0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
12 tayangan4 halaman
Pilihan terapi adalah methimazole (MMI) dengan dosis 0.2-0.5 mg/
kgBB/hari dibagi 1 sampai 3 dosis.
• Durasi terapi 2-4 minggu tapi bisa sampai 3 bulan.
• Jika MMI tidak tersedia atau terdapat efek samping terhadap MMI,
maka bisa diberikan PTU hanya untuk jangka pendek.
• Lugol iodine 1-3 tetes /hari bisa ditambahkan dalam kasus yang berat
untuk menghambat sekresi hormone tiroid.
• Jika terdapat gejala hiperaktivitas simpatetis seper
Pilihan terapi adalah methimazole (MMI) dengan dosis 0.2-0.5 mg/
kgBB/hari dibagi 1 sampai 3 dosis.
• Durasi terapi 2-4 minggu tapi bisa sampai 3 bulan.
• Jika MMI tidak tersedia atau terdapat efek samping terhadap MMI,
maka bisa diberikan PTU hanya untuk jangka pendek.
• Lugol iodine 1-3 tetes /hari bisa ditambahkan dalam kasus yang berat
untuk menghambat sekresi hormone tiroid.
• Jika terdapat gejala hiperaktivitas simpatetis seper
Pilihan terapi adalah methimazole (MMI) dengan dosis 0.2-0.5 mg/
kgBB/hari dibagi 1 sampai 3 dosis.
• Durasi terapi 2-4 minggu tapi bisa sampai 3 bulan.
• Jika MMI tidak tersedia atau terdapat efek samping terhadap MMI,
maka bisa diberikan PTU hanya untuk jangka pendek.
• Lugol iodine 1-3 tetes /hari bisa ditambahkan dalam kasus yang berat
untuk menghambat sekresi hormone tiroid.
• Jika terdapat gejala hiperaktivitas simpatetis seper
Schistosomiasis atau Bilharziasis adalah penyakit infeksi parasit kronis yang
disebabkan oleh cacing darah (Trematoda) dari genus Schistosoma. 2. Gejala Klinis Schistosomiasis Schistosoma japonicum Kelainan tergantung dari beratnya infeksi. Kelainan yang ditemukan pada stadium I adalah gatal-gatal (urtikaria). Gejala intoksikasi disertai demam, hepatomegali dan eosinofilia tinggi. Pada stadium II ditemukan pula sindrom disentri. Pasa stadium III atau stadium menahun ditemukan sirosis hati dan splenomegali. Biasanya penderita menjadi lemah (emasiasi). Mungkin terdapat gejala saraf, gejala paru dan lain-lain. Schistosoma mansoni Kelainan dan gejala yang timbulkannya sama seperti pada Scistosoma japonicum, akan tetapi lebih ringan. Pada penyakit ini splenomegali menjadi berat sekali. Schistosoma haematobium Kelainan terutama ditemukan di dinding kandung kemih. Gejala yang ditemukan adalah hematuria dan disuria bila terjadi sistitis. Sindrom disentri ditemukan bila terjadi kelainan di rektum. 3. Morfologi dan Daur Hidup Cacing dewasa jantan berwarna kelabu atau putih kehitam-hitaman, berukuran 9,5-19,5 mm × 0,9 mm. Badannya berbentuk gemuk bundar dan pada kutikulumnya terdapat tonjolan halus sampai kasar, tergantung spesiesnya. Di bagian ventral badan terdapat canalis gynaecophorus, tempat cacing betina, sehingga tampak seolah-olah cacing betina ada di dalam pelukan cacing jantan. Cacing betina badannya lebih halus dan panjang, berukuran 16 mm – 26 mm × 0,3 mm. Pada umumnya uterus 50-300 butir telur. Cacing trematoda ini hidup di pembuluh darah terutama dalam kapiler darah dan vena kecil dekat permukaan selaput lendir usus atau kandung kemih. Cacing betina meletakkan telur di pembuluh darah. Telur tidak mempunyai operkulum. Telur cacing Schistosoma mempunyai duri dan lokalisasi duri tergantung pada spesiesnya. Telur berukuran 95-135 × 50-60 mikron. Telur dapat menembus keluar dari pembuluh darah, bermigrasi ke jaringan dan akhirnya masuk ke lumen usus atau kandung kemih untuk kemudian ditemukan di dalam tinja atau urin. Telur menetas di dalam air; larva yang keluar disebut miracidium. Cacing ini hanya mempunyai satu macam hospes perantara yaitu keong air, tidak terdapat hospes perantara kedua. Miracidium masuk ke dalam tubuh keong air dan berkembang menjadi sporokista 1 dan sporokista 2 kemudian menghasilkan serkaria yang banyak. Serkaria adalah bentuk infektif cacing Schistosoma. Cara infeksi pada manusia adalah serkaria menembus kulit pada waktu manusia masuk ke dalam air yang mengandung serkaria. Waktu yang diperlukan untuk infeksi adalah 5- 10 menit. Setelah serkaria menembus kulit, kemudian masuk ke dalam kapiler darah, mengalir dengan aliran darah masuk ke jantung kanan, lalu paru dan kembali ke jantung kiri; kemudian masuk ke sistem peredaran darah besar, ke cabang-cabang vena portae dan menjadi dewasa di hati. Setelah dewasa cacing ini kembali ke vena portae dan vena usus atau vena kandung kemih kemudian cacing betina bertelur setelah berkopulasi. 4. Pencegahan dan Pengobatan Schistosomiasis a. Cara-cara pencegahan terhadap Schitosomiasis o Memberi penyuluhan kepada masyarakat di daerah endemis tentang cara-cara penularan dan cara pemberantasan penyakit ini. o Buang air besar dam buang air kecil dijamban yang saniter agar telur cacing tidak mencapai badan-badan air tawar yang mengandung keong sebagai inang antara. o Memperbaiki cara-cara irigasi dan pertanian; mengurangi habitat keong dengan membersihkan badan-badan air dari vegetasi atau dengan mengeringkan dan mengalirkan air. o Memberantas tempat perindukan keong dengan moluskisida (biaya yang tersedia mungkin terbatas untuk penggunaan moluskisida ini). o Untuk mencegah pemajanan dengan air yang terkontaminasi (contoh : gunakan sepatu bot karet). Untuk mengurangi penetrasi serkaria setelah terpajan dengan air yang terkontaminsai dalam waktu singkat atau secara tidak sengaja yaitu kulit yang basah dengan air yang diduga terinfeksi dikeringkan segera dengan handuk. Bisa juga dengan mengoleskan alkohol 70% segera pada kulit untuk membunuh serkaria. o Persediaan air minum, air untuk mandi dan mencuci pakaian hendaknya diambil dari sumber yang bebas serkaria atau air yang sudah diberi obat untuk membunuh serkariannya. Cara yang efektif untuk membunuh serkaria yaitu air diberi iodine atau chlorine atau dengan menggunakan kertas saring. Membiarkan air selama 48 72 jam sebelum digunakan juga dianggap efektif. o Obati penderita di daerah endemis dengan praziquantel untuk mencegah penyakit berlanjut dan mengurangi penularan dengan mengurangi pelepasan telur oleh cacing. o Para wisatawan yang mengunjungi daerah endemis harus diberitahu akan risiko penularan dan cara pencegahan b. Cara-cara pengobatan pada Schistosomiasis
Pengobatan massal dilaksanakan bila prevalensi skistosomiasis di desa > 1%.
Pengobatan ini dilaksanakan setiap 6 bulan diberikan kepada penduduk umur 5 tahun ke atas. Pada balita hanya diberikan pada individu yang positif. Pengobatan ditunda pada wanita hamil, wanita menyusui dan yang sakit berat. Pengobatan selektif dilakukan bila prevalensi di bawah 1 %. Pengobatan diberikan setiap 6 bulan pada penduduk yang positif dan serumah. Pengobatan perorangan diberikan pada fasilitas pelayanan kesehatan berdasarkan pemeriksaan klinis atau laboratorium. Obat yang digunakan yaitu praziquantel dengan dosis 30 mg/kg BB/dosis diberikan 2 dosis dalam satu hari, total 60 mg/kg/BB. Jarak pemberian dosis pertama dengan dosis kedua adalah 4-6 jam. Obat diminum sesudah makan. Selain obat praziquantel disediakan juga obat penawar karena obat praziquantel menimbulkan efek samping antara lain, demam, sakit kepala, pusing, mual, dan lain-lain.
Sumber :
1. Natadisastra D, Kodyat S. 2009. Penyakit oleh Trematoda Darah. Parasitologi
Kedokteran Ditinjau dari Organ Tubuh yang Diserang, Cetakan I. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC
2. Inge Sutanto, Is Sumariah Ismid, Pudji K. Sjarifudin, Saleha Sungkar. 2008. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. Edisi 4. Jakarta : Balai penerbit FKUI.