Anda di halaman 1dari 19

BAB 1

PENDAHULUAN

Schistosomiasis adalah penyakit infeksi parasit kronis yang disebabkan oleh cacing
darah (Trematoda) dari genus Schistosoma. Schistosoma berbeda dari Trematoda jenis
lainnya karena mereka hidup di dalam sistem pembuluh darah dan memiliki jenis kelamin
jantan dan betina yang terpisah (Andrew, 2009).

Menurut Zhou et al. (2013) ada lima spesies Schistosoma yang ditemukan pada
manusia, tetapi lebih 90% dari semua infeksi ini hanya disebabkan oleh tiga spesies penting
yaitu: Schistosoma mansoni, Schistosoma japonicum, dan Schistosoma haematobium. Dua
spesies lainnya yang jarang terjadi adalah Schistosoma interculatum dan Schistosoma
mekongi.

Schistosomiasis lazim terjadi pada daerah tropis dan sub-tropis, khususnya pada
masyarakat miskin tanpa akses air minum yang aman, sanitasi, serta infrastruktur kesehatan
2
publik yang tidak memadai. Setelah malaria dan penyakit cacing, schistosomiasis adalah
penyakit tropis yang paling dahsyat ketiga di dunia. Ini menjadi sumber utama morbiditas dan
mortalitas bagi negara-negara berkembang di Afrika, Amerika Selatan, Karibia, Timur
Tengah, dan Asia (Vrisca et al. 2015).

Schistosomiasis endemik di 76 negara dengan pendapatan rendah, di mana terjadi di


daerah-daerah pedesaan dan pinggiran-pinggiran kota. Lebih dari 700 juta orang di dunia
berisiko terkena infeksi, dengan lebih dari 207 juta orang yang terinfeksi schistosomiasis,
85% nya tinggal di Afrika. Pada kasus yang terinfeksi, diperkirakan 120 milyar orang
menunjukkan gejala-gejala schistosomiasis, dan 20 milyar orang memiliki komplikasi yang
serius (Vrisca et al. 2015).

Lebih dari 200 juta orang menderita Schistosomiasis, 20 juta diantaranya menderita
sakit berat, dan 120 juta menunjukkan tanda-tanda klinis di seluruh dunia. Serta menjadi
ancaman bagi 500-600 juta orang di 74 negara berkembang.6 Schitosomiasis tersebar di
seluruh dunia meliputi negara-negara Asia, Afrika, Amerika Latin dan Timur Tengah. Di
Asia, cacing ini tersebar di tujuh negara, antara lain Jepang, Cina, Philipina, Indonesia,
Malaysia, Kamboja, Laos dan Thailand. Di Asia penyakit ini umumnya disebabkan oleh
cacing Schistosoma japonicum.
Pada tahun 2011 dilaporkan oleh WHO, ada 243 juta orang memerlukan pengobatan
untuk schistosomiasis, dengan jumlah orang yang dilaporkan telah dirawat untuk
schistosomiasis pada tahun 2011 adalah 28,1 juta. Secara global, ditemukan 200.000
kematian yang dikaitkan dengan schistosomiasis per tahun. Variasi dalam perkiraan
prevalensi tergantung pada karakter fokus dari epidemiologi. Distribusi umum mencakup
wilayah yang sangat besar, terutama di Afrika, tetapi juga di Timur Tengah, Amerika Selatan
dan Asia Tenggara.
Menurut Sudomo (2008) schistosomiasis ditemukan endemik di dua daerah di
Sulawesi Tengah, yaitu di Dataran Tinggi Lindu dan Dataran Tinggi Napu. Secara
keseluruhan penduduk yang berisiko tertular schistosomiasis (population of risk) sebanyak
15.000 orang. Penelitian schistosomiasis di Indonesia telah dimulai pada tahun 1940 yaitu
sesudah ditemukannya kasus schistosomiasis di Tornado, Dataran Tinggi Lindu, Kecamatan
Kulawi, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah pada tahun 1935. Pada tahun 1940
Sandground dan Bonne mendapatkan 53% dari 176 penduduk yang diperiksa tinjanya positif
ditemukan telur cacing Schistosoma. Pemberantasan schistosomiasis telah dilakukan sejak
tahun 1974 dengan berbagai metoda yaitu pengobatan penderita dengan Niridazole dan
pemberantasan siput penular (O. hupensis lindoensis) dengan molusisida dan
agroengineering.
Penyakit ini baru ditemukan di lembah Lindu (Kec. Kulawi, Kab. Donggala) dan
lembah Napu-Besoa (Kec. Lore Utara, Kab. Poso), keduanya terletak di Sulawesi Tengah.
Schistosomiasis masih menjadi ancaman bagi lebih dari 25.000 penduduk di kedua daerah
endemis tersebut. Prevalensi Schistosomiasis di lembah Lindu pada tahun 2003 (0.64%) dan
tahun 2004 (0,17%) memperlihatkan kecenderungan yang menurun. Sementara di lembah
Napu pada tahun 2003 (0.70%) dan tahun 2004 (1,71%) memperlihatkan kecenderungan
yang meningkat. Kondisi yang berfluktuasi ini akan semakin meningkat dan meluas
sehubungan dengan migrasi penduduk, pembangunan, perkembangan ekonomi dan
perdagangan khususnya daging mamalia yang menjadi hospes reservoir. Kemajuan
pembangunan yang membuka daerah endemik Schistosomiasis yang dahulunya terisolasi.
Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis tertarik untuk mengkaji penyakit
Schistosomiasis japonicum.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Schistosomiasis merupakan salah satu penyakit parasit yang termasuk ke dalam


neglected diseases (penyakit kurang diperhatikan) terutama di daerah tropis, termasuk
Indonesia. Menurut WHO, schistosomiasis tersebar di seluruh dunia dan dilaporkan adanya
transmisi penularan penyakit tersebut di 78 negara (WHO 2016). Daerah endemis
schistosomiasis di Indonesia sampai saat ini masih terbatas di Dataran Tinggi Lindu
Kabupaten Sigi, Dataran Tinggi Napu dan Bada, Kabupaten Poso, Provinsi Sulawesi Tengah.
Lokasi ketiga yaitu Dataran Tinggi Bada Kabupaten Poso Sulawesi Tengah merupakan
daerah endemis ketiga yang ditemukan pada tahun 2008 (Jastal et al. 2008). Kasus
schistosomiasis pada manusia ditemukan pertama kali di Dataran Tinggi Lindu pada tahun
1937 (Garjito et al. 2008).

Penyebab schistosomiasis di Indonesia adalah sejenis cacing yaitu Schistosoma


japonicum, sedangkan host intermediet sebagai vektor penularnya adalah keong Oncomelania
hupensis lindoensis. Keberlangsungan hidup keong Oncomelania ini didukung oleh habitat
dengan iklim dan lingkungan yang sesuai. Pada beberapa habitat yang banyak ditemukan
keong Oncomelania ini juga dipengaruhi oleh kondisi suhu, tipe tanah, tipe vegetasi, dan juga
kecukupan air yang mendukung perkembangan keong dan juga pergerakan serkaria (Zhang et
al. 2005).
Gambar 1. Peta Distribusi Daerah Endemis Schistosomiasis di Indonesia

Oncomelania hupensis lindoensis. Faktor geografis dan mikrohabitat daerahendemis,


khususnya di Dataran Tinggi Napu diyakini merupakan salah satu sebab pengendalian
penyakit ini belum bisa tuntas (Garjito et al. 2014). Lokasi Dataran Tinggi yang berbukit-
bukit dan dikelilingi hutan primer yang merupakan zona Taman Nasional Lore Lindu.
Prevalensi schistosomiasis sampai akhir 2015 di Provinsi Sulawesi Tengah masih atas 1%
termasuk di wilayah Dataran Tinggi Napu. Menurut Dinas Kesehatan Kabupaten Poso, pada
semester satu tahun 2015 prevalensinya sebesar 1,84% dan semester dua sebesar 1,34%
(Dinas Kesehatan Kabupaten Poso 2015). Dengan demikian masih ada penularan yang terus
terjadi di daerah endemis tersebut. Pengendalian schistosomiasis sudah dilakukan sejak tahun
1976, baik pengobatan pada manusia dan juga pemberantasan keong.

Siklus Hidup Schistosoma japonicum

Cacing dewasa S. Japonicum tinggal dalam pembuluh darah vena mesenterika


disekitar usus halus dan vena porta. Cacing betina dalam pembuluh darah penderita
memproduksi telur dalam jumlah ratusan sampai ribuan setiap hari. Sebagian besar telur tetap
berada dalam tubuh dan lainnya memasuki pembuluh empedu atau usus dan kemudian keluar
bersama tinja penderita
Gambar. Sikus hidup Cacing Schistosoma japonicum

Telur cacing dalam tinja manusia atau hewan dilingkungan yang berair akan segera menetas
dan mengeluarkan larva yang dissebut mirasidium. Masa hidup mirasidium sangat singkat,
oleh karena itu harus segera menemukan siput yang bertindak sebagai inang antaranya yaitu
siput Oncomelania. Jika larva ini tidak menemukan siput Oncomelania , dalam waktu 12 jam,
larva ini akan mati. Mirasidium
berenang dengan bantuan silia sampai mendapatkan spesies siput yang cocok sebagai inang
antara. Bila berhasil menemukan siput, mirasidum melakukan penetrasi kedalam tubuh siput
dan melakukan perubahan bentuk menyerupai kantung yang disebut sporokista. Di dalam
tubuh sporokista memperbanyak diri secara aseksual menghasilkan ratusan serkaria. Ketika
serkaria lolos keluar dari siput, serkaria mampu menginfeksi manusia dan hewan yang rentan.
Dilingkungan berair serkaria berenang menggunakan ekornya sampai mendapatkan inang
definitive.

Manusia atau hewan terinfeksi pada saat kontak dengan air yang terkontaminasi dengan
serkaria. Serkaria masuk kedalam tubuh manusia melalui kulit. Pada saat memasuki kulit
manusia, serkaria melepaskan ekornya dan berubah menjadi cacing muda (sistosomula).
Selanjutnya cacing ini menembus jaringan memasuki pembuluh darah masuk kedalam
jantung dan paru-paru untuk selanjutnya masuk kedalam vena porta disekitar hati. Cacing
dewasa dalam vena porta akan berpasangan dimana cacing betina akan masuk kedalam
celah/saluran ( canalis ginecophoric) yang terdapat disepanjang tubuh cacing jantan. Pada
akhirnya pasangan-pasangan cacing S. japonicum bersama-sama pindah ketempat tujuan
terakhir yaitu pembuluh darah usus kecil (vena mesenterika) yang merupakan habitatnya dan
sekaligus tempat bertelur.

Inang antara

Oncomelania hupensis Lindoensis merupakan salah satu jenis siput endemik yang
terdapat dalam kawasan TamanNasional Lore Lindu. Jenis siput inimerupakan perantara
(hospes) dari cacing shistosoma yang dapat menyebabkanpenyakit sisto (shistosomiasis) pada
manusia dan hewan. Pada tubuh siput tersebutberkembang cerkaria yang pada waktu tertentu
keluar mencari hospes untuk bertumbuh lebih lanjut. Apabila mendapatkan hospes maka
mirasidium tersebut akan masukke dalam tubuh manusia atau hewan dengan menembus kulit,
selanjutnya akan masukdalam pembuluh darah dan bertumbuh menjadi cacing dewasa yang
disebut schistosoma. Jenis cacing yang menyerang hewan dan manusia adalah
S.haematobium,S.mansoni, S. japonicum, S.intercalatum, dan S.mekongi (Putrali dkk. 1988).

Pada siput O.hupensis Lindoensis ditemukan jenis cacing S. japonicum (Davis dan
Carney,1973). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa persebaran habitat siput O.hupensis
lindoensis tertera pada Tabel 2. Jumlah habitat secara keseluruhan yaitu 144 fokus dengan
distribusi persebaran 44,44% (sawah), 29,86% (kebun), 18,06% (padang rumput), dan 7,64%
(hutan). Secara umum habitat siput Ongcomelania adalah daerah genangan air jernih dengan
banyak rumput atau daun-daunan jatuh. Pada areal persawahan, siput banyak ditemukan pada
sawah yang tidak diolah atau pada saluran irigasi dengan air tergenang dan banyak rumput.
Siput didapatkan menempel pada batang rumput atau pada daun, dan apabila air surut maka
siput akan masuk ke dalam tanah. Siput dapat ditemukan sampai kedalaman 15 cm dalam
tanah lembab apabila air surut, dan akan naik ke permukaan apabila daerah tersebut
tergenang air. Jenis siput ini tidak dapat bertahan hidup lama dalam air akan tetapi menyukai
daerah yang lembab. Pada areal perkebunan ditemukan pada kebun coklat. dan kopi yang
lembab dan dialiri dengan air, siput Ongcomelania didapatkan menempel pada daun-daun
atau tangkai tanaman yang jatuh dan di daerah tersebut lembab dan terdapat genangan air.
Pada areal padang rumput umumnya ditemukan pada padang rumput yang sering digenangi
air, siput didapatkan menempel pada batang rumput parapa atau tanaman yang tumbuh di
wilayah tersebut. Selanjutnya pada areal hutan didapatkan pada daerah hutan yang
merupakan pinggiran danau lindu, daerah lembab dan digenangi air, umumnya menempel
pada batang paku-pakuan atau tanaman lain yang tumbuh di sekitat tempat tersebut.

Menurut Lumeno (2004), habitat siput O hupensis lindoensis terdapat di daerah


pertanian seperti persawahan, perkebunan, hutan, sepanjang irigasi, dan daerah padang
penggembalaan yang sering tergenang air. Habitat siput Ongcomelania terdapat pada fokus
tanah yang digarap seperti ladang, sawah yang tidak dipakai lagi dan di pinggir parit diantara
sawah, sedangkan fokus di daerah hutan terdapat di perbatasan bukit dan dataran rendah yang
tergenang air. Karakteristik dari masing-masing jenis habitat fokus tertera pada Tabel 3.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa iklim mikro khusus pada temperatur dan kelembaban
berada pada kisaran 22,30-24,10°C dan 60 -78% dan pH air pada kisaran 6-6,5. Hal ini
sejalan dengan hasil penelitian Tabel. Persebaran habitat siput O. hupensis lindoensis di
Taman Nasional Lore Lindu

Hadidjaja (1982) yang melaporkan bahwa temperatur optimal untuk habitat siput
Ongcomelania yaitu pada kisaran 16-28 °C dengan pH air 6-8, kondisi air yang ada pada
habitat siput tersebut adalah jernih dan tergenang. Jenis vegetasi dari setiap jenis habitat
berbeda-beda seperti pada tergenang. Jenis vegetasi dari setiap jenis habitat berbeda-beda
seperti pada habitat di persawahan didominasi dengan rumputrumputan dan legum, di
perkebunan tergantung jenis tanaman seperti pada kebun coklat dan kopi yang lembab dan
kadangkadang tergenang air. Pada habitat padang rumput didominasi jenis vegetasi seperti
parapa (sejenis rumput gajah yang banyak tumbuh didaerah rawa), rumput alam dan paku-
pakuan, sedangkan pada habitat hutan didominasi semak-semak dan paku-pakuan.

Hasil analisis dan identifikasi jenis tanah menunjukkan bahwa pada habitatdidominasi tekstur
tanah berpasir dengan kandungan pasir < 60% dan termasuk dalam kelas tekstur lempung
berpasir (Hanafiah et al. 2005). Apabila tekstur tanah diketahui maka gambaran umum
tentang sifat fisik tanah dapat diperkirakan. Tekstur tanah berperan dalam kemampuan
menahan air, aerasi dan konsistensi tanah. Menurut Hardjowigeno (2007) bahwa tanah
bertekstur kasar mempunyai daya tahan air lebih kecil bila dibandingkan dengan tanah yang
bertekstur liat karena mempunyai luas permukaan yang lebih lebar. Keasaman (pH) tanah
pada kisaran 6,10-6,90 dan termasuk pH netral, dengan kandungan bahan organik tanah (C
dan N) yang relatif rendah (< 5 %). Hanafiah et al. (2005) menyatakan bahwa kandungan
bahan organik tanah secara umum 5% dari bobot total tanah, walaupun jumlahnya relatif
rendah namun mempunyai peranan penting baik secara fisik, kimia maupun biologis. Bahan
organik berperan dalam menambah kemampuan tanah untuk menahan air sehingga tanah
tetap lembab dan memperbaiki struktur dan porositas tanah.

Morfologi Siput

Jenis siput yang merupakan reservoir dari schistosomiasis adalah O.hupensis lindoensis
dengan bentuk morfologis tertera pada Gambar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
bentuk morfologis siput O.hupensis lindoensis mempunyai ukuran cukup kecil dengan
panjang 3-5 mm dengan cangkang berbentuk kerucut dan berwarna coklat agak
kehitamhitaman, secara umum didapatkan pada akarakat
rumput atau melekat pada ranting pohon, bersifat amfibi (amphibious) sehingga tidak dapat
hidup pada daerah tergenang air atau di daerah kering.
Hal yang sama juga dilaporkan oleh Hadidjaja (1982) bahwa siput O.hupensis
lindoensis (Gambar) mempunyai cangkang yang berbentuk kerucut, permukaan licin
berwarna coklat kekuningkuningan dan agak jernih bila dibersihkan dengan lingkar 6,5-7,5
mm dan panjang 5,2±0,6 mm dengan ambilicus yang terbuka, bibir luar melekuk dan bibir
dalam menonjol di bawah basis cangkang, pada operculum mengandung zat tanduk dan agak
keras. Kelenjar disekitar mata yang disebut eyebrows berwarna kuning muda sampai kuning
cerah. Jika dibandingkan dengan jenis keong yang lain seperti O.hupensis quadrasi
mempunyai warna kuning terang, dan pada O. hupensis chiui berwarna putih. Menurut
Kurniasih dkk. (2002), bahwa bentuk morfologi siput O. Hupensis lindoensis yang diambil
dari lembah Lindu dan Napu kemudian dipelihara di cawan petridish di Laboratorium
mempunyai cangkang berbentuk kerucut, berwarna coklat ke kuningan dan jernih,
mempunyai ukuran 6,5-7,5 mm pada siput dewasa, panjang 1-5 mm.
Siput bersifat ampibi artinya siput ini dapat hidup di daerah lembab tidak terlalu
banyak air dan tidak terlalu kering, apabila habitat siput dikeringkan atau selalu digenangi air
maka siput akan mati (Sudomo, 2006). Siput O. Hupensis lindoensis mengeluarkan cerkaria
(Gambar 1 b) yang bentuknya seperti berudu, mempunyai permukaan badan dan ekor yang
berduri halus dan ujung ekor bercabang, panjang badan 125 μm dan ekor 180-230 μm, batil
isap mulut bentuk oval dengan permukaan luar berduri, bentuk yang relatif sama juga
Cerkaria ini akan menginfeksi ke dalam tubuh manusia atau hewan yang selanjutnya akan
bertumbuh menjadi cacing yang disebut cacing schistosoma.

Gambar. Keong Oncomelania hupensis linduensis

Penularan schistosomiasis pada manusia


Penularan schistosomiasis terjadi apabila larva serkaria yang berada dalam air
menemukan inang definitive, dengan kata lain transmisi penyakit schistosomiasis pada
manusia terjadi apabila manusia berada pada lingkungan perairan yang sudah mengandung
larva serkaria dari S. japonicum. Schistosomiasis adalah masalah kesehatan masyarakat yang
berkaitan erat dengan masalah sosial budaya dan kemiskinan. Pada umumnya orang yang
terinfeksi adalah orang-orang yang mempunyai
kehidupan dekat dengan perairan atau tidak terpisahkan dengan lingkungan air. Masyarakat
di sebagian wilayah Indonesia mempunyai kebiasaan mandi, mencuci, mengambil air
disungai dan buang hajat disungai, parit, atau disawah. Kebiasaan mandi, mencuci, dan
mengambil air di sungai sangat beresiko terinfeksi S. japonicum. Mereka terinfeksi cacing S.
japonicum pada saat kontak dengan air yang terkontaminasi dengan larva serkaria yaitu pada
saat melakukan kegiatan harian tersebut. Selain kegiatan tersebut, infeksi S japonicum juga
berkaitan dengan pekerjaan. Bertani, memancing dan berburu dihutan merupakan pekerjaan
yang memiliki resiko sangat besar terhadap infeksi S. Japonicum.
Tingkat infeksi schistosomiasis pada manusia antara satu daerah dengan daerah
lainnya berbeda. Perbedaan pola keterpaparan menunjukkan adanya perbedaan kehidupan
sosial, ekonomi, dan perbedaan variasi ekologi dari satu daerah dengan daerah lainnya.
Menurut Carney et al. (1974) penderita schistosomiasis di lembah Napu terdiri dari semua
golongan umur dengan jumlah penderita terbanyak pada golongan umur 10-19 tahun dan 30-
39 tahun, yaitu mereka yang termasuk golongan umur produktif. Hasil penelitian ini
menunjukkan adanya hubungan antara infeksi dengan pekerjaan. Orang yang bekerja disawah
mempunyai resiko terinfeksi lebih besar dibandingkan anak-anak. Keterkaitan antara infeksi
S. japonicum dan pekerjaan juga ditemukan di China. Ross et al. (1998) melaporkan bahwa
di daerah danau Dongting China, infeksi schistosoma terjadi terutama pada laki-laki usia 18 -
49 tahun pada waktu menjelang sore hari saat memancing. Hasil penelitian yang berbeda
ditemukan di Lembah Besoa Sulteng, angka prevalensi yang tinggi terdapat pada usia 5-9
tahun 10- 19 tahun (Renimanora et al. 1988). Hal ini terjadi karena usia tersebut disamping
membantu orang tua mencari nafkah baik disawah maupun mencari kayu dihutan, mereka
juga sukar dilarang untuk tidak mandi atau bermain disuatu tempat yang kemungkinan sudah
tercemar serkaria.
Masalah dan Tantangan Untuk Pengendalian

Penularan schistosomiasis disuatu daerah dipengaruhi oleh berbagai faktor yang


saling berkaitan. keberadaan inang definitive yang rentan yaitu manusia dan hewan mamalia
merupakan salah satu faktor yang penting. Pada inang definitive tersebut cacing dewasa S.
japonicum hidup dan bertelur untuk melanjutkan siklus hidupnya. Luasnya inang definitive
yang dapat diinfeksi menjadi kendala dalam pengendalian schistosomiasis. S. japonicum
selain menginfeksi manusia juga dapat menginfeksi hewan mamalia, sehingga
schistosomiasis termasuk kedalam penyakit Zoonosis. Schistosomiasis dapat ditularkan dari
manusia ke hewan mamalia dan dari hewan mamalia ke manusia melalui perantaraan siput
Oncomelania.
Hewan mamalia mempunyai peranan yang sangat penting dalam transmisi
schistosomiasis sebagai inang reservoar. Selama ini hewan yang memiliki potensi dalam
proses transmisi schistosomiasis pada manusia di daerah endemis belum tersentuh program
pengendalian, sehingga terlihat walaupun tingkat infeksi sudah rendah pada manusia tetapi
pada hewan menunjukan angka yang masih cukup tinggi. Angka infeksi S. japonicum pada
tikus sebagai indikator penularan bervariasi antara 0 – 10,5 % (Sudomo, 2003). Data ini
menunjukan infeksi masih berlangsung terus menerus di daerah endemis.
Sumber infeksi akan selalu tersedia dari kontaminasi lingkungan oleh telur
schistosoma yang berasal dari hewan seperti anjing, kucing, ruminansia, babi dan hewan
mamalia lainnya. Untuk mengendalikan Schistosomiasis pada manusia tentu harus juga
dilakukan pengendalian pada hewan. Tanpa adanya pengendalian pada hewan, infeksi pada
manusia akan berlangsung terus menerus karena masih terdapat sumber penular yaitu hewan
reservoar. Hewan yang terinfeksi schistosoma akan menjadi sumber penular karena dari
hewan tersebut akan keluar telur schisosoma yang akan berkembang dilingkungan yang pada
akhirnya akan menjadi bentuk yang infektif untuk manusia setelah melakukan reproduksi
aseksual didalam siput. Untuk melakukan pengendalian schistosomiasis pada hewan
diperlukan pengetahuan tentang epidemiologi penyakit tersebut. Namun sayangnya sampai
saat ini pengetahuan tentang jenis hewan dan peranan hewan dalam penularan S. japonicum ,
serta informasi epidemiologi lainnya belum banyak diketahui.

Potensi Hewan Reservoir dalam Penularan Schistosomiasis


Cacing S. japonicum merupakan cacing yang mampu menginfeksi berbagai hewan
vertebrata termasuk manusia. Hewan yang mampu bertindak sebagai inng definitive untuk
cacing ini sangat luas karena bersifat non spesifik hospest. Keterbatasan hewan vertebrata
dapat bertindak sebagai inang definitive karena perbedaan peluang inang berkontak dengan
air. Tidak semua hewan menyenangi lingkungan berair sehingga peluang kontak dengan agen
infektif sangat kecil. Hasil penelitian menunjukan baik hewan peliharaan maupun hewan liar
disekitar hutan lindung terinfeksi S. japonicum. Menurut Ilyas (1988) Schistosoma japonicum
ditemukan pada 13 spesies hewan antara lain tikus hutan, rusa hutan, babi hutan, kucing
hutan dan hewan peliharaan (sapi, kerbau sawah, kuda dan anjing). Tingkat Prevalensi
Schistosomiasis diantara berbagai hewan bervariasi. Sudomo (1980) melaporkan infeksi S.
Japonicum pada anjing (29 %), babi (27 %), sapi (7 %), kerbau (10 %), kuda (2%) dan
kucing hutan (75 %). Sedangkan Renimanora (1988) melaporkan tingkat prevalensi pada
tikus adalah 6,25 % di desa Torire dan 10 % di desa Betue.
Hewan liar mempunyai peranan dalam memelihara siklus hidup S. japonicum di
dalam hutan dan di pemukiman. Hewan liar yang terinfeksi akan menjadi sumber penular
untuk hewan liar yang lainnya. Hewan liar tersebut akan mengeluarkan telur dalam tinjanya
dan akan menetas menjadi mirasidium yang infektif untuk siput. Adanya fokus siput sebagai
inang antara dihutan dan hewan liar yang rentan terhadap infeksi akan memudahkan
terjadinya proses penularan S. japonicum . Habitat primer siput Oncomelania hupensis
lindoensis sebagai inang antara adalah areal diantara hutan dan dataran rendah serta areal
ditengah hutan yang berawa yang selalu digenangi air (Hadidjaja dan Sudomo, 1976). Selain
dapat menginfeksi hewan liar, serkaria yang keluar dari siput akan menjadi sumber infeksi
untuk manusia dan anjing yang berburu dihutan atau orang-orang yang mengambil kayu yang
melalui fokus siput dimana serkaria terkumpul didaerah tersebut. Jadi hewan liar memiliki
peran dalam memelihara siklus S. japonicum didalam hutan dan secara tidak langsung
sebagai sumber penularan S. japonicum pada manusia.

Hewan peliharaan memiliki peranan sangat penting dalam proses penularan


schistosomiasis pada manusia di pemukiman. Dari beberapa hewan peliharaan yang dapat
terinfeksi S. japonicum, sapi dan kerbau merupakan inang reservoar potensial yang paling
penting untuk schistosomiasis pada manusia, sedangkan hewan ruminansia lainnya yaitu
kambing dan domba relative tidak penting. Walaupun kambing dan domba sangat rentan,
akan tetapi kurang menyukai lingkungan berair maka peluang terinfeksi sangat kecil sehingga
tidak memberikan kontribusi dalam transmisi secara keseluruhan Sedangkan sapi dan kerbau
mudah terinfeksi karena menyukai lingkungan berair dan juga digunakan untuk membajak
sawah. Selain itu hewan ini dibiarkan berkeliaran bebas mencari makan didaerah endemis,
termasuk disawah, dipegunungan, lembah dan disekitar danau. Hasil penelitian di China
menunjukkan didaerah rawa dimana S. japonicum endemis 5-40 % sapi/kerbau terinfeksi S.
japonicum (Ross et al.,2004).

Banyaknya kerbau yang terinfeksi akan memberikan kontribusi yang besar terhadap
proses penularan melalui kontaminasi telur pada lingkungan. Dibeberapa daerah dimana S.
japonicum endemis, proporsi terbesar (>70 %) kontaminasi lingkungan berasal dari defekasi
kerbau (Zeng, et al. 1997). Sapi dan kerbau merupakan hewan yang besar (500 kg), mampu
mengeluarkan tinja 100 kali lebih banyak dibanding manusia (25 kg/hari : 250 gram/hari).
Tinja sapi atau kerbau yang dideposit dekat atau dipermukaan air akan memberikan
kontribusi dalam penyebaran telur S. japonicum yang
pada akhirnya akan memberikan kontribusi yang besar dalam proses penularan. Selain
memiliki tubuh yang besar, sapi dan kerbau mampu hidup selama 10-12 tahun dapat
membawa sejumlah schistosme dan selama itu dapat menyebarkan telur cacing.

Anjing dan babi juga merupakan inang yang potensial penting dalam penularan
schistosomiasis. Tingkat prevalensi schistosomiasis pada kedua hewan tersebut didaerah
endemis cukup tinggi yaitu pada anjing 29 %, babi 27 % (Sudomo ,1980). Anjing dan babi
umumnya dipelihara secara bebas berkeliaran sehingga memiliki akses yang cukup besar
terhadap lingkungan perairan. Anjing selain dapat terinfeksi dalam wilayah pemukiman, juga
dapat terinfeksi dihutan karena sering digunakan untuk berburu. Tingginya angka infeksi
pada kedua hewan ini akan memberi kontribusi terhadap proses penularan melalui
kontaminasi telur pada lingkungan, walaupun tidak sebesar dibanding dengan sapi atau
kerbau.

Tikus merupakan hewan yang digunakan untuk indikator penularan disuatu daerah.
Hewan ini mampu hidup diberbagai habitat, karena mempunyai daya adaptasi yang tinggi
dan kosmopolitan. Daerah pesawahan, daerah berawa, maupun semak belukar dipinggiran
hutan merupakan habitat yang dapat ditempati tikus. Hidup pada habitat yang dekat dengan
lingkungan berair akan memudahkan tikus terinfeksi S. japonicum. Akan tetapi, walaupun
tikus dapat membawa infeksi tetapi relative tidak terlalu penting perananya dalam penularan
schistosomiosis pada manusia. Ukuran tikus yang relative kecil akan memberi kontribusi
pencemaran telur pada lingkungan yang sedikit karena tinja yang dikeluarkan juga sedikit.

Berdasarkan potensi hewan yang cukup besar dalam proses penularan


schistosomiasis, pengendalian schistosomiasis harus segera dilakukan selain pada manusia
juga pada hewan. Tahap pertama yang harus dilakukan adalah mengetahui epidemiologi
schistosomiasis pada hewan sebagai dasar untuk menentukan metoda pengendalian yang
tepat. Pengendalian schistosomiasis pada manusia yang disinergikan dengan pengendalian
pada hewan akan memberikan hasil yang lebih baik dalam upaya menekan angka infeksi dan
dengan usaha yang lebih keras akan dapat mengeliminasi penyakit di kedua daerah endemik.

Prevalensi Schistosomiasis pada Manusia dan ternak


Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat prevalensi schistosomiasis di desa Tomado
masih cukup tinggi yaitu 4,35%; kemudian berturut-turut diikuti desa Puroo (3,02%); desa
Anca (2,75%) dan desa Langko (1,9%). Hal tersebut berhubungan erat dengan jumlah habitat
yang ada di wilayah tersebut, semakin banyak jumlah habitat maka tingkat prevalensi juga
semakin tinggi. Penduduk yang terkontaminasi dengan cercaria juga berhubungan dengan
aktivitasnya di luar rumah. Menurut Anas (2007), reinfeksi schistosomiasis disebabkan oleh
tiga faktor utama yaitu pekerjaan, pemanfaatan jamban keluarga, dan pemanfaatan sarana air
bersih Mata rantai penularan yang paling vital adalah pada siput carrier (pembawa). Olehnya
usaha menekan atau menghilangkan sifat pembawa maka penularan schistosomiasis akan
terhenti. Selain itu Rosmini (2009) melaporkan bahwa prevalensi schistosomiasis pada
manusia di lembah Napu lebih tinggi yaitu antara 6,1-6,9%. Hal ini mengindikasikan bahwa
pemberantasan dengan pemberian obat kepada penderita belum efektif karena penularan akan
terus berlangsung dengan siklus silvatik di alam.

Shistosomiasis adalah penyakit parasitik yang bersifat zoonosis yang selain menginfeksi
manusia juga menginfeksi hewan, sehingga walaupun prevalensi pada manusia telah rendah
tetapi akan terjadi reinfeksi secara terus-menerus (Sudomo dan Sasono, 2007). Hasil
penelitian menunjukkan bahwa tingkat prevalensi schistosomiasis pada hewan (ternak) yaitu
kerbau (39,36 %), sapi (39,32 %), dan babi (22,5 %). Tingkat prevalensi yang tinggi terdapat
pada kerbau dan sapi. Hal ini berhubungan dengan tempat penggembalaan dari ternak
tersebut, sehingga secara tidak langsung pada saat mencari
pakan, siput Ongcomelania atau cercaria terikut bersama pakan masuk ke dalam saluran
pencernaan. Di dalam tubuh ternak cercaria ini akan bertumbuh menjadi cacing dewasa yang
disebut schistosoma. Cacing schistosoma inilah yang berkembang dalam tubuh ternak
sehingga mengganggu pertumbuhan
dari ternak tersebut. Selain ini juga dari feces ternak akan terkontaminasi ke ternak lain atau
ke manusia Hal tersebut tidak bisa dibiarkan karena dengan perkembangan cacing tersebut
dapat mengganggu pertumbuhan ternak.

Jumlah nutrien yang masuk ke dalam tubuh ternak sebagian digunakan untuk
pertumbuhan cacing tersebut sehingga ternak menjadi kurus dan sakit akibat tidak terpenuhi
nutrien yang dibutuhkan. Kalau pada ternak babi tingkat prevalensi lebih rendah dari ke dua
jenis ternak tersebut, sebagaimana diketahui bahwa ternak babi yang ada diwilayah tersebut
umumnya dikandangkan pada malam hari, dan pada siang hari di lepas. Bahan pakan ternak
babi juga sebagian besar yang diberikan dedak dan jagung giling ditambah dengan umbi-
umbian. Kemungkinan kontaminasi terjadi pada saat mencari pakan di luar kandang pada
siang hari.

Kerentanan Schistosoma japonicum terhadap Praziquantels

Upaya kuratif yang dilakukan sejak tahun 1978 dalam upaya menurunkan kasus
schistosomiasis pada manusia di Indonesia adalah dengan melakukan pengobatan selektif
maupun massal dengan menggunakan praziquantel. Praziquantel adalah obat pilihan dan
kemungkinan merupakan satu-satunya obat yang efektif yang tersedia saat ini untuk
mengobati schistosomiasis pada manusia Penggunaan praziquantel yang berlangsung lama
dan terus menerus sebagai obat schistosomiasis dikhawatirkan akan dapat meningkatkan
sistem kekebalan tubuh pada Schistosoma japonicum dan sensitifitasnya akan menurun, atau
bahkan dapat menimbulkan resistensi obat. Resistensi terhadap praziquantel telah dilaporkan
sehingga perlu dilakukan penelitian untuk penemuan obat baru Di Indonesia belum pernah
dilakukan penelitian kerentanan cacing S. japonicum terhadap praziquantel. Oleh karena itu
perlu dilakukan kajian terhadap obat tersebut pada S. japonicum untuk mengetahui
sensitifitasnya setelah pemakaiannya di Indonesia sejak tahun 1980-an sampai dengan saat
ini. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kerentanan cacing Schistosoma japonicum di
Indonesia, mengingat schistosomiasis di Indonesia hanya ditemukan di Sulawesi Tengah,
terhadap praziquantel dengan studi di lapangan, yaitu dengan pemeriksaan ada/tidak telur S.
japonicum pada tinja sampel, pada minggu ketiga, keenam, kesembilan, dan kedua belas
setelah pengobatan pertama setelah pemberian praziquantel.

Pengobatan dengan praziquantel merupakan salah satu dari upaya pengendalian


schistosomiasis yang terintegrasi, yang meliputi pengendalian siklus penularan, hewan
reservoir, perbaikan infrastruktur dan pendidikan kesehatan yang terbukti efektif dalam
mengontrol schistosomiasis di Cina. Praziquantel yang digunakan di daerah endemis
schistosomiasis saat ini diproduksi oleh Merck, Jerman. Obat ini memiliki spektrum luas
melawan cacing trematoda dan cestoda. Target penyakit dari obat ini meliputi
schistosomiasis, clonorchiasis dan opisthorchiasis, paragonimiasis, heterophyidiasis,
echinostomiasis, fasciolopsiasis, neodiplostomiasis, gymnophalloidiasis, taeniases,
diphyllobothriasis, hymenolepiasis, dan cysticercosis. Praziquantel memiliki efikasi yang
tinggi, efek samping ringan, pemberian mudah, harga terjangkau, tidak beracun bagi hewan,
sehingga menjadi obat pilihan (drug of choice) untuk schistosomiasis. Praziquantel diserap
dengan cepat melalui usus dan mencapai konsentrasi plasma maksimal pada 1-2 jam setelah
pemberian secara oral. Metabolisme praziquantel terjadi di hati oleh sistem cytochrome
p450. Ekskresi praziquantel terjadi melalui urin (60-80 %), empedu dan feses (15-35 %), dan
terjadi 24 setelah jam pengobatan. Praziquantel adalah obat yang aman digunakan, baik pada
orang dewasa, anak-anak maupun wanita hamil. Sejak tahun 1980an praziquantel merupakan
obat pilihan yang digunakan untuk pengobatan schistosomiasis di daerah endemis Napu dan
Lindu, Sulawesi Tengah Indonesia. Angka kesembuhan schistosomiasis karena S. japonicum
dengan pemberian praziquantel menurut WHO adalah di atas 90 %.

Penelitian sebelumnya mengenai kemoterapi pada manusia menunjukkan bahwa dosis


40 atau 50 mg/kg dapat mencapai angka kesembuhan 97,6–100 %.5,15 Beberapa penelitian
terdahulu menunjukkan bahwa peningkatan dosis dan pembagian dosis tidak menghasilkan
perbedaan yang signifikan pada angka kesembuhan. Penelitian menunjukkan tingkat
kesembuhan akibat S. haematobium tiga minggu setelah pengobatan dengan praziquantel
berkisar antara 49,9-98,4 % di Nigeria Barat. Tingkat kesembuhan akibat S. mansoni setelah
pemberian praziquantel di negara tersebut berkisar 51,7-60,2 %.17 Penelitian di Sinegal
menujukkan tingkat kesembuhan (cure rates) akibat S. haematobium berkisar (38-96 %)
dengan Egg Reduction Rates (ERRs) (97-99 %).11 Pada sebuah penelitian di Uganda, efikasi
praziquantel terhadap S. haematobium masih bagus dan hampir sama antara praziquantel
bentuk sirup maupun tablet yang digerus.18 Sebuah penelitian meta analisis menyatakan
bahwa praziquantel masih efektif untuk pengobatan schistosomiasis dan dosis yang
dinaikkan akan meningkatkan efikasi praziquantel, baik terhadap cacing S. haematobium, S.
japonicum maupun S. Mansoni. Penelitian terhadap pasien schistosomiasis di Kenya, Etiopia
dan Uganda menunjukkan bahwa pemberian praziquantel mengurangi pembentukan jaringan
ikat/fibrosis pada jaringan hati. Hal tersebut dapat dijelaskan karena praziquantel membunuh
cacing dewasa sehingga mengurangi jumlah telur cacing yang terperangkap di jaringan hati.
Selain itu akhir-akhir ini diketahui bahwa praziquantel selain sebagai anti cacing, juga
memiliki kemampuan sebagai anti-inflamasi. Dengan demikian, praziquantel tidak hanya
mengeliminasi cacing, tetapi mempengaruhi respon imun tubuh inang.

Penelitian terhadap pasien schistosomiasis di Kenya, Etiopia dan Uganda


menunjukkan bahwa pemberian praziquantel mengurangi pembentukan jaringan ikat/fibrosis
pada jaringan hati. Hal tersebut dapat dijelaskan karena praziquantel membunuh cacing
dewasa sehingga mengurangi jumlah telur cacing yang terperangkap di jaringan hati. Selain
itu akhir-akhir ini diketahui bahwa praziquantel selain sebagai anti cacing, juga memiliki
kemampuan sebagai anti-inflamasi. Dengan demikian, praziquantel tidak hanya
mengeliminasi cacing, tetapi mempengaruhi respon imun tubuh inang.

Penelitian secara molekuler menyebutkan bahwa resistensi obat pada cacing dapat
disebabkan oleh peran pompa efflux (efflux pump) seperti protein ATP-binding, termasuk P-
glycoprotein dan famili protein yang berhubungan dengan resistensi obat. Kombinasi
praziquantel dengan senyawa Pgp modulator alami atau sintetis dapat menjadi strategi efektif
untuk pengobatan pada kasus infeksi S. mansoni yang terkonfirmasi resisten terhadap
praziquantel. Prevalensi schistosomiasis di Indonesia sejak penggunaan praziquantel sebagai
kemoterapi yang diberikan secara massal menunjukkan angka penurunan, akan tetapi
prevalensi kembali meningkat sejak tahun 2004 sampai dengan tahun 2010. Peningkatan
kembali prevalensi tersebut mungkin disebabkan karena schistosomiasis di Indonesia
disebabkan oleh S. japonicum yang sifatnya zoonosis sejati. Beberapa hewan mamalia seperti
tikus, kerbau, babi, anjing, sapi dan sebagainya diketahui sebagai hospes reservoir S.
japonicum di wilayah endemis Napu dan Lindu, Sulawesi Tengah. Prevalensi
schistosomiasis pada ternak di daerah endemis Lindu masih di atas 1 %. Penelitian tahun
2011 menunjukkan angka prevalensi schistosomiasis pada hewan mamalia di empat Desa
Lindu, yaitu kerbau (36,4-47,5 %), sapi (16,7-33 %), dan babi (8,3-20 %).24

Pengendalian schistosomiasis pada ternak mamalia selama ini dilakukan oleh Dinas
Peternakan dan Kesehatan Hewan baik Provinsi Sulawesi Tengah maupun Kabupaten Poso
dan Sigi. Akan tetapi, pengendalian tersebut masih terbatas pada ternak mamalia yang
dipelihara, dengan pemberian praziquantel. Penanganan belum dilakukan pada hewan
mamalia liar, seperti tikus, babi hutan, kerbau dan sapi liar yang masih banyak berada di
dalam kawasan hutan. Keberadaan hewan tersebut menyebabkan siklus penularan
schistosomiasis dapat terus berlangsung melalui siklus silvatik. Dengan demikian
pemberantasan schistosomiasis tidak dapat hanya pada sektor kesehatan manusia saja,
melainkan juga sektor lingkungan meliputi mengurangi fokus keong perantara maupun
penanganan hewan mamalia yang dapat menjadi reservoir. Penduduk yang menjadi sampel
dalam penelitian ini merupakan penduduk yang menetap di daerah endemis untuk waktu yang
lama, sehingga mereka selalu mendapatkan obat praziquantel saat dilakukan pengobatan
massal schistosomiasis. Dengan demikian, kemungkinan mulai berkembangnya resistensi S.
japonicum terhadap obat praziquantel dapat saja terjadi.
Tabel 1. Rerata Kepadatan Telur Cacing S. japonicum Sebelum dan Setelah Pemberian
Praziquantel (60mg/kg) pada Sampel Penderita di Napu dan Lindu, Sulawesi Tengah

Hasil pemeriksaan tinja pada Tabel 1. menunjukkan belum adanya penurunan


kerentanan S. japonicum terhadap praziquantel di daerah endemis Napu dan Lindu meskipun
penggunaan praziquantel telah berlangsung lama dan dalam skala yang luas. Mekanisme
kerja praziquantel diketahui melalui saluran ion kalsium sehingga merusak tegumen cacing
dewasa.25,26 Cacing Schistosoma diketahui muda kurang rentan terhadap praziquantel. Pada
Tabel 1 juga dapat dilhat terjadi penurunan jumlah sampel yang mengumpulkan tinja,
meskipun angka kesembuhan dari sampel yang terkumpul masih menunjukkan 100 %.
Penurunan tersebut dapat disebabkan karena faktor kejenuhan penduduk untuk menyetor
tinjanya setiap tiga minggu untuk diperiksa, meskipun sampel sudah menyetujui informed
consent untuk pemeriksaan tinja.

Anda mungkin juga menyukai