Anda di halaman 1dari 62

INFEKSI PARASIT DAN STATUS GIZI PADA ANAK SEKOLAH

DASAR DI WILAYAH KABUPATEN LUWU PERIODE MEI-


JULI 2022

Oleh :
Nur Indah Saputri R. Igiasi
C011191117

Pembimbing :
dr. St. Wahyuni M., Ph.D.

Diajukan untuk melengkapi salah satu syarat menyelesaikan strata satu program
studi Pendidikan Dokter

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2022
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang

Infeksi kecacingan adalah salah satu penyakit yang masuk dalam 10 besar

penyakit anak di Indonesia. Soil Trsansmitted Helminths (STH) merupakan infeksi

kecacingan yang sebahagian besar dijumpai pada anak sekolah ( Kamila, 2017 ). Soil

Trsansmitted Helminths (STH) menginfeksi usus manusia yang ditularkan melalui

tanah yang sudah terkontaminasi oleh telur atau larva dari cacing ini dimana infeksi

sering ditemukan pada area beriklim panas dan lembab dimana sanitasi dan

kebersihan yang rendah ( CDC, 2013 ). Cacing gelang (Ascaris lumbricoides),

cacing cambuk (Trichuris trichiura) dan cacing tambang (Necator americanus dan

Ancylostoma duodenale), merupakan spesies utama yang menginfeksi manusia.

( WHO, 2019).

Lebih dari 1,5 miliar orang atau 24% dari populasi dunia, terinfeksi dengan

infeksi cacing yang ditularkan melalui tanah di seluruh dunia diperkirakan terinfeksi

cacing Soil Trsansmitted Helminths (STH) dengan distribusi terbanyak berada di

Afrika sub-Sahara, Amerika, China, dan Asia Timur. Selain itu terdapat lebih dari

267 juta balita dan 568 juta anak usia sekolah di seluruh dunia yang tinggal di area

endemis memerlukan pengobatan dan pencegahan dari infeksi cacing tersebut.

Secara rinci terdapat 807 juta sampai 1,221 miliar orang terinfeksi

A.lumbricoides,604 sampai 795 juta orang terinfeksi T.triciura, dan 576 sampai 740

juta orang terinfeksi hookworm. Infeksi cacing Soil Trsansmitted Helminths (STH)

2
terjadi terutama pada anak usia prasekolah dan usia sekolah (kurang dari 15 tahun)

( WHO,2019). Prevalensi infeksi kecacingan di Indonesia masih relative tinggi,

yaitu antara 2,5%-62%, tergantung pada kondisi geografis, pendidikan, ekonomi,

sanitasi lingkungan dan hygiene masyarakat. (Kemenkes RI, 2017).

Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan bahwa

penderita infeksi kecacingan di Sulawesi Selatan masih terbilang banyak yaitu pada

tahun 2017 sebanyak 10.700 kasus, dimana kota Makassar merupakan wilayah

dengan jumlah kasus tertinggi yaitu sebesar 1.928 kasus, kasus infeksi kecacingan

di Sulawesi Selatan didominasi oleh kelompok umur 6-15 tahun dengan jumlah

kasus sebesar 3.943 pada tahun 2017 (Subair et al.,2019). Tentu saja angka ini

termasuk angka yang tinggi mengingat pada tahun 2019 pemerintah pusat

menetapkan angka kejadian infeksi cacing Soil Trsansmitted Helminths (STH)

sampai dengan di bawah 10% di setiap daerah kabupaten/kota. Pemerintah

menetapkan kebijakan tersebut dikarenakan banyak dampak yang ditimbulkan oleh

infeksi Soil Trsansmitted Helminths (STH) (Kemenkes RI, 2017).

Infeksi cacing mempengruhi asupan (intake), pencernaan (digestive),

penyerapan (absorbs), dan metabolism makanan. Secara kumulatif, infeksi cacing

dapat menimbulkan kerugian terhadap kebutuhan zat gizi karena kurangnya kalori

dan protein, serta kehilangan darah. Infeksi cacing memiliki potensi kerugian akibat

kehilangan karbohidrat, protein, dan darah akan menjadi sangat besar. Selain dapat

menghambat perkembangan fisik, kecerdasan, dan produktifitas kerja, dapat

menurunkan ketahanan tubuh sehingga mudah terkena penyakit lainnya. (Kemenkes

3
RI, 2017). Sehingga kasus-kasus malnutrisi, stunting, anemia, bisa disebabkan oleh

karena infeksi kecacingan (Dirjen P2PL, 2015).

Berdasarkan uraian diatas mengingat tingginya prevalensi infeksi kecacingan

dan kerugian yang ditimbulkan pada kesehatan anak serta kurangnya perhatian dan

pengetahuan mengenai kecacingan pada anak sekolah dasar, maka peneliti tertarik

untuk melakukan penelitian untuk memperoleh informasi mengenai “ Gambaran

Infeksi Parasit dan Status Gizi Pada Anak Sekolah Dasar di Wilayah Kota Makassar

Periode Mei-Juli 2022”.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah diungkapkan di atas,

peneliti merumuskan suatu rumusan masalah penelitian, yaitu bagaimana

gambaran infeksi parasite dan status gizi pada anak sekolah dasar di wilayah kota

Makassar periode mei-juli 2022 ?

1.3. Tinjauan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum

Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan umum untuk mengetahui

gambaran infeksi parasite dan status gizi pada anak sekolah dasar di wilayah

kota Makassar periode mei-juli 2022.

4
1.3.2. Tujuan Khusus

Selain memeliki tujuan umum seperti yang disampaikan pada poin

sebelumnya, penelitian ini juga memiliki beberapa tujuan khusus, yaitu untuk:

1. Mengetahui prevalensi infeksi parasite usus pada anak sekolah dasar di

wilayah Kota Makassar.

2. Mengetahui gambaran infeksi parasite usus pada anak sekolah dasar di

wilayah Kota Makassar.

3. Mengtahui gambaran status gizi pada anak sekolah dasar di wilayah Kota

Makassar.

4. Mengetahui hubungan infeksi parasite usus dan status gizi pada anak sekolah

dasar di wilayah Kota Makassar.

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Manfaat Bagi Pemberi Layanan Kesehatan.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi tambahan untuk

membantu para pemberi layanan kesehatan untuk dapat memberikan layanan

yang efektif.

1.4.2. Manfaat Bagi Peneliti

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pembelajaran serta

menambah wawasan dalam melakukan penelitian di bidang kedokteran.

5
1.4.3. Manfaat Bagi Institusi Pendidikan

Penelitian ini diharapkan dapat menambah studi kepustakaan dalam

menjadi suatu sumber referensi bagi mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas

Hasanuddi Makassar Sulawesi Selatan.

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Infeksi Parasit Usus

Infeksi parasite usus yaitu cacing dan protozoa merupakan masalah

kesehatan masyarakat di Indonesia. Cacing usus yang banyak ditemukan adalah

Soil Trsansmitted Helminths (STH), dimana cacing ini ditularkan melalui tanah)

trichiura dan cacing tambang, sedangkan protozoa adalah Giardia lamblia dan

Blastocystis hominisi1

2.1.1. Soil Trsansmitted Helminths (STH)

Cacing usus atau sering disebut STH adalah cacing usus yang penularannya

melalui tanah. Tanah merupakan media pertumbuhan telur untuk menjadi

infektif. Jenis-jenis Soil Transmitted Helminth adalah Ascaris lumbricoides,

Trichuris trichiura dan Hookworm (Ancylostoma duodenale dan Necator

americanus) dan Strongyloides stercoralis (Gandahusada et al., 1998).

2.1.1.1. Ascaris lumbricoides

Ascariasis adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing Ascaris

lumbricoides. Angka kejadian Ascariasis tertinggi ditemukan pada negara

berkembang dengan lingkungan yang buruk serta di daerah tropis seperti

Indonesia (Rampengan, 2005; Sutanto dkk, 2008). Penyakit kecacingan ini dapat

mengakibatkan menurunnya kondisi kesehatan, gizi, kecerdasan dan

produktifitas penderita (KEPMENKES RI No.424/2006).

7
Prevalensi penyakit kecacingan ini sangat tinggi terutama di daerah

tropis dan subtropis (Suryani, 2012). Prevalensi penyakit kecacingan di Indonesia

ini masih sangat tinggi, terutama pada golongan penduduk yang kurang mampu

dari segi ekonomi. Pada kelompok ekonomi lemah mempunyai risiko tinggi

terjangkit penyakit kecacingan karena kurang adanya kemampuan dalam

menjaga higiene dan sanitasi lingkungan (Sumanto D, 2010). Natadisastra (2012)

mengatakan faktor pendukung tingginya prevalensi kecacingan di Indonesia

meliputi sosiodemografi (pendidikan dan pendapatan), rendahnya prilaku sanitasi

pribadi maupun lingkungan di sekitar masyarakat.

Cacing betina memiliki ukuran panjang 35 cm dan diameter 6 mm

sedangkan cacing jantan berukuran lebih kecil dibanding cacing betina dan

memiliki ekor melengkung di bagian perut. Cacing dewasa dan cacing dewasa

dapat diidentifikasi dengan adanya tiga bibir yang menonjol di ujung anterior.

Secara umum dapat dilihat bahwa cacing A. lumbricoides berwarna

merah berbentuk silinder. Cacing jantan lebih kecil ukurannya daripada cacing

betina. Pada stadium dewasa, cacing ini akan hidup dan berkembang didalam

rongga usus kecil (Sutanto dkk, 2008).

Cacing jantan berukuran 15-25 cm x 3 mm disertai ujung posteriornya

yang melengkung ke arah ventral dan diikuti adanya penonjolan spikula yang

berukuran sekitar 2 mm. Selain itu, di bagian ujung posterior cacing juga terdapat

banyak papil-papil kecil (Soedarto, 2009). Cacing betina berukuran 25-35 cm x 4

mm dengan ujung posteriornya yang lurus. Cacing ini memiliki 3 buah bibir,

8
masing-masing satu dibagian dorsal dan dua lagi dibagian ventrolateral

(Satoskar, 2009).

Gambar 2.1. Siklus hidup cacing A. lumbricoides 3


Cacing dewasa hidup dalam jangka waktu ±10 – 24 bulan . Cacing

dewasa dilindungi oleh pembungkus keras yang kaya akan kolagen dan lipid

serta menghasilkan enzim protease inhibitor yang berfungsi untuk melindungi

cacing agar tidak tercerna di sistem pencernaan manusia (Satoskar, 2009).

Cacing ini juga memiliki sel-sel otot somatik yang besar dan memanjang

sehingga mampu mempertahankan posisinya di dalam usus kecil. Jika otot

somatik tersebut lumpuh oleh obat cacing, maka cacing akan mudah keluar

melalui anus karena gerakan peristaltic di usus (Zaman, 2008)

Gejala klinis yang timbul dari Ascariasis tergantung dari beratnya

infeksi , keadaan umum penderita, daya tahan, dan kerentanan penderita terhadap

9
infeksi cacing ini (Natadisastra, 2012). Penderita Ascariasis tidak akan

merasakan gejala dari infeksi ini (asimptomatik) apabila jumlah cacing sekitar

10-20 ekor didalam tubuh manusia sehingga baru dapat diketahui jika ada

pemeriksaan tinja rutin ataupun keluarnya cacing dewasa bersama dengan tinja.

Gejala klinis yang timbul bervariasi, bisa dimulai dari gejala yang ringan seperti

batuk sampai dengan yang berat seperti sesak nafas dan perdarahan. Gejala yang

timbul pada penderita Ascariasis berdasarkan migrasi larva dan

perkembangbiakan cacing dewasa, yaitu:

1. Gejala akibat migrasi larva A. lumbricoides

Selama fase migrasi, larva A. lumbricoides di paru penderita akan

membuat perdarahan kecil di dinding alveolus dan timbul gangguan batuk

dan demam. Pada foto thorak penderita Ascariasis akan tampak infiltrat yaitu

tanda terjadi pneumonia dan eosinophilia di daerah perifer yang disebut

sebagai sindrom Loeffler. Gambaran tersebut akan menghilang dalam waktu

3 minggu (Southwick dkk, 2007).

2. Gejala akibat cacing dewasa

Selama fase didalam saluran pencernaan, gejala utamanya berasal

dari dalam usus atau migrasi ke dalam lumen usus yang lain atau perforasi

ke dalam peritoneum (Rampengan, 2008). Cacing dewasa yang tinggal

dilipatan mukosa usus halus dapat menyebabkan iritasi dengan gejala mual,

muntah, dan sakit perut. Perforasi cacing dewasa A. lumbricoides ke dalam

peritoneum biasanya menuju ke umbilikus pada anak sedangkan pada

10
dewasa mengarah ke inguinal. Cacing dewasa A. lumbricoides juga dapat

menyebabkan obstruksi diberbagai tempat termasuk didaerah apendiks

(terjadi apendisitis), di ampula vateri (terjadi pancreatitis haemoragis), dan di

duktus choleduchus terjadi cholesistitis (Zapata dkk, 2007). Anak yang

menderita Ascariasis akan mengalami gangguan gizi akibat malabsorpsi

yang disebabkan oleh cacing dewasa. A. lumbricoides perhari dapat

menyerap 2,8 gram karbohidrat dan 0,7 gram protein, sehingga pada anak-

anak dapat memperlihatkan gejala berupa perut buncit, pucat, lesu, dan

rambut yang jarang (Natadisastra, 2012; Manganelli dkk, 2012).

Penderita Ascariasis juga dapat mengalami alergi yang berhubungan

dengan pelepasan antigen oleh A. lumbricoides dalam darah dan kemudian

merangsang sistem imunologis tubuh sebagai defence mechanism dengan

gejala berupa asma bronkial, urtikaria, hipereosinofilia, dan sindrom Loeffler

(Alcantara dkk, 2010).

Pilihan pengobatan untuk ascariasis ada bermacam-macam yaitu

albendazole 400 mg dosis tunggal, mebendazol 2x100 mg/hari selama 3 hari

atau 500 mg dosis tunggal. Untuk anak-anak yang berusia 1-3 tahun dapat

diberikan Nitazoxanide 2x100 mg/hari selama 3 hari; 2x200 mg/hari selama

3 hari untuk anak-anak usia 4-11 tahun; 2x500mg/hari selama 3 hari untuk

remaja dan dewasa. Pengobatan ini menghasilkan angka kesembuhan yang

sebanding dengan albendazole dosis tunggal 4.

11
Adapun untuk pencegahan ascariasis dapat dilakukan dengan

melakukan sanitasi yang baik dan menjaga higenitas, serta dari pihak

pelayanan kesehatan dapat memberikan agen anthelmintik atau obat cacing

kepada anak usia sekolah dua kali setahun sebagai upaya program

pemberantasan cacing pada anak 5.

2.1.1.2. Trichuris trichura

Cacing ini bersifat kosmopolit, terutama ditemukan di daerah panas

dan lembab, seperti di Indonesia (Taniawati et al, 2008). Trichuris trichiura

tersebar luas di seluruh dunia, terutama di daerah tropis. Indonesia

merupakan daerah endemik parasit ini dan seringkali infeksi nya ditemukan

bersama dengan infeksi Ascaris lumbricoides, cacing tambang dan

Entamoeba hystolitica (Pusarawati et al, 2009).

Nematoda dewasa berbentuk seperti cambuk dan umumnya 3-5 cm

panjang, dengan jantan yang agak lebih kecil dari pada betina. Tiga-perlima

anterior threadlike, sementara posterior dua-perlima gemuk dan berisi organ

reproduksi. Dua-pertiga panjang tubuh merupakan oesophagus dikelilingi

oleh stitchocytes. Stitchocytes yang besar, kelenjar uniseluler. Mulut tidak

memiliki bibir dan memiliki pembukaan sederhana. Rongga bukal kecil.

Anus terletak di dekat ujung ekor. Kedua jenis kelamin memiliki gonad

tunggal (Alfred, 2005).

12
Telur yang keluar bersama tinja mengandung sel telur yang tidak

bersegmen dan akan mengalami embrionisasi dan (mengandung larva)

sesudah 10- 14 hari di tanah (Pusarawati et al, 2009).

Gambar 2.2. Siklus hidup cacing T. Trichiura14

Jika orang terinfeksi berdefikasi di luar (dekat semak-semak, di

taman, atau lapangan) atau jika kotoran manusia digunakan sebagai pupuk,

telur disimpan di tanah. Telur tersebut kemudian dapat tumbuh menjadi

bentuk yang infektif. Infeksi Trichuris trichiura (Trichuriasis) disebabkan

oleh makanan atau jari terkontaminasi telur infektif masuk mulut (Centers

for Disease Control and Prevention , 2013).

13
Habitat di usus besar terutama di caecum, bagian anterior yang seperti

benang tertanam dalam mukosa usus, kadang terdapat di appendix

(Soebaktiningsih, 2014). Cacing ini tidak mempunyai siklus paru. Masa

partumbuhan mulai dari telur tertelan sampai cacing dewasa betina bertelur

kurang lebih 30-90 hari (Taniawati et al, 2008).

Cacing Trichuris pada manusia terutama hidup di sekum, akan tetapi

dapat juga ditemukan di kolon asendens. Pada infeksi berat, terutama pada

anak, cacing tersebar di seluruh kolon dan rectum. Kadang-kadang terlihat di

mukosa rectum yang mengalami prolapses akibat mengejannya penderita

pada waktu defekasi.

Cacing ini memasukkan kepalanya ke dalam mukosa usus, hingga

terjadi trauma yang menimbulkan iritasi dan peradangan mukosa usus. Di

tempat perlekatannya dapat terjadi perdarahan. Disamping itu cacing ini juga

menghisap darah hospesnya, sehingga dapat menyebabkan anemia.

Penderita terutama anak-anak dengan infeksi Trichuris yang berat dan

menahun, menunjukkan gejala diare yang sering diselingi sindrom disentri,

anemia, berat badan turun dan kadang-kadang disertai prolapsus rektum.

Infeksi berat Trichuris trichiura sering disertai dengan infeksi cacing

lainnya atau protozoa. Infeksi ringan biasanya tidak memberikan gejala

klinis yang jelas atau sama sekali tanpa gejala (Taniawati et al, 2008).

Infeksi kombinasi dengan tipe cacing yang lain seperti Ascaris lumbricoides

, Necator americanus, dan Ancylostoma duodenale dapat menyebabkan

14
growth stunting, retardasi mental, dan defek kognitif pada edukasi (Bethony

et al, 2006). Bila terdapat di appendix akan menimbulkan gejala appendicitis

(Soebaktiningsih, 2014).

Diagnosis Trichuriasis dapat ditegakkan dengan ditemukannya telur

pada pemeriksaan tinja secara langsung (direct smear) atau dengan cara

konsentrasi (Pusarawati, 2009). Prosedur konsentrasi direkomendasikan

apabila terdapat infeksi ringan yang mungkin telurnya cukup sulit

ditemukan (Centers for Disease Control and Prevention, 2013).

Obat pilihan untuk Trichuriasis adalah mebendazole. Dosis tunggal

500 mg dapat mengakibatkan tingkat kesembuhan 40-75%. Albendazole

adalah obat alternatif. Namun, kemanjurannya untuk Trichuriasis sedikit

lebih rendah dari mebendazole (Donkor, 2014).

Pencegahan dapat dilakukan dengan menghindari penelanan tanah

yang mungkin telah terkontaminasi oleh feses manusia yaitu dimana

termasuk penggunaan feses sebagai bahan pupuk. Cuci tangan dengan sabun

atau air hangat sebelum makan. (Centers for Disease Control and Prevention,

2013). Selalu mencuci makanan seperti sayuran, buah – buahan, dan lain –

lain sebelum dikonsumsi (Stephen, 2006).

2.1.1.3. Cacing Tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus)


Cacing ini ditemukan di daerah tropis dan subtropis. Insiden tertinggi

terutama ditemukan pada penduduk di Indonesia yang hidup di daerah

pedesaan khususnya daerah perkebunan. Seringkali golongan pekerja

15
perkebunan yang langsung berhubungan dengan tanah mendapat infeksi

lebih dari 70%. Kebiasaan berdefekasi di tanah dan pemakaian tinja sebagai

pupuk kebun penting dalam penyebaran infeksi . Untuk menghindari infeksi

ini antara lain ialah dengan memakai alas kaki.6

Cacing tambang dewasa adalah nematoda yang kecil berbentuk

fusiform dan berwarna putih keabu-abuan mempunyai kutikulum yang tebal.

Alat kelamin pada yang jantan adalah tunggal dan pada yang betina

berpasangan.

Pada ujung posterior cacing jantan terdapat bursa kaudal yang dipakai

untuk memegang cacing betina selama kopulasi. Ada 2 spesies cacing

tambang yang penting yaitu Ancylostoma duodenale berukuran lebih besar

daripada Necator americanus. Pada Ancylostoma duodenale betina

ukurannya 10-13 mm x 0,6 mm. jantan 8-11 mm x 0,4-0,5 mm. Cacing ini

berbentuk seperti hurup C. Pada Necator americanus betina ukurannya 9-11

mm x 0,4 mm, jantan 7-9 mm x 0,3 mm. Cacing ini berbentuk seperti hurup

S.

Rongga mulut ke dua jenis cacing ini besar. Pada Ancylostoma

doudenale ada 2 pasang gigi ventral sedangkan Necator americanus

mempunyai benda kitin berupa sepasang benda pemotong berbentuk bulan

sabit di dinding ventral dan sepasang lagi yang kurang nyata pada dinding

dorsal. Cacing jantan mempunyai bursa kopulatris pada ekornya sementara

cacing betina ekornya runcing.

16
Telur cacing tambang berukuran 60 mikron x 40 mikron bentuk oval,

berdinding tipis, jernih, berisi embrio terdiri dari 2-8 sel dalam tinja segar.

Larva rabditiform panjangnya kira-kira 250 mikron sedangkan larva

filariform kira-kira 600 mikron.

Cacing dewasa hidup di rongga usus halus. Cacing betina dan jantan

berkopulasi kemudian cacing betina bertelur dan telur keluar bersama tinja.

Cacing betina Necator americanus setelah kopulasi mengeluarkan telur

sebanyak 9000 butir sedangkan Ancylostoma duodenale kira-kira 10.000

butir.6 Cacing tambang dapat berkembang secara optimal pada tanah

berpasir yang hangat dan lembab, telur di tanah tumbuh dan berkembang

menjadi embrio dalam 24-48 jam pada suhu 23 sampai 30 °C dan menetas

menjadi larva.

Telur pada lingkungan yang sesuai di alam luar akan menetas menjadi

larva rabditiform dan dalam waktu 3 hari larva tersebut akan berubah

menjadi larva filariform yang infektif dan menembus kulit manusia

Cara infeksi nya adalah ketika larva filariform menembus kulit

kemudian menembus kapiler darah menuju ke jantung kanan lalu ke paru-

paru, bronkus ke trakea kemudian ke laring dan karena rangsangan batuk

akan tertelan menuju ke usus halus dan menjadi dewasa seperti dapat dilihat

pada gambar 2.3.

Migrasi melalui darah dan paru-paru berlangsung selama satu minggu,

sedangkan siklus dari larva menjadi dewasa berlangsung 7–8 minggu

17
Gambar 2.3. Siklus hidup cacing A. duodenale 14

Gejala klinis dapat ditimbulkan oleh cacing dewasa ataupun larvanya.

Bila larva infektif menembus kulit dan jumlah larva yang masuk banyak

maka dapat terjadi reaksi alergi terhadap cacing berupa gatal-gatal yang

menimbulkan warna merah pada kulit (terbentuk makulopapula dan eritema

yang terbatas). Reaksi ini disebut ground itch. Bila larva cacing tambang

tertelan maka sebagian akan menuju usus dan tumbuh menjadi dewasa

sebagian lagi menembus mukosa mulut faring dan bermigrasi ke paru-paru

atau pada orang telah peka mungkin timbul bronchitis/pneumonitis.

Penyakit cacing tambang pada hakekatnya adalah infeksi kronis dan

orang yang dihinggapinya sering tidak menunjukkan gejala akut. Gejala

18
yang disebabkan oleh cacing dewasa biasanya tidak timbul sampai tampak

adanya anemia

Infeksi Ancylostoma duodenale lebih berat dan gejala ditimbulkan

oleh jumlah cacing yang lebih sedikit daripada infeksi Necator americanus

sebab Ancylostoma duodenale menghisap lebih banyak darah.14 Tiap cacing

Necator americanus yang menghisap darah penderita akan menimbulkan

kekurangan darah sampai 0,1 cc sehari sedangkan cacing dewasa

Ancylostoma duodenale sampai 0,34 cc sehari. Akibat dari anemia itu maka

penderita akan tampak pucat, daya tahan berkurang dan prestasi kerja

menurun.

Infeksi ringan tidak menimbulkan gejala yang nyata. Anakanak

dengan infeksi berat mungkin menunjukkan keterbelakangan fisik mental

dan seksual. Pada awal infeksi ada eosinofilia dan leukositosis yang nyata.

Bila infeksi menahun eosinofilia dan leukositosis berkurang tetapi anemia

masih tetap ada.

Infeksi cacing tambang umumnya berlangsung secara menahun,

cacing tambang ini sudah dikenal sebagai penghisap darah. Seekor cacing

tambang mampu menghisap darah 0,2 ml per hari. Apabila terjadi infeksi

berat, maka penderita akan kehilangan darah secara perlahan dan dapat

menyebabkan anemia berat

Cara menegakkan diagnosa penyakit adalah dengan pemeriksaan tinja.

Parasites Load cacing tambang untuk infeksi ringan adalah 1-1.999 EPG,

19
untuk infeksi sedang adalah 2.000-3.999 EPG, dan untuk infeksi berat

adalah ≥4.000 EPG.

2.1.2. Protozoa Intestinal

Ada berbagai macam protozoa intestinal, diantaranya ada yang

menyebabkan gejala dan ada juga yang tidak bergejala. Spesies yang paling

umum pada subjek yang bergejala adalah Blastocystis spp., Entamoeba

histolytica dan Giardia duodenalis, sedangkan pada populasi tanpa gejala

ditemukan spesies Blastocystis sp., Entamoeba coli.

2.1.2.1. Blastocystis sp.


Blastocystis sp. merupakan protozoa usus yang paling umum

ditemukan dalam feses manusia dan dianggap sebagai parasit dengan

distribusi yang luas di seluruh dunia.6 Infeksi Blastocystis sp. pada manusia

disebut dengan Blastocystosis.7 Blastocystis hominis (B. hominis) adalah

penyakit water-borne dan ditularkan oleh kista melalui jalur oral-fekal.

Patogenesis pada manusia masih belum jelas karena infeksi B. hominis bisa

menimbulkan gejala atau tanpa gejala.6 Namun demikian, The Panamerican

Health Organization mengakui bahwa B. hominis merupakan parasit usus

yang dapat menyebabkan diare dan manifestasi gastrointestinal seperti nyeri

perut, muntah dan perut kembung.8 B. hominis juga sering ditemukan pada

pasien HIV/AIDS, Irritable Bowel Syndrome (IBS), urtikaria akut dan

kronik. B. hominis dianggap sebagai organisme patogen ketika diperiksa di

bawah mikroskop dalam 5 lapang pandang ditemukan dalam bentuk

20
amuboid dan tidak ada organisme patogen lain yang teridentifikasi.7 B.

hominis merupakan parasit oportunistik yang baru menimbulkan manifestasi

klinis ketika sistem imun dalam tubuh menurun.9

Protozoa ini berbentuk kista bulat yang berdinding tebal, dengan

ukuran antara 6-40µm.10 Blastocystis mempunyai 4 bentuk yaitu 1) vakuolar

dan granular, bentuknya bulat mengandung vakuola tunggal yang besar. Sel

granular mengandung banyak butiran kecil di sitoplasma atau vakuola

sentral. Terdiri dari beberapa inti sampai 4. Ini adalah bentuk paling umum

dari B. hominis; 2) multivakuolar dan avakuolar, vakuola kecil dan terdiri

dari 1-2 inti; 3) amuboid, bentuk yang sangat jarang. Pseudopodia sering

melekat; 4) Kista, dinding tebal dan terdiri dari banyak vakuola serta

mempunyai 1-2

Manusia terinfeksi B. hominis karena tertelan kista berdinding tebal

yang berasal dari tinja penderita. Kemudian kista menginfeksi sel epitel

usus lalu memperbanyak diri secara aseksual dan tumbuh menjadi bentuk

vakuolar. Sebagian dari bentuk vakuolar akan berkembang menjadi multi

vakuolar yang kemudian akan berkembang menjadi bentuk kista yang

berdinding tipis yang berperan dalam siklus auto infeksi di dalam tubuh

hospes. Bentuk vakuolar lainnya akan memperbanyak diri menjadi bentuk

amuboid yang akan berkembang menjadi bentuk prakista yang kemudian

dengan proses skizogoni akan tumbuh menjadi bentuk kista berdinding tebal

21
yang keluar bersama tinja dan merupakan stadium infektif pada penularan

selanjutnya. 10

Gambar 2.5. Gambar Blastocystis sp.

Prevalensi B. hominis berbeda-beda pada berbagai negara. Secara

umum prevalensi B. hominis lebih tinggi pada negara berkembang

dibandingkan negara maju. Hal tersebut berhubungan dengan hygiene yang

jelek, paparan dari binatang, dan konsumsi air minum yang terkontaminasi

parasit.22 Patogenesis B. hominis masih kontroversial, meskipun studi yang

pernah dilaporkan oleh Kaya, et al. 24 bisa membuktikan hubungan sebab

akibat antara B. hominis dan gejala gastrointestinal yang membaik setelah

pengobatan parasit ini. Lima puluh dua individu dengan infeksi B. hominis

dilihat gejala klinisnya dan diobati dengan metronidazole selama 2 minggu

kemudian diperiksa lagi. Hasil pemeriksaan menunjukkan tidak ada infeksi

22
parasit lain. Patogenisitas B. hominis diduga terkait dengan jumlah parasit

dan subtipe tertentu.

2.1.2.2. Entamoeba histolytica

Amoeba ini memiliki bentuk trofozoit dan kista. Trofozoitnya

memiliki ciri-ciri morfologi: ukuran 10-60 μm, sitoplasma bergranular dan

mengandung eritrosit, yang merupakan penanda penting untuk diagnosisnya,

terdapat satu buah inti entamoeba, ditandai dengan karyosom padat yang

terletak di tengah inti, serta kromatin yang tersebar di pinggiran inti,

bergerak progresif dengan alat gerak ektoplasma yang lebar, disebut

pseudopodia. (Yullfi, 2006)

Kista Entamoeba histolytica memiliki ciri-ciri morfologi sebagai

berikut: bentuk memadat mendekati bulat, ukuran 10-20 μm, kista matang

memiliki 4 buah inti entamoba, tidak dijumpai lagi eritrosit di dalam

sitoplasma, kista yang belum matang memiliki glikogen (chromatoidal

bodies) berbentuk seperti cerutu, namun biasanya menghilang setelah kista

matang. (Yullfi, 2006). Dalam peralihan bentuk trofozoit menjadi kista,

ektoplasma memendek dan di dalam sitoplasma tidak dijumpai lagi eritrosit

(Yullfi, 2006)

Siklus hidup dari seluruh ameba usus hampir sama. Bentuk yang

infektif adalah kista. Setelah tertelan, kista akan mengalami eksistasi di

23
ileum bagian bawah menjadi trofozoit kembali. Trofozoit kemudian

memperbanyak diri dengan cara belah pasang. Trofozoit akan mengalami

enkistasi (merubah diri menjadi bentuk kista). Kista akan dikeluarkan

bersama tinja. Bentuk trofozoit dan kista dapat dijumpai di dalam tinja,

namun trofozoit biasanya dijumpai pada tinja yang cair. Entamoeba

histolytica bersifat invasif, sehingga trofozoit dapat menembus dinding usus

dan kemudian beredar di dalam sirkulasi darah (hematogen). (Yullfi, 2006)

Gambar 2.6. Gambar Siklus Hidup E. histolytica

Entamoeba histolytica tersebar sangat luas di dunia. Penularan

umumnya terjadi karena makanan atau minuman yang tercemar oleh kista

ameba. Kista mampu bertahan di tanah yang lembab selama 8-12 hari, di air

9-30 hari, dan di air dingin (4ºC) dapat bertahan hingga 3 bulan. Kista akan

24
cepat rusak oleh pengeringan dan pemanasan 50ºC. Makanan dan minuman

dapat terkontaminasi oleh kista melalui cara-cara berikut ini: persediaan air

yang terpolusi, tangan infected food handler yang terkontaminasi,

kontaminasi oleh lalat dan kecoa, penggunaan pupuk tinja untuk tanaman,

higiene yang buruk, terutama di tempattempat dengan populasi tinggi,

seperti asrama, rumah sakit, penjara, dan lingkungan perumahan. Penularan

tidak terjadi melalui bentuk trofozoit, sebab bentuk ini akan rusak oleh asam

lambung. Penularan yang berlangsung melalui hubungan seksual baisanya

terjadi di kalangan pria homoseksual. (Yullfi, 2006)

2.1.2.3. Giardia duodenalis

Giardia lamblia merupakan flagellata usus yang paling patogen, hidup

di usus halus (duodenum) hospes. Morfologi Giardia lamblia memiliki

bentuk trofozoit dan kista. Bentuk trofozoit memiliki ciri-ciri berikut: •pear-

shaped dengan ukuran panjang 9-20 μm dan lebar 5-15μm,pear-shaped

dengan ukuran panjang 9-20 μm dan lebar 5-15μm, memiliki dua buah inti

yang terletak simetris, karyosom sentral yang besar tanpa kromatin di perifer

,axostyle membagi tubuh menjadi dua bagian simetris dua buah benda

parabasal menyilang axostyle, memiliki 8 buah flagella; 2 di ventral, 2 di

kaudal, dan 4 di lateral, bergerak seperti daun jatuh. Ciri-ciri bentuk kistanya

adalah: berbentuk oval, panjang 8-18 μm, lebar 7-10μm, kista matang

mengandung 4 buah inti, dapat terlihat axostyle dan benda parabasal.

25
Gambar 2.6. Gambar Siklus Hidup G. duodenalis

Masa inkubasi dapat terjadi dalam beberapa hari hingga beberapa

bulan. Amebiasis dapat berlangsung tanpa gejala (asimtomatis). Penderita

kronis mungkin memiliki toleransi terhadap parasit, sehingga tidak

menderita gejala penyakit lagi. Dari hal ini berkembang istilah symptomless

carrier. Gejala dapat bervariasi, mulai rasa tidak enak di perut (abdominal

discomfort) hingga diare. Gejala yang khas adalah sindroma disentri, yakni

kumpulan gejala gangguan pencernaan yang meliputi diare berlendir dan

berdarah disertai tenesmus. Lesi yang tipikal terjadi di usus besar, yakni

adanya ulkus dikarenakan kemampuan ameba ini untuk menginvasi dinding

usus. Lesi primer biasanya terjadi di sekum, apendiks, dan bagian-bagian

disekitar kolon asendens. Gambaran ulkusnya seperti gaung botol (flask-

shaped ulcer), dengan hanya satu atau beberapa titik penetrasi di mukosa

usus. Ulkus terjadi di submukosa hingga lamina muskularis dari usus. Ulkus

26
yang lebih dalam dapat melibatkan lamina serosa, sehingga dapat terjadi

perforasi hingga rongga peritoneum. Dari ulkus primer tersebut dapat

berkembang lesi sekunder di bagian usus yang lain serta organ dan jaringan

ekstraintestinal. Kadang-kadang terbentuk massa tumor granulomatosa

(ameboma) di usus besar sebagai lanjutan dari ulkus. Gambaran rontgen dan

endoskopi menyerupai karsinoma. Insiden tertinggi untuk terjadinya lesi

ekstraintestinal berlangsung di hati melalui vena porta, dan mayoritas

berkembang di lobus kanan, menimbulkan abses hati ameba (amebic liver

abscess). Amebiasis di paru biasanya merupakan akibat dari perforasi abses

hepatik melalui diafrgama. Sedangkan amebiasis kulit terjadi akibat

penjalaran abses hingga ke kulit. Penjalaran dapat pula terjadi melalui jalan

aliran darah (hematogen). Dengan jalan ini penjalaran dapat berlangsung

hingga ke organ-organ yang jauh, seperti limpa dan otak, sehingga

menimbulkan abses di tempat-tempat tersebut. Abses ameba dapat terjadi di

serviks, vulva, vagina, dan penis melalui penularan secara hubungan seksual,

yakni seks anal.

Patogenesis B. coli menimbulkan gastroenteritis yang disebut

balantidiasis, ditandai dengan gejala nyeri abdomen dan diare yang berdarah,

mirip dengan infeksi oleh Entamoeba histolytica.Pada infeksi berat dapat

timbul abses dan ulkus di mukosa dan submukosa usus besar dengan

gambaran seperti disentri ameba. Infeksi kronis dapat timbul tanpa terlihat

gejala. Komplikasi ekstraintestinal bisa terjadi di hati, paru, dan organ

27
lainnya, tetapi hal ini jarang terjadi. Insiden balantidiasis cukup rendah,

walaupun organisme ini tersebar di seluruh dunia. Hospes reservoir yang

penting adalah babi.

Patogenisitas Blastocystis masih diperdebatkan dan patogenesis

blastocystosis masih belum jelas. Potensi patogen dari Blastocystis masih

kontroversial karena infeksi dapat asimtomatik. Pengumpulan data

epidemiologi sangat diperlukan untuk menunjukkan bahwa Blastocystis

merupakan patogen. Kontroversi patogenesis blastocystosis mungkin

ditandai dengan variasi subtipe dalam virulensinya sehingga berhubungan

dalam variabilitas gejala yang diamati pada pasien blastocystosis.

Diagnosis infeksi protozoa usus dilakukan dengan menilai gejala dan

tanda dan pemeriksaan tinja untuk mengidentifikasi bentuk trofozoit dan

kista. Metode yang paling disukai adalah teknik konsentrasi dan pembuatan

sediaan permanen dengan trichrom stain. Namun yang paling sederhana dan

berguna untuk skrining adalah pembuatan sediaan basah dengan

menggunakan bahan saline. Sediaan basah yang sederhana ini dapat

diwarnai dengan pewarnaan Lugol (menggunakan iodin encer) agar terlihat

lebih jelas. Untuk menemukan bentuk trofozoit, tinja sebaiknya segera

diperiksa. Waktu yang paling baik adalah di bawah 30 menit. Pada tinja

encer dengan gejala klinis yang nyata dapat dijumpai bentuk trofozoit,

sedangkan pada symptomless carrier dengan tinja yang padat akan dijumpai

bentuk kista. Selain tinja, spesimen lain yang dapat diperiksa berasal dari

28
enema, aspirat, dan biopsi. Pada aspirasi abses hati adakan diperoleh cairan

berwarna coklat, dan bentuk trofozoit dapat ditemukan pada akhir aspirasi

atau di tepi ulkus. Pemeriksaan yang lebih maju adalah dengan prosedur

serologis. Namun dipastikan bahwa pemeriksaan ini jauh lebih mahal. Jenis

jenis pemeriksaan serologis adalah indirect hemagglutination assay (IHA),

enzyme-linked imunosorbent assay (ELISA), dan indirect

immunofluorescent (IFA).

Obat pilihan infeksi G. lamblia adalah metronidazol. Pencegahan

dilakukan dengan mencegah kontaminasi air. Kista G. Lamblia biasanya

resisten terhadap pemakaian klorin, sehingga penyaringan air minum

diperlukan. Hospes reservoir yang penting adalah sapi, sehingga pencemaran

air sungai oleh peternakan sapi di sekitarnya dianggap penting dalam

epidemiologi.

2.1.2.4. Entamoeba coli

E. coli memiliki bentuk trofozoit dan kista. Trofozoit ditandai dengan

ciriciri morfologi berikut: bentuk ameboid, ukuran 15-50 μm, sitoplasma

mengandung banyak vakuola yang berisi bakteri, jamur dan debris (tanpa

eritrosit), nukleus dengan karyosom sentral dan kromatin mengelilingi

pinggirannya, pseudopodia kurang lebar, sehingga tidak progresif dalam

bergerak, dengan morfologi demikian, maka trofozoit E. coli sangat mirip

dengan bentuk prekista dari E. histolytica (Yullfi, 2006)

29
Kista E. coli memiliki ciri-ciri berikut: bentuk membulat dengan

ukuran 10- 35 μm, kista matang berisi 8-16 inti, chromatoidal bodies berupa

batang-batang langsing yang menyerupai jarum (Yullfi, 2006)

Siklus hidup E.coli menyerupai E.histolytica, namun tanpa adanya

penjalaran ekstraintestinal. Penularan terjadi karena termakan bentuk kista

malalui jalan yang sama dengan penularan E. histolytica (Yullfi, 2006)

Infeksi E. coli bersifat asimtomatis dan non patogen. Namun parasit E.

coli sering dijumpai bersamaan dengan infeksi E. histolytica pada penderita

amebiasis. Diagnosis dilakukan dengan pemeriksaan tinja. Bentuk trofozoit

E. coli agak sukar dibedakan dengan bentuk prekista E. histolytica. Kista

mudah dibedakan bila telah memiliki lebih dari 4 inti. Pengobatan tidak

diperlukan karena protozoa ini non pathogen (Yullfi, 2006).

2.2. Status Gizi

Status Gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan

penggunaan zat-zat gizi. Untuk menilai status gizi anak diperlukan standar

antropometri yang mengacu pada standard WHO.

2.2.1. Faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi

Status gizi pada anak mempunyai pengaruh penting terhadap kesehatan

maupun tumbuh dan kembangnya, dibawah ini dijelaskan faktor-faktor

yang mempengaruhi status gizi:

a. Pengetahuan

30
Pengetahuan merupakan hal penting bagi perubahan prilaku, karena

prilaku yang didasari pengetahuan akan lebih langgeng dari pada

prilaku yang tiadak didasari pengetahuan. Pengetahuan merupakan

domain yang sangat penting sehingga terbentuknya tindakan seseorang

untuk mengkonsumsi gizi yang seimbang.

b. Tingkat pendidikan

Pendidikan merupakan bimbingan yang diberikan oleh seseorang

terhadap perkembangan orang lain menuju kearah suatu cita-cita

tertentu. Makin tinggi tingkat pendidikan seseorang makin mudah

menerima informasi sehingga makin banyak pula pengetahuan yang

dimiliki mengenai gizi yang harus dikomsumsi pada setiap keadaan

seseorang.

c. Tingkat sosio ekonomi

Pendapatan akan mempengaruhi untuk memenuhi kebutuhan, terutama

kebutuhan gizi tentang status gizinya. Sosioekonomi juga

mempengaruhi jenis dan kualitas makanan, misalnya : Orang dengan

status ekonomi rendah dan menengah kebawah tidak sanggup membeli

makanan, buah dan sayuran yang mahal dan juga untuk

mengkomsumsi ikan dan daging yang mahal dan bermutu.

d. Budaya

Banyak kepercayaan, kebiasaan dan istiadat yang berhubungan dengan

soal makan dan makanan, setiap individu mempunyai cara sendiri

31
dalam hal makanan yang dipilihnya. Demikian juga dalam makanan

untuk anak, ada yang dianggap baik dan ada yang kurang baik.

2.2.2. Cara perhitungan status gizi

Ada 2 jenis baku acuan: lokal dan internasional dan terdapat

beberapa baku acuan internasional : Harvard (Boston), WHO-NCHS,

Tanner dan Kanada. Salah satunya adalah Harvard dan WHO-NCHS

adalah yang paling umum digunakan di seluruh negara, distribusi data

BB/U, TB/U dan BB/TB yang dipublikasikan WHO meliputi data anak

umur 5-18 tahun

Standar yang dipakai untuk Antropometri Anak usia 5-18 tahun

berdasarkan parameter berat badan dan panjang/tinggi badan terdiri

atas 3 (tiga) indeks, yaitu :

a. Berat Badan menurut Umur (BB/U);


b. Tinggi Badan menurut Umur (TB/U);
c. Indeks Massa Tubuh menurut Umur (IMT/U)

Adapun pengukuran IMT/U bagi anak usia 5 hingga 18 tahun


digunakan untuk menentukan kategori gizi kurang, gizi baik, gizi
lebih, dan obesitas .

Gambar 2.9. Klasifikasi Status Gizi Anak

32
2.2.3. Hubungan Status Gizi Anak dan Infeksi Parasit Usus
Status gizi pada anak dan prevalensi infeksi parasit usus

dipengaruhi oleh sistem sosial-ekologis, karena perilaku manusia

utamanya dalam menjaga higenitas dan lingkungan tempat tinggalnya

berperan penting terhadap perkembangan status gizi dan resiko

penularan parasit usus pada anak. Kekurangan gizi dan infeksi parasit

usus saling terkait erat dan memiliki beberapa faktor risiko yang sama,

termasuk kurangnya akses ke air bersih, sanitasi yang lebih buruk, dan

pola hidup yang tidak bersih (WASH). Paparan kronis terhadap

lingkungan yang terkontaminasi karena kondisi WASH yang tidak

aman (misalnya, kotoran yang terkontaminasi dengan kista protozoa

atau telur cacing) dapat menyebabkan diare atau infeksi tanpa gejala;

dan dapat menyebabkan nutrisi yang buruk, malabsorpsi, gangguan

pencernaan, dan penurunan pertumbuhan masa kanak-kanak .

Penerapan praktik WASH yang baik umumnya dapat

mengurangi kemungkinan infeksi STH (A. lumbricoides, T. trichiura,

dan cacing tambang (A. duodenale dan N. americanus)). Praktik

WASH yang ditemukan berpengaruh terhadap penurunan kejadian

infeksi STH diantaranya akses air bersih yang mudah didapatkan,

perilaku sanitasi yang baik, mengenakan sepatu ketika berpergian,

33
selalu mencuci tangan baik sebelum makan ataupun seesudah buang

air besar, serta penggunaan atau ketersediaan sabun.

34
BAB III

KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1. Kerangka teori

Kesehatan usus

Fungsi barrier Infeksi parasit


Gut microbiota
usus usus

Soil Transmitted Protozoa


Helminth (STH) Intestinal

3.2. Kerangka Konsep

Infeksi parasit
usus

Soil Transmitted Protozoa


Helminth (STH) intestinal

Positif Negatif

35
3.3. Hipotesis penelitian

Berdasarkan kerangka konsep yang telah dijabarkan, maka hipotesis yang

dapat dirumuskan pada penelitian ini, yaitu terdapat :

H0 = Tidak ada hubungan antara infeksi parasit usus jenis Soil Transmitted

Helminth (STH) dan jenis Protozoa dengan status gizi anak sekolah

dasar di daerah pesisir Kota Makassar.

H1= Ada hubungan antara infeksi parasit usus jenis Soil Transmitted

Helminth (STH) dan jenis Protozoa dengan status gizi anak sekolah

dasar di daerah pesisir Kota Makassar.

36
BAB 4
METODELOGI PENELITIAN
4.1. Desain penelitian

Desain penelitian ini adalah penelitian analitik observasional dengan desain

penelitian potong lintang atau cross-sectional. Hasil penelitian disajikan dalam

bentuk data tabulasi kemudian dianalisis hubungan antara variabel bebas dan

terikat.

4.2. Ruang lingkup penelitian

4.2.1. Lingkup tempat

Lokasi penelitian ini dilakukan pada dua tempat. Untuk pengambilan

sampel tinja dan pemeriksaan antropometri dilakukan di Sekolah Dasar yang

berada di pesisir pantai Kota Makassar yaitu SD Negeri Baraya 1 dan SD

Negeri Baraya 2 dan. Sedangkan pemeriksaan sampel tinja yang sudah

dikumpulkan dilakukan di Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran

Universitas Hasanuddin.

4.2.2. Waktu

Waktu penelitian ini dimulai dari Mei 2022 – Juli 2022.

4.2.3. Disiplin ilmu terkait

Penelitian ini melibatkan beberapa disiplin ilmu terkait yaitu Ilmu Gizi,

Ilmu Parasitologi dan Kesehatan masyarakat.

37
4.3. Variabel penelitian

4.3.1. Variabel bebas ( Independen )

Variabel bebas pada penelitian ini adalah adalah infeksi parasit usus yang

meliputi kejadian infeksi parasit usus yang termasuk dalam STH dan Protozoa

intestinal pada anak sekolah dasar di wilayah Kota Makassar.

4.3.2. Variabel terikat ( Dependen )

Variabel terikat pada penelitian ini adalah status gizi yang lebih tepatnya

akan diketahui melalui indeks massa tubuh anak berdasarkan usia (IMT-U)

dengan pemeriksaan antropometri.

38
4.4. Definisi operasional

39
Definisi Skala
No. Variabel Cara Ukur Kategori
Operasional ukur

Infeksi cacing
instestinal jenis
Ascaris
Infeksi lumbrocoides,
parasit usus Pemeriksaan
Trichuris
jenis Soil trichura, atau mikroskopis 1. Positif
1. Nominal
Transmitted sampel tinja 2. Negatif
cacing tambang
Helminth responden
(Necator
(STH) americanus,
Ancylostoma
duodenale) pada
responden
Infeksi protozoa
intestinal jenis
Blastocystis sp.,
Infeksi Pemeriksaan
Entamoeba
parasit usus mikroskopis 1. Positif
2. histolytica, Nominal
jenis sampel tinja 2. Negatif
Giardria
protozoa responden
duodenalis, atau
Entamoeba coli
pada responden
Pengkelompo 1. -3 SD s.d.
kkan status < -2 SD =
Keadaan gizi
gizi pada Gizi
anak yang dilihat
responden Kurang
pada pengukuran
dengan 2. -2 SD s.d.
Berat badan dan
memasukkan +1 SD =
40
4.5. Populasi dan Sampel

4.5.1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh murid pada 2 SD yang berada di

wilayah Kabupaten Luwu

4.5.2. Sample

Sampel adalah bagian dari populasi yang diteliti. Sampel penelitian ini

adalah anak sekolah dasar yang berada di wilayah Kabupaten Luwu. Teknik

pengambilan sampel

Teknik pengambilan sampel yang akan dipakai oleh peneliti yaitu

Proportionate stratified random sampling atau teknik penentuan jumlah

sampel secara acak pada populasi yang tidak homogen namun berstrata

secara proporsional.

4.6. Etik penelitian

4.6. Etik Penelitian


Penelitian ini merupakan penelitian yang dilaksanakan dengan

bimbingan dr. St Wahyuni M., Ph.D. Aspek etik dalam penelitian ini yaitu

peneliti akan mengajukan surat izin etik penelitian (ethical clearance) kepada

Komite Etika Penelitian Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin dan

telah dinyatakan lolos uji kaji etik.

4.7. Instrumen Penelitian

41
Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

kuesioner yang meliputi pertanyaan seputar biodata dan data sosidemografi

dari seorang anak, Timbangan untuk mengukur berat badan dan stadiometer

untuk mengukur tinggi badan anak, serta sampel tinja dilakukan pemeriksaan

dengan metode Kato-Katz untuk mendeteksi helminth dan pemeriksaan

mikroskopis untuk mendeteksi protozoa intestinal di Laboratorium

Parasitologi Fakultas Kedokteran Unversitas Hasanuddin.

4.8. Pengumpulan data

4.8.1. Alat dan Bahan Pemeriksaan Cacing

 Pot feses

 Box penyimpanan

 Mikroskop

 Kaca objek

 Penutup kaca objek

 Rak kaca objek

 Stik aplikator kayu

 Pensil minyak (grease pencil)

 Penyaring

42
 Cetakan yang terbuat dari logam tahan karat atau plastic

 Strip selofan

 Pinset

 Kertas koran

 Sampel tinja

 Larutan natrium klorida 0.85%

 Larutan lugol idom 0.5%

 Larutan asam asetat 50% yang diencerkan 1:1 dengan air suling

 Larutan biru metilen

 Larutan eosin 2%

4.8.2. Alat Pemeriksaan Antropometri

 Stadiometer
 Timbangan
 Pena
 Kertas
 Co-software WHO antroplus

4.8.3. Cara pengambilan sampel tinja

1. Memberikan informed consent.

2. Memberikan edukasi pada responden cara pengumpulan sampel tinja :

a. Pengumpulan tinja dilakukan pada pagi hari sebelum berangkat ke

sekolah.

43
b. Responden diminta untuk berkemih dahulu agar sampelnya tidak

bercampur dengan urin.

c. Sampel tinja tidak boleh bercampur dengan air.

d. Sampel tinja ditampung ke pot steril bermulut lebar dan berpenutup.

3. Sampel yang dikumpulkan oleh responden diterima oleh peneliti dengan

tidak diawetkan ataupun didinginkan.

4. Sampel yang terkumpul disimpan ke dalam box penyimpanan.

5. Box yang berisi sampel dikirim ke Laboratorium Parasitologi Fakultas

Kedokteran Universitas Hasanuddin dan diperiksa <18 jam setelah

pengambilan.

Pemeriksaan mikroskopik protozoa usus

1. Buat campuran dari larutan asam asetat yang telah diencerkan dan

larutan lugol iodin. Campuran kedua larutan tersebut diencerkan

sebanyak empat kali volumenya dengan air suling dan aduk hingga

merata.

2. Siapkan kaca objek yang telah dilabeli dengan identitas atau nomor

pasien.

44
3. Teteskan setetes larutan natrium klorida yang telah dipanaskan hingga

37oC di bagian tengah kiri dari kaca objek dan setetes campuran

larutan asam asetat dan iodin di bagian tengah kanan kaca objek.

4. Ambil sedikit dari sampel tinja dengan aplikator (kira-kira 2-3 mm).

a) Bila konsistensi tinja padat, ambil di bagian tengah sampel

dan di permukaan sampel.

b) Bila konsistensi tinja cair atau berlendir, ambil di permukaan

tinja atau dari permukaan cair sampel tersebut.

5. Tambahkan tetesan natrium klorida pada campuran sediaan tersebut di

atas kaca objek tadi.

6. Ambil sediaan kedua dari sampel tinja denga menggunakan aplikator

dan campurkan dengan tetsan larutan asam asetat dan iodin lalu buang

aplikator setelah digunakan.

7. Letakkan tutup kaca objek diatas setiap tetesan tersebut.

8. Amati preparat dengan mikroskop menggunakan perbesaran objektif

x10 dan x40 serta okuler x5.

9. Menambahkan setetes larutan biru metilen dengan pipet pasteur hingga

merembes dibawah penutup kaca.

Pemeriksaan parasit usus jenis STH dengan metode Kato-Katz

45
1. Celupkan strip selofan ke dalam larutan biru metilen 24 jam sebelum

digunakan.

2. Ambil sediaan tinja sekitar 0.5 g ke kertas koran.

3. Menekan penyaring di atas sampel tinja.

4. Kerok atas permukaan dari penyaring menggunakan stik aplikator.

5. Cetakan ditempatkan di atas kaca objek steril setelah itu sampel tinja

yang sudah disaring tadi dipindahkan ke dalam lubang cetakan

kemudian diratakan menggunakan stik aplikator.

6. Mengangkat cetakan untuk memindahkan sampel tinja ke kaca objek.

7. Menutup sampel tinja yang ada di atas kaca objek dengan strip selofan

yang dibasahi gliserol.

8. Kaca objek dibalikkan dan sampel tinja yang menempel pada selofan

ditekan di atas objek dengan permukaan licin untuk meratakan sampel.

9. Setelah itu kaca objek dimiringkan perlahan lahan sambal menahan

selofan.

10.Periksa sampel di bawah mikroskop, dengan mengecilkan bukaan

kondensator serta menggunakan pembesaran objektif x10.

46
4.8.4. Cara pengukuran status gizi

Pengukuran Berat Badan (BB)

1. Melakukan informed consent kepada pasien tentang indikasi dan

tujuan penilaian status gizi melalui pengukuran berat badan.

2. Pasien memakai pakaian seminimal mungkin (Jaket, Topi,

ataupun aksesori lain dilepaskan) dan melepaskan alas kaki pada

saat pengukuran.

3. Mengeluarkan benda-benda berat seperti telepon seluler, kunci,

ikat pinggang, dompet, atau barang berat lainnya yang akan

mempengaruhi hasil pengukuran.

4. Tekan tombol On untuk menyalakan Weighing scale hingga

muncul angka 0.

5. Meminta pasien untuk naik ke timbangan dalam posisi berdiri

tanpa dibantu.

6. Pasien diarahkan untuk berdiri tegak, melihat lurus ke depan dan

rileks.

7. Baca angka hasil pengukuran pada timbangan dan catat hasilnya

pada lembar pemeriksaan status gizi.

8. Setelah hasilnya dicatat pasien diminta untuk turun dari

timbangan.

47
Pengukuran Tinggi Badan (TB)

1. Melakukan informed consent kepada pasien tentang indikasi dan

tujuan penilaian status gizi melalui pengukuran tinggi badan.

2. Pasien memakai pakaian seminimal mungkin (Jaket, Topi,

ataupun aksesori lain dilepaskan) serta melepaskan alas kaki dan

aksesori kepala pada saat pengukuran.

3. Meminta pasien untuk berdiri tegak di atas base stadiometer

dengan posisi anatomis.

4. Meminta pasien melihat lurus ke depan.

5. Meminta pasien untuk memposisikan bahu bagian belakang,

kepala bagian belakang, bokong dan tumit menyentuh tiang

pengukur. Setelah itu kita meminta pasien untuk bernapas dalam

pada saat diukur.

6. Turunkan head slider hingga menyentuh tulang kepala atas dan

rambut pasien.

7. Membaca dan mencatat angka hasil pengukuran.

Pengukuran indeks antropometri menggunakan WHO AnthroPlus

48
1. Buka aplikasi WHO AnthroPlus, Pada tampilan menu aplikasi klik

Anthropometric calculator.

2. Masukkan data waktu pemeriksaan,tanggal lahir, dan data

antropometri berupa BB dan TB yang telah diukur ke aplikasi

WHO AnthroPlus.

3. Setelah data terinput, klik ikon grafik disamping persentil untuk

melihat hasil plot pengukuran BB/U, TB/U, dan IMT/U yang

masing-masing ditunjukkan dengan kurva standar dan nilai Z-

Score. Nilai Z-Score ini menunjukkan status gizi pada anak

tersebut.

4.9. Analisis Data

Data yang telah dikumpulkan dan diolah dilakukan analisis univariat

dengan menyajikan data nominal dari frekuensi infeksi STH dan Protozoa

intestinal pada sampel, dan status gizi dalam bentuk tabulasi dan

diinterpretasikan hasilnya. Selain analisis univariat, peneliti juga melakukan

analisis bivariat dilakukan untuk melihat hubungan antara variabel bebas

(Infeksi parasit usus) dengan variabel terikat (Status gizi) dengan

menggunakan uji Chi-Square Test dengan taraf signifikansi (α)= 5% yang

selanjutnya dilihat apakah keputusan H0 diterima atau tidak dan terakhir yaitu

membuat kesimpulan apakah terdapat hubungan antara variabel bebas dan

terikat pada penelitian ini.

4.10. Alur Penelitian

49
Persiapan
Penelitian dan
pengurusan
etik

Identifikasi
dan
Rekrutmen
Responden

Informed
Consent

Pengambilan Pengukuran
Sampel Tinja Antropometri

Pemeriksaan
parasit usus
pada sampel
tinja

Pengolahan
Data

Analisis Data

Interpretasi
Hasil
Penelitian

50
DAFTAR PUSTAKA

Darnely, Saleha S. Infeksi parasit usus pada anak panti asuhan di Pondok Gede
Bekasi. J Indon Med Assoc. 2011;61:347-51.
Adrianto, Herbert. 2017. Kontaminasi Telur Cacing pada Sayur dan Upaya
Pencegahannya Helminth Eggs Contamination in Vegetables and Prevention
Efforts. Parasitologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Ciputra. (serial online)
avaible from: https://media.neliti.com/media/publications/222703-
kontaminasi-telur-cacing-pada-sayur-dan.pdf. Akses 27 Januari 2018.
Mathison BA, Pritt BS. Chapter 65 – Medical Parasitology.; 2022.
doi:10.1016/B978-0-323-67320-4.00065-1
Arlene E. Dent, James W. Kazura. Ascariasis (Ascaris lumbricoides). In: Nelson
Textbook of Pediatrics. ; 2020:1877-1878.
Harris JR, Hotez PJ. Intestinal Nematodes. In: Principles and Practice of Pediatric
Infectious Diseases. 5th ed. ; 2018:1373-1381.
http://dpd.cdc.gov/dpdx/HTML/
Belleza MLB, Cadacio JLC, Borja MP, et al. Epidemiologic Study of Blastocystis
Infection in an Urban Community in the Philippines. J Environ Public Health.
2015;2015(Article ID 894297):1-7. doi:10.1155/2015/894297.
Ajmal SM, Karachi T. Blastocystis hominis-Potential Diahorreal Agent: a Review.
Int Res J Pharm. 2013;4(1):1-5
Cruz Licea V, Plancarte Crespo A, Morán Álvarez C, Valencia Rojas S, Rodríguez
Sánchez G, Vega Franco L. Blastocystis hominis among food vendors in
Xochimilco markets. Rev Latinoam Microbiol. 2003;45(1-2):12-15.
Fransisca RO, Iriani AD, Mutiksa FA, Izati S, Utami RK. Hubungan Infeksi Parasit
Usus dengan Pengetahuan Perilaku Hidup Bersih Sehat pada Anak SD
Bekasi , 2012 (The prevalance of intestinal parasitic infection among primary
school children in Bekasi in 2012 and its association with knowledge level
about clean . J Kesehat Indones. 2012;3(1):2-6.
Soedarto. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. Jakarta: CV Sagung Seto; 2011.
Adrianto, Herbert. 2017. Kontaminasi Telur Cacing pada Sayur dan Upaya
Pencegahannya Helminth Eggs Contamination in Vegetables and Prevention
Efforts. Parasitologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Ciputra.
https://doi.org/10.22435/blb.V13i2. 5697. 105-114
Astuti, R., Siti, A. 2008. Identifikasi Telur Cacing Usus Pada Lalapan Daun Kubis
Yang Dijual Pedagang Kaki Lima Di Kawasan Simpang Lima Kota
Semarang. Proseding Seminar Nasional: Continuing Medical And Health
Education (Cmhe), (Online), Vol. 1, No. 1, Hlm. 297 -307,
(Jurnal.Unimus.Ac.Id/Index.Php/Psn12012010/Article/View/133/114, [9
April 2015].
Bethony J, Brooker S, Albonico M, Geiger SM, Loukas A, Diemert D, et al. 2006.
Soil transmitted helminth infection: ascariasis, trichuriasis, and hookworm.
Lancet. 367: pp1521-32.

51
CDC. 2009a. Ascariasis : biology, atlanta: center for disease control and prevention.
Diunduh dari: http://www.cdc.gov/parasites/ascariasis/biology.html [Diakses
Maret 2015].
CDC. 2009b. Hookworm : biology, atlanta: center for disease control and prevention.
Diunduh dari: http://www.cdc.gov/parasites/hookworm/biology.html [Diakses
Maret 2015].
CDC. 2012. Parasite- Blastocystis spp infection. https://www.cdc.gov/parasites/
blastocystis/biology.html akses 15 Desember
Centers for Disease Control and Prevention (CDC), 2009. Ascariasis : Biology,
Atlanta: Center for Disease Control and Prevention. Diunduh dari:
http://www.cdc.gov/parasites/ascariasis/biology.html [Diakses 26 Januari
2018].
Centers for Disease Control and Prevention (CDC), 2009. Hookworm : Biology,
Atlanta: Center for Disease Control and Prevention. Diunduh dari:
http://www.cdc.gov/parasites/hookworm/biology.html [Diakses 8 Mei 2014].
Centers for Disease Control and Prevention (CDC), 2009. Trichuriasis : Biology,
Atlanta: Center for Disease Control and Prevention. Diunduh dari:
http://www.cdc.gov/parasites/whipworm/biology.html [Diakses 26 Januari
2018].
Damayanti, P. 2012. Pengobatan dan penilaian Status Gizi anak Sd N 1 Luwus,
Baturiti Yang Menderita Kecacingan (Soil Transmitted Helminths). Jurnal
Udayana Mengabdi
Delahauf Knewenhouse A. 2015. Growing Broccoli, Calaiflower, Cabbage, And
Other Cole Crops In Winconsin.
Dittmarr H, drach m, Vosskamp R, Trenkel M, Guter R, Steffens G. 2009. Fertilizer.
Types. 1 st Ed. Ulmann’s Encyclopedia Of Industrial Chemistry. Weinheim:
Wiley-Vhc
Dixon G. 2007. Vegetable brassicas And Related. 1 st Ed.Wallingford: Cabi
Gandahusada. 1998. Parasitologi Kedokteran, Edisi III, FKUI, 8-23. Jakarta.
Ismid Is, Winita R, Sutanto I, Zulhasril, Sjarifuddin Pk. 2000.Penuntun
Praktikum Parasitology Kedokteran. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; Kelurahan Warungboto Kota Yogyakarta. Jurnal Kesmas Uad.
2010;6(2):162–232.
Saidin S, Othman N, Noordin R. Update on laboratory diagnosis of amoebiasis.
doi:10.1007/s10096-018-3379-3
Guevara EE, Vicuña Y, Costales D, et al. Use of Real-Time Polymerase Chain
Reaction to Differentiate between Pathogenic Entamoeba histolytica and the
Nonpathogenic Entamoeba dispar in Ecuador´Angel. Am J Trop Med Hyg.
2019;100(1):81-82. doi:10.4269/ajtmh.17-1022
Kantor M, Abrantes A, Estevez A, et al. Entamoeba Histolytica: Updates in Clinical
Manifestation, Pathogenesis, and Vaccine Development. Published online
2018. doi:10.1155/2018/4601420

52
Vivancos V, González-Alvarez I, Bermejo M, Gonzalez-Alvarez M. Giardiasis:
Characteristics, Pathogenesis and New Insights About Treatment. Current
Topics in Medicinal Chemistry. 2018;18(15):1287-1303.
doi:10.2174/1568026618666181002095314
Fletcher-Lartey SM, Zajaczkowski P, Mazumdar S, Conaty S, Ellis JT. Epidemiology
and Infection Epidemiology and associated risk factors of giardiasis in a peri-
urban setting in New South Wales Australia.
doi:10.1017/S0950268818002637
Craig CF. Studies upon the Amebae in the Intestine of Man. The Journal of Infectious
Diseases. 1908;5(3):324-377.

53
LAMPIRAN

Lampiran 1. Jadwal penelitian


JADWAL PENELITIAN

2022
Kegiatan
2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Pembuatan
proposal
Konsultasi
proposal I
Konsultasi
proposal II
Konsultasi
proposal III
Konsultasi
proposal IV
Ujian proposal
Pengurusan etik
penelitian
Pengambilan
sampel
Analisis sampel
Analisis data
Menulis laporan
hasil

54
Lampiran 2. Rancangan anggaran penelitian

RANCANGAN ANGGARAN PENELITIAN


Satuan Harga satuan
Uraian Jumlah Total (Rp)
jumlah (Rp)
Biaya etik
1 buah 500.000,00 500.000,00
penelitian
Biaya cetak
76 buah 500,00 38.000,00
kuesioner
Penyewaan
timbangan dan
stadiometer di 1 paket 150.000,00 150.000,00
Departemen Gizi
FK Unhas
Biaya publikasi 1 buah 500.000,00 500.000,00
Hadiah responden 76 buah 3.000,00 228.000,00
Biaya pemakaian
Laboratorium
1 kali 500.000,00 500.000,00
Parasitologi FK
Unhas
Total 1.916.000,00

55
56
Lampiran 3. Informed Consent

No. Kuesioner :
Perihal : Informasi Penelitian Kepada yang terhormat,
dan Persetujuan Orang tua/Wali
penelitian Di,-
Tempat
Lampiran : 2 (Dua) Berkas

Bapak/Ibu yang terhormat,

Perkenalkan, saya Nur Indah Saputri R. Igiasi selaku Mahasiswa Program Studi S1
Pendidikan Dokter Umum Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin bermaksud
untuk melakukan penelitian yang berjudul “ Infeksi Parasit dan status gizi pada anak
sekolah dasar di wilayah Kabupaten Luwu Periode Mei-Juli 2022” yang bertujuan
untuk mengetahui gambaran kesehatan usus dan status gizi pada anak sekolah dasar
di wilayah pesisir pantai Kota Makassar sehingga Hasil penelitian ini diharapkan
dapat memberikan masukan kepada pemerintah dalam pembuatan kebijakan dalam
penanganan infeksi parasit usus pada anak sekolah dasar di masa yang akan datang.

Peneliti menghargai persetujuan bapak/ibu dengan menjamin kerahasiaan data


bapak/ibu/responden dari proses pengumpulan, pengolahan dan penyajian data serta
tetap menghargai keputusan bapak/ibu bila tidak berpartisipasi pada penelitian ini.

Penelitian ini dilaksanakan dengan berkoordinasi dengan wali kelas masing-masing


atau guru UKS terlebih dahulu untuk menentukan murid yang terpilih dan bersedia
menjadi responden. Setelah responden sudah ditentukan, responden diminta untuk
mengisi kuesioner yang berkaitan, melakukan pengukuran berat badan dan tinggi
badan untuk menilai status gizi responden, dan juga saya akan meminta bantuan
Bapak/Ibu untuk menampung kotoran tinja anak Bapak/Ibu ke wadah yang telah
disediakan untuk penelitian ini pada waktu yang telah ditentukan.
Partisipasi keikutsertaan anak bapak/ibu sangatlah berarti untuk mendukung
keberhasilan penelitian ini. Atas kesediaan dan kerjasamnya, peneliti mengucapkan
banyak terima kasih.

Hormat Saya,
Peneliti

Nur Indah Saputri R. Igiasi


LEMBAR PERSETUJUAN ORANG TUA UNTUK
MENGIKUTSERTAKAN ANAK MENJADI RESPONDEN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :


Nama :
Umur/Tgl lahir :
Alamat :
Menyatakan dengan sesungguhnya dari. Saya sendiri sebagai orang tua/wali
murid :
Nama :
Umur/Tgl lahir :
Jenis kelamin :
Kelas/SD :
Setelah mendapat keterangan sepenuhnya, saya menyadari, mengerti, dan
memahami tentang tujuan, manfaat, dan risiko yang dapat timbul dalam penelitian
dengan judul “ Infeksi Parasit dan status gizi pada anak sekolah dasar di
wilayah Kabupaten Luwu Periode Mei-Juli 2022” dan dengan ini menyatakan
bersedia menjadi sampel penelitian dengan kesadaran saya sendiri tanpa tekanan
maupun paksaan dari manapun.

Makassar, …………... 2021

(Nama Orang
tua/Wali)
KUESIONER PENELITIAN

Nama responden :
Umur/Tanggal lahir :
Mohon diisi dengan cara melingkari jawaban yang sesuai
1. Jenis kelamin :
a. Laki-laki
b. Perempuan
2. Asal Sekolah :
a. SD Inpres Tallo Tua 69
b. SDN Ujung Tanah I Pesisir Pantai
3. Kelas :
a. 4 SD
b. 5 SD
c. 6 SD
4. Tingkat penghasilan orang tua :
a. < Rp 200.000,00
b. Rp 200.000,00 – Rp 500.000,00
c. Rp 500.000,00 – Rp 1.000.000,00
d. Rp 2.000.000,00 – Rp 4.000.000,00
e. > Rp 4.000.000,00

Hasil Pemeriksaan :

1. Berat badan : ....... kg


2. Tinggi badan : ....... cm
3. Temuan protozoa usus :
a. Positif (Jika positif tuliskan namanya)
b. Negatif
4. Temuan STH :
a. Positif (Jika positif tuliskan namanya)
b. Negatif

Anda mungkin juga menyukai