Anda di halaman 1dari 2

Latar Belakang Schistosomiasis

Schistosomiasis adalah salah satu penyakit parasit cacing dan penyakit tropis paling menghancurkan
ketiga di dunia, menjadi sumber utama morbiditas dan mortalitas bagi negara-negara berkembang.
Penyakit ini disebabkan oleh cacing (trematoda) dari genus Schistosoma. Ada lima spesies yang
secara medis penting: Schistosoma haematobium, S. mansoni, S. japonicum, S. mekongi, dan S.
intercalatum. Kebanyakan schistosomiasis manusia disebabkan oleh S. haematobium, S. mansoni,
dan S. japonicum.

Gejala awal ketika cacing pipih ini sudah berada di dalam tubuh manusia, tidak seperti proses
cacingan pada umumnya, cacing ini masuk ke tubuh manusia bukan dari mulut, tapi langsung
menembus pori-pori kulit menuju aliran darah dan bergerak menuju jantung dan paru-paru untuk
selanjutnya menuju hati. Penderita akan mengalami gejala keracunan, disentri, penurunan berat
badan sehingga kurus yang berlebihan, hingga pada pembengkakan hati yang bisa diakhiri dengan
kematian

Diperkirakan sekitar 600 juta orang di 79 negara menderita schistosomiasis (Bilharziasis). Penyakit ini
menjadi sumber utama morbiditas dan mortalitas bagi negara-negara berkembang. Parasit ini
tersebar luas di benua Afrika, Timur Tengah, Amerika Selatan, dan Asia Tenggara. Sulawesi Tengah
merupakan satu-satunya provinsi dari 33 provinsi di Indonesia yang endemis schistosomiasis.
Penyakit ini terdapat di dua kabupaten/kota, yaitu di Lembah Lindu Kecamatan Lindu Kabupaten
Sigi, Lembah Napu Kecamatan Lore, Lembah Besoa Kecamatan Lore Tengah dan Lembah Bada
Kecamatan Lore Barat Kabupaten Poso. Schistosomiasis di Indonesia disebabkan oleh cacing S.
japonicum dengan hospes perantaranya adalah keong Oncomelania hupensis lindoensis, yang
merupakan hewan endemik di Sulawesi Tengah.

Lebih dari 207 juta orang, 85% di antaranya hidup di Afrika, terinfeksi schistosomiasis, dan
Diperkirakan 700 juta orang berisiko terinfeksi di 76 negara di mana penyakit ini dianggap endemik,
karena pekerjaan pertanian mereka, pekerjaan rumah tangga, dan kegiatan rekreasi membuat
mereka terinfestasi oleh air. Secara global, 200.000 kematian dikaitkan dengan schistosomiasis
setiap tahun. Transmisi terputus di beberapa negara.

Siklus penularan membutuhkan kontaminasi air permukaan oleh kotoran, keong air tawar tertentu
sebagai hospes perantara, dan kontak air dengan manusia. Siklus penularan penyakit schistosomiasis
dimulai dari telur cacing S. japonicum yang dikeluarkan bersama dengan feses penderita. Di dalam
air, telur tersebut menetas menjadi mirasidium yang akan bermigrasi ke tubuh keong Oncomelania
hupensis lindoensis. Dalam tubuh keong, mirasidium akan mengalami perkembangan menjadi
sporokista, kemudian menjadi serkaria yang akan keluar dari tubuh keong. Serkaria atau larva cacing
infektif yang keluar dari keong di perairan akan menembus kulit manusia atau hewan mamalia yang
melewati daerah perairan yang mengandung serkaria. Di dalam tubuh manusia, serkaria
berkembang menjadi cacing dewasa di pembuluh darah pada jaringan hati. Ketika akan bertelur,
cacing menuju pembuluh darah usus dan pada akhirnya, telur keluar bersama feses, sementara
cacing dewasa tetap berada di pembuluh darah usus.

Referensi :

Ahmed, S.H.Schistosomiasis (Bilharzia) updated Agustus 31,2021. Avaiable from :

https://emedicine.medscape.com/article/228392-overview

ProfBrunoGryseels,M.D.Human schistosomiasis updated Agustus 31, 2021. Avaiable from :


https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0140673606694403

Astuti, W. R., Anastasia, H., Ratianingsih, R., Puspita, J. W., No, J. M., Panimba, L., Labuan,
K., Donggala, K., Tengah, S., & Sulawesi, T. (2019). Deteksi Schistosomiasis Melalui
Identifikasi Telur Cacing Pada Feses Manusia Menggunakan Probabilistic Neural
Network ( PNN ) Detection of Schistosomiasis Through The Worm Egg Existing
Identification in The Human Feces Using The Neural Probability Network. Jurnal
Vektor Penyakit, 14(1), 49–56.

Nurwidayati, A., Frederika, P. P., & Sudomo, M. (2019). Fluktuasi Schistosomiasis di Daerah
Endemis Provinsi Sulawesi Tengah Tahun 2011-2018. Buletin Penelitian Kesehatan,
47(3), 199–206. https://doi.org/10.22435/bpk.v47i3.1276

Anda mungkin juga menyukai