Anda di halaman 1dari 24

TREMATODA

Trematoda adalah cacing yang secara morfologi berbentuk pipih seperti daun. Pada umumnya cacing ini bersifat hermaprodit, kecuali genus Schistosoma. Pada dasarnya daur hidup trematoda ini melampui beberapa beberapa fase kehidupan dimana dalam fase tersebut memerlukan hospes intermedier untuk perkembangannya. Fase daur hidup tersebut adalah sebagai berikut: Telurmeracidiumsporocystredicercariametacercariacacing dewasa. Dimana fase daur hidup tersebut sedikit berbeda untuk setiap spesies cacing trematoda. Sporocystcercariadewasa(1) Telurmeracidiumsporocystrediacercariametacercariadewasa(2) Rediacercariadewasa(3) Rediacercariametacercariadewasa(4) Gambar 1. Daur hidup trematoda Ket : (1) Schistosoma (2) Paragonimus (3) Clonorchis (4) Echinostoma Menurut lokasi berparasitnya, trematoda dikelompokkan sebagai berikut: 1. Trematoda pembuluh darah: Schistosoma haematobium, S. mansoni, S. japonicum 2. 3. 4. Trematoda paru: Paragonimus westermani Trematoda usus: Fasciolopsis buski, Echinostoma revolutum, E. ilocanum Trematoda hati: Clonorchis sinensis, Fasciola hepatica, F. gigantica.

Schistosomiasis (Schistosoma haematobium, S. mansoni, S. japonicum) Tiga spesies schistosoma tersebut berparasit pada orang, dimana ketiganya struktur bentuknya sama, tetapi beberapa hal seperti morfologinya sedikit berbeda dan juga lokasi berparasitnya pada tubuh hospes definitif. S. hematobium dan S. mansoni, banyak dilaporkan menginfeksi orang di Mesir, Eropa dan Timur Tengah, sedangkan S. japonicum, banyak menginfeksi orang di daerah Jepang, China, Taiwan, Filippina, Sulawesi, Laos, Kamboja dan Thailand. A. Schistosoma haematobium Distribusi Geografik Distribusi Schistosoma haematobium ini sebagian besar di SubSahara, di lembah Sungai Nil, Afrika, Negara utara lainnya, dan di Timur Tengah. Morfologi Cacing dewasa jantan gemuk berukuran 10-15 x 0,8-1 mm. Ditutupi integumen tuberkulasi kecil, memiliki dua betil isap berotot, yang ventral lebih besar. Di sebelah belakang batil isap ventral, melipat ke arah ventral sampai ekstremitas kaudal, membentuk kanalis ginekoporik. Di belakang batil isap ventral terdapat 4-5 buah testis besar. Porus genitalis tepat di bawah batil isap ventral.

Gambar 2. Morfologi S. Haematobium

Cacing betina panjang silindris, ukuran 20x0,25 mm. Batil isap kecil, ovarium terletak posterior dari pertengahan tubuh. Uterus panjang, sekitar 20-30 telur berkembang pada saat dalam uterus. Kerusakan dinding pembuluh darah oleh telur mungkin disebabkan oleh tekanan dalam venule, tertusuk oleh duri telur dan mungkin karena zat lisis yang keluar melalui pori kulit telur sehingga telur dapat merusak dan menembus dinding pembuluh darah. (Natadisastra, 2005). Siklus Hidup

Gambar 3. Siklus hidup S. Haematobium Orang yang terinfeksi buang air kecil atau buang air besar di air, air kencing atau kotoran mengandung telur cacing. Telur cacing menetas dan cacing pindah ke keong, cacing muda pindah dari keong ke manusia. Dengan demikian, orang yang mencuci atau berenang di air di mana orang yang terinfeksi pernah buang air kecil atau buang air besar, maka ia akan terinfeksi. Cacing atau serkaria (bentuk infektif dari Schistosoma haematobium) menginfeksi dengan cara menembus kulit pada waktu

manusia masuk kedalam air yang mengandung serkaria. Waktu yang diperlukan untuk infeksi adalah 5-10 menit. Setelah serkaria menembus kulit, larva ini kemudian masuk ke dlaam kapiler darah, mengalir dengan aliran darah masuk ke jantung kanan, lalu paru dan kembali ke jantung kiri; kemudian masuk ke system peredaran darah besar, ke cabang-cabang vena portae dan menjadi dewasa di hati. Setelah dewasa, cacing ini kembali ke vena portae dan vena usus atau vena kandung kemih dan kemudian betina bertelur setelah berkopulasi. Cacing betina meletakkan telur di pembuluh darah. Telur dapat menembus keluar dari pembuluh darah, bermigrasi di jaringan dan akhirnya masuk ke lumen usus atau kendung kemih untuk kemudian ditemukan di dalam tinja atau urine. Telur menetas di dalam air; dan larva yang keluar disebut mirasidium. Mirasidium ini kemudian masuk ke tubuh keong air dan berkembang menjadi serkaria. (Muslim, 2009). Hospes dan Nama Penyakit Hospes definitif dari cacing ini adalah manusia, kera dan baboon. Hospes perantaranya adalah keong air tawar bergenus Bulinus sp., Physopsis sp. dan Biomphalaria sp.. Penyakit yang disebabkan oleh cacing ini adalah skistosomiasis vesikalis, hematuri skistosoma, bilharziasis urinarius. Cacing ini tidak ditemukan di Indonesia. (Onggowaluyo, 2001)

Gambar 4. Hospes perantara, Bulinus sp.

Epidemiologi Schistosoma haematobium ini merupakan trematoda darah vesicalis yang dapat menimbulkan schistomiasis vescicalis, schitosomoasis haematobia, vesical atau urinary bilharziasis, schitosomal hematuria. Infeksi S. haematobium sering terjadi di lembah hulu Sungai Nil, meliputi bagian besar Afrika termasuk kepulauan di pantai Timur Afrika; ujung Selatan Eropa; Asia Barat dan India. (Natadisastra, 2005).

Gambar 5. Schistomiasis Patologi dan Gejala Klinis Setelah kontak dengan kulit manusia, serkaria masuk ke dalam pembuluh darah kulit. Lebih kurang 5 hari setelah infeksi, cacing muda mulai menjangkau vena portae dan hati. Kira-kira tiga minggu setelah infeksi pematangan cacing dimulai sejak keluarnya dari vena portae. Setelah infeksi 10-12 minggu, cacing betina mulai meletakan telur pada venule. Efek pathogen terdiri atas: a. Reaksi lokal dan umum terhadap metabolit cacing yang sedang tumbuh dan matang. b. c. Trauma dengan perdarahan akibat telur keluar dari venule. Pembentukan pseudoabses dan pseudotuberkel mengelilingi telur terbatas pada jaringan perivaskuler. Penyakit ini seringkali tidak memperlihatkan tanda-tanda awal. Di beberapa tempat tanda-tanda umum yang sering terlihat adalah adanya

darah di dalam air kencing atau kotoran. Pada wanita tanda ini bisa juga disebabkan oleh adanya luka pada alat kelaminnya. Di daerah di mana penyakit ini banyak terjadi, orang yang memperlihatkan sekedar gejalagejala yang tidak parah atau hanya sekedar sakit perut saja, patut diperiksa (Sutanto, 2008). Diagnosis Diagnosis ditegakkan dengan menemukan telur di dalam tinja atau jaringan biopsi hati dan biopsi rektum. Reaksi serologi dapat dipakai untuk membantu menegakkan diagnosis. Reaksi serologi dapat dipakai adalah COPT (Circumoval precipitin test), IHT (Indirect Haemagglutation test), CFT (Complement fixation test), FAT (Fluorescent antibody test) dan ELISA (Enzyme linked immuno sorbent assay). Pengobatan Pengobatan terbaik penyakit ini adalah dengan obat-obatan. Menemui seorang petugas kesehatan untuk mengetahui obat apa yang harus digunakan, atau membaca buku kesehatan umum. Luka pada alat kelamin dan adanya darah di dalam air kencing juga merupakan tanda penyakit infeksi kelamin menular (STI = Sexually Transmitted Infections). Banyak wanita tidak mau berobat karena takut mereka akan dituduh mengidap penyakit STI. Jika tidak diobati akan memicu penyakit infeksi parah lainnya dan dapat membuat wanita jadi tidak subur (tidak dapat hamil). Obat Metrifonate, organoposforus cholinesterase inhibitor. Dosisnya 5-15 mg/ kg berat badan diberikan dengan interval 2 minggu (Natadisastra, 2005). Pencegahan Penyakit cacing dalam darah tidak ditularkan secara langsung dari satu ke orang lain. Sebagian hidup cacing harus dihabiskan dengan hidup di dalam keong air jenis tertentu. Program masyarakat dapat diadakan untuk membasmi keong-keong ini agar mencegah penularan penyakit cacing dalam darah. Program-program ini hanya berjalan baik jika orang mentaati langkah pencegahan yang paling mendasar yakni: jangan buang air kecil atau buang air besar di dalam atau di dekat sumber air.

Cara menghindari penyebab penyakit ini antara lain: a. Menghindari kencing atau buang air besar di dalam air atau dekat sumber air. b. c. Hindari berenang di dalam air kotor. Gunakan perlindungan sepatu jika masuk ke air, misalnya memakai sepatu boot (Muslim, 2009). B. Schistosoma mansoni Distribusi Geografik Cacing ini ditemukan di Afrika, sebagai negara Arab (Mesir), Amerika Selatan dan Tengah (Hendra Utama, 2008). Morfologi Morfologi Schistosoma berbeda dengan Termatoda yang khas, karena bentuknya yang kecil memanjang dan jenis kelamin yang terpisah. Cacing jantan yang lebih besar dan berwarna kelabu mempunyai ujung anterior yang silindris dan badannya yang lebih kuat terlipat membentuk canalis gynaecophoris ventral panjang dan didalamnya terdapat cacing betina yang berwarna lebih tua yang langsing yang dipeluk selama kopulasi. Integymen adalah halus atau mempunyai tonjolan, tergantung daripada spesies. Usus bercabang menjadi dua coecum, yang

menggabungkan diri dibagian posterior badan yang menjadi saluran tunggal yang buntu. Jumlah testis pada cacing jantan dan panjangnya uterus dan jumlah telur adalah tertentu untuk masing-masing spesies. Sistem ekskresi terdiri atas sel api, saluran pengumpul, dan dua saluran panjang yang masuk menuju kandung kencing kecil dengan satu porus ekskresi di ujung (Brown, 1979).

Gambar 6. Morfologi S. mansoni


7

Ukuran tubuh cacing Schistosoma jantan lebih besar tetapi lebih pendek dari pada cacing betina. Cacing jantan berukuran 9,5 19,5 mm x 0,9 mm (tergantung dari spesiesnya) dan cacing betina 16,0 26,0 mm x0,3 mm (tergantung dari spesiesnya) (Sudomo M. 2008). Siklus Hidup Cacing dewasa yang halus, besarnya 0,6 2,5 cm, hidup berpasangan yang betina di dalam canalis gynaecophorus cacing jantan. Tergantung daripada spesies cacing, antara 300 (S. mansoni) per hari dikeluarkan ke dalam vena. Bentuk larva yaitu miracidium terbentuk di dalam telur, enzim litik dan kontraksi vena menyebabkan pecahnya dinding vena dan telur di lepaskan ke dalam jaringan perivaskular usus atau kandung kencing. Telur dapat keluar ke dalam lumen alat-alat ini dikeluarkan ke dalam tinja atau urine. Bilamana tersentuh air dingin miracidium menetas keluar dari telur dan berenang bebas menemukan keong yang sesuai, yang kemudian di tembusnya. Sesudah melalui dua tingkat perkembangan sporokista dan bertambah banyak di dalam keong, cercaria dengan ekor bercabang keluar. Sewaktu mandi, berenang, bekerja atau mencuci pakaian, kulit manusia berkontak dengan cercaria yang berenang bebas, melekatkan diri dan masuk ke dalam sampai jaringan kapiler perifer setelah air menguap pada permukaan kulit.

Gambar 7. Siklus hidup S. mansoni Bilamana tertelan dengan air cercaria menembus selaput lendir mulut dan leher. Cercaria terbawa oleh darah aferen ke jantung sebelah kanan dan paru-paru. Mereka menerobos kapiler paru-paru, terbawa ke dalam sirkulasi sistemik dan melewati sluran portal. Di dalam system vena porta bagian hepar Trematoda ini mengambil makanan dan tumbuh dengan cepat. Kira-kira 3 minggu sesudah infeksi kedalam kulit, cacing dewasa mudah berpindah berlawanan dengan darah portal masuk ke dalam vena mesenterium, kandung kencing dan panggul. Periode prepaten untuk S. mansoni adalah 7-8 minggu, S.haematobium 10-12 minggu

dan S.japonicum 5-6 minggu. Cacing dewasa dapat hidup selama 30 tahun pada manusia (Brown, 1979). Hospes dan Nama Penyakit Hospes reservoirnya definitifnya adalah manusia, sedangkan hospes Hospes

adalah kera

Baboon dan hewan pengerat.

perantaranya adalah keong air tawar genus Biomphalaria sp. dan Australorbis sp.. Habitat cacing ini adalah vena kolon dan rektum. Pada

manusia cacing ini dapat menyebabkan Skistosomiasis usus, Disentri mansoni dan Skistosomiasis mansoni. (Onggowaluyo, 2001)

Gambar 8. Hospes perantara, Biomphalaria sp. Patologi dan Gejala Klinis Manifestasi klinis Schistosomiasis secara umum mempunyai gejala klinis awal yang sama, misalnya gatal-gatal pada saat serkaria telah masuk ke dalam kulit, kalau serkaria yang masuk ke dalam kulit cukup banyak akan terjadi dermatitis. Kemudian pada saat larva cacing melewati paru akan terjadi batuk berdahak dan demam. Padastadium berikutnya akan terjadi gejala disentri atau urtikaria (pada infeksi S. haematobium). Schistosomiasis mansoni, japonikum dapat menyebabkan hepatomegali (pembengkakan hati) dan splenomegali (pembengkakan limpa). Pada penderita schistosomiasis japonikum yang sudah parah akan menderita asites yang diikuti dengan kematian (Sudomo M. 2008). Diagnosis Diagnosis untuk penyakit Schistosomiasis adalah dengan cara pemerikasaan tinja dan Pemeriksaan urine. Cara pemeriksaan tinja adalah Tinja yang keluar seluruhnya harus dicampur baik-baik dengan 0,5% larutan glycerin dalam air dan sesudah sedimentasi di dalam gelas runcing cairan yang terdapat di atas harus dituang. Mencampur dan menuang harus dilakukan beberapa kali sampai hanya tertinggal sisa sedikit yang diperiksa di bawah mikroskop (Brown,1979).

10

Dengan pemeriksaan urine. Urine yang dikeluarkan dalam sehari di sedimentasi dalam gelas berbentuk kerucut. Kemudian ditambahkan air sebelum dipanasi 600C untuk membunuh infusoria kedalam sediment, miracidium yang bebas berenang yang baru menetas dapat dilihat dengan cahaya tidak langsung dengan dasar hitam. Menetasnya miracidium merupakan indeks telur yang masih hidup (Brown, 1979). Pengobatan Pengobatan schistosomiasis pada dasarnya adalah mengurangi dan mencegah kesakitan dan mengurangi sumber penular. Sebelum ditemukan obat yang efektif, berbagai jenis obat telah dipakai untuk mengobati penderita schistosomiasis, misalnya, hycanthone, niridazole, antimonials, amocanate dsb. Obat-obat tersebut tidak efektif dan beberapa sangat toksik. Pada saat ini obat yang dipakai adalah Praziquantel (Sudomo M. 2008).

Gambar 9. Praziquantel

Praziquantel sangat efektif terhadap semua bentuk schistosomiasis, baik dalam fase akut, kronik maupun yang sudah mengalami splenomegali atau bahkan yang mengalami komplikasi lain. Obat tersebut sangat manjur, efek samping ringan dan hanya diperlukan satu dosis yaitu 60 mg/kg BB yang dibagi dua dan diminum dalam tenggang waktu 4-6 jam (Tjay, Tan Hoan & Rahardja, Kirana, 2007).

11

Pencegahan Pengendalian Schistosomiasis, dengan mengontrol setiap

organisme yang memungkinkan untuk menularkan cacing. Hal ini bertujuan untuk mencegah infeksi baru, biasanya oleh gangguan siklus hidup parasit. Pencegahan dan pengendalian dapat dicapai dengan sejumlah metode seperti berusaha untuk menghilangkan hospes perantara, penghapusan parasit dari hospes definitif, pencegahan infeksi pada inang definitif dan pencegahan infeksi pada hospes perantara. (Departement of Parasitology University Cambridge, 2010) C. Schistosoma japonicum Distribusi Geografik Parasit S. japonicum ditemukan di Asia terutama di Cina, Filipina, Jepang (saat ini sudah tidak ditemukan lagi karena program pengendalian telah sukses dilaksanakan). Indonesia dapat ditemukan dibeberapa lembah yang terisolasi di Sulawesi Tengah (sekitar Danau Lindu pada tahun 1937 dan Lembah Napu ditemukan tahun 1972. ( Departement of parasitology Univ. Cambridge, 2010) Morfologi Cacing dewasa menyerupai Schistosoma mansoni dan S. haematobium akan tetapi tidak memiliki integumentary tuberculation. Cacing jantan, panjang 12-20 mm, diameter 0,50-0,55 mm, integument ditutupi duri-duri sangat halus dan lancip, lebih menonjol pada daerah batil isap dan kanalis ginekoporik, memiliki (6-8) buah testis. Cacing betina, panjang 26 mm dengan diameter 0,3 mm. Ovarium dibelakang pada pertengahan tubuh, kelenjar vitellaria terbatas di daerah lateral bagian posterior tubuh. Uterus merupakan saluran yang panjang dan urus berisi 50-100 butir telur.

12

Gambar 10. Morfologi S. Japonicum Telur berhialin, subsperis atau oval dilihat dari lateral, dekat salah satu kutub terdapat daerah melekuk tempat tumbuh semacam duri rudimenter (tombol); berukuran (70-100) (50-65) m. khas sekali, telur diletakkan dengan memusatkannya pada vena kecil pada submukosa atau mukosa organ yang berdekatan. Tempat telur s. japonicum biasa pada percabangan vena mesenterika superior yang mengalirkan darah dari usus halus (Natadisastra, 2005). Telur-telur cacing Schistosoma japonicum lebih besar dan lebih bulat disbanding jenis lainnya, berukuran panjang 70 100 mm dan lebarnya 55 64 mm. Tulang belakang di telur S. japonicum lebih kecil dan kurang mencolok dibandingkan spesies lainnya. Siklus Hidup Schistosoma hidup terutama di dalam vena mesenterika superior, di tempat ini betina menonjolkan tubuhnya dari yang jantan atau meninggalkan yang jantan untuk bertelur di dalam venula-venula mesenterika kecil pada dinding usus. Telur berbentuk oval hingga bulat, dan memerlukan waktu beberapa hari untuk berkembang menjadi mirasidium matang di dalam kulit telur. Massa telur menyebabkan tekanan pada dinding venula yang tipis, yang biasanya dilemahkan oleh sekresi dari kelenjar histolitik mirasidium yang masih berada di dalam kulit telur. Dinding itu kemudian sobek, dan telur menembus lumen usus yang kemudian keluar dari tubuh. Pada infeksi berat, beribu-ribu cacing ditemukan di dalam pembuluh darah (Muslim, 2009).

13

Gambar 11. Siklus hidup S. Japonicum Selanjutnya jika kontak dengan siput sesuai, larva menembus jaringan lunak dalam 5-7 minggu, membentuk generasipertama dan kedua sporokista. Pada perkembangan selanjtunya dibentuk cercaria yang bercabang. Cercaria ini dikeluarkan jika siput berada pada atau di bawah permukaan air. Dalam waktu 24 jam, cercaria menembus kulit sebagai hasil kerja kelenjar penetrasi yang menghasilkan enzim proteolitik, menuju jalinan kapiler, ke dalam sirkulasi vena menuju jantung kanan dan paru-paru, terbawa sampau ke jantung kiri menuju sirkulasi sistemik. Tidak sepenuhnya rute perjalanan ini diambil oleh schistosomula (schistosoma muda) pada migrasi mereka dari paru-paru ke hati. Mungkin seperti S. mattheei, schistosomula merayap melawan aliran darah sepanjang dinding A. Pulmonalis, jantung kanan, dan vena cava menuju ke hati melalui vena hepatica. Infeksi dapat bertahan untuk jangka waktu yang tidak terbatas, dapat mencapai 47 tahun. (Natadisastra, 2005) Penetasan berlangsung di dalam air. Walaupun Ph, kadar garam, suhu, dan aspek lainnya penting, faktor-faktor di dalam telur berperan utama dalam proses penetesan. Migrasi Schistosoma japonicum ke dalam tubuh dimulai dari masuknya cacing tersebtu ke dalam pembuluh darah

14

kecil, kemudian ke jantung dan sistem peredaran darah. Cacing yang sedang migrasi biasanya tidak atau sedikit menimbulkan kerusakan atau gejala, tetapi kadang terjadi reaksi hebat, misalnya pneumonia akibat masuknya cacing ke dalam paru. Schistosoma japonicum merupakan penyakit yang ebih berat dan destruktif daripada penyakit yang disebabkan oleh dua spesies lain yang biasa menginfeksi manusia (Muslim, 2009) Hospes dan Nama Penyakit Hospes utamanya adalah manusia dan beberapa jenis hewan seperti tikus sawah, babi hutan, sapi dan anjing hutan. Hospes perantara dari cacing ini adalah keongair (Oncomelania sp) dan di Indonesia yaitu keong air Oncomelania hupensis lindoensis (Onggowaluyo, 2001). Habitat keong air yang berada di Danau Lindu adalah di daerah ladang, sawah yang tidak terpakai lagi, parit diantara sawah dan di daerah hutan perbatasan bukit, serta dataran rendah. (FKUI, 1998) Manusia merupakan hospen definitif S. japonicum, sementara babi, anjing, kucing, kerbau, sapi, kambing, kuda, dan rodensia merupakan hospes reservoir. Membutuhkan hospes perantara siput air tawar

spesiesOncomelania nosophora, O. hupenis, O. formosona, O. hupensis lindoensis di danau lindu (Sulawesi tengah) dan O. quadrasi. Siput ini berukuran kecil, operculate, bersifat amphibi serta dapat bertahan hidup beberapa bulan dalam keadaan yangrelative kering (Natadisastra, 2005) Parasit ini akan menyebabkan penyakit yaitu Oriental

schistosomiasis, Schistosomiasis japonica dan penyakit Katayama atau demam keong. (Onggowaluyo, 2001)

15

Gambar 12. Urtikaria dengan demam katamaya Patologi dan Gejala Klinis Setelah parasit memasuki tubuh inang dan memproduksi telur, parasit menggunakan system kekebalan inang (granuloma) untuk transportasi telur ke dalam usus. Telur merangsang pembentukan granuloma di sekitar mereka. Granuloma yang terdiri dari sel motil membawa telur ke dalam lumen usus. Ketika dalam lumen, sel granuloma membubarkan meninggalkan telur untuk dibuang dalam feses. Sayangnya sekitar 2/3 dari telur tidak dikeluarkan, sebaliknya mereka berkembang di usus. Hal ini dapat menyebabkan fibrosis. Pada kasus kronis, Schinostoma japonicum adalah pathogen sebagian besar spesies Schistosoma karena memproduksi hingga 3000 telur per hari, sepuluh kal lebih besar dari Schistosoma mansoni. (Robert et al, 2005)

Gambar 13. Cirrrhosis

16

Sebagai penyakit kronis, parasit ini dapat menyebabkan demam Katayama, fibrosis hati, sirosis hati, hipertensi hati portal, spinomegali dan ascites. Beberapa telur mungkin lewat hati dan masuk paru-paru, system saraf dan organ lain di mana mereka dapatmemengaruhi kesehatan individu yang terinfeksi. (Robert et al, 2005) Diagnosis Identifikasi mikroskopis telur dalam tinja atau urin adalah metode yang paling praktis untuk diagnosis. Pemeriksaan feses harus dilakukan ketika infeksi S. mansoni atau S. japonicum dicurigai, dan pemeriksaan urin harus dilakukan jika diduga terinfeksi S. haematobium . Telur dapat berada dalam tinja pada infeksi semua spesies Schistosoma. Pemeriksaan dapat dilakukan pada Pap sederhana ( pap untuk 1 sampai 2 mg feces). Sejak telur dapat ditularkan sebentar-sebentar atau dalam jumlah kecil, deteksi mereka akan ditingkatkan dengan pemeriksaan ulang dan atau melakukan prosedur konsentrasi (seperti formalin - teknik etil asetat). Selain itu, untuk melakukan survei lapangan dan tujuan yang diteliti, keluaran telur dapat diukur dengan menggunakan teknik KatoKatz (20 sampai 50 mg feces) atau teknik Ritchie. Telur dapat ditemukan dalam urin pada infeksi dengan S. haematobium (waktu yang disarankan untuk koleksi antara siang dan 3 sore) dan dengan S.japonicum. Deteksi akan ditingkatkan dengan sentrifugasi dan dengan melakukan pemeriksaan sedimen. Kuantifikasi ini bisa dilakukan menggunakan filtrasi melalui membran Nucleopore dari volume standar urin diikuti oleh jumlah telur pada membran. Biopsi jaringan (biopsi rektal untuk semua jenis dan biopsi kandung kemih untuk parasit S. haematobium) dapat menunjukkan adanya telur ketika pemeriksaan tinja atau urin negatif. Telur S. japonicum kecil, sehingga diagnose teknik konsentrasi mungkin diperlukan. Biopsi sebagian besar dilakukan untuk menguji schistomiasis kronis tanpa telur. Tes dengan metode ELISA dapat juga dilakukan untuk menguji antibodi yang spesifik untuk schistosomes. Hasil positif menunjukkan infeksi saat ini atau terakhir (dalam dua tahun terakhir).Pemeriksaan ultrasonografi dapat dilakukan untuk menilai sejauh mana morbiditas hati

17

dan limpa terkait (Tie-Wu Jia et al, 2007). Masalah dengan metode immunodiagnostic adalah bahwa Hanya positif waktu tertentu setelah infeksi dan Mereka bisa menyeberang atau berinteraksi dengan infeksi cacingan lainnya (Robert et al, 2005). Pengobatan Pengobatan dapat dilakukan dengan memberikan prazikuantel. Selain itu dapat juga digunakan natrium antimony tartrat. Obat lainnya tidak memberikan hasil yang memuaskan karena sebenarnya tidak ada obat khusus untuk parasit ini. Obat-obatan yang akan menyebabkan terlepasnya pegangan cacing dewasa pada pembuluh darah, sehingga akan tersapu ke dalam hati oleh sirkulasi portal. (Onggowaluyo, 2001) Pencegahan Kontrol infeksi Schistosoma japonicum memerlukan beberapa upaya pencegahan penting yang terdiri dari pendidikan, menghilangkan penyakit dari orang yang terinfeksi, pengendalian vektor dan memberikan vaksin pelindung. (Robert et al, 2005) Pendidikan dapat menjadi cara yang sangat efektif, tetapi sulit dengan kurangnya sumber daya. Dilakukan juga, meminta orang untuk mengubah kebiasaan, tradisi dan perilaku dapat menjadi tugas yang sulit (Robert et al, 2005). Mengontrol S. japonicum dengan molluscicide telah terbukti tidak efektif karenaOncomelania bekicot amfibi dan air hanya sering untuk bertelur (Robert et al, 2005). Kotoran manusia harus dibuang secara higienis. Kotoran manusia di dalam air bila bertemu dengan hospes intermediet siput Oncomelania merupakan penyebab utama untuk kelangsungan hidup cacing

schistosoma. Maka, kotoran sisa manusia tidak boleh digunakan untuk nightsoiling (pemupukan tanaman dengan kotoran manusia). Untuk menghindari infeksi, individu harus menghindari kontak dengan air yang terkontaminasi oleh kotoran manusia atau hewan, sumber air terutama yang endemik untuk siput Oncomelania (Robert et al, 2005). Sesaat sebelum memasuki perairan atau daerah air yang berpotensi terinfeksi, repellants cercarial dan salep cercaricidal dapat diterapkan pada

18

kulit sebelum masuk air. Barrier krim dengan basis dimethicone ditawarkan perlindungan tingkat tinggi selama minimal 48 jam (Ingram R.J et al, 2002). Pencarian untuk vaksin praktis terus dan sangat dapat mengambil manfaat daerah bencana (Robert et al, 2005).

19

Paragonimus westermani Morfologi Cacing berwarna coklat, jika sedang aktif menyerupai sendok, kutikulum berduri, batil isap sama besar. Cacing dewasa hidup di dalam kantung (kista) di paru-paru, tiap kista bisasa berisi dua ekor cacing, juga dapat dijumpai pada organ lain. Ukurannya 7,5-12 4-6 mm dengan tebal 3,5-5 mm; integument ditumbuhi duri. Oral dan ventral sucker hapir sama besar 0,75-0,8 mm. Testis berlobus dalam, letak berdampingan, pada garis tengah diantara vebtral sucker dan ujung posterior. Ovarium besar, berlobus, pada sisi kiri atau kanansetinggi acetabulum. Uterus berkelok berbentuk roset pada sisi yang berlawanan dengan ovarium, sedikit anterior dari ovarium (Natadisastra, 2009).

Gambar 14. Morfoligi P. westermani Distribusi Geografik Cacing pertama kali ditemukan di RRC, Taiwan, Korea, Jepang, Filipina, Vietnam, Thailand, India, Malaysia, Afrika dan Amerika Latin. Di Indonesia ditemukan autokton pada binatang, sedangkan pada manusia hanya sebagai kasus impor saja (Utama, 2008). Siklus Hidup Telur keluar bersama tinja atau sputum, dan berisi sel telur. Telur menjadi matang dalam waktu kira-kira 16 hari lalu menetas. Mirasidium

20

lalu mencari keong air dan dalam keong air terjadi perkembangan. Serkaria keluar dari keong air, berenang mencari hospes perantara II, lalu membentuk metaserkaria di dalam tubuhnya. Infeksi terjadi dengan memakan hospes perantara ke II yang tidak dimasak sampai matang. Dalam hospes definitive, metaserkaria menjadi dewasa muda di duodenum. Cacing dewasa muda bermigrasi menembus dinding usus, masuk ke rongga perut, menembus diafragma dan menuju ke paru. Jaringan hospes mengadakan reaksi jaringan sehingga cacing dewasa terbungkus dalam kista, biasanya ditemukan 2 ekor didalamnya (Utama, 2008).

Gambar 15. Siklus hidup P. westermani Hospes dan Nama Penyakit Paragonimus westermani merupakan cacing paru yang berasal dari kelas Trematoda, dimana bagian tubuh yang paling utama diserang adalah bagian paru. Paragonimus westermani ini pertama kali ditemukan terdapat pada tubuh dua harimau yang mati, yang berada di benua Eropa pada tahun 1878, dan pada beberapa tahun kemudian barulah cacing paru ini terinfeksi pada manusia yang ditemukan di Formosa, banyak cara

21

bagaimana cacing paru tersebut dapat menular pada manusia,dan penyebarannya pun yang sangat beranekaragam. Cacing ini menginfeksi manusia dan binatang yang memakan ketam atau udang batu, seperti kucing, musang, anjing harimau, serigala adalah hospes dari cacing Paragonimus westermani. Manusia dan binatang tersebut adalah sebagai hospes definitive, hospes perantaranya yaitu ketam atau udang, siput, dan keong (Utama, 2008).

Gambar 16. Paragonimiasis Paragonimiasis adalah penyakit dimana bagian tubuh yang diserang adalah paru-paru. Penyakit yang disebabkan oleh cacing Paragonimus westermani ini biasa disebut paragonimiasis, infeksi parasit makanan yang terdapat pada paru-paru yang bisa menyebabkan sub-akut untuk penyakit radang paru-paru kronis dapat juga melalui udara. Lebih dari 30 spesies trematoda (cacing) dari genus Paragonimus telah dilaporkan menginfeksi hewan dan manusia. Di antara lebih 10 spesies dilaporkan menginfeksi manusia, yang paling umum adalah Paragonimus westermani yang menyerang bagian paru-paru (Wakelin, 1975). Epidemiologi Penyakit ini berhubungan erat dengan kebiasaan makan ketam yang tidak dimasak dengan baik. Penyuluhan kesehatan yang berhubungan dengan cara masakketam dan pemakaian jamban yang tidak mencemari air sungai dan sawah dapat mengurangi transmisi paragonimiasis.

22

Pencengahan dari paragonimiasis sendiri adalah dengan tidak memakan ikan / kepiting mentah. Apabila menkonsumsi harus sudah dimasak secara sempurna sehingga bisa dihindari terinfeksi oleh metaserkaria dalam ikan/kepiting tersebut (Wakelin, 1975). Patologi dan Gejala Klinis Gejala pertama di mulai dengan adanya batuk kering yang lama kelamaan menjadi batuk darah cacing dewasa dapat pula bermigrasi ke alatalat lain dan menimbulkan abses pada alat tersebut misalnya pada hati dan empedu. Saat larva masuk dalam saluran empedu dan menjadi dewasa, parasit ini dapat menyebabkan iritasi pada saluran empedu, penebalan dinding saluran, peradangan sel hati dan dalam stadium lanjut akan menyebabkan sirosis hati yang disertai oedema. Luasnya organ yang mengalami kerusakan tergantung pada jumlah cacing yang terdapat di saluran empedu dan lamanya infeksi (Natadisastra, 2009). Gejala yang muncul dapat dikelompokkan menjadi 3 tahap, yaitu (Natadisastra, 2009). : a. b. Stadium ringan : tidak ditemukan gejala. Stadium progresif : terjadi penurunan nafsu makan, perut terasa penuh, diare. c. Stadium lanjut : didapatkan sindrom hipertensi portal yang terdiri dari pembesaran hati, ikterus, oedema dan sirosis hepatic. Diagnosis Diagnosis dibuat dengan menemukan telur dalam sputum atau cairan pleura, kadang-kadang telur juga ditemukan dalam tinja. Reaksi serologi sangat membantu untuk menegakkan diagnosis (Utama, 2008). .

23

Pengobatan Klorokuin yang diberikan pada orang dewasa hasilnya cukup baik. Bitiono dan tiobisdiklorofenol yang diberikan peroral dapat

menyembuhkan 90% dari 1.315 penderita yang diobati, tetapi memberikan reaksi efek samping seperti diare, kemerahan kulit dan sakit perut (Onggowaluyo, 2001). Pencegahan Pencegahan dapat dilakukan dengan memasak setiap udang, keong, ketam maupun kepiting hingga matang dan menghindari memakannya secara langsung (mentah). Pembuangan tinja dan sputum pada tempatnya (jamban) juga dapat mengurangi penyebaran cacing ini (Anonim,2010).

24

Anda mungkin juga menyukai