Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

Parasitologi Lanjut

Tema :
Potensi Schistosomiasis Terhadap Gangguan Sirkulasi Darah Perifer

Oleh :
Amirotul Azhimah (061824253007)

Ilmu Penyakit dan Kesehatan Masyarakat Veteriner


Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Airlangga
Surabaya
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Schistosomiasis japonica adalah infeksi cacing kronis pada manusia yang

disebabkan oleh Schistosoma japonicum. Telur Schistosoma japonicum disimpan di hati,

paru-paru, dan dinding usus sehingga dapat menyebabkan peradangan granulomatosa dan

fibrosis progresif, hal ini merupakan penyebab perubahan patologis klinis primer atau

perubahan klinis yang paling utama. Ada banyak jenis sel yang terlibat dalam melawan

invasi dari Schistosoma japonicum dan telurnya, termasuk sel Th, Natural Killer cells

(NK), sel NKT, sel supresor yang diturunkan dari myeloid (MDSCs), dan makrofag.

Dengan demikian, perubahan yang jelas dapat dideteksi di organ-organ kekebalan, seperti

limpa dan kelenjar getah bening lokal. Untuk penyebab nya sendiri Schistosomiasis dapat

disebabkan oleh trematoda darah digenetik.

Schistosomiasis merupakan penyebab penting penyakit di banyak bagian dunia,

yang paling sering terjadi di tempat dengan sanitasi yang buruk. Anak usia sekolah yang

tinggal di daerah-daerah dengan sanitasi yang buruk sangat berisiko karena mereka

cenderung menghabiskan waktu berenang atau mandi di air yang mengandung serkaria

infeksi. Hal ini juga beresiko pada orang-orang yang melakukan perjalananan ditempat

dimana ditemukan schistosomiasis dan terkena air tawar yang telah terkontaminasi dari

Schistosoma japonicum. (Rusjdi.,2011)

Lebih dari 207 juta orang di setidaknya 74 negara memiliki infeksi schistosomal

aktif. Dari populasi ini, sekitar 60% memiliki gejala penyakit, termasuk keluhan organ

tertentu dan masalah yang berkaitan dengan anemia kronis dan kekurangan gizi akibat

terinfeksi Schistosoma japonicum. Lebih dari 20 juta orang mengalami sakit parah.
Prevalensi penyakit adalah heterogen di daerah yang rentan dan cenderung lebih buruk di

daerah dengan sanitasi yang buruk, peningkatan penggunaan irigasi air tawar, dan

infestasi schistosomal berat pada populasi manusia, hewan, dan / atau siput.

Schistosomiasis atau bilharziasis adalah infeksi yang disebabkan oleh trematoda

darah yaitu spesies Schistosoma hematobium, S. mansoni, dan S. japonicum. Distribusi

dari cacing trematoda ini berada di daerah tropis dan sub tropis, khususnya S.

hematobium ada di Afrika, Timur Tengah, Corsica (Prancis); S. mansoni ada di Afrika,

Timur Tengah, Karibia, Brasil, Venezuela dan Suriname; S. japonicum ada di China,

Indonesia, Filipina. Di Indonesia banyak dijumpai di daerah Sulawesi (dataran tinggi

pegunungan lindu dan napu). Oncamelania hupensis Lindoensis merupakan salah satu

jenis siput endemik yang terdapat dalam kawasan Taman Nasional Lore Lindu. Jenis siput

ini merupakan perantara (hospes) dari cacing shistosoma yang dapat menyebabkan

penyakit shistosomiasis pada manusia dan hewan. Pada tubuh siput tersebut berkembang

cerkaria yang pada waktu tertentu keluar mencari hospes untuk bertumbuh lebih lanjut

(Pratama dkk.,2018)

1.2 Rumusan Masalah

 Bagaimana morfologi cacing Schistosoma japonicum ?

 Bagaimana siklus hidup cacing Schistosoma japonicum ?

 Bagaimana patogenesis dan perubahan patologi akibat infeksi cacing

Schistosoma japonicum ?

 Bagaimana laporan kasus akibat infeksi cacing Schistosoma japonicum ?


1.3 Tujuan Makalah

 Untuk mengetahui morfologi cacing Schistosoma japonicum

 Untuk mengetahui siklus hidup cacing Schistosoma japonicum

 Untuk mengetahui patogenesis dan perubahan patologi akibat infeksi

cacing Schistosoma japonicum

 Untuk mengetahui laporan kasus akibat infeksi cacing Schistosoma

japonicum
BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Morfologi Cacing Schistosoma japonicum

Cacing dewasa menyerupai Schistosoma mansoni dan Schistosoma

haemotobium. Namun pada Schistosoma joponicum tidak memiliki integumentary

tuberculation. Cacing jantan memiliki panjang 12-20 mm, diameter 0,5-0,55 mm,

integument ditutupi dengan duri-duri yang sangat halus dan lancip, lebih

menonjol pada daerah batil isap dan kanalis ginekoporik, memiliki 6-8 buah testis.

Cacing betina memilik panjang ± 26mm dan dengan diameter ± 0,3mm.

letak ovarium yaitu pada pertengahan tubuh, kelenjar vitellaria terbatas didaerah

lateral ¼ bagian posterior tubuh. Uterus merupakan saluran yang panjang dan

berisi 50-100 butir telur. Telur-telur jenis Schistosoma joponicum lebih besar dan

lebih bulat dibanding dengan jenis lainnya, berukuran 70-100 mm dan lebarnya

55-64 mm. Kerangka di telur Shistosoma joponicum lebih kecil dan kurang
mencolok jika dibandingkan dengan spesies lainnya Telurnya memiliki lapisan

hialin, subsperis atau oval jika dilihat dari lateral, dekat salah satu kutub terdapat

daerah melekuk tempat tumbuh semacam duri rudimenter (tombol); berukuran

(70-100) x (50-65) m. telur cacing ini diletakkan dengan memusatkan pada vena

kecil pada submukosa maupun mukosa organ yang berdekatan. Tempat telur

Schistosoma joponicum biasa ada percabangan vena mesenterika superior yang

mengalirkan darah dari usus halus. (Hafsah.,2013)

2.2 Siklus Hidup Cacing Schistosoma japonicum

Schistosoma hidup terutama didalam vena mesenterika superior, dimana

tempat ini cacing betina akan menonjolkan tubuhnya dari yang jantan atau

meninggalkan yang jantan untuk bertelur didalam venula-venula mesenterika

kecil pada dinding usus. Telur berbentuk oval hingga bulat dan memerlukan waktu

beberapa hari untuk berkembang menjadi mirasidium matang didalam kerangka

telur. Massa telur menyebabkan adanya penekanan pada dinding venula yang

tipis, yang biasanya dilemahkan oleh sekresi dari kelenjar histolitik mirasidium

yang masih berada didalam kulit telur. Dinding itu kemudian sobek, dan telur

menembus lumen usus yang kemudian keluar dari tubuh. Pada infeksi berat,

beribu-ribu cacing ditemukan pada pembuluh darah.


Selanjutnya jika kontak dengan siput sesuai, larva menembus jaringan lunak

dalam 5-7 minggu, membentuk generasi pertama dan kedua dari sporokista. Pada

perkembangan selanjutnya dibetuk serkaria yang bercabang. Serkaria ini

dikeluarkan jika siput berada pada atau dibawah permukaan air. Dalam waktu 24

jam, serkaria menembus kulit. Tertembusnya kulit ini sebagai hasil kerja dari
kelenjar penetrasi yang menghasilkan enzim proteolitik, menuju aliran kapiler, ke

dalam sirkulasi vena menuju jantung kanan dan paru-paru, terbawa sampai ke

jantung kiri menuju sirkulasi sistemik. Tidak sepenuhnya rute perjalanan ini

diambil oleh Schistosoma muda pada migrasi mereka dari paru-paru ke hati.

Schistosoma merayap melawan aliran darah sepanjang arteri pulmonalis, jantung

kanan dan vena cava menuju kehati melalui vena hepatica. Infeksi dapat

berlangsung dalam jangka waktu yang tidak terbatas.


Menetasnya telur berlangsung didalam air walaupun dipengaruhi kadar

garam, pH, suhu dan aspek penting lainnya. Migrasi Schistosoma joponicum

dimulai dari masuknya cacing tersebut kedalam pembuluh darah kecil, kemudian

ke jantung dan sistem peredaran darah. Cacing yang sedang bermigrasi jarang

menimbulkan kerusakan atau gejala, tetapi kadang menimbulkan reaksi hebat

pada tubuh penderita. (Sudomo dkk., 20017)

2.3 patogenesis dan perubahan patologi akibat infeksi cacing Schistosoma

japonicum

Infeksi dapat terjadi ketika kulit bersentuhan dengan air tawar yang

terkontaminasi oleh beberapa jenis siput yang membawa parasit hidup. Air tawar

menjadi terkontaminasi oleh telur Schistosoma ketika orang yang terinfeksi buang
air kecil atau buang air besar di dalam air. Selanjutnya, parasit akan menginfeksi

dan berkembang biak di dalam siput. Parasit meninggalkan siput dan memasuki

air di mana ia dapat bertahan hidup selama sekitar 48 jam. Parasit Schistosoma

dapat menembus kulit orang-orang yang bersentuhan dengan air tawar yang

terkontaminasi, biasanya ketika mengarungi, berenang, mandi, atau mencuci.

Selama beberapa minggu, parasit bermigrasi melalui jaringan inang dan

berkembang menjadi cacing dewasa di dalam pembuluh darah. Setelah matang,

nantinya cacing betina akan menghasilkan telur. Sebagian dari telur-telur ini

berpindah ke kandung kemih atau usus dan masuk ke urin atau tinja.

Gejala schistosomiasis bukan disebabkan oleh cacing itu sendiri tetapi oleh

reaksi tubuh terhadap telur. Telur yang ditumpahkan oleh cacing dewasa yang

tidak keluar dari tubuh dapat tersangkut di usus atau kandung kemih,

menyebabkan peradangan atau jaringan parut. Anak-anak yang berulang kali

terinfeksi dapat mengembangkan anemia, kekurangan gizi, dan kesulitan belajar.

Setelah bertahun-tahun infeksi, parasit juga dapat merusak hati, usus, limpa, paru-

paru, dan kandung kemih.

Umumnya pada kebanyakan orang tidak memiliki gejala ketika mereka

pertama kali terinfeksi. Namun, dalam beberapa hari setelah terinfeksi dapat

timbul ruam dan gatal pada kulit. Dalam 1-2 bulan infeksi, gejala dapat

berkembang termasuk demam, menggigil, batuk, dan nyeri otot. Gejala pada

infeksi ini dapat dibagi menjadi dua bentuk yaitu gejala akut dan kronis. Infeksi

akut dapat menyebabkan demam, kelemahan, diare, sakit perut dan hepatomegali.

Penyakit kronis melibatkan pembentukan granuloma, peradangan jaringan, lesi


hati dan fibrosis, yang mungkin menetap setelah infeksi telah dibersihkan. Telur

jarang ditemukan di otak atau sumsum tulang belakang, apabila ditemukan pada

organ tersebut maka dapat menyebabkan kejang, kelumpuhan, atau peradangan

sumsum tulang belakang.

Parasit memasuki tubuh inang dan memproduksi telur, parasit menggunakan

system kekebalan inang (granuloma) untuk transportasi telur ke dalam usus. Telur

merangsang pembentukan granuloma disekitar mereka. Granuloma yang terdiri

dari sel motil membawa telur kedalam lumen usus. Ketika didalam lumen, sel

granuloma meninggalkan telur untuk dibuang dalam feses. Sayangnya sekitar 2/3

dari telur tidak dikeluarkan, sebaliknya mereka berkembang diusus. Hal ini dapat

menyebabkan terjadinya fibrosis. Pada kasus yang kronis, Schistosoma joponicum

merupakan pathogen dari sebagian besar spesies schistosoma yang menghasilkan

3000 telur per hari diamana jumlah telur yang dikeluarkan ini sepuluh kali lebih

besar dari schistosoma mansoni. Sebagai penyakit kronis, parasit ini dapat

menyebabkan demam katayama, fibrosis hati, sirosis hati, hipertensi hati portal,

spinomegali dan ascites. Beberapa telur mungkin masuk ke dalam paru-paru,

system syaraf dan organ lain dimana mereka dapat mempengaruhi kesehatan

individu yang terinfeksi. Keadaan patologis yang ditimbulkan oleh

schistosomiasis sering berupa pembentukan granuloma dan gangguan terhadap

organ tertentu. Hal ini sangat berhubungan erat dengan respon imun hospes.

Respon imun hospes ini sendiri dipengaruhi oleh faktor genetik, intensitas infeksi.

Perubahan yang terjadi disebabkan oleh 3 stadium cacing yaitu serkaria, cacing
dewasa dan telur. Perubahan-perubahan pada skistosomiasis dibagi dalam 3

stadium :
 Masa tunas biologic
 Gejala kulit dan alergi : eritema, papula disertai rasa gatal dan panas

hilang dalam 2-3 hari


 Gejala paru : batuk, kadang-kadang pengeluaran dahak yang produktif
 Gejala toksemia : timbul minggu ke-2 sampai ke-8 setelah infeksi. Berat

gejala tergantung jumlah serkaria yang masuk


 Gejala berupa : lemah, malaise, tidak nafsu makan, mual dan muntah.

Diare disebabkan hipersensitif terhadap cacing


 Hati dan limpa membesar dan nyeri raba
 Stadium Akut
Penyakit schistosomiasis akut dapat ditandai dengan gejala demam

(nokturna), malaise, mialgia, nyeri kepala, nyeri abdomen, batuk non produktif

yang dapat terjadi sebelum ditemukannya telur di alam feses dan akan mencapai

puncaknya pada minggu ke 6-8 setelah infeksi. Pada pemeriksaan penunjang

dapat ditemukan eosinofilia dan infiltrat paru pada rontgen foto torak. Kumpulan

gejala ini dikenal sebagai sindroma Katayama dan sering terjadi pada orang yang

terinfeksi pertama kali atau pada keadaan reinfeksi berat serkaria. Gejala yang

tidak khas sering menyebabkan klinisi mengalami kesalahan diagnosis terutama

pada daerah non endemis. Klinis yang terjadi berhubungan dengan reaksi alergi

terhadap migrasi larva dan antigen telur. Serkaria mampu menembus kulit karena

adanya bantuan enzim proteolitik. Reaksi kulit terhadap serkaria ini dapat berupa

urtikaria dengan ruam makulopapula yang dkenal dengan istilah “swimmer itch”.

Secara singkat gejala yang ditimbulkan ketika stadium akut yaitu :


 Mulai sejak cacing bertelur
 Efek patologis tergantung jumlah telur yang dikeluarkan dan jumlah cacing
 Keluhan : demam, malaise, berat badan menurun
 Pada infeksi berat Sindroma disentri
 Hepatomegali timbul lebih dini disusul splenomegali; terjadi 6-8 bulan

setelah infeksi.
 Stadium Kronis
Kondisi patologis yang ditimbulkan akibat schistosomiasis kronis terjadi

akibat akumulasi telur yang terperangkap dalam jaringan. Pada infeksi S.mansoni

dan S.japonicum, hepar merupakan organ utama yang diserang. Telur yang

terbawa bersama aliran darah ini akan terperangkap di hepar. Hal ini disebabkan

oleh ukuran kapiler sinusoid yang sangat kecil. Pada infeksi S.haematobium

terjadi kerusakan vesika urinaria akibat perjalanan telur cacing pada dinding organ

tersebut. Respon sel T CD4+ yang diinduksi oleh antigen telur ini mengakibatkan

terjadinya pembentukan granuloma. Granuloma terbentuk dari serat kolagen dan

kelompok sel (makrofag, eosinofil dan sel TCD4+) yang mengelilingi telur.

Apabila telur schistosoma ini mati, maka granuloma akan sembuh secara spontan

dengan meninggalkan lesi fibrotik. Keadaaan ini akan menimbulkan kongesti dan

gangguan perfusi. Apabila keadaan ini berkelanjutan dapat terjadi asites dan

pembentukan neovaskularisasi di hepar (portal – systemic venous shunts). Portal

– systemic venous shunts yang terbentuk bersifat rapuh sehingga mudah terjadi

ruptur, perdarahan hebat dan menimbulkan kematian. Kelainan serius lain yang

dapat ditimbulkan oleh S.haematobium adalah keganasan vesica urinaria dan alat

genital. (Rusdji., 2011)


Keganasan pada alat genital terjadi apabila telur schistosoma bermigrasi

hingga ke servik pada wanita atau testis pada pria. Hasil penelitian ternyata juga

menemukan bahwa pembentukan granuloma mempunyai efek protektif terhadap

kerusakan hepar. Mekanisme protektif ini terbentuk karena adanya kerjasama

antara granuloma dengan antibodi spesifik dalam mencegah kontak hepatotoksin


yang disekresikan oleh telur dengan hepatosit. Secara singkat gejala yang

ditimbulkan ketika stadium kronis yaitu :


 Pembentukan jaringan ikat dan fibrosis
 Sirosis Hepar  sirosis periportal
 Gejala : splenomegali, edema, asites dan ikterus.
 Hematemesis
 Mengakibatkan kejang dan kelumpuhan apabila telur mencapai

saraf dan otak

Perubahan patologis keberadaan parasit di kapiler dan sistem pembuluh yaitu :

o mengambil nutrisi hostpes dan memanfaatkan imunitas dari hostpes

o Perlukaan vaskuler (timbul reaksi inflamasi)

o Nyeri otot

o Sumbatan pembuluh darah karena terdapat granuloma dan fibrosis akibat

keberadaan telur dari parasit (serat kolagen dan kelompok sel (makrofag,

eosinofil dan sel TCD4+)

o Fibrosis menimbulkan kongesti dan gangguan perfusi (deoksigenisasi)

o Keadaan berlanjut mengakibatkan asites dan pembentukan neovaskularisasi di

hepar yang bersifat rapuh sehingga mudah terjadi ruptur, perdarahan hebat dan

menimbulkan kematian.

Pruritus pada lengan manusia saat perdarahan pada nasal sapi akibat
terjadi infestasi parasit cacing pengerusakan sistem saluran pernafasan
Shicstosoma japonicum oleh cacing Shicstosoma japonicum
2.4 Laporan kasus akibat infeksi cacing Schistosoma japonicum

Schistosoma Menimbulkan Artropati (kerusakan sendi-sendi tulang)

Bilharziasis adalah penyakit endemik dibeberapa negara yang disebabkan oleh

infeksi parasit cacing Schistosoma. Bilharziasis memberikan gejala di sistem

kemih dan sistem pencernaan manusia. Salah satu manifestasi klinis nya berupa

lesi granulomatous ditempat penetrasi cercaria dari Schistosoma. Beberapa kasus

pernah dilaporkan di daerah endemis afrika dalam penelitian bahwa terjadi

kelainan tulang dan sendi pada pasien infeksi Schistosoma . Dalam sebuah

penelitian di daerah endemis, ditemukan 3 pasien dari 124 menunjukkan adanya

parasit telur Schistosoma saat pemeriksaan biopsy cairan sinovial sendi. Pada

penelitian yang lain dilaporkan 36 kasus radang sendi di antara pasien dengan

riwayat schistosomiasis. Hilangnya radang sendi akibat pengobatan antiparasit

adalah salah satu argumen kuat, yang memungkinkan diagnosis rematoid artritis

karena parasit. Kemampuan Schistosoma dalam memicu respon imun juga

memiliki andil dalam terjadinya artropati. Diagnosis atropati Schistosoma

didasarkan pada seperangkat argumen klinis yaitu identifikasi telur bilharzial,

adanya satu atau lebih sendi besar yang terlibat dan mempunyai karakteristik

berupa inflamasi tanpa efusi, deformitas, atau hilangnya fungsi sendi ,lalu bukti

histopatologis sinovitis reaktif, vaskulitis dengan atau tanpa adanya telur

bilharzial dalam biopsi sinovial sendi, dan hasil rontgen pada inflamasi reaktif di

tumit atau sendi sakroiliaka. (Pramata.,dkk 2018)


BAB 3

KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan

Schistosomiasis japonica adalah infeksi cacing kronis pada manusia yang

disebabkan oleh Schistosoma japonicum. Schistosomiasis merupakan penyebab

penting penyakit di banyak bagian dunia, yang paling sering terjadi di tempat

dengan sanitasi yang buruk. Schistosoma japonicum banyak ditemukan di

Indonesia khususnya endemis didearah pegunungan napu dan lindu sulawesi,

sebagian Negara Cina dan Asia Tenggara. Infeksi dapat terjadi ketika kulit

bersentuhan dengan air tawar yang terkontaminasi oleh beberapa jenis siput yang

membawa parasit hidup. Pengobatan pada seseorang yang mengalami infeksi ini

dapat diberi Praziquantel. Untuk pencegahan dapat dilakukan perubahan perilaku

dalam menjaga kebersihan yang baik.


3.2 Saran

Sumber wawasan yang berasar dari jurnal-jurnal serta laporan studi kasus

perlu ditingkatkan guna memperkuat tulisan dalam makalah yang dibuat

DAFTAR PUSTAKA

Rusjdi SR. 2011. Schistosomiasis, Hubungan Respon Imun dan Perubahan


Patologi. Majalah Kedokteran Andalas. Bagian Parasitologi Fakultas
Kedokteran Universitas Andalas. No.2. Vol.35.

Budiono GN.,Fadjar S.,Yusuf R.,Defriska N.,Hasmawati. 2018. Trematodosis


pada Sapi dan Kerbau di Wilayah Endemik Schistosomiasis di Provinsi
Sulawesi Tengah, Indonesia. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia (JIPI). Vol.
23(2): 112-126.

Gunawan., Hayani A., Phetisya PFS,. Risti. 2014. Kontribusi Hewan Mamalia
Sapi, Kerbau, Kuda, Babi Dan Anjing Dalam Penularan Schistosomiasis Di
Kecamatan Lindu Kabupaten Sigi Propinsi Sulawesi Tengah Tahun 2013.
Media Litbangkes. Donggala. Vol. 24 No. 4.

Pratama R, Agi S, Achmad DF, dan Yudha N. 2018. Schistosoma Menimbulkan


Artropati. Faculty of Medicine, University of Jember, Indonesia.

Hafsah. 2013. Karakteristik Hatsitat Dan Morfologi Siput Ongco Melaniu


Hupensis Lindoensis Sebagai Hewan Reservotr Dalam Penularan
Shistosomiasis Pada Mantjsia Dan Ternak di Taman Nasional Lore Lindu
(Habitat Characteristics Und Morphology Of Oncomelania Hupensis
Lindoensis as a Resewoir In Transmission of Schistosomiasis On Human
and Animal In Lore Lindu National Park). Jurnal Manusia Dan
Lingkungan. Fakultas Pertanian Universitas Tadulako Vol. 20, No. 2, Juli.
2 :144- 152.

Anda mungkin juga menyukai