Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN

IDENTIFIKASI TELUR CACING USUS


PADA SAYURAN KUBIS

DOSEN PENGAMPU: ULFA HANUM, SKM

OLEH :
ARFANI PO7233321860
DEVI UTARI PO7233321863
PRISSICILIA PUTRI, H PO7233321876
RIBKA MARINI P, S PO7233321878
VARATU SOLEHA PO7233321882
ZALEHA PO7233321884

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN
TANJUNGPINANG PROGRAM STUDI DIII SANITASI
2021/2022
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................... i

DAFTAR ISI .................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang .................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah ............................................................................... 2

1.3 Tujuan ................................................................................................. 2

1.4 Manfaat ............................................................................................... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Cacing Usus ........................................................................................ 4

2.2 Infeksi Soil Transmitted Helminths (STH) ......................................... 5

2.3 Penyakit Cacingan ............................................................................... 6

2.4 Kontaminasi Telur Cacing Pada Sayur ............................................... 6

2.5 Telur Cacing Pada Sayur Kubis .......................................................... 7

2.6 Upaya Mencegah Cemaran Telur Cacing Di Sayuran ........................ 8

BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Pelaksanaan ......................................................................................... 9

3.2 Hasil .................................................................................................. 10

3.2 Pembahasan ....................................................................................... 11

BAB IV PENUTUP

4.1 Kesimpulan ....................................................................................... 12

4.2 Saran .................................................................................................. 12

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sayuran merupakan makanan pendamping makanan pokok yang kaya gizi. Di


dalam sayuran terkandung protein, vitamin dan mikronutrien (terutama mineral)
yang penting bagi tubuh terdapat di dalam sayuran. Selain vitamin dan mineral,
sayuran memiliki kandungan serat yang tinggi, sayuran yang biasa dihidangkan
mentah sebagai lalapan meliputi timun, kemangi, kacang panjang, kubis, dan
tomat. Kubis banyak mengandung vitamin dan mineral yang sangat dibutuhkan
tubuh manusia. Sebagai sayuran, kubis dapat membantu pencernaan, menetralkan
zat-zat asam dan melancarkan buang air besar. Kubis dikonsumsi sebagai sayuran
lalap mentah dan masak, lodeh, campuran bakmi, lotek, pecel, asinan, dan aneka
makanan lainnya.

Kubis yang dicuci bersih kemungkinan besar masih mengandung hama


penyakit. Hama lain kelompok molusca dan kelompok nematoda. Penggunaan
sayur mentah yang langsung dikonsumsi dimungkinkan masih terdapat
pencemaran dari bibit penyakit. Penyebaran cacing usus pada makanan sayuran
dapat terjadi antara lain karena kekurangan pengetahuan pengelolaan dan langkah-
langkah pencegahannya dari petani sampai tingkat konsumen.

Berdasarkan data dari WHO pada tahun 2014, lebih dari 1,5 miliar orang atau
24% dari populasi dunia terinfeksi cacing akibat kontak langsung dengan tanah.
Infeksi tersebar luar di daerah tropis dan subtropis, dengan jumlah terbesar terjadi
Sahara Afrika, Amerika China, dan Asia Timur. Menurut Depkes tahun 2008,
prevalensi kecacingan di Indonesia masih sangat tinggi yaitu 32,6% dan
didominasi oleh Ascaris Lumbricoides, Ancylostoma Duodenale, Trichuris
Trichura, Strongyloides Stercolaris.

Pada dasarnya infeksi cacing yang disebabkan telur cacing pada sayuran
merupakan permasalahan yang masih banyak di negara berkembang, salah
satunya Indonesia. Berdasarkan beberapa informasi yang di dapat keberadaan
telur cacing pada sayuran di Indonesia terdapat di daerah Padang, Palu, Malang,
dan Lampung. Masih jarangnya penelitian di bidang kedokteran atau kesehatan
tentang topik telur cacing pada sayuran dikarenakan penelitian telur cacing lebih
banyak difokuskan pada manusia melalui pengambilan feses dibandingkan sayur
sebagai makanan yang berpotensi sebagai media penularan.

Oleh karena itu dilakukan praktik di laboratorium poltekkes kemenkes


tanjungpinang terkait dengan telur cacing pada sayuran, sebagai bahan
pembelajaran sekaligus untuk mengetahui apakah pada sayuran tersebut terdapat
telur cacing.

1.2 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah pada laporan ini, yaitu:

a. Apa yang dimaksud cacing usus?

b. Apa yang dimaksud infeksi soil transmitted helminths (STH)?

c. Apa yang dimaksud penyakit cacing?

d. Apa yang dimaksud kontaminasi telur cacing pada sayuran?

e. Apa yang dimaksud telur cacing pada sayuran

f. Bagaimana upaya mencegah cemaran telur cacing di sayuran?

1.3 Tujuan

Adapun tujuan pada laporan ini, yaitu:

a. Untuk mengetahui cara pengambilan sampel telur cacing pada sayuran kubis

b. Untuk mengetahui apakah sayuran kubis di pasar Binsen, Kota


Tanjungpinang terdapat telur cacing

c. Untuk mengetahui jenis cacing apa yang terdapat pada sayuran kubis
1.4 Manfaat

Manfaat laporan ini, yaitu:

a. Sebagai bahan pembelajaran bagi mahasiswa yang melakukan praktik dan;

b. Sebagai bahan referensi bagi yang membacanya


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Cacing Usus

Infeksi cacing usus merupakan masalah kesehatan masyarakat di Negara


berkembang, termasuk Indonesia yang sangat padat dan kumuh merupakan
sasaran yang mudah terkena infeksi cacing. Infeksi ini dapat mengakibatkan
menurunnya gizi, kecerdasan dan produktivitas penderitanya sehingga banyak
menyebabkan kerugian karena menyebabkan kehilangan karbohidrat, protein,
serta darah.

Conyoh penyebab terjadinya infeksi cacing usus yaitu memakan daging yang
kurang matang, mengkonsumsi sayuran atau bahan masakan yang kurang bersih,
minum air yang terkontaminasi, sanitasi yang buruk, dan kebiasaan hidup yang
buruk misalnya malas mencuci tangan.

Larva cacing yang masuk ke dalam tubuh perlu waktu 1–3 minggu untuk
berkembang. Awalnya, telur cacing yang tertelan oleh manusia akan menetas di
dalam usus menjadi larva. Selanjutnya, larva cacing akan menembus dinding usus
dan menetap di sana hingga dewasa. Setelah dewasa, cacing akan berkembang
biak dan menghasilkan lebih banyak telur. Begitu seterusnya hingga jumlahnya
semakin banyak di usus. Telur cacing ada yang menetas menjadi larva lalu ke
paru-paru, tetapi ada juga yang keluar melalui feses.

Berdasarkan siklus hidupnya nematoda usus dibagi atas dua kelompok yaitu
Soil Transmitted Helminths (STH) adalah nematoda usus yang dalam siklus
hidupnya membutuhkan tanah untuk proses pematangan untuk proses pematangan
sehingga terjadi perubahan dari stadium non-infektif menjadi stadium infektif.
Yang termasuk nematoda ini adalah Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura,
cacing tambang (ada dua spesies, yaitu Necator americanus dan Ancylostoma
doudenale), serta Strongyloides strecoralis. Nematoda usus lain atau disebut juga
nematoda usus Non-Soil Transmitted Helminths adalah nematoda usus yang
dalam siklus hidupnya tidak membutuhkan tanah. Ada tiga spesies yang termasuk
kelompok ini, yaitu Enterobius vermicularis (cacing kremi) dan Trichinella
spiralis,serta parasit yang paling baru ditemukan Capillaria philippinensis
(Rusmartini, 2009).

Menurut World Health Organization (WHO) diantara cacing usus yang


menjadi masalah kesehatan adalah kelompok Soil Transmitted Helminths (STH)
atau cacing yang ditularkan melalui tanah.

2.2 Infeksi Soil Transmitted Helminths (STH)

Infeksi Soil Transmitted Helminth (STH) adalah infeksi yang disebabkan oleh
nematoda usus yang penularannya memerlukan media tanah. Lebih dari 1,5 miliar
orang atau 24% dari populasi dunia, terinfeksi STH. Menurut sebuah studi jumlah
infeksi STH tertinggi terjadi di Asia, terutama Asia Tenggara. Sebagian besar
negara di Asia Tenggara memiliki iklim tropis dan lembab yang ideal untuk
kelangsungan hidup telur/larva STH.

Untuk prevalensi infeksi STH di Indonesia pada umumnya masih tinggi,


terutama pada penduduk dengan sanitasi yang buruk, dengan data yang bervariasi
2,5% - 62% dan intensitas tertinggi didapatkan dikalangan anak presekolah dan
sekolah dasar. Tingkat sanitasi (perilaku hidup bersih sehat) yang rendah berperan
penting terhadap infeksi STH misalnya kebiasaan cuci tangan sebelum makan dan
setelah BAB, kebersihan kuku, perilaku jajan sembarangan, kepadatan penduduk
yang tinggi, perilaku BAB tidak di jamban dapat mencemari tanah dan lingkungan
oleh feses yang mengandung telur cacing serta kurangnya ketersediaan sumber air
bersih.

STH yang paling sering menimbulkan masalah kesehatan pada masyarakat


dunia dan Indonesia adalah cacing gelang (Ascaris lumbricoides) dengan
penyakitnya yang disebut Ascariasis, cacing cambuk (Trichuris trichiura) dengan
penyakitnya yang disebut Trichuriasis, cacing tambang (Ancylostoma duodenale
dan Necator americanus) yang masing-masing penyakitnya disebut
Ankilostomiasis dan Nekatoriasis.
2.3 Penyakit Cacingan

Cacingan atau kecacingan adalah salah satu jenis penyakit infeksi yang
disebabkan oleh hewan parasit yaitu cacing. Berdasarkan hasil survei Departemen
Kesehatan (2015) cacing parasit yang banyak menyerang anak-anak Indonesia
adalah Ascaris lumbricoides, Ancylostoma duodenale, Necator americanus, dan
Trichuris trichiura.

Masalah kesehatan yang ditimbulkan akibat kecacingan adalah anemia,


obstruksi saluran empedu, radang pankreas, usus buntu, alergi, dan
diare,penurunan fungsi kognitif (kecerdasan), Mal Nutrisi (kurang gizi), gangguan
pertumbuhan, dan radang paru-paru. Angka prevalensi dan intensitas infeksi
paling tinggi pada usia 3 dan 8 tahun. Penyakit kecacingan tersebar luas, baik di
perdesaan maupun di perkotaan.

Infeksi kecacingan dapat diperiksa dengan pemeriksaan feses. Pemeriksaa


feses bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya telur cacing ataupun larva yang
infektif. Pemeriksaan feses juga dapat digunakan untuk mendiagnosa tingkat
infeksi cacing parasite usus. Teknik diagnostik merupakan salah satu aspek yang
penting untuk mengetahui adanya infeksi penyakit kecacingan, yang dapat
ditegakkan dengan cara melacak dan mengenal stadium parasite yang ditemukan.

2.4 Kontaminasi Telur Cacing Pada Sayur

Jalur penularan cacing melalui memakan sayuran mudah terjadi dalam


kehidupan sehari-hari sebab sayur adalah makanan yang sangat diperlukan oleh
tubuh setiap hari. Penduduk Indonesia sering memanfaatkan sayur dalam bentuk
lalapan segar maupun dicampur dalam makanan lain, seperti pada mie ayam,
gado-gado, dan salad. Penggunaan sayuran mentah sebagai lalapan berisiko
memberikan kontribusi penularan cacing melalui jalur oral menurut WHO dan
bahkan akan mempengaruhi kesehatan masyarakat.

Sayur dapat berisiko tercemar telur cacing karena banyak faktor, antara lain
 Proses budidaya atau penanaman sayur menggunakan tanah dan pupuk
yang tercemar

 Dijamah manusia dengan tangan kotor yang mengandung telur cacing


atau belum mencuci tangan

 Dihinggapi vektor penyakit seperti lalat, kecoa sehingga terjadi


perpindahan telur cacing dari tubuhnya ke sayuran

 Cara mencuci dan mengolah sayur belum benar sehingga telur cacing
masih menempel pada sayuran

 Sayuran tersebut tidak dimasak dengan matang.

2.5 Telur Cacing Pada Sayur Kubis

Kubis merupakan salah satu jenis sayuran yang banyak dikonsumsi karena
berbagai manfaat yang terdapat di dalam kubis. Kubis dikenal sebagai sumber
vitamin A, B, dan C, mineral, karbohidrat, dan protein yang berguna bagi
kesehatan. Seperti beberapa jenis sayuran lainnya, kubis memiliki sifat mudah
rusak, produksi musiman, dan tidak tahan disimpan lama. Sifat mudah rusak ini
dapat disebabkan oleh daun yang lunak dan kandungan air cukup tinggi, sehingga
mudah ditembus oleh alat-alat pertanian dan hama atau penyakit tanaman.

Salah satu jenis sayuran yang sering terkontaminasi oleh STH adalah kubis.
Kubis (Brassica oleracea) merupakan jenis sayuran yang umumnya dikonsumsi
secara mentah, karena dilihat dari tekstur dan organoleptik sayuran ini
memungkinkan untuk dijadikan lalapan. Bila dalam proses pengolahan dan
pencucian sayuran tidak baik, telur cacing kemungkinan masih melekat pada
sayuran dan tertelan saat sayuran dikonsumsi. Kubis (Brassica oleracea) dengan
permukaan daun yang berlekuk – lekuk menjadikannya sulit untuk dibersihkan,
sehingga memungkinkan adanya telur cacing yang menetap pada lalapan tersebut.
2.6 Upaya Mencegah Cemaran Telur Cacing Di Sayur

Upaya mencegah cemaran telur cacing di sayur harus segera kita lakukan
karena sayur menu makanan kita sehari-hari. Apalagi iklim di Indonesia strategis
untuk tumbuhnya parasit cacing.

Program pencegahan tidak bisa hanya menjadi tanggung jawab Kementerian


Kesehatan dan Dinas Kesehatan setempat. Produsen, pengusaha kuliner, dan
konsumen juga harus terlibat memutus rantai penularan parasit cacing. Media
iklan dan program televisi memasak juga dibutuhkan untuk menyebarkan promosi
dan perilaku kesehatan yang baik dalam penanganan dan mencuci sayur.

Kementerian Kesehatan dapat mengumpulkan perhimpunan dan asosiasi


bidang kuliner untuk memberikan seminar, pelatihan, dan sertifikasi makanan dan
dapur higienis.

Kementerian Pertanian juga harus membina pengusaha, petani, dan pedagang


sayuran untuk memastikan bahwa setiap proses pergerakan sayur, dari menanam
hingga sampai dibeli dan atau dikonsumsi oleh masyarakat, telah memenuhi
kriteria higienis, sehat, dan bebas cacing. Mereka perlu mendapatkan pengetahuan
agar tidak membuang feses sembarangan, sayuran tidak berkontak dengan pupuk
hewan maupun hewan pembawa telur cacing, seperti kambing, sapi, babi, tikus,
anjing, dan kucing.

Cara mencuci sayur untuk menghilangkan kontaminasi telur cacing adalah


mencuci sayur dengan air yang mengalir (kran) dan mencucinya lembar per
lembar. Cara mencuci yang harus dihindari adalah mencucinya di baskom karena
ada risiko telur cacing di dalam air akan menempel di sayuran lain yang akan
dicuci. Sayur juga harus dicuci lembar demi lembar daun karena pengalaman
penulis pernah menjumpai tanah menempel di sela-sela daun.
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Pelaksanaan

 Judul : Identifikasi Telur Cacing Usus Pada Sayuran Kubis


 Lokasi : Laboratorium Kimia-Mikro
Poltekkes Kemenkes Tanjungpinang
 Hari, Tanggal : Rabu, 16 Februari 2022
 Pukul : 09.00-12.00 WIB
 Nama Petugas :
Arfani
Devi Utari
Prissicilia Putri Hernita
Ribka Marini Putri S.
Varatu Soleha
Zaleha
 Alat Dan Bahan :
- Cawan Petri
- Pipet ukur
- Gelas ukur
- Beaker glass
- Saringan
- Tabung Reaksi
- Pisau
- Neraca analitik
- Alat tulis
- NaOH
- Aquades
- Larutan eosin
- Mikroskop
 Langkah Kerja :
1. Dipotong sayuran menjadi bagian kecil-kecil.
2. Direndam 50 gram lalapan kubis dengan 500 ml larutan NaOH 0,2%
dalam beaker glass 1000 ml, selama 30 menit.
3. Diaduk sayuran dengan pinset hingga merata lalu sayuran
dikeluarkan.
4. Disaring air rendaman kemudian dimasukkan ke dalam beaker glass
lain dan diamkan selama satu jam.
5. Dibuang pada permukaan beaker & air di bagian bawah beaker glass
beserta endapannya diambil dengan volume10-15 ml menggunakan
pipet dan dimasukkan ke dalam tabung sentrifugasi.
6. Disentrifugasi air endapan dengan kecepatan 1500 putaran/menit
selama lima menit.
7. Dibuang supernatan dan endapan bagian bawah diambil untuk
diperiksa secara mikroskopis.
8. Diambil larutan eosin memakai pipet dan meneteskan satu tetes pada
object glass.
9. Diambil endapan dari tabung sentrifugasi satu tetes lalu meneteskan
pada object glass yang telah diberi eosin.Ditutup hati-hati dengan
cover glass (cairan harus merata dan tidak boleh ada gelembung
udara).
10. Diamati di bawah mikroskop dan melakukan identifikasi.

3.2 Hasil
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan pada sayuran kubis di Pasar
Baru II, tidak ditemukan telur cacing. Hanya saja ditemukan kotoran pada sayuran
tersebut.

3.3 Pembahasan

Berdasarkan hasil praktikum tidak ditemukan sedikit pun telur cacing pada
sayuran kubis yg dibeli diPasar Baru II , karna kualitas sayur tersebut higienis.
Tentu nya sehat untuk di konsumsi, hanya saja di temukan kotoran pada sayuran
kubis tersebut. Sebaiknnya sebelum mengonsumsi sayuran tersebut hendaknya di
cuci dengan bersih.

Sedangkan, Sayuran yang dapat berisiko tercemar telur cacing karena banyak
faktor, antara lain :

1. Dijamah manusia dengan tangan kotor yang mengandung telur cacing atau
belum mencuci tangan
2. Jatuh ke tanah yang mengandung telur cacing,
3. Dihinggapi vektor penyakit seperti lalat, kecoa sehingga terjadi
perpindahan telur cacing dari tubuhnya ke sayuran,

Cara mencuci dan mengolah sayur belum benar sehingga telur cacing masih
menempel pada sayuran, dan Sayuran tersebut tidak dimasak dengan matang.
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Infeksi cacing adalah salah satu penyakit dapat mengakibatkan menurunnya


gizi, kecerdasan dan produktivitas penderitanya sehingga banyak menyebabkan
kerugian karena menyebabkan kehilangan karbohidrat, protein, serta darah.
penyebab terjadinya infeksi cacing usus yaitu memakan daging yang kurang
matang, mengkonsumsi sayuran atau bahan masakan yang kurang bersih, minum
air yang terkontaminasi, sanitasi yang buruk, dan kebiasaan hidup yang buruk
misalnya malas mencuci tangan.

STH yang paling sering menimbulkan masalah kesehatan pada masyarakat


dunia dan Indonesia adalah cacing gelang (Ascaris lumbricoides) dengan
penyakitnya yang disebut Ascariasis, cacing cambuk (Trichuris trichiura) dengan
penyakitnya yang disebut Trichuriasis, cacing tambang (Ancylostoma duodenale
dan Necator americanus) yang masing-masing penyakitnya disebut
Ankilostomiasis dan Nekatoriasis. Masalah kesehatan yang ditimbulkan akibat
kecacingan adalah anemia, obstruksi saluran empedu, radang pankreas, usus
buntu, alergi, dan diare,penurunan fungsi kognitif (kecerdasan), Mal Nutrisi
(kurang gizi), gangguan pertumbuhan, dan radang paru-paru.

4.2 Saran

makanan yang dikonsumsi hendaknya memenuhi kriteria bahwa makanan


tersebut layak untuk dimakan dan tidak menimbulkan penyakit, diantaranya :

1. Sebelum dijual pedagang memastikan apakah sayur yang akan dijual layak
untuk dikonsumsi oleh pembeli dan memastikan kualitas dari sayuran
tersebut dalam keadaan bersih.
2. pembeli Membiasakan mencuci tangan dengan sabun sebelum dan
mengolah sayuran.
3. Mencuci sayuran dengan air mengalir bila perlu menggunakan sabun
pencuci untuk buah dan sayur.
4. Sebaiknya sayuran dimasak terlebih dahulu dari pada dihidangkan mentah
atau sebagai lalapan.
DAFTAR PUSTAKA

Noviastuti A. Infeksi Soil Transmitted Helminths. Majority. 2015.


World Health Organization. Soil- transmitted helminth infections. Published
online 2019.https://www.who.int/news- room/fact-sheets/detail/soil- transmitted-
helminth-infections
Dunn JC, Turner HC, Tun A, Anderson RM. Epidemiological surveys of, and
research on, soil- transmitted helminths in Southeast Asia: A systematic
review. Parasites and Vectors. 2016.
Kemenkes RI. Penanggulangan Cacingan. Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2017.
Dian, Ni Luh Gede Ratna Dewi. Hubungan Perilaku Higienitas Diri Dan Sanitasi
Sekolah Dengan Infeksi Soil Transmitted Helminths Pada Siswa Kelas Iii-Vi
Sekolah Dasar Negeri No . 5 Delod Peken Tabanan Tahun 2014 Program Studi
Pendidikan Dokter , Bagian Parasitologi Fakultas Kedokteran Udayana. 2017.
Centers for Disease Control. Parasites - Soil-transmitted helminths. Parasites.
2013. https://www.cdc.gov /parasites/sth /index.html
.Novianty S, Pasaribu HS, Pasaribu AP. Faktor Risiko Kejadian Kecacingan pada
Anak Usia Pra Sekolah. Departeme Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara. 2018.
Alyssa A. Hubungan Tingkat Pengetahuan , Sikap , dan Perilaku Hygiene
Terhadap Kejadian Infeksi Soil-Transmitted Helminths pada Anak Sekolah Dasar
di Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang. 2018.
Basalamah MF, Pateda V, Rampengan N. Hubungan Infeksi Soil Transmitted
Helminth Dengan Kadar Hemobglobin Anak Sekolah Dasar Gmim Buha
Manado. e-CliniC. 2014.
Yuwono N, Soraya Salle Pasulu, Husada D, Basuki S. Prevalence Of Soil
Transmitted Helminthiasis Among Elementary Children In Sorong District, West
Papua Natalia. 2019.
Nurjana MA, Sumolang PP, Chadijah S, Veridiana NN. Risk Factors of Ascaris
Lumbricoides Infection in Elementary School Children in Palu Municipality. J
Dis Vector. 2013.
Annisa S, Dalilah, Anwar C. Hubungan Infeksi Cacing Soil Transmitted
Helminths ( STH ) dengan Status Gizi pada Siswa Sekolah Dasar Negeri 200
Kelurahan Kemasrindo Kecamatan Kertapati Kota Palembang Helminths ( STH )
1 Penyakit ini termasuk dalam kelompok Neglected Tropical Diseases. Majalah
Kedokteran Sriwijaya. 2018.
Nelly M, Saharman S, Hamel RS. Hubungan Personal Hygiene Dengan
Kecacingan Pada Murid Sekolah Dasar Di Kabupaten Bolaang Mongondow
Utara. 2013.
Budiasri R, Hadju V, Sirajuddin S. Infeksi Kecacingan Dan Status Gizi Pada
Anak Sekolah Dasar Di Wilayah Pesisir Kota Makassar. Program Studi Ilmu Gizi
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddi. 2013.
Astuti D, Magga E, Djalla A. Hubungan Penyakit Kecacingan Dengan Status Gizi
Anak Pada Sekolah Dasar Muhammadiyah Jampu Kecamatan Lanrisang
Kabupaten Pinrang. Jurnal Ilmiah Manusia dan Kesehatan. 2017.
Fauzi RR teresia, Permana O, Fetritura Y. Hubungan kecacingan dengan status
gizi siswa sekolah dasar di Kecamatan Pelayangan Jambi. 2013.
Miratunisa N, Asmara IGY, Prihatina LM. Hubungan Antara Infeksi Kecacingan
Dengan Status Gizi Pada Murid Sekolah Dasar Negeri 27 Mataram. 2017.
Handayani D, Ramdja M, Nurdianthi I. Hubungan Infeksi Soil Transmitted
Helminths (STH) dengan Prestasi Belajar pada Siswa SDN 169 di Kelurahan
Gandus Kecamatan Gandus Kota Palembang. Maj Kedokt Sriwij. 2015;47(2):91-
96.
Sutanto I, Ismid IS, Sjarifuddin PK. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. Ed.4.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2008.
Hairani B, Waris L, Juhairiyah. Prevalensi Soil Transmitted Helminth ( STH )
pada anak sekolah dasar di Kecamatan Malinau Kota Kabu. 2014.

Anda mungkin juga menyukai