Anda di halaman 1dari 17

ABSTRAK

Latar Belakang : Soil Transmitted Helminths (STH) masih menjadi masalah kesehatan
masyarakat di seluruh dunia, terutama pada masyarakat desa, pinggiran kota ataupun perkotaan
yang memiliki kepadatan penduduk yang tinggi pada negara yang beriklim tropis dan subtropis.
Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, cacing tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator
americanus) dan cacing benang (Strongiloide stercoralis) merupakan jenis-jenis cacing STH.
Dalam penularannya, cacing STH memerlukan media tanah yang memiliki suhu dan kelembaban
optimum. Pada anak-anak sekolah dasar infeksi STH akan menghambat mereka dalam mengikuti
pelajaran dikarenakan anak akan merasa cepat lelah, daya konsentrasi menurun, malas belajar
dan pusing. Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan kecacingan
dengan status gizi dan prestasi belajar pada anak Sekolah Dasar Kelas IV dan V di Kelurahan
Bandarharjo Semarang.
Metode : Dalam review jurnal penelitian ini adalah penelitian observasional dengan desain
cross-sectional di seluruh Sekolah Dasar di Kelurahan Bandarharjo Semarang dengan jumlah
Subjek penelitian adalah 68 siswa. Pemeriksaan STH dilakukan dengan menggunakan metode
Koato-Katz, sedangkan penilaian status gizi menggunakan pengukuran antropometri IMT/U, dan
prestasi belajar menggunakan nilai rapor. Data dianalisis menggunakan Uji Chi Square dan Uji
Fisher”s Exact.
Hasil : Dari hasil review jurnal penelitian yang telah dilakukan, terdapat 2 (dua) anak (2,9%)
positif terinfeksi Ascaris Lumbricoides dengan kategori ringan, persentase anak dengan status
gizi kurang sebesar (30,9%) dan persentase prestasi belajar sebesar (50%). Berdsasarkan uji
statistic tidak terdapat hubungan antara kecacingan dengan status gizi (p= 1,00) dan prestasi
belajar siswa (p= 0,49), dan tidak terdapat hubungan yang significan antara status gizi dengan
prestasi belajar (p= 0,431).
Simpulan : Dari hasil review jurnal penelitian yang telah dilakukan penulis, tidak ada hubungan
anatara kecacingan dengan status gizi maupun dengan prestasi belajar, serta tidak ada hubungan
antara status gizi dengan prestasi belajar pada anak Sekolah Dasar di Kelurahan Bandarharjo
Semarang.

Kata kunci: pengendalian, soil transmitted helminthes, sanitasi

PENDAHULUAN

Secara global, pada 2010, sekitar 1,5 miliar orang terinfeksi setidaknya satu spesies yang
ditularkan melalui tanah cacing (STH). Empat nematoda paling umum cacing yang menginfeksi
manusia adalah: cacing gelang, Ascaris lumbricoides; cacing cambuk, Trichuris trichiura; dan
cacing tambang, Ancylostoma duodenale dan Necator americanus. Keempatnya merupakan
nematoda usus yang cara penularannya melalui tanah sehingga disebut dengan Soil Transmitted
Helminths (STH) (Kurniawan, 2010).
Di Indonesia, angka nasional prevalensi kecacingan pada tahun 1987 sebesar 78,6%
masih relatif cukup tinggi. Program pemberantasan penyakit kecacingan pada anak yang
dicanangkan tahun 1995 efektif menurunkan prevalensi kecacingan men-jadi 33,0% pada tahun
2003. Sejak tahun 2002 hingga 2006, prevalensi penyakit kecacingan secara berurutan adalah
sebesar 33,3%, 33,0%, 46,8%, 28,4% dan 32,6%. Kejadian infeksi cacing tambang prevalensinya
jauh lebih rendah, yaitu secara berurutan untuk tahun yang sama adalah sebesar 2,4%, 0,6%
5,1%,1,6%, dan 1,0% (Depkes RI, 2006) terutama pada golongan penduduk yang kurang mampu
dari sisi ekonomi. Kelompok ekonomi lemah ini mempunyai risiko tinggi terjangkit penyakit
kecacingan karena kurang adanya ke-mampuan dalam menjaga higiene dan sanitasi lingkungan
tempat tinggalnya (Sudomo, 2008).
Infeksi cacingan yang disebabkan oleh Soil Transmitted Helminths (STH) merupakan
masalah kesehatan masyarakat Indonesia. Parasit usus ini menginfeksi manusia melalui paparan
telur atau larva yang berkembang di lingkungan setelah disimpan dalam tinja. Telur dan larva
tumbuh subur di tanah tropis dan subtropis yang hangat dan lembab, khususnya di daerah yang
lebih miskin dengan akses yang tidak memadai untuk sanitasi. Perkiraan terbaru menunjukkan
bahwa di antara 800 juta orang di sub-Sahara Afrika, 130 juta adalah terinfeksi cacing tambang,
50 juta dengan A. lumbricoides, dan 37 juta orang dengan T. Trichiura.
Pencemaran tanah merupakan penyebab terjadinya transmisi telur cacing dari tanah kepada
manusia melalui tangan atau kuku yang mengandung telur cacing, lalu masuk ke mulut bersama
makanan. Di Indonesia prevalensi kecacingan masih tinggi antara 60% – 90 % tergantung pada
lokasi dan kondisi sanitasi lingkungan.
Menurut WHO, diperkirakan jumlah penderita infeksi A. lumbricoides adalah sebanyak
1,2 milyar orang, penderita infeksi T. trichiura adalah sebanyak 795 juta orang dan penderita
infeksi cacing tambang adalah sebanyak 740 juta orang. Diperkirakan lebih dari dua milyar
orang yang terinfeksi cacing di seluruh dunia, sekitar 300 juta orang menderita infeksi helminth
(kecacingan) yang berat, dan sekitar 150.000 diantaranya menginggal akibat infeksi STH.
Menurut laporan Bank Dunia, prevalensi kecacingan tertinggi dapat dijumpai pada kalangan usia
sekolah dasar pada umur 5-14 tahun.6 Kecacinganpun dapat terjadi pada kisaran usia hingga 20-
25 tahun terutama yang disebabkan oleh cacing tambang.
Infeksi kecacingan tergolong penyakit necleted disease yang kurang diperhatikan.
Penyakit kecacingan ini bersifat kronis tanpa menimbulkan gejala klinis yang jelas. Dampak
yang ditimbulkannya baru terlihat dalam jangka panjang seperti kekurangan gizi, gangguan
tumbuh kembang dan gangguan kognitif pada anak. Penyebab dari infeksi kecacingan ini adalah
Ascaris lumbricoides, Ancylostoma duodenale, Necator americanus, Trichuris trichiura dan
Strongyloides stercoralis. Penyakit kecacingan atau biasa disebut cacingan masih dianggap
sebagai hal sepele oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Padahal jika dilihat dampak jangka
panjangnya, kecacingan menimbulkan kerugian yang cukup besar bagi penderita dan
keluarganya. Kecacingan dapat menyebabkan anemia, lesu dan prestasi belajar menurun.
Pengetahuan merupakan salah satu aspek yang mempengaruhi perilaku. Kebersihan perorangan
dan sanitasi lingkungan juga sangat berperan dalam penularan kecacingan. Infeksi cacing pada
manusia dipengaruhi oleh perilaku, lingkungan tempat tinggal, dan manipulasi terhadap
lingkungan. Tidak tersedianya air bersih dan tempat pembuangan tinja yang memenuhi syarat
kesehatan menjadi salah satu faktor yang mendukung.
Prevalensi kecacingan sangat tinggi terutama di daerah tropis, subtropis dan beriklim
basah dimana hygiene dan sanitasi masih kurang, seperti di Afrika, Cina dan Asia Timur
(Kemenkes, 2012). Prevalensi Ascariasis di Indonesia yang masih cukup tinggi ditemukan antara
lain di beberapa desa di Sumatera sebesar 78% dan di Kalimantan sebesar 79%. Prevalensi
Trichuriasis juga masih cukup tinggi antara lain Sumatera dan Kalimantan sebesar 83%. Data
yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2004-2006, diperoleh hasil
survei kecacingan di Kabupaten Sukoharjo 4,05% (Wibowo, 2008).
Anak usia sekolah dasar menjadi populasi terbesar dalam Infeksi STH. Usia 6-12 tahun
adalah usia yang rentan terinfeksi kecacingan karena aktifitas mereka banyak berhubungan
dengan tanah. Hal ini erat kaitannya dengan perilaku hidup sehat atau personal hygiene, meliputi
kebersihan kuku, mencuci makanan, minum air yang di rebus, dan kebiasaan cuci tangan setelah
BAB pada siswa SD (Jalaluddin,2009; Moehji 2003).
Hasil penelitian terdahulu Hubungan Infeksi Soil Transmitted Helminths (STH) dengan
prestasi belajar pada Siswa SDN 169 DI Kelurahan Gandus Kota Palembang menunjukkan
Prevalensi infeksi STH pada siswa SDN 169 Kelurahan Gandus Kecamatan Gandus Kota
Palembang adalah 6,8% dengan perbandingan laki-laki 1,3% dan perempuan 5,5%. Kelompok
usia 7-8 tahun paling banyak terinfeksi (4,1%). Prestasi belajar yang didapat masih banyak siswa
dengan prestasi belajar kurang yaitu 65,8% dengan perbandingan laki-laki 39,8% dan perempuan
26,0%. Hasil uji statistik Fisher Exact diperoleh nilai p = 0,365 (p > 0,05). Tidak terdapat
hubungan antara prestasi belajar dan kejadian infeksi STH pada siswa SDN 169 di Kelurahan
Gandus.
Anak usia 6-12 tahun rentan terkena Infeksi kecacingan karena rasa ingin tahu yang
tinggi untuk bermain secara intens dengan tanah (Moehji, 2003). Upaya pencegahan salah
satunya dengan mencuci tangan dengan sabun, terutama setelah buang air besar (BAB). Risiko
penularan penyakit dapat berkurang dengan adanya peningkatan perilaku hidup bersih dan sehat,
seperti cuci tangan dengan sabun pada waktu penting. Kebiasaan mencuci tangan harus
dibiasakan sejak kecil. Anak-anak merupakan agen perubahan untuk memberikan edukasi baik
untuk diri sendiri dan lingkungannya sekaligus mengajarkan pola hidup bersih dan sehat
(Depkes, 2011).
Anak-anak di usia sekolah yang terinfeksi dengan STH dapat mengalami penurunan
kesehatan fisik dan intelektual. Hal ini disebabkan oleh kondisi malnutrisi, dimana cacing
tersebut mengambil sari makanan yang penting bagi tubuh seperti protein, karbohidrat, dan zat
besi. Infeksi STH dapat menyebabkan gejala nyeri perut, mual, hilang nafsu makan, diare, dan
apabila berlangsung lama dapat mengakibatkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak,
menurunnya status gizi, dan anemia. Infeksi STH juga berdampak negatif terhadap kemampuan
kognitif, mempengaruhi tingkat prestasi belajar di sekolah yang pada akhirnya akan
mempengaruhi produktivitas ekonomi di masa depan.
Cara yang paling tepat untuk menanggulangi infeksi STH adalah dengan memutuskan
lingkaran hidup cacing dengan memperbaiki pengetahuan kesehatan perseorangan, memperbaiki
sanitasi dan menggunakan obat antelmintik.10
Dahulu dampak infeksi cacing sebagai masalah kesehatan masyarakat tidak mendapat
perhatian dan terkesan diabaikan. Sekarang masalah ini cukup mendapat perhatian yang besar
dan adanya perhatian lebih yang di lakukan oleh World Health Organization (WHO), World
Bank dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam mengendalikan infeksi cacing.
Contohnya seperti membiasakan anak-anak sekolah dasar mengkonsumsi obat
antelmintik dua kali dalam setahun, ini merupakan cara yang sejak 2001 dikembangkan oleh
World Health Assembly di negara berkembang. Efektivitas mebendazole dalam mengatasi infeksi
STH dilaporkan cukup tinggi. Selain itu, obat antelmintik yang juga direkomendasikan oleh
WHO adalah albendazole, levamisole, dan pirantel pamoat.11 Namun penggunaan obat-obat
secara luas dapat menyebabkan terjadinya penurunan efektivitas obat hingga terjadinya resisten.
Penggunaan obat-obat antelmintik saat ini tidak hanya terbatas pada pengobatan yang
bersifat simptomatis saja, tetapi juga bertujuan untuk mengurangi angka morbiditas yang
diakibatkan oleh infeksi STH. Pemberian obat pada masyarakat dapat dilakukan secara; i)
universal (semua penduduk tidak tergantung usia, jenis kelamin dan status infeksi), ii) populasi
sasaran (pengobatan diberikan pada kelompok usia dan jenis kelamin tertentu tanpa
memperhatikan status infeksi), dan iii) selektif (pengobatan diberikan pada individu yang dipilih
berdasarkan diagnosisnya).
Albendazole adalah salah satu obat antelmintik spektrum luas. Dengan efek larvasidal
dan ovisdal yang dimilikinya, albendazole dapat digunakan untuk berbagai infeksi cacing,
seperti; pengobatan infeksi cacing kremi dan cacing tambang, ascariasis, trichuriasis dan
strongiloidiasis.35 Albendazole diberikan dalam dosis tunggal 400 mg dan untuk anak usia 12-
24 bulan dikurangi menjadi 200 mg.

METODE
Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional. Penelitian ini dilakukan di 8
(delapan) sekolah dasar Kelurahan Bandarharjo Kecamatan Semarang Utara, Kota Semarang,
Jawa Tengah pada bulan Juli – Agustus 2017. Perhitungan besar sampel menggunakan rumus
deskriptif kategorik didapatkan hasil 63 subjek teknik cluster random sampling dan sudah 10%
untuk mengantisipasi drop out.
Kriteria inklusi adalah siswa Sekolah Dasar Kelas IV dan Kelas V di Kelurahan
Bandarharjo Semarang. Subjek penelitian tinggal di daerah Kelurahan Bandarharjo Semarang
yang bersedia diambil fesesnya dan tidak mengkonsumsi obat cacing selama 6 (enam) bulan
terakhir.
Kriteria eksklusi adalah ketika subjek mengundurkan diri dari penelitian dan tidak
mengembalikan pot feses. Setiap siswa yang terpilih sebagai subjek mendapat persetujuan dari
orang tua dengan mengisi dan menandatangani informed consent yang telah disediakan oleh
peneliti.
Variable bebas dalam penelitian ini adalah kecacingan. Pemeriksaan sampel feses (tinja)
digunakan untuk memeriksa telur cacing STH, setiap anak yang terpilih sebagai subjek di
berikan pot feses (tinja) untuk di bawa ke rumah sehingga pengambilan feses (tinja) di lakukan
di rumah. Setelah sampel tinja terkumpul keesokan harinya diambil dan di bawa ke
Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang untuk
dilakukan pemeriksaan telur cacing. Identifikasi telur cacing dengan teknik Kato Katz. Teknik
ini dapat digunakan untuk pemeriksaan kuantitatif maupun kualitatif tinja. Selofan 30-50 mm x
20-30 mm dipotong dan direndam dalam larutan malachite green 3% yang encer selama 24 jam
atau lebih. Lalu diambil 50-60 mg lalu diletakkan di atas kaca benda dan ditutup dengan
sepotong selofan yang telah direndam dalam larutan tersebut. Lalu diratakan dengan ibu jari dan
ditekan selofan tadi agar tinjanya merata. Didiamkan dalam gelas objek tersebut dalam suhu 400
C selama 30 menit. Lalu diperiksa di bawah mikroskop. Sampel tinja diambil untuk melihat
keberadaan telur cacing selain itu juga bertujuan untuk mengetahui berat ringannya infeksi
cacing dalam usus yang dilakukan oleh tenaga ahli.
Variabel terikat yaitu status gizi dan prestasi belajar. Penentuan status gizi dilakukan
dengan pengukuran antropometri berupa berat badan (BB) dan tinggi badan (TB). Berat badan
diukur langsung dengan menggunakan timbangan digital yang mempunyai ketelitian 0,1 kg.
Sementara tinggi badan diukur langsung menggunakan microtoise dengan ketelitian 0,1 cm.
Sedangkan untuk status gizi dianalisis menggunakan indikator IMT/U dengan kriteria Z-Skor
menurut standar antropometri penilaian status gizi anak. Prestasi belajar siswa dilihat dari nilai
rapor semester genap, bila nilai rapor lebih besar dari nilai rata- rata kelas maka dinilai baik
sedangkan dinilai kurang apabila nilai rata – rata rapot sama atau kurang dengan nilai rata – rata
kelas.
Analisis data menggunakan program statistik. Analisis bivariat menggunakan uji Chi
Square dan uji Fisher’s Exact untuk menganalisis hubungan kecacingan dengan status gizi dan
prestasi belajar.
HASIL
Karakteristik subjek penelitian ini berasal dari 8 (delapan) sekolah dasar (SD) di
Kelurahan Bandarharjo Semarang dengan total subjek subjek sampai akhir penelitian sebanyak
68 siswa.
Table 1. Nilai Minimal, Maksimal, Rerata dan Simpang Baku Karakteristik Subjek
Karakteristik n Rerata±SB Minimal Maksimal
Usia (Tahun) 68 9,9±0,83 9 12
IMT/U (SD) 68 -0,8±1,40 -3 2,9
Berat Badan (kg) 68 26,9±7,87 17,8 59,7
Tinggi Badan (cm) 68 128,5±6,28 117,1 145,1
Keterangan :
Table 1. menunjukkan hasil pengukuran antropometri rerata berat badan 26,9±7,87 kg sedangkan
rerata tinggi badan 128,5±6,28 cm dan rerata Z Skor -0,8±1,40.
Table 2. Distribusi Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin
Jenis Kelamin n %
Laki-laki 37 54,4
Perempuan 31 45,6
Total 68 100
Keterangan :
Table 2. menunjukkan jumlah subjek dalam penelitian sebagaian besar berjenis kelamin laki-laki
yaitu 37 orang (54,4%) dan perempuan berjumlah 31 orang (45,6%).
Table 3. Gambaran Kecacingan, Status Gizi dan Prestasi Belajar
Variabel n %
Kecacingan
Negative 66 97,1
Positif 2 2,9
Status Gizi (IMT/U)
Kurang 21 30,9
Normal 47 69,1
Prestasi Belajar
Kurang 34 50
Baik 34 50
Keterangan :
Table 3. menunjukkan hasilpemeriksaan tinja terhadap 68 siswa. Hasilnya adalah terdapat 2
(dua) anak (2,9%) positif terinfeksi kecacingan dan sebanyak 66 anak (97,1%) hasilnya adalah
negatif. Sedangkan hasil pengukuran antropometri menunjukkan 21 anak (30,9%) memiliki
status gizi kurang dan 47 anak (69,1%) memiliki status gizi normal. Untuk prestasi belajar
didapatkan hasil 34 anak (50%) memiliki prestasi belajar kurang.
Table 4. Hubungan kecacingan dengan Status Gizi dan Prestasi Belajar
Status Gizi Prestasi Belajar
Variabel
Kurang Normal Kurang Baik
Kecacingan 0 2 2 0
Tidak kecacingan 21 45 32 34
p value 1,00a 0,49a
a
Uji Fisher Exact

Keterangan :
Tabel 4. Menunjukkan bahwa tidak ada hubungan anatara kecacingan dengan status gizi
(p=1,00) dan tidak terdapat hubungan antara kecacingan dengan prestasi belajar siswa SD
(p=0,49).
Table 5. Hubungan Status Gizi dan Prestasi Belajar
Prestasi Belajar Baik Prestasi Belajar Kurang p
Variable
n % n %
Status Gizi
Kurang 9 13,2 12 17,6 0,431b
Normal 25 36,8 22 32,4
b
p= p value Uji Chi Square

Keterangan :
Table 5. Menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara status gizi dengan presatasi
belajar. P=0,431 pada anak sekolah dasar (SD) di Kelurahan Bandarharjo Semarang.

PEMBAHASAN
Kecacingan merupakan salah satu penyakit infeksi yang disebabkan oleh cacing di
saluran cerna. Penularkan infeksi kecacingan melalui tanah, sehingga disebut Soil Transmitted
Helminths.3 Jenis cacing yang sering ditemukan diantaranya cacing gelang (Ascaris
lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris trichiura) dan cacing tambang (Necator americanus
atau Ancylostoma duodenale). Hasil penelitian ini terdapat 2 orang anak (2,9%) yang
terindentifikasi positif kecacingan yang diakibatkan oleh cacing gelang (Ascaris lumbricoides)
dari 68 anak SD/MI di Kelurahan Bandarharjo Semarang. Infeksi kecacingan pada penelitian ini
termasuk kategori ringan karena telur yang ditemukan masing-masing hanya sebanyak 2 dan 5
telur per 50 miligram pada sampel tinja subjek. Hal ini sesuai dengan perhitungan tingkat infeksi
ascaris, dikatakan ringan dikarekan jumlah telur < 7000 per gram.16 Data menunjukan bahwa
subjek yang terinfeksi kecacingan memiliki kebiasaan sering tidak mencuci tangan dengan sabun
sebelum makan maupun setelah buang air besar. Selan itu, subjek belum pernah mengkonsumsi
obat cacing sebelumnya.
Beberapa penelitian di daerah lain mengenai prevalensi kecacingan juga menunjukkan
hasil yang sama. Penelitian yang dilakukan sebelumnya di SD Negeri 1 Ngemplak didapatkan
data yang telah dikumpulkan kemudian dianalisis menggunakan uji statistik Fisher exact test.
Setelah dilakukan uji statistik didapatkan nilai p = 0,038 (p<0,05) yang menunjukkan ada
hubungan perilaku mencuci tangan dengan insidensi kecacingan, sedangkan nilai p = 0,060
(p<0,05) yang menunjukkan tidak ada hubungan sanitasi lingkungan dengan insidensi
kecacingan di SD Negeri 1 Ngemplak. Ada hubungan yang bermakna antara kebiasaan cuci
tangan dengan insidensi kecacingan pada siswa SD Negeri 1 Ngemplak. Tidak terdapat
hubungan siginifkan antara sanitasi lingkungan dengan insidensi kecacingan pada siswa SD
Negeri 1 Ngemplak (Sofia Intani Putri, 2018).
Kecacingan merupakan salah satu penyakit yang masih menjadi masalah kesehatan
masyarakat yang berhubungan erat dengan kondisi lingkungan. Penyebaran kecacingan ini
melalui kontaminasi tanah oleh tinja yang mengandung telur cacing. Telur tumbuh dalam tanah,
dengan suhu optimal ± 30° C. lnfeksi cacing terjadi bila telur yang infektif masuk melalui mulut
bersama makanan atau minuman yang tercemar atau melalui tangan yang kotor (Depkes RI,
2007;WHO, 2011).
Infeksi cacing usus yang ditularkan melalui tanah tersebut, akan berkembang menjadi
infektif dengan suhu tanah yang sesuai untuk pertumbuhannya yaitu 15 0- 25oC. Telur Ascaris
lumbricoides tidak tahan dengan kekeringan, telur akan rusak jika terkena sinar matahari secara
langsung. Kondisi lingkungan mempengaruhi tinggi atau rendahnya infeksi kecacingan yaitu dari
segi tanah yang sesuai untuk parasit yaitu tanah yang lembab dan teduh dengan suhu optimum
±25oC. Sehingga jenis tanah lumpur sangat menguntungkan telur Ascaris lumbricoides karena
dengan kondisi kelembapan tanah yang tinggi baik untuk perkembangan telur untuk menjadi
bentuk infektif. Ascaris lumbriocoides merupakan infeksi cacing yang sering ditemui, dimana
dapat menginfeksi hingga 70% anak – anak terutama di daerah tropis, subtropis dan beriklim
basah dimana hygiene dan sanitasi masih kurang, seperti di Afrika, Cina dan Asia Timur
(Kemenkes, 2012).
Prevalensi Ascariasis di Indonesia yang masih cukup tinggi ditemukan antara lain di
beberapa desa di Sumatera sebesar 78% dan di Kalimantan sebesar 79%. Prevalensi Trichuriasis
juga masih cukup tinggi antara lain Sumatera dan Kalimantan sebesar 83%. Data yang diperoleh
dari Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2004-2006, diperoleh hasil survei kecacingan
di Kabupaten Sukoharjo 4,05% (Wibowo, 2008).
Selain kondisi lingkungan, buruknya personal higiene seseorang yang menyebabkan
kecacingan yaitu perilaku anak yang tidak mencuci tangan dengan sabun setelah buang air besar,
tidak mencuci kaki dan tangan setelah bermain di tanah, tidak menggunakan alas kaki ketika
keluar rumah dan kebersihan kuku tidak dijaga dengan baik. Hal ini sesuai dengan hasil
penelitian terhadap 48 sampel kuku tangan siswa SDN I Kromengan diketahui bahwa telur yang
ditemukan yaitu telur Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura (Ayuria Andini,dkk).
Lingkungan dan personal higiene yang buruk akan memperberat kejadian kecacingan pada anak
sekolah dasar. Upaya yang nyata untuk meningkatkan kualitas sumber daya anak usia sekolah
dasar yaitu program jangka pendek dengan membunuh cacing melalui pengobatan. Program
pemerintah ini dimulai dengan mengurangi prevalensi infeksi cacing dengan membunuh cacing
melalui pengobatan sehingga intensitas infeksi cacing menghilang. Pemberian obat pencegahan
masal cacingan untuk kabupaten/ kota dilakukan berdasarkan hasil pemeriksaan tinja. Apabila
prevalensi ≥50% pemberian obat dilakukan 2 kali dalam setahun, jika prevalensi ≥ 20% - < 50%
dilakukan 1 kali setahun dan prevalensi < 20% pengobatan selektif.
Hasil penelitian ini hanya menemukan 2 orang anak (2,9%) yang terindentifikasi positif
kecacingan dari 68 anak SD/MI di kelurahan Bandarharjo Semarang. Sangat berbeda dari
penelitian yang di lakukan di kota Semarang pada tahun 2013 pada anak usia 6 – 10 tahun di
dapatkan 13 (24,07%) dari 54 subjek menderita infeksi kecacingan jenis Soil Transmitted
Helminths (STH). Program pemberian obat cacing ke sekolah dasar oleh Puskesmas Bandarharjo
menjadi salah satu tindakan preventif yang menyebabkan rendahnya angka kejadian infeksi
cacing di lokasi penelitian. Pengobatan dilakukan di sekolah masing – masing pihak Puskesmas
memberikan obat dan harus diminum di depan petugas dan tidak boleh di bawa pulang. Perilaku
hidup bersih dan sehat pada masyarakat pada masyarakat sudah mulai meningkat yaitu perilaku
buang air besar (BAB) tidak disembarang tempat. Perilaku BAB di sembarang tempat akan
menyebabkan terjadinya pencemaran tanah/lingkungan oleh feses yang mengandung telur
cacing. Ketika mendapatkan prevalensi yang sangat rendah, penelitian lainnya menyarankan
diperlukan menggunakan metode polymerase chain reaction (PCR) untuk mendiagnosis karena
metode yang menggunakan mikroskop kurang sentitif. Metode polymerase chain reaction
merupakan suatu teknik atau metode perbanyakan (replikasi) DNA secara enzimatik tanpa
menggunakan organisme.
Kondisi alam atau lingkungan geografi juga mempengaruhi angka kejadian
kecacingan.27 Pengambilan data penelitian ini dilakukan pada musim kemarau (bulan Juli –
Agustus) sehingga angka kejadian infeksi kecacingan pada penelitian ini sangat rendah. Hal ini
sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan di Kota Palembang di musim kemarau pada
subjek anak usia 5- 12 tahun memiliki angka kejadian infeksi kecacingan yang rendah (haya
6,8%). Musim kemarau dan kondisi tanah kering tidak sesuai untuk perkembangan Soil
Transmitted Helminths (STH).
Hubungan Antara Kecacingan dengan Status Gizi
Penelitian ini menunjukan hasil tidak ada hubungan antara infeksi kecacingan dan status
gizi anak sekolah dasar di Kelurahan Bandarharjo Semarang dikarenakan subjek kecacingan
memiliki intensitas yang ringan. Hasil analisis IMT/U menunjukan 47 anak (69,1%) berstatus
gizi normal. Penelitian ini sejalan dengan penelitian pada tahun 2013 yang di lakukan pada anak
sekolah dasar di kota Semarang yang menyatakan tidak terdapat hubungan karena jumlah yang
terinfeksi STH sedikit dan 66,7% anak berstatus gizi normal. Hal ini disebabkan gizi yang baik
membuat berat badan normal sehingga tidak mudah terkena penyakit infeksi.
Hasil penelitian ini juga sama dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Romario
(2013) pada murid Sekolah Dasar di Kabupaten Bolaang Mongondow Utara yang juga tidak
terdapat hubungan antara kecacingan dengan status gizi. Hal ini menunjukkan bahwa ada faktor-
faktor lain yang mempengaruhi status gizi kurang. Faktor-faktor tersebut adalah asupan gizi, pola
asuh anak, pelayanan kesehatan, pendidikan, pekerjaan, penghasilan orang tua, jumlah
tanggungan yang secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi adekuat atau
tidaknya asupan nutrisi bagi anak (Elmi dkk, 2004).

Hubungan Antara Kecacingan dengan Prestasi Belajar


Hasil penelitian didapatkan bahwa 2 subjek yang menderita kecacingan mempunyai
prestasi belajar yang kurang. Sedangkan diantara 66 subjek yang tidak menderita kecacingan
terdapat 32 subjek berprestasi kurang baik dan 34 subjek berprestasi baik dengan menggunakan
indikator nilai siswa dibawah nilai rata-rata kelas. Kecacingan akan menghambat anak sekolah
dasar dalam mengikuti pelajaran karena anak akan merasa capat lelah, daya konsentrasi
menurun, pusing dan mengakibatkan malas belajar dan sering tidak hadir sekolah, sehingga
memiliki dampak buruk terhadap prestasi belajar anak.
Hasil penelitian ini juga sama dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh (Dwi
Handayani dkk, 2015) pada siswa SDN 169 di Kelurahan Gandus Kecamatan Gandus Kota
Palembang yang juga tidak terdapat hubungan yang bermakna antara prestasi belajar dengan
kejadian infeksi STH.
Berbeda dengan penelitian lain yang dilakukan oleh (Joko Rudi Wibowo, 2008) pada
anak Sekolah Dasar 03 Pringapus Kabupaten Semarang didapatkan 11,3% anak terinfeksi STH
dan terdapat hubungan antara kecacinga dengan prestasi belajar. Hal ini dikarenakan 5 anak
(83,3%) yang terinfeksi kecacingan mendapatkan prestasi belajar yang kurang.
Hubungan Status Gizi dengan Prestasi Belajar
Berdasarkan penelitian ini terdapat 34 anak yang prestasi belajarnya kurang dengan status
gizi 12 anak (17,6%) berstatus gizi kurang dan 22 anak (32,4%) berstatus gizi normal pada siswa
kelas IV dan V SD/MI di kelurahan Bandarharjo Semarang. Tidak ada hubungan yang significan
antara status gizi dengan prestasi belajar p=0,431 pada anak sekolah dasar di Kelurahan
Bandarharjo Semarang.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Purba (2010) yang menemukan bahwa tidak
terdapat hubungan antara status gizi dengan prestasi belajarberdasarkan indeks IMT/U dan
TB/U. Hal ini menyatakan bahwa status gizi berdasarkan indeks IMT/U bukan satu-satunya
faktor yang mepengaruhi prestasi belajar anak karena masih banyak factor yang lain yang tidak
diteliti dalam penelitian ini seperti factor lingkungan, aspek psikologis dan factor belajar.
Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Rosita dkk (2014) diperoleh bahwa
terdapat hubungan antara status gizi dengan prestasi belajar. Mereka menemukan bahwa pada
anak yang kekurangan giziakan terjadi perubahan pada metabolism yang berdampak pada
kemampuan kognitif dan kemampuan otak. Karena, dengan keadaan kurangnya asupan nutrisi
pada anak seperti kekurangan energy protein, akan berefek pada fungsi hippocampus dan
konteks dalam membentuk dan menyimpan memori.
Berdasarkan faktor – faktor yang ada membuktikan bahwa tidak hanya faktor status gizi
yang mempengaruhi prestasi belajar siswa. Pada penelitian ini faktor yang berpengaruh pada
prestasi belajar diantaranya motivasi, lingkungan keluarga, fasilitas, teman maupun kualitas
guru.

Kesimpulan
Dari hasil review jurnal penelitian ini menunjukan bahwa prevalensi kecacingan pada
anak Sekolah Dasar kelas IV dan V di Kelurahan Bandarharjo Semarang sebanyak 2 anak (2,9%)
dari 68 subjek. Jenis cacing yang teridentifikasi yaitu Ascaris lumbricoides dengan kategori
ringan. Status gizi subjek dengan indikator IMT/U yaitu 21 anak (30,9%) memiliki status gizi
kurang dan 45 anak (66,2%) dengan status gzi normal. Prestasi belajar anak sekolah dasar di
kelurahan Bandarhajo Semarang 34 anak (50%) memiliki prestasi belajar yang kurang. Tidak
ada hubungan antara kecacingan dengan status gizi maupun kecacingan dengan prestasi belajar.
Serta tidak ada hubungan antara status gizi dengan prestasi belajar pada anak.
Kelebihan
1. Dalam penelitian ini sudah dijelaskan sangat jelas latar belakang kenapa penelitian ini
dilakukan karena kecacingan merupakan salah satu dari 10 besar penyakit anak di
Indonesia.
2. Metode yang digunakan telah memenuhi kriteria inklusi dan kriteria eksklusi. Criteria
inklusi dalam penelitian ini adalah siswa Sekolah Dasar kelas 4 dan 5 di Kelurahan
Bandarharjo Semarang di 8 Sekolah. Sedangkan criteria eksklusinya adalah ketika subjek
tidak mengembalikan pot feses dan mengundurkan diri dari penelitian.
3. Di dalam pembahasan sudah dijelaskan secara jelas tentang hasil penelitian tersebut
secara terperinci.
Kekurangan
1. Dalam penelitiannya, penulis belum menjelaskan secara detail tentang metode Kato Katz
yang digunakannya.
2. Penelitian ini masih banyak factor yang belum diteliti seperti factor lingkungan, aspek
psikologis dan factor belajar.
Saran
1. Untuk mendapatkan hasil yang lebih sensitive, penelitian terhadap kecacingan sebaiknya
menggunakan metode PCR (Polimerase Chain Reaction) karena hasilnya 2 (dua) kali
lebih sensitive dalam mendeteksi adanya telur cacing dibandingkan dengan metode Kato
Katz.
2. Sebaiknya dilakukan dengan ukuran subjek yang lebih banyak dan daerah yang dekat
dengan pesisir laut.
DAFTAR PUSTAKA

Annida DK, Ani M, Nuryanto. Hubungan Kecacingan Dengan Status Gizi dan Prestasi Belajar
Pada Anak Sekolah Dasar Kelas IV dan V di Kelurahan Bandarharjo Semarang.
Journal of Nutrition College Volume 7, Nomor 2, Tahun 2018, Halaman 77-83
Anugerahni A, Suharyo, Sugiyanto Z. Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Dalam
Tindakan Pencegahan Penyakit Kecacingan pada Anak SD oleh Guru Di Kelurahan
Bandarharjo, Kecamatan Semarang Utara, Kota Semarang Tahun 2014 [Skripsi].
Semarang: Universitas Dian Nuswantoro; 2014.
Aulia RH. Infeksi Soil Transmitted Helminth. Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
Budi H, Lukman W, Juhairiyah. Prevalence of-Soil Transmitted Helminth (STH) in Primary
School Children in Subdistrict of Malinau Kota, District of Malinau East Kalimantan
Provence. Jurnal Epidemiologi dan Penyakit Bersumber Binatang (Epidemiology and
Zoonosis Journal) : Vol. 5, No. 1, Juni 2014, Halaman 43-48.
Cakrawati D, Mustika NH. Bahan Pangan, Gizi dan Kesehatan. Bandung: Alfabeta; 2012.
Ching, C.W. Kontaminasi Tanah oleh Soil Transmitted Helminths di Dusun II Desa Sidomulyo,
Kecamatan Binjai, Kabupaten Langkat, Sumatra Utara tahun 2010 [Skripsi]. Medan :
Universitas Sumatera Utara; 2010.
Depkes RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Kementrian Kesehatan RI.
Depkes RI. Surat Keputusan Mentri kesehatan Nomor 424/Menkes /SK/VI/2006 tentang
Pedoman Pengendalian Cacingan; 2006.
Direktorat Jenderal PP & PL. Pedoman Pengendalian Kecacingan. Jakarta: Departemen
Kesehatan RI; 2012.
Dwi H, Muhaimin R, Indah FN. Hubungan Soil Transmitted Helminth (STH) dengan Prestasi
Belajar pada Siswa Sekolah Dasar SDN 169 Di Kelurahan Gandus Kecamatan Gandus
Kota Palembang. Majalah Kedokteran Sriwijaya 47(2), 91-96 ; 2015
Direktorat Jenderal Bina Gizi dan KIA. Pedoman Gizi Seimbang. Jakarta : Kementrian
Kesehatan RI ; 2014.
Fauzi RT, Permana O, Fetritura Y. Hubungan Kecacingan dengan Status Gizi Siswa Sekolah
Dasar di Kecamatan Pelayanan Jambi. Dinas Kesehatan Kota Jambi ; 2013. p 1-11.
Gandahusada S, Ilahude HHD, Pribadi W. Parasitologi Kedokteran, 3rd rev. ed. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI; 2000. p. 7-34.
Gracia LS, Bruckner DA. Diagnostik parasitology Kedokteran. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC ; 2006. p. 138 – 154.
Handayani D, Ramdja M, Nurdianthi IF. Hubungan Infeksi Soil Transmitted Helminths ( STH )
dengan Prestasi Belajar pada Siswa SDN 169 di Kelurahan Gandus Kecamatan
Gandus Kota Palembang. Ejurnal Universitas Sriwijaya. 2015;365(2) : 91–6.
Hendrawan AW. Hubungan Parasite Load Soil Transmitted Helmints (STH) terhadap Status
Gizi. Semarang : Ejurnal Universitas Diponegoro ; 2013.
Indri R. Prevalensi Infeksi Soil Transmitted Helminth pada Siswa Madrasah Ibtidaiyah
Ittihadiyah Kecamatan Gandus Kota Palembang. Syifa’ Medika, Vol. 8 (Hal. 2), Maret
2018.
Irviani AI. Status Kecacingan Soil Transmitted Helminth (STH) Dalam Pemantauan Kejadian
Anemia pada Murid SD Inpres Bakung Samata Kabupaten Gowa Tahun 2013.
Program Study Kesehatan Masyarakat UIN Alauddin Makasar ; 2013.
Joko RW. Hubungan Antara Infeksi Soil Transmitted Helminths dengan Prestasi Belajar Anak
Sekolah Dasar 03 Pringapus Kabupaten Semarang Jawa Tengah. Semarang :
Universitas Diponegoro : 2008.
Kemenkes RI. Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 2012. Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia. Jakarta; 2013.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 15 Tahun 2017 Tentang Penanggulangan Cacingan. 2017
Kundaian F, Umboh JML dan Kepel BJ. Hubungan antara Sanitasi Lingkungan dengan Infestasi
Cacing Murid Sekolah Dasar di Desa Teling Kecamatan Tombariri Kabupaten
Minahasa. Ejurnal Universitas Sam Ratulangi : 2011; p 21-7.
Natadisastra D, Agoes R. Parasitologi Kedokteran: Ditinjau dari Organ Tubuh yang Diserang.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2009. p. 72-84.
Nurjana MA, Sumolang PPF, Chadijah S, Verdiana NN. Faktor Resiko Infeksi Ascaris
Lumbricoides pada Anak Sekolah Dasar di Kota Palu. Jurnal Vektor Penyakit.
2013;7(1):23-29.
Njiru JM, Muhoho N, Simbauni JA, Kabiru E. Effects of Soil- Transmitted Helminths and
Schistosoma Species on Nutritional Status of Children in Mwea Irrigation Scheme ,
Kenya. Journal of Applied Life Sciences Internasional. 2016;5(1): 1–8.
Pohan HT. Penyakit Cacing Yang ditularkan Melalui Tanah. In : Sudoyo AW, Setiyohadi B, et
al, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jakarta: Interna Publishing; 2009.
p. 2938-42.
Pratikno NS, Handayani W. Pengaruh Genangan Banjir Rob Terhadap Dinamika Sosial
Ekonomi Masyarakat Kelurahan Bandarharjo Semarang. Jurnal Teknik PWK.
2014;3(2) : 312-18.
Romano MA, Nelly M, Franly O. Hubungan Kecacingan dengan Status Gizi pada Murid Sekolah
Dasar di Kabupaten Bolaang Mongondow Utara. E Journal Keperawatan (e-Kp)
Volume 1, Nomor 1, Agustus 2013.
Rosita HS, Rahmatina BH, Susila S. Hubungan Status Gizi dengan Prestasi Belajar Siswa
Sekolah Dasar Negeri 01 Guguk Malinyang Kota Padangpanjang. Jurnal Kesehatan
Andalas 2014; 3 (3).
Sanchez AL, Gabrie JA, Usuanlele M, Rueda MM, Canales M, Gyorkos TW. Soil-Transmitted
Helminth Infections and Nutritional Status in School-age Children from Rural
Communities in Honduras. Public Library of Science. 2013;7(8).
Sandjaja B. Nematoda dalam Parasitologi Kedokteran, Helminthologi Kedokteran. 2th ed.
Jakarta : Prestasi Pustaka ; 2007.
Sofia IP. Hubungan Perilaku Mencuci Tangan Setelah Buang Air Besar dan Sanitasi Lingkungan
dengan Insidensi Kecacingan Pada SD Negeri 1 Ngemplak. Surakarta ; 2018.
Sulistiyoningsih, H. Gizi untuk kesehatan ibu dan anak. PT. Graha Ilmu, Yogyakarta; 2011. p.
184-6.
Susanto I, Ismid SI, Sjarifuddin PK, Sungkar S. Parasitologi Kedokteran. 4th ed. Depertemen
Parasitologi FK UI. 2013. p. 6-25.
Syahrir S, Aswadi. Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Kecacingan pada Siswa SDN
Inpres No. 1 Wora Kecamatan Wera Kabupaten Bima. Makassar. Jurnal Kesehatan
LIngkungan. 2016;2(1).
Uneke C, Eze K, Oyibo P, Azu N, Ali E. Soil-Transmitted Helminth Infection In School
Children In South-Eastern Nigeria : The Public Health Implication. Journal of Third
World Medicine. 2006;4(1):1–7.
Webber R. Communicable Disease Epidemiology and Control: Global Perspective. 3rd ed.
London: CABI Publishing. Massachusetts; 2009.
Wijayanto SKK, Hubungan Status Gizi dan Kebiasaan Sarapan Pagi dengan Prestasi Belajar
Anak di SD Muhammadiyah 16 Surakarta. Ejurnal Universitas Muhammadiyah
Surakarta : 2014.
World Health Organization. Helminth Control in School- Age Children. A Guide for Managers
of Control Programmes, 2nd ed. WHO, Geneva; 2011.
WHO. Helminthiases S. As a Public Health Problem in Children. 2011.
Zulkoni A. Parasitologi. Nuha Medika. Yogyakarta; 2010.

Anda mungkin juga menyukai