Soedarto, 2008).

D. Pengobatan

Pengobatan dapat dilakukan secara individu atau massal pada masyarakat, Pengobatan
individu dapat digunakan bemacam macam obat.
Pemilihan obat cacing untuk pengobatan massal harus memenuhi beberapa persyaratan,
yaitu :
a. Mudah di terima di masyarakat
b. Mempunyai efek samping yang minimum
c. Bersifat polivalen sehingga dapat berkhasiat terhadap beberapa jenis cacing
d. Harganya murah (terjangkau)
1.Pengobatan yang dilakukan untuk infeksi yang disebabkan oleh cacing cambuk adalah
Albendazole / Mebendazole dan Oksantel pamoate.
2. Pengobatan infeksi cacing tambang adalah Pyrantel pamoate ( Combantrin, Pyrantin),
Mebendazole (Vermox, Vermona, Vircid), Albendazole.
E. Pencegahan
Upaya pencegahan cacingan dapat dilakukan melalui upaya kebersihan perorangan
ataupun kebersihan lingkungan. Kegiatan tersebut meliputi:
1. Menjaga Kebersihan Perorangan
a. Mencuci tangan sebelum makan dan sesudah buang air besar dengan
menggunakan air dan sabun.
b. Potong kuku anak secara teratur. Kuku panjang bisa menjadi tempat bermukim
larva cacing.
c. Ajari anak untuk tidak terbiasa memasukkan tangan ke dalam mulutnya. Selalu
pakaikan sandal atau sepatu setiap kali anak bermain di luar rumah.
d. Bilas sayur mentah dengan air mengalir atau mencelupkannya beberapa detik ke
dalam air mendidih.
e. Juga tidak jajan di sembarang tempat, apalagi jajanan yang terbuka
f. Menggunakan air bersih untuk keperluan makan, minum, dan mandi :
g. Memasak air untuk minum
h. Mencuci dan memasak makanan dan minuman sebelum dimakan;
i. Mandi dan membersihkan badan paling sedikit dua kali sehari;

j. Memakai alas kaki bila berjalan di tanah, dan memakai sarung tangan bila
melakukan pekerjaan yang berhubungan dengan tanah;
k. Menutup makanan dengan tutup saji untuk mencegah debu dan lalat mencemari
makanan tersebut (Kemenkes, 2012).
2. Menjaga Kebersihan Lingkungan
a.Membuang tinja di jamban agar tidak mengotori lingkungan.
b. Jangan membuang tinja, sampah atau kotoran di sungai.
c.tidak menyiram jalanan dengan air got
d. Mengusahakan pengaturan pembuangan air kotor.
e.Membuang sampah pada tempatnya untuk menghindari lalat dan lipas.
f. Menjaga kebersihan rumah dan lingkungannya (Kemenkes, 2012).

Daftar Pustaka
Muslim. (2009). Parasitologi untuk Keperawatan. Jakarta: EGC
Kementerian kesehatan RI direktorat jenderal pp dan pl. 2012. Pedoman pengendalian
Kecacingan.
Soedarto. (2008). Parasitologi Klinik. Surabaya: Airlangga Universitas Press.
Stanhope, Marcia dan Ruth N. Knollmueller. (2010). Praktik Keperawatan KesehatanKomunitas,
Edisi 2. Jakarta: EGC.
Supali, T., Margono, S.S. dan Abidin A.S.N. 2008. Nematoda Usus, dalam Susanto, I., Ismid,
I.S., Sjarifuddin, P.K. dan Sungkar, S. (Editor), Buku Ajar Parasitologi Kedokteran.
Jakarta: Buku Kedokteran ECG.
Zukhriadi Dly, Rahmad R. (2008). Hubungan Higiene Perorangan Siswa dengan Infeksi
Kecacingan Anak SD Negeri Di Kecamatan Sibolga Kota Kota Sibolga. Diakses pada
tanggal 31 Oktober 2012 dari www.repositoryusu.ac.id.
Zulkoni, Akhsin. (2010). Parasitologi. Yogyakarta: Muha Medika.

Anda mungkin juga menyukai