PENDAHULUAN
Schistosomiasis adalah penyakit infeksi parasit kronis yang disebabkan oleh cacing
darah (Trematoda) dari genus Schistosoma. Schistosoma berbeda dari Trematoda jenis
lainnya karena mereka hidup di dalam sistem pembuluh darah dan memiliki jenis kelamin
jantan dan betina yang terpisah (Andrew, 2009).
Menurut Zhou et al. (2013) ada lima spesies Schistosoma yang ditemukan pada
manusia, tetapi lebih 90% dari semua infeksi ini hanya disebabkan oleh tiga spesies penting
yaitu: Schistosoma mansoni, Schistosoma japonicum, dan Schistosoma haematobium. Dua
spesies lainnya yang jarang terjadi adalah Schistosoma interculatum dan Schistosoma
mekongi.
Schistosomiasis lazim terjadi pada daerah tropis dan sub-tropis, khususnya pada
masyarakat miskin tanpa akses air minum yang aman, sanitasi, serta infrastruktur kesehatan
2
publik yang tidak memadai. Setelah malaria dan penyakit cacing, schistosomiasis adalah
penyakit tropis yang paling dahsyat ketiga di dunia. Ini menjadi sumber utama morbiditas dan
mortalitas bagi negara-negara berkembang di Afrika, Amerika Selatan, Karibia, Timur
Tengah, dan Asia (Vrisca et al. 2015).
Lebih dari 200 juta orang menderita Schistosomiasis, 20 juta diantaranya menderita
sakit berat, dan 120 juta menunjukkan tanda-tanda klinis di seluruh dunia. Serta menjadi
ancaman bagi 500-600 juta orang di 74 negara berkembang.6 Schitosomiasis tersebar di
seluruh dunia meliputi negara-negara Asia, Afrika, Amerika Latin dan Timur Tengah. Di
Asia, cacing ini tersebar di tujuh negara, antara lain Jepang, Cina, Philipina, Indonesia,
Malaysia, Kamboja, Laos dan Thailand. Di Asia penyakit ini umumnya disebabkan oleh
cacing Schistosoma japonicum.
Pada tahun 2011 dilaporkan oleh WHO, ada 243 juta orang memerlukan pengobatan
untuk schistosomiasis, dengan jumlah orang yang dilaporkan telah dirawat untuk
schistosomiasis pada tahun 2011 adalah 28,1 juta. Secara global, ditemukan 200.000
kematian yang dikaitkan dengan schistosomiasis per tahun. Variasi dalam perkiraan
prevalensi tergantung pada karakter fokus dari epidemiologi. Distribusi umum mencakup
wilayah yang sangat besar, terutama di Afrika, tetapi juga di Timur Tengah, Amerika Selatan
dan Asia Tenggara.
Menurut Sudomo (2008) schistosomiasis ditemukan endemik di dua daerah di
Sulawesi Tengah, yaitu di Dataran Tinggi Lindu dan Dataran Tinggi Napu. Secara
keseluruhan penduduk yang berisiko tertular schistosomiasis (population of risk) sebanyak
15.000 orang. Penelitian schistosomiasis di Indonesia telah dimulai pada tahun 1940 yaitu
sesudah ditemukannya kasus schistosomiasis di Tornado, Dataran Tinggi Lindu, Kecamatan
Kulawi, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah pada tahun 1935. Pada tahun 1940
Sandground dan Bonne mendapatkan 53% dari 176 penduduk yang diperiksa tinjanya positif
ditemukan telur cacing Schistosoma. Pemberantasan schistosomiasis telah dilakukan sejak
tahun 1974 dengan berbagai metoda yaitu pengobatan penderita dengan Niridazole dan
pemberantasan siput penular (O. hupensis lindoensis) dengan molusisida dan
agroengineering.
Penyakit ini baru ditemukan di lembah Lindu (Kec. Kulawi, Kab. Donggala) dan
lembah Napu-Besoa (Kec. Lore Utara, Kab. Poso), keduanya terletak di Sulawesi Tengah.
Schistosomiasis masih menjadi ancaman bagi lebih dari 25.000 penduduk di kedua daerah
endemis tersebut. Prevalensi Schistosomiasis di lembah Lindu pada tahun 2003 (0.64%) dan
tahun 2004 (0,17%) memperlihatkan kecenderungan yang menurun. Sementara di lembah
Napu pada tahun 2003 (0.70%) dan tahun 2004 (1,71%) memperlihatkan kecenderungan
yang meningkat. Kondisi yang berfluktuasi ini akan semakin meningkat dan meluas
sehubungan dengan migrasi penduduk, pembangunan, perkembangan ekonomi dan
perdagangan khususnya daging mamalia yang menjadi hospes reservoir. Kemajuan
pembangunan yang membuka daerah endemik Schistosomiasis yang dahulunya terisolasi.
Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis tertarik untuk mengkaji penyakit
Schistosomiasis japonicum.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Telur cacing dalam tinja manusia atau hewan dilingkungan yang berair akan segera menetas
dan mengeluarkan larva yang dissebut mirasidium. Masa hidup mirasidium sangat singkat,
oleh karena itu harus segera menemukan siput yang bertindak sebagai inang antaranya yaitu
siput Oncomelania. Jika larva ini tidak menemukan siput Oncomelania , dalam waktu 12 jam,
larva ini akan mati. Mirasidium
berenang dengan bantuan silia sampai mendapatkan spesies siput yang cocok sebagai inang
antara. Bila berhasil menemukan siput, mirasidum melakukan penetrasi kedalam tubuh siput
dan melakukan perubahan bentuk menyerupai kantung yang disebut sporokista. Di dalam
tubuh sporokista memperbanyak diri secara aseksual menghasilkan ratusan serkaria. Ketika
serkaria lolos keluar dari siput, serkaria mampu menginfeksi manusia dan hewan yang rentan.
Dilingkungan berair serkaria berenang menggunakan ekornya sampai mendapatkan inang
definitive.
Manusia atau hewan terinfeksi pada saat kontak dengan air yang terkontaminasi dengan
serkaria. Serkaria masuk kedalam tubuh manusia melalui kulit. Pada saat memasuki kulit
manusia, serkaria melepaskan ekornya dan berubah menjadi cacing muda (sistosomula).
Selanjutnya cacing ini menembus jaringan memasuki pembuluh darah masuk kedalam
jantung dan paru-paru untuk selanjutnya masuk kedalam vena porta disekitar hati. Cacing
dewasa dalam vena porta akan berpasangan dimana cacing betina akan masuk kedalam
celah/saluran ( canalis ginecophoric) yang terdapat disepanjang tubuh cacing jantan. Pada
akhirnya pasangan-pasangan cacing S. japonicum bersama-sama pindah ketempat tujuan
terakhir yaitu pembuluh darah usus kecil (vena mesenterika) yang merupakan habitatnya dan
sekaligus tempat bertelur.
Inang antara
Oncomelania hupensis Lindoensis merupakan salah satu jenis siput endemik yang
terdapat dalam kawasan TamanNasional Lore Lindu. Jenis siput inimerupakan perantara
(hospes) dari cacing shistosoma yang dapat menyebabkanpenyakit sisto (shistosomiasis) pada
manusia dan hewan. Pada tubuh siput tersebutberkembang cerkaria yang pada waktu tertentu
keluar mencari hospes untuk bertumbuh lebih lanjut. Apabila mendapatkan hospes maka
mirasidium tersebut akan masukke dalam tubuh manusia atau hewan dengan menembus kulit,
selanjutnya akan masukdalam pembuluh darah dan bertumbuh menjadi cacing dewasa yang
disebut schistosoma. Jenis cacing yang menyerang hewan dan manusia adalah
S.haematobium,S.mansoni, S. japonicum, S.intercalatum, dan S.mekongi (Putrali dkk. 1988).
Pada siput O.hupensis Lindoensis ditemukan jenis cacing S. japonicum (Davis dan
Carney,1973). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa persebaran habitat siput O.hupensis
lindoensis tertera pada Tabel 2. Jumlah habitat secara keseluruhan yaitu 144 fokus dengan
distribusi persebaran 44,44% (sawah), 29,86% (kebun), 18,06% (padang rumput), dan 7,64%
(hutan). Secara umum habitat siput Ongcomelania adalah daerah genangan air jernih dengan
banyak rumput atau daun-daunan jatuh. Pada areal persawahan, siput banyak ditemukan pada
sawah yang tidak diolah atau pada saluran irigasi dengan air tergenang dan banyak rumput.
Siput didapatkan menempel pada batang rumput atau pada daun, dan apabila air surut maka
siput akan masuk ke dalam tanah. Siput dapat ditemukan sampai kedalaman 15 cm dalam
tanah lembab apabila air surut, dan akan naik ke permukaan apabila daerah tersebut
tergenang air. Jenis siput ini tidak dapat bertahan hidup lama dalam air akan tetapi menyukai
daerah yang lembab. Pada areal perkebunan ditemukan pada kebun coklat. dan kopi yang
lembab dan dialiri dengan air, siput Ongcomelania didapatkan menempel pada daun-daun
atau tangkai tanaman yang jatuh dan di daerah tersebut lembab dan terdapat genangan air.
Pada areal padang rumput umumnya ditemukan pada padang rumput yang sering digenangi
air, siput didapatkan menempel pada batang rumput parapa atau tanaman yang tumbuh di
wilayah tersebut. Selanjutnya pada areal hutan didapatkan pada daerah hutan yang
merupakan pinggiran danau lindu, daerah lembab dan digenangi air, umumnya menempel
pada batang paku-pakuan atau tanaman lain yang tumbuh di sekitat tempat tersebut.
Hadidjaja (1982) yang melaporkan bahwa temperatur optimal untuk habitat siput
Ongcomelania yaitu pada kisaran 16-28 °C dengan pH air 6-8, kondisi air yang ada pada
habitat siput tersebut adalah jernih dan tergenang. Jenis vegetasi dari setiap jenis habitat
berbeda-beda seperti pada tergenang. Jenis vegetasi dari setiap jenis habitat berbeda-beda
seperti pada habitat di persawahan didominasi dengan rumputrumputan dan legum, di
perkebunan tergantung jenis tanaman seperti pada kebun coklat dan kopi yang lembab dan
kadangkadang tergenang air. Pada habitat padang rumput didominasi jenis vegetasi seperti
parapa (sejenis rumput gajah yang banyak tumbuh didaerah rawa), rumput alam dan paku-
pakuan, sedangkan pada habitat hutan didominasi semak-semak dan paku-pakuan.
Hasil analisis dan identifikasi jenis tanah menunjukkan bahwa pada habitatdidominasi tekstur
tanah berpasir dengan kandungan pasir < 60% dan termasuk dalam kelas tekstur lempung
berpasir (Hanafiah et al. 2005). Apabila tekstur tanah diketahui maka gambaran umum
tentang sifat fisik tanah dapat diperkirakan. Tekstur tanah berperan dalam kemampuan
menahan air, aerasi dan konsistensi tanah. Menurut Hardjowigeno (2007) bahwa tanah
bertekstur kasar mempunyai daya tahan air lebih kecil bila dibandingkan dengan tanah yang
bertekstur liat karena mempunyai luas permukaan yang lebih lebar. Keasaman (pH) tanah
pada kisaran 6,10-6,90 dan termasuk pH netral, dengan kandungan bahan organik tanah (C
dan N) yang relatif rendah (< 5 %). Hanafiah et al. (2005) menyatakan bahwa kandungan
bahan organik tanah secara umum 5% dari bobot total tanah, walaupun jumlahnya relatif
rendah namun mempunyai peranan penting baik secara fisik, kimia maupun biologis. Bahan
organik berperan dalam menambah kemampuan tanah untuk menahan air sehingga tanah
tetap lembab dan memperbaiki struktur dan porositas tanah.
Morfologi Siput
Jenis siput yang merupakan reservoir dari schistosomiasis adalah O.hupensis lindoensis
dengan bentuk morfologis tertera pada Gambar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
bentuk morfologis siput O.hupensis lindoensis mempunyai ukuran cukup kecil dengan
panjang 3-5 mm dengan cangkang berbentuk kerucut dan berwarna coklat agak
kehitamhitaman, secara umum didapatkan pada akarakat
rumput atau melekat pada ranting pohon, bersifat amfibi (amphibious) sehingga tidak dapat
hidup pada daerah tergenang air atau di daerah kering.
Hal yang sama juga dilaporkan oleh Hadidjaja (1982) bahwa siput O.hupensis
lindoensis (Gambar) mempunyai cangkang yang berbentuk kerucut, permukaan licin
berwarna coklat kekuningkuningan dan agak jernih bila dibersihkan dengan lingkar 6,5-7,5
mm dan panjang 5,2±0,6 mm dengan ambilicus yang terbuka, bibir luar melekuk dan bibir
dalam menonjol di bawah basis cangkang, pada operculum mengandung zat tanduk dan agak
keras. Kelenjar disekitar mata yang disebut eyebrows berwarna kuning muda sampai kuning
cerah. Jika dibandingkan dengan jenis keong yang lain seperti O.hupensis quadrasi
mempunyai warna kuning terang, dan pada O. hupensis chiui berwarna putih. Menurut
Kurniasih dkk. (2002), bahwa bentuk morfologi siput O. Hupensis lindoensis yang diambil
dari lembah Lindu dan Napu kemudian dipelihara di cawan petridish di Laboratorium
mempunyai cangkang berbentuk kerucut, berwarna coklat ke kuningan dan jernih,
mempunyai ukuran 6,5-7,5 mm pada siput dewasa, panjang 1-5 mm.
Siput bersifat ampibi artinya siput ini dapat hidup di daerah lembab tidak terlalu
banyak air dan tidak terlalu kering, apabila habitat siput dikeringkan atau selalu digenangi air
maka siput akan mati (Sudomo, 2006). Siput O. Hupensis lindoensis mengeluarkan cerkaria
(Gambar 1 b) yang bentuknya seperti berudu, mempunyai permukaan badan dan ekor yang
berduri halus dan ujung ekor bercabang, panjang badan 125 μm dan ekor 180-230 μm, batil
isap mulut bentuk oval dengan permukaan luar berduri, bentuk yang relatif sama juga
Cerkaria ini akan menginfeksi ke dalam tubuh manusia atau hewan yang selanjutnya akan
bertumbuh menjadi cacing yang disebut cacing schistosoma.
Banyaknya kerbau yang terinfeksi akan memberikan kontribusi yang besar terhadap
proses penularan melalui kontaminasi telur pada lingkungan. Dibeberapa daerah dimana S.
japonicum endemis, proporsi terbesar (>70 %) kontaminasi lingkungan berasal dari defekasi
kerbau (Zeng, et al. 1997). Sapi dan kerbau merupakan hewan yang besar (500 kg), mampu
mengeluarkan tinja 100 kali lebih banyak dibanding manusia (25 kg/hari : 250 gram/hari).
Tinja sapi atau kerbau yang dideposit dekat atau dipermukaan air akan memberikan
kontribusi dalam penyebaran telur S. japonicum yang
pada akhirnya akan memberikan kontribusi yang besar dalam proses penularan. Selain
memiliki tubuh yang besar, sapi dan kerbau mampu hidup selama 10-12 tahun dapat
membawa sejumlah schistosme dan selama itu dapat menyebarkan telur cacing.
Anjing dan babi juga merupakan inang yang potensial penting dalam penularan
schistosomiasis. Tingkat prevalensi schistosomiasis pada kedua hewan tersebut didaerah
endemis cukup tinggi yaitu pada anjing 29 %, babi 27 % (Sudomo ,1980). Anjing dan babi
umumnya dipelihara secara bebas berkeliaran sehingga memiliki akses yang cukup besar
terhadap lingkungan perairan. Anjing selain dapat terinfeksi dalam wilayah pemukiman, juga
dapat terinfeksi dihutan karena sering digunakan untuk berburu. Tingginya angka infeksi
pada kedua hewan ini akan memberi kontribusi terhadap proses penularan melalui
kontaminasi telur pada lingkungan, walaupun tidak sebesar dibanding dengan sapi atau
kerbau.
Tikus merupakan hewan yang digunakan untuk indikator penularan disuatu daerah.
Hewan ini mampu hidup diberbagai habitat, karena mempunyai daya adaptasi yang tinggi
dan kosmopolitan. Daerah pesawahan, daerah berawa, maupun semak belukar dipinggiran
hutan merupakan habitat yang dapat ditempati tikus. Hidup pada habitat yang dekat dengan
lingkungan berair akan memudahkan tikus terinfeksi S. japonicum. Akan tetapi, walaupun
tikus dapat membawa infeksi tetapi relative tidak terlalu penting perananya dalam penularan
schistosomiosis pada manusia. Ukuran tikus yang relative kecil akan memberi kontribusi
pencemaran telur pada lingkungan yang sedikit karena tinja yang dikeluarkan juga sedikit.
Shistosomiasis adalah penyakit parasitik yang bersifat zoonosis yang selain menginfeksi
manusia juga menginfeksi hewan, sehingga walaupun prevalensi pada manusia telah rendah
tetapi akan terjadi reinfeksi secara terus-menerus (Sudomo dan Sasono, 2007). Hasil
penelitian menunjukkan bahwa tingkat prevalensi schistosomiasis pada hewan (ternak) yaitu
kerbau (39,36 %), sapi (39,32 %), dan babi (22,5 %). Tingkat prevalensi yang tinggi terdapat
pada kerbau dan sapi. Hal ini berhubungan dengan tempat penggembalaan dari ternak
tersebut, sehingga secara tidak langsung pada saat mencari
pakan, siput Ongcomelania atau cercaria terikut bersama pakan masuk ke dalam saluran
pencernaan. Di dalam tubuh ternak cercaria ini akan bertumbuh menjadi cacing dewasa yang
disebut schistosoma. Cacing schistosoma inilah yang berkembang dalam tubuh ternak
sehingga mengganggu pertumbuhan
dari ternak tersebut. Selain ini juga dari feces ternak akan terkontaminasi ke ternak lain atau
ke manusia Hal tersebut tidak bisa dibiarkan karena dengan perkembangan cacing tersebut
dapat mengganggu pertumbuhan ternak.
Jumlah nutrien yang masuk ke dalam tubuh ternak sebagian digunakan untuk
pertumbuhan cacing tersebut sehingga ternak menjadi kurus dan sakit akibat tidak terpenuhi
nutrien yang dibutuhkan. Kalau pada ternak babi tingkat prevalensi lebih rendah dari ke dua
jenis ternak tersebut, sebagaimana diketahui bahwa ternak babi yang ada diwilayah tersebut
umumnya dikandangkan pada malam hari, dan pada siang hari di lepas. Bahan pakan ternak
babi juga sebagian besar yang diberikan dedak dan jagung giling ditambah dengan umbi-
umbian. Kemungkinan kontaminasi terjadi pada saat mencari pakan di luar kandang pada
siang hari.
Upaya kuratif yang dilakukan sejak tahun 1978 dalam upaya menurunkan kasus
schistosomiasis pada manusia di Indonesia adalah dengan melakukan pengobatan selektif
maupun massal dengan menggunakan praziquantel. Praziquantel adalah obat pilihan dan
kemungkinan merupakan satu-satunya obat yang efektif yang tersedia saat ini untuk
mengobati schistosomiasis pada manusia Penggunaan praziquantel yang berlangsung lama
dan terus menerus sebagai obat schistosomiasis dikhawatirkan akan dapat meningkatkan
sistem kekebalan tubuh pada Schistosoma japonicum dan sensitifitasnya akan menurun, atau
bahkan dapat menimbulkan resistensi obat. Resistensi terhadap praziquantel telah dilaporkan
sehingga perlu dilakukan penelitian untuk penemuan obat baru Di Indonesia belum pernah
dilakukan penelitian kerentanan cacing S. japonicum terhadap praziquantel. Oleh karena itu
perlu dilakukan kajian terhadap obat tersebut pada S. japonicum untuk mengetahui
sensitifitasnya setelah pemakaiannya di Indonesia sejak tahun 1980-an sampai dengan saat
ini. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kerentanan cacing Schistosoma japonicum di
Indonesia, mengingat schistosomiasis di Indonesia hanya ditemukan di Sulawesi Tengah,
terhadap praziquantel dengan studi di lapangan, yaitu dengan pemeriksaan ada/tidak telur S.
japonicum pada tinja sampel, pada minggu ketiga, keenam, kesembilan, dan kedua belas
setelah pengobatan pertama setelah pemberian praziquantel.
Penelitian secara molekuler menyebutkan bahwa resistensi obat pada cacing dapat
disebabkan oleh peran pompa efflux (efflux pump) seperti protein ATP-binding, termasuk P-
glycoprotein dan famili protein yang berhubungan dengan resistensi obat. Kombinasi
praziquantel dengan senyawa Pgp modulator alami atau sintetis dapat menjadi strategi efektif
untuk pengobatan pada kasus infeksi S. mansoni yang terkonfirmasi resisten terhadap
praziquantel. Prevalensi schistosomiasis di Indonesia sejak penggunaan praziquantel sebagai
kemoterapi yang diberikan secara massal menunjukkan angka penurunan, akan tetapi
prevalensi kembali meningkat sejak tahun 2004 sampai dengan tahun 2010. Peningkatan
kembali prevalensi tersebut mungkin disebabkan karena schistosomiasis di Indonesia
disebabkan oleh S. japonicum yang sifatnya zoonosis sejati. Beberapa hewan mamalia seperti
tikus, kerbau, babi, anjing, sapi dan sebagainya diketahui sebagai hospes reservoir S.
japonicum di wilayah endemis Napu dan Lindu, Sulawesi Tengah. Prevalensi
schistosomiasis pada ternak di daerah endemis Lindu masih di atas 1 %. Penelitian tahun
2011 menunjukkan angka prevalensi schistosomiasis pada hewan mamalia di empat Desa
Lindu, yaitu kerbau (36,4-47,5 %), sapi (16,7-33 %), dan babi (8,3-20 %).24
Pengendalian schistosomiasis pada ternak mamalia selama ini dilakukan oleh Dinas
Peternakan dan Kesehatan Hewan baik Provinsi Sulawesi Tengah maupun Kabupaten Poso
dan Sigi. Akan tetapi, pengendalian tersebut masih terbatas pada ternak mamalia yang
dipelihara, dengan pemberian praziquantel. Penanganan belum dilakukan pada hewan
mamalia liar, seperti tikus, babi hutan, kerbau dan sapi liar yang masih banyak berada di
dalam kawasan hutan. Keberadaan hewan tersebut menyebabkan siklus penularan
schistosomiasis dapat terus berlangsung melalui siklus silvatik. Dengan demikian
pemberantasan schistosomiasis tidak dapat hanya pada sektor kesehatan manusia saja,
melainkan juga sektor lingkungan meliputi mengurangi fokus keong perantara maupun
penanganan hewan mamalia yang dapat menjadi reservoir. Penduduk yang menjadi sampel
dalam penelitian ini merupakan penduduk yang menetap di daerah endemis untuk waktu yang
lama, sehingga mereka selalu mendapatkan obat praziquantel saat dilakukan pengobatan
massal schistosomiasis. Dengan demikian, kemungkinan mulai berkembangnya resistensi S.
japonicum terhadap obat praziquantel dapat saja terjadi.
Tabel 1. Rerata Kepadatan Telur Cacing S. japonicum Sebelum dan Setelah Pemberian
Praziquantel (60mg/kg) pada Sampel Penderita di Napu dan Lindu, Sulawesi Tengah